Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Keponakan Tersayang

begawan_cinta

Guru Semprot
Daftar
27 Oct 2023
Post
581
Like diterima
10.070
Bimabet


Keponakan Tersayang



Scane satu

AKU
bekerja dengan budeku. Budeku membuka usaha catering. Pelanggan catering budeku kebanyakan dari perkantoran. Setiap hari budeku harus menyiapkan 150 (seratuslimapuluh) rantang nasi bersama lauk pauknya untuk karyawan di beberapa perkantoran yang menjadi pelanggan catering budeku.

Selain aku, masih ada Mas Omar bersama istrinya, Mbak Narti. Mas Omar dan Mbak Narti baru menikah 2 bulan. Mereka bertemu jodoh di tempat usaha catering tanteku ini, karena Mas Omar adalah sopir yang tugasnya mengantar catering ke pelanggan mempergunakan mobil box.

Mbak Narti bertugas sebagai tukang masak bersama 2 orang rekannya, Mbak Solikah, dan Asih. Tugasku adalah sebagai kasir menggantikan budeku sehingga budeku tidak usah datang lagi ke perusahaan cateringnya setiap hari. Budeku tinggal menunggu laporan dariku di rumahnya melalui telepon atau WA. Uang keperluan sehari-hari dan gaji para karyawannya dikirim oleh bude ke rekening bankku.

Adapun sejarah berdirinya perusahaan catering budeku ini sebenarnya sudah lama, sudah sekitar 8 tahun yang lalu bersama pembantunya, yang sekarang menjadi bos juru masak, yaitu Mbak Solikah. Maka itu Mbak Solikah sangat dipercaya oleh bude.

Mbak Solikah berumur 40 tahun. Mas Omar berumur 27 tahun, sedangkan Mbak Narti berumur 30 tahun, dan Asih yang paling muda, berumur 20 tahun. Aku berumur 24 tahun, masih jomblo.

Aku bukan pemuda yang baik-baik saja. Aku pernah kuliah tetapi drop-out. Dari situlah hidupku berubah menjadi tidak benar. Berangkat pagi pulang malam bergaul dengan preman pasar karena tidak mau mendengar suara teriakan ibuku yang sering marah pada ayah.

Ibuku mata duitan tidak pernah puas dengan pekerjaan ayah. Karena ingin balas dendam pada ibuku, aku sering menebarkan spremaku di celana dalam ibuku, aku sering mengintip ibuku mandi.

Pantaslah kalau ia menuntut lebih dari ayah yaitu untuk mendandani tubuhnya di salon dan membeli kosmetik yang mahal-mahal, pakaian yang bermerek, karena tubuh ibuku memang indah.

Buah dadanya montok besar dan masih berdiri menantang seperti buah dada hasil operasi plastik. Pinggulnya juga masih melengkung dengan pantatnya yang besar. Tubuhnya yang putih mulus itu tanpa bulu kemaluan, sehingga kalau kebetulan ibuku menghadap aku yang mengintipnya, aku bisa melihat vaginanya yang pernah melahirkan aku.

Pikirku, kenapa ibuku tidak mau menjual tubuhnya pada bos-bos yang punya duit (atau barangkali sudah)?

Aku akrab dengan perempuan-perempuan pengamen di perempatan jalan. Aku sering mengajak mereka ‘ngewek’ di lorong pasar yang gelap hanya dibayar dengan sebatang rokok.

Puncaknya, aku pernah ingin memperkosa adikku karena malam itu aku pulang mabuk. Adikku sudah kutelanjangi dan kemaluanku sudah menempel di kemaluannya, siap kumasukkan, tapi aku langsung sadar. Aku menyesal dan minta maaf padanya.

Kebejatanku itu tidak pernah terendus oleh orangtuaku. Kalau aku bisa bekerja di usaha catering bude, karena budeku datang ke rumahku, ia melihat aku menganggur dalam keputusasaan.

Bude memberikan aku pekerjaan, memberikan aku kamarnya untuk aku tidur dan beraktifitas, dan di dalam kamar sudah tersedia kamar mandi. Namun begitu aku tidak langsung menjadi ‘boss kecil’ di situ. Aku masih membantu Mas Omar mengantar catering, membantu Mbak Solikah, Mbak Narti dan Asih mencuci rantang kotor yang dibawa pulang Mas Omar.

Rantang-rantang yang dicuci adalah rantang-rantang bekas makan kemarin untuk dipergunakan besok. Rantang yang dipergunakan hari ini yang diisi dengan makanan adalah rantang kemarin, begitu seterusnya.

Hari Minggu, tidak lantas membuat mereka berempat beristirahat bekerja, karena bisa jadi ada pesanan datang mendadak untuk karyawan yang lembur. Tetapi penghasilan yang mereka terima sesuai dengan pekerjaan mereka. Jika tidak, bagaimana Mbak Solikah bisa bekerja begitu lama dengan bude?

Bekerja dengan Bude, ternyata tidak membuat ‘penyakit nakal’ku sembuh. Karena aku melihat Mas Omar, Mbak Solikah, Mbak Narti dan Asih itu lugu-lugu dan polos, taunya mereka hanya bekerja, malam nonton televisi, lalu tidur, besok bekerja lagi, begitu seterusnya, seperti putaran roda padati. Pagi buta mereka sudah harus bangun menyiapkan 150 (seratuslimapuluh) rantang nasi bersama lauk pauknya.

♤♤♤♤♤
 


Scane dua

Suatu sore aku menemukan Mbak Narti sedang berjongkok sendiri di luar dapur sedang mengupas telur yang sudah direbus untuk dimasak telur balado, sedangkan Mbak Solikah dan Asih sedang duduk di dipan yang berada di dapur mengupas bawang.

Kesempatan, batinku. Biar kugoda itu pengantin baru.

Sewaktu Mbak Narti menikah dengan Mas Omar, aku belum bekerja di sini. Aku bergabung dengan keempat karyawan budeku itu baru 1,5 bulan.

Aku mendekati Mbak Narti, lalu berjongkok di sampingnya. “Ada yang bisa kubantu nggak, Mbak Nar...?” tanyaku.

“Sudah hampir selesai... nggak usah, Mas Ali.” balas Mbak Narti.

“Mbak...” bisikku. “Mbak sudah hamil, belum?”

“He.. he.. belum...” jawabnya tertawa malu.

“Mas Omar nggak bisa main kali... atau jarang main, ya...?”

“Nggak tau...” jawabnya cemberut. “Sudah ah, pergi sana...” usirnya.

“Aku punya obat, nanti bisa buat Mbak Nur cepat hamil...” kataku membuat wajah Mbak Narti kembali normal.

“Berapa sih, harganya? Mahal nggak?”

“Coba Mbak Nar lihat dulu ini... panjang nggak?” aku berani mengeluarkan penisku yang tidak disunat dan masih ada kulit kulupnya itu sambil berjongkok, tidak terpikir olehku bagaimana nanti kalau Mbak Narti menjerit.

“Mmmhh... Mas Ali...!!” Mbak Narti menjerit kaget, tapi pelan jeritannya lalu kepalanya menoleh ke belakang melihat ke arah dapur.

Kesempatan tersebut tidak kusia-siakan, sengaja aku pakai untuk menarik tangannya. “Nggak...!!” jeritnya dan dengan kuat ia menarik tangannya yang sedang kugenggam pergelangan tangannya.

Tentu saja tarikan tangan Mbak Narti kalah dengan kekuatan tanganku yang mencengkeram pergelangan tangannya, apalagi napsuku lagi naik. Sambil kutuntun tangan Mbak Narti, Mbak Narti memegang penisku. Tapi hanya sebentar. “Mas ganggu aja...!” katanya cemberut lagi.

“Aku napsu sama Mbak...” sahutku.

“Kenapa nggak sama Mbak Solikah, kan suaminya jauh... atau Asih? Asih kan masih perawan...”

“Nggak...!” jawabku. “...meski Mas Omar mau membunuh aku...”

“Mas mau di sini, atau mau pergi...? Aku mau ambil tempat untuk menaruh telur yang sudah dikupas...” katanya.

“Aku jaga di sini...” alasanku, sebenarnya aku ingin menunggu Mbak Narti berdiri.

Sewaktu Mbak Narti berdiri, tanganku segera menjangkau kakinya, sehingga otomatis membuat Mbak Narti tertarik mendekatiku, lalu aku mencium bongkahan di selangkangannya yang tertutup celana jeans biru ketat.

“Mas, jangan dong... aku malu...” katanya pelan sambil menoleh ke belakang. Bongkahan di selangkangan Mbak Narti itu baunya amis campur bau asem keringat.

“Mbak benar-benar membuat aku napsu...” kataku. “Aku buka, ya...”

“Jangan di sini, Mas... nanti kelihatan mereka...” balas Mbak Narti. “Nanti mereka lapor Mas Omar... tau kan Mas Ali dengan mulut Mbak Solikah...”

Aku memeluk Mbak Narti dan mengecup bibirnya. Matanya terpejam. “Aku tunggu di kamar, ya...” kataku melepaskan Mbak Narti melangkah pergi ke dapur.

Aku pergi ke kamarku, tak lama kemudian Mas Omar pulang dengan mobil boxnya membawa rantang kosong.

♤♤♤♤♤
 


Scane tiga

Bude datang tanpa pemberitahuan, seperti mau ‘sidak’ saja, he.. he..
Dengan demikian, pengharapanku terhadap Mbak Narti harus ditunda sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Aku turun ke bawah, Bude sedang ngobrol dengan Mbak Solikah. Hanya sebentar, kemudian Bude naik ke lantai 2.

Aku naik belakangan, setelah aku mandi di kamar mandi bawah. Dan sesampai aku di depan pintu kamar yang terbuka, pertama yang aku lihat adalah tumpukan pakaian bude di tempat tidur, termasuk BH dan celana dalamnya, sedangkan Bude berada di dalam kamar mandi.

Sepi!

Aku mengambil BH bude yang berwarna abu-abu itu, lalu kucium cup BH-nya. Karena tubuh bude gemuk, cup BH-nya sangat besar sampai bisa menutup seluruh wajahku.

Masih terasa hangat cup BH Bude dan agak basah. Baunya wangi parfum bercampur bau keringatnya. Aku sedot dalam-dalam lalu kuganti mencium celana dalamnya. Celana dalam Bude berbau asem bercampur bau pesing.

Mendengar suara air bude menyiram lubang toilet, aku buru-buru keluar dari kamar dengan jantung berdebar. Sewaktu aku masuk ke kamar lagi, bude yang berdiri di depan cermin bulat berbalut handuk mengangkat satu tangannya mencabut bulu keteknya dengan pinset.

Aku mendekati bude. “Kamu masih keluar malam...?” tanya bude.

“Nggak Bude... Bude boleh tanya sama Solikah...” jawabku.

“Ngapain ditanya? Kamu sudah menjawab, apa belum cukup?” sahut bude. “Bude harap, penyakitmu itu jangan kumat, itu saja...!”

"Bude dari mana saja?"

"Habis dari nagih. Minggu kemaren temen arisan Bude nyuruh Bude jual rumah, lumayan dapat komisi 10 juta, nanti Bude kaasih kamu 2 juta, 1 juta buat makan." jawab bude.

Langsung aku memeluk bude dari samping dan mencium pipinya. Cup... muachhh... cup... muachhh... cup... muachhh... cup... muachhh... cup... muachhh...

Penisku ngaceng super keras seperti batang kayu ulin...!

♤♤♤♤♤

Untuk kami makan berenam, bude Prapti memesan makanan sampai semeja penuh. Tidak habis dimakan, Mbak Narti membungkus dan membawa pulang.

Mbak Narti pulang bersama Mas Omar dengan mobil box. Sedangkan bude Prapti mampir dulu dengan Mbak Solikah ke mini market. Giliran Asih pulang dengan aku, ia kelihatan senang banget, karena ia bisa berdekatan dengan 'boss kecil', padahal mereka tidak tau kalau bude memberikan aku sama besarnya dengan yang mereka terima. Aku tidak punya 'hak istimewa' dari bude.

Aku dan Asih pulang naik becak supaya bisa berdesak-desakan dan berkesempatan untuk aku memeluk Asih.

"Mbak Narsih bilang kamu sudah punya pacar, benar nggak sih, Sih...?" godaku, padahal Mbak Narti tidak pernah ngomong begitu.

“Mmmm... belum Mas... itu mulut Narti asal ngomong saja...”

"Kalau begitu Mas boleh cium bibir kamu, dong...?" kataku. "Kan kamu belum ada yang punya?"

"He.. he.."

"Jangan tertawa, boleh nggak? Mas sayang sama kamu, Sih..." kataku.

Leher Asih seperti tidak bertulang. Kepalanya langsung roboh di bahuku. Tunggu apa lagi?

Yang jelas tukang becak tidak tau aku mencium bibir Asih, karena terhalang atap becak. Bibir Asih masih kaku, tetapi aku tidak peduli. Aku lumat bibir Asih.

Aku masukkan tanganku ke kaos Asih, aku dorong BH Asih ke atas. Teteknya yang lumayan jumbo dan kencang itu aku remas-remas, meskipun napas Asih tersengal-sengal tidak aku lepaskan Asih.

Becak sampai di depan pintu pagar rumah bude, mobil box Mas Omar belum kelihatan. Setelah aku membayar ongkos becak, aku buka pintu pagar yang memang tidak pernah di kunci.

Aku menarik Asih ke sofa reot yang terletak di samping rumah. Di sofa reot itu aku kembali permak tubuh Asih. Asih seperti tidak kuasa melawan aku.

Aku permak tubuh Asih seperti aku ingin memperkosa adikku dulu, tetapi aku lebih jahat terhadap Asih, penisku yang tegang sudah kudorong masuk separuh ke lubang vagina Asih yang sempit.

“Mas jahat...!” kata Asih.

“Maafkan Mas Sih... Mas sayang sama kamu...” gombalku.

Kupeluk Asih erat-erat dan kucium bibirnya supaya ia tidak bisa menjerit saat kutusuk lubang vaginanya, slleee..eepppp.... lolos sudah penisku masuk ke lubang vagina Asih. Asih menggigit bibir bawahku, kuku jarinya mencakar punggungku.

Sofa reot yang belum sempat dibuang itu hanya berbunyi berderit-derit sebentar saja, air maniku langsung meluncur keluar di dalam vagina Asih.

Sherrr.... shheeerr... sheerr... sheerrr... sheerrr... sheerr.... Asih terengah-engah, aku juga terengah.

Malam rasanya bdgitu indah rasanya aku bersama Asih meskipun langit kelam tidak berbintang dan bercinta hanya di sebuah sofa reot.

Asih memeluk aku erat-erat membiarkan penisku tetap di lubang vagina. Tetapi tidak bisa selamanya. Sebelum bude dan teman-teman Asih pulang, aku harus bergerak cepat.

Aku bangun dari tubuh Asih dan menggunakan celana dalamku aku membersihan vagina Asih. Setelah itu aku memakai kembali celana dalam Asih.

Penisku terasa perih seperti masih terjepit. Beruntung Asih terhadap Mas Omar dan Mbak Narsih biasa-biasa saja. Ia masuk ke kamar mandi, lalu masuk ke kamar tidurnya dan tak keluar lagi.

Untung celana dalamku tidak kubuang ke tong sampah, ternyata terdapat noda darah perawan Asih yang sudah mengering.

Apakah Asih tau bahwa ia sudah tidak perawan?

♤♤♤♤♤
 


Scane empat

Aku berusaha sebiasa mungkin masuk ke kamar, karena Bude sudah duluan di kamar.

Sewaktu aku membuka pintu kamar, oh... astagaaaa... mau mundur menutup kembali pintu kamar sudah tidak mungkin, karena aku bisa dibilang bude takut padanya

Bude telepon sambil bersandar di tempat tidur dengan 2 buah bantal mengganjal di punggungnya, bude mengenakan kaos tanpa lengan dan hanya memakai celana dalam saja.

Melihat aku masuk, bude menggaruk pahanya seolah-olah ia memancing napsu mudaku.

Berani atau tidakkah aku? Siap tidakkah aku?

Segera aku melepaskan pakaianku dan hanya tinggal celana dalam, aku naik ke tempat tidur mencium selangkangan bude yang dibalut celana dalam hitam.

Bude masih terus telepon, kadang tertawa dengan lawan bicaranya di ujung sana. Ngobrol masalah bisnis, kudengar. Kadang bude juga jadi makelar tanah atau makelar berlian jika ada orang yang meminta ia sebagai perantara untuk menjualnya.

Bude tidak terusik meski aku sudah menyibak celana dalamnya dan menjilat belahan memeknya yang polos berbentuk 2 garis di bagian pinggirnya gemuk dan tembem (||). Kujilat sampai ke dalam lobangnya sehingga membuat bude mulai menggelinjang.

“Ohh... Aliii...” rintihnya. “Trusss... sampe Bude keluar, Lii...iihh... ooohh...”

Semakin kujilat belahan memek bude, belahan memek budepun melar kelihatan lobangnya yang bolong menganga. Itilnya menonjol sebesar biji jagung. Kujilat biji itu, kusedot dan kugigit kecil-kecil sehingga membuat bude semakin blisatan. Meliuk... merintih dan mengerang.

Akhirnya budepun terkapar di tempat tidur dengan napas ngos-ngosan.

“Keluar semua, Bude...?” tanyaku.

“Iya..ahh... lega banget dah, huuhh... tadi bawaannya mau marah terus... Asih sudah mau Bude semprot... suruh kerjain ini, kerjain itu... kayak buat kesalahan aja, menghindar dari Bude...”

Huhh... aku menghela napas panjang dengan jantung berdebar-debar. Secepatnya kutindih bude menghunus kontolku yang keras ke lobang di selangkangannya.

Bude memegang batang kontolku, lalu kutekan sambil kuayun memasukkan batang kontolku ke lubang memek bude yang seret.

Srettt... srrettt... srrett...

Perlahan kontolku yang tadi sudah makan korban vagina Asih, sekarang memek bude.

Bude sudah lama bude tidak bersuami, karena cerai. Anaknya hanya satu. Maka itu ia merintis usaha catering dengan Mbak Solikah.

Kubiarkan batang kontolku terjepit di dalam memek bude, rasanya begitu nikmat memek bude. Mungkin bude membawa memeknya ke salon untuk dipijit dan disinar Ultra Violet, sehingga memeknya bisa menghisap-hidap dan meremas-remas batang kontolku yang terkurung di dalam.

Kucium bibir Bude. Percumbuan seorang anak muda dengan wanita yang sudah lepas paruh baya rasanya sangat nikmat. Kupeluk erat bude sambil batang kemaluanku menjelajahi lubang kewanitaannya.

Aku tidak tahu lobang yang sudah keting karena sudah menopause ini masih ditanami singkong tidak setelah ia bercerai 10 atau 11 tahun yang lalu.

Bude menggoyang kontolku. Kontolku tertekuk berputar dan menukik seperti melumat lubang kenikmatan bude. Akhirnya kutekan kuat-kuat kontolku sewaktu sudah mau keluar benihnya. Kulepaskan lava hangatku yang kental di serambi rahim bude yang kedinginan, crrooootttt... crrootttttttt.... crrrooottttt.... crrooootttt... crrootttttttt.... crrrooottttt.... crrooootttt... crrootttttttt.... crrrooottttt....

"Nikmat, Bude..."

"Terasa sekali, sayang..."

"Mau nggak Bude jadi istri Ali...?"

"Bude sudah pernah disakiti laki-laki... kamu jangan sakiti Bude lagi ya, kalau mau jadi suami Bude..." kata bude.

"Ali berjanji gak akan nakal lagi..."

Malam itu bude dan aku bersetubuh beberapa kali lagi.

♤♤♤♤♤
 


Scane lima

Janji tinggal janji.

Aku ingin mencabuli Asih lagi, tetapi selalu tidak ada kesempatan.

Justru aku melihat Mbak Solikah sedang memijit Mas Omar di dipan, sedangkan Asih dan Mbak Narti mencuci rantang kotor yang dibawa pulang oleh Mas Omar.

Aku tidak ingin mengganggu mereka. Aku kembali ke kamarku.

Tak lama kemudian...

“Mas Ali...” panggil Mbak Solikah datang ke kamarku saat aku sedang membuat laporan untuk bude di depan komputer.

“Ya, Mbak...” jawabku menghentikan pekerjaanku.

“Ibu tadi pesan saya supaya Mas Ali ke rumah Ibu besok.”

“Ya, Mbak.” jawabku dan langsung aku menodong Mbak Solikah. “Mbak bisa mijit?”

“Mijit untuk sakit sih saya nggak berani Mas, tapi kalau untuk pegel-pegel... capek-capek, nggak apa-apa. Mas Ali mau mijit?” tanya balik Mbak Solikah.

“Ya Mbak, tapi Mbak lagi sibuk, nggak?”

“Nggak sih... Narti sama Asih juga lagi istirahat, hari ini kan kita keluarkan hanya 100 rantang Mas...”

“O... iya... lupaaa.... he..he..” jawabku tertawa.

“Mas mau mijit sekarang?”

“Kalau Mbak gak sibuk.” jawabku.

“Sebentar ya, Mas... saya cuci tangan dulu...”

“Nggak usah turun, di situ saja...” tunjukku ke kamar mandi.

“Sekalian mau memberitahukan sama mereka Mas, supaya gak dicari...”

Sekitar 10 menit, Mbak Solikah sudah berada di kamarku. Mbak Solikah cantikkah? Tubuhnya sudah tubuh ibu-ibu. Lengannya besar, perut agak buncit dan payudaranya sudah menggantung. Kulitnya sawo matang, daun hidungnya lebar dan rambutnya selalu dikonde, sehingga jidatnya kelihatan terang.

Pertama, Mbak Solikah memijit pundak dan punggungku, aku duduk saja di bangku masih memakai kaos. Maksudku supaya ia bisa beradaptasi dulu denganku sambil aku tanya pekerjaan Asih dan Mbak Narti.

“Jangan anggap aku keponakan boss ya, Mbak.” kataku. “Meskipun aku keponakannya boss, aku juga digaji kok seminggu sekali sama dengan Mbak, Mbak Narti, Asih dan Mas Omar.”

“Saya sih nggak, Mas. Ibu juga gak menganggap saya pembantu, maka itu saya bisa bekerja lama di sini.” jawab Mbak Solikah. “Dulu... nggak kayak sekarang Mas,” lanjut Mbak Solikah. “Ibu kadang-kadang kasih saya duit 2 bulan sekali. Untung suami mau ngerti... nggak kayak Omar sama Narti, suami-istri bekerja, tapi ngeluh terus setiap hari nggak ada duit... pinjem sama saya, pinjem sama Asih...”

“Sudah, nanti saya tambahin Mbak...”

“Nggak usah Mas, mereka kembaliin kok...”

“Kalo gitu, saya lepaskan kaos dan baring ya, Mbak...” sambungku.

“Ya... sekalian mau diurut nggak Mas, tapi gak ada minyak...”

“Nggak ada minyak, nanya... hade..eehh... Mbak...” kataku.

“He.. he.. dulu sebelum Mas Ali di sini, mana berani guyonan begini, Mas...”

“Masa sih? Nggak pernah guyonan tegang dong, Mbak... urut pakai minyak sayur aja, Mbak...”

“Habis itu digoreng ya, Mas...”

He..he.. kalau aku mau peluk Mbak Solikah sekarang, selesai sudah ia memijit aku. Tapi nanti saja biar aku pelihara Mbak Solikah sampai Mbak Solikah semakin jinak, seperti burung kutilang kalau dilepas bisa balik lagi ke kandangnya sendiri.

Dengan piring kecil, Mbak Solikah membawa minyak masuk ke kamarku. Aku membiarkan ia mengurut pundak dan punggungku. Memang enak pijit urut Mbak Solikah, meskipun tangannya agak kasar, karena bertahun-tahun dari pagi sampai malam ia bekerja.

“Mas, ini mau diurut, nggak?” tanya Mbak Solikah memegang pantatku yang tertutup celana pendek setelah ia selesai mengurut punggungku.

“Mau dong...” jawabku.

“Celana saya buka, ya...” katanya.

Belum sempat aku menjawab, kedua tangan Mbak Solikah sudah menarik turun celana pendekku. Aku angkat bokongku sedikit, lolos sudah celana pendekku dari kedua kakiku.

Melihat tubuhku yang telanjang Mbak Solikah tidak mengeluarkan kata-kata keberatannya. Ia mengurut pantatku dengan minyak sampai masuk ke bagian dalam pahaku. Aku sengaja membuka lebar pahaku supaya penisku kelihatan olehnya, tetapi ia masih terus... terus... terus mengurut.

“Mbak, nanti tolong dikocok, ya?”

“Apa yang dikocok, Mas?”

“Dikeluarkan maksudku, karena sudah lama aku nggak ngewek... cari cewek, Mbak...!”

“Saya sangka Mas sudah punya pacar...”

“Hadehh, Mbak... kalau aku sudah punya pacar, nggak setiap malam minggu ngendon di kamar, Mbak...”

Aku langsung membalik tubuhku terlentang, dan aku meremas-remas penisku di depan Mbak Solikah.

“Hi.. hi... Mas... panjang, Mas...” kata Mbak Solikah melihat penisku yang sudah mulai tegang.

“Iya Mbak, takut ya... Mbak mau begituan...?”

“Ih... nggak...! Pulang aja saya nggak...!” jawab Mbak Solikah.

“Sekarang mulai lagi... sama aku...”

“Hihh...” Mbak Solikah bergidik.

Selanjutnya aku pegang buah dadanya dari luar kaosnya. “Besar!” kataku. “Buka dong...”

Mbak Solikah benar-benar mengangkat kaosnya dengan kedua tangannya, kemudian dikeluarkannya leher kaosnya dari kepalanya. BH-nya BH merah yang kekecilan untuk buah dadanya yang besar.

Aku bangun mencium belahan dadanya yang dalam. “Hikss... basah, Mas... keringetan...”

Tapi kujilat saja belahan dada Mbak Solikah. Bersamaan dengan itu tangan Mbak Solikah menggenggam batang penisku.

“Masukin ke sini ya, Mbak...” aku memegang selangkangan Mbak Solikah.
“Takut sakit Mas... sudah lama nggak...”

Peduli amat!

Aku tarik turun celana Mbak Solikah. Karena pinggang celana Mbak Solikah dari bahan karet elastis, jadi celananya gampang kutarik turun. Mbak Solikah memakai celana dalam berwarna coklat muda setinggi pinggang.

Kulihat perutnya sudah kedodoran. Nggak apa-apa, “Celana dalamnya...” kataku.

Mbak Solekah sudah seperti kuhipnotis. Ia segera melepaskan celana dalamnya, lalu selangkangannya ditutupinya dengan telapak tangan. “Sudah jelek Mas, malu... hi..hi... sudah ibu-ibu...”

Tapi kusingkirkan tangannya, ia tidak menolak dan malah ia membiarkan jariku masuk ke lubang vaginanya yang basah. Bulu kemaluannya hanya tumbuh di bagian atas vaginanya.

Aku korek-korek lubang itu sambil Mbak Solikah berdiri, hingga lubang itu menjadi sangat basah dan berbau amis. Jariku jadi ikut basah lengket dan berbau amis.

“Bulunya dicukur ya Mbak, biar sehat dan bagus...” kataku.

♤♤♤♤♤
 

Scane enam

Mbak Solikah berbaring melintang di tempat tidur sambil kedua kakinya menggantung di tepi tempat tidur, sedangkan di bawah pantatnya kulapisi dengan beberapa lembar kertas HVS supaya nanti kalau bulu jembutnya dicukur tidak mengotori tempat tidur.

Tetapi sebelum dicukur, kucium jembutnya. “Hiks...” Mbak Solikah tertawa malu, lalu kunaikkan kedua kakinya tertekuk berdiri di tempat tidur sambil kubuka lebar pahanya. Bibir vaginanya keriput berwarna lebih coklat dari kulit pahanya.

Mulai kugunting pendek bulu jembut Mbak Solikah dengan gunting kecil supaya nanti gampang dicukur. Untung bude menyimpan gunting kecil yang tajam. Dan tidak sampai 10 menit, di atas vagina Mbak Solikah sudah tinggal bulu-bulu jembut yang pendek.

Sempat terbayang olehku, kepikiran nggak ya Mbak Solikah dengan suaminya, atau dengan Mbak Narsi dan Asih nanti akan bernasib sama dengan dirinya?

Kucukur sisa jembut Mbak Solikah dengan pisau cukur dan sebelumnya bulu jembut Mbak Solikah kuolesi dulu dengan foam. Ngingg... ngingg... nginggg... plontos sudah vagina Mbak Solikah tidak ada bulunya. Kusingkirkan kertas HVS dari bawah pantat Mbak Solikah, kemudian kubungkus bulu-bulu jembut itu.

Setelah itu kutaroh cermin di depan selangkangan Mbak Solikah yang kini botak plostos. Mbak Solikah tertawa.

Aku naik ke atas tempat tidur memeluk Mbak Solikah. “Mass...” desah Mbak Solikah balas memelukku.

Aku mencium bibir Mbak Solikah sambil memasukkan penisku ke lubang vagina Mbak Solikah. Rasanya begitu sesak dan nikmat penisku mendiami lubang yang sempit dan basah itu.

“Oohhh... Masss... oohh..." desah Mbak Solikah sewaktu penisku mulai menggenjot lubang vaginanya.

Selama 15 menit aku dan Mbak Solikah meluapkan nafsu kami dalam persetubuhan yang panas dan nikmat.

Setelah selesai kulihat Mbak Solikah kembali bergabung dengan ketiga teman kerjanya, Mbak Solikah tampak biasa-biasa saja, tidak menjadikan ia berbeda dengan yang sebelumnya.

Sudah 3 wanita di rumah ini yang pernah kusetubuhi, yaitu Asih, bude dan Mbak Solikah.

♤♤♤♤♤

 
Scane tujuh

Mas Omar mengantar aku ke rumah bude Prapti sembari ia mengantar catering. Nanti Mas Omar akan menjemput aku.

Di dalam halaman rumah bude Prapti, terparkir sebuah mobil yang belum pernah kulihat sebelumnya. Apakah bude membeli mobil?

Tidak mungkin!

Pasti bude ngomong padaku, karena baru seminggu yang lalu lubang memeknya menampung pejuku sampai 4 kali, masa bude gak ngomong?

Instingku berkata lain, sehingga aku tidak mengetuk pintu rumah bude, melainkan aku berjalan ke samping melalui bekas garasi dan oh, terdengar suara laki-laki di kamar.

Aku oh... lagi, bahkan hampir aku berteriak sewaktu aku melihat dari kaca jendela yang kain gordinnya tidak tertutup rapat, tubuh bude Prapti yang telanjang sedang ditindih oleh seorang laki-laki yang juga telanjang.

Mereka sedang berciuman buas sambil pantat laki-laki itu bergerak cepat naik-turun dan laki-laki itu adalah.... OM PARJO, mantan suami bude Prapti!

Bude Prapti seperti ingin membalas dendam padaku karena janjiku yang tidak kutepati. Aku telah berselingkuh dengan Mbak Solikah.

Aku mengobrak-abrik pot tanaman di halaman bude Prapti, lalu aku meninggalkan rumah bude Prapti pulang naik ojek sepeda motor.

Rasa kecewaku ingin aku lampiaskan pada Asih, ternyata Asih sedang sibuk.

Saat aku patah hati seperti itu, Mbak Narti datang membawakan aku segelas teh hangat. "Minum dulu, Mas. Mas Ali sakit, ya?"

Mbak Narti memberikan bahunya untuk aku menyandarkan kepalaku. Ia merangkul aku. "Aku pijit ya, Mas..." katanya penuh perhatian padaku.

Aku menurut saja sewaktu Mbak Narti menyeret aku ke kamarnya. Ia merebahkan tubuhku di kasur, tempat yang ia tidur dan bersetubuh dengan Mas Omar, tetapi tidak hanya itu...

Mbak Narti melepaskan semua pakaiannya dan dengan telanjang bulat ia memasrahkan tubuhnya padaku.

Mbak Narti memeluk aku dengan mesra, tetapi sama sekali aku tidak bernapsu pada Mbak Narti. Aku masih kecewa dengan bude Prapti. Aku hanya memeluk tubuh Mbak Narti yang telanjang itu.

Mbak Narti memplorotkan celana jeansku bersama celana panjangku. Ia mencium penisku. Ia memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Mbak Narti melayani aku seperti suaminya.

Nafsuku pun bangkit. Penisku yang tegang segera kuhunuskan ke selangkangan Mbak Narti dengan menindihnya.

Sambil aku melumat bibir Mbak Narti, kutekan penisku ke lubang vagina Mbak Narti. Penisku seperti memiliki panca indra yang keenam, dengan satu hentakan, penisku menguak lubang vagina Mbak Narti yang sempit.

Blleessssss...

Mbak Narti mencakar punggungku saat penisku menembus lubang vaginanya. "Ahh... Mass, ooohhh...!!" jeritnya lirih.

Aku memeluk Mbak Narti erat-erat. Aku menggenjot lubang Mbak Narti sambil kuhisap teteknya yang mungil.

"Ooohhh... Maa...aazzz... ooohh..."

"Enak ya, sayang...?"

"Yeah, Masss..." jawab Mbak Narti manja sambil kedua kakinya merangkul pantatku.

Aku menyemburkan air maniku di lubang vaginanya. Puas dan nikmat, untuk sejenak aku melupakan kekesalanku terhadap bude Prapti.

Tetapi sungguh mengejutkan aku, bude Prapti datang ke tempat cateringnya dengan Om Parjo. Bude Prapti berkata padaku bahwa mereka akan menikah di Bali minggu depan.

Aku lebih kaget lagi.

Kemudian Om Parjo pergi sendirian, bude Prapti di tinggal. Tak lama Om Parjo pergi, bude masuk ke kamar. Bude tidak tahu aku mengikutinya.

Di kamar aku melihat bude melepaskan pakaiannya satu persatu. Saat bude sudah telanjang, aku menyerbu masuk ke kamar, aku dorong bude ke tempat tidur.

Sebelum kaget bude Prapti hilang, kontolku sudah mendekam di lobang memeknya. "Kalau Bude menikah dengan Om Parjo, aku akan bunuh diri," kataku.

Bude menangis. Bude memeluk aku. Perlahan-lahan aku mengeluarkan peju di rahim bude.


Tolong pilih untukku, wanita manakah yang cocok kujadikan istriku di antara keempat wanita itu?
 
Scane berikut ini aku tulis di tengah keriap suara air di Waduk Jatiluhur yang sunyi.


Scane delapan

Tengah malam pintu kamarku digedor. Ternyata Mbak Solikah.

"Asih muntah-muntah, Mas." kata Mbak Solikah yang tidur sekamar dengan Asih.

Aku menyuruh Mbak Solikah membawa Asih ke kamarku. Asih kelihatan lemah dan wajahnya pucat. Tempat dokter praktek tengah malam begini pasti sudah tutup. Aku menyuruh Mbak Solikah mengerik Asih saja.

Setelah Mbak Solikah menyiapkan alat--alat mengeriknya, Mbak Solikah membuka pakaian tidur Asih. Hanya pakaian atas saja yang dibuka, pakaian yang di bawah, celana panjang tidak dibuka, sehingga dada Asih hanya tertutup BH.

Lalu Mbak Solikah membuka BH Asih supaya punggung Asih bisa dikerik. Mbak Solikah tidak hanya membuka pengait BH Asih saja, tetapi BH itu dilepaskan dari dada Asih, sehingga terbukalah tetek Asih yang pernah kuremas dan kuhisap pentilnya itu di malam pulang makan dari restoran, sekaligus malam itu Asih kehilangan keperawanannya.

Saat Mbak Solikah mengerik punggung Asih, Mas Omar dengan Mbak Narsih datang ke kamarku mungkin tadi mendengar suara ribut Mbak Solikah membangunkan aku.

Aku melihat Mas Omar memandang tetek Asih yang telanjang sampai matanya melotot. Tetek Asih memang jumbo dan kencang dibandingkan tetek istrinya, Mbak Narti yang kecil.

Tetapi kemudian aku melihat di dalam daster Mbak Narti, Mbak Narti tidak memakai BH. Akupun terangsang, lalu aku memutuskan menyingkirkan Mas Omar dengan menyuruhnya pergi membeli obat untuk Asih di apotik yang buka 24 jam.

Mas Omar pergi, Mbak Solikah menyuruh Mbak Narti mengambil air minum untuk Asih. Mbak Solikah seolah-olah memberikan aku kesempatan dengan Mbak Narti. Akupun mempergunakan kesempatan itu ikut Mbak Narsih ke dapur.

Aku memeluk Mbak Narsih dari belakang. "Jangan dulu ya, Mas. Maap..." kata Mbak Narsih. "Aku lagi telat datang bulan. Aku... aku... aku... takut hamil, Mas...!"

"Punya suami, kenapa takut hamil?"

"Bukan punya Mas Omar di dalam, punya Mas...!"

"Berbahagialah kamu, Mbak Nar... dapat anak dari aku..."

"He.. he.." Mbak Narti tertawa senang.

"Jadi, boleh dong aku ngewek kamu..." kataku.

Sebentar kemudian Mbak Narti sudah memberikan vaginanya untuk dijilat sambil ia berbaring telanjang di tempat tidurnya. Hanya menjilat sebentar, langsung aku memasukkan penisku ke lobang vagina Mbak Narsih yang bau amis, blluuusss....

Mbak Narsih tersentak sebentar, lalu berbaring dengan pasrah membiarkan penisku bergerak menghentak-hentak di lobang vaginanya.

Di luar aku mendengar suara mobil box Mas Omar, aku masih menggoyang memek istrinya sampai lubang itu basah kuyup. Sewaktu kudengar Mas Omar membuka pintu depan dengan kunci, aku menghisap tetek Mbak Narsih kuat-kuat sembari penisku kumasukkan sejauh mungkin ke lubang vaginanya.

"Ouuuggghhh... Mmaaa...aasss..." rintih Mbak Narti, mungkin penisku tertusuk rahimnya.

Ccrrrooottt.... crrrooottt... crrroottt... crrooott... crrrooottt... crrroottt... crrooott... crrrooottt... crrroottt... crrooott...

Puas, aku cabut penisku, lalu memakai kembali celanaku, sedangkan Mbak Narti masih berbaring di tempat tidur dengan telanjang. Lobang vaginanya menganga berisi air maniku.

Bertemu dengan Mas Omar di kamarku, aku berusaha memendam debaran jantungku dan saat itu Mbak Solikah juga sudah selesai mengerik Asih.

Punggung Asih yang dikerik oleh Mbak Solikah sampai merah sekali itu seperti sebuah lukisan abstrak. Aku memberikan obat untuk Asih minum.

Setelah itu Asih tidur satu ranjang denganku sambil aku memeluknya, sedangkan Mbak Solikah tidak balik ke kamarnya. Mbak Solikah tidur di bawah dengan kasur terpisah.

♤♤♤♤♤

 

Scane sembilan

Mungkin karena pengaruh obat, atau bisa juga karena pelukanku yang hangat membuat Asih cepat tertidur.

Aku turun berbaring bersama Mbak Solikah. Mbak Solikah sedang menungguku.

"Masss... eeeh..." desah Mbak Solikah memelukku.

Aku mencium bibirnya, memeluknya dan meremas teteknya yang masih berada di dalam BH.

"Aahhh... aahhh... ahhh..." desah Mbak Solikah sambil tangannya meraba-raba selangkanganku. Ketika ia punya kesempatan, ia pun mengeluarkan penisku yang tegang dari balik celanaku.

Setelah itu Mbak Solikah melepaskan dasternya, BH dan celana dalamnya. Mbak Solikah memasrahkan tubuh telanjangnya padaku.

Teteknya kemudian aku remas-remas, dan putingnya aku hisap sedangkan 3 jariku men-chop lobang vaginanya yang basah.

Chopp... chopp... chopp..

"Ouughh... oogghh... Maa...aasss... uughhh... oogghhh..."

Selesai aku chop, sewaktu aku mencabut jariku dari lobang vagina Mbak Solikah, jariku jadi basah, licin, lengket dan berbau amis.

Aku tidak jijik dengan bau amis dari lobang vagina Mbak Solikah, aku jilat belahan vagina Mbak Solikah... slurpp... sluurpp... sluurrpp....

"Ooohhh... Maaa...aasss... ooooohhhh.... aku mau kenciii...iinggg... Massss... oohhhhh...." rintih Mbak Solikah sembari teteknya diremas-remasnya. "Ooogghhh... oogghhh... ooogghhh..."

Lidahku lalu menjelajah masuk ke lobang vaginanya. Di dalam lobang vagina Mbak Solikah lebih banyak lendir lagi dan rasanya hambar.

Aku keluarkan lidahku setelah beberapa saat lidahku menikmati lobang vaginanya dan dengan mulut kemudian aku menyedot biji kelentit Mbak Solikah yang sudah mengeras.

"Ooooohhhh.... Maaa...aassss... ooohhh..." jerit Mbak Solikah di tengah malam ketika ia orgasme. Napasnya mendengus-dengus, kedua tangannya mencengkeram kasur kuat-kuat dan matanya terbelalak hanya kelihatan putihnya saja.

Karena takut Asih bangun, aku segera memasukkan penisku yang tegang ke lobang vagina Mbak Solikah menyetubuhi Mbak Solikah sampai air maniku keluar di lubang vaginanya.

Karena Mbak Solikah perlu menyiapkan catering, Mbak Solikah pergi dari kamarku jam 4 pagi. Asih ikut bangun.

"Nggak usah kerja dulu," kataku pada Asih.

"Aku sudah sembuh, Mas..."

Aku pegang teteknya. "Jangan, Mas..."

Tetapi sudah kucium bibir Asih. Setelah itu aku tidak mau berpikir panjang lagi. Celana panjang Asih bersama celana dalamnya kutarik lepas.

Melihat vagina Asih yang telanjang di depanku napsuku bergejolak hebat. Aku segera membuka paha Asih yang mulus putih itu lebar-lebar. Tidak perlu lama lobang vagina Asih yang sempit itupun menelan penisku panjang-panjang.

Aku sebenarnya bukan menyetubuhi Asih, tetapi aku memperkosa Asih! Asih mau menangis, tidak keluar air matanya.

♤♤♤♤♤
 

Scane sepuluh

Bude Prapti mengajak aku ke Bali untuk menghadiri pernikahannya dengan Om Parjo. Aku menurut saja, karena aku belum pernah ke Bali, aku ingin melihat Bali juga.

Kami naik pesawat terbang pergi ke sana. Sesampai di sana, kami dijemput oleh adik Om Parjo yang tinggal di sana, lalu kami dibawa ke hotel.

Di hotel, aku diberi satu kamar sendiri, bude dan Om Parjo satu kamar.

Besok mereka akan melakukan pernikahan ulang di sebuah restoran setelah bercerai selama 11 tahun. Aku sudah tidak cemburu dan marah dengan keputusan yang diambil bude. Aku juga harus memahami bude dan tidak melulu diriku saja yang harus dipahami.

Jikalau hanya masalah seks, bukankah aku masih punya Mbak Narti, Asih dan Mbak Solikah? Di tempat catering bude, aku sudah seperti hidup poligami dengan ketiga wanita itu.

Bude menelepon aku supaya aku ke kamarnya jam 5 sore, bude mau mengajak aku 'dinner'. Tetapi jam 4 sore setelah aku siap, aku pergi saja ke kamar Bude. Aku bisa ngobrol dengan Om Parjo.

Bude sendiri yang membukakan pintu kamarnya untuk dan sewaktu kulihat bude hanya mengenakan handuk, tidak ada Om Parjo di kamar, napsu liarkupun langsung naik ke ubun-ubun.

Aku memeluk bude. "Bude harus memberikan aku untuk yang terakhir kali sebelum menikah dengan Om Parjo." kataku.

"Kamu nggak usah memaksa Bude, sayang." jawab bude dengan lembut. "Dari mulut Bude, Bude gak pernah sepatah katapun melarang kamu kan..."

Bude menarik aku ke tempat tidur. Kami roboh bersama ke kasur, lalu saling berciuman. "Puaskan Bude, sayang. Bude belum merasa puas, kalau tidak bersama kamu." bisik bude Prapti.

"Aku mencintai Bude." kataku. "Tetapi kontolku juga kupakai di lubang Asih, di lubang Solikah... sama..."

Bude menggigit penisku. "Bude gigit sampai putus sekalian." kata bude gemes.

Namun kemudian bude mengulum zakarku. Dihisapnya... disedot-sedotnya dan dijilatnya sampai ke batang penisku, ooohhh... batang penisku dihisapnya, oohhh...

Setelah itu bude nungging menyuruh aku menusuk lubang buritnya. Sebelum melakukan, terlebih dahulu bude mengoleskan jelly ke seluruh batang penisku yang tegang.

Berani sumpah, senakal-nakalnya aku, belum pernah aku ngentot di lubang burit cewek, baru kali ini dengan bude Prapti.

Aku lakukan saja. Aku sarungkan penisku ke lubang anus bude Prapti dari belakang sambil bude nungging di tempat tidur. Karena diolesi jelly, jadi memudahkan aku menjejali penisku ke lubang anus bude Prapti yang sempit.

Dengan satu desakan, aku segera memacu lubang anus bude keluar-masuk sembari kupegang pinggul bude.

"Keluarkan di dalam ya, sayang... nggak papa..." kata bude, mungkin bude merasa aku memacu lubang anusnya maju-mundur-keluar-masuk semakin cepat dan napasku juga semakin berat.

"Ouuuuggghhh...." lenguhku sambil mengejang di dalam anus bude, crroootttt... crrrooottt... crrooott... crrooottt... crroott... crroott... rasanya sungguh sensasional, nikmatnya luar biasa, hu....

Bude tidak mengingini aku mencabut penisku segera dari lubang anusnya.

Beruntung aku sudah duduk ditemani segelas kopi di meja sewaktu Om Parjo masuk ke kamar.

Saat aku sedang ngobrol dengan Om Parjo, bude keluar dari kamar mandi, lalu melepaskan handuknya di depan kami berdua.

Wawww...

Om Parjo memandang aku, aku memandang Om Parjo. "Ngaceng kamu...?" bisik Om Parjo. "Ayo, sikat..." suruh Om Parjo.

"Om duluan..." jawabku.

Sebentar kemudian aku sudah menyaksikan keduanya bertelanjang bulat bergelut di tempat tidur. Di depanku Om Parjo tidak segan-segan memasukkan kontolnya ke lobang tempik bude.

Tetapi belum sampai 5 menit kontol Om Parjo bekerja memompa lobang tempik bude, napas Om Parjo sudah mendengus-dengus, lalu menjatuhkan tubuh telanjangnya ke samping bude dengan kontol yang sudah 'layu sebelum berkembang'.

Aku memeluk bude. "Ayo, ngentot Bude lagi, sayang." suruh bude.

Aku tidak melakukannya saat itu.

♤♤♤♤♤
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd