Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Keberuntungan itu Ada (Closed)

Status
Please reply by conversation.
Post 9

Jam 7 pagi aku sudah berada di tempat kerjaku. Itupun aku sudah sempat mengantarkan dulu Vina ke kantornya. Memang kami berangkat sekitar pukul 6 pagi, jadi aku masih punya waktu untuk mengantarkannya.

Setengah jam kemudian datanglah pak Teja, dia itu atasanku langsung. Juga atasan kedua temanku yang lain, Budi dan Irwan. Dia langsung masuk ke dalam kantorku lalu berdiri memandangi kami bertiga yang sudah terhanyut dalam rutinitas pekerjaan kami.

“Gaes dengerin dulu.. aku ada kabar gembira ini” ucap pak Teja melihat kami.

“ada apa sih pak? Pagi-pagi kok sudah heboh begitu?” tanya Budi kemudian.

“Ah gini, Budi sama Irwan besok kalian pergi keluar kota, ada pelatihan buat kalian”

“Dimana pak?” tanyaku.

“Di hotel Sinar Bulan, sama seperti tahun lalu”

“Haduhh.. bos sepertinya saya gak bisa nih bos.. istri baru melahirkan sebulan yang lalu, belum berani pergi jauh saya bos” ucap Irwan berusaha menolak dengan halus.

“Lha terus siapa gantinya?”

“Itu, biar Aryo saja yang berangkat”

“Ehh... gak bisa bos.. istri saya masih hamil” elakku.

“Loh, yang hamil kan istrimu, bukan kamu kan?”

“Iya sih bos.. tapi..”

“Udah pokoknya besok Budi sama Aryo yang berangkat, aku gak terima penolakan lagi” ucap pak Teja tak bisa kami bantah.

Atasan kami itu lalu pergi dari ruangan kami tanpa berkata apa-apa lagi. Memang sudah sering kami menemui pak Teja tak bisa dibantah kalu sudah punya keputusan. Jadilah aku sekarang yang kebingungan, bagaimana aku harus memberi alasan pada istriku di rumah.

“Bro.. besok aku pergi sama Nina, kamu jangan bilang ke pak Teja yah! biar aku yang atur semuanya” ucap Budi setengah berbisik padaku.

“Iya deh Bud, terserah kamu.. aku mau bicara dulu sama istriku”

***

Keesokan harinya jadilah aku dan Budi pergi mengikuti pelatihan selama dua hari di luar kota. Istriku pertamanya memang tak setuju aku pergi, tapi mau gimana lagi kalau itu memang sudah keputusan dari atasan.

Jam 4 sore kami sudah tiba di tempat kami menginap. Dengan menumpang sebuah minibus, kami bertiga datang bersamaan. Budi, Nina dan aku. Rupanya tempat menginap kami itu adalah sebuah rumah sewa yang bisa digunakan oleh siapa saja yang membayar biaya yang sudah di tentukan. Kembali aku menemukan kecerdikan perusahaanku, kami sengaja disuruh menginap di Home stay bukannya di kamar hotel tempat pelatihan. Tentu saja biaya menginap kami akan jauh lebih murah daripada kami menginap di hotel.

Aku yang paling pertama menurunkan barangku, hanya sebuah tas ransel yang berisi laptop dan beberapa pakaian yang akan aku butuhkan selama pelatihan. Budi dan Nina sepertinya membawa barang agak banyak. Sebuah koper besar yang isinya entah apa tengah di turunkan oleh Budi dari bagasi minibus yang kami tumpangi.

Sementara aku duduk di pinggir jalan sambil merokok, tiba-tiba ada orang dari perusahaanku yang datang menemuiku. Dia agak kebingungan mencariku, entah apa maunya.

“Pak Aryo mana yah?”

“Saya.. ada apa mas?” jawabku sambil berdiri.

“Ohh.. maaf pak, ini saya minta tolong sekali..”

“Iya ada apa mas? Cerita saja” balasku.

“jadi begini pak, saya ada titipan orang dari kantor cabang, rencananya dia akan kami inapkan di hotel dekat sini... tapi ternyata ada rombongan dari pemerintahan yang kebetulan datang.. jadi terpaksa bookingan kita dicancel” tutur lelaki di depanku.

“Lahh.. ya kita protes dong mas, yang duluan booking kamar kan kantornya kita.. masak kita suruh mengalah?”

“Ya maunya kita juga begitu pak, tapi mau gimana lagi.. dari pihak hotel gak bisa membantu”

“Hotel yang lain kan banyak, kenapa gak ganti tempat saja?” ucapku lagi.

“Sudah.. kami sudah cari hotel lain tapi penuh pak.. memang ada tapi lumayan jauh, nanti malah kasihan cari transportasinya”

“Hemm.. ya sudah, sekarang saya bisa bantu apa ini?” tanyaku.

“Kami terpaksa menginapkan orangnya bersama pak Aryo dan pak Budi di Home stay”

“Tunggu.. sebentar aku tanya Budi dulu...”

“Oh iya pak silahkan..”

“Bud, ini ada orang satu lagi mau ikut tinggal sama kita, boleh gak?” tanyaku pada Budi yang tengah ngobrol berdua dengan Nina.

“Boleh aja.. asal satu kamar sama kamu lahh, hahaha...”

“Sial lu Bud... yaudah mas.. mana orangnya suruh kemari, kami sudah mau jalan ke Home Stay”

Lelaki itu kemudian pergi dan sebentar kemudian datang lagi bersama dengan seorang gadis. Ini yang aku tak menduganya, ternyata orang yang mau dititipkan bersama kami itu ternyata seorang perempuan. Karena kami sudah bilang setuju akhirya kami menerima saja meski ternyata dia seorang perempuan.

“Ini pak orang dari kantor cabang”

“Eh iya mas..”

“Saya tinggal dulu ya pak, masih banyak kerjaan yang harus saya selesaikan sore ini”

“Iya mas, silahkan”

Sepeninggal orang perusahaan itu, aku masih berdiri menatap seorang perempuan muda di depanku. Wajahnya cantik dengan bentuk muka bulat dan matanya sipit. Sore itu dia memakai kerudung hitam dengan paduan kemeja lengan panjang warna putih dan celana bahan warna krem. Khas seragam kantor cabang.

“Namamu siapa dek?”

“Saya... saya.. Sandrinta pak”

“Panggilannya?”

“Rinta”

“Ohh.. Rinta.. umur berapa?”

“Masih 22 tahun pak, menuju 23..”

“Iya pasti dong, gak mungkin menuju 17 tahun umurnya.. hehehe..” candaku.

“Hihi.. iya bapak bener”

“Eh, jangan panggil pak dong, aku masih muda kok dipanggil bapak.. mas aja lah biar lebih akrab” ujarku.

“Hihi.. udah kebiasaan di kantor sih pak, eh.. mas.. lagian kan bapak ini jabatannya lebih tinggi dari saya” balasnya malu-malu.

“Gakk.. ga ada itu, panggil aja mas.. gapapa kok”

“Emm.. iya deh mas”

“yaudah, ikut aku.. kita jalan ke tempat penginapan”

Kami sekarang berempat, Budi dan Nina jalan duluan. Mereka tampak mesra bergandengan tangan berjalan bersama. Ini kalau istri sah-nya budi lihat pasti udah perang aja mereka, batinku. Sedangkan aku mengekor di belakang mereka dengan langkah santai karena sambil menunggu Rinta berjalan di belakangku. Rupanya dia masih saja merasa canggung dan malu jalan bersamaku.

Tak lama kemudian kami berempat sudah tiba di sebuah rumah yang akan kami gunakan untuk tinggal sementara selama dua hari kedepan. Rumah itu tampak sederhana dari luarnya. Ketika kami sudah masuk ternyata kondisi di dalamnya tak kalah dengan kamar hotel. Bahkan menurutku lebih luas dan pemandangannya lega.

Budi dan Nina langsung masuk ke kamar yang berada di belakang, sedangkan aku kebagian kamar yang depan. Tentu saja situasi kamarnya tak jauh beda, hanya saja mereka memilih kamar yang belakang pasti ada tujuannya. Apa lagi kalau bukan ingin lebih merahasiakan hubungan mereka. Aku yakin selama Budi dan Nina disini pasti mereka akan rajin negentot setiap ada kesempatan.

“Pak.. eh.. mas.. saya tidur di sofa saja yah, biar gak ganggu bapak” ucap Rinta sambil menaruh tasnya di atas kursi sofa.

“Gak.. jangan.. lebih baik kamu masuk aja ke kamar, daripada kamu menyesal” balasku.

“Menyesal gimana sih mas maksudnya?”

“Udah pokoknya kalo kami tidur disini bakal menyesal, kamu akan tersiksa banget” aku masih menahan untuk cerita betapa hebohnya dia kalau bisa mendengar Budi dan Nina bersetubuh nanti malam.

“Kok gitu sih pak.. eh.. mas?” mulai ada raut muka ketakutan di wajah Rinta.

“makanya kamu masuk aja, aku gak bakal macem-macem kok.. percaya deh, aku janji”

“I..iiya pak.. eh.. mas..”

Rinta kemudian dengan terpaksa memasukkan barang-barangnya ke kamar yang aku tempati. Mungkin dalam pikirannya masih bertanya-tanya tentang keanehan yang aku bicarakan tadi. Mungkin dipikirnya rumah ini berhantu.

Jadilah sore itu aku dan Rinta berada dalam satu kamar. Aku sudah duduk di atas tempat tidur sambil membalas pesan yang masuk ke Hpku. Beberapa kali aku lihat gadis itu sedang mondar-mandir seperti memikirkan sesuatu yang membuatnya bingung. Setelah ke empat kalinya dia berjalan seperti setrikaan, aku menghentikannya.

“Rinta! Woeeyy..”

“Ehh... aa.. apa mas?”

“Duduk sini.. pusing aku liatin kamu kayak setrikaan gitu”

“Iya pak.. eh, mas..”

“Udah duduk aja, jangan mondar-mandir lagi.. ada apa sih sebenarnya?” tanyaku menatap kedua matanya.

“Enggak mas.. ga kenapa-kenapa kok”

“Kamu takut yah sekamar sama orang asing? sama laki-laki bukan muhrim kamu”

“Bukan.. gak kok.. cuma.. cuma..”

“Cuma kenapa? gak nyaman aja, atau gak bebas?” cecarku berikutnya.

“Iya, gak bisa bebas mas”

“Duhh.. kenapa emang? Kamu mau ganti baju, atau mau mandi?”

“Mau ganti baju mas”

“yaudah, apa aku pergi keluar dulu biar kamu ganti baju?”

“Enggak, nanti malah merepotkan mas”

“Kalo gitu kamu masuk aja ke kamar mandi.. kan bisa ganti baju disitu” ucapku menunjuk pada kamar mandi yang ada di dalam kamar.

“Iya mas.. aku ganti baju dulu”

Rinta kemudian berdiri lalu membawa baju gantinya ke dalam kamar mandi. Aku masih tetap duduk bersandar di atas tempat tidur. Memang berat rasanya tinggal sekamar dengan orang yang baru kita kenal, apalagi kalau kita lawan jenis. Tapi aku memang biasa saja ada Rinta satu kamar denganku, aku tak menganggap dia orang lain, mungkin kami hanya perlu sedikit waktu untuk lebih akrab.

“Nahh.. sudah kan? Gitu aja repot kamu ini”

Rinta keluar dari kamar mandi sudah berganti pakaian. Dia kulihat memakai kaos putih dengan bawahan celana pendek sebatas lutut. Hanya saja kepalanya masih tertutup jilbab hitam yang dipakainya tadi. Aku rasa gadis itu masih malu-malu berada di dekatku.

“Rinta.. kamu ini aneh juga, masak pake kaos pendek, trus celana pendek.. tapi jilbab masih dipake, duhh... gaya apa sih kamu itu?”

“Hihihi.. emang kalo dilepas gapapa ya mas?”

“Lhoh ya terserah kamu Rin.. aku sih biasa aja”

“Emmm..”

“Aku yakin kamu kalo di rumah pasti ga pake jilbab ya Rin? Pake kalo di kantor aja.. ya kan?”

“Eh, iya mas bener”

Rinta tanpa ragu kemudian melepas jilbab hitam yang dipakainya. Sejenak aku memandangi Rinta dengan kondisi tanpa penutup kepala. Ternyata di balik jilbabnya itu dia memotong rambutnya pendek. Ujung rambutnya hanya sebatas tengah lehernya saja. Menurutku sih gadis itu memang cocok dengan potongan rambut pendek itu, semakin membuatnya anggun sekaligus manis.

“Rinta.. kamu duduk sini aja, jangan jauh-jau, ntar ilang lagi..”

“Hihi.. iya mas”

“Kamu udah punya pacar belum?”

“Belum kok mas.. masih single”

“Belum ada yang cocok apa gimana?

“Masih belum ada pikiran buat cari pacar lagi”

“Ohh.. berarti dulu pernah pacaran yah?”

“Iya mas.. sering”

“Hahaha.. memang wajahmu itu bukan wajah polos Rin.. wajah pengalaman malahan” candaku sengaja ingin mencairkan suasana.

“Ihh.. mas Aryo ini ada-ada aja, iya sih mas... banyak yang bilang kek gitu”

“ya kan!? Bukan aku aja yang bilang..”

Kami berdua kemudian terlibat pembicaraan yang akrab. Jarak antara kami semakin lama semakin mendekat, sampai-sampai Rinta sudah berani memegang tanganku saat dia tertawa. Sebenarnya Rinta itu tipe gadis yang periang, cekatan dan lincah. Mungkin pertama tadi dia masih canggung berada di dekatku.

Beberapa lama kemudian Budi mengirim pesan padaku. Dia bilang makanannya untuk malam ini sudah datang. Aku kemudian mengganti pakaianku dengan celana pendek saja tanpa memakai apa-apa untuk menutupi tubuh bagian atasku. Aku sengaja mengganti pakaianku di dekat Rinta, karena aku cuek saja pada keberadaannya. Toh aku juga tak punya maksud apa-apa padanya.

Sebaliknya Rinta malah merasa malu melihatku. Dia memalingkan mukanya saat aku melepaskan baju, tapi setelah aku terlihat cuek dia kemudian kembali biasa saja. Bahkan saat aku hanya memakai celana dalam pun dia sudah berani terang-terangan menatap ke arahku.

“Tubuhnya mas Aryo ini bagus lho” cuma itu yang terucap dari bibirnya. Kubalas dengan senyuman saja.

Kami berdua kemudian keluar dari kamar. Aku dan Rinta berjalan menuju ke meja makan. Ternyata di situ sudah ada Budi dan juga Nina. Kulihat malam itu Nina tampak seksi memakai tanktop ketat tanpa Bh. Bawahannya pun hanya celana pendek ketat yang jelas memamerkan bentuk bulatan pantatnya.

“Lu kalo di rumah suka cuma pake celana pendek aja ya bro?” tanya Budi padaku.

“Iya sih.. nyaman aja” balasku santai.

“Trus itu Rinta gak papa emang?”

“Hihi... saya gapapa kok pak” balas Rinta sambil meringis malu.

“Duhh.. panggil mas aja.. dia itu lho belum punya anak” ujarku menyangkal ucapan Rinta.

“Eh, iya mas..”

Kami berempat kemudian makan bersama. Masakan yang tersaji di depan kami malam itu memang terasa enak, tapi entah kenapa aku malah merindukan masakan istriku. Aduh, bisa kacau nih pikiran kalau terus begini. Aku kok jadi mengidap penyakit merindukan rumah jadinya, padahal belum ada sehari aku pergi.

Selepas makan, Budi pergi keluar untuk merokok dan menikmati udara segar. Sedangkan aku dan Nina masih berada di depan meja makan sambil melihat Rinta membereskan sisa makanan kami.

“Mas, lu jangan ember yah, jangan ceritain kejadian itu” ucap Nina di telingaku.

“Lahh.. emang ngapain aku cerita Nin? Untungnya apa buatku coba?”

“Pokoknya jangan ya mas.. kalo mas Budi tau bisa-bisa aku ga punya penghasilan lagi”

“Emang kenapa sih Nin?”

“Duhh, mas Aryo tega ngeliat janda kayak aku ini ga bisa makan?”

“Hehe.. iya deh Nin.. janji, kamu juga jangan ember, ntar kelepasan lagi”

“Enggak lah mas.. ini urusan nasib soalnya”

“Hahahaha...”

Kami kemudian bubar dari meja makan. Aku masuk ke dalam kamar lalu berbaring di atas tempat tidur. Rasanya badanku capek banget malam itu. Mungkin karena dua hari yang lalu aku baru saja pergi ke desanya istriku terus hari ini sudah harus pergi jauh lagi. Sambil rebahan di atas tempat tidur aku menyalakan Tv sambil melihat berita dalam negeri yang isinya tentang politik semua.

“Mas.. kok belum tidur?” Rinta ikut masuk ke dalam kamar.

“Iya Rin.. badanku pegel-pegel.. jadi ga bisa tidur”

“Ohh.. sini mas, biar aku pijit aja.. mau?”

“Ya mau dong Rin.. tapi yang enak yah, jangan keras-keras”

“Beres mas” ucapnya tanpa ragu-ragu.

Aku kemudian membalik posisi tubuhku jadi tengkurap. Rinta pelan-pelan naik ke atas tempat tidur lalu mendekatkan dirinya padaku. Sesaat kemudian tangannya mulai terasa memijiti punggungku lalu turun ke area pinggangku. Badanku yang memang capek mulai terasa nyaman dengan pijatan Rinta. Tangannya memang lembut tapi tekanannya cukup terasa di badanku.

“Belajar dimana kok enak banget pijatan kamu?”

“Hihi.. dari ayahku mas.. dia suka kalo aku yang pijit” balasnya santai.

“Ohh.. berarti kamu anak kesayangan ayah dong?”

“Iya mas.. memang aku anak tunggal kok”

“Lahh.. sama dong, aku juga anak tunggal”

“Mas, emm.. boleh pake body lotion gak? Biar licin aja” tanya Rinta kemudian.

“ya boleh aja dong Rin.. malah enak”

Rinta kemudian mengambil lotion miliknya yang ada di atas meja. Diapun lalu kembali mendekatiku untuk membalurkan lotion itu.

“Eh Rin, bentar.. aku lepas celanaku gapapa yah? soalnya cuma ini yang aku bawa, kalo kotor ga ada gantinya”

“I.. iiya mas.. gapapa” ada sedikit keraguan dari jawabannya.

Meski melihat Rinta tampak ragu, aku tetap saja dengan cuek melepaskan celana pendek yang aku pakai. Kini aku kembali tengkurap di atas tempat tidur hanya memakai celana dalam saja. Kupikir apa yang aku lakukan tidak terlalu jauh dan memang dalam pikiranku tak bermaksud cabul pada Rinta.

“Rinta.. naik aja di pinggangku, gapapa kok... biar kamu lebih enak pijitnya”

“Emm.. iya mas... maaf yah”

Rinta sudah mulai berani mengambil inisiatif, dia tak canggung lagi untuk menaiki pinggangku. Tubuhnya tak terasa berat, karena memang Rinta itu punya perawakan kecil. Hanya saja pantatnya terlihat besar dan membusung.

“Ahh.. gini dong jadi tambah enak”

“Hihi.. bener mas”

Tanpa ragu lagi Rinta mulai membalurkan lotion pada tubuh bagian belakangku. Gerakan tangannya begitu lincah dan terarah, aku jadi merasa semakin nyaman dibuatnya.

“Duhh.. itu celana kamu jangan digesek ke pinggulku Rin... perih dong jadinya” protesku kemudian.

“Lah, maaf mas..”

“Gimana kalo kamu lepas aja, masih pake daleman kan kamunya?” saranku.

“I..ii..iya sih mas.. tapi...”

“Gapapa kok Rin... kamu biasa aja, ga bakal aku horni juga sama kamu”

“Oh.. iya mas, gapapa aku lepas aja”

Sungguh diluar bayanganku balasan dari Rinta. Aku pikir dia bakalan menolak permintaanku tadi. Sekarang Rinta malah dengan kemauannya sendiri berusaha melepas celana pendeknya. Saat aku toleh ke arahnya, kulihat Rinta sekarang hanya memakai celana dalam biru muda untuk bawahannya. Sedangkan kaos lengan pendeknya itu masih melekat di badannya.

Saat tengah berusaha mengeluarkan lotion dari botolnya, tanpa sengaja tekanan tangan Rinta terlalu kuat sampai cairan lotion itu muncrat di badannya. Untungnya cuma mengenai kaos di bagian dadanya.

“Ehhh... aduhhh..”

“Kenapa Rin??”

“Ini mas.. lotionnya muncrat, mana kena bajuku lagi.. ahh... jadi lengket nih”

“Itu masih lotion yang muncrat Rin.. belum yang lain, hehehe..”

“Ihh.. mas Aryo ini apaan sih? geje tau gak!?”

“Canda Rin.. canda aja”

“Bentar ya mas, aku ganti baju dulu”

“Eh, mendingan kamu lepas aja.. ntar habis mijit baru kamu ganti”

“Iya juga sih mas...”

Sekarang situasi sudah semakin jauh bagi kami. Keberuntungan kembali berada dalam diriku. Rinta dengan kemauannya sendiri mulai melepaskan kaos putih yang dipakainya. Tanpa kendala yang berarti aku sudah bisa melihat payudaranya yang masih terbungkus Bh warna krem itu. Bener-bener montok, tak kalah dengan punya Dina, adik iparku.

“Lanjutin dulu Rin.. biar cepet selesai.. udah malam ini” ujarku mengembalikan pikirannya pada diriku.

“Iya mas, aku udah mulai ngantuk juga kok”

Malam itu jadilah kami berdua berada di atas tempat tidur hanya memakai dalaman saja. Tak ada satu paksaan dariku pada Rinta untuk melepaskan pakaiannya. Mungkin keadaan mendukungku dan aku tinggal melancarkan ucapan pancingannya. Dia masih terus memijat bagian belakang tubuhku, mulai dari punggung sampai mata kakiku. Rinta malam itu berubah jadi pemijat dadakan. Tentu saja buatku seorang, tak akan kubiarkan Budi ikut merasakannya. Toh dia sudah ada Nina yang siap melayaninya.

Hampir setengah jam lamanya Rinta memijat tubuhku. Aku merasa sudah cukup dan kemudian menyuruhnya selesai. Rinta pun turun dari atas tempat tidur lalu hendak mencari pakainnya lagi di dalam lemari baju, tempat menaruh pakaian selama tinggal di sini.

“Rinta.. kamu kemana sih? gitu aja gapapa kalo mau tidur” ujarku melihatnya.

“Mau ke dapur mas cari air minum”

“Ohh.. kamu gitu aja gapapa.. gak bakalan ada yang lihat kok”

“Gak ahh mas.. ada pak Budi sama mbak Nina”

“Udah deh percaya sama aku, mereka pasti lebih parah dari kamu yang masih pake daleman” ucapku sambil tersenyum.

“Maksudnya mas Aryo?”

“Sekarang kamu keluar aja ke dapur, nanti bakal tau sendiri”

“Beneran ya mas? Kalo ada apa-apa tanggung jawab”

“Iya... aku pertaruhkan jabatanku Rin..”

Rinta dengan penasaran akhirnya keluar juga dari dalam kamar. Dia memberanikan diri keluar hanya memakai Bh dan celana dalam saja di tubuhnya. Aku yakin dia sebentar lagi saat balik ke sini pasti terkejut dengan apa yang dia temukan nanti. Sambil masih menunggu Rinta balik, tiba-tiba terdengar nada panggilan di Hpku. Akupun menerimanya karena kulihat istriku yang menelfon.

“Hallo dek..”

“Haalloo maass.. Ahh..” agak aneh menurutku suaranya.

“Tumben belum tidur?”

“Ihh.. iya nih mas... lagi sama Angga”

“Ohh.. sama Angga, emang Vina gak kesitu dek?”

“tadi kesini mas.. udah.. udah.. ahh.. balik” balasnya dengan terbata-bata. Aku semakin curiga.

“Duhh.. ini pasti kamu lagi ngentot yah? enak banget kayaknya?”

“Hihihi.. kok tau mas.. iya nih.. aahh.. Angga nakal banget sih massshhh..”

“Halo mas.. hehehe..” suara Angga tiba-tiba terdengar, berarti panggilan ini pakai loudspeaker di sana.

“Ngga.. kamu apain mbak Tika? Hayoo...”

“Biasa mas.. gatel katanya.. hehehe..”

“Dasar kalian ini mesum terus kelakuaannya”

“Gapapa ya mas? Sama-sama enak kok”

“Sama-sama enak palamu itu! eh ati-ati.. kalo ada apa-apa sama Tika kamu aku gantung pokoknya” ancamku pada Angga.

“Hehehe.. siap mas, ini pelan-pelan kok”

“Ahh.. iya massshh.. aahh.. enak banget mass.. memekku becek banget.. ahh” desah istriku tanpa malu-malu.

“Aduhh.. yasudah pokoknya hati-hati aja, jangan sampe pengaruh sama kandungannya”

“Iya mashh... ooohhh.. enak banget kontolnya Angga mas.. aahh..”

“Hehehe.. dasar perempun binal kamu dek, ya sudah kalian lajut dulu, jangan kemalaman”

“Iya mas.. siap” jawab Angga. Kemudian setelahnya dia mematikan telfon.

Aku kembali terdiam dan tenggelam dalam pikiranku sendiri. Entah keputusanku membiarkan mereka bersetubuh itu benar atau tidak aku masih bingung juga. Tapi untuk sementara waktu ini biarlah istriku menikmati kebersamaan mereka. Tanpa aku larang pun pasti suatu saat mereka akan berhenti melakukannya.

“Mass.!!!”

Brakk..!! Pintu tertutup dengan kuat.

“Hehh... ada apa sih Rin? Kayak liat setan aja”

“Itu.. itu.. mereka.. itu..”

“Itu apa? Ngentot?”

“Iya mas.. bener, aku dengar mereka berdua lagi ngentot di kamar” ucap Rinta masih berusaha mengendalikan rasa kagetnya.

“Trus emangnya kenapa Rin? Kan mereka sama-sama dewasa”

“ya itu pak.. kok bisa-bisanya yah mereka berbuat itu?”

“Mas dong Rin.. bukan pak.. hehh”

“Iya mas... hihihi”

Aku kemudian bagun dari tempat tidur. Tanpa memakai celanaku lagi aku langsung menuju ke depan pintu kamar mereka. Aku tahu pasti mereka sedang ngentot, suaranya sampai terdengar jelas dari luar kamar.

“Oii.. lu kalo ngentot jangan keras-keras dong suaranya” teriakku dari depan pintu.

“Biarin.. kalo pengen sini.. gabung aja” balas Budi dengan teriakan juga.

“Gak ahh.. lu habisin aja punya Nina itu sendiri”

“Yeee.. yang punya barang baru” suara Nina mualai terdengar.

“Barang baru ga bisa dipake Nin.. bahaya”

“Enak tuh yang bahaya, bisa ilang jabatan lu”

“Ngehe’ lu Bud..”

Akupun pergi dari muka kamar mereka. Aku menuju dapur untuk mencari minum terlebih dulu sebelum kembali ke kamar.

“Eh, kok Rinta udah ga ada?” gumamku begitu aku masuk ke dalam kamar tak menemui Rinta.

Aku kemudian kembali membaringkan diri di atas tempat tidur sambil membuka pesan yang masuk lagi. Agak lama aku terbaring sambil fokus membaca pesan yang masuk, apalagi menyangkut pelatihanku besok pagi. Tiba-tiba dari arah kamar mandi terdengar suara yang cukup keras.

Dukkk!!!

Akupun langsung loncat dari tempat tidur kemudian buru-buru membuka pintu kamar mandi yang ada di dalam kamar. Saat aku buka ternyata ada Rina di dalamnya. Kini akhirnya aku bisa melihat tubuh telanjangnya. Bh dan celana dalam yang tadi dipakainya sudah tak ada lagi, kutemukan dua benda itu tergantung di jemuran handuk.

“Aduhh Rintaaaa.. ngapain sih kamu ini?”

“Ahhh.. aku ga tahan masss..”

Kulihat Rinta masih duduk mengangkang di atas kloset. Bukannya dia buang air besar tapi malah mengocok memeknya dengan ujung botol shampo miliknya. Bener-bener gila aja gadis satu ini. Sekamar dengan orang yang baru dikenalnya tapi sudah berani colmek di dalam kamar mandi. Mungkin benar katanya, dia sudah tak tahan lagi.

“Kamu gapapa kan?”

“Gapapa mas.. tadi cuma kepeleset dikit, hihihi..”

“Ahh, yaudah.. ati-ati aja.. bikin aku kaget aja kamu ini”

Kututup lagi pintu kamar mandi. Sengaja kubiarkan Rinta menikmati dunianya sendiri di dalam kamar mandi itu. Aku kembali rebahan di atas tempat tidur sambil berusaha memejamkan mata. Tapi lama aku tunggu ternyata mataku enggan terpejam. Hembusan udara AC yang menerpa tubuhku malah membuatku ingin buang air kecil.

Aku dengan sedikit malas akhirnya berjalan menuju kamar mandi. Aku ingat tadi masih ada Rinta disitu, tapi masak sudah hampir satu jam lamanya dia belum selesai juga colmeknya. Terpaksa aku harus membuka pintu kamar mandi dan masuk ke dalamnya.

“Duhh.. anak ini bener-bener deh” ucapku ketika kutemui Rinta masih saja mengerjai lobang memeknya.

“Ahhh... ga bisa puas aku mas.. emhhh.. ga enak pake ini”

“Emang biasanya pake apa Rin?”

“Pake dildo mas.. uhhh... aku ga bawa”

“Waduh, hobi colmek juga kamu yah? udah ketagihan tuh, hehehe.. bentar geser dikit aku mau kencing dulu”

Rinta yang merangkak di atas lantai kamar mandi kemudian bergeser sedikit menjauhiku. Ruangan kamar mandi yang lumayan luas itu membuat kami tak saling bersentuhan. Kulepaskan saja beban kandung kemihku itu ke dalam kloset sampai tuntas. Aku cuek saja meski kulihat Rinta tengah memperhatikan bentuk alat kelaminku. Aku masih tak berpikiran cabul padanya, tentu saja kujaga pikiran positifku agar tak menimbulka masalah di belakang hari.

“Udah nih Rin.. kamu lanjutin aja sampe puas.. awas ntar lecet tuh memek, hehehe..”

“Ahh.. bentar mas.. kalo pake ini mungkin gak lecet mas”

Dengan beraninya tangan Rinta menjamah batang penisku. Dia kemudian mengocoknya pelan sambil lidahnya menjilati kepala penisku seakan sedang menikmati sesuatu yang enak. Aku biarkan saja dia berbuat itu, karena aku juga mulai terpancing meladeninya.

“Uhhmmm.. aahh.. slurrrpphhh.. aahh..”

“Pelan aja Rin.. mulut kamu itu mungil, jangan dipaksa”

Aku berdiri sedangkan Rinta masih merangkak di depanku. Dia benar-benar menikmati sekali rasa batang penisku. Beberapa kali dia berusaha memasukkan seluruh permukaan penisku ke dalam mulutnya, tapi tentu saja dia belum bisa. Penisku yang sudah tegak mengeras itu hanya separuhnya saja yang masuk ke dalam rongga mulutnya.

“Ahhhmmmm.. sluurrppphh.. aah.. emmhhh....”

“Kita pindah yukk Rin?”

“Emmhh.. ahh.. bolehh..”

Aku langsung mengangkat tubuh Rinta layaknya mengangkat barang berharga. Kugendong dia menuju ke tempat tidur lalu membaringkannya. Posisi pinggang dan pantatnya yang berada di tepi tempat tidur semakin memudahkanku untuk menikmati liang senggamanya.

“Waahh.. kok udah kebuka gini sih Rin? Pasti banyak yang udah pake ini yah?”

“Emmhh.. enggak mas.. ahh.. itu.. itu korban colmek sih” balasnya diantara desahannya setelah permukaan vaginanya aku elus-elus.

Kedua pahanya aku buka lebar untuk memudahkanku mengerjai lobang memeknya. Kulihat warnanya masih cerah dan kemerahan. Aku yakin memeknya memang belum banyak jadi korban keganasan penis pacar-pacarnya. Rambut kemaluannya juga tumbuh agak jarang. Hanya berupa guratan rambut halus yang tumbuh dari atas klitorisnya sampai beberapa senti di bawah pusar. Sungguh menggoda sekali untuk segera menikmatinya.

“Ahhh... sebentar mas.. tunggu”

Rinta menghentikan perbuatanku yang ingin segera melumat kemaluannya. Dia lalu memasukkan dua jarinya ke dalam liang senggamanya lalu mengocoknya dengan cepat.

Clok... clokk.. clokk.... clokk...

“Aaaahhhhh..”

Keluarlah cairan putih encer dari belahan vaginanya. Cairan itu banyak banget sampai menetes ke bawah melewati belahan pantatnya. Melihat itu aku langsung memajukan kepalaku dan mengarahkan lidahku menjilat tonjolan klitorisnya.

“Aaahhh... maasssshh.. ampuuunnn!” Rinta menjerit menahan getaran nikmat yang mulai menyerangnya.

Lidahku terus menari-nari di klitoris Rinta yang terasa semakin menonjol. Kujilati dan ku kecup kelentit gadis itu dengan usapan lembut namun cepat.

“Haaduuhhhh.... aahhhh..”

Seiring dengan lenguhannya, cairan putih encer itu meleleh lagi dari dalam celah vaginanya. Kali ini lebih banyak daripada yang pertama tadi. Entah itu cairan apa aku belum mengerti, pokoknya aku terus mengerjai klitorisnya karena kulihat dia sangat menikmatinya.

“Aku.. akuuu.. ahh.. enaaaakkk!!” pekik Rinta.

Sambil aku terus mengerjai lobang kemaluannya, Rinta kulihat malah menggesek dan memelintir kedua puting susunya sendiri. Anak ini bener-bener tahu cara merangsang tubuhnya sendiri dengan baik. Aku rasa memang dia sudah ketagihan masturbasi selama ini.

“Ahh... masukin dong mas.. ahh.. udah.. becek banget memekku” pintanya.

Aku lalu mengabulkan permintaannya. Batang penisku yang sudah lama berdiri itu kupegangi lalu kusentuhkan ujungnya pada belahan vagina Rinta. Hanya dengan menyentuhkan kepala penisku saja sudah membuat Rinta menggigil dalam nikmat.

“Ooohhhhhhhhhhh.....!”

Tanpa kesulitan berarti aku mulai menusuk liang senggama Rinta dengan batang penisku. Memang rasanya masih sempit, tapi tidak terlalu menjepit. Mungkin selama ini dildo yang dipakainya masturbasi itu sudah membuat dinding vaginanya melar.

Lelehan cairan putih encer yang beberapa kali keluar dari dalam celah vaginanya membuat garakan penisku semakin lancar. Rasanya licin banget saat penisku keluar masuk liang vagina Rinta. Seperti ada pelumasnya. Terus kuayunkan pinggulku maju mundur seirama dengan kocokan penisku pada memek Rinta. Rasanya kami berdua sudah larut dalam persetubuhan yang nikmat dan memabukkan.

Plopp!!

Kucabut penisku lalu kembali aku jilati klitorisnya. Hal yang sama kembali terjadi. Dari celah kewanitannya meleleh lagi cairan putih encer banyak sekali. Kuusapkan kepala penisku pada cairan itu lalu dengan sekali hentakan kutusukkan kejantananku ke dalam liang kemaluan Rinta.

“Aaaaahhhhhhhhhhh...” pekiknya.

Kembali kugoyangkan pinggulku maju mundur dengan kecepatan konstan. Lobang kemaluan Rinta yang becek itu membuat suara kocokan penisku terdengar begitu jelas memenuhi ruangan kamarku. Rasanya bunyi benturan kelamin kami seperti alunan kenikmatan yang muncul dari bersatunya birahi kami.

Plok.. plokk.. plokk !!

Aku sudah tak peduli kalau ada orang lain yang mendengarnya. Paling juga Budi atau Nina yang bisa mendengarnya dengan jelas. Kalau mereka itu aku sudah cuek saja, aku yakin mereka berdua juga masih terus memadu kasih di kamar mereka.

"Aaah.... aahhhh... aku mau pipis.." desah Rinta sambil bergetar hebat.

Kucabut penisku lalu kuturunkan posisi kepalaku sejajar dengan kemaluannya. Dengan cepat kujilati klitorisnya dengan sapuan lidahku. Tiba-tiba dari lobang kencingnya menyembur cairan bening kuat sekali.

Crrr.... crrr... crrrrrrrrr.....

Cairan itu muncrat banyak sekali sampai membasahi lantai di bawah ranjang. Posisi pantat Rinta yang berada di pinggiran tempat tidur membuat cairan itu langsung jatuh di lantai tanpa membasahi kain sprei di bawah tubuhnya.

“Enak yah Rin? Mau lagi?”

“Aahhh... ahhh.. iya mas... ahhh.. lagi.. lagi..” balasnya menatapku sayu.

Rinta aku lihat sudah berubah drastis dari penampilannya semula. Awal-awal kita bertemu mungkin aku menilainya sebagai gadis yang lugu dan cupu, tapi setelah tahu kenyataannya memang aku sudah salah menduga. Wajah gadis itu nampak bersemu merah, kulitnya yang putih bersih membuat rona merah di wajahnya semakin terlihat jelas. Entah kenapa bisa Rinta menjelma jadi perempuan yang rela menyerahkan tubuhnya pada kenikmatan birahi. Dia seperti seorang penggila seks yang siap melakukan apa saja agar nafsunya terpuaskan.

“Aaaargghhh..” erang Rinta sembari menggertakkan gigi.

Aku kembali memompa vaginanya dengan cepat. Gerakan penisku yang licin membuatku tak kesulitan memainkan tempo cepat dalam menggenjot kemaluannya. Kupegangi kedua pahanya lalu kuangkat supaya lobang memeknya ikut terpampang jelas kunikmati. Lelehan cairan orgasmenya tadi membuat daerah sekitar pangkal pahanya berkilat terkena cahaya lampu kamar.

Plok.. plokk.. plokk !!

Kusodok memek Rinta dengan cepat. Penisku terus saja menegang dengan keras membuat Rinta semakin keenakan dengan kocokanku pada liang senggamanya. Gadis itu hanya merintih sambil memejamkan mata.

“Aaaaaaaahh.. aaaaaahh.. aaahhhh...” desahnya lirih.

Kuteruskan gerakan menyetubuhi Rinta tanpa mengganti posisi. Menurutku posisi inilah yang paling tepat untuk menghajar memek Rinta secara bebas sesuai kemauanku.

“Ahhhhmmm.. maasss... mau.. mauu....” ucap Rinta terbata-bata.

Aku mengerti maksudnya. Paling sebentar lagi dia pasti muncrat lagi. Bukannya kuteruskan pompaan penisku tapi aku malah mencabut batang kemaluanku dengan tiba-tiba. Aku kemudian jongkok di depan pahanya lagi. Kumasukkan dua jari tanganku pada lobang memeknya lalu kukocok lobang itu dengan kecepatan tinggi.

“Iyaa... iyaahh... iyaaaaahhhh... enghhhhh.. enghhhhhh..”

Cratt... crattt... craattt...

Semburan demi semburan cairan orgasme Rinta muncrat dari dalam celah vaginanya. Muncratan cairan bening itu lepas sampai beberapa meter jauhnya. Seperti semburan pompa air yang bertenaga. Kocokan jari tanganku semakin membuat semburan cairan itu terhambur kemana-mana.

“Aahh.. aduhhh... aahh.. udah massh... aahh... enak banget”

“Lagi?” tawarku.

“Uhhh.. bentar mas.. ahh.. lemes aku”

Kukeluarkan jari tanganku dari liang vagina Rinta. Kujilati jariku ingin merasakan cairan orgasmenya. Rasanya memang gurih dan ada manis-manisnya. Mirip banget dengan cairan orgasme istriku.

“Yudah kamu istirahat aja..”

“gak mas.. aku belum bikin mas Aryo keluar” ujar Rinta memandangku dengan mata sayu. Binar kepuasan nampak jelas di wajahnya.

“Oke.. aku mau merokok dulu sebatang, ntar aku balik kalo kamu udah ada tenaga”

“Emhh.. iya deh mas... makasih ya mas.. enak banget kocokan mas Aryo tadi”

“Hehee.. jangan sampe ketagihan kamu Rin.. habis ini kita ga ketemu lagi lhoo..” balasku.

“Duhh, iya juga mas.. lusa aku udah balik ke daerah, yahhh.. jadi ga ada yang bisa muasin aku dong” rengeknya.

“Lhoh, kamu tuh mending cepetan cari suami, biar memek kamu itu ada yang garukin tiap hari kalo lagi gatel-gatelnya”

“Hihi... iya sih mas, belum ada yang cocok sih” balasnya masih terbaring lemah di atas tempat tidur.

“Cocok apanya?”

“ya cocok batangnya lahh.. aku mau cari yang gede trus kuat kayak punya mas Aryo tuh”

“hahaha.. barang langka ini Rin... udah ahh.. kamu istirahat aja dulu”

Aku kemudian meninggalkan Rinta masih terbaring di dalam kamar. Cuek saja aku melangkah keluar kamar meski aku tak memakai apa-apa. Aku kemudian menuju dapur lalu membuat segelas kopi sebagai teman menikmati rokok.

Suasana rumah tempat kami menginap sudah sepi. Di luaran sana juga terasa sepi, hanya beberapa kali terdengar suara motor yang lewat, itupun juga jarang-jarang. Kulihat pintu kamar Budi dan Nina juga masih tertutup rapat dan tak kudengar lagi suara mereka. Mungkin setelah ngentot sampai puas mereka lalu tidur sekarang.

Dalam kesendirian kunikmati sebatang rokok di mulutku bersama tegukan air kopi yang kubuat sendiri. benar-benar nikmatnya tak tergantikan. Batang penisku sudah lemas, tapi masih belum total. Jadi ukurannya masih lumayan mengembang dan menjuntai di pangkal pahaku. Aku santai saja, toh kurasa tak ada orang lain yang masih terbangun malam ini.

“Duhh.. yang baru dapet barang baru”

Tiba-tiba terdengar suara yang tak asing bagiku. Buru-buru aku menoleh ke arah sumber suara itu. Kudapati sosok yang kukenal sudah berdiri di belakangku. Dengan santainya dia melenggang mendekatiku meski tubuhnya juga tak tertutupi apa-apa. Kini kami sudah berhadap-hadapan dengan kondisi tanpa busana.

“Nina?”

***

Bersambung lagi ya Gaes ^_^
gas pooolll.....hu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd