***
Keesokan paginya, aku terbangun oleh harum nasi goreng dari dapur. Aku meloncat dari ranjang dan langsung ke kamar mandi untuk melakukan ritual pagi. Kencing, BAB, mandi dan gosok gigi. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, sekilas kulihat Rani tengah mencuci piring. Memakai celana pendek dan kaos gombor yang sudah usang. Kulihat punggungnya yang tipis, rambut panjang sebahu dan betisnya kecil berkulit kuning pias.
Selesai mandi dan berpakaian, aku ke luar kamar dan memakai sepatu.
“Ran, nasi goreng ini kamu yang bikin?”
“I ya, Om, eh, Pak.” Jawabnya dari dapur.
“Kamu tidak harus datang sepagi ini dan memasak sarapan.” Kataku.
“Tapi…boleh kan?”
“Ya, boleh, tentu saja.” Kataku dengan nada yang kuusahakan seringan mungkin. “Saya malah senang kamu datang pagi-pagi.”
“Nasi gorengnya dicobain Om, eh, Pak, kalau kurang garem atau kurang pedes, bilang.”
Aku langsung menyantap nasi goreng itu tanpa banyak omong. Setelah habis, kupuji dia setinggi langit agar dia merasa senang.
“Besok mau sarapan apa, Om, eh, Pak.”
“Udah panggil Om aja.” Kataku, “besok? Terserah kamu aja mau masak apa.”
“Tapi…emm, bahannya di dapur sudah ga ada.” Katanya dari dapur.
“Kamu perlu uang buat belanja berapa?”
“Terserah Om. Tapi semua bahan sudah habis. Mentega ga ada, beras habis, gula habis… dapur ini kosong Om.”
Aku tertawa.
“Memang.” Kataku. “Besok sabtu kalau libur kita pergi ke supermarket. Mau?”
Terdengar jawaban dari arah dapur nada suara yang antusias.
“Mau.”
“Sekarang kamu belanja sebisanya aja ya! Om kasih 50 ribu.” Kataku sambil merogoh dompet dan meletakkan selembar uang pecahan 50 ribu di meja.
Setelah itu aku berdiri, memakai jaket dan helm, lalu mendorong motor ke luar rumah. Saat aku duduk di atas jok, melalui kaca spion kulihat Rani berdiri di ambang pintu. Setan! Dia sangat manis. Hidungnya mancung dan bibirnya sangat mungil. Sungguh membuat aku tergoda.
***
Hari itu entah mengapa bos perusahaanku berlaku seperti orang sinting. Semua karyawan mengeluh karena harus kerja lembur sampai larut. Aku sendiri karena sudah terbiasa dengan tekanan pekerjaan, hal itu kuanggap biasa. Tapi aku paham mengapa mereka mengeluh. Mereka lelah dan lapar.
Jauh larut malam, akhirnya pekerjaan pun dianggap selesai. Aku pulang sangat larut dan menemukan Rani tengah tertidur di sofa panjang. Tubuhnya sangat ringan waktu dia kubopong dan kupindahkan ke kamar. Kutatap wajahnya yang imut. Bibirnya yang mungil menggodaku untuk mengecupnya. Tapi tentu saja itu tidak kulakukan.
Kedua tangannya mengalung di leherku sementara nafasnya demikian tenang dan teratur. Dia masih tertidur pulas saat kurebahkan. Sebelum kuselimuti, aku menyingkap celana pendeknya yang lebar dan juga celana dalamnya. Wow! Dia memiliki memek yang mulus tanpa bulu. Itilnya gede seperti biji jambu mete. Tanpa sadar telunjukku menyentuhnya. Ay, itil itu langsung bereaksi. Sangat sensitif.
Tapi orangnya juga ikut bereaksi. Ia mengeluarkan suara seperti mengigau. Cepat-cepat dia kuselimuti dan aku lalu kabur ke dapur.
Dia memasak gule kacang merah. Ah, kebetulan, aku sedang ingin mengunyah kacang. Setelah kuhangatkan, aku segera saja menyantap makanan hingga kenyang. Lalu mandi air panas. Kuhamparkan sleeping bag di lantai, di sisi ranjang, lalu tidur di situ dengan pulas.
***
Aku terjaga oleh mimpi buruk. Kepalaku pusing karena kurang tidur. Saat melipat sleeping bag, kulihat Rani masih nyenyak. Aku segera pergi ke dapur, menjerang air untuk kopi dan memanggang roti. Sarapan lalu mandi. Saat aku ganti baju di kamar, kulihat Rani masih meringkuk tidur. Setelah berganti baju, barulah aku sadar kalau Rani ternyata sudah bangun dan berpura-pura masih tidur. Kelihatan dari matanya yang terpejam tapi bolamata di dalamnya bergerak-gerak.
Aku mesem sendiri. Lalu pergi berangkat kerja.
***
Situasi buruk terjadi di tempat kerja. Nyonya boss datang mendadak di saat para pegawai masih menguap karena kantuk. Suaminya, boss kami, tidur di ruang kerjanya. Rupanya semalam dia tidak pulang. Selain nyonya boss, datang juga mertuanya beserta beberapa orang lelaki yang tinggi besar, yang merupakan anak buah mertua boss. Mereka masuk secara diam-diam ke dalam ruangan para pegawai sementara nyonya Boss masuk ke ruang kerja boss. Tak lama setelah nyonya bos masuk, terdengar suara teriakan dan bentakan. Debat penuh otot dan caci maki menggema ke seluruh ruangan. Aku segera menyuruh semua pegawai menyumpal telinga mereka dengan kapas yang kuambil dari kotak P3K. Tapi aku sendiri tidak melakukannya. Soalnya aku ingin tahu mengapa mereka bertengkar.
Aku pura-pura cuek dan tak acuh. Bertekun dengan laptop untuk menyusun laporan seperti biasa. Sementara yang lain bekerja juga dengan tekun dan kami berkomunikasi melalui group tertutup whatsapp.
Mertua boss bersama anak buahnya berdiri bergerombol di dekat dapur. Lelaki tua yang rambutnya disisir rapi ke belakang itu memberikan semacam isyarat kepadaku untuk tetap berpura-pura bahwa mereka tidak ada di sana. Aku sekilas melirik mertua boss yang wajahnya berriak-riak menahan emosi kemarahan yang sulit disembunyikan.
Boss dan nyonya boss bertengkar soal uang perusahaan yang raib dipakai judi. Boss menjelaskan bahwa itu akan diganti dalam waktu tidak lama. Tapi nyonya boss tidak percaya. Mereka saling adu argumen dan boss kalah telak. Tetapi kalah argumen bukan berarti kalah bertengkar, kulirik boss melakukan suatu tamparan dan menghempaskan nyonya boss hingga terjengkang menabrak pintu ruang kerja yang terbuka sedikit. Aku segera bangkit dari dudukku dan memburu nyonya boss yang terhuyung-huyung ke belakang dengan hidung berdarah. Kutangkap tubuh nyonya boss yang kurus tipis dan kubiarkan sebuah tendangan melayang ke pantatku.
Plak!
Njirrrrr, pedes juga tuh tendangan si boss kampret.
“Minggir kamu, Jarwo, jangan turut campur urusan keluarga!” kata si boss. Aku tetap memeluk tubuh nyonya boss karena harum dan lembut juga karena tendangan si boss tidak sakit-sakit amat. Pada saat si boss akan menjambak rambut nyonya boss yang harum, aku menggerakkan kaki dan punggung untuk melindungi nyonya boss.
“Anjing kamu, minggir!” kata si boss. Pada saat itu, para lelaki tinggi besar itu langsung berdatangan dari arah dapur dan mengeroyok serta akhirnya menelikung si boss secara beramai-ramai. Mertua boss datang mendekat dan berkata dengan geram, “bagus kamu ya! Kakek moyangmu yang kuhormati pasti malu melihat kelakuanmu yang tengik ini.” Kata Mertua boss sambil mengepalkan tangannya. “Seret dia ke mobil, akan kulemparkan dia di depan hidung keluarganya dan kuputuskan tali perkawinan mereka!”
Para lelaki itu menyeret si boss yang sia-sia melawan. Mereka pergi ke luar pintu ruangan bersama mertua boss. Dan menghilang di balik dinding. Sementara aku sendiri membopong tubuh nyonya boss yang gemetaran karena emosi yang tak terlampiaskan dan rasa sakit hati serta sakit merah lebam di pipinya yang putih halus. Tangan nyonya bos yang lembut tak sengaja menyentuh kontolku dari luar celana.
Sial benerrrr! Si joniku langsung bangun dan memberontak.
“Nyonya… apa perlu saya panggilkan dokter?” kataku setelah merebahkan dia di kursi sofa panjang tempat biasa boss menerima tamu. Sepasang mata nyonya boss yang agak sipit dan bening menatapku seakan dia baru saja bangun tidur. Kepalanya menggeleng dengan lemah. Aku segera melangkah lebar ke arah kulkas, mengambil es batu dan memecahkannya di atas sapu tangan biru mudaku. Setelah sapu tangan itu kuikat, aku menempelkannya pada bibir nyonya boss yang tipis agar rasa sakitnya cepat hilang.
Sebelum nyonya boss memegangi saputanganku yang berisi es batu, sempat kedua telapak tangannya memegangi kedua punggung tanganku, seakan ingin mengucapkan terimakasih.
Aku kemudian kembali bekerja dan memimpin teman-teman menyelesaikan pesanan klien.
***
Karena tidak ada lagi yang harus dikerjakan dan nyonya boss pun sudah pergi, aku tak bisa membendung lagi keinginan anak-anak untuk pulang, padahal masih jam 4 sore.
“Ya, sudah ga pa pa.” Kataku, “lagian, gaji kalian ditunggak perusahaan selama sebulan.”
Mereka bersorak dan pergi. Bahkan Mang Dudung satpam juga minta izin untuk pulang dulu sebentar, nanti balik lagi jam 6.
“Ya, udah.” Kataku, “tapi ingat, kalau jam 6 tidak balik lagi, gajimu akan dipotong.”
Setelah Mang Dudung pergi, aku mengeprint laporan dan mempersiapkan dokumen pengiriman untuk besok pagi. Pada saat itu, seperti hantu tiba-tiba saja Nyonya Bos muncul di ambang pintu ruang produksi yang sepi. Aku sedikit terhenyak, “nyonya… kirain siapa.”
“Panggil saja Cici, jangan nyonya atau bu.”
“I ya, Ci. Ada apa ya sore-sore gini ke sini… kalau soal kerjaan sudah beres semua. Besok tinggal dikirim.”
Dia melangkah ragu mendekatiku. Wajahnya kini tampak adem tanpa emosi, luka di bibirnya pun tak kelihatan. Aku ingat bau tubuhnya saat tadi kupeluk.
“Cici ingin mengembalikan saputanganmu.” Katanya, sekarang dia sudah di dekat meja kerjaku. Suara printer mendesis, menggema ke seluruh ruangan.
“Padahal bisa besok… Cici kelihatan cape.” Kataku.
“Aku cape luar dan dalam…” katanya.
“Sebaiknya cici pulang dan beristirahat.”
Dia diam dan menatapku.
“Jarwo…” suaranya terdengar lembut.
“I… I ya, Ci.”
“Waktu tadi kamu menggendong Cici… kamu… kamu…”
“Ma… maaf, Ci. Saya tidak bermaksud kurang ajar, saya hanya…”
“Gendong lagi cici seperti tadi…” dia berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. Aku melengak! Kaget, bengong dan tak percaya bercampur menjadi satu. “Gendong cici ke sana.” Katanya sambil mendekatiku dan menarik tanganku.
Aku gemetaran. Mimpi apa aku semalam? Bukannya semalam aku mimpi aneh yang menyeramkan?
Nyonya Bos yang minta dipanggil Cici ini bernama Leoni Ambarwati Sungkono. Usianya sekitar 40 tahun. Kulitnya putih seperti porselen, halus, mulus dan terawat. Tatapannya sendu saat menyentuh lenganku.
“Cici… nanti bos…” kataku gugup.
“Lupakan dia. Cici sudah lima tahun tidak disentuh.”
“Li… lima tahun?”
Mendadak jari jemarinya yang lentik mengelus batang kontolku dari luar celana. Meski pun begitu, si joni langsung liar dan jadi pemberontak gila padahal tidak diraba secara langsung. Lalu lengannya yang halus itu merayap ke perut dan dadaku… tahu-tahu kedua tangannya mengalung di leherku.
Aku ragu. Tapi naluriku membawa kedua tanganku hinggap di pinggangnya yang kecil. Aku menatap matanya yang sayu. Berkedip sebentar dengan gerakan kedip yang lambat, membuatku berani mendekatkan wajahku ke wajahnya. Cici Leoni memang kalau dari segi wajah tidak begitu cantik. Hidungnya lebar dan pesek. Bentuk wajahnya juga lebar. Namun saat bibirnya kukecup, terasa sangat lembut dan manis. Sayang bibirnya masih sakit jadi aku tak sempat mengembara ke dalam lidahnya. Saat kulepaskan kecupanku, sepasang matanya berbinar menandakan dia menyukainya.
Kedua tanganku kini mengusap-usap pantatnya yang tipis lalu meremasnya pelahan. Cici menahan tanganku dan membawa ke dadanya. Aku otomatis melepaskan pegangannya dan tanganku menarik baju kaosnya ke atas hingga ke leher lalu menyingkap BH-nya untuk menemukan sepasang toket mungil yang sudah lembek namun memiliki pentil sebesar kelereng yang berwarna merah kecoklatan. Tanpa basa basi lagi aku langsung mengulumnya dan mengisapnya bergantian. Cici memeluk kepalaku seakan tak rela kepalaku menjauh.
Sambil terus mengulum dan mengisap puting susunya, tanganku berkelana di pinggang dan punggungnya. Lalu turun ke kancing celana panjang katunnya dan membukanya. Aku sebetulnya berpikir bahwa apa yang aku lakukan terlalu berlebihan dan terlalu cepat. Tapi cici tidak menolaknya. Saat kepalaku turun dan mulutku mulai mengemuti perut dan tali pusarnya yang menonjol, kudengar sedikit tawa dari Cici yang mungkin merasa geli. Sambil membungkuk, aku menurunkan celananya hingga jatuh ke mata kakinya.
Kutatap celana dalam berrendanya yang mahal. Hidungku mencium aroma memeknya yang harum dan merangsang. Sebelum aku menurunkan celana dalamnya, aku tengadah. Cici tersenyum kecil dan mengangguk. Kutarik pelahan-lahan celana dalam cici seperti pemain kartu yang sedang memirit, menggeser kartu di tangannya dengan penuh harap mendapatkan angka keberuntungan atau joker.
Pelahan-lahan bau memek lembabnya mengelus hidungku. Tulang selangkanya menonjol di bawah pinggangnya. Pahanya kecil. Putih. Mulus dan halus. Akhirnya kuturunkan celana dalamnya hingga lutut. Dan mataku mendapatkan pemandangan itu. Sebuah garis celah yang terkatup rapat dengan daging mungil yang tipis, yang terbelah melintang di tengah-tengahnya.
“Ini seperti memek bayi.” Kataku dalam hati. Soalnya ia tak memiliki bulu apa pun dan itilnya mengumpet, entah disembunyikan di mana. Saat kedua jempolku membeliakan bibir luar memeknya yang tipis, ternyata bibir memek bagian dalamnya juga sangat tipis dan halus. Berwarna merah pink dan lembut saat kujilat dengan lidahku.
Pada saat kujilat bibir memek bagian dalamnya, segera bisa kusarakan bahwa seluruh bibir-bibir luar memeknya, pubisnya dan pahanya langsung merinding. Seketika kurasakan jari jemari cici mencengkram rambutku dan menjambaknya dengan keras. Samar-samar kudengar keluhannya yang tertahan.
Aku terus menjilati memek bagian dalamnya tanpa henti sebagaimana aku tak bisa dihentikan saat menjilati es krim vanila kesukaanku. Saat kucocor liang memeknya dengan ujung lidah, sebuah jeritan kecil menggema di udara disertai jambakan yang sangat keras dirambutku.
Jeritan kecilnya di telingaku seperti alunan musik yang merdua. Sedangkan jambakan jarinya di rambutku membuat sakit kepalaku sedikit terobati.
“Jarwo… sudah…” katanya seperti suara isak tangis yang tertahan.
Aku pun melepaskan diri dari pesona memeknya yang lezat. Kulepaskan celana panjang dan celana dalamnya yang membelenggu ke dua kaki. Aku lalu berdiri dan dengan kilat melepaskan celana panjang dan celana dalam sendiri dan menendangkannya ke sudut ruangan.
Aku berdiri di depan cici dengan batang kontolku yang melengkung, terhunus ke arah liang memeknya. Lalu kepala kontolku yang berbentuk seperti helm jerman itu kutempelkan persis di mulut liang memeknya. Tapi aku belum menancapkannya karena aku menunggu persetujuan cici. Maka aku pun segera menatap matanya yang tengah terpejam. Pipinya yang putih menjadi kemerahan dan bibirnya berdarah lagi karena digigit oleh giginya sendiri.
“Cici… udah nempel.” Kataku.
“I ya, kerasa anget.”
“Masukin jangan?” tanyaku. Saat kutanya itulah matanya membuka, lalu dia menjawab, “tapi pelan-pelan.”
Pada saat itu Cici berdiri membelakangi meja dengan pantat menempel di pinggiran daun meja. Dia berdiri miring 15 derajat ke arah belakang saat pahanya kubuka agak lebar dan aku mendorong kontolku maju agar masuk ke dalam liang hangat yang sempit itu. Kulihat kepala gundul si joniku menyundul liang memek itu lalu menyelinap masuk. Tapi saat aku mencoba terus mendorong, aku kesulitan maju lebih dalam karena liang memek cici tidak banyak menghasilkan lendir. Saat kupaksa, Cici malah meringis kesakitan.
Aku terpaksa menarik mundur kontolku dan mengulanginya lagi dari awal. Seperti kata Cici, aku harus melakukannya pelahan-lahan dan sabar. Jadi selama hampir sepuluh menit, aku hanya mencelap-celupkan kepala kontolku saja ke dalam liang memek Cici tanpa berusaha masuk lebih dalam. Cici sendiri merasa nyaman diperlakukan seperti itu. Kedua tangannya lurus ke belakang menahan dorongan yang aku lakukan.
Pada saat itu, sebetulnya aku sudah merasa agak bosan karena kepala kontolku hanya mencelap-celup saja. Sedangkan batang kontolku sudah tak sabar ingin juga masuk. Sejujurnya saja aku merasa sedikit putus asa. Namun demi melihat bagaimana ekspresi wajah cici yang sangat menikmatinya, aku jadi agak terhibur sedikit.
Setelah pekerjaan yang membosankan itu berlangsung selama 20 menit dan aku bersiap-siap untuk mengalah, mendadak aku merasakan tubuh cici gemetaran entah mengapa. Kedua pahanya mengejang dan secara mendadak dia meraung keras dan kedua tangannya secara tiba-tiba merangkul leherku. Aku belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi sampai aku merasakan suatu cairan hangat membasahi kepala kontolku, lalu tiba-tiba saja kepala kontolku beserta batangnya menyelong masuk dengan lancar ke dalam liang memeknya.
Ssslllebbbbb…. Jleb!!!
“Aahhh…” mulut Cici terbuka mengeluarkan suara setengah jeritan setengah desahan.
Tapi aku sendiri malahan sedikit kaget dan berseru heran, “eh?!!!”
Begitu seluruh batang kontolku masuk, Cici meloncat ke arah tubuhku dengan bantuan kedua tangannya yang mengalung di leherku. Lalu kedua kakinya membelit di pinggangku dengan sangat kuat. Secara otomatis, kedua tanganku menyangga kedua buah pantatnya yang tipis hingga aku bisa merasakan tulangnya di telapak tanganku.
Tubuh Cici tidak berat, tapi caranya bergelantungan di tubuhku dalam keadaan kontolku terkubur dalam liang memeknya, membuatku sedikit limbung dan terdorong ke belakang hingga menempel ke dinding. Lututku gemetaran saat mendadak kurasakan bagian dalam liang memek cici berkedut-kedut keras dan terasa panas. Seluruh tubuhku seperti kena setrum 1000 volt. Tapi setrum yang kurasakan kali ini justru sangat tidak menyakitkan, malahan sebaliknya. Terasa sangat enak luar biasa. Aku merasa seluruh batang kontolku direndam di dalam air susu yang hangat dan berat karena dicampur garam. Pada saat yang bersamaan, seluruh tubuh cici mengejang keras dalam keadaan memelukku dengan kedua tangan dan kakinya yang membelit lalu dia menjerit sangat keras.
“Aaaaaaaaaakkkkkkkk!!!!!”
Tahu-tahu kurasakan batang kontolku seperti dijepit secara lembut lalu disedot dengan sangat kuat, akibatnya aku secara tiba-tiba memuncratkan pejuhku tanpa bisa dikendalikan lagi di dalam liang memek cici.
Srrrrr…. Crot crot crot crot srrrrr…. Crot crot crot crot…
Seketika lututku menjadi lemas dan hilang tenaga. Tubuhku segera saja menggelosor ke lantai dan terduduk lesu. Sementara Cici tak mau lepaskan belitan tangan dan kakinya di tubuhku.
Saat aku terduduk sementara kontolku masih tertancap di dalam liang memek cici, saat itu aku baru sadar kalau lantai ternyata bersimbah lendir yang anyir. Namun yang membuat aku merasa sial-sial enak adalah ketika aku mendadak mengecrotkan lagi pejuhku di dalam memek cici.
Srrr… crot crot crot…. Srrrrr…
Pengecrotan yang kedua ini memang tidak sebanyak yang pertama, namun ngilunya terasa sampai ke tulang sendi lutut hingga bercenat-cenut.
“Ah, dasar lutut sialan.” Makiku dalam hati.