Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kesepianku sebagai Istri

Semoga masih ada yang melek yah. Hehe. Sambil beresin kerjaan disambi update aja deh. Takut banyak penasaran.

KERABAT DEKAT

Kendati rumah kos mulai dihuni oleh beberapa orang, sunyi tak lagi menghiasi ruangan demi ruangan, aku tetap suka pergi kemana-mana sendiri. Duduk di kafe sembari menyelesaikan pekerjaan dan menyaksikan sinema di bioskop. Aku terbayang ketika masih bersama Ilham. Beberapa hari aku sudah tak merespon, cukup berat. Itu demi kebaikan Ilham dan Winda. Keadaan di kantor, kami baik-baik saja. Masih bertegur sapa, tetapi sudah jarang saling bicara.

Satu hal yang membuat aku bisa melewati masa sulit 'baper' dengan Ilham, adalah suasana ramai tempat kosku. Aku sudah jarang menderita sepi kronis di kamar. Meskipun demikian, masih miskin perhatian. Suamiku belum mau berubah. Apakah aku yang akhirnya harus mengalah? Di samping itu, ada penghuni baru yang ternyata adalah sepupuku dan suaminya, Mba Rini dan Mas Johari. Mereka berdua dekat dengan keluargaku karena Rini adalah sepupuku, anak dari kakak ibu. Sementara Mas Johari berteman dekat dengan suamiku, satu komunitas bulu tangkis di perumahan aku tinggal karena rumah kami satu deret. Keduanya berencana menghabiskan waktu di Jakarta kurang lebih sebulan dalam rangka terapi pengobatan. Konon Rini sedang mengalami penyakit serius, mereka tak mau menyebutkan.

"Mas, kok kamu enggak bilang-bilang kalau Mas Johari dan Mba Rini mau ke Jakarta? Aku sampai kaget loh. Mereka tinggal satu tempat kos dengan aku"

"Ibu yang kasih tahu, barangkali mereka enggan menghubungi kamu takut merepotkan"
"Coba kamu hubungi Ibu"

"Iya nanti aku hubungi ibu"
"Kamu lagi apa?"

"Nanti lagi ya, aku lagi di jalan, cari makan"

"Iya Mas, hati-hati"

Mas Pras selalu begitu. Aku sudah putus asa mengubah kepribadian suami. Aku biarkan saja dulu apa yang dia lakukan di sana. Pada waktunya nanti aku akan bereskan.

Semenjak kehadiran Mba Rini dan Mas Johari, Aku banyak ngobrol dengan mereka. Keduanya sangat menyenangkan. Bukan sesuatu yang baru karena jika aku di kampung akan kedatangan salah satu dari mereka. Kami membicarakan perihal keadaan rumah kami di kampung, makanan enak di Jakarta, dan pekerjaan kami masing-masing. Mas Johari merupakan seorang guru yang mengajar di Solo. Ia mengambil cuti. Rini adalah Ibu rumah tangga yang telah dikaruniai 2 orang anak. Anak-anak mereka sedang dititipkan kepada kakek-neneknya. Mereka berdua lebih tua dariku.

"Kamu kuat banget May di sini, suamimu enggak dibujuk kemari saja?", tanya Rini diiringi senggolan Johari.

"Kamu bicaranya jangan seperti itu, peka sedikit"

"Hehehe iya maaf, Paah"

"Enggak apa Mas Johari, ya begini keadaanku. Perlu waktu melunakkan hati dan pikiran Mas Pras", ucapku mengamati wajah Mba Rini sedikit pucat.

"Kami juga berusaha bujuk dia, kalau memang dia sayang anaknya, tidak seharusnya dijauhkan dari ibunya"
"Anakmu tetep perlu perhatianmu, May"
"Apakah kamu mau secara emosional tidak dekat dengan anakmu?"

"Aduh, tentu aku enggak mau sampai terjadi begitu Mba"
"Tapi bagaimana lagi, Mas Pras keras kepala"

"Kamu sudah bicarakan dengan kakakmu apa yang terjadi?"

"Mba Laras? Mungkin saat ia dan aku pulang bersamaan, akan aku ceritakan, aku tak bisa cerita ke dia melalui telepon"

"Mesti segera diselesaikan"

"Mauku juga begitu, Mas, kamu tahu sendiri kan Mas Pras seperti apa?"

"Iya, dia sepertinya sudah terlanjur nyaman dengan keadaan yang sekarang"
"Aku bilang ke dia, dia enggak harus cari nafkah, intinya dia bisa menjadi bapak rumah tangga yang baik, asalkan sikap jeleknya itu dihilangkan"

"Nah! Mauku begitu Mas! Tapi tetep saja Mas Pras merasa dirinya sekarang yang paling benar"
"Aku enggak tahu kira-kira siapa yang bisa menasehati dia"

"Mungkin dia juga minder dengan kamu"
"Dia merasa tidak bisa menafkahi, sedangkan kamu mampu segalanya tanpa dia"
"Kamu harus bicara empat mata dengan suamimu, May"

"Baik, Mba"

Kami sedang menyantap semangkuk bakso panas bersama di sebuah warung dekat rumah kos. Mas Johari dan Mba Rini tinggal satu perumahan dengan ibu dan juga aku. Mereka sudah tahu betapa peliknya masalah rumah tanggaku, yakni suamiku yang sulit dibujuk menemani di Jakarta. Ibu yang telah menceritakan. Di sisi lain, Mas Johari adalah teman dekat Mas Pras, karena pernah satu sekolah. Mereka kerap olahraga bersama, yakni bermain bulutangkis pada malam hari seminggu 3 kali. Itulah keseharian suamiku. Selain mengurus anak kami dan sibuk dengan ponselnya, ia juga gemar bermain bulutangkis. Ia dan Mas Pras tergabung dalam satu komunitas. Seperti aku bilang, aku tak perlu merisaukan aktivitas suamiku di kampung apa saja, karena banyak kerabat atau teman yang bisa kutanyai.

Pasangan ini betul-betul membuatku nyaman dan berpendapat alangkah baiknya mereka bisa berlama-lama di sini menemaniku. Berkat mereka, aku jarang keluar uang untuk ke Mall dan lebih menginginkan pulang tepat waktu agar bisa bicara banyak dengan Mas Johari dan Mba Rini.

Lagipula Mas Johari dan Mba Rini kukenal juga suka berolah raga. Mereka pasangan yang rutin lari atau jalan pagi bersama di kampung.

"Kamu mau kemana?"

"Mau lari pagi Mas...", jawabku. Pada hari Sabtu aku biasa lari pagi mengitari daerah rumah kosku. Saat keluar kamar, aku mendapati Mas Johari sedang mengenakan sepatu.

"Mas sendiri mau ke mana? Olahraga juga?"

"Iya, masa nyangkul. Hahahaa"
"Kamu mau lari kan?"

"Iya betul"

"Bareng aja, aku juga mau lari"

"Mba Rini enggak diajak?"

"Dia sedang tidak enak badan"

"Apa sudah ada obatnya? Aku perlu bertemu dan mengecek"

"Tidak! Tidak usah! Dia perlu banyak istirahat"
"Yaudah, yuk kita berangkat"

Aku biasa olahraga lari dengan outfit celana training panjang biru donker dan juga sweater panjang berwarna biru muda. Rambut panjang kukuncir ke belakang agar tidak kusut oleh keringat. Sementara Mas Johari mengenakan celana pendek hitam sehingga menunjukkan jelas betis kerasnya dan daerah tulang kering yang banyak ditumbuhi bulu-bulu kaki merayap. Pakaian yang menempel di badannya adalah jersey pemain sepak bola, tertulis di bagian belakangnya nama mas Johari sendiri.

Kami mulai aktivitas lari pagi kami dengan berjalan kaki di tengah orang-orang yang masih terlelap dan langit yang masih cukup gelap selesai subuh. Selagi pemanasan, Ia banyak bertanya mengenai warga sekitar dan pemukimannya. Ia mengatakan aku beruntung mendapatkan tempat kos yang berdekatan dengan kantor sehingga tidak memakan ongkos dan sekitarnya banyak tempat makan. Ketika kami mulai ancang-ancang berlari, Mas Johari tak lagi banyak bicara. Aku juga fokus dengan kecepatan lariku yang berupaya mengimbangi Mas Johari yang berlari agak cepat.

"Mas Pras apa masih sanggup lari secepat ini, Mas?"

"Hahah dia sudah kendor, mungkin karena sudah kebanyakan rebahan, May. Main badminton tak bisa lama-lama dia, banyak duduknya"

"Oh begitu ya"

"Kamu yang kerja justru malah lebih kuat ya fisiknya?"

"Ah biasa saja, Mas Hehehe... karena rutin aja ini setiap akhir pekan, kalau sempet ya disempetin"

"Enggak jadi masalah, yang terpenting kamu masih berolah raga, bakar kalori"

"Betul"

Awalnya aku begitu antusias karena ada yang menemaniku berolah raga untuk pertama kali di Jakarta. Namun, karena terpaksa mengimbangi kecepatan Mas Johari, aku sedikit kewalahan. Parahnya, kedua payudaraku turut jelas bergoyang. Untuk mencegahnya, aku beberapa kali mengendurkan kecepatan. Aku khawatir ketika orang-orang sudah banyak yang melintas dan keluar rumah mutlak bakal melirik ke arahku. Aku tak mau itu terjadi. Malahan aku akan langsung berhenti berlari. Kemudian Mas Johari sepertinya memahami keadaanku. Dia turut mengendurkan kecepatannya. Apakah karena dia mengetahui aku mulai kewalahan atau karena melihat payudaraku berayun karena berlari agak kencang? Entahlah aku tak mau berpikir terlampau jauh mengenai suami dari sepupuku ini.

Kemudian ketika sampai di sebuah taman perumahan, 30 menit setelah kami berlari meninggalkan rumah kos, Ia meminta berhenti sejenak. Kami berjalan kaki ke arah bangku besi baja yang melengkung tertancap ke tanah.

"Maaf yaa, kecepetan tadi lariku ya?"

"Hahaha ya mas, kalau bisa pelenin sedikit"

"Siap! Kita istirahat dulu ya"

"Iya", ujarku mengatur nafas dan mengusap keringat yang membasahi leher.

"Kamu ada kenal dengan orang sini?"

"Enggak Mas, ya penjaga kos saja, selebihnya tahu muka"
"Ada apa?"

"Aku lihat kemarin sekitar sini lingkungannya cukup kondusif, tetapi sedikit rawan ya karena kamu perempuan seorang"

"Selama ini masih aman-aman aja, ya karena aku waspada juga"

"Tidak bermaksud apa-apa, hanya kamu dari luar penampilannya secara fisik sudah mencolok, pasti kamu paham kan apa maksudnya?"

"Iya paham"

"Alhamdulillah bagus kalo mengerti"
"Pras, pras, kamu itu bisa-bisanya tega istrimu ditinggal sendirian di Jakarta yang keras", ucap Mas Johari mengambil nafas hendak berlari lagi.
"Masih sanggup berlari?"

"Masih"

Mas Johari menyadari kesendirianku di Jakarta yang penuh ancaman. Bahkan ia mengetahui secara fisik diriku mengundang bahaya. Tak heran, ketika matahari mulai terlihat dan keramaian bermunculan kami berhenti berlari. Mas Johari mengajakku sarapan di sebuah warung nasi uduk. Di sana kami melanjutkan obrolan. Ia menanyakan keseharianku selama tinggal sendirian di kawasan ini, termasuk bahaya apa saja yang pernah mengintai. Baik Mas Johari dan Mba Rini acap mampir ke rumahku di kampung. Begitu sebaliknya. Aku berharap dari seluruh cerita yang kujelaskan bisa disampaikan ke suamiku agar ia tersentuh mendengar.

Kedekatan kerabat ini justru dianggap lain oleh Ilham ketika Mas Johari mengunjungi museumku. Ia baru saja pulang menemani Mba Rini terapi, namun Mba Rini lekas kembali ke tempat kos. Mas Johari langsung bertolak ke museum sendirian, ingin melihat tempatku bekerja. Karena tak muda lagi dan wajah yang terkesan tidak ganteng, rambut yang ikal disertai salah satu gigi seri bawah yang berlubang, Ilham mencurigai Mas Johari ada menaruh hati denganku. Ia patut diwaspadai. Ilham sok tahu, bisa-bisanya menuding salah satu kerabatku demikian. Aku semakin kesal dengan dia.

"Hati-hati Mba!"

"Cukup Ham, cukup! Aku enggak suka dengan sikap kamu yang masih begitu!"

"Iya, Mba. Aku mengerti. Aku hanya mau melindungi kamu, aku kan melakukannya karena aku keluargamu di sini"

"Tapi dia itu keluargaku juga, Ilham!"

"Aku merasa ada yang janggal aja sama orang itu"

"Ilham! Cukup! Jangan pernah ikut campur urusan Mba lagi, jelas?!"

"Mba?!"

"Cukup!"

Bukan pertama kali terjadi peristiwa serupa. Dulu Bimo salah satu partner kerjaku menangani publikasi pameran pernah dituduh ingin berniat macam-macam denganku ketika ia berkunjung ke museum karena alasan kemitraan kerja kami. Sayangnya, Aku percaya begitu saja dengan ucapan Ilham. Pada akhirnya aku tidak pernah melihat bukti atau tanda bahwa orang-orang, terutama laki-laki yang dekat denganku sebagai keluarga, teman, atau kerabat yang diseleksi oleh Ilham, mereka bersalah. Beberapa di antara mereka diblokir oleh Ilham menggunakan akun medsosku agar tidak bisa menghubungiku. Aku pun jadi dihantui rasa bersalah. Namun, ilham dengan enteng mengatakan untuk tidak terlalu mempermasalahkan.

"Mau minum apa Mba dan Mas?"

"Aduh, enggak perlu repot-repot May, kami hanya mau bertamu ke tempatmu saja, kamu kan baru datang dari Jakarta"

"Tapi tetep yang namanya tamu hehehe"

"Sudah Apa saja, kamu ini ya kayak kami orang lain"
"Padahal, saat kamu lagi enggak di sini, kami suka sekali kemari tengok ibu dan anakmu"

"Terima kasih ya Mba dan Mas, aku banyak merepotkan kalian", pernah beberapa waktu ketika di kampung, aku menyambut Mas Johari dan mba Rini dengan posisi hanya mengenakan daster. Kendati tidak sopan, karena rumah yang dekat dan famili yang sering mampir membuat semua jadi sudah terbiasa. Sebaliknya ibuku selalu mampir ke tempat mereka saat belum mandi. Wajar, karena rumah dan kampung halamanku bukan daerah tempat tinggal orang-orang berduit. Aku jadi PNS saja satu kampung heboh dan gembiranya menyebar kemana-mana.

"Kenyang banget, sampe mules ini perut"
"Aku masuk dulu ya"

"Iya, Mas, terima kasih ya atas traktiran nasi uduknya"
"Kalau bisa lain kali, jangan nasi uduk lagi"

"Oke, siap!", Mas Johari buru-buru masuk kamar kosnya. Mereka sudah sebulan lebih berada di sini. Konon, mereka ingin menambah sebulan lagi. Pada akhirnya aku tahu juga terapi apa yang sedang di jalani Mba Rini. Sepupuku itu sedang dirujuk terapi pengobatan kanker di Jakarta. Untungnya saja penyakit mengerikan yang dialami Mba Rini masih gejala ringan. Itu mengapa Mba Rini tidak ikut olahraga lari bersamaku dan mas Johari.

"Maya! May!"

"Iya Mas?! Ada apa?!"

"Aku boleh pinjam kamar mandimu sebentar? Rini sedang buang air juga di dalam, sedangkan aku sudah kebelet sekali ini, bisa-bisa jatuh duluan kotorannya"

"Aduh!", Aku yang sedang berganti pakaian, buru-buru mengambil pakaian terdekatku, lalu lekas membukakan pintu dan mempersilakan Mas Johari tergesa-gesa masuk ke kamar mandiku.

"Mas Johari mana?"

"Ada di dalam, Mba"

"Hehehe, maaf ya, tadi mba juga lagi buang air"

"Lanjutin aja Mba lagi, kalau masih ganjel"

"Sudah"

"Alhamdulillah lega..."

"Maaf ya"

"Tidak perlu minta maaf, kecuali tadi sudah keburu jatuh kotorannya baru kamu minta maaf hehehehe", Mas Johari bergurau dengan istrinya, membuat aku iri dengan mereka. Seandai aku dan suami seperti mereka. Barangkali tidak perlu ada drama-drama dalam hubungan kami.

"Terima kasih ya, May. Kami ke dalam dulu"

"Iya silakan"

Aku kembali melanjutkan aktivitasku. Karena sudah bau keringat. Aku ingin segera mandi demi mengharumkan badan. Sesampainya di kamar mandi, aku mendapati ponsel Mas Johari berada di dekat westafel yang berada di dalam Aku berupaya mengambilnya. Namun, gejolak penasaranku muncul. Aku ingin memeriksa siapa tahu Mas Johari menyimpan foto-foto anak dan ibuku di kampung ketika bersama mereka karena suamiku jarang mengirim foto.

Namun yang kudapatkan adalah

"Astaghfirullah! Dapat dari mana Mas Johari ini semua?!"

Aku tercengang. Mas Johari menyimpan foto sensual ketika mengenakan daster dan pakaian dalam. DEGH. Buyarlah semua pandanganku.

Sampai ketemu besok. Semoga aku bisa unggah dan tulis, pastinya kalau senggang disempatkan karena memang ceritanya juga sengaja aku enggak bikin padat supaya gampang dan singkat nulisnya.
 
Terakhir diubah:
izin memantau sambil membayangkan kisahnya mbak may
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd