Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Keberuntungan itu Ada : Cerita Angga (Closed)

Status
Please reply by conversation.
Nyatu bener dengan cerita yang pertama :beer: tapi ini menceritakan dari sisi Angga
Ciamik dah sekuelnya :mantap:
 
enak bgt hidupnya angga.. pengen gt jg.
Iya sama.. ane juga pengen Hu.. =))

Nyatu bener dengan cerita yang pertama :beer: tapi ini menceritakan dari sisi Angga
Ciamik dah sekuelnya :mantap:
Makasih banget Om..:sembah:

Ahhh... enak ya jadi angga ngaceng tinggal colok ada yg goyangin... mbak dina sama mbak tika boleh dong kasi mulustrasi nya hu.. (kalo ga repotin)
Mulustrasi? Emm.. belum ketemu yg cocok dan aman..
 
Bimabet
Post 4

Pagi menjelang di desaku. Suara burung dan kokok ayam menyambut awal hari itu dengan cerah dan ceria. Bau hangus orang membakar batu bata mulai menyeruak masuk di indera penciumanku meski aku tahu tempatnya jauh sekali dari rumahku. Memang pagi seperti ini sudah biasa bagiku, dan aku ingin terus mengalaminya sampai aku tua di desa ini. Meski aku tak tahu takdir apa yang akan terjadi padaku tapi setidaknya aku punya cita-cita dan keinginan.


Saat aku bangun kulihat ibuku sudah tak ada lagi bersamaku. Itu sudah setiap hari terjadi sebenarnya. Sehabis subuh ibuku pasti sudah siap di dapur untuk masak dan membuatkan aku kopi. Masih dengan rasa malas untuk bangun, aku tetap memaksa diriku untuk duduk dan menyadarkan pikiranku. Sejenak kemudian aku turun dan mengambil pakaianku, sebenarnya lebih tepatnya hanya celana dalamku saja yang aku ambil dan kupakai. Selebihnya pakaianku masih tertumpuk di bawah tempat tidur seperti tadi malam.

“Bu.. masak apa hari ini?” tanyaku begitu kutemui ibuku sedang masak.

“Lho ya gak masak.. cuma buat sarapan saja, habis ini kita ke rumah pamanmu”

“Ohh iya bener.. lha itu yang di panci apa?” tunjukku ke arah panci yang di atas kompor.

“ya itu sayur yang kemarin.. masih bisa dimakan buat sarapan”

“Walahh.. apa mas Aryo mau makan masakan itu?”

“mangkanya ibu goreng telur.. buat lauknya”

Aku masih duduk melihat ibuku menyiapkan sarapan untuk kami. Meski hanya memakai Bh dan celana dalam saja tapi ibuku dengan santainya menyiapkan segala sesuatunya. Aku tak berpikiran aneh sedikitpun karen aku memang sudah terbiasa melihat ibuku seperti itu di setiap harinya. Entah nanti kalau mas Aryo melihatnya akan seperti apa dalam pikirannya aku tak peduli.

“Lho kok masak bu? Katanya habis ini mau berangkat?” tiba-tiba mbak Tika muncul ke dapur.

Sekilas kulihat tubuh mbak Tika yang hanya memakai celana dalam biru muda itu nampak mulai berisi. Tubuhnya tidak lagi kurus seperti pas masih perawan dulu. Mungkin karena makanan di kota lebih banyak gizinya jadi tubuhnya semakin berisi juga.

“Mbak.. mbak Tika apa sudah hamil ya?” celetukku kemudian.

“Belum.. kenapa Ngga?”

“Ya gapapa.. kok badannya jadi tambah berisi” ucapku sambil menyeruput kopiku.

“Oohhh... ya mungkin cocok susunya, hihihi..”

“Susu apa sih mbak? Memang sama mas Aryo dikasih minum susu terus ya?”

“Iya dong dekk.. hihihi..”

“Walahh.. pantesan..”

“Eh, Tika.. kamu buruan mandi dulu.. habis itu biar Angga sama Dina.. nanti mereka kesiangan lho” ujar ibuku mengingatkan kakakku.

“Ehh, iya bu.. aku mau ke kamar mandi ini”

Selepas itu mbak Tika langsung membawa handuknya ke kamar mandi. Aku dan ibuku kembali berdua di dapur. Kuteruskan saja minum kopi sambil sesekali membantu ibuku menyiapkan tempat untuk hasil masakan.

“Angga.. coba kamu bangunkan Dina.. suruh kakakmu itu lekas mandi”

“Hemm, iya bu..”

Kuletakkan gelas kopi di meja dapur lalu aku berjalan sebentar menuju kamar mbak Dina. Tanpa aku ketuk langsung saja kubuka pintu kamarnya. Memang di rumah kami tak ada kebiasaan mengetuk pintu kamar.

“Mbakk.... mbak Dinaa... bangun... sudah siang ini” ucapku begitu membuka pintu kamar.

“Hooooaaahhhhmmmm.. iyaa..” balasnya, tapi dia tetap berbaring di tempat tidur.

Kulihat dengan jelas kakak perempuanku yang nomor dua itu tengah terbaring di atas tempat tidur tanpa memakai apa-apa lagi. Payudaranya yang bulat membusung itu terpampang bebas. Belum lagi karena posisi kaikinya yang mengangkang membuat belahan kemaluannya ikut terlihat olehku. Hanya saja yang membuatku merasa heran adalah rambut yang biasa kulihat ada di bawah pusarnya itu sudah tidak ada. Jadi kelihatan aneh menurutku.

“Eh mbakk.. jembutnya kok gak ada?”

“Apa? Ini? baru aku cukur tadi sore.. hihihi” balasnya sambil mengelus permukaan kulit memeknya.

“Ohhh.. jadi aneh gitu mbak.. hehe..”

“Aneh? Ya enggak lah.. biar rapi dan gak gatel Ngga.. kalo terlalu panjang jadi gatel pas keringetan...”

“Oohhh.. begitu.. udah cepetan bangun mbakk.. kita pagi ini ke rumah paman lho”

“Iya.. iya.. sudah kamu keluar dulu”

“Iya sudah..”

Akupun berlalu dari kamar mbak Dina. Begitu aku kembali ke dapur kutemui mbak Tika sudah selesai mandi. Tanpa bicara apa-apa dia langsung masuk ke dalam kamarnya.

“Buu.. kok aku melihat susunya mbak Tika jadi besar begitu ya?” ucapku iseng.

“Eh, ya itu wajar Ngga kalau sudah punya suami.. nanti jadi besar lagi kalau perempuan sedang menyusui”

“Ohhh.. begitu...”

“Kamu keluarkan bajumu dari lemari yang ada di kamar mbak Tika.. bawa ke kamar biar ibu setrika dulu”

“Iya bu.. baik”

Aku kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Saat aku berjalan ke kamar yang ditempati mbak Tika, aku berpapasan dengan mbak Dina yang rupanya sudah siap untuk mandi. Kulihat di tangannya sudah menenteng handuk merah dan botol sampo.

Tanpa mengucapkan apa-apa aku langsung membuka pintu kamar yang ditempati mbak Tika dan suaminya. Kembali lagi tak ada kebiasaan mengetuk pintu kamar di keluarga kami.

“Mbak.. minggir sebentar aku mau ambil bajuku” ucapku begitu masuk dan menemukan kakak perempuanku sedang jongkok di depan pintu lemari membuka tas yang dibawanya dari kota.

“Apa? Emang kamu udah mandi?” balas mbak Tika menoleh ke arahku. Kulihat dia hanya memakai celana dalamnya, mungkin dia belum sempat memakai pakaian sehabis mandi tadi.

“Ya belum.. tapi aku ambil dulu biar nanti ibu seterika, masak mau pergi ke acara nikahan bajunya kusut” balasku.

Aku tak peduli pada mas Aryo yang melihat kelakuan kami. Terus terang aku tak menutupi apapun kebiasaan kami yang sudah kami lakukan sedari dulu. Aku tak berusaha terlihat jadi adik yang baik dan sopan padanya. Inilah aku, mau terima atau tidak ya beginilah kami setiap harinya.

“Iya.. iya.. nih kamu ambil saja” mbak Tika kemudian berdiri lalu duduk di samping suaminya yang masih berbaring di atas tempat tidur.

Aku kemudian maju dan membuka pintu lemari. Sebentar kemudian aku mulai bingung mencari cara untuk mengeluarkan bajuku yang ternyata ada di tumpukan paling bawah. Memang baju itu jarang aku pakai karena sengaja aku tak memakainya selain ada acara penting saja. Sesaat berlalu aku masih berusaha menarik baju yang di tumpukan atas, jadilah tumpukannya mulai tidak rapi.

“Lhah.. kok diacak-acak gitu?”

“Susah ngambilnya mbak.. duhh.. di bawah ternyata” rutukku sambil berusaha menarik bajuku keluar.

“Sini.. biar aku yang ambil” akhirnya mbak Tika menawarkan bantuannya.

Dengan cekatan mbak Tika mengeluarkan baju dan celanaku yang berada di tumpukan paling bawah. Memang beda banget cara ambilnya. Meski menarik baju bagian bawah, tumpukan yang atas tidak bergeser sedikitpun. Mungkin kalau aku yang melakukannya pasti semua bajuku ikut tertarik keluar.

“Nihh.. sudah cepet kamu setrika sana.. jangan malah nyuruh ibu”

“Hehe.. iya mbak... aku mandi dulu saja”

Begitu keluar dari dalam kamar yang ditempati mbak Tika, aku teringat kalau ada mbak Dina yang masih memakai kamar mandi. Kuurungkan saja niatku untuk mandi. aku kemudian masuk ke dalam kamar ibuku dan mengeluarkan setrika dari dalam lemari. Jadilah akhirnya aku menyetrika sendiri baju dan celanaku seperti yang diminta mbak Tika tadi.

***

Hari itu acara nikahan di rumah pamanku terlaksana dengan lancar. Banyak sekali anggota keluarga yang hadir, bahkan terbilang lengkap. Tamunya juga banyak yang datang, bahkan dari daerah lain yang jaraknya puluhan kilometer jauhnya. Saking banyaknya tamu yang datang, acaranya selesai sudah larut malam.

Dari pagi sampai acara selesai aku terus bergerak membantu mempersiapkan tempat dan alat-alat untuk makan tamu yang hadir. Memang aku capek tapi hatiku gembira. Sesekali kutemui mbak Dina membantuku, tapi setelahnya dia kembali menghilang ke dalam rumah untuk menyajikan aneka ragam kue.

Sebenarnya selain memperhatikan kebutuhan tamu, aku juga sempat memperhatikan padangan orang-orang yang hadir itu saat melihat mbak Dina. Rupanya banyak yang terpesona dengan kecantikan kakak keduaku itu. Bahkan ada seorang juragan dari desa kami yang ku kenal bernama pak Manto terlihat serius mengamati gerak-gerik mbak Dina. Mulanya aku biasa saja tapi lama-lama aku jadi curiga, jangan-jangan dia mulai tertarik untuk menjadikan mbak Dina jadi istrinya juga. Padahal yang aku tahu pak Manto itu sudah punya tiga orang istri dan semuanya masih cantik.

Begitu acara selesai, kami sekeluarga kemudian pulang bersama-sama. Mas Aryo sengaja tak memakai mobil yang dibawanya dari kota karena dia sengaja ingin jalan kaki sambil melihat situasi desa. Aku pulang bersama ibu dan mbak Dina, sedangkan mas Aryo berada di depan sambil menggendong istrinya. Mungkin aku akan melakukan hal yang sama kalau nanti istriku minta seperti itu.

Ketika kami sudah sampai di rumah, aku dan ibuku langsung masuk ke dalam kamar. Sedangkan mas Aryo membawa mbak Tika ke dalam kamarnya.

“Huhhh.. capek banget ya bu...” ujarku sambil melepas baju dan celanaku.

“Iya Ngga... tapi ibu bahagia, bisa melihat keluarga besar kita ngumpul”

“Bener buu.. memang kita bisanya ngumpul pas ada acara besar begitu sih”

“Iya kamu bener, sudah ayo cepat istirahat... kaki ibu rasanya pegel semua”

“Mau Angga pijit bu?”

“Ya mau lah..”

“Hemm.. bentar ya bu, aku kencing dulu..”

“Iya cepetan.. sudah malam ini”

Aku kemudian keluar dari dalam kamar ibuku. Namun begitu berada di depan pintu kamar aku melihat mas Aryo masih duduk di ruang tamu sambil merokok. Mungkin dia belum bisa tidur. Tanpa kupedulikan suami mbak Tika itu, aku terus berjalan ke belakang rumah karena rasanya air kencingku sudah mau keluar.

Selesai buang air kecil, aku kemudian masuk ke dalam rumah. namun begitu sampai di dapur kutemui mbak Dina sedang merebus air dan di atas meja kulihat ada segelas kopi yang siap diseduh.

“Untuk siapa itu?” tanyaku pada mbak Dina.

“Ohh.. ini.. buat mas Aryo”

“Hemm.. enak nih”

“Kamu mau Ngga?”

“Gak mbak.. aku mau tidur, besok pagi sudah harus ke ladang”

“Ohh.. ya sudah.. cepetan kamu istirahat”

Tanpa menoleh ke belakang lagi aku kemudian lanjut menuju ke kamar ibuku. Kembali kudapati mas Aryo masih duduk sendiri di ruang tamu. Kalau tidak capek mungkin aku akan mengobrol dengannya, tapi untuk malam ini aku rasa lebih baik tidur.

“Mas Aryo belum tidur?” tanyaku basa-basi sebelum masuk ke dalam kamar.

“Belum Ngga.. masih mau nongkrong sebentar” balas mas Aryo yang kulihat menyedot asap dari rokok yang ada di mulutnya.

“Ohh.. lanjut saja mas.. aku ngantuk, ga bisa temenin mas Aryo”

“Emang kamu tidur sama ibu ya Ngga?”

“Iya mas.. ga bisa tidur aku di kamarnya mbak Dina”

“Hehe.. dasar anak manja kamu ini, yasudah.. lekas tidur” ujar mas Aryo kemudian.

“Iya mas..”

Aku tak ada masalah mau dibilang anak manja atau apa oleh mas Aryo. Memang kenyataannya begitu ya mau apalagi. Setelah menutup pintu dan menguncinya, aku kemudian melepaskan celana dalamku seperti biasanya. Tak ada yang berubah pada kelakuanku meski ada mas Aryo di rumah. ibuku juga sama, dia malah lebih dulu berbaring di atas tempat tidur dalam keadaan telanjang bulat.

“Sudah selesai kencingnya?”

“Ehh.. sudah bu.. itu mas Aryo masih duduk di ruang tamu sama mbak Dina”

“Ohh.. ya biarin saja.. sini.. katanya kamu mau pijitin ibu?”

“Hehe.. iya..”

Aku kemudian naik ke atas tempat tidur. Ibuku yang sedang tengkurap seaakan sudah menyiapkan dirinya untuk aku pijit. Akupun tanpa ragu lagi langsung mengurut kedua kaki ibuku dengan tekanan jari agak kuat.

“Aduhh.. pelan Ngga..”

“Hehe... iya bu.. ini sudah pelan kok”

“Maksud ibu jangan kuat-kuat pijitnya”

“Ohh.. iya.. iya..”

Akupun mengurangi tekanan jariku pada kaki ibuku. Sekarang bukan lagi memijat tapi jadi mengelus-elus kedua kaki ibuku. Selesai di betis, pijatanku naik ke paha dan ke pinggang ibuku. Tanganku terus naik sampai di pinggang bagian atas. Posisiku yang berada di samping paha ibuku membuatku agak kesulitan melakukan pijatan. Ibu kemudian menoleh padaku.

“Kamu naik saja di atas pantat ibu Ngga..”

“Eh, gapapa ya bu?”

“gapapa.. kan biar kamu gak susah gitu”

“Ohh..iya bu”

Akupun naik ke atas pantat ibuku. Memang dalam posisi seperti itu aku bisa dengan mudah melancarkan pijatanku pada pinggang dan punggung ibuku. Dari awal aku sengaja tak memakai minyak urut karena kurasa baunya akan mengganggu saat mau tidur nanti.

“Aaahh.. ini baru enak Ngga..”

“Hehe.. iya bu..”

Tanpa terasa batang penisku mendadak tegak mengacung karena bergesekan dengan belahan pantat ibuku. Aku tak peduli dan terus melancarkan pijatanku pada tubuh bagian belakang ibuku.

“Lhoh, kok jadi ngaceng?”

“Hehe.. iya bu.. biarin..”

“Hihi.. kamu mikir apa sih Ngga?”

“gak.. gak mikir apa-apa kok bu.. cuma mungkin karena gesekan sama pantat ibu jadinya ngaceng gini” tuturku jujur.

“Oohh.. ya gapapa... terusin Ngga..”

Tanganku terus menjangkau punggung ibuku bagian atas. Dengan posisiku yang menduduki pantat ibuku, tentu saja ujung kemaluanku sempat terjepit diantara belahan pantat itu. memang tidak masuk ke lobangnya tapi hanya terselip saja.

“Auwww.. kok mau dimasukin ke situ Ngga?”

“Eh, anggak lah bu.. enggak sengaja tadi”

“Ohh.. ibu kira mau dimasukin ke situ, hihii..”

Aku tak membebaskan lagi penisku yang terjepit bongkahan pantat ibuku. Kuteruskan saja gerakanku mengurut tulang belakang ibuku dari bawah ke atas. Meski aku tak sengaja melakukannya tapi gerakanku itu malah membuat kepala kemaluanku seperti berusaha menyodok lobang pantat ibuku.

“Aauuwww.. Ngga.. aahh.. geli..”

“Hehehe.. gak sengaja kok buu..”

Ibuku hanya diam saja sambil menikmati pijatan tanganku di pinggangnya. Tentu saja dia merasa keenakan dengan gerakan tanganku, karena memang pinggangnya terasa capek dibuat kerja seharian tadi.

“Kamu penasaran ya Ngga? mau coba dimasukin ke situ?”

“Apa bu? Ehh.. memang bisa ya?”

“Bisa dong Ngga.. coba kamu masukin saja.. tapi basahin dulu pake ludahmu”

“Ooohhh.. iya aku coba”

Memang aku mulai penasaran setelah ibu bilang penisku bisa dimasukkan ke dalam lobang pantat ibuku. Kuikuti saja perintah ibuku untuk membasahi penisku dengan ludah.

“Cuuhhh...”

Sleepppp... sleepp... kusodokkan kepala penisku.

“Aaauhh.. pelan.. ibu sudah lama gak dimasukin itunya”

“Apa? Sudah lama? Memang ibu dulu sering dimasuki ininya” tanganku memegangi lobang pantat ibuku.

“Ehh.. iya.. itu dulu, pas bapakmu masih ada.. kalo ibu datang bulan bapakmu selalu minta dimasukin yang belakang” ujar ibuku pelan, coba mengatasi kerinduannya pada sosok almarhum bapak.

Kucoba lagi memasukkan penisku pada lobang pantat ibuku. Kali ini kusibakkan kedua pantat ibuku dengan tanganku. Hasilnya lobang pantat itu semakin jelas terlihat dan nampak melongo.

“Aaaahhhhkkkhh... uuuuhhh..” ibuku merintih sebentar.

Cleppp...!!

“Hihhhhh.. kok gini ya bu rasanya.. enak tapi cuma kerasa di ujung saja” ucapku memberi keterangan.

“Hihihi.. ya begitu Ngga... memang gak sama rasanya”

“Iyaa.. masih enak dimasukin ke memek ya bu, hehehe..”

“Aahh.. kamu ini.. sudah.. mau diterusin apa enggak?”

“Ya mau lahh.. kan sudah masuk ujungnya”

“ya sudah.. kamu genjot saja”

Meski cuma masuk ujungnya saja tapi rasanya mulai enak. Apalagi jepitannya sangat terasa sekali di kemaluanku. Aku teruskan dengan gerakan menarik dan mendorongnya pelan-pelan.

“Aaahh.. enak buu.. beneran ini enakk..” ucapku pelan, takut terdengar mas Aryo yang kuyakin masih duduk di ruang tamu.

“Uuhhh...sssshhhh.. iya Ngga.. terusin”

Cloppp... clopp.. clooppp.. clopp..

Lobang itu tidak bisa basah, jadi aku terus memberinya ludahku supaya penisku bisa keluar masuk dengan mudah. Lama kelamaan kuteruskan genjotanku dengan menusuk lobang pantat ibuku semakin dalam. Sampai pada akhirnya semua permukaan penisku amblas ke dalam lobang pantat ibuku.

“Hhohh.. ahh.. aahhh.. terus Ngga.. jadi enak ini.. ah..iya.. iyaa..”

“Iii.. iyaa buuu.. aahhh.. enak banget pantat ibu... ahh.. “

Awalnya berniat memijit ibuku jadinya malah bisa ngentot lobang pantatnya. Sungguh aku beruntung banget. Kuteruskan saja gerakanku sampai akhirnya aku merasakan desakan spermaku menguat. Rasanya pejuhku akan segera muncrat.

“Aaahh.. buuu.. aku cabut yaa??”

“ga usah Ngga... kalo disitu gapapa...”

Mendengar ucapan ibuku, kuteruskan saja genjotanku dengan menekan sekuat tenaga dan kemudian mengocoknya cepat. Hasilnya desaka spermaku semakin kuat. Batang kemaluanku jadi berdenyut-denyut hebar karenanya.

“Huaaahhhhhhh..aahhhh.. keluaar ini buuu... Aaahhhh..”

“Iya Ngga.. muncratin ibumu nakk... keluarin yang banyakk.. aahhh...”

Crroottt.. croott.. croott...

“Aaahhh.. enaaakkk buuuuu...”

Hampir kelepasan aku berteriak. Namun begitu ingat kalau ada mas Aryo di luar aku langsung tutupi mulutku dengan tangan. Begitu juga ibuku, mulutnya dibenamkan di bantal supaya teriakannya tidak terdengar.

Tubuhku bergetar, keringat mulai bercucuran dan penisku berkedut-kedut dengan kuat. Selepas itu tubuhku jadi lemas dan tak bertenaga lagi. Merasa sudah puas, akupun mencabut penisku yang masih tegang itu dari dalam lobang pantat ibuku. Langsung saja kurebahkan tubuhku di samping tubuh ibuku sambil mengatur nafas.

“Sudah Ngga?”

“Haahhhh... iya buuu.. sudahh..”

“Hihihi.. itu imbalan buat mijitin ibu ya Ngga.. sekarang kita tidur”

“Aaahh.. iya buu.. aahhh... tambah lemas aku”

Dengan badan yang mulai lemas dan rasa capek yang hebat, aku akhirnya tertidur dengan pulas. Rasanya badanku tak karuan rasanya. Tapi perasaan puas itu sangat menguasia diriku. Entah apa yang dirasakan ibuku aku tak tau, aku sudah tak peduli.

***

Keesokan paginya aku bangun agak kesiangan. Maklum tadi malam setelah seharian membantu acara pamanku di rumahnya, aku lanjut membuang pejuhku di pantat ibuku. Rasanya badanku masih capek, tapi mau tak mau aku harus bangun dan seger a berangkat ke ladang. Akupun lalu duduk dan mengumpulkan kesadaranku, sesaat kemudian aku mengambil celana dalamku dan memakainya.

Aku cuek saja meski mas Aryo kemungkinan bisa melihat kebiasaanku cuma memakai celana dalam saja sehabis tidur. Aku tak peduli dan tak menjadikan itu masalah. Toh dia juga keluarga kami, apapun yang ada di keluarga harusnya dia bisa menerimanya. Lagipula kulihat kebiasaan mbak Tika juga tak berubah, masih saja dengan bebasnya hanya memakai celana dalam saat berada di dekat suaminya.

Akupun jalan keluar dari kamar. Batang penisku rasanya masih tetap tegak mengeras dan kini mulai terjepit karet celana dalamku. Kupaksakan untuk menuju ke kamar mandi dan buang air kecil. Namun setelah sampai di dapur, aku temui ibuku sedang bicara dengan mbak Tika dan mas Aryo.

“Cepetan mandi.. ibu mau ngomong sama kamu”

“Ahh.. iya bu.. sebentar” balasku malas.

Akupun berlalu meninggalkan mereka. Begitu aku masuk ke dalam kamar mandi bukannya mandi, tapi hanya buang air kecil lalu memakai baju dan celana pendek yang biasa aku pakai bekerja di ladang. Setelah itu aku kembali ke dapur.

“Ini kopinya Ngga” ujar mbak Tika sambil menyodorkan segelas kopi padaku.

“Lha mas Aryo kemana mbak?”

“Itu, lagi di luar.. telfon temen kerjanya”

“Ohh..”

“Ngga.. besok kamu ikut mbak ke kota ya.. mas Aryo mau kuliahin kamu”

“Apaa?? Beneran mbak? Aduhhh.. aku..aku..” seketika keringat dinginku keluar membasahi kening. Aku merasa inilah waktunya aku berpisah dengan ibu dan desaku ini.

“Iya bener.. kamu harus mau Ngga” tandas mbak Tika.

“Kamu nurut saja sama kakakmu Ngga.. ibu sudah setuju kalau kamu pergi ke kota dan kuliah di sana” ucap ibuku menambahi perkataan mbak Tika tadi.

“Tapi... tapi...”

“Kalo kamu sayang sama ibu... lakukan... ibu pengen kamu punya pendidikan yang lebih tinggi dari kakak-kakakmu” tatap ibuku penuh harap, kalau sudah begitu aku tak bisa lagi menyangganya.

“Iya bu.. baiklah” balasku tertunduk lesu.

“Kamu jangan khawatir Ngga.. di kota kan kamu tinggal sama mbak Tika, jadi kalo ga bisa tidur nanti mbak Tika bakal bantuin kamu” ujar mbak Tika sambil menepuk bahuku.

“Maksudnya mbak?”

“ya kan mbak tau kalo kamu masih sering nenen sama ibu.. nanti biar mbak Tika yang gantikan ibu di kota, kamu ganti nenen sama mbak ya.. hihihi...”

“Aahh.. mbak ini.. ya nanti aku pikir-pikir dulu”

Aku duduk termenung di kursi dapur. Kopi yang ada di depanku kuminum pelan-pelan. Selain karena memang masih panas, pikiranku juga lagi melayang tak karuan. Entahlah, ini sesuatu yang membuatku berpikir keras. Aku takut dan ragu untuk pergi bersama kakak perempuanku itu untuk kuliah di kota.

“Ngga.. kamu mau ke ladang ya?” mas Aryo datang lalu duduk di sebelahku.

“Iya mas.. mau lihat tanaman yang ditinggal kemarin”

“Oohh.. mas Aryo ikut ya.. boleh kan?”

“Iya boleh mas.. gapapa kalo mas Aryo mau”

“ya sudah.. mas mau ganti baju dulu.. kamu sarapan aja”

“Iya mas...”

Selepas sarapan, aku dan mas Aryo jadi pergi ke ladang berdua. Sebenarnya kakak iparku itu tidak cocok jadi petani sepertiku. Tapi mungkin karena dia ingin menemaniku jadinya aku biarkan saja. Belum sampai di ladang saja keringatnya sudah mengucur deras. Selain udara di desaku yang panas, matahari juga bersinar terang di pagi itu.

Di sepanjang perjalanan ke ladang, kami melewati rumah penduduk desa. Mas Aryo sepertinya memperhatikan cara mereka berpenampilan. Bagiku bukan sesuatu yang aneh kalau perempuan di desaku hanya memakai Bh dan kain kemben saja, tapi bagi mas Aryo yang merupakan orang kota pasti sedikit aneh.

Sesampainya kami di ladang, mas Aryo lalu duduk di bawah pohon nangka, sedangkan aku lanjut memeriksa tanaman yang rusak. Kuputari semua area ladangku dari ujung ke ujung sambil memeriksa tanaman yang rusak. Aku bersyukur ternyata tanaman yang rusak lebih sedikit dari yang aku tanam bulan lalu.

“Gimana Ngga? Banyak yang rusak apa?” tanya mas Aryo begitu aku kembali mendekatinya.

“Gak mas.. gak banyak kok.. ini sudah bagus daripada bulan kemarin” aku lalu duduk di dekat tempat mas Aryo sambil mengibaskan kaos yang kulepas dari tubuhku.

“Bagus kalau begitu...”

Aku diam sesaat, begitu juga mas Aryo. Sepertinya kami kehabisan bahan pembicaraan. Namun begitu, inilah saatnya aku mengungkapkan isi pikiranku.

“Mas Aryo.. aku mau tanya”

“tanya apa Ngga? Bicara saja kamu”

“Beneran mbak Tika mau ajak aku ke kota?”

“Iya bener, biar kamu bisa lanjut kuliah di sana” balas mas Aryo sambil melihat ke arahku dengan tatapan serius.

“Aku takut mas..” ucapku lirih.

“Lah, takut apa? Kan ada aku sama mbak Tika juga disana”

“Takut gak kerasan saja.. kan aku biasa hidup di desa mas.. kalau ke kota aku takut keadaan di sana” ucapku menunduk sambil membersihkan cangkul.

“Gini lho Ngga.. mbak Tika dulu juga takut aku ajak hidup di kota, tapi semakin lama juga dia bisa adaptasi, memang rasanya menakutkan di awal, tapi lama-lama juga biasa saja” tutur mas Aryo.

“Iya mas.. tapi aku mau berpikir dulu”

“Jangan terlalu dipikir Ngga.. jalani saja, biar hidup ini berlalu seperti biasanya”

Kami kembali diam dan larut dalam pikiran kami masing-masing. Memang rasanya menakutkan sekali pindah dari tempat kelahiran kita. Ada rasa cemas, ada rasa ragu, ada rasa takut yang tak beralasan. Mungkin pertama kalinya dulu mbak Tika pasti merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Entahlah, mungkin ada baiknya kucoba dulu tinggal di kota untuk sementara waktu, kalu memang tidak kerasan ya aku minta pulang saja.

“Dek... yang sebelah selatan kata ibu suruh meninggikan tanahnya” tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara mbak Dina mendekat.

“Wah, iya bener mbak.. aku lupa.. sebentar aku ke sana” aku kembali membawa cangkul lalu berjalan menjauhi mbak Dina dan mas Aryo.

Aku pun menuju ke arah ladang sebelah selatan. Kuperhatikan memang tanah yang sebelah selatan agak turun. Sepertinya air yang mengalir tidak rata membuat kondisi tanang di bagian selatan jadi lebih rendah dari yang tengah. Dengan sekuat tenaga aku kemudian berusaha menambah tanah yang aku keruk dari bagian tengah dan pojok. Kulihat bagian itu memang lebih tinggi dari yang lain.

Beberapa lama kemudian akupun selesai meninggikan tanah di bagian selatan ladangku. Tubuhku jadi penuh keringat lagi dan badanku merasa capek. Akupun bergegas menuju bawah pohon tempat mbak Dina dan mas Aryo berada.

“Sudah selesai dek?” tanya mbak Dina, kulihat pundaknya tengah dipeluk lembut oleh mas Aryo. Memang kakak perempuanku yang satu ini agak suka cari perhatian.

“Iya mbak.. gak banyak kok, cuma satu baris saja” balasku sambil meneguk air minum dari dalam kendi yang dibawa mbak Dina tadi.

Sambil minum aku melirik ke arah mas Aryo dan mbak Dina. Sepertinya mas Aryo terus memperhatikan raut wajahku. Entah apa yang dipikirkannya aku tak tahu. Mungkin ada sesuatu yang mau dikatakannya.

“Angga.. kamu beneran masih suka nenen sama ibu yah?” tanya mas Aryo.

“Ahh.. siapa yang cerita mas? Pasti mbak Dina yah? hehehe.. iya mas.. masih” balasku jujur sambil nyengir salah tingkah. Duhh, kok kakakku jadi cerita kebiasaanku sih.

“Ohh, gapapa sih, makanya kamu suka tidur sama ibu.. pasti tiap malam minta nenen terus yah?”

“Hehe.. gak tiap malam sih mas, kalo lagi pengen saja..”

“Jadi kamu takut pergi ke kota karena takut ga bisa nenen lagi yah?”

“Hehe.. ya gak juga sih mas, tapi kalao itu sih memang iya, gak bisa tidur kalo gak sama ibu” balasku jujur lagi.

“Hihihi.. bener kan mas aku bilang? Gak bisa lepas dari susunya ibu anak satu ini” ucap mbak Dina berniat mengejekku.

“Lha emang gak pernah nyusu di tempat lain? Eh maksudnya sama orang lain?” celetuk mas Aryo kemudian.

“Pernah sama mbak Dina..”

“Kalo sama mbak Tika?” lanjut mas Aryo.

“Pernah juga... tapi gak ada yang enak seperti susunya ibu, hehehe....” balasku kocak. Aku tak tau mau membalas dengan cara apa.

“Wahh.. jadi susunya Dina ini pernah kamu isep juga? duh.. duhh.. rakus banget sih kamu Ngga”

“Iya memang pernah mas.. pas itu ibu pergi menginap di rumahnya paman, sampai jam 1 malam Angga gak bisa tidur.. yaudah aku tawarin aja nenen susuku ini” tutur mbak Dina tanpa ditutup-tutupi.

“Enak yah Ngga bisa nyusu terus? Hahahahaa....” mas Aryo tertawa ngakak.

“Heee.... iya mas.. hehe..”

“Susunya yang ini yah Ngga? Yang kanan apa yang kiri?” tanya mas Aryo lagi sambil meremas susu mbak Dina yang masih terbungkus Bh warna merah itu. Memang setelah mbak Dina duduk tadi, kulihat dia melapaskan baju atasnya.

“Gantian mas.. kiri-kanan.. ibu bilang harus gantian biar ukurannya sama.. gak besar sebelah”

“Hahahaha.. duhh.. Angga.. kamu ini ada-ada aja” balas mas Aryo tertawa ngakak lagi.

“Ehh.. mas Aryo ini cuma bisa ketawa aja, nih liatin putingku jadi bengkak gini”

Mbak Dina kemudian memelorotkan Bh sebelah kiri, otomatis putingnya yang merah pucat itu jadi terlihat di mataku dan mata mas Aryo tentunya. Bagiku sudah biasa melihat puting susu mbak Dina, tapi bagi mas Aryo pemandangan itu kulihat membuat matanya terbelalak tak percaya. Memang mbak Dina itu pintar sekali mencari perhatian laki-laki.

“Halahh.. gapapa Din, itu masih wajar.. ntar kalo kamu punya bayi pasti jadi tambah besar lagi..” kata mas Aryo sambil melihat ke arah puting susu mbak Dina.

“Mas.. kalo aku jadi ke kota trus ga bisa tidur gimana? Masak mau nenen sama mbak Tika?” tanyaku memastikan.

“Emm.. gimana ya Ngga? Emang mbak Tika masih mau?” kulihat mas Aryo mulai berpikir keras.

“ya pasti mau.. kan dia dulu sudah janji, kalau aku ditinggal ibu biar dia jadi gantinya”

“Ohh.. yaudah, kalo memang mbak Tika mau sih aku juga gapapa.. asal beneran kamu mau ke kota”

“Hihihi.. iya mas, ajak ke kota aja.. daripada susuku jadi tambah besar dikenyot sama Angga terus...” timpal mbak Dina tanpa ada yang menanyainya.

“Lahh.. kan gak sering mbak, paling sekali dua kali saja.. mbak Dina ini suka adu domba sih” protesku pada ucapan kakak perempuanku itu.

“Hehehe.. kalian ini memang sukanya ribut terus, eh.. ini sudah selesai apa belum Ngga? Kalo sudah selesai mending kita cepat pulang.. bisa hitam kulitku kalo disini terus” ajak mas Aryo kemudian.

“Sudah kok mas.. yukk kita pulang saja”

“Ayukk..”

Aku dan mbak Dina kemudian membereskan barang-barang yang tadi kami bawa dari rumah. Mas Aryo sedikit membantuku dengan membawa sabit, sedangkan aku masih tetap membawa cangkul. Mabk Dina kulihat memakai lagi kaos yang dilepasnya, setelah itu kendi tempat minun tadi diambil dan dibawanya lagi.

Malam ini malam terakhir aku berada di desa. Besok aku sudah akan pergi ke kota bersama kakak perempuanku dan suaminya. Entah kapan aku akan bisa pulang lagi, tapi sepertinya mbak Tika memberiku kemudahan kalau aku gak betah di kota dan mau pulang lagi. Itulah kenapa aku jadi sedikit tenang dan tidak terlalu memikirkan nasibku berada jauh dari desa tempat kelahiranku.

“Buu.. kalo aku nanti kangen gimana?”

“ya kan ada telfon, bisa keluar gambarnya juga.. kamu tinggal telfon ibu kan bisa”

“tapi.. tapii... hheehhhh...”

Aku sudah bersama ibuku lagi malam ini. kami berdua sudah berada di atas tempat tidur seperti malam-malam lainnya. Kupeluk tubuh telanjang ibuku dengan penuh sayang, rasanya aku semakin tak ingin meninggalkannya. Ibuku terus memberiku pesan kalau laki-laki itu harus berani dimanapun dia berada. Laki-laki itu harus kuat untuk nantinya memberi nafkah buat istri dan anak-anaknya. Semakin ibuku memberi pesan, semakin menangislah aku. Kusembunyikan mukaku di bawah ketiak ibuku sambil air mataku berurai jatuh ke pipiku.

“Sudahh.. sudahh.. biar kamu gak sedih begini apa mau burungmu itu masuk lagi ke memek ibu?”

“Gak bu.. aku pengen begini saja sampai pagi”

“ya sudahh..”

Kami dalam posisi miring saling berhadapan. Kupeluk ibuku dan tak ingin kulepaskan sedikitpun. Kubenamkan kepalaku pada ketiak ibuku hingga bulatan payudaranya menekan wajahku. Harumnya tubuh ibuku akan kurindukan. Sentuhan kulit kami, belaian lembut tangannya dan suara lembut ibuku terus kucoba merekamnya dalam otakku supaya aku bisa terus ingat padanya.

“Buuu... ini kenapa kok malah nangis?” tiba-tiba mbak Dina ikut masuk ke dalam kamar.

“Biarkan saja.. adekmu besok sudah pergi ke kota..” ucap ibuku pelan.

“Walahhh.. sampe segitunya kamu ini Ngga..”

“Ahh.. biarin mbak.. mbak Dina gak tau rasanya mau pergi jauh dari keluarga” balasku tetap menyembunyikan mukaku yang basah karena air mata.

“Hihihi.. udah gede kok masih nangis aja.. kalah sama bayi” ejek mbak Dina padaku.

“Biarin..”

“Hihihi.. sudah ahh.. kamu jangan cengeng gitu dekk.. biasa saja.. nanti juga kamu kembali kesini.. kayak mau pergi selamanya saja”

“Ehh.. Dina.. kamu ini ngomong apa sih? sudah kamu jangan ganggu adekmu.. pergi sana” akhirnya ibuku malah mengusir mbak Dina.

“Iya.. iya.. aku keluar saja kalo begitu”

Selepas kepergian mbak Dina, aku terus berusaha memejamkan mata. Kucoba membuat waktu cepat berlalu sehingga aku tak lagi punya perasaan galau dan gamang seperti ini. aku ingin cepat pagi menjelang karena ingin kuhadapi kenyataan yang ada dengan gagah berani. Namun sebelumnya untuk yang terakhir ini aku ingin tidur dalam pelukan ibuku seperti yang dulu kami biasa lakukan.

***
Bersambung lagi ya Gaes ^_^

Semoga semuanya tetap sehat dan lancar apa yang diusahakan.
Kayanya kak aryo sudah nenen juga sama mbak dina yah @Deriko 🤭
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd