Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA KEPUTUSANKU ( NO SARA )

Status
Please reply by conversation.
Lanjut ya....




Aku melihat ummi berjalan dari dapur kearahku sambil membawa nampan yang berisi 2 cangkir teh. Lalu memberikan teh hangat kepadaku. Aku pun langsung meminumnya. Setelah aku meminum teh buatan ummi aku merasa lebih enakan walaupun rasa itu masih ada.

Ummi : " Gimana nak.... Udah enakan? ". Tanya ummi.

Aku : " Alhamdulillah ummi ". Jawabku.

Aku melihat saat itu pukul 05.30 WIB. Aku masih terduduk di ruang tv dengan Ummi. Aku juga melihat kalau ummi diam menunduk. Entah apa yang difikirkan ummi aku tidak tau. Sampai terdengar nada dering dari hapeku berbunyi. Aku langsung mengambil hapeku dan melihat siapa yang menelponku pagi-pagi begini. Aku melihat layar hapeku ternyata Kak Nissa yang menelponku. Segera aku mengangkat telpon Kak Nissa.

Aku : " Assalamualaikum kak.... Ada apa kak ". Salamku.

Kak Nissa : " Waalaikum salam... Aa.. Ddeeekkk.... Hiks... Hikkssss.... ". Jawab Kak Nissa.

Aku : " Ehh... Sebentar.... Kenapa kakak nangis... Ada apa kak... ". Tanyaku.

Kak Nissa : " Ee... Evi... Evi dek... Eevv.... Hiks.... Hiks... ". Jawab Kak Nissa.

Aku : " Kak... Kenapa sama Kak Evi kak... Kenapa ". Tanyaku.

Kak Nissa : " Evi... Kec.... Kecelakaan... Dek.... Huaaaa..... Huaaaaa...... ". Jawab Kak Nissa.

Saat itu badanku langsung lemas dan terduduk dilantai. Ternyata ini jawaban dari semua yang aku rasakan dari semalam. Aku terkejut saat suara ibuku memanggilku lewat telpon.

Bunda : " Azam... Sekarang kamu ke rumah sakit MP ya... Bunda sama kakakmu juga mau kesana... Disana sudah ada ustadz Pawan sama ustadzah Mina... Azam.... Kamu dengar kan?.... Azam.... Hahhh..... Yasudah bunda tutup telponnya.... Assalamualaikum ". Kata ibuku.

Aku hanya diam saja saat ibuku berkata. Aku menunduk dan entah kenapa aku merasakan sesak didadaku. Padahal dia bukan siapa-siapaku. Saudara juga bukan. Tapi aku merasakan kalau aku sangat dekat dengannya. Apa benar yang Kak Nissa katakan dulu kalau aku ada rasa dengannya begitu juga dengan dia?. Entahlah....

Setelah aku merasa lebih enakan aku langsung bangkit dan berganti pakaianku. Setelah itu aku pamit dengan ummi kalau aku mau ke rumah sakit untuk menjenguk kawanku yang kecelakaan. Setelah itu aku langsung saja menuju ke rumah sakit MP tempatku dirawat dulu juga karena kecelakaan sampai hilangnya aset berhargaku.

Selama aku di perjalanan aku berusaha untuk fokus dalam berkendara tapi tetap pikiranku kemana mana. Serasa sangat jauh jarak antara rumah Abi Ikhsan dengan rumah sakit MP. Padahal hanya 15 menit saja.

Setelah perjalanan yang kurasa jauh tapi hanya 15 menit aku akhirnya sampai di rumah sakit MP. Aku langsung memarkirkan motorku setelah itu aku masuk kedalam rumah sakit itu. Karena aku tidak tau bangsal apa aku telpon ustadz Pawan. Ustadz Pawan mengatakan kalau belum bisa ke bangsal dan masih di kamar ICU. aku langsung segera ke sana.

Setelah aku melihat Ustadz Pawan dan istrinya aku bergegas untuk menyusulnya.

Aku : " Assalamualaikum.... ". Salamku.

" Waalaikum salam... ". Jawab ustadz Pawan dan istrinya Ustadzah Mina.

Ustadz Pawan langsung memelukku. Aku juga langsung membalas pelukannya. Setelah itu aku melepaskan pelukan Ustadz Pawan dan bertanya.

Aku : " Gimana Ustadz keadaan Kak Evi? ". Tanyaku.

Ustadz Pawan : " Alhamdulillah Zam... Tapi masih kritis ". Jawab Ustadz Pawan.

Lalu Ustadz Pawan menceritakan kronologi kecelakaan itu.

Jadi Kak Evi itu pulang dari mengajar di yayasan tuna wicara. Pada saat hendak menyebrang jalan raya dari arah barat ada truk muatan kelapa sawit yang melaju cukup kencang dan tidak kontrol setelah itu karena jarak antara truk dan Kak Evi sangat dekat maka truk tersebut tidak sempat untuk mengerem dan terjadilah kecelakaan itu. Diduga sopir truk tersebut mengantuk karena kecapekan bekerja. Menurut saksi mata Kak Evi terpental beberapa meter dan saat terpental Kak Evi menabrak tiang listrik setelah itu para warga setempat langsung menolong Kak Evi yang tergeletak dibawah tiang listrik dengan banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Ada saksi mata juga yang bilang kalau Kak Evi pada saat terpental dan menabrak tiang listrik itu tepat pada perutnya.

Lalu untuk sopir truk itu dibawa ke polres setempat untuk dimintai keterangan dan juga beberapa saksi.

Dan untuk Kak Evi juga langsung dibawa ke rumah sakit MP oleh warga setempat.

Saat Ustadz Pawan menerima kabar langsung saja ke rumah sakit MP bersama istrinya. Disaat mereka tiba ternyata kondisi Kak Evi benar-benar sangat kritis dan dokter begitu tau bahwa orang tua dari Kak Evi sudah datang langsung memberitahu bahwa Kak Evi harus menjalani oprasi karena beberapa tulang rusuk patah dan yang lebih membuat Ustadz Pawan merasa sangat terpukul atas kejadian itu adalah Kak Evi mengalami benturan yang cukup hebat pada bagian perut bawah sehinga rahimnya mengalami cidera parah dan harus segera diangkat karena bisa membahayakan nyawanya.

Ustadz Pawan mendengar itu langsung lemas begitu juga dengan istrinya Ustadzah Mina. Mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi selain pasrah. Lalu setelah mereka sedikit tenang mereka langsung pergi ke mushola untuk melakukan sholat istikharah dan hajad.

Setelah selesai dan mereka merasa lebih baik mereka langsung menemui dokter yang menangani Kak Evi dan mereka memutuskan untuk segera melakukan operasi pengangkatan rahim.

Setelah itu dokter langsung bersiap-siap untuk melakukan operasi tersebut beserta beberapa ahli dokter bedah lainnya.

Mereka hanya bisa berdoa untuk Kak Evi agar diberi keselamatan dan jalan yang terang.

Setelah menunggu lebih dari 6 jam akhirnya dokter pun keluar dari operasi dan mengatakan kalau pengangkatan rahim Kak Evi telah berhasil dilakukan dan berhubung kondisi Kak Evi masih kritis maka dipindah dari ruang operasi ke ruang ICU.

Aku mendengar itu semua langsung lemas dan tidak tau harus berbuat apa. Tanpa sadar aku meneteskan air mata karena aku sangat tau bagaimana kalau seseorang kehilangan aset berharga mereka pasti akan depresi kalau tidak kuat dan ikhlas.

Ustadz Pawan juga tau kalau aku mengalami hal serupa yaitu kehilangan aset berhargaku karena beliau dan istrinya menemani ibuku pada saat aku menjalani operasi pengangkatan testisku.

Aku menghela nafas panjang dan mencoba untuk tidak larut dengan kesedihan.

Aku : " Ustadz... Ustadz tau kan kalau aku juga mengalami hal serupa dengan Kak Evi yaitu kehilangan aset berharganya jadi aku menyarankan untuk tetap berada didekatnya karena walau bagaimanapun Kak Evi harus tau hal ini dan beri pengertian terhadapnya jangan sampai gara-gara hal ini Kak Evi jadi depresi yang berlebihan ". Kataku sambil menahan air mataku.

Ustadz Pawan : " Iya Zam itu pasti... Entahlah Zam bagaimana nasibnya besok ketika sudah sehat dan beraktifitas lagi... Apakah ada yang mau menerima apa adanya atau tidak karena walau bagaimanapun itu juga sangat berpengaruh dengan mentalnya juga dan itu tidak akan bisa diapakan lagi... ". Jelas Ustadz Pawan sambil menahan air matanya.

Aku : " Ustadz... Jika Ustadz berbicara seperti itu lalu bagaimana juga denganku? ". Kataku.

Aku sangat mengerti dan faham apa yang dirasakan beliau.

Ustadz Pawan : " Ehh... Astaghfirullah... Astaghfirullah... Astaghfirullah... ". Kata Ustadz Pawan.

Ustadz Pawan langsung beristighfar setelah aku berkata seperti itu karena beliau juga tahu keadaanku. Aku sangat mengerti kenapa beliau berkata seperti itu karena walau bagaimanapun sebagai orang tua walaupun itu orang tua angkat tidak mau kalau anak-anak mereka mengalami hal semacam itu.

Ustadz Pawan : " Maaf Azam saya tidak bermaksud berkata seperti itu ". Kata Ustadz Pawan.

Aku : " Tidak apa-apa ustadz... Azam faham apa yang ustadz rasakan... ". Kataku.

Setelah itu kami semua terdiam. Terhanyut dengan pikiran kami masing-masing.

Aku terkejut saat nada dering di hapeku berbunyi. Ternyata Kak Nissa sudah sampai dan menanyakan keberadaanku. Aku beri tahu kepada Kak Nissa kalau diruang ICU maka mereka langsung menyusul kami.

Begitu Kak Nissa sampai Kak Nissa langsung memeluk ustadzah Mina dengan erat dan menangis. Begitu juga dengan Ustadzah Mina. Lalu ibuku mendekatiku serta mengelus elus pundakku. Aku langsung memeluk ibuku dan ibuku berbisik kepadaku.

Bunda : " Sabar ya sayang... Bunda sudah tau semuanya... Apapun yang Azam pilih bunda akan selalu mendukungmu ". Kata ibuku.

Seketika aku memeluk ibuku dengan erat. Karena walaupun aku masih ragu dengan perasaanku dengan Kak Evi tapi melihat situasi dan kondisi yang seperti ini membuatku merasa sangat sedih.

Setelah itu kami semua terdiam dengan pikiran kami masing-masing. Hanya Ustadzah Mina dan Kak Evi saja yang masih menangis. Sementara itu aku dan Ustadz Pawan keluar dari ruang tunggu dan duduk di taman rumah sakit. Aku melihat betapa sedihnya Ustadz Pawan memikirkan ini semua. Tampak raut wajah yang sangat lelah, penat, sedih bercampur aduk. Aku hanya diam saja saat itu karena aku juga sangat mengerti keadaan mereka apalagi besok disaat Kak Evi sudah sadar dan mengetahui semuanya, pasti benar-benar sangat terpukul dan depresi.

Lalu Ustadz Pawan menghela nafas panjang dan terus beristighfar.

Aku : " Ustadz... ". Kataku.

Mulutku serasa kaku untuk berbicara.

Ustadz Pawan : " Maaf Zam kalau saya benar-benar larut dengan kesedihan... Saya hanya memikirkan masa depannya.... Saya mengasuh Evi ketika masih bayi sampai sekarang... Dia adalah anak yang saya angkat dari saudaraku yang ada di jawa dan saudaraku itu sudah tiada karena kecelakaan juga... Saat itu hanya Evi saja yang hidup karena pada saat itu dia tidak ikut orang tuanya karena masih sangat kecil dan dititipkan ke neneknya yaitu orang tuaku... Saya sangat menyayanginya Zam... saya tidak membeda bedakan dia dengan anak-anak kandungku... ". Jelas Ustadz Pawan sambil menahan air matanya.

Aku : " Apakah Kak Evi tau dengan statusnya ustadz? ". Tanyaku.

Ustadz Pawan : " Iya Zam dia tau saat masih kecil awalnya dia itu bisa bicara Zam tapi karena mengetahui kalau orang tua kandung sudah tiada pada saat dia masih bayi makanya dia menangis dan teriak-teriak sampai pita suaranya rusak dan muntah darah... ". Jawab ustadz Pawan.

Aku : " Tapi ustadz apa pita suaranya bisa kembali lagi seperti semula? ". Tanyaku.

Ustadz Pawan : " Sebenarnya bisa Zam dengan terapi tapi karena dia tidak mau untuk terapi dan selalu teriak-teriak karena depresi makanya dokter juga sudah angkat tangan Zam... Sering sekali dia muntah darah sampai istriku trauma karena saking banyaknya mengeluarkan darah karena selalu teriak makanya sampai sekarang dia kesulitan untuk mengeluarkan suara ya karena itu Zam rusaknya pita suaranya ". Jawab Ustadz Pawan.

Aku baru tau kalau Kak Evi itu tipe orang yang sangat sensitif dan gampang drop mentalnya.

Aku : " Tapi sekarang bagaimana ustadz apa Kak Evi masih belum ikhlas atas kepergian orang tuanya? ". Tanyaku.

Ustadz Pawan : " Tidak Zam... Dia bisa menerima semuanya itu pada saat umur 12 tahun... Selama itu juga dia tidak pernah tertawa dan selalu merenung dikamarnya... Keluar dari kamar itu hanya untuk bersekolah, makan, sholat, mandi... Cuma itu saja... Tapi setelah menginjak 12 tahun dia sudah mulai untuk berkumpul dengan saudara sepupunya yaitu anak-anakku walaupun dia berinteraksi dengan menggunakan bahasa isyarat atau dia menulis kata-kata yang ingin dia sampaikan... Dan itu sampai sekarang... Makanya saya sangat takut Zam kalau sampai dia depresi seperti dulu lagi dan saya juga takut kalau tidak ada yang ingin menikahinya karena dia sudah tidak punya rahim... ". Jawab Ustadz Pawan sambil menangis.

Aku mendengar Ustadz Pawan bercerita tentang perjalanan hidupnya Kak Evi jadi ikut prihatin. Apalagi sekarang Kak Evi sudah tidak punya rahim lagi. Sangat membuatku sedih.

Aku : " Sabar ya ustadz... Kita tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya... Yang jelas untuk sekarang kesembuhannya dulu... Insya Allah semua akan baik-baik saja ". Kataku.

Aku bingung mau bilang apa lagi kepada Ustadz Pawan atas kejadian ini dan kekhawatirannya.

Ustadz Pawan : " Iya Zam insya Allah.... Makasih ya Zam ". Kata Ustadz Pawan.

Aku hanya tersenyum saja saat itu. Setelah itu Ustadz Pawan mengajakku untuk kembali ke ruang tunggu kamar ICU.

Setelah sampai aku melihat Ustadzah Mina dan Kak Nissa sudah tidak menangis lagi dan mereka sudah mengobrol dengan ibuku juga.

Lantas aku dan Ustadz Pawan kembali bergabung kembali dengan mereka. Kami menghibur Ustadz Pawan dan Ustadzah Mina agar tidak larut dengan kesedihan yang sedang mereka alami. Begitu juga dengan Kak Nissa. Entah apa yang Kak Nissa pikirkan aku tidak tau.

Karena aku melihat Kak Nissa sangat bersedih aku mengajak Kak Nissa untuk pergi ke taman rumah sakit. Sesampainya disana aku dan Kak Nissa duduk disebuah bangku panjang.

Aku : " Kak... ". Kataku sambil memegang tangannya yang memakai kaos tangan berwarna hitam.

Kak Nissa langsung menengok kearahku dan memelukku dengan erat serta pecah lagi tangisan Kak Nissa. Aku hanya bisa membalas pelukannya sambil mengelus pundaknya.

Aku : " Sudah kak sudah... Jangan sampai kakak terlalu dalam kak karena sedih ". Kataku.

Lalu Kak Nissa melepas pelukannya.

Kak Nissa : " Dek... Kakak... Kakak... ". Kata Kak Nissa.

Aku melihat Kak Nissa yang seperti kaku untuk berbicara langsung memegang tangannya kembali kemudian aku mencium kening Kak Nissa.

Setelah beberapa detik aku melepaskan ciumanku di kening Kak Nissa dan lalu menggenggam tangannya.

Mungkin Kak Nissa merasa nyaman dengan apa yang aku lakukan kepadanya. Kak Nissa pun akhirnya berhenti menangis.

Kak Nissa : " Dek... Kakak.. Ti... Tidak menyangka kalau sampai seperti ini ". Kata Kak Nissa sambil menahan air matanya.

Aku : " Kak... Aku tau bagaimana rasanya kak... Kehilangan aset berharganya itu benar-benar seperti tertimpa sesuatu yang besar tapi semua ini adalah ujian dan cobaan kak... Kita tidak bisa mengingkari dan menghindari itu semua... Apa kakak lupa kalau aku juga mengalami apa yang Kak Evi alami sekarang ". Jelasku.

Kak Nissa langsung memelukku dengan erat lagi.

Setelah lama kami berpelukan Kak Nissa melepaskan pelukannya.

Kak Nissa : " Maaf dek... Kakak lupa dek... ". Kata Kak Nissa.

Aku : " Tidak apa-apa... Kak yang penting sekarang tenang dulu setelah itu kesembuhan Kak Evi dulu... Entah itu fisik maupun mentalnya.... Yang aku takutkan adalah depresi yang berkepanjangan ". Kataku.

Kak Nissa : " Kamu benar dek.... Adek kalau misalnya Evi tidak ada yang mau menerimanya apa adek mau menerimanya? ". Tanya Kak Nissa.

Aku yang saat itu masih ragu dengan perasaanku jadi bingung. Memang benar aku juga kehilangan asetku tapi kalau urusan ini benar-benar membuatku merasakan tekanan yang cukup berat.

Kak Nissa : " Demi kakak dek ". Kata Kak Nissa.

Deg.... Kali ini Kak Nissa benar-benar serius. Aku sangat tau bagaimana Kak Nissa kalau sudah serius itu bagaimana.

Aku : " Insya Allah kak... Tapi aku minta syarat kepada kakak ". Kataku.

Kak Nissa : " Syarat? Keadaanya begini adek masih minta syarat? Jangan bercanda dek ". Kata Kak Nissa.

Aku bisa melihat Kak Nissa menahan emosi nya saat aku meminta syarat kepadanya.

Aku : " Iya kak.... Hanya satu saja syarat yang aku berikan kepada kakak ". Kataku.

Kak Nissa : " Hahh.... Baiklah.... Apa syaratnya ". Kata Kak Nissa.

Aku langsung menatap mata Kak Nissa. Memberi isyarat kalau aku juga serius. Dan kedua tangan Kak Nissa pun aku genggam kuat.

Aku : " Syaratnya aku mau melakukannya setelah kakak mendapatkan laki-laki yang pantas jadi imam kakak dan hidup bahagia dengannya ". Kataku.

Aku melihat Kak Nissa menunduk. Entah apa yang dipikirkannya aku tidak tau. Yang jelas sebelum aku melihat Kak Nissa bahagia dengan laki-laki sejatinya aku tidak mau melakukannya.

Kak Nissa : " Dek... Kenapa selalu kakak yang kamu dahulukan... Kenapa harus kakak yang selalu kamu pentingkan daripada diri kamu sendiri.... Kenapa dek ". Tanya Kak Nissa.

Aku tidak tega melihat Kak Nissa menangis seperti ini lagi. Maka aku berdiri dan berkata.

Aku : " Kak... Aku masih ingat apa yang ayah katakan dulu... Walaupun saat itu aku masih umur 9 tahun tapi sampai sekarang aku masih mengingatnya... ". Jawabku.

Kak Nissa : " Apa dek ". Tanya Kak Nissa.

Aku : " Ayah bilang * Zam jangan pernah kamu mendahului kakakmu... Prioritaskan kakakmu dan bundamu sebelum kamu prioritaskan dirimu sendiri... Jangan pernah melangkahi kakakmu... Jangan pernah melawan bundamu... Walau dalam segi derajat kita sebagai laki-laki lebih unggul tapi mereka adalah wanita yang lebih mulia dari kita sebagai laki-laki... Jadilah laki-laki yang bertanggung jawab dan jangan pernah kamu mengingkari apa yang sudah di tetapkan * itu yang dikatakan ayah kepadaku... ". Jawabku.

Aku masih ingat kata-kata ayahku dulu sampai sekarang dan aku juga tulis kata-kata itu di balik pintu lemari pakaianku. Kata-kata itu selalu aku kenang dan aku jadikan sebagai motivasiku.

Setelah aku mengatakannya aku berjalan meninggalkan Kak Nissa. Dan Kak Nissa pun terus memanggilku tapi aku tidak menghiraukannya.

Setelah sampai aku di ruang tunggu ruang ICU aku mengobrol dengan Ustadz Pawan dan istrinya begitu juga dengan ibuku.

Tidak lama setelah itu Kak Nissa juga menyusulku dan ikut bergabung dengan kami. Tidak ada lagi kata-kata Kak Nissa yang menyinggung masalah tadi yang ada hanya obrolan ringan untuk mengisi waktu luang kami dan kami sama-sama menghibur diri kami sendiri melalui obrolan dengan begitu kami tidak larut dengan kesedihan.

Aku melihat Ustadz Pawan dan istrinya sudah lebih baik dan sudah terhibur. Sudah bisa tertawa dalam kekhawatiran akan tertimpanya ujian dan cobaan yang mereka terima.

Aku lega melihat semua itu hanya saja aku masih sangat khawatir dengan Kak Evi kalau mengetahui semuanya.

Tanpa terasa kami menemani mereka sampai sore hari dan kami memutuskan untuk pulang mengingat jarak tempuh yang lumayan jauh.

Ibuku menyuruhku untuk tetap dirumah Ummi Rani untuk menemaninya. Aku pun menyanggupinya.

Kami berpisah dipersimpangan jalan raya. Ibu dan Kak Nissa mengambil jalur timur sedangkan aku ambil jalur barat.

Sesampainya aku dirumah Abi Ikhsan aku langsung membersihkan badanku. Setelah selesai aku segera memakai pakaianku dan mencari Ummi Rani yang ternyata diruang kerjanya. Lantas aku masuk diruang kerjanya.

Aku : " Assalamualaikum Ummi... ". Salamku.

Ummi : " Waalaikum salam... Udah pulang nak? Gimana tadi nak... ". Tanya Ummi sambil berdiri dari bangku kerjanya dan berjalan kearahku yang sedang duduk disofa ruang kerjanya.

Aku : " Kritis Ummi... ". Jawabku.

Aku menundukan kepalaku karena aku tidak mau kalau ummi sampai tau aku sedang menahan air mataku.

Ummi : " Innalillahi... Trus gimana nak? ". Tanya Ummi.

Mungkin ummi menyadari kesedihanku lalu ummi mendekat kepadaku dan sekarang posisi ummi duduk disebelah kananku.

Aku : " ICU ummi... Dan menjalani operasi pengangkatan rahim karena benturan hebat sampai rahimnya cidera parah dan harus diangkat ". Jawabku menunduk.

Lalu Ummi memelukku erat.

Ummi : " Sabar ya nak.... Sabar ya.... ". Kata Ummi.

Aku hanya diam saja saat itu karen bingung mau berkata apa lagi. Tapi aku tetap menahan air mataku.

Setelah itu terdengar adzan maghrib. Ummi melepaskan pelukannya dan menyuruhku untuk segera sholat maghrib maka aku pun melakukannya.

Beberapa hari sudah aku lewati tanpa adanya pergumulan dengan Ummi Rani. Ummi juga mengetahui kondisiku yang banyak pikiran jadi ummi lebih sering menghiburku dan aku pun juga sudah kembali ke rumahku dikampung.

Aku tetap menghubungi Ustadz Pawan untuk sekedar bertanya keadaan Kak Evi. Dan alhamdulillah Kak Evi sudah membaik dan dirawat di bangsal. Ustadz Pawan juga mengatakan kalau Kak Evi sudah sadar dan sudah mulai berinteraksi lagi walaupun keadaannya masih lemah tapi sudah mulai membaik dari waktu ke waktu.

Setelah 1 minggu dan itu hari jumat karena toko tutup maka aku dan Kak Nissa ingin sekali menjenguk Kak Evi dirumah sakit MP.

Kak Nissa : " Ihh... Adek... Ayok cepat kakak sudah siap nih ". Kata Kak Nissa.

Aku yang tinggal memakai jaketku pun segera menemui Kak Nissa yang sudah menunggu di ruang tamu.









Sudah dulu ya lanjut kalau kerjaan sudah kelar.... Masih banyak kerjaan soalnya...



Salam.....
 
Lanjut ya....




Aku melihat ummi berjalan dari dapur kearahku sambil membawa nampan yang berisi 2 cangkir teh. Lalu memberikan teh hangat kepadaku. Aku pun langsung meminumnya. Setelah aku meminum teh buatan ummi aku merasa lebih enakan walaupun rasa itu masih ada.

Ummi : " Gimana nak.... Udah enakan? ". Tanya ummi.

Aku : " Alhamdulillah ummi ". Jawabku.

Aku melihat saat itu pukul 05.30 WIB. Aku masih terduduk di ruang tv dengan Ummi. Aku juga melihat kalau ummi diam menunduk. Entah apa yang difikirkan ummi aku tidak tau. Sampai terdengar nada dering dari hapeku berbunyi. Aku langsung mengambil hapeku dan melihat siapa yang menelponku pagi-pagi begini. Aku melihat layar hapeku ternyata Kak Nissa yang menelponku. Segera aku mengangkat telpon Kak Nissa.

Aku : " Assalamualaikum kak.... Ada apa kak ". Salamku.

Kak Nissa : " Waalaikum salam... Aa.. Ddeeekkk.... Hiks... Hikkssss.... ". Jawab Kak Nissa.

Aku : " Ehh... Sebentar.... Kenapa kakak nangis... Ada apa kak... ". Tanyaku.

Kak Nissa : " Ee... Evi... Evi dek... Eevv.... Hiks.... Hiks... ". Jawab Kak Nissa.

Aku : " Kak... Kenapa sama Kak Evi kak... Kenapa ". Tanyaku.

Kak Nissa : " Evi... Kec.... Kecelakaan... Dek.... Huaaaa..... Huaaaaa...... ". Jawab Kak Nissa.

Saat itu badanku langsung lemas dan terduduk dilantai. Ternyata ini jawaban dari semua yang aku rasakan dari semalam. Aku terkejut saat suara ibuku memanggilku lewat telpon.

Bunda : " Azam... Sekarang kamu ke rumah sakit MP ya... Bunda sama kakakmu juga mau kesana... Disana sudah ada ustadz Pawan sama ustadzah Mina... Azam.... Kamu dengar kan?.... Azam.... Hahhh..... Yasudah bunda tutup telponnya.... Assalamualaikum ". Kata ibuku.

Aku hanya diam saja saat ibuku berkata. Aku menunduk dan entah kenapa aku merasakan sesak didadaku. Padahal dia bukan siapa-siapaku. Saudara juga bukan. Tapi aku merasakan kalau aku sangat dekat dengannya. Apa benar yang Kak Nissa katakan dulu kalau aku ada rasa dengannya begitu juga dengan dia?. Entahlah....

Setelah aku merasa lebih enakan aku langsung bangkit dan berganti pakaianku. Setelah itu aku pamit dengan ummi kalau aku mau ke rumah sakit untuk menjenguk kawanku yang kecelakaan. Setelah itu aku langsung saja menuju ke rumah sakit MP tempatku dirawat dulu juga karena kecelakaan sampai hilangnya aset berhargaku.

Selama aku di perjalanan aku berusaha untuk fokus dalam berkendara tapi tetap pikiranku kemana mana. Serasa sangat jauh jarak antara rumah Abi Ikhsan dengan rumah sakit MP. Padahal hanya 15 menit saja.

Setelah perjalanan yang kurasa jauh tapi hanya 15 menit aku akhirnya sampai di rumah sakit MP. Aku langsung memarkirkan motorku setelah itu aku masuk kedalam rumah sakit itu. Karena aku tidak tau bangsal apa aku telpon ustadz Pawan. Ustadz Pawan mengatakan kalau belum bisa ke bangsal dan masih di kamar ICU. aku langsung segera ke sana.

Setelah aku melihat Ustadz Pawan dan istrinya aku bergegas untuk menyusulnya.

Aku : " Assalamualaikum.... ". Salamku.

" Waalaikum salam... ". Jawab ustadz Pawan dan istrinya Ustadzah Mina.

Ustadz Pawan langsung memelukku. Aku juga langsung membalas pelukannya. Setelah itu aku melepaskan pelukan Ustadz Pawan dan bertanya.

Aku : " Gimana Ustadz keadaan Kak Evi? ". Tanyaku.

Ustadz Pawan : " Alhamdulillah Zam... Tapi masih kritis ". Jawab Ustadz Pawan.

Lalu Ustadz Pawan menceritakan kronologi kecelakaan itu.

Jadi Kak Evi itu pulang dari mengajar di yayasan tuna wicara. Pada saat hendak menyebrang jalan raya dari arah barat ada truk muatan kelapa sawit yang melaju cukup kencang dan tidak kontrol setelah itu karena jarak antara truk dan Kak Evi sangat dekat maka truk tersebut tidak sempat untuk mengerem dan terjadilah kecelakaan itu. Diduga sopir truk tersebut mengantuk karena kecapekan bekerja. Menurut saksi mata Kak Evi terpental beberapa meter dan saat terpental Kak Evi menabrak tiang listrik setelah itu para warga setempat langsung menolong Kak Evi yang tergeletak dibawah tiang listrik dengan banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Ada saksi mata juga yang bilang kalau Kak Evi pada saat terpental dan menabrak tiang listrik itu tepat pada perutnya.

Lalu untuk sopir truk itu dibawa ke polres setempat untuk dimintai keterangan dan juga beberapa saksi.

Dan untuk Kak Evi juga langsung dibawa ke rumah sakit MP oleh warga setempat.

Saat Ustadz Pawan menerima kabar langsung saja ke rumah sakit MP bersama istrinya. Disaat mereka tiba ternyata kondisi Kak Evi benar-benar sangat kritis dan dokter begitu tau bahwa orang tua dari Kak Evi sudah datang langsung memberitahu bahwa Kak Evi harus menjalani oprasi karena beberapa tulang rusuk patah dan yang lebih membuat Ustadz Pawan merasa sangat terpukul atas kejadian itu adalah Kak Evi mengalami benturan yang cukup hebat pada bagian perut bawah sehinga rahimnya mengalami cidera parah dan harus segera diangkat karena bisa membahayakan nyawanya.

Ustadz Pawan mendengar itu langsung lemas begitu juga dengan istrinya Ustadzah Mina. Mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi selain pasrah. Lalu setelah mereka sedikit tenang mereka langsung pergi ke mushola untuk melakukan sholat istikharah dan hajad.

Setelah selesai dan mereka merasa lebih baik mereka langsung menemui dokter yang menangani Kak Evi dan mereka memutuskan untuk segera melakukan operasi pengangkatan rahim.

Setelah itu dokter langsung bersiap-siap untuk melakukan operasi tersebut beserta beberapa ahli dokter bedah lainnya.

Mereka hanya bisa berdoa untuk Kak Evi agar diberi keselamatan dan jalan yang terang.

Setelah menunggu lebih dari 6 jam akhirnya dokter pun keluar dari operasi dan mengatakan kalau pengangkatan rahim Kak Evi telah berhasil dilakukan dan berhubung kondisi Kak Evi masih kritis maka dipindah dari ruang operasi ke ruang ICU.

Aku mendengar itu semua langsung lemas dan tidak tau harus berbuat apa. Tanpa sadar aku meneteskan air mata karena aku sangat tau bagaimana kalau seseorang kehilangan aset berharga mereka pasti akan depresi kalau tidak kuat dan ikhlas.

Ustadz Pawan juga tau kalau aku mengalami hal serupa yaitu kehilangan aset berhargaku karena beliau dan istrinya menemani ibuku pada saat aku menjalani operasi pengangkatan testisku.

Aku menghela nafas panjang dan mencoba untuk tidak larut dengan kesedihan.

Aku : " Ustadz... Ustadz tau kan kalau aku juga mengalami hal serupa dengan Kak Evi yaitu kehilangan aset berharganya jadi aku menyarankan untuk tetap berada didekatnya karena walau bagaimanapun Kak Evi harus tau hal ini dan beri pengertian terhadapnya jangan sampai gara-gara hal ini Kak Evi jadi depresi yang berlebihan ". Kataku sambil menahan air mataku.

Ustadz Pawan : " Iya Zam itu pasti... Entahlah Zam bagaimana nasibnya besok ketika sudah sehat dan beraktifitas lagi... Apakah ada yang mau menerima apa adanya atau tidak karena walau bagaimanapun itu juga sangat berpengaruh dengan mentalnya juga dan itu tidak akan bisa diapakan lagi... ". Jelas Ustadz Pawan sambil menahan air matanya.

Aku : " Ustadz... Jika Ustadz berbicara seperti itu lalu bagaimana juga denganku? ". Kataku.

Aku sangat mengerti dan faham apa yang dirasakan beliau.

Ustadz Pawan : " Ehh... Astaghfirullah... Astaghfirullah... Astaghfirullah... ". Kata Ustadz Pawan.

Ustadz Pawan langsung beristighfar setelah aku berkata seperti itu karena beliau juga tahu keadaanku. Aku sangat mengerti kenapa beliau berkata seperti itu karena walau bagaimanapun sebagai orang tua walaupun itu orang tua angkat tidak mau kalau anak-anak mereka mengalami hal semacam itu.

Ustadz Pawan : " Maaf Azam saya tidak bermaksud berkata seperti itu ". Kata Ustadz Pawan.

Aku : " Tidak apa-apa ustadz... Azam faham apa yang ustadz rasakan... ". Kataku.

Setelah itu kami semua terdiam. Terhanyut dengan pikiran kami masing-masing.

Aku terkejut saat nada dering di hapeku berbunyi. Ternyata Kak Nissa sudah sampai dan menanyakan keberadaanku. Aku beri tahu kepada Kak Nissa kalau diruang ICU maka mereka langsung menyusul kami.

Begitu Kak Nissa sampai Kak Nissa langsung memeluk ustadzah Mina dengan erat dan menangis. Begitu juga dengan Ustadzah Mina. Lalu ibuku mendekatiku serta mengelus elus pundakku. Aku langsung memeluk ibuku dan ibuku berbisik kepadaku.

Bunda : " Sabar ya sayang... Bunda sudah tau semuanya... Apapun yang Azam pilih bunda akan selalu mendukungmu ". Kata ibuku.

Seketika aku memeluk ibuku dengan erat. Karena walaupun aku masih ragu dengan perasaanku dengan Kak Evi tapi melihat situasi dan kondisi yang seperti ini membuatku merasa sangat sedih.

Setelah itu kami semua terdiam dengan pikiran kami masing-masing. Hanya Ustadzah Mina dan Kak Evi saja yang masih menangis. Sementara itu aku dan Ustadz Pawan keluar dari ruang tunggu dan duduk di taman rumah sakit. Aku melihat betapa sedihnya Ustadz Pawan memikirkan ini semua. Tampak raut wajah yang sangat lelah, penat, sedih bercampur aduk. Aku hanya diam saja saat itu karena aku juga sangat mengerti keadaan mereka apalagi besok disaat Kak Evi sudah sadar dan mengetahui semuanya, pasti benar-benar sangat terpukul dan depresi.

Lalu Ustadz Pawan menghela nafas panjang dan terus beristighfar.

Aku : " Ustadz... ". Kataku.

Mulutku serasa kaku untuk berbicara.

Ustadz Pawan : " Maaf Zam kalau saya benar-benar larut dengan kesedihan... Saya hanya memikirkan masa depannya.... Saya mengasuh Evi ketika masih bayi sampai sekarang... Dia adalah anak yang saya angkat dari saudaraku yang ada di jawa dan saudaraku itu sudah tiada karena kecelakaan juga... Saat itu hanya Evi saja yang hidup karena pada saat itu dia tidak ikut orang tuanya karena masih sangat kecil dan dititipkan ke neneknya yaitu orang tuaku... Saya sangat menyayanginya Zam... saya tidak membeda bedakan dia dengan anak-anak kandungku... ". Jelas Ustadz Pawan sambil menahan air matanya.

Aku : " Apakah Kak Evi tau dengan statusnya ustadz? ". Tanyaku.

Ustadz Pawan : " Iya Zam dia tau saat masih kecil awalnya dia itu bisa bicara Zam tapi karena mengetahui kalau orang tua kandung sudah tiada pada saat dia masih bayi makanya dia menangis dan teriak-teriak sampai pita suaranya rusak dan muntah darah... ". Jawab ustadz Pawan.

Aku : " Tapi ustadz apa pita suaranya bisa kembali lagi seperti semula? ". Tanyaku.

Ustadz Pawan : " Sebenarnya bisa Zam dengan terapi tapi karena dia tidak mau untuk terapi dan selalu teriak-teriak karena depresi makanya dokter juga sudah angkat tangan Zam... Sering sekali dia muntah darah sampai istriku trauma karena saking banyaknya mengeluarkan darah karena selalu teriak makanya sampai sekarang dia kesulitan untuk mengeluarkan suara ya karena itu Zam rusaknya pita suaranya ". Jawab Ustadz Pawan.

Aku baru tau kalau Kak Evi itu tipe orang yang sangat sensitif dan gampang drop mentalnya.

Aku : " Tapi sekarang bagaimana ustadz apa Kak Evi masih belum ikhlas atas kepergian orang tuanya? ". Tanyaku.

Ustadz Pawan : " Tidak Zam... Dia bisa menerima semuanya itu pada saat umur 12 tahun... Selama itu juga dia tidak pernah tertawa dan selalu merenung dikamarnya... Keluar dari kamar itu hanya untuk bersekolah, makan, sholat, mandi... Cuma itu saja... Tapi setelah menginjak 12 tahun dia sudah mulai untuk berkumpul dengan saudara sepupunya yaitu anak-anakku walaupun dia berinteraksi dengan menggunakan bahasa isyarat atau dia menulis kata-kata yang ingin dia sampaikan... Dan itu sampai sekarang... Makanya saya sangat takut Zam kalau sampai dia depresi seperti dulu lagi dan saya juga takut kalau tidak ada yang ingin menikahinya karena dia sudah tidak punya rahim... ". Jawab Ustadz Pawan sambil menangis.

Aku mendengar Ustadz Pawan bercerita tentang perjalanan hidupnya Kak Evi jadi ikut prihatin. Apalagi sekarang Kak Evi sudah tidak punya rahim lagi. Sangat membuatku sedih.

Aku : " Sabar ya ustadz... Kita tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya... Yang jelas untuk sekarang kesembuhannya dulu... Insya Allah semua akan baik-baik saja ". Kataku.

Aku bingung mau bilang apa lagi kepada Ustadz Pawan atas kejadian ini dan kekhawatirannya.

Ustadz Pawan : " Iya Zam insya Allah.... Makasih ya Zam ". Kata Ustadz Pawan.

Aku hanya tersenyum saja saat itu. Setelah itu Ustadz Pawan mengajakku untuk kembali ke ruang tunggu kamar ICU.

Setelah sampai aku melihat Ustadzah Mina dan Kak Nissa sudah tidak menangis lagi dan mereka sudah mengobrol dengan ibuku juga.

Lantas aku dan Ustadz Pawan kembali bergabung kembali dengan mereka. Kami menghibur Ustadz Pawan dan Ustadzah Mina agar tidak larut dengan kesedihan yang sedang mereka alami. Begitu juga dengan Kak Nissa. Entah apa yang Kak Nissa pikirkan aku tidak tau.

Karena aku melihat Kak Nissa sangat bersedih aku mengajak Kak Nissa untuk pergi ke taman rumah sakit. Sesampainya disana aku dan Kak Nissa duduk disebuah bangku panjang.

Aku : " Kak... ". Kataku sambil memegang tangannya yang memakai kaos tangan berwarna hitam.

Kak Nissa langsung menengok kearahku dan memelukku dengan erat serta pecah lagi tangisan Kak Nissa. Aku hanya bisa membalas pelukannya sambil mengelus pundaknya.

Aku : " Sudah kak sudah... Jangan sampai kakak terlalu dalam kak karena sedih ". Kataku.

Lalu Kak Nissa melepas pelukannya.

Kak Nissa : " Dek... Kakak... Kakak... ". Kata Kak Nissa.

Aku melihat Kak Nissa yang seperti kaku untuk berbicara langsung memegang tangannya kembali kemudian aku mencium kening Kak Nissa.

Setelah beberapa detik aku melepaskan ciumanku di kening Kak Nissa dan lalu menggenggam tangannya.

Mungkin Kak Nissa merasa nyaman dengan apa yang aku lakukan kepadanya. Kak Nissa pun akhirnya berhenti menangis.

Kak Nissa : " Dek... Kakak.. Ti... Tidak menyangka kalau sampai seperti ini ". Kata Kak Nissa sambil menahan air matanya.

Aku : " Kak... Aku tau bagaimana rasanya kak... Kehilangan aset berharganya itu benar-benar seperti tertimpa sesuatu yang besar tapi semua ini adalah ujian dan cobaan kak... Kita tidak bisa mengingkari dan menghindari itu semua... Apa kakak lupa kalau aku juga mengalami apa yang Kak Evi alami sekarang ". Jelasku.

Kak Nissa langsung memelukku dengan erat lagi.

Setelah lama kami berpelukan Kak Nissa melepaskan pelukannya.

Kak Nissa : " Maaf dek... Kakak lupa dek... ". Kata Kak Nissa.

Aku : " Tidak apa-apa... Kak yang penting sekarang tenang dulu setelah itu kesembuhan Kak Evi dulu... Entah itu fisik maupun mentalnya.... Yang aku takutkan adalah depresi yang berkepanjangan ". Kataku.

Kak Nissa : " Kamu benar dek.... Adek kalau misalnya Evi tidak ada yang mau menerimanya apa adek mau menerimanya? ". Tanya Kak Nissa.

Aku yang saat itu masih ragu dengan perasaanku jadi bingung. Memang benar aku juga kehilangan asetku tapi kalau urusan ini benar-benar membuatku merasakan tekanan yang cukup berat.

Kak Nissa : " Demi kakak dek ". Kata Kak Nissa.

Deg.... Kali ini Kak Nissa benar-benar serius. Aku sangat tau bagaimana Kak Nissa kalau sudah serius itu bagaimana.

Aku : " Insya Allah kak... Tapi aku minta syarat kepada kakak ". Kataku.

Kak Nissa : " Syarat? Keadaanya begini adek masih minta syarat? Jangan bercanda dek ". Kata Kak Nissa.

Aku bisa melihat Kak Nissa menahan emosi nya saat aku meminta syarat kepadanya.

Aku : " Iya kak.... Hanya satu saja syarat yang aku berikan kepada kakak ". Kataku.

Kak Nissa : " Hahh.... Baiklah.... Apa syaratnya ". Kata Kak Nissa.

Aku langsung menatap mata Kak Nissa. Memberi isyarat kalau aku juga serius. Dan kedua tangan Kak Nissa pun aku genggam kuat.

Aku : " Syaratnya aku mau melakukannya setelah kakak mendapatkan laki-laki yang pantas jadi imam kakak dan hidup bahagia dengannya ". Kataku.

Aku melihat Kak Nissa menunduk. Entah apa yang dipikirkannya aku tidak tau. Yang jelas sebelum aku melihat Kak Nissa bahagia dengan laki-laki sejatinya aku tidak mau melakukannya.

Kak Nissa : " Dek... Kenapa selalu kakak yang kamu dahulukan... Kenapa harus kakak yang selalu kamu pentingkan daripada diri kamu sendiri.... Kenapa dek ". Tanya Kak Nissa.

Aku tidak tega melihat Kak Nissa menangis seperti ini lagi. Maka aku berdiri dan berkata.

Aku : " Kak... Aku masih ingat apa yang ayah katakan dulu... Walaupun saat itu aku masih umur 9 tahun tapi sampai sekarang aku masih mengingatnya... ". Jawabku.

Kak Nissa : " Apa dek ". Tanya Kak Nissa.

Aku : " Ayah bilang * Zam jangan pernah kamu mendahului kakakmu... Prioritaskan kakakmu dan bundamu sebelum kamu prioritaskan dirimu sendiri... Jangan pernah melangkahi kakakmu... Jangan pernah melawan bundamu... Walau dalam segi derajat kita sebagai laki-laki lebih unggul tapi mereka adalah wanita yang lebih mulia dari kita sebagai laki-laki... Jadilah laki-laki yang bertanggung jawab dan jangan pernah kamu mengingkari apa yang sudah di tetapkan * itu yang dikatakan ayah kepadaku... ". Jawabku.

Aku masih ingat kata-kata ayahku dulu sampai sekarang dan aku juga tulis kata-kata itu di balik pintu lemari pakaianku. Kata-kata itu selalu aku kenang dan aku jadikan sebagai motivasiku.

Setelah aku mengatakannya aku berjalan meninggalkan Kak Nissa. Dan Kak Nissa pun terus memanggilku tapi aku tidak menghiraukannya.

Setelah sampai aku di ruang tunggu ruang ICU aku mengobrol dengan Ustadz Pawan dan istrinya begitu juga dengan ibuku.

Tidak lama setelah itu Kak Nissa juga menyusulku dan ikut bergabung dengan kami. Tidak ada lagi kata-kata Kak Nissa yang menyinggung masalah tadi yang ada hanya obrolan ringan untuk mengisi waktu luang kami dan kami sama-sama menghibur diri kami sendiri melalui obrolan dengan begitu kami tidak larut dengan kesedihan.

Aku melihat Ustadz Pawan dan istrinya sudah lebih baik dan sudah terhibur. Sudah bisa tertawa dalam kekhawatiran akan tertimpanya ujian dan cobaan yang mereka terima.

Aku lega melihat semua itu hanya saja aku masih sangat khawatir dengan Kak Evi kalau mengetahui semuanya.

Tanpa terasa kami menemani mereka sampai sore hari dan kami memutuskan untuk pulang mengingat jarak tempuh yang lumayan jauh.

Ibuku menyuruhku untuk tetap dirumah Ummi Rani untuk menemaninya. Aku pun menyanggupinya.

Kami berpisah dipersimpangan jalan raya. Ibu dan Kak Nissa mengambil jalur timur sedangkan aku ambil jalur barat.

Sesampainya aku dirumah Abi Ikhsan aku langsung membersihkan badanku. Setelah selesai aku segera memakai pakaianku dan mencari Ummi Rani yang ternyata diruang kerjanya. Lantas aku masuk diruang kerjanya.

Aku : " Assalamualaikum Ummi... ". Salamku.

Ummi : " Waalaikum salam... Udah pulang nak? Gimana tadi nak... ". Tanya Ummi sambil berdiri dari bangku kerjanya dan berjalan kearahku yang sedang duduk disofa ruang kerjanya.

Aku : " Kritis Ummi... ". Jawabku.

Aku menundukan kepalaku karena aku tidak mau kalau ummi sampai tau aku sedang menahan air mataku.

Ummi : " Innalillahi... Trus gimana nak? ". Tanya Ummi.

Mungkin ummi menyadari kesedihanku lalu ummi mendekat kepadaku dan sekarang posisi ummi duduk disebelah kananku.

Aku : " ICU ummi... Dan menjalani operasi pengangkatan rahim karena benturan hebat sampai rahimnya cidera parah dan harus diangkat ". Jawabku menunduk.

Lalu Ummi memelukku erat.

Ummi : " Sabar ya nak.... Sabar ya.... ". Kata Ummi.

Aku hanya diam saja saat itu karen bingung mau berkata apa lagi. Tapi aku tetap menahan air mataku.

Setelah itu terdengar adzan maghrib. Ummi melepaskan pelukannya dan menyuruhku untuk segera sholat maghrib maka aku pun melakukannya.

Beberapa hari sudah aku lewati tanpa adanya pergumulan dengan Ummi Rani. Ummi juga mengetahui kondisiku yang banyak pikiran jadi ummi lebih sering menghiburku dan aku pun juga sudah kembali ke rumahku dikampung.

Aku tetap menghubungi Ustadz Pawan untuk sekedar bertanya keadaan Kak Evi. Dan alhamdulillah Kak Evi sudah membaik dan dirawat di bangsal. Ustadz Pawan juga mengatakan kalau Kak Evi sudah sadar dan sudah mulai berinteraksi lagi walaupun keadaannya masih lemah tapi sudah mulai membaik dari waktu ke waktu.

Setelah 1 minggu dan itu hari jumat karena toko tutup maka aku dan Kak Nissa ingin sekali menjenguk Kak Evi dirumah sakit MP.

Kak Nissa : " Ihh... Adek... Ayok cepat kakak sudah siap nih ". Kata Kak Nissa.

Aku yang tinggal memakai jaketku pun segera menemui Kak Nissa yang sudah menunggu di ruang tamu.









Sudah dulu ya lanjut kalau kerjaan sudah kelar.... Masih banyak kerjaan soalnya...



Salam.....
ternyata salah prediksi, prediksi awalmya evi di perkosa, ternyata kecelakaan
semakin seru nih, lanjut suhu
 
Lanjut ya....




Aku melihat ummi berjalan dari dapur kearahku sambil membawa nampan yang berisi 2 cangkir teh. Lalu memberikan teh hangat kepadaku. Aku pun langsung meminumnya. Setelah aku meminum teh buatan ummi aku merasa lebih enakan walaupun rasa itu masih ada.

Ummi : " Gimana nak.... Udah enakan? ". Tanya ummi.

Aku : " Alhamdulillah ummi ". Jawabku.

Aku melihat saat itu pukul 05.30 WIB. Aku masih terduduk di ruang tv dengan Ummi. Aku juga melihat kalau ummi diam menunduk. Entah apa yang difikirkan ummi aku tidak tau. Sampai terdengar nada dering dari hapeku berbunyi. Aku langsung mengambil hapeku dan melihat siapa yang menelponku pagi-pagi begini. Aku melihat layar hapeku ternyata Kak Nissa yang menelponku. Segera aku mengangkat telpon Kak Nissa.

Aku : " Assalamualaikum kak.... Ada apa kak ". Salamku.

Kak Nissa : " Waalaikum salam... Aa.. Ddeeekkk.... Hiks... Hikkssss.... ". Jawab Kak Nissa.

Aku : " Ehh... Sebentar.... Kenapa kakak nangis... Ada apa kak... ". Tanyaku.

Kak Nissa : " Ee... Evi... Evi dek... Eevv.... Hiks.... Hiks... ". Jawab Kak Nissa.

Aku : " Kak... Kenapa sama Kak Evi kak... Kenapa ". Tanyaku.

Kak Nissa : " Evi... Kec.... Kecelakaan... Dek.... Huaaaa..... Huaaaaa...... ". Jawab Kak Nissa.

Saat itu badanku langsung lemas dan terduduk dilantai. Ternyata ini jawaban dari semua yang aku rasakan dari semalam. Aku terkejut saat suara ibuku memanggilku lewat telpon.

Bunda : " Azam... Sekarang kamu ke rumah sakit MP ya... Bunda sama kakakmu juga mau kesana... Disana sudah ada ustadz Pawan sama ustadzah Mina... Azam.... Kamu dengar kan?.... Azam.... Hahhh..... Yasudah bunda tutup telponnya.... Assalamualaikum ". Kata ibuku.

Aku hanya diam saja saat ibuku berkata. Aku menunduk dan entah kenapa aku merasakan sesak didadaku. Padahal dia bukan siapa-siapaku. Saudara juga bukan. Tapi aku merasakan kalau aku sangat dekat dengannya. Apa benar yang Kak Nissa katakan dulu kalau aku ada rasa dengannya begitu juga dengan dia?. Entahlah....

Setelah aku merasa lebih enakan aku langsung bangkit dan berganti pakaianku. Setelah itu aku pamit dengan ummi kalau aku mau ke rumah sakit untuk menjenguk kawanku yang kecelakaan. Setelah itu aku langsung saja menuju ke rumah sakit MP tempatku dirawat dulu juga karena kecelakaan sampai hilangnya aset berhargaku.

Selama aku di perjalanan aku berusaha untuk fokus dalam berkendara tapi tetap pikiranku kemana mana. Serasa sangat jauh jarak antara rumah Abi Ikhsan dengan rumah sakit MP. Padahal hanya 15 menit saja.

Setelah perjalanan yang kurasa jauh tapi hanya 15 menit aku akhirnya sampai di rumah sakit MP. Aku langsung memarkirkan motorku setelah itu aku masuk kedalam rumah sakit itu. Karena aku tidak tau bangsal apa aku telpon ustadz Pawan. Ustadz Pawan mengatakan kalau belum bisa ke bangsal dan masih di kamar ICU. aku langsung segera ke sana.

Setelah aku melihat Ustadz Pawan dan istrinya aku bergegas untuk menyusulnya.

Aku : " Assalamualaikum.... ". Salamku.

" Waalaikum salam... ". Jawab ustadz Pawan dan istrinya Ustadzah Mina.

Ustadz Pawan langsung memelukku. Aku juga langsung membalas pelukannya. Setelah itu aku melepaskan pelukan Ustadz Pawan dan bertanya.

Aku : " Gimana Ustadz keadaan Kak Evi? ". Tanyaku.

Ustadz Pawan : " Alhamdulillah Zam... Tapi masih kritis ". Jawab Ustadz Pawan.

Lalu Ustadz Pawan menceritakan kronologi kecelakaan itu.

Jadi Kak Evi itu pulang dari mengajar di yayasan tuna wicara. Pada saat hendak menyebrang jalan raya dari arah barat ada truk muatan kelapa sawit yang melaju cukup kencang dan tidak kontrol setelah itu karena jarak antara truk dan Kak Evi sangat dekat maka truk tersebut tidak sempat untuk mengerem dan terjadilah kecelakaan itu. Diduga sopir truk tersebut mengantuk karena kecapekan bekerja. Menurut saksi mata Kak Evi terpental beberapa meter dan saat terpental Kak Evi menabrak tiang listrik setelah itu para warga setempat langsung menolong Kak Evi yang tergeletak dibawah tiang listrik dengan banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Ada saksi mata juga yang bilang kalau Kak Evi pada saat terpental dan menabrak tiang listrik itu tepat pada perutnya.

Lalu untuk sopir truk itu dibawa ke polres setempat untuk dimintai keterangan dan juga beberapa saksi.

Dan untuk Kak Evi juga langsung dibawa ke rumah sakit MP oleh warga setempat.

Saat Ustadz Pawan menerima kabar langsung saja ke rumah sakit MP bersama istrinya. Disaat mereka tiba ternyata kondisi Kak Evi benar-benar sangat kritis dan dokter begitu tau bahwa orang tua dari Kak Evi sudah datang langsung memberitahu bahwa Kak Evi harus menjalani oprasi karena beberapa tulang rusuk patah dan yang lebih membuat Ustadz Pawan merasa sangat terpukul atas kejadian itu adalah Kak Evi mengalami benturan yang cukup hebat pada bagian perut bawah sehinga rahimnya mengalami cidera parah dan harus segera diangkat karena bisa membahayakan nyawanya.

Ustadz Pawan mendengar itu langsung lemas begitu juga dengan istrinya Ustadzah Mina. Mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi selain pasrah. Lalu setelah mereka sedikit tenang mereka langsung pergi ke mushola untuk melakukan sholat istikharah dan hajad.

Setelah selesai dan mereka merasa lebih baik mereka langsung menemui dokter yang menangani Kak Evi dan mereka memutuskan untuk segera melakukan operasi pengangkatan rahim.

Setelah itu dokter langsung bersiap-siap untuk melakukan operasi tersebut beserta beberapa ahli dokter bedah lainnya.

Mereka hanya bisa berdoa untuk Kak Evi agar diberi keselamatan dan jalan yang terang.

Setelah menunggu lebih dari 6 jam akhirnya dokter pun keluar dari operasi dan mengatakan kalau pengangkatan rahim Kak Evi telah berhasil dilakukan dan berhubung kondisi Kak Evi masih kritis maka dipindah dari ruang operasi ke ruang ICU.

Aku mendengar itu semua langsung lemas dan tidak tau harus berbuat apa. Tanpa sadar aku meneteskan air mata karena aku sangat tau bagaimana kalau seseorang kehilangan aset berharga mereka pasti akan depresi kalau tidak kuat dan ikhlas.

Ustadz Pawan juga tau kalau aku mengalami hal serupa yaitu kehilangan aset berhargaku karena beliau dan istrinya menemani ibuku pada saat aku menjalani operasi pengangkatan testisku.

Aku menghela nafas panjang dan mencoba untuk tidak larut dengan kesedihan.

Aku : " Ustadz... Ustadz tau kan kalau aku juga mengalami hal serupa dengan Kak Evi yaitu kehilangan aset berharganya jadi aku menyarankan untuk tetap berada didekatnya karena walau bagaimanapun Kak Evi harus tau hal ini dan beri pengertian terhadapnya jangan sampai gara-gara hal ini Kak Evi jadi depresi yang berlebihan ". Kataku sambil menahan air mataku.

Ustadz Pawan : " Iya Zam itu pasti... Entahlah Zam bagaimana nasibnya besok ketika sudah sehat dan beraktifitas lagi... Apakah ada yang mau menerima apa adanya atau tidak karena walau bagaimanapun itu juga sangat berpengaruh dengan mentalnya juga dan itu tidak akan bisa diapakan lagi... ". Jelas Ustadz Pawan sambil menahan air matanya.

Aku : " Ustadz... Jika Ustadz berbicara seperti itu lalu bagaimana juga denganku? ". Kataku.

Aku sangat mengerti dan faham apa yang dirasakan beliau.

Ustadz Pawan : " Ehh... Astaghfirullah... Astaghfirullah... Astaghfirullah... ". Kata Ustadz Pawan.

Ustadz Pawan langsung beristighfar setelah aku berkata seperti itu karena beliau juga tahu keadaanku. Aku sangat mengerti kenapa beliau berkata seperti itu karena walau bagaimanapun sebagai orang tua walaupun itu orang tua angkat tidak mau kalau anak-anak mereka mengalami hal semacam itu.

Ustadz Pawan : " Maaf Azam saya tidak bermaksud berkata seperti itu ". Kata Ustadz Pawan.

Aku : " Tidak apa-apa ustadz... Azam faham apa yang ustadz rasakan... ". Kataku.

Setelah itu kami semua terdiam. Terhanyut dengan pikiran kami masing-masing.

Aku terkejut saat nada dering di hapeku berbunyi. Ternyata Kak Nissa sudah sampai dan menanyakan keberadaanku. Aku beri tahu kepada Kak Nissa kalau diruang ICU maka mereka langsung menyusul kami.

Begitu Kak Nissa sampai Kak Nissa langsung memeluk ustadzah Mina dengan erat dan menangis. Begitu juga dengan Ustadzah Mina. Lalu ibuku mendekatiku serta mengelus elus pundakku. Aku langsung memeluk ibuku dan ibuku berbisik kepadaku.

Bunda : " Sabar ya sayang... Bunda sudah tau semuanya... Apapun yang Azam pilih bunda akan selalu mendukungmu ". Kata ibuku.

Seketika aku memeluk ibuku dengan erat. Karena walaupun aku masih ragu dengan perasaanku dengan Kak Evi tapi melihat situasi dan kondisi yang seperti ini membuatku merasa sangat sedih.

Setelah itu kami semua terdiam dengan pikiran kami masing-masing. Hanya Ustadzah Mina dan Kak Evi saja yang masih menangis. Sementara itu aku dan Ustadz Pawan keluar dari ruang tunggu dan duduk di taman rumah sakit. Aku melihat betapa sedihnya Ustadz Pawan memikirkan ini semua. Tampak raut wajah yang sangat lelah, penat, sedih bercampur aduk. Aku hanya diam saja saat itu karena aku juga sangat mengerti keadaan mereka apalagi besok disaat Kak Evi sudah sadar dan mengetahui semuanya, pasti benar-benar sangat terpukul dan depresi.

Lalu Ustadz Pawan menghela nafas panjang dan terus beristighfar.

Aku : " Ustadz... ". Kataku.

Mulutku serasa kaku untuk berbicara.

Ustadz Pawan : " Maaf Zam kalau saya benar-benar larut dengan kesedihan... Saya hanya memikirkan masa depannya.... Saya mengasuh Evi ketika masih bayi sampai sekarang... Dia adalah anak yang saya angkat dari saudaraku yang ada di jawa dan saudaraku itu sudah tiada karena kecelakaan juga... Saat itu hanya Evi saja yang hidup karena pada saat itu dia tidak ikut orang tuanya karena masih sangat kecil dan dititipkan ke neneknya yaitu orang tuaku... Saya sangat menyayanginya Zam... saya tidak membeda bedakan dia dengan anak-anak kandungku... ". Jelas Ustadz Pawan sambil menahan air matanya.

Aku : " Apakah Kak Evi tau dengan statusnya ustadz? ". Tanyaku.

Ustadz Pawan : " Iya Zam dia tau saat masih kecil awalnya dia itu bisa bicara Zam tapi karena mengetahui kalau orang tua kandung sudah tiada pada saat dia masih bayi makanya dia menangis dan teriak-teriak sampai pita suaranya rusak dan muntah darah... ". Jawab ustadz Pawan.

Aku : " Tapi ustadz apa pita suaranya bisa kembali lagi seperti semula? ". Tanyaku.

Ustadz Pawan : " Sebenarnya bisa Zam dengan terapi tapi karena dia tidak mau untuk terapi dan selalu teriak-teriak karena depresi makanya dokter juga sudah angkat tangan Zam... Sering sekali dia muntah darah sampai istriku trauma karena saking banyaknya mengeluarkan darah karena selalu teriak makanya sampai sekarang dia kesulitan untuk mengeluarkan suara ya karena itu Zam rusaknya pita suaranya ". Jawab Ustadz Pawan.

Aku baru tau kalau Kak Evi itu tipe orang yang sangat sensitif dan gampang drop mentalnya.

Aku : " Tapi sekarang bagaimana ustadz apa Kak Evi masih belum ikhlas atas kepergian orang tuanya? ". Tanyaku.

Ustadz Pawan : " Tidak Zam... Dia bisa menerima semuanya itu pada saat umur 12 tahun... Selama itu juga dia tidak pernah tertawa dan selalu merenung dikamarnya... Keluar dari kamar itu hanya untuk bersekolah, makan, sholat, mandi... Cuma itu saja... Tapi setelah menginjak 12 tahun dia sudah mulai untuk berkumpul dengan saudara sepupunya yaitu anak-anakku walaupun dia berinteraksi dengan menggunakan bahasa isyarat atau dia menulis kata-kata yang ingin dia sampaikan... Dan itu sampai sekarang... Makanya saya sangat takut Zam kalau sampai dia depresi seperti dulu lagi dan saya juga takut kalau tidak ada yang ingin menikahinya karena dia sudah tidak punya rahim... ". Jawab Ustadz Pawan sambil menangis.

Aku mendengar Ustadz Pawan bercerita tentang perjalanan hidupnya Kak Evi jadi ikut prihatin. Apalagi sekarang Kak Evi sudah tidak punya rahim lagi. Sangat membuatku sedih.

Aku : " Sabar ya ustadz... Kita tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya... Yang jelas untuk sekarang kesembuhannya dulu... Insya Allah semua akan baik-baik saja ". Kataku.

Aku bingung mau bilang apa lagi kepada Ustadz Pawan atas kejadian ini dan kekhawatirannya.

Ustadz Pawan : " Iya Zam insya Allah.... Makasih ya Zam ". Kata Ustadz Pawan.

Aku hanya tersenyum saja saat itu. Setelah itu Ustadz Pawan mengajakku untuk kembali ke ruang tunggu kamar ICU.

Setelah sampai aku melihat Ustadzah Mina dan Kak Nissa sudah tidak menangis lagi dan mereka sudah mengobrol dengan ibuku juga.

Lantas aku dan Ustadz Pawan kembali bergabung kembali dengan mereka. Kami menghibur Ustadz Pawan dan Ustadzah Mina agar tidak larut dengan kesedihan yang sedang mereka alami. Begitu juga dengan Kak Nissa. Entah apa yang Kak Nissa pikirkan aku tidak tau.

Karena aku melihat Kak Nissa sangat bersedih aku mengajak Kak Nissa untuk pergi ke taman rumah sakit. Sesampainya disana aku dan Kak Nissa duduk disebuah bangku panjang.

Aku : " Kak... ". Kataku sambil memegang tangannya yang memakai kaos tangan berwarna hitam.

Kak Nissa langsung menengok kearahku dan memelukku dengan erat serta pecah lagi tangisan Kak Nissa. Aku hanya bisa membalas pelukannya sambil mengelus pundaknya.

Aku : " Sudah kak sudah... Jangan sampai kakak terlalu dalam kak karena sedih ". Kataku.

Lalu Kak Nissa melepas pelukannya.

Kak Nissa : " Dek... Kakak... Kakak... ". Kata Kak Nissa.

Aku melihat Kak Nissa yang seperti kaku untuk berbicara langsung memegang tangannya kembali kemudian aku mencium kening Kak Nissa.

Setelah beberapa detik aku melepaskan ciumanku di kening Kak Nissa dan lalu menggenggam tangannya.

Mungkin Kak Nissa merasa nyaman dengan apa yang aku lakukan kepadanya. Kak Nissa pun akhirnya berhenti menangis.

Kak Nissa : " Dek... Kakak.. Ti... Tidak menyangka kalau sampai seperti ini ". Kata Kak Nissa sambil menahan air matanya.

Aku : " Kak... Aku tau bagaimana rasanya kak... Kehilangan aset berharganya itu benar-benar seperti tertimpa sesuatu yang besar tapi semua ini adalah ujian dan cobaan kak... Kita tidak bisa mengingkari dan menghindari itu semua... Apa kakak lupa kalau aku juga mengalami apa yang Kak Evi alami sekarang ". Jelasku.

Kak Nissa langsung memelukku dengan erat lagi.

Setelah lama kami berpelukan Kak Nissa melepaskan pelukannya.

Kak Nissa : " Maaf dek... Kakak lupa dek... ". Kata Kak Nissa.

Aku : " Tidak apa-apa... Kak yang penting sekarang tenang dulu setelah itu kesembuhan Kak Evi dulu... Entah itu fisik maupun mentalnya.... Yang aku takutkan adalah depresi yang berkepanjangan ". Kataku.

Kak Nissa : " Kamu benar dek.... Adek kalau misalnya Evi tidak ada yang mau menerimanya apa adek mau menerimanya? ". Tanya Kak Nissa.

Aku yang saat itu masih ragu dengan perasaanku jadi bingung. Memang benar aku juga kehilangan asetku tapi kalau urusan ini benar-benar membuatku merasakan tekanan yang cukup berat.

Kak Nissa : " Demi kakak dek ". Kata Kak Nissa.

Deg.... Kali ini Kak Nissa benar-benar serius. Aku sangat tau bagaimana Kak Nissa kalau sudah serius itu bagaimana.

Aku : " Insya Allah kak... Tapi aku minta syarat kepada kakak ". Kataku.

Kak Nissa : " Syarat? Keadaanya begini adek masih minta syarat? Jangan bercanda dek ". Kata Kak Nissa.

Aku bisa melihat Kak Nissa menahan emosi nya saat aku meminta syarat kepadanya.

Aku : " Iya kak.... Hanya satu saja syarat yang aku berikan kepada kakak ". Kataku.

Kak Nissa : " Hahh.... Baiklah.... Apa syaratnya ". Kata Kak Nissa.

Aku langsung menatap mata Kak Nissa. Memberi isyarat kalau aku juga serius. Dan kedua tangan Kak Nissa pun aku genggam kuat.

Aku : " Syaratnya aku mau melakukannya setelah kakak mendapatkan laki-laki yang pantas jadi imam kakak dan hidup bahagia dengannya ". Kataku.

Aku melihat Kak Nissa menunduk. Entah apa yang dipikirkannya aku tidak tau. Yang jelas sebelum aku melihat Kak Nissa bahagia dengan laki-laki sejatinya aku tidak mau melakukannya.

Kak Nissa : " Dek... Kenapa selalu kakak yang kamu dahulukan... Kenapa harus kakak yang selalu kamu pentingkan daripada diri kamu sendiri.... Kenapa dek ". Tanya Kak Nissa.

Aku tidak tega melihat Kak Nissa menangis seperti ini lagi. Maka aku berdiri dan berkata.

Aku : " Kak... Aku masih ingat apa yang ayah katakan dulu... Walaupun saat itu aku masih umur 9 tahun tapi sampai sekarang aku masih mengingatnya... ". Jawabku.

Kak Nissa : " Apa dek ". Tanya Kak Nissa.

Aku : " Ayah bilang * Zam jangan pernah kamu mendahului kakakmu... Prioritaskan kakakmu dan bundamu sebelum kamu prioritaskan dirimu sendiri... Jangan pernah melangkahi kakakmu... Jangan pernah melawan bundamu... Walau dalam segi derajat kita sebagai laki-laki lebih unggul tapi mereka adalah wanita yang lebih mulia dari kita sebagai laki-laki... Jadilah laki-laki yang bertanggung jawab dan jangan pernah kamu mengingkari apa yang sudah di tetapkan * itu yang dikatakan ayah kepadaku... ". Jawabku.

Aku masih ingat kata-kata ayahku dulu sampai sekarang dan aku juga tulis kata-kata itu di balik pintu lemari pakaianku. Kata-kata itu selalu aku kenang dan aku jadikan sebagai motivasiku.

Setelah aku mengatakannya aku berjalan meninggalkan Kak Nissa. Dan Kak Nissa pun terus memanggilku tapi aku tidak menghiraukannya.

Setelah sampai aku di ruang tunggu ruang ICU aku mengobrol dengan Ustadz Pawan dan istrinya begitu juga dengan ibuku.

Tidak lama setelah itu Kak Nissa juga menyusulku dan ikut bergabung dengan kami. Tidak ada lagi kata-kata Kak Nissa yang menyinggung masalah tadi yang ada hanya obrolan ringan untuk mengisi waktu luang kami dan kami sama-sama menghibur diri kami sendiri melalui obrolan dengan begitu kami tidak larut dengan kesedihan.

Aku melihat Ustadz Pawan dan istrinya sudah lebih baik dan sudah terhibur. Sudah bisa tertawa dalam kekhawatiran akan tertimpanya ujian dan cobaan yang mereka terima.

Aku lega melihat semua itu hanya saja aku masih sangat khawatir dengan Kak Evi kalau mengetahui semuanya.

Tanpa terasa kami menemani mereka sampai sore hari dan kami memutuskan untuk pulang mengingat jarak tempuh yang lumayan jauh.

Ibuku menyuruhku untuk tetap dirumah Ummi Rani untuk menemaninya. Aku pun menyanggupinya.

Kami berpisah dipersimpangan jalan raya. Ibu dan Kak Nissa mengambil jalur timur sedangkan aku ambil jalur barat.

Sesampainya aku dirumah Abi Ikhsan aku langsung membersihkan badanku. Setelah selesai aku segera memakai pakaianku dan mencari Ummi Rani yang ternyata diruang kerjanya. Lantas aku masuk diruang kerjanya.

Aku : " Assalamualaikum Ummi... ". Salamku.

Ummi : " Waalaikum salam... Udah pulang nak? Gimana tadi nak... ". Tanya Ummi sambil berdiri dari bangku kerjanya dan berjalan kearahku yang sedang duduk disofa ruang kerjanya.

Aku : " Kritis Ummi... ". Jawabku.

Aku menundukan kepalaku karena aku tidak mau kalau ummi sampai tau aku sedang menahan air mataku.

Ummi : " Innalillahi... Trus gimana nak? ". Tanya Ummi.

Mungkin ummi menyadari kesedihanku lalu ummi mendekat kepadaku dan sekarang posisi ummi duduk disebelah kananku.

Aku : " ICU ummi... Dan menjalani operasi pengangkatan rahim karena benturan hebat sampai rahimnya cidera parah dan harus diangkat ". Jawabku menunduk.

Lalu Ummi memelukku erat.

Ummi : " Sabar ya nak.... Sabar ya.... ". Kata Ummi.

Aku hanya diam saja saat itu karen bingung mau berkata apa lagi. Tapi aku tetap menahan air mataku.

Setelah itu terdengar adzan maghrib. Ummi melepaskan pelukannya dan menyuruhku untuk segera sholat maghrib maka aku pun melakukannya.

Beberapa hari sudah aku lewati tanpa adanya pergumulan dengan Ummi Rani. Ummi juga mengetahui kondisiku yang banyak pikiran jadi ummi lebih sering menghiburku dan aku pun juga sudah kembali ke rumahku dikampung.

Aku tetap menghubungi Ustadz Pawan untuk sekedar bertanya keadaan Kak Evi. Dan alhamdulillah Kak Evi sudah membaik dan dirawat di bangsal. Ustadz Pawan juga mengatakan kalau Kak Evi sudah sadar dan sudah mulai berinteraksi lagi walaupun keadaannya masih lemah tapi sudah mulai membaik dari waktu ke waktu.

Setelah 1 minggu dan itu hari jumat karena toko tutup maka aku dan Kak Nissa ingin sekali menjenguk Kak Evi dirumah sakit MP.

Kak Nissa : " Ihh... Adek... Ayok cepat kakak sudah siap nih ". Kata Kak Nissa.

Aku yang tinggal memakai jaketku pun segera menemui Kak Nissa yang sudah menunggu di ruang tamu.









Sudah dulu ya lanjut kalau kerjaan sudah kelar.... Masih banyak kerjaan soalnya...



Salam.....
Mantap suhu:adek:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd