Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kemurnian Keluarga

Kemurnian Keluarga
Part 06 | Tak Segampang Itu


***


Setelah perdebatan panjang di perlombaan kuda siang itu, Ayah sepertinya benar-benar kesal. Karena hingga sore hari, Ayah tak pulang kerumah. Ayah juga tak memberi kabar apapun ke Ibu. Bahkan, hingga keesokan harinya, Ayah tak kunjung kelihatan.

“Ayah belom pulang juga, Nak…?” Tanya Ibu dengan kekhawatiran diwajah cantiknya.
Aku mengangkat kedua bahuku, “Masih ngambek kali, Bu…” Sambungku sambil membolak-balik roti panggang diatas pengorengan.
“Kamu ga mau cari keberadaan Ayah lagi…?”
“Buat apa…?”

Mendengar ucapan ketusku, Ibu hanya menghela nafas. Kemudian melangkahkan kakinya ke dapur. Ia mengambil segelas air panas, sekantung teh celup, dan sesendok gula pasir. Setelah itu, Ibu mencoba bersantai diteras belakang.

Melihat Ibu yang kembali bengong akibat kepergian Ayah, membuatku jadi serba salah. Memang benar, kemarin Ibu telah berhasil aku menangkan. Akan tetapi, disaat yang sama, Ibu masih menjadi istri Ayahku. Yang masih perlu kehadiran sosok lelaki yang super menyebalkan itu disampingnya.

“Sepertinya… Ayah benar-benar marah ke kita ya, Nak…?” Tanya Ibu
“Entahlah…. ”
“Kadang, EGO Ayah terlalu tinggi…” Ucap Ibu menjelaskan watak keras Ayah
“Dimakan, Bu… “ Ucapku tanpa menggubris kalimat Ibu barusan, “Rama sengaja buatin roti bakar isi cokelat kegemaran Ibu…”
“Makasih…” Ibu segera mengambil setangkup roti, dan menggigit pinggirnya.

“Sebenernya, Rama juga ga ngira… Kalo orang sedewasa Ayah, bisa ngambek seperti itu…” Ucapku membuka obrolan.
“Siapa coba yang ga bakalan ngambek…? Kalo putra kandung Ibu… “ Ibu menghentikan kalimatnya. Melirik tipis kearahku.
“Kalo kenapa Bu…?”

Ibu menghela nafas, kemudian kembali meneruskan kata-katanya, “Yaaa… Mungkin Ayah ngambek ketika putra kandung Ibu… Secara terang-terangan meminta Ibu, dari Ayah…?” Sindir Ibu setelah melihat sifat kerasku ketika memperebutkan dirinya kemarin.

“Ehh... Sebentar-sebentar… “ Potongku tak setuju, “ Emangnya Ibu lupa…? Sepertinya, kemarin, aku yang memenangkan taruhan itu deh, Bu…” Ucapku mencoba meralat, “Dan Ayah sendiri… Yang secara sadar menjadikan Ibu sebagai barang taruhannya…”
“Iya sih… Kamu juga ga salah… “

“Ga ada yang salah disini, Bu…. Rama cuman pengen mendapatkan hak, atas seseorang yang telah Rama menangkan”
“Hak atas seseorang yang kamu menangkan…?” Tanya Ibu mengernyitkan dahi, “Denger kalimatmu barusan, Ibu kok merasa seperti budak belian ya…?”

“Ibu sedang becanda ya…? Mana ada budak secantik bidadari sih, Bu…?” Balasku yang segera saja meralat ucapanku, “Maksudku disini…. Apa salahnya sih..? Ketika seorang anak, meminta Ibunya supaya bisa terus dekat dengannya…?”

Lagi-lagi, Ibu menghela nafas dalam-dalam. Memutar duduknya hingga menghadap kearahku. Setelah itu ia mengusap rambut di dahiku. “Tapi ya nggak minta untuk bisa menghamili Ibu juga kali, Nak…” Celetuk Ibu, “Ibu aja yang denger kalimat itu kaget setengah mati… Apalagi Ayah…”

Kupeluk tubuh ramping Ibu yang ada disampingku erat-erat. Kurangkulkan lenganku ke leher jenjangnya, kemudian kukecup pipi lembutnya dalam-dalam.
“Emangnya… Rama salah ya, Bu…? Kalo Rama minta adek..?”
“Ga salah sih… Masih wajar-wajar aja… “ Balas Ibu.
“Lalu? Kalo ga salah, kenapa Ayah harus sewot seperti itu…?” Tanyaku berlagak bodoh.

“Hanya saja… Mungkin hamilnya Ibu, nggak dari benihmu juga kali, Sayang..”
“Tapi Khan… Ibu istriku…?”
“Bukan istri syah… “ Ralat Ibu, “Seperti katamu, Ibu hanyalah ‘barang’ hadiah perlombaan….”
“Enggak Bu… Bagiku, Ibu tetaplah istriku..”
“Nggg.. Begitu ya…?”
“Secara adat dan agama, Ibu mungkin belom jadi Istriku. Akan tetapi, aku udah memenangkan hak Ibu dari Ayah…”

“Kamu GILA, Rama…” Celetuk Ibu tegas, “Otak kamu udah terlalu jauh melenceng…”
“Iya, putra semata wayangmu ini, sudah Gila…” Jawabku cepat, “Otaknya penuh gejolak cinta karena dirimu, Bu… Karena pesona dan kecantikanmu…”
“Bukan penuh gejolak cinta..” Ralat Ibu, “Tapi penuh kemesuman…”
“Itu semua, karena-mu, Bu…” Jawabku sambil menatap dalam kearah mata Ibu yang mulai berkaca-kaca, “Rama tergila-gila karenamu…”

Mendengar kalimatku, Ibu hanya tersenyum kosong. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil mengacak-acak rambutku, “Sebegitunya ya….? Kamu menginginkan Ibu…?”
“Iya… Rama benar-benar menginginkanmu, Bu… Lebih dari semua keinginan apapun yang ada didunia ini…“ Ucapku jujur sambil mengamit tangan wanita cantik yang telah melahirkanku 16 tahun kemarin, kemudian mengecupnya mesra.

“Oh Rama…” Desah Ibu ketika mendapat perhatian itu dariku, “Kamu tuh sebenernya anak yang pintar loh Sayang…. Tapi sekarang kok jadi bego seperti ini ya…?”
“Kok Bego, Buu…?”
“Iya Super duper bego….” Sahut Ibu, “Kamu ga pernah tahu ya…? Kalo diluaran sana… Banyak sekali cewek seusiamu yang penampilannya jauh melebihi Ibu… Lebih cantik... Lebih seksi…”

“Tapi ga ada yang semenarik Ibu… “ Ucapku sambil mengelus pipi lembutnya.
“Ibu sudah tua, Nak….”
“Tidak dimataku, Bu… “ Sambungku lagi sambil mengamit dagu lancipnya dan mengarahkan kewajahku,
”Ibu sudah 33 tahun loh…”
“Bodoamat… Bagiku, Ibu seperti 16 tahun… Masih kencang, cantik dan seksi…” Ucapku yang kemudian mendekatkan bibirku ke bibir Ibu. “Bagiku, Ibu benar-benar seperti bidadari…”

Buru-buru, Ibu melengos cepat, menghindari sergapan bibirku yang sudah siap sedia ketika hendak menciumannya.
“Bu… Ayolah… Aku khan suami baru-mu, Bu…” Ucapku kembali menangkap gelengan kepalanya
“Iya…Dan aku ini Ibumu…!!!” Ulang Ibu untuk kesekian kalinya.

”Coba lihat ini deh, Bu…” Ucapku yang kali ini memperlihatkan cincin kawin Ayah yang melingkar di jariku, “Ibu telah kumenangkan dari Ayah…”
“Tapi aku tetap istri Ayahmu…”
“Ayah… Dia sudah merelakanmu untukku, Bu… Dan lagi, dia tak ada disini… “ Jelasku dengan nada yang cukup tegas, “Lagipula, di sini hanya ada kita… Rama dan Riani…” Ucapku sembari mencoba mencium bibir Ibu lagi.

CUUPP.
Ibu diam. Tak menghindar ataupun melengos.

Kulepas kecupan bibirku. Kutatap wajah cantiknya yang bersemu merah. Lalu kembali kumajukan wajahku, hingga kedua bibir kami kembali menempel erat.

CUUUUUPP.
Kali ini, kukecup bibir Ibu dalam-dalam. Lebih lama dari sebelumnya.

Ibu tetap diam.
Tak menolak kecupan bibirku.

CUUUUUPP... SLUURPP… CUUPP…
Kupagut bibir Ibu, sedikit melumat daging lembut bak potongan jeruk itu masuk ke mulutku. Dan untuk kesekian kalinya, Ibu tetap diam. Bahkan, kali ini matanya terpejam.

YEEESSSS.
Berhasil, aku bisa mencium basah bibir Ibu.

Sekali lagi, kulepas pagutanku, dan kutatap wajah cantik Ibu dalam diam.
Sungguh menawan wanita dewasa yang ada dihadapanku ini. Membuatku seolah menyayangkan, kenapa aku tak pernah menyadari kecantikan dan keseksian Ibu dari dulu.

“Oh Riani cantikku….” Lenguhku yang untuk kesekian kalinya, kembali mengecup bibir Ibu lekat-lekat, bahkan sekarang aku memberanikan diri untuk bisa menyelipkan lidahku kedalam mulutnya. Mengais liur ludah dan beradu lilit dengan lidah Ibu, “Aku mencintaimu, Sayang…”
“Nngghh… Rama…” Lenguh Ibu meladeni kemesumanku.

Untuk beberapa saat, aku merasa seperti sudah mulai memiliki Ibu. Karena selain membiarkanku lidahku masuk kedalam mulutnya, Ibu juga mendiamkanku ketika aku mulai mengecup leher jenjangnya. Tak puas sampai situ, aku juga mulai menurunkan tali dasternya yang tipis. Berusaha melucuti penutup tubuhnya hingga kedua payudaranya terbuka bebas.

SREEET
Akhirnya, aku berhasil melepas atasa daster Ibu. Dan ketika melihat penampilan seksi wanita yang telah melahirkanku 16 tahun lalu, aku menyadari jika ada sesuatu di diri Ibu yang membuat nafsuku makin melambung tinggi.

“Astaga…. Pentil Ibu sudah mencuat…” Batinku girang karena melihat puting payudara Ibu yang sudah begitu mengeras, “Apa Ibu juga ikut terangsang karena ciuman denganku..?”

Tanpa babibu, segera saja kulumat kembali bibir Ibu dengan penuh nafsu. Meskipun Ibu tak membalas ciumanku, akan tetapi aku tak peduli. Aku terus mengajak gulat lidah Ibu sambil bertukar air liur. Tak lupa, tanganku juga mulai meremas kedua payudara Ibu secara bergantian. Membuat Ibu mulai mendesah-desah karena cumbuan mesumku.

CUUUPP SLUURP CUUUPPP
“Sumpah.. Kamu seksi sekali Bu…” Ucapku sembari terus melumat bibir Ibu sambil terus memilin-milin putingnya.

Melihat reaksi pasif Ibu, membuat hatiku senang bukan kepalang. Semangat dan nafsuku semakin meledak-ledak. Penuh dengan rasa cinta serta birahi yang begitu menggebu-gebu. Ciumanku pun makin membabi buta. Mulut, hidung, dagu, hingga leher, tak lepas dari cumbu nafsuku.

“Ohhh.. Rama…” Erang yang sepertinya mulai terbakar birahi. Ia hanya bisa mendesah tanpa memberikan balasan apapun. Matanya terpejam, dengan alis bertaut.
“Cup… Cupp…. Sluurrpp… Kamu cantik, Bu…” Rayuku terus mencium dagu, leher dan terus turun kebawah, “Kamu memang bidadari surga…” Sambungku sembari menjilati kulit mulus dadanya.

Namun, ketika cumbuanku mulai turun kearah payudaranya, tangan Ibu sedikit menyingkirkan wajahku. Tubuh Ibu bergidik. Seperti merasa kegelian.

“Boleh ya, Bu…?” Tanyaku sambil tersenyum sembari menunjuk kearah payudaranya dengan mataku. Wajah Ibu menggeleng. Seolah ada keraguan diwajahnya.

BODO AMAT.
Batinku yang tak mempedulikan penolakan Ibu. Karena lagi-lagi, aku mengecup mulutnya, dagunya, lehernya, hingga kepayudaranya.

“Enngggghhh.. Jangan…” Tolak Ibu yang kembali menjauhkan wajahku dari kedua puting payudaranya.
“Please, Bu.. Sedikit aja…” Pintaku sedikit memaksa sambil menggenggam kedua pergelangan tangan Ibu.
“Ssshhh… Hhhhhh... Enggak Rama… Stop…” Erang Ibu sedikit meronta ketika kecupan mulutku mulai melahap putting kanannya.

“Rama…! Enggak… Tidak…. Ini nggak bener, Sayang…” Tolak Ibu makin meronta hingga berhasil melepaskan cengkraman tanganku. Setelah itu, ia menyilangkan kedua lengannya di depan payudaranya, “Kamu kenapa sih…? Kok sekarang jadi seperti mesum ini…?”

”Itu.. Karena Rama menginginkanmu, Bu…” Ucapku sambil kembali mengamit tangan Ibu dan sedikit mengamankannya. Setelah itu, aku kembali menerkam putting Ibu yang sudah begitu keras, “Ayolah… Rama tahu… Ibu juga mengingkan hal ini…”

HAAAP.. Sluurrppp
Suara caplokkan mulutku ketika berhasil mendapatkan satu putting payudara Ibu.

“Ssss.. .Nggg.. Ooohhh…” Erang Ibu tak mengira ketika aku berhasil mendapatkan salah satu titik kelemahan tubuhnya.

HAAP.. HAAAPP… Sluuurrrppp…
Merasa kedua lengan Ibu melemah, aku makin buas melahap kedua payudaranya secara bergantian.

”STOP… Rama… Hentikan….” Tolak Ibu terus menjauhkan wajahku, “Ibu gak mau…”
”Kamu begitu menggairahkan, Bu… Membuatku tak tahan melihat keseksianmu…” Erangku terus mencaplok payudara Ibu dan terus mencumbu gundukan daging dadanya yang bergoyang-goyang karena penolakannya, ”Kecantikanmu membuatku GILA, Bu… Keseksianmu membuatku selalu terangsang karenamu…”

“Oohh.. Rama… Please… Stop… Ucap Ibu yang kemudian memegang kepalaku, dan menjauhkan dari payudaranya, “Kita tak bisa berbuat seperti ini, Nak… Ibu tak ingin kamu menjadi anak durhaka…”
“Selama Ibu menerima cintaku, jadi durhaka-pun, tak menjadi masalah buatku…” Jelasku sambil menatap wajah Ibuku yang semakin merah merona.

“Kamu akan dibakar di neraka, Sayang…”
“Rama rela kok, Bu…” Ucapku mencoba merangsek maju kearah payudara Ibu lagi, “Demi Ibu, Rama rela melakukan apa saja…” Ucapku sambil menerkam putting payudaranya yang sudah mengacung keras. Kujilati kedua payudara besar Ibu, sembari mulai menggigit-gigit manja kedua putingnya

“Aauuuwww… Stop Rama.. STOP…” Lenguh Ibu karena merasa kegelian akibat hisapan mulutku.
“Ayolah Bu, Pleaseee.. Ijinkan Rama menikmati sedikit aurat indahmu, Bu…” Ucapku tanpa mempedulikan segala keberatan Ibu. Terus merangsek turun dan menjilat serta melahap kedua bulatan payudaranya, “Ijinkan Suami barumu ini menikmati keseksian tubuhmu…”
“Oohhh.. Ssshhh… Rama… Please…. Nggghhh…. Hentikan, Sayang… Ibu tak mau…STOPPPP….!!”
“Ayolah, Bu… sedikit sa….”

PLAAAKKK
Tiba-tiba, aku merasakan rasa perih nan panas pada pipi kananku. Rupanya, satu tamparan keras dari tangan Ibu mendarat diwajahku. Yang membuatku perlakuan cabulku ke Ibu, berhenti seketika.

“Ibu…?” Tanyaku dalam kaget.
“Jangan paksa Ibu, Sayang…”
“Ibu tak mau…?”

Wanita cantik itu menggelengkan kepalanya.
“Ibu beneran nggak mau…?” Ulangku lagi, “Menerima Rama sebagai suami barumu…?”

Ibu lagi-lagi menggelengkan kepalanya. “Kok jadi gini ya, Sayang…?” Tanya Ibu dengan mata makin berkaca-kaca, “Ibu kira, semua yang kita lakukan kemarin tuh cuman becanda, Sayang… Hanya sandiwara semata… ”Ucap Ibu dengan suara yang mulai bergetar.

“Sandiwara..?” Tanyaku balik, “Asal Ibu tahu ya, kemarin, Rama sengaja menarik semua tabungan Rama, dari bank, demi bisa mendapatkan Ibu… “
“Hah…? Jadi semua ini, sudah kamu rencanakan…?”
“Memangnya kenapa…? Rama hanya ingin bersama Ibu, tak peduli, jika demi hal itu, Rama harus kehilangan semua harta berharga yang Rama miliki…” Jelasku, “Rama rela kehilangan semua uang yang Rama miliki, hanya demi bisa mendapatkan ibu…”

“Oh Rama… “ Bingung Ibu makin tak karu-karuan, “Ibu nggak tahu harus berkata apa… ”
“Ibu nggak usah berkata-kata, Bu… “ Ucapku sambil kembali mendekatkan mulutku pada payudara Ibu, “Yang Ibu perlu lakukan hanyalah, membiarkan Rama menikmati apa yang sudah Rama menangkan kemarin…”

“Sebentar, Sayang… Sebentar…” Tolak Ibu yang terus-terusan menghalang-halangi wajahku ketika hendak menyosor kearah putingnya.
“Kenapa lagi sih Buu…?” Kesalku yang karena berulang kali mendapat penolakan dari Ibu.
“Entahlah, Sayang… Ibu bingung…”

Mendengar jawaban Ibu, aku menghela nafas panjang.
“Ternyata, aku dilahirkan di keluarga penipu…” Sindirku.
“Heeehhh… Rama. Kok bisa-bisanya kamu berkata seperti itu sih…?”

“Iya… Kelihatan banget kok…. Nggak Ayah… Nggak Ibu, semua penipu….”
“Sayang… Bukan gitu maksud Ibu…”
“Lalu apa…?”
“Ibu hanya….”

“Udahlah Bu… “ Ucapku sambil beberapa kali menyeka wajahku, “Penolakan Ibu, cuman bikin Rama sakit hati saja… Kirain setelah memenangkan perlombaan kemarin, Rama bisa beneran mendapatkan Ibu. Akan tetapi, setelah susah-payah seperti ini, Rama hanya mendapatkan penolakan dan tamparan diwajah… “

Air mata Ibu, mulai menitik dari sudut matanya.

“Percuma aja Rama bisa memenangkan Ibu, tapi tak bisa memiliki secara seutuhnya…” Ucapku sambil menatap kearah Ibu, “Percuma saja punya istri, tapi gak bisa mendapatkan hak sebagai suami…”

“Hiks.. Bukan begitu Rama… Hiks hiks…” Tangis Ibu mulai pecah dihadapanku
“Sudahlah, Bu… Tak ada yang perlu ditangisi…. “ Ucapku yang kemudian mengecup kening Ibu
“Maafin Ibu, Sayang… Hiks hiks… Ibu benar-benar minta maaf…”

“Ibu memang benar-benar wanita yang baik…” Ucapku, “Dan seharusnya, wanita yang baik, dapat lelaki yang baik juga…”
“Kamu baik kok, Rama…hiks hiks… Baik….” Sahut Ibu disela isak tangisnya, “Hanya saja… Ibu belom bisa menerimamu sebagai suami baru Ibu…”

“Iya… Rama ngerti kok… Kalau memang Rama gak bisa mendapatkan hak atas tubuh Ibu… Mungkin Rama bisa mendapatkan hak atas tubuh wanita panggilan diluaran sana…” Sambungku yang dengan sigap, langsung beranjak dari sofa, dan melangkahkan kaki masuk kedalam rumah


***

TENG TENG TENG TENG
Jam berdentang sebanyak 11 kali. Menandakan jika waktu sudah semakin larut.

“Wo… Aku pulang dulu ya…” Ucapku kearah Dewo, sambil meletakkan stik game keatas kasurnya.
“Nginep sini ajalah Ma…”
“Gaenak, Ah… Ibuku sendirian dirumah…”
“Tante Riani sendirian…?”
“Kenapa…? Mau ngebayangin keseksian tubuh Ibuku” Hardikku ketika melihat senyum yang mengembang di wajah Dewo.

“Enggak kok, Ma… Enggak…” Ucap Dewo buru-buru menghapus senyum di wajah mesumnya.
“Awas aja ya, kalo kamu sampe punya imajinasi mesum tentang Ibuku seperti yang Rejo dan kroco-kroconya lakukan kemarin… Aku bakalan remukin semua gigimu…”
“Iye-Iyeee Enggak…”

“Lagian, Tante Niyah juga cantik kok.. Masa ga kamu godain…?” Celetukku menggoda Dewo
“Yeeee.. Ya kali aku godain Ibu kandungku sendiri, Ma…” Sahutnya malu-malu
“Serius loh… Tante Niyah tuh seksi… Kulitnya mulus…. Item manis… Betisnya mulus, ga ada bulu… Dan pantatnya, beuh…. Bulet bangeeett…”
“Heeehh… Kok malah ngomongin Ibuku sih…?”
“Kamu udah pernah ngintipin Ibumu mandi belom, Wo…?”
“Udah ah udah…”
“Hahahaha… Abisan kamu yang mulai duluan, sih…” Tawaku sembari menuntun motorku keluar garasi, “Yaudah… Udah makin malem nih, Wo… Aku pulang ya…”
“Iya deh, Ma… Salam buat Tante Riani…” Sahut Dewo yang lagi-lagi tersenyum mesum kearahku.

“Eh, Wo.. Misal nih ya, misal…”
“Apaan…?”
“Kalo semisal, Ibumu ngajakin kamu ngentot… Kira-kira kamu bakal ladenin atau gimana Wo..?”
“Hah…? Pertanyaan macam apa pula itu…?”
“Ayolah jawab aja… Kamu mau ngentotin Tante Niyah… Atau enggak…?”
“Nggg….”
“Yah… Lelet amat mikirnya…” Candaku sambil menoyor jidat Dewo, “Kalo aku jadi kamu, Wo… Semisal ditawarin ngentotin memek Ibumu… Udah aku lakuin tanpa banyak mikir… Hahahaha…”
“KAMPREEETTT… Udah-udah… Dasar monyet... Cukup… Jangan ngomongin Ibuku lagi…”
“Hahahahaha… Salam ya buat Tante Niyah…”

- - - - - - -

Kupacu laju motorku membelah kelamnya malam yang mulai menitikkan hujan. Pulang kerumah setelah seharian galau karena kalimat jawabanku tadi siang kepada Ibu.

“Mungkin Rama bisa mendapatkan hak atas tubuh wanita panggilan diluaran sana…” Sekelebatan kalimatku tadi siang, menyeruak dibenak mesumku. “Dasar Rama, Pujangga memek...”

AH TAI KUCING
Badanku aja yang besar, akan tetapi nyaliku kecil.

Jujur, sejak kepergianku dari rumah siang tadi, aku sudah mondar-mandir beberapa kali ke komplek lokalisasi yang jauh dengan lokasi tempat tinggalku. Aku benar-benar sudah tak tahan, ingin mencoba merasakan gimana nikmat dan sensasi persetubuhan dengan wanita. Namun, ketika mendengar dering panggilan telpon dari Ibu, sejenak kuurungkan niatku.

Lima belas kali, Ibu menelponku. Dan lima belas kali pula, tak kurespon telponnya. Alih-alih memberi kabar Ibu, aku malah mengajak Dewo untuk menemaniku. Menelusuri sempitnya gang-gang kampung yang penuh wanita penghibur itu

Awalnya, Dewo benar-benar bersemangat datang karena mendapat traktiran dariku untuk melepas keperjakaannya. Namun, ketika ia tiba dilokasi, tiba-tiba sobat kentalku itu mengurungkan niatannya.
Bukan karena harga pelacur papan atas itu yang membuatnya mundur, melainkan, karena ketika ia hendak membooking pelacur, nyali Dewo langsung keder, karena mendapat telpon dari Ibuku.

KOCAK
Dua anak SMP yang gagal paham ketika belajar seluk beluk dunia pelacuran.
Membuat duo bongsor seperti kami, tertawa terbahak-bahak karenanya.

***
Ketika kusampai rumah, tak ada satu lampu-pun yang dinyalakan. Semuanya mati, dan membuat pekarangan rumah yang kutinggali, dalam keadaan gelap gulita.

TOK TOK TOK TOK
“Buu.. Rama pulang…” Ucapku mencoba mengetuk pintu.

Hening, ta ada balasan.

TOK TOK TOK TOK
“Buuu…?”
Tetap saja, tak ada suara apapun yang membalas salam kepulanganku.

Sejenak, kulihat suasana di sekitarku. Dan sekiranya aman, aku langsung memanjat dinding tanaman rambat disamping rumah, lalu merayap naik kearah balkon teras kamarku. Sengaja, aku tak pernah mengunci pintu balkon kamarku, dengan tujuan mengantisipasi hal-hal seperti ini.

Sesampainya didalam kamar, aku segera turun keruang tamu dan menyalakan lampu malam untuk menerangi sekitar rumahku. Sembari celingukan, aku mencari keberadaan Ibu yang masih tak ketahuan keberadaannya. Hingga ketika aku lewat didepan pintu kamarnya, aku melihat kilauan cahaya yang keluar dari celah pintu.

“Buuu…?” Ucapku mencoba memanggil Ibu. Kujulurkan kepalaku masuk kedalam kamar, sembari mencari tau apakah ada Ibu didalam sana. Rupanya Ibu terlelap diatas kasur, dengan TV yang masih menyala. “Buuu…?” Sambungku sembari mengendap masuk.

Dalam keremangan cahaya TV, aku bisa sosok Ibu yang tidur dengan posisi membelakangiku. Tidurnya menyamping, dengan satu tangan dan kaki memeluk guling. Pinggulnya terlihat meliuk, dengan pantat yang begitu membulat.

Terlebih ketika memeluk guling, bawahan daster Ibu tersingkap hingga memamerkan celana dalam mungil berwarna hijau. Yang seketika, membuat tenggorokanku mengering karena penampilan seksinya. Meskipun dibawah sinaran cahaya TV, aku bisa melihat kulit kaki Ibu, terlihat begitu putih, mulus, dan mengkilap.
“Riani… Kamu memang menggairahkan sekali kamu…” Lenguhku tak henti-hentinya menatap pantat bulatnya yang membusung, paha jenjang tanpa cela, dan betis halusnya yang tanpa bulu.

Melihat pemandangan tubuh Ibu, detak jantungku berdegup kencang. Penisku mengeras dan ukurannya memanjang dengan cepat. Secara spontan, aku mulai mengelus-ngelus kemaluanku dari luar celana. Dan entah mendapat keberanian darimana, aku tiba-tiba menjulurkan tangan dan meraba pantat bulat Ibu yang bahenol.

“Ohh…. Bulet banget pantatmu, Bu… Empuk…” Desahku yang tanpa sadar, melepas celana panjangku beserta kancutnya. Lalu mulai masturbasi dengan tubuh Ibu sebagai objek seksualnya. Tangan kiri meremas-remas pantat, dan tangan kanan mengocok penisku sekuat-kuatnya.

TEK TEK TEK
Suara kocokan penisku mulai terdengar nyaring.

“Ngggghhhh…” Tiba-tiba, Ibu menggeliat.
“Eeehhh…” Kagetku sambil menghentikan remasan tanganku. Buru-buru menjauh, namun terus mengawasi gerak-gerik Ibu.


Ibu yang semula berbaring menyamping kali ini malah telentang dengan kedua kaki yang membentang lebar. Gaun tidurnya juga tersingkap, sehingga memamerkan paha serta celana dalam mininya yang begitu menggairahkan

“ASTAGA… Punya Ibu, kok bisa seksi banget gini yaaa…?” Erangku ketika melihat gundukan daging tembem berbelah yang menggembung ditengah selangkangan Ibu. “Gemuk banget tuh memek…”

Lagi-lagi, aku mendekat kearah Ibu. Dan setelah mendapati tidurnya mulai pulas kembali, entah kenapa, tiba-tiba tanganku menjulur maju. Lalu meraba celah yang ada ditengah liang kemaluan Ibu itu dengan satu jariku “Ohhh.. Empuk bener nih memek…”


D
engan jari gemetar karena merasakan kelembutan kemaluan Ibu, tiba-tiba sebuah ide gila melintas di benakku.

Aku ingin melepas celana dalam Ibu.
Aku ingin melihat celah vagina Ibu.
Syukur-syukur, aku bisa meraba liang kewanitaan Ibu yang terasa begitu hangat ini.

“Ahhh….Masa bodoh…” Jerit batinku yang sudah terselubung nafsu. Aku sudah tak peduli dengan resiko yang nantinya terjadi. Toh, Ibu sekarang adalah istriku. Kuselipkan kedua jempolku di masing-masing tepian karet celana dalam Ibu. Setelah itu, kuturunkan dengan perlahan sembari terus memperhatikan reaksi tidur Ibu.

Dan tak lama kemudian, SREEETT.
Aku berhasil melepas kain penutup kemaluan Ibu, dari tubuhnya.

OH GUSTI…

Walaupun ruangan kamar Ibu cukup gelap karena lampu penerangannya dimatikan, akan tetapi cahaya yang terpancar dari layar TV mampu memberikan cukup penerangan kedalam ruangan. Sehingga aku bisa melihat dengan jelas vagina Ibu.

Gundul, halus, dan mengkilap.

“Ohh…. Shhhh. Memek Ibu….” Erangku yang tanpa berpikir dua kali, langsung mengocok batang penisku kuat-kuat, sembari mendekatkan wajahku kearah liang kemaluan Ibu.

TEK TEK TEK TEK TEK
Suara kocokan penisku langsung memenuhi kamar tidur Ibu.

“Anjimm, mulus bener nih memek…” Erangku sembari mencoba mengendus aroma yang terpancar dari vagina Ibu. “Ooohhh. Sssshhhh… Asem-asem wangi….” Jerit batinku semakin tak mampu membendung birahiku.

Aku merasa kurang. Aku tak puas hanya bisa mengendusi aroma liang kemaluan Ibu. Aku semakin nekat. Semakin memberanikan diri untuk bisa menyentuh vagina itu secara terang-terangan.

GILA. Iya, aku memang sudah GILA. Aku sudah tak sanggup berpikir jernih karena melihat pemandangan memek, yang begitu mempesona nafsu birahiku. Bahkansecara tiba-tiba, jempol dan telunjukku, sudah mencubiti daging selangkangan Ibu yang super lembutitu.

NYUUUUTTTT
“Memek Ibu… Seperti kue mochi…” Raungku dalam hati setengah tak percaya dengan apa yang baru saja kulakukan. Sampai-sampai, aku juga tak sadar, jika jari tengahku sudah terselip diantara celah kemaluan Ibu yang terasa begitu hangat.

“Nggak, memek Ibu nggak hangat… Memek Ibu, terasa panas…”
“Ehhh. Tapi.. Kok lama-lama, rasanya jadi agak-agak lembab gini…?”
“Apa jangan-jangan, Ibu terbangun…?”
“Tapi, Nggak Ah… Ibu masih tidur. Matanya masih merem. Dan nafasnya masih teratur…”
“Atau mungkin, Ibu ikut terangsang karena gelitikan jemariku..?”
“Iya kali ya, Ibu terangsang….”
“Buktinya… Memek Ibu makin becek gini…”
“Juga licin…”

Hatiku berkecamuk. Antara penasaran, sekaligus terangsang akibat berbagai macam pertanyaan dan dugaan yang terlontar dari benakku sendiri. Walhasil, karena melihat Ibu tak memberikan reaksi apapun ketika mendapat perlakuan mesum pada vaginanya, makin membuatku berani mempermainkan celah kemaluan Ibu lebih jauh. Dan tentu saja, sembari terus mengocok batang penisku kuat-kuat.

TEK TEK TEK TEK TEK TEK
“Kalo seperti ini… Aku bisa cepet ngeCROT, Buu…” Erangku makin kuat mengocok batang penisku. Tubuhku melengkung-lengkung, karena dorongan hasrat birahi yang begitu menggebu. “Nghhhh… Ssshhh…. Licin banget memekmu, Buuu…”

HAAAPP
Tahu-tahu, jari yang sedari tadi menggelitik liang kemaluan Ibu, masuk kedalam mulutku.

“Sluuurrrpp…. “ Decak lidahku, merasai lendir licin yang melumuri jemari tanganku. “Hmmm. Rasanya Asin… Sepet.. Seperti ada campuran keringat dan sisa air kencing Ibu…” Sambungku sembari terus mengais lendir vagina Ibu dan menjilati jemariku tanpa henti.

“Sumpah, Rasanya aneh… Kental… Gurih.… Tapi bikin nagih… Sluuurrrppp…” Jilatku makin menikmati rasa lendir Ibu. Gelitikan jariku pun makin dalam, mengais-ngais lendir licin yang makin membanjir dari vagina istri baruku itu. Bahkan lebih gilanya lagi, tak sedikit lendir vagina Ibu yang kubalurkan ke batang penisku. Sehingga membuat kocokan tanganku berasa begitu licin dan nikmat.

TEK TEK TEK TEK TEK TEK
“ANJIMMMM… Nikmat banget nih kalo bisa nyelipin kontolku kedalem memekmu, Bu…” Erangku makin menyiksa batang penisku dengan membabi buta. “Aku jadi pengen bener-bener ngentotin memekmu, Buu… Oooohhh. Memek Ibuuuu…”

“Nggghhh…. “ Saat sedang enak-enaknya mengocok, tiba-tiba, Ibu mengerang. Kedua tangannya terentang lebar kesamping, dan alis matanya bertaut. Tak lama, kelopak mata Ibu pun mulai terbuka

DEG.
Melihat raut wajah Ibu, jantungku terasa berhenti berdetak.

ANJAAAIYYY….
“Ibu bangun…” Kagetku buru-buru mencabut jemari tanganku pada celah vagina Ibu.

“Rama….” Panggil Ibu dengan mata berkedip-kedip.
“Nggg… “ Aku tak mampu menjawab
“Rama… Kamu ngapain disini…?” Tanya Ibu yang masih bingung dengan keberadaanku, terlebih setelah melihat aktifitas yang kulakukan, “ASTAGA RAMA….Kamu coli…?”

BANGSAAAATTT
Aku ketangkap basah.

Wajahku memanas saking malunya. Juga nafasku. Denyut jantungku makin berdegup kencang. Sampai-sampai, aku bisa mendengar detak jantungku di telinga. Aku ingin kabur, tapi otak mesumku menahan niat langkahku. Malahan, otak sial ini, meminta tubuhku untuk makin mempercepat gerakan tanganku. Untuk mengocok batang penisku lebih brutal lagi


TEK TEK TEK TEK TEK TEK TEK
OHHH ANJIMMMM… AKU GA TAHAN LAGI…

TEK TEK TEK TEK TEK TEK TEK TEK TEK
AAARRRGGHHHH… IBUUUUUUU

CRRROOTTT CRRROOOTTTT CRROOOOOCOOOOTT CROOOT CROOOTTT.
Tujuh semburan kencang spermaku, memancar deras tanpa bisa kutahan lagi. Benih kejantananku terbang. Keluar dari mulut penisku, dan mendarat di paha, vagina, perut, baju tidur, dan sebagian payudara Ibu.

“OOOOOOHHHH… IBUUUU… OOOHHH SSSHHH IBUUU….” Lenguhku sambil terus mengocok penisku tanpa henti. Seolah ingin mengosongkan semua persediaan air maniku, guna kupersembahkan seluruhnya kepada wanita yang kucintai ini. Tanpa mempedulikan apa reaksi Ibu ketika bangun nanti.

Ibu yang masih belum cukup sadar dari tidurnya, hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia seperti kaget, sekaligus tak percaya, jika putra semata wayangnya bisa berbuat hal semesum ini. Ibu tak mengira, jika tubuh setengah telanjangnya disirami oleh sperma anak kandungnya.

“Rama…?” Suara Ibu memanggilku lirih.

Tapi, lagi-lagi otakku tak mengindahkannya. Prosesor kepalaku seolah menutup divisi pendengaran, dan terus menginstruksikan tanganku supaya tak henti-hentinya mengocok batang penisku. Hingga tetes terakhir.

CROOOT CROOOT CROOT CROT CRRRT CRRT
Kuhentikan kocokan tanganku. Spermaku sepertinya telah habis. Karena penisku tak mampu lagi memuntahkan lahar kenikmatannya.

“Rama…?” Ibu kembali memanggilku dengan tapap mata yang supertajam.

BANGSAT.
Seketika itu, aku merasa ketakutan. Amat sangat takut. Perutku melilit, mual dan sesak nafas. Tubuhku seketika lemas, seperti baru saja terkena setrum listrik ribuan watt. Buru-buru, aku mundur. Menjauh dari tempat Ibu berada. Setelah itu kabur. Meninggalkan kamar Ibu.

Tanpa mengenakan celana sama sekali.


Bersambung,
By Tolrat
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd