pisang_tanduk
Adik Semprot
Awal berdirinya perusahaanku aku termasuk karyawan pertamanya. Pada waktu itu aku seorang karyawan sebuah pabrik pembuatan saos di kota Pekalongan, posisiku adalah sebagai supervisor bagian marketing sesuai dengan ijasahku di bidang ekonomi-akuntansi, kini pengalaman ini aku tulis aku menduduki salah satu jabatan direktur di perusahaanku. Sebagai seorang supervisor tentunya aku mempunyai beberapa staff yang sebagian besar perempuan.
Dalam merekrut karyawan tentu aku yang banyak menentukan kriteria seorang calon karyawan.
Yang pertama adalah menarik, diutamakan bila cantik. Pendidikan paling rendah SMA, tinggi badan terendah 155 cm dan tentunya tidak terikat oleh perusahaan manapun. Mau bekerja full time bila perusahaan membutuhkan dan bersedia bertugas ke kota lain bila order berlimpah.
Kriteria itu aku kirimkan ke sebuah surat kabar terkenal dan hasilnya banyak sekali pelamar yang berminat bahkan melebihi dari kriteria yang aku butuhkan, mereka sarjana semua seperti aku. Di awal berdirinya perusahaan hanya membutuhkan 10 karyawan, 1 diantaranya seorang laki-laki. Karyawan laki-laki aku kirim ke luar kota untuk merintis bagi masuknya order baru. Ternyata pilihanku tidak salah, karyawanku itu ternyata pandai menarik order sehingga perusahaan kebanjiran order.
1 dari 9 staffku bernama Shariffa dipanggil dengan Iffa. Selain cantik, kulitnyapun putih mulus dengan sorot mata yang menawan sehingga membuat jantungku berdegub-degub bila dekat dengannya. Dia sudah bersuami, suaminya kini tergolek lemah dirumah akibat kecelakaan yang dialaminya sehingga membuatnya lumpuh. Santunan yang diberikan dari perusahaan suaminya berkerja habis untuk berobat suaminya.
Kejadian itu sudah hampir setahun yang lalu, lambat laun kondisi keuangan mereka menipis itulah yang membuatnya harus mencari kerja untuk menghidupi keluarganya, merawat suaminya diserahkan kepada ibu mertuanya. Untung mereka belum dikaruniai anak, sehingga Iffa leluasa untuk mencari kerja, meninggalkan sang suami tercinta dalam perawatan ibundanya.
Pengalaman hidupnya diceritakan kepadaku ketika kami berhenti untuk makan di rumah makan dalam perjalanan menuju ke Jogja. Hanya kami berdua, sopir yang kami pakai minta ijin karena keponakannya akan disunat. Di Jogja kami langsung menemui beberapa klien kami untuk melakukan transaksi, kalau dihitung ada puluhan toko yang berhasil kami tambah ordernya hal yang sangat luarbiasa bagi karierku.
Kami menginap disebuah losmen di sekitar daerah Maerokoco di jalan Jogja-Magelang.
Mobil kijang yang kami pakai aku belokkan masuk ke halaman parkir losmen, untuk itu perusahaan mempercayakan aku membawa salah satu dari beberapa mobil terbaiknya.
Mas satu kamar saja, kata Iffah kepadaku ketika kami hendak keluar dari mobil.
Kenapa? Seraya aku melirik kearahnya, tampak dia tersenyum sambil menyibak rambutnya yang tergerai.
Biar ngirit, uang kamarnya bisa aku belikan obat untuk suamiku.
Oke, baiklah kalau begitu istri yang baik.
Ah, jangan begitu dong, sambil mencubit pahaku.
Eit, jangan ketengah-tengah lho, aku menggoda.
Ih mas nakal ah.
Gurauanku yang hanya sesaat ternyata ditanggapi lain oleh Iffah, tanpa sepengetahuanku rona wajahnya berubah memerah. Wajar, hampir setahun tubuh mulus itu sudah tidak terjamah oleh suaminya. Lalu kami keluar dari mobil menuju ke resepsionis dan mendapat kamar dengan satu ranjang. Seorang belboy atau pelayan mengantar kami dan membukakan pintu.
Masih ada yang bisa saya bantu pak?
Tidak, seraya aku mengulurkan satu lembar uang sepuluh ribu, terimakasih mas kataku.
Saya juga terimakasih pak, kata pelayan itu seraya menerima uang yang aku sodorkan.
Aku mandi dulu ya?
He-eh, gumamku sambil mengeluarkan beberapa pakaian untuk diletakkan kedalam lemari.
Rencananya kami di Jogja selama dua hari. Ketika aku menoleh kearah kamar mandi, ternyata pintunya tidak ditutup selang beberapa saat kemudian terdengar dia memanggilku,
Mas
Berlahan aku beranjak kearah suara dari dalam k
Dalam merekrut karyawan tentu aku yang banyak menentukan kriteria seorang calon karyawan.
Yang pertama adalah menarik, diutamakan bila cantik. Pendidikan paling rendah SMA, tinggi badan terendah 155 cm dan tentunya tidak terikat oleh perusahaan manapun. Mau bekerja full time bila perusahaan membutuhkan dan bersedia bertugas ke kota lain bila order berlimpah.
Kriteria itu aku kirimkan ke sebuah surat kabar terkenal dan hasilnya banyak sekali pelamar yang berminat bahkan melebihi dari kriteria yang aku butuhkan, mereka sarjana semua seperti aku. Di awal berdirinya perusahaan hanya membutuhkan 10 karyawan, 1 diantaranya seorang laki-laki. Karyawan laki-laki aku kirim ke luar kota untuk merintis bagi masuknya order baru. Ternyata pilihanku tidak salah, karyawanku itu ternyata pandai menarik order sehingga perusahaan kebanjiran order.
1 dari 9 staffku bernama Shariffa dipanggil dengan Iffa. Selain cantik, kulitnyapun putih mulus dengan sorot mata yang menawan sehingga membuat jantungku berdegub-degub bila dekat dengannya. Dia sudah bersuami, suaminya kini tergolek lemah dirumah akibat kecelakaan yang dialaminya sehingga membuatnya lumpuh. Santunan yang diberikan dari perusahaan suaminya berkerja habis untuk berobat suaminya.
Kejadian itu sudah hampir setahun yang lalu, lambat laun kondisi keuangan mereka menipis itulah yang membuatnya harus mencari kerja untuk menghidupi keluarganya, merawat suaminya diserahkan kepada ibu mertuanya. Untung mereka belum dikaruniai anak, sehingga Iffa leluasa untuk mencari kerja, meninggalkan sang suami tercinta dalam perawatan ibundanya.
Pengalaman hidupnya diceritakan kepadaku ketika kami berhenti untuk makan di rumah makan dalam perjalanan menuju ke Jogja. Hanya kami berdua, sopir yang kami pakai minta ijin karena keponakannya akan disunat. Di Jogja kami langsung menemui beberapa klien kami untuk melakukan transaksi, kalau dihitung ada puluhan toko yang berhasil kami tambah ordernya hal yang sangat luarbiasa bagi karierku.
Kami menginap disebuah losmen di sekitar daerah Maerokoco di jalan Jogja-Magelang.
Mobil kijang yang kami pakai aku belokkan masuk ke halaman parkir losmen, untuk itu perusahaan mempercayakan aku membawa salah satu dari beberapa mobil terbaiknya.
Mas satu kamar saja, kata Iffah kepadaku ketika kami hendak keluar dari mobil.
Kenapa? Seraya aku melirik kearahnya, tampak dia tersenyum sambil menyibak rambutnya yang tergerai.
Biar ngirit, uang kamarnya bisa aku belikan obat untuk suamiku.
Oke, baiklah kalau begitu istri yang baik.
Ah, jangan begitu dong, sambil mencubit pahaku.
Eit, jangan ketengah-tengah lho, aku menggoda.
Ih mas nakal ah.
Gurauanku yang hanya sesaat ternyata ditanggapi lain oleh Iffah, tanpa sepengetahuanku rona wajahnya berubah memerah. Wajar, hampir setahun tubuh mulus itu sudah tidak terjamah oleh suaminya. Lalu kami keluar dari mobil menuju ke resepsionis dan mendapat kamar dengan satu ranjang. Seorang belboy atau pelayan mengantar kami dan membukakan pintu.
Masih ada yang bisa saya bantu pak?
Tidak, seraya aku mengulurkan satu lembar uang sepuluh ribu, terimakasih mas kataku.
Saya juga terimakasih pak, kata pelayan itu seraya menerima uang yang aku sodorkan.
Aku mandi dulu ya?
He-eh, gumamku sambil mengeluarkan beberapa pakaian untuk diletakkan kedalam lemari.
Rencananya kami di Jogja selama dua hari. Ketika aku menoleh kearah kamar mandi, ternyata pintunya tidak ditutup selang beberapa saat kemudian terdengar dia memanggilku,
Mas
Berlahan aku beranjak kearah suara dari dalam k