Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kesepianku sebagai Istri

Maaf ya semalam tidur lebih awal. Sekarang aku unggah pagi hehe

Melepas Segalanya
Karena mimpi yang sesekali datang, kebiasaan buruk di masa lalu, aku ulangi. Padahal, aku hampir tidak pernah melakukannya lagi setelah menikah, bahkan ketika menghuni kamar kos seorang diri. Jurus ampuh menyibukkan diri tak lagi dapat menangkal keinginanku melepas gairah berhubungan intim. Ditambah suamiku tak bisa memahami kondisi istrinya yang lama tak disentuh. Aku mengerti bahwa aku dan suamiku memang tak pernah melakukan masturbasi bersama-sama, baik sebelum atau sesudah menikah. Kami melampiaskan birahi senantiasa bertemu langsung, tidak melalui alat apapun, termasuk telepon atau semacam dildo yang sebetulnya mampu menuntaskan syahwatku sebagai perempuan.

"Kalau enggak mau, sudah beli aja, banyak di online shop kok"

"Enggak mau ah..."

"Terus? Mau yang beneran? Hehehe Maya, Maya....", Viona menggeleng-geleng menyadari apa yang kulakukan beberapa hari yang lalu.

"Enggak juga, ya yang normal-normal aja lah"

"Kamu kira, kamu seperti ini normal? Ya enggak"

"Lalu aku harus bagaimana supaya dibilang Normal?"

"Coba kamu pikir sendiri saja, aku enggak mau kamu sampai nuduh aku ikut campur"

"Ya udah. Aku bukan kamu"

"Maksudnya?"

"Enggak ada maksud, kamu bisa menilai diri kamu sendiri"

"Emmmh, kamu nanti kena batunya juga, May"
"Aku juga dulu seperti kamu"
"Lihat saja nanti..."

Lama aku menghindari Bimo, entah mengapa aku sering memeriksa ponselku, namun tidak pernah ada chat dari dia kuterima. Aku telepon dia tidak mengangkat. Apakah terjadi sesuatu padanya? Atau sana keluarganya di kampung sana sehingga ia sulit dihubungi. Atau karena sikapku yang mendadak berubah karena memimpikannya? Ah mungkin Bimo sedang sibuk-sibuknya bekerja. Barangkali Aku biarkan dulu Bimo fokus dengan urusannya beberapa hari ke depan. Kalau menghubunginya terus, aku cemas dikira mengganggu.

Keinginanku tersebut bertolak belakang dengan hari-hari yang kulalui dan malam-malam yang biasanya aku saling berbalas chat dengan Bimo atau sekedar teleponan sebentar untuk bicara yang ringan. Aku mulai kesal dengan Bimo yang tiba-tiba menghilang tak ada kabar. Chat yang kukirim pun tak pernah dibaca. Lantas aku menanyakan.

"Kamu kenapa diemin aku? Marah? Atau memang kita gak usah bertemen lagi?"

Namun tetap tidak ada reaksi. Aku sengaja didiamkan olehnya. Karena tak terima, kemudian Aku berusaha mencari tahu keberadaan Bimo setelah pulang kantor. Aku lekas pergi ke alamat ia bekerja untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata sesampainya aku di sana, aku mendapatkan kabar bahwa Bimo sudah tidak bekerja di kantor itu lagi. Ah mungkin dia beberapa hari yang lalu menghubungiku punya maksud memberitahu, tetapi aku abaikan. Aduh....aku merasa bersalah sekali kalau itu yang benar-benar dialami oleh Bimo. Jahat sekali aku karena mimpi, terpaksa menjauh darinya tanpa alasan yang sepatutnya dibenarkan.

Kemudian berbekal alamat yang kuterima dari pihak kantornya, aku berencana ke rumah Bimo. Aku juga berusaha terus minta maaf lewat chat dan berupaya menghubungi, kendati tidak juga dijawab. Mungkin Bimo betul marah denganku.

"Makanya kalau sudah bertemen deket, terus kamu tiba-tiba jauhin, ada apa sih di antara kalian, sebegitunya?"

"Enggak ada masalah, semua baik-baik aja kok"

"Itu buktinya Bimo enggak ada balas dan jawab kamu"

"Ya mungkin dia sibuk? Atau di kampung nengok anaknya?

"Sesibuknya orang, enggak mungkin juga berminggu-minggu gak jawab chat dan telepon, kecuali dia marah atau kesal. Itu berarti ada masalah"

"Terus bagaimana?"

"Ya kamu yang lebih kena dia, May. Aku bukan siapa-siapa"

"Dari kamu mungkin ada ide"

"Hmmm... Kalau sudah susah begini, aku deh diminta bantu mikir, kemarin aja aku nimbrung ngumpul sama kalian, dianggap nganggu"

"Enggak ada bilang begitu ih"

"Yaudah nanti aku kasih tahu aku punya ide apa"
"Aku mau nyuci baju dulu", jawab Viona kutemui saat berpapasan di dapur rumah kos kami. "Oh iya, kamu ada punya kontak Bimo? Kalau ada kasih ke aku"

"Untuk apa?"

"Mungkin aku bisa bantu kamu dengan bicara sama dia"

Setelah kuberi kontak Bimo ke Viona. Aku juga belum mendapatkan ide yang kira-kira bisa memulihkan hubungan komunikasiku dengan Bimo. Viona justru mengatakan Bimo juga tak menjawab chat dan teleponnya. Kalau sudah begini, aku rasanya pasrah saja kalau memang betul Bimo ingin menghentikkan komunikasi denganku. Padahal, aku sudah menganggapnya sebagai teman dekat sekali setelah pertemananku dengan Ilham berakhir. Malam hari, saat kesepian berat itu datang lagi, aku menangis. Mengapa setiap aku berteman dekat dengan seorang laki-laki tidak ada yang utuh. Sejatinya aku sudah nyaman dengan mereka, tetapi ada saja halangannya. Mungkin diriku ini yang memang bersalah.

"Bimo, ini terakhir kali aku chat kamu ya, kalau memang kamu gak mau jawab chat aku lagi, ya sudah gak apa, terserah kamu"
"Pada dasarnya aku tetep anggap kamu temen terdekatku. Kamu sudah baik denganku selama ini walau kita berkenalan memang belum cukup lama"
"Namun aku juga mau minta maaf kalau kemarin-kemarin itu aku mendiamkan kamu, karena ada sesuatu yang memang tidak bisa aku jelaskan"
"Bagaimanapun kamu, aku enggak akan benci kamu, aku tetep anggap kamu sahabat terdekat aku"

Usai mengirimkan chat tersebut, aku tak pernah berharap atau menanti balasan dari Bimo, pun memikirkan dia. Lagipula dia juga sudah tak respon. Sia-sia memikirkan seseorang yang tak berkenan menghubungi kita. Barangkali ini yang dirasakan Ilham saat aku tiba-tiba mengakhiri hubungan dengannya. Aku terkena karma.

"Kamu jangan kepikiran Bimo terus, suami dan anak jangan lupa, May"

"Aduh, gak penting banget aku mikirin Bimo"

"Banyak murungnya sih kamu semenjak gak kontakan dengan Bimo"

"Enggak ah biasa aja"

"Kelihatan, May. Kamu lebih banyak diem. Kemarin aja banyak ceritanya"
"Pegang hape meluluk"

"Sekarang juga masih pegang hape"

"Ya beda atuh. Udah cukup berdebat soal Bimo. Sekarang kamu mau ikut aku gak?", tanya Viona bersama putranya yang muncul dari kamar mengenakan ransel.

"Kalian mau ke mana?"

"Staycation di Hotel X, kita berenang. Private juga kok kolamnya. Mau? Daripada kamu bengong di sini. Bosen juga"

"Eng... boleh deh. Aku ikut. Tungguin. Kamu yang bayarin nih?'

"Gampang, udah mau ikut gak? Kalau iya, Aku tunggu di bawah, May!"

"Iya, aku ikut!"

Tergesa-gesa masuk ke kamar. Aku memeriksa apakah aku memiliki pakaian renang. Seingatku aku pernah dibelikan oleh suamiku. Mas Pras memberikanku pakaian renang saat aku diajaknya bersama putraku ke sebuah kolam renang umum. Karena risih dengan modelnya, yakni one piece swimsuit, yaitu pakaian renang yang menyatu bagian atas dan bawahnya, aku tak jadi memakai. Lagipula kolam renang yang akan kami datangi sekeluarga waktu itu kolam renang umum. Pastinya mata-mata pria akan tertuju kepadaku.

Namun karena kata Viona kolam renang ini kolam renang privat, hotel tempat menginap kami pun kuketahui tergolong sangat berkelas dan mahal. Aku bisa lebih tenang sehingga tak ada salah aku memakai pakaian renang tersebut untuk pertama kali. Aku yakin yang melihatku juga akan biasa-biasa saja. Pastinya di sana ada yang jauh lebih seksi dan berani.

"Udah semua? Dompet, hape, gak ada yang ketinggalan lagi?"

"Sudah, beres!", jawabku. Setelah mempersiapkan pakaian, peralatan mandi dan sebagainya. Aku masuk ke mobil Viona. Aku sudah tak sabar menikmati staycation di sebuah hotel berbintang. Aku pernah berniat berlibur di hotel, namun sering tertunda karena biayanya cukup mahal dan sungkan mengeluarkan uang untuk hal tersebut. Seolah lebih baik ditabung untuk dikirim ke kampung.

Dalam perjalanan ke hotel, Viona bertanya apakah aku bawa pakaian renang dan ia menanyakan modenya seperti apa.

"Wih, aku yakin pasti banyak yang ngelirik kamu nanti"
"Hihihi"

"Ah kayak kamu enggak ajah"

"Aku pakai jumpsuit, May. Ketutup semua. Maaf ya. Hihihi"

"Ah kan jadi males aku. Badmood"

"Hahahahah, tenang Maya, tenang. Di sana kamu gak sendirian untuk urusan pakaian renang yang bakal ngundang mata cowok-cowok nakal"
"Ada yang lainnya juga kok. Jangan GR dulu"

"Kan kamu yang ngomong"

Setelah sampai di hotel X daerah Jakarta Pusat, kami check in lalu masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat sejenak. Viona memesankan kamar untukku. Aku kaget. Benar-benar terlalu baik dia. Aku mau marah dan kesal sering segan duluan dengan Viona sehingga kalau sudah bertengkar kecil, kami berbaikkan dengan sendirinya.

Selesai beristirahat dan menghubungi suami dan anakku bahwa mudik nanti aku berencana mengajak keduanya staycation juga di Yogyakarta. Sekarang aku hendak turun ke bawah menyusul Viona yang telah berada di kolam bersama anaknya. Aku menenteng sebuah tas kantong berisi pakaian renangku, perlengkapan mandi, dan handuk.

Karena terlalu bersemangat, dugaanku patah bahwa akan lebih banyak perempuan sepertiku yang memakai baju renang seksi. Sampai di ruang ganti pakaian, yang aku dapati justru sedikit sekali perempuan yang akan berenang. Mereka pun rata-rata yang mengenakan hijab, begitu juga pakaian renang khusus yang akan dikenakan agar lebih tertutup.

Keluar ruang ganti, aku pasrah postur tubuhku menjadi tontonan kaum pria untuk pertama kalinya. Di sisi lain aku sengaja tak memberitahukan suami situasi ini. Aku tak memedulikan mata-mata nakal melirik. Lebih dan lebih ke arah sepasang buah dadaku yang jelas kelihatan cukup berisi sehingga mungkin bikin anu laki-laki berdiri. Ditambah belahan di selangkanganku tak bisa ditutupi, turut pula belahan di bagian dada.

"Ehem, kamu ya, May. Badan gak langsing. Tapi tetep ya bisa bikin cowok ngaceng"

"Curang! Seharusnya kamu juga pakai ini"

"Hahahaha. Aku enggak punya yang kayak kamu gitu. Kamu sendiri gimana bisa punya coba?"

"Ah udah ah, aku mau berenang saja"

"Huuuuu, ditanya malah menghindar",

Aku berenang menjauhi Viona karena tidak mau mengusik kebersamaan seorang ibu dan anaknya. Aku lalu merayakan kesendirianku, berenang bermacam gaya coba kupratikkan kiranya mana yang benar-benar aku bisa karena pernah belajar seluruhnya. Rambutku basah. Muka kuseka. Dari ujung aku seperti mengenal wajah pria itu. Bimo?! Apa aku enggak salah lihat. Enggak mungkin. Ada apa juga dia di sini.

Kendati laki-laki itu berkumis tipis dan berjenggot hingga brewok sedikit merambat ke pipi, aku tak salah lagi. Kalau dia benar adalah Bimo. Aku ragu menghampirinya dengan pakaian seperti ini. Namun, daripada kehilangan kesempatan. Lagipula Bimo berenang di area yang tak banyak orang. Aku meyakinkan diriku untuk memastikan itu adalah Bimo. Aku berenang ke arahnya.

"Mo! Bimo! Bimo!"

"Haduh, ngapain sih kamu di sini, ck" Bimo keluar dari kolam.

"Bimo! Sebentar! Kamu boleh pergi, tetapi kamu jawab pertanyaan aku dulu", ucapku. Namun Bimo tetap melengos. Aku menyusulnya. Aku naik ke daratan lalu menyeka beberapa bagian tubuhku, seperti rambut dan tangan yang terlumuri air.

"Ada apa lagi sih?!!"

"Kamu kenapa sih, Mo?! Kalau ada masalah sama aku, ngomong. Jangan diem begitu"

"Enggak, enggak ada masalah. Udah?! Cukup?!"

"Kamu ngomong dulu, kenapa kamu begini?"

"Ya aku begini, ya bukannya sesuai yang kamu mau?"

"Maksud kamu???"

"Tuh kamu aja lupa, udah ah"

"Bimo, oke aku minta maaf", pintaku menahan Bimo pergi.

"Kamu minta maaf, sedangkan kamu enggak tahu kesalahan kamu apa"

"Iya, aku tahu. Kesalahanku ngediemin kamu, kan? Iya kan?"

"Terus kamu bagaimana? Bukannya aku diemin juga itu berarti kita impas? Kita sama-sama diem. Dan selesai semuanya"

"Aku diemin kamu itu ada sebabnya"

"Kamu bilang ke aku sebabnya apa? Enggakkan? Kamu tetep diem gitu aja. Lalu apa salah aku juga diem ketika kamu tanya aku kenapa?"

"Iya. Aku salah. Itu kenap juga aku di sini mau minta maaf sama kamu. Aku mohon banget kamu bisa maafin aku..."

Bimo tiba-tiba menengok ke kiri dan ke kanan. Kemudian ia menarikku masuk ke kolam lagi. Kami menceburkan diri bersama. Lalu aku disandarkannya ke dinding kolam. Matanya menatapku tajam seakan kekesalan menumpuk dipikirannya. Tiba-tiba dari dalam air, tangan bimo menyentuh selangkanganku. Aku terkejut, sontak memegangi tangan bimo agar tidak berulah.

"Aaaahhhhh..."
"Kamu mau ngapain? Aku gak suka kalau kamu udah begini. Aku udah pernah bilang, aku gak bisa dan gak akan pernah bisa, Mo... plisss...", desahku pelan diliputi rasa cemas dilihat orang.

"Kamu dari pegang tanganku, mending pegang inih"
"Nih...", tangan Bimo mengarahkan tanganku masuk ke dalam celana renangnya. Ia memaksaku memegang batang kelaminnya yang sudah berdiri.

"Jangan macam-macam, Mo. Kalau dilihat orang, bisa diusir kita"
"Aaaaahhhhhss, kamu yaah"

"Kamu ya katanya mau kumaafin. Ayo Maya, kocok kontolku"

"Aku gak bisa, Moo. Gak bisa..."
"Kalau cara kamu begini, aku gak sudi juga minta maaf ke kamu"

"Kamu selalu saja, selalu saja seperti itu"

"Aaaahhhs", tangan bimo terus meraba area vaginaku. Walau sempat kupegang burung Bimo yang sudah sangat keras, aku tak berkenan menuruti kemauannya. Aku justru mendorong dada Bimo yang agak berbulu supaya menjauh dariku. Bimo lekas mengubah posisinya. Ia bersandar ke dinding kolam lalu memposisikan paksaku berdiri membelakanginya. Kemudian kedua tangannya melingkari pinggangku, lantas Batang penisnya dipepetkan ke bokongku. Bergesekkanlah kami di sana.

"Urghhh, gimana May?"

"Aiihhh, Bimo, sudah Mo.. kalau ada yang lihat, kita harus bilang apa...."

"Tenang, May. Orang-orang pasti akan mengira kita sepasang kekasih atau suami istri"
"Heehehe"

"Aahhsss", aku menahan agar desahanku tidak terdengar. Namun, aku tak kuasa mencegah kemunculan syahwat akibat gesekan kemaluan Bimo. Aku tak boleh membiarkan itu terlalu lama. Yang terjadi malah sebaliknya. Tangan bimo kembali bermain di selangkanganku. Kini lebih parah. Ia membongkar bagian bawah pakaian renangku. Astaga Bimo! Aih!

"Katanya gak bisa, tapi ini memek kamu ada cairan begini loh, May..."
"Hhhmmm ckckck"

"Kurang ajar kamu!"

"Mmmffffhhh....", Bimo memegang rahangku. Ia mendesak bibirku berciuman dengannya. Aku menolak walau sempat sedikit bibir kami bertemu. Bimo benar-benar gila. Ia tidak peduli dengan situasi sekitar kami. Mungkin hotel ini menganggap lumrah kalau di kolam renangnya terdapat pasangan berpelukan atau berciuman karena tidak jauh dari aku dan Bimo. Aku secara sadar melihat pasangan saling merangkul dan mencumbu. Setelahnya aku menyesal melihat adegan tersebut.

"Ayoo, May. Kita bisa lebih baik dari mereka"

"Mmmfffhhh, mmmfffhhh....", aku menerima bujukan Bimo. Bibir kami berpagutan lagi. Kali ini lebih lama.
Ditambah Bimo meraba buah dadaku.

Setelah puas, Bimo mengajakku naik ke daratan. Ia menarik tanganku dan memberikan handuk yang tergantung di sebuah bangku kayu. Aku sempat meminta Bimo berhenti berjalan. Namun ia terus menuntun sampai aku lupa bahwa aku meninggalkan Viona dan tas kantong berisi perlengkapan renangku. Aku juga buru-buru menutupi tubuhku yang basah mengenakan handuk, sedangkan bimo seperti tak peduli dengan kondisinya.
Kami pun menaikki elevator berdua.

"Mooo, jangan macam-macam!"

"Udah diem, nurut aja"

"Mooo?! Bimo?!", Bimo memegangi tanganku begitu kuat. Lalu kami turun di lantai 5. Dugaanku bimo mengajakku masuk ke kamarnya. Aku berusaha tak mengikuti langkah Bimo. Namun tarikannya begitu kuat. Malahan ia merangkul punggungku. Aku didesak berjalan bersamanya menuju kamar ia tidur.

JEGLEK

"Akhirnya penantian panjangku sampai juga tanpa disangka-sangka"
"Hehehe"

"Mo, jangan... Aku udah punya suami dan anak, Mo... Bimo..."

"Aku juga, Maya. Cuman aku bercerai. Istriku bersama orang lain. Anakku di kampung"
"Tetapi kita punya kesamaan loh, May"
"Kita sama sama kesepian..."

"Iya, tapi kita kan gak harus melakukan hal yang gak boleh, Mo"
"Itu sama aja kamu enggak menghargai aku", bimo melepaskan celana dalamnya yang dipakai renang tadi. Mencuat batang kejantanan Bimo yang sempat kukhayalkan bentuk dan warnanya seperti apa. Ia melebih ekspetasiku. Burungnya yang sudah mengeras terlihat memiliki diameter yang lebar. Kepalanya yang besar dan panjangnya yang sediki melengkung ke atas. Bulu-bulunya tercukur rapi.

"Bukan enggak menghargai kamu, tetapi aku sudah kadung nafsu sama kamu, May. Aku lelah jika sange denganmu harus berurusan dengan kamar mandi dan sabun"

"bukannya laki-laki biasa seperti itu?"

"Iya, tapi cape juga kalau kebiasaan begitu terus. Lagipula aku sudah pernah menikah", aku mundur seiring langkah Bimo mengikutiku. Namun, itu hanya sementara ketika dinding tembok hotel menyudahinya.
"May, sekali aja kok. Aku gak akan melakukannya kedua, ketiga, atau seterusnya. Aku hanya ingin melepaskan semuanya secara keseluruhan, supaya tidak penasaran lagi"

"Tapi aku gak percaya kamu melakukannya akan sekali aja berikutnya"

"Iya, aku janji sama kamu, May. Tolong percaya kata-kataku"

"Kalau enggak kamu tepati, konsekuensinya?"

"Aku akan bilang ke Viona bahwa selama ini aku yang salah dan kurang ajar ke kamu. Bagaimana?", tanya Bimo membimbingku duduk di pinggiran tempat tidur.

"Eng.... baik. Aku terima alasan kamu"
"Namun..."

"Eemmmmfffhhhh....", karena sudah tak sabar. Bimo menyambar bibirku. Kami berdua saling mengulum bibir masing-masing hingga tubuku terjatuh di tempat tidurnya. Dari bibir, bimo mencumbu leherku. Ia menggigit daguku ke samping mencumbu-cium pipiku. Bimo menindih tubuhku. Kami berpelukan, berkali-kali batang penis Bimo menubruk klitorisku, membuatnya kepala basah oleh cairanku yang lama tak keluar karena sentuhan dari kelamin seorang laki-laki. Aku juga menjawabnya dengan membuka pahaku lebar-lebar, merestui apa yang Bimo mau.

"Aku masukkin ya May..."

"Iya, Mo. Tapi sekali aja ya, habis itu jangan lagi..."

"Iya tenang, sssttt..."

"Sebentar, aku mau lepas pakaian ini dulu", ucapku melepas pakaian renang yang kulupa sudah basah.

"Seksi banget kamu pakai baju itu"

Aku pun kini saling berhadapan telanjang dengan Bimo. Tak pernah terbayangkan mimpi itu benar-benar menjadi kenyataan. Beberapa menit ke depan, Kemaluanku akan menyambut kemaluan Bimo. Aku rebahan mengangkang, bimo menaikki tempat tidur dan meletakkan kepala penis di liang vaginaku. Akan tetapi, ia justru menggesekkannya, sengaja sekali berupaya memancing.

"Apaah? Udah, seneng?" tanyaku menatap Bimo.

"Seneng donggg, hhhh..."

"Ahhhh... ayo masukin sekarang, Mooo"

"Sabar, aku pengen bikin memek kamu sampai bener-bener basah dulu"

"Kamu tatoan ya?", ucapku melihat sebuah motif tatto di lengan kekar Bimo.

"Kenapa? Gak suka cowok tatoan? heh?"

"Bukan, dulu waktu kuliah sempet ditolak temen yang tatoan"

"Aaaaaaahhh, pelen-pelen.. ", kepala penis Bimo mulai menyeruak masuk vaginaku.

"Tapi kali ini, cowok tatoannya gak akan nolak, May"
"Hehhee"
"Urghhhhh... Masih sempit ternyata memekmu ya"

Dorongan penis bimo yang menghentakkan, membuatku merangkul lehernya sebagai luapan sedikit rasa perih. Dia tarik-mundur penisnya hingga memastikan benar-benar licin dan mengambil ancang siap menggenjot tubuhku. Nafas kami berdua beradu. Penis Bimo mulai bekerja keluar masuk liang peranakanku. Aku mengeluarkan desahan demi desahan karena perih yang perlahan kurasai nikmat.

"Aaaahhhh...."

"Enggak apa kan kamu dientot duda?"

"Gapapa kalau enak begini, Mo...", ucapku saat tubuh sudah dikuasai syahwat.

"Urghhhhh, gak nyangka padahal kamu sudah punya anak satu, May. Tapi vagina masih bisa ngejepit kontolku"

"Aaahhh..."

Aku dan Bimo tak sadar bahwa suasana ruangan yang tadinya dingin berubah hangat karena persetubuhan yang sedang kami lakukan. Keringat bimo yang mulai berjatuhan dari dadanya pula tak sengaja kubiarkan mengenai badanku. Di bawah sana klitorisku terus bergesekan dengan batang kemaluan Bimo, semakin basah vaginaku. Kemudian Bimo meraba payudaraku. Ia terkesima dengan gunung kembarku yang masih kencang dan pentil yang mengeras. Ia sentuh dan pilin puting susuku tersebut. Ah nikmat sekali rasanya. Terbang mengawang pikiranku.

Bibir bimo lalu kembali mendarat di bibirku. Kami berpagutan, ia menghisap bibir bagian bawahku. Kubalas dengan juluran lidah menjilati bibir atasnya. Kedua tanganku kemudian menyentuh dada bimo yang agak berbulu. Ia menyodokkan penis kerasnya sedikit lebih cepat.

"Mo, jangan pernah tinggalin aku yah"
"Aahhh..."

"Enggak akan, May. Asalkan kamu juga gak menghindar dariku"

"Aaaaahhh, aku dikit lagi keluar, Mo..."

"Urghhh...b areng, May... Gak apa kukeluarin di dalam kan?, tanya Bimo yang kuyakin melihat wajahku yang sedang diselimuti birahi penuh

"Gak apa. Ini bukan tanggal suburku"

"Bagus! Aku cepetin! Urghhhh!"

"Aaaaaaahhhhhh.... Bimoooo... Aku mau keluaaaarr.....", Kedua tanganku medekapkan leher bimo agar tubuh kami berdua saling merapat. Bimo semakin mempercepat laju penisnya di liang vaginaku yang semakin banjir. Aku tak kuat lagi melepas gejolak nafsuku yang sudah diubun-ubun. Aku berharap pula Bimo melepasnya bersamaan denganku.

"Ohhhh...Aku juga mau keluar, Maay. Enak banget gituan sama kamu"

"Aaaahh.... Bimo!!! Aku keluaaarrr..."
"Cressssssssshhhhhh cressssshhhhhh....", Tubuhku melonjak. Nafasku megap-megap selesai melepas seluruh syahwat yang membelenggu hari ini. Selanjutnya vaginaku dapat merasakan kedutan keras batang kemaluan Bimo. Ia segera menyusul ejakulasiku. Aku peluk tubuhnya yang berkeringat dan bagian selangkangannya yang masih bekerja keras hendak menumpahkan sperma di dalam rahimku.

"Orrrrrhhhhhh, ini giliran gue, Maaayy!"
"Aaaaaahhh enaaaak......"
"Crooottt.... Crotttttt...."

Kami berpelukan dan tidur bersama, tak peduli teman, kawan, pekerjaan, pasangan, dan juga anak kami. Aku dan Bimo kelelahan.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd