Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KIDUNG SANDHYAKALA

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Tata bahasa rapi seperti ini sudah sangat langka dan ternyata masih bisa ketemu di sini. Salut...
Terima kasih sudah memilih genre budaya masa lampau kita dan semoga pesan tersirat dari kisah ini membumi di hati pembacanya, aamiin. Wish all the best for U 🙏
 
Mantab Hu.. sudah lama banget nggak baca cerita silat. Nostalgia lagi dengan nuansa pendekar kanuragan, ilmu meringankan tubuh, tenaga dalam, kitab ilmu, dll... walaupun yang ini agak bernuansa saru he he he.

Alur ceritanya terbangun rapih. Bahasa dan dialognya juga khas cerita zaman kerajaan tapi tidak berlebihan. Memang kualitas cerita suhu killer tomato luar biasa...!
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
BAGIAN 4
DALAM KEPUNGAN KELABANG SEWU



Suasana tiba-tiba saja menjadi ramai.

Para penghuni penginapan dan pengunjung yang penasaran berhamburan keluar untuk menyaksikan siapa yang sebenarnya telah datang beramai-ramai untuk mengepung penginapan. Begitu pun dengan pasangan pendekar muda Banyu Langit dan Anom Kinasih yang keluar tanpa persiapan. Siapa sangka jika mereka berdua kemudian justru langsung disambut oleh sekawanan pasukan bertopeng berpakaian serba hitam. Kedua pendekar itu langsung mengenali siapa yang datang.

“Celaka, itu Pasukan Kelabang Sewu!” desis Banyu Langit terkaget-kaget.

Betul sekali. Merekalah kelompok pembunuh paling misterius yang melanglang buana di dunia persilatan – Pasukan Kelabang Sewu. Pasukan pemburu yang dikenal kejam dan sadis.

Pemimpin Kelabang Sewu sendiri hanya dikenal dengan sebutan Kelabang Suto - tidak ada yang mengetahui nama asli ataupun asal muasal sang pria misterius. Pimpinan Kelabang Sewu tersebut terlihat menonjol dengan berdiri paling depan di samping seorang kakek tua yang dengan santai menyilangkan tangan di belakang badan, kakek tua itu adalah datuk aliran sesat Si Alis Kincir yang merasa jumawa karena beberapa hari berselang telah ikut menghabisi Pendekar Golok Angin dan hingga saat ini selalu menyombongkan prestasi-nya tersebut.

Pasukan Kelabang Sewu adalah pasukan yang tertata rapi, sangat terlatih, dan jelas bukan hanya rampok yang dengan asal merompak orang. Mereka selalu bergerak taktis untuk mengincar target dan sasaran.

Hari ini, sasaran itu adalah Banyu Langit dan istrinya, Anom Kinasih.

Melihat kedua sasaran sudah keluar dari penginapan, Kelabang Suto pun segera mengayunkan tangan.

“Bunuh mereka.” Ucap Kelabang Suto dengan suara seraknya.

Tanpa basa-basi, Pasukan Kelabang Sewu bergerak maju dengan cepat untuk membabat apapun yang ada di depan mereka demi mencapai posisi Banyu Langit dan Anom Kinasih. Jerit ngeri terdengar karena pedang para anggota Kelabang Sewu seringkali mengenai korban yang tak bersalah.

“Bedebah!” Banyu Langit geram. Dengan memanfaatkan ringan tubuhnya, sang pemuda gagah itu buru-buru menyelamatkan satu persatu korban dan mendorong pihak tak bersalah lain untuk segera masuk ke dalam penginapan atau rumah mereka. Jika tidak bisa, ia segera menghardik agar warga segera lari dan bersembunyi.

“Menyingkir semuaaaaaa! Masuuuk ke dalam!! Pergi!! Di sini berbahayaaaa! Masuuuuk!!” teriak Banyu Langit dalam panik warga. Ia bergerak sangat cepat karena tahu orang-orang berpakaian hitam ini punya maksud tidak baik dan tidak peduli pada korban.

Sang pendekar menatap khawatir ke arah sang istri, ia melihat sepuluh orang anggota Kelabang Sewu yang membawa berbagai macam senjata tajam sudah sampai di posisi Anom Kinasih. Mereka mengepung dan segera mengeroyok istrinya. Saat itu dia tidak mungkin membantu Anom Kinasih karena dia sedang membantu penghuni penginapan yang hanya rakyat jelata untuk segera menyingkir dari arena pertarungan.

Kelabang Suto sendiri tidak menunggu terlalu lama, ia berlari kencang, melompat, memutar badan di udara, dan melontarkan sebuah tendangan kencang ke arah Banyu Langit!

Banyu Langit menahan kerasnya kaki Kelabang Suto dengan pukulan kepalan tangan ganda!!

Bddggkkkhh!

Kelabang Suto terhadang, serangannya gagal. Ia menyentakkan diri ke belakang dengan salto. Alis Kincir menyusul untuk menyerang sang pendekar. Pedang bengkoknya mendengung kala diputar bagaikan kincir angin yang menyerbu Banyu Langit.

Serangan kincir seperti ini menyulitkan sang pendekar untuk menghentikannya dengan tangan kosong. Pendekar muda itu pun mundur ke belakang dengan ilmu ringan tubuh pilih tanding sambil mempersiapkan diri. Sekilas lihat sungguh ia tak suka wajah Alis Kincir, berjenggot panjang dengan wajah pucat dan rambut digelung tak rapi. Alis panjang hampir menyentuh dagu yang menjadi ciri khasnya memang unik tapi tidak nyaman dilihat.

Dua bilah pedang bengkok yang tajam dimainkan dengan ringannya oleh sang tetua bengis itu membuyarkan konsentrasi sang pendekar.

Berhasil mendesak Banyu Langit menjauhi Kelabang Suto, Alis Kincir pun mensejajari sang pimpinan pasukan penyergap.

“Mereka yang harus dilenyapkan?” tanya Alis Kincir.

“Benar, pria wanita dari Perguruan Seribu Angin yang tidak boleh hadir esok pagi di aula Kadipaten.”

“Mereka dari Perguruan Seribu Angin?” Alis Kincir tersenyum sambil menyapukan punggung tangan di bibirnya. Betapa berjodohnya ia dengan murid si tua Angin Sakti beberapa pekan terakhir ini. “Dua cecunguk Seribu Angin dalam sebulan jelas merupakan penghargaan tertinggi. Serahkan padaku yang pria. Kalian habisi yang wanita.”

“Siap.”

Kedua penjahat itu melompat berpencar dengan masing-masing menentukan lawan. Badai serangan berlanjut lebih hebat menyerbu Banyu Langit dan Anom Kinasih.


.::..::..::..::.


Suro Wanggono menikmati mandi di bawah air terjun di tengah malam, dengan begini ia bisa sekaligus melatih kemampuannya. Dingin yang menghajar tubuhnya dilawan dengan tenaga dalam penghangat tubuh. Durjana pengkhianat Perguruan Seribu Angin itu memainkan kuda-kuda dan menghentakkan tangan berulang – bergantian tangan kanan dan kiri. Ke atas, ke samping, ke kiri. Tubuhnya yang dihangatkan tenaga dalam mengeluarkan asap saat dihajar dinginnya air terjun yang mendera.

Suro Wanggono memang harus berterima kasih pada seorang guru yang mengajarinya kemampuan baru yang jauh lebih hebat dibandingkan segala ilmu yang pernah diajarkan di Perguruan Seribu Angin.

Perguruan Seribu Angin sebagai tempatnya menuntut ilmu adalah salah satu perguruan yang paling terkenal di bhumi pertiwi, tapi hal itu tidak lantas menjadikan mereka sebagai yang terkuat. Perguruan Seribu Angin hanya terkenal karena sepak terjang pendekar-pendekar mereka yang lurus dan selalu menjunjung tinggi kebajikan. Ilmu mereka memang tinggi dan hebat, tapi itu bukan berarti mereka tidak bisa dikalahkan!

Sungguh beruntung selepas dari Perguruan Seribu Angin Suro Wanggono lantas berhasil menjadi murid dari seorang digdaya lagi aneh dan unik yang merupakan tokoh terpandang di dunia persilatan – bahkan merupakan salah satu di antara Lima Dewa Pemuncak, lima pesilat sakti yang diakui keberadaan dan kemampuannya di seantero bhumi pertiwi. Berkat guru barunya tersebut, tenaga dalam Suro meningkat drastis dan kemampuannya kini bisa dibilang jauh lebih tinggi dibandingkan orang-orang dari padepokan lamanya.

“Inti Angin Sakti...!” Suro Wanggono meludah ke samping. Cuh. “Ilmu yang tidak ada gunanya digembar-gemborkan sebagai salah satu yang terhebat! Hanya gara-gara Kitab Inti Angin Sakti yang tidak jelas juntrungannya semua orang tergila-gila! Aku tantang kalian semua, Perguruan Angin Sakti! Aku tantang kalian semuaaaaa!!”

Suro melompat ke depan, menyeruak keluar dari air terjun yang deras mengucur. Ia menjumpai sebuah batu berukuran separuh tubuh manusia. Dengan teriakan kencang yang menggema di seluruh hutan, Suro menghantam baku di depannya itu dengan sebuah pukulan.

“Heaaaaaaaaarrrrghhh!”

Bledaaaaammmmhhh!!!

Pukulan kencang diluncurkan ke arah batu yang diincar, tapi batu itu tidak bergeming saat Suro menarik tangannya, hanya bergetar dengan hebat.

Durjana itu pun berbalik kembali untuk berjalan menuju tepian sungai sambil tersenyum. Di belakangnya, perlahan-lahan sebuah lubang terbentuk di batu yang baru saja dipukul, sebuah rongga yang menyerupai desakan kepalan tangan. Rongga itu bukan rongga biasa, melainkan tembus dari sisi yang dipukul hingga ke sisi luar batu. Hanya tenaga dalam papan atas yang bisa melakukan pukulan sekencang dan sekuat itu hingga bisa melubangi batu.

Sesungguhnya Suro Wanggono telah menemukan cara untuk menyatukan jurus Pukulan Gada Angin yang dikuasainya di Perguruan Seribu Angin dengan tenaga dalam yang ia miliki sekarang. Ia menyebut jurus ini : Pukulan Geledek, karena suara yang ditimbulkan mirip seperti suara geledek bertalu-talu. Tapi jurus ini masih belum selesai betul, masih ada banyak kekurangan yang harus ia sempurnakan.

Suro berjalan pelan menuju pondoknya. Beberapa orang prajurit penjaga memberikan hormat. Dayang-dayang keluar dari pondok Suro sambil tertawa-tiwi bahagia dan saling menggoda, mereka membawa tempayan berisi air. Para dayang membungkuk lembut untuk memberikan hormat pada Suro yang langsung mengangguk untuk mengijinkan mereka pergi berlalu.

Pria gemuk itu pun melangkah ringan menuju pondoknya yang berada di posisi teratas sebuah bukit. Dari posisinya, ia bisa menyaksikan air terjun yang baru saja ia nikmati deras airnya. Setelah masuk ke pondoknya yang sepi, dengan santai begundal itu pun berjalan menuju kamar.
“Mmmhhhh...” terdengar suara erangan dari dalam kamar.

Sang pria gemuk pun membuka pintu kamar perlahan-lahan sekali agar siapapun yang berada di dalam tidak akan terganggu dengan kedatangannya.
“Mmmmmmmmhhhhhh... aaaaaaahhh...” kembali erangan terdengar.

Suro Wanggono meneguk ludah saat berada di dalam kamar. Arum Kinanti yang setengah sadar setengah pingsan mengerang dan merintih di pembaringan, ia hanya mengenakan kemben jarik yang melindungi tubuh setengah telanjang tanpa sehelai kain lain. Gundukan dada yang sempurna dan kaki jenjang mulus milik sang wanita jelita itu dapat dinikmati oleh Suro dengan teramat jelas.

Tangan Arum bergerak tanpa bisa dicegah, tangan kiri meremas-remas buah dadanya sendiri, sedangkan tangan kanan menelusup masuk dan menggosok-gosok belahan kewanitaannya. Pendekar wanita bernasib malang ini memang terus menerus dicekoki oleh obat perangsang teramat ampuh selama seharian penuh, sehingga tubuhnya terasa panas dan nafsu birahinya menggelegak. Sungguh nasib yang tidak pantas diterima oleh seorang pendekar seperti Arum Kinanti.

“Mmhhhh... mmmhhhhh...” rintih sang bidadari jelita dalam petaka. Matanya setengah terbuka, meski kesadarannya tak sepenuhnya hadir.

Suro Wanggono menahan tawa, ia sungguh menikmati detik demi detik yang sangat menggairahkan ini. Betapa jauh pujaan hatinya itu telah jatuh ke lembah yang paling nista. Siapa yang mengira kalau pendekar wanita pilih tanding seperti dia... seorang istri dan seorang ibu muda, akhirnya takluk pada seorang Suro Wanggono yang menjijikkan?

Seorang wanita sedigdaya Arum Kinanti, yang selama ini selalu sombong dan angkuh di hadapan Suro – kini tak ubahnya seperti seorang pelacur dari pinggiran kota yang siap ia gumuli kapanpun ia mau. Suro Wanggono tersenyum puas. Ia akan terus mencekoki Arum Kinanti dengan berbagai obat dan jejamuan perangsang agar pada akhirnya nanti ia akan hilang ingatan dan hanya mengakui dirinya sebagai suami sahnya. Ia akan mengubah Arum Kinanti menjadi betina sejati entah bagaimanapun caranya.

Luar biasa indah memang istri Bima Soka dan ibu dari Bara Sembrani ini, tubuhnya begitu matang, ranum, dan menggairahkan. Sungguh beruntung Suro Wanggono akhirnya bisa memetiknya. Sang begundal berwajah buruk rupa itu meloloskan celana yang ia kenakan hingga telanjang bulat. Ia pun melangkah perlahan menuju pembaringan tempat tubuh molek Arum Kinanti mengerang dan meradang.

“Bersiap-siaplah Arum, kekasih hatimu datang. Akan kupuaskan kamu siang dan malam.”


.::..::..::..::.


Runtuhnya langit-langit gua rupanya bukan hal yang buruk bagi Bara Sembrani, karena air dari atas bebatuan tiba-tiba saja mengucur teramat deras. Ini bukan air hujan, ini air yang entah dari mana muasalnya namun mengalir di sela-sela bebatuan yang menjadi dinding atap gua – seperti ada sungai kecil yang awalnya mengalir di rongga-rongga batu yang kini dibelokkan arahnya dan dituang ke dalam liang bebatuan yang membentuk selokan kecil dengan ujung terjauh kembali ke rongga batu.

Bara yang tadinya menyilangkan lengan di atas kepala perlahan-lahan membukanya dan terbelalak takjub menatap hasil kehebatan sang kakek tua yang mungkin menyelamatkan nyawa mereka berdua di dalam gua. Berkat Kakek asing itu, kini air bersih dan makanan tersedia, meskipun makanan yang tersedia hanyalah berupa buah-buahan yang Bara tidak tahu namanya.

“Woaaaaah!! La-langit-langitnya mengucurkan air!”

“Hakakakakakakak!! Tidakkah kau tahu jika malam sering terdengar suara gemuruh dalam rongga bebatuan? Itu adalah suara air yang mengalir deras di sela langit-langit! Kita saja yang tidak dapat melihatnya! Tingkat kewaspadaan kita masih nihil, kepala kosong. Hakakakakakakakak!” Kakek itu terlihat puas dengan kucuran air. “Sekarang kamu tidak perlu lagi khawatir, bocah! Air sudah tersedia, buah pun ada. Hakakakakaak. Kita bisa bertahan hidup!”

“Te-terima kasih, Kek.” Bara segera menjura untuk memberi hormat. Tapi orang tua aneh itu mendengus seolah-olah tidak suka diberikan penghormatan, ia malah mencibir dan meludah. Bara pun terdiam sejenak, “Si-siapa gerangan Kakek? Apa yang Kakek lakukan di dalam gua? Apakah Kakek tahu jalan keluar dari gua terkutuk ini?”

Kakek itu sekonyong-konyong terdiam mendengar rentetan pertanyaan dari Bara Sembrani. Wajahnya yang tadinya tertawa senang sekarang kusut tanpa wujud, senyum disimpan suara dibungkam. Ia bahkan menatap Bara dengan pandangan sadis. Bocah itu pun mundur teratur sampai punggungnya bertemu dinding gua.

“Untuk apa keluar jika awalnya masuk? Lantas untuk apa kembali masuk jika sebelumnya selalu ingin keluar? Tentukan keinginanmu.” Ujar sang Kakek sambil mengelus-elus jenggotnya tanpa memberikan sedikit pun petunjuk mengenai apa yang diucapkan. Semua seperti potongan kata yang tidak ada juntrungannya bagi sang bocah.

Bara bergidik, jangan-jangan dia berada dalam gua yang sama dengan orang gila?

“Seberapa banyak kau makan buahnya?” tanya Kakek itu sambil mendelik.

“Cu-cukup banyak.” Jawab Bara sekenanya dengan takut.

“Cukup itu berapa banyak?”

“Secukupnya sampai aku kenyang.”

“Seberapa banyak kau minum airnya?”

“Secukupnya juga.”

Kakek itu menatap Bara lekat-lekat. Kepalanya bergerak naik turun, naik turun. Matanya menyelidik, atas bawah, atas bawah. Laki-laki tua itu mendengus sangat kencang, begitu kencangnya hingga debu-debu bertebaran.

“Duduk di sana!” Kakek itu menunjuk ke sebuah batuan landai dan lapang.

Bara menurut.

“Posisi bersila!”

Apa-apaan ini? apa yang diinginkan oleh sang Kakek sebenarnya? Bara sama sekali tidak paham apa yang ingin dicapai oleh sang Kakek, tapi ia mengikuti saja apa maunya. Bocah itupun duduk bersila seperti permintaan sang Kakek.

“Pejamkan mata, lemaskan tubuh.” Ucap sang Kakek yang langsung diikuti tanpa banyak tanya oleh Bara. “Tidak ada yang bekerja dalam tubuh, pikiran kosong. Semua diatur dengan nafas yang plong, tapi jangan biarkan kepala melompong. Luruskan posisi tulang punggung. Atur nafasmu, rasakan udara yang mengalir ke rongga dada pada setiap hirupan. Hormati dan hayati aliran udara yang masuk.“

Putra Bima Soka itu mengernyitkan dahi, permintaaan Kakek Tua ini... bukankah ini seperti berlatih meditasi? Hal yang sama pernah diajarkan kepadanya semasa di Perguruan Seribu Angin. Bara pun segera memperbaiki posisi dan mulai bermeditasi.

“Perintahkan sekujur tubuhmu untuk tenang, lemas, dan santai. Tapi pastikan selalu menghayati dan menghormati aliran udara yang masuk. Jika ada bagian tubuh yang masih belum lemas – perintahkan dengan pikiranmu untuk melemaskan semua sisi tubuh, semua sisi diri. Tenangkan hati, atur napas, lalui dan kendalikan dengan lembut.”

Bara menerapkan semua yang diperintahkan oleh sang Kakek Tua. Napas yang teratur dan lembut membuat diri menjadi lebih tenang dan nyaman. Saat sudah mencapai posisi yang tepat, Bara merasakan dalam tubuhnya hadir kehangatan, hadir pula ketenangan. Bara menarik napas panjang, lalu menghembuskannya melalui mulut.

“Pijak bumi dengan kokoh, tenangkan hati, dan buka diri. Atur tubuh supaya mencapai posisi sesantai yang kamu bisa.” Sang Kakek Tua melirik ke arah Bara yang sedang menggigil. “Apa yang kamu rasakan saat ini?”

“A-ada hawa panas yang merambat di dalam tubuh, Kek.” Bara merasa ada yang aneh dalam tubuhnya, ia menggigil tapi merasakan hawa panas berputar-putar dalam perut. Ini bukan panas yang biasa-biasa saja! Panas ini sangat aneh! Menyakitkan! Sakit!

Bara mulai tak tahan.

“Gunakan aliran udara yang keluar masuk dalam tubuh sebagai pengatur tenaga itu.” ujar Kakek saat melihat Bara kesusahan.

“Ba-bagaimana caranya? Saya tidak tahu... saya hanya...”

“Tenangkan dirimu. Atur napasmu. Tubuh akan secara serta merta mengikuti perintah pikiran tanpa diminta. Serahkan semua tugas pada pikiranmu. Ikuti perintahnya.”

Panas di dalam dada Bara makin bergejolak. Ke-kenapa ini gerangan? Apakah air yang ia minum tadi kotor? Tidak layak untuk dinikmati? Kenapa rasanya panas sekali dalam tubuhnya?

“Hnngkkkkhhhh!!”

“Kek?”

Bara membuka matanya. Ia menyaksikan sang Kakek aneh memegang kepala penuh ubannya dengan teramat kuat, seakan-akan hendak menekan dan melubanginya karena rasa sakit yang ditimbulkan. Tiba-tiba saja sang Kakek berteriak-teriak dan berguling di tanah tanpa juntrungan.

Ketika bangkit kembali, tanpa dinyana-nyana, Kakek Tua itu berteriak kencang.

“Bocah gemblung! Bocah edan! Tak pateni kowe!! Kubunuh kamuuu!!” mata sang tetua berubah nyalang, merah penuh amarah. Menatap Bara dengan sangat benci – entah karena alasan apa. Bocah kecil itu pun menjadi teramat ketakutan. Dia buru-buru berdiri dan siap berlari.

Kenapa lagi orang tua aneh ini? Kenapa dia begitu marah? Apa yang terjadi?

“Ka-Kakek?”

TAK PATENI KOWEEEEEEEE!!!

Tak menunggu aba-aba, Bara berlari ke liang terdalam gua.


.::..::..::..::.


Anom Kinasih bukanlah wanita pendekar biasa-biasa saja, dia adalah salah satu pendekar harapan Perguruan Seribu Angin yang kemampuannya di atas rata-rata seperti halnya Arum Kinanti, Bima Soka, dan tentunya Banyu Langit. Serbuan pasukan Kelabang Sewu tak akan menciutkan nyalinya. Saat dua orang anggota Kelabang Sewu maju bersamaan menyerangnya, saat itu pula dua orang terkena tebasan pedang bersamaan. Wanita jelita yang hanya berpakaian seadanya itu tidak peduli dengan apa yang dikenakannya karena fokusnya kini adalah mengalahkan seluruh pasukan penyerang yang kurang ajar ini!

Dua terkapar, maju dua orang berikutnya menyerang sang pendekar wanita, tombak yang mereka bawa diputar dan ditusukkan ke depan untuk memutus gerakan lincahnya.

Anom menggeram dan menangkis atas bawah, ia berguling berulang sambil menjulurkan kaki untuk melontarkan serangan. Beberapa kali tendangan itu masuk dan membuat lawan terjengkang tapi tidak membuat penyerangnya lantas mundur. Mereka terus merangsek maju, serang tanpa takut mati!
Kunyuk-kunyuk bedebah ini memang perlu diberi pelajaran!

Anom Kinasih melompat dengan cekatan ke kanan, kiri, dan ke depan. Kadang menghindar, kadang mencari celah untuk meluncurkan serangan. Gerakannya begitu cepat sehingga tak terlihat oleh kedua anggota Kelabang Sewu, seolah-olah menghilang entah kemana! Saat kedua bedebah berpakaian hitam itu lengah, kaki Anom menendang bertubi ke arah dada keduanya hampir berurutan bagai derap kaki kuda, kedua anggota Kelabang Sewu itu pun terpental beberapa langkah ke belakang, jatuh bergulingan dan mengerang tanpa bisa bangkit kembali, remuk rasanya dada mereka!

Kelabang Suto mendengus, Ia menyerbu bersama dengan dua orang Kelabang Sewu lain! Sungguh licik dan tak beradab! Tiga orang laki-laki bertubuh besar mengeroyok seorang wanita!

Tapi Anom Kinasih bukan wanita biasa.

Saat Kelabang Suto melayangkan tubuh dengan kaki kanan lurus mengincar badan sang pendekar wanita, Anom melontarkan tapak Pukulan Gada Angin ke betis sang lawan dengan sekuat tenaga! Pimpinan Kelabang Sewu itu pun terlontar ke atas! Ia harus bersalto ke belakang sambil menahan sakit di betis untuk memperbaiki posisinya yang terhampar serangan oleh Anom.

“Serang dari dua arah!” perintah Kelabang Suto yang langsung dikerjakan oleh kedua anak buah yang menyerang bersamaan dengannya. Sang pemimpin itu pun mengalihkan pandangan ke arah Banyu Langit – karena Alis Kincir ternyata juga kerepotan menaklukkan sang pendekar muda.
Satu di kanan dan satu di kiri Anom, bagaimana Pendekar Wanita itu akan bereaksi kini? Kedua lawan melontarkan tendangan dan pukulan pada saat yang bersamaan!

Anom meloncat ke udara dengan ringan tubuh hebat dan segera meluruskan badan di udara. Satu kaki menyambar dagu sang lawan di kanan, ia menyepaknya berulang laksana kuda, sedangkan pedang yang ia pegang beraksi untuk melukai lawan di sebelah kiri yang langsung berteriak kesakitan dengan darah semburat. Anom memutar badan dan berdiri kembali dengan jumawa tak kurang suatu apa di sisi jauh.

Kedua penyerang yang baru saja ia lukai saling pandang, mereka pun berteriak kencang untuk menyerang Anom Kinasih! Habisi sang Pendekar Wanita! Tanpa ampun!

Meski telah berusaha, tapi bukan kedua orang itu yang lebih cepat mencapai sasaran, melainkan Anom Kinasih yang berhasil mendahului mereka. Dengan satu lompatan tinggi yang mengandalkan ringan tubuhnya, Anom kembali mengirimkan tendangannya ke dua orang lawan itu bergantian!

Tendang yang kiri! Lalu yang kanan!

Jbgkkkkhhhh! Jbgkkkkhhhh!

Keduanya terpelanting dan terkapar.

Anom Kinasih berdiri jumawa sambil menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri. Ia memandang berkeliling pada anggota Kelabang Sewu yang masih mengepungnya. “Ada yang mau mencoba lagi? Maju kalian!”

Para anggota Kelabang Sewu pun berteriak ganas dan maju bersamaan.

Beralih ke tempat yang sama pada pertarungan yang lain.

Alis Kincir di luar dugaan tidak mampu mengungguli Banyu Langit sedikitpun. Banyu Langit benar-benar mirip dengan Bima Soka! Tangguh, tak mudah menyerah, ulet, dan berkemampuan tinggi! Kemarin saja mereka harus mengeroyok beramai-ramai sebelum benar-benar bisa menuntaskan Bima Soka! Lantas apa yang bisa ia lakukan sendiri saat ini menghadapi lawan yang mungkin hanya beberapa level di bawah Bima Soka?

Itu sebabnya kenapa Kelabang Suto kemudian datang membantu. Ia melihat Alis Kincir mulai kerepotan. Cengkraman Tangan Kelabang-nya yang ganas berulang kali menyeruak masuk mencoba menyerang sang pendekar muda, namun semua berhasil dihindari.

Banyu Langit mundur dan mengatur napas.

Serangan Kelabang Suto teramat cepat, tepat, dan tidak mudah diperkirakan tujuannya. Banyu Langit benar-benar harus memusatkan perhatian agar tidak sampai terkena sabetan golok dan pedang baik dari Kelabang Suto maupun dari Alis Kincir! Serangan-serangan itu begitu dahsyatnya sehingga tidak memberinya kesempatan untuk keluar dari arena pertarungan untuk membantu Anom Kinasih yang tengah dikeroyok.

Andaikata pengeroyok mereka hanya memiliki ilmu sekedarnya seperti yang siang tadi mereka hadapi di hutan, tentunya Banyu Langit tidak akan sekhawatir ini. Tapi orang-orang ini benar-benar lihai dalam olah kanuragan! Satu orang anggota Kelabang Sewu bagaikan dua atau tiga orang murid dari Perguruan Seribu Angin. Sungguh mereka teramat berbahaya!

“Heaaaaaaaaattt!!”

Ada angin semilir dari belakang punggung Banyu Langit. Ah, akhirnya pendekar muda itu menemukan celah!

Pedang kembar bengkok bertemu pedang Banyu Langit, dentang kencang terdengar hingga menekan ulu hati. Sang pendekar muda mendorong pedang milik lawan ke bawah dengan dua tangan. Tak dinyana, dari atas Anom Kinasih hadir mengangkasa menyerang Alis Kincir. Kepalan tangan kanannya bekerja sempurna dengan Pukulan Gada Angin. Ia menghantam kepala Alis Kincir berulang!

Jbgggkhh! Jbgggkhh! Jbgggkhh!

Alis Kincir pusing bukan kepalang dan terjerembab setelah kepalanya berulangkali dihajar, tapi ia segera bangkit!

Alis Kincir menyerang dengan kecepatan tinggi ke arah Banyu Langit dan Anom Kinasih yang ternyata sudah berkumpul. Sang pendekar muda melirik ke arah kaki kanannya dan mendapati batang pohon dengan lingkar satu lengan yang belum sempat dipotong menjadi kayu bakar disampingnya. Ia menarik napas untuk mengumpulkan kekuatan, lalu menghembuskannya sembari mengungkit batang pohon itu dengan kaki dan melemparkannya ke arah Alis Kincir!

Dolanan bocah!

Alis Kincir dengan mudah membelah batang kayu itu dengan kibasan salah satu pedang bengkoknya. Begitu halangan tersingkir, pedang yang satu lagi melaju kencang hendak menusuk dada sang pendekar muda.

Pada saat yang bersamaan, dua orang anggota Kelabang Sewu menyerang Anom Kinasih.

“Awas Diajeng!”

Banyu Langit memperingatkan istrinya supaya waspada sementara dia sendiri melompat tinggi untuk menghindari serangan lawan. Pedang Alis Kincir hanya menjumpai udara. Dengan cepat ia memutar dan mengangkat pedang gandanya, lalu menggunakannya sebagai perisai untuk berlindung dari serangan balasan Banyu Langit.

Banyu Langit menggunakan tenaga dalam untuk memutar badannya sekali lagi di udara kemudian turun tepat di belakang Alis Kincir. Ia meluncurkan sebuah tendangan kencang ke punggung sang pendekar jahat!

Jddgkkkhh!

Masuk! Alis Kincir terlontar ke depan, namun masih sempat menyabetkan pedang bengkoknya ke belakang.

Anom Kinasih menapakkan tangan di tanah, mengangkat kaki dan memutar diri untuk menjejak lawan dengan tendangan andalan. Dua lawan yang menyerang tersodok ke belakang! Anom menapakkan tangan yang satu lagi dan bersalto ke depan, pedangnya berkelebat cepat.

Dua orang anggota Kelabang Sewu terkapar berlumuran darah.

Alis Kincir sendiri harus berupaya keras jatuh bangun untuk menghadapi seorang Banyu Langit, sungguh tak dinyana kalau kemampuan pemuda ini setara dengan pendekar Bima Soka yang tempo hari dia kalahkan bersama-sama dengan gerombolan pimpinan Suro Wanggono. Semua serangan pedang kembar Alis Kincir dengan mudah dihindari ataupun ditepis bahkan sebelum mencapai ruang sasaran. Pendekar dari kelompok hitam itu benar-benar kewalahan menghadapi gempuran sang pendekar dari Perguruan Seribu Angin.

Bisa gawat kalau begini terus.

Batin Alis Kincir dari dalam hati.

Aku harus menemukan cara untuk menaklukkan bocah ini dengan lebih cepat.

Dua orang anggota Kelabang Sewu kini membantu Alis Kincir, mengeroyok sang pendekar muda.

Bledaaagkkhh! Bledaaaghkkk!

Banyu Langit sukses mengakhiri perlawanan dua orang anggota kawanan Alis Kincir dengan hantaman kencang dari ujung tumpul pedangnya, ia menarik napas sesaat untuk mengatur tenaga.

Melihat lawan beristirahat sesaat, ketika itulah Alis Kincir melompat tinggi ke atas sembari mengayunkan pedang kembarnya. Melihat sang lawan meloncat, Banyu Langit ikut terbang ke atas, ia memutar badan dengan sangat cepat dan melepaskan tendangan yang tak terduga di atas udara.

Brkkgkhhh! Dpphh! Dppphh! Bkgghhh!

Benturan keras terjadi di udara, kaki Banyu Langit menyambar pergelangan tangan Alis Kincir yang langsung berteriak kesakitan dan melepaskan kedua pedang kembarnya. Tokoh dunia hitam itu dihentakkan oleh empat sepakan, dua untuk melepas pedang, dua lagi menemui wajah dan badannya. Teriakan kesakitan terdengar saat Alis Kincir terpental ke samping dengan bergulir kencang.

Lawan Banyu Langit itu jatuh berdebam di tanah dengan kerasnya, mulut dan hidung mengucurkan darah sementara gerakannya sempoyongan. Teknik kalah, tenaga kalah, kecepatan pun kalah. Sudah bisa ditebak siapa yang akan unggul.

Melihat lawan sudah tak lagi mampu bergerak bebas, Banyu mengalihkan perhatian.

Di sisi lain arena - pertarungan yang awalnya sengit kini sudah menemui titik akhir.

Hampir semua penyerang Anom Kinasih menemui nasib yang tidak baik. Yang beruntung langsung pingsan, yang kurang beruntung akan terluka dengan tulang patah. Pedang, tangan, dan kaki Anom Kinasih terlampau lihai untuk dilawan. Wanita cantik yang sepertinya lemah gemulai itu ternyata memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Tidak mengherankan bagi yang mengenalnya karena sejak remaja wanita jelita itu sudah digembleng dengan berbagai jurus olah kanuragan milik Perguruan Seribu Angin. Wujud nyata keahliannya mencapai pembuktiannya malam ini, anak buah Kelabang Seto dan Alis Kincir sama sekali tak berdaya dan tidak ada yang mampu menghadapinya.

“Heaaah! Heaaaah! Heaaaahhh!”

Kibasan pedang Anom yang lincah dan penuh tenaga bergerak memutar, mencoba menggapai lawan yang tersisa. Para penyerang harus menghindar dengan lincahnya jika tidak ingin tersambar gerakan pedang yang liar dan sadis. Tajamnya pedang Anom membuat darah lawan berceceran.

“Setaaaaaan!” Kelabang Suto berteriak kencang dengan geramnya. Gagal semua rencana yang dicanangkan, ia tidak mengira sedemikian kuatnya kedua sasaran. Amarahnya tak dapat ditahan karena melihat anak buahnya dihabisi dengan mudah oleh seorang wanita cantik jelita yang gemulai namun sungguh perkasa. Ia maju dengan kecepatan tinggi. “Mampuuuuuussss!!”

Dengan satu teriakan kencang, Kelabang Suto melompat tinggi untuk menyergap Anom Kinasih dengan goloknya, tapi gerakannya terlalu lamban. Banyu Langit tiba-tiba saja hadir untuk memotong jalur serangan pimpinan begundal itu. Satu pukulan dahsyat disertai energi tenaga dalam angin sakti menghajar sisi badan Kelabang Suto dan melontarkannya jauh ke samping. Ia bahkan tak perlu menggunakan pedangnya.

Bledaaaagkkkkhhhhhh!

Pimpinan begundal itu terguling dan terpental jauh. Ia berusaha bangkit kembali dengan susah payah dan terhuyung-huyung ke kanan kiri karena luka dalam menghalangi diri untuk mengatur keseimbangan. Kelabang Suto terpaksa membuka penutup muka untuk memuntahan darah segar.

Banyu Langit berdiri tegap di hadapan sang pimpinan begundal dan Alis Kincir, saat memastikan kedua lawan sudah kelelahan, ia membalikkan badan sejenak untuk memastikan istri dan penghuni penginapan tidak luka suatu apapun. Syukurlah mereka baik-baik saja.

Banyu Langit menatap sang istri yang terengah-engah dan tersenyum padanya, syukurlah ia menikahi seorang wanita yang luar biasa dan sanggup menjaga diri dengan baik. Mereka berdua berhasil mengenyahkan ancaman angkara murka yang tiba-tiba saja menyergap. Siapa orang-orang aneh ini? Datang dari mana mereka? Mengapa mereka menyerangnya dan sang istri tercinta? Salah apa mereka? Apa yang mereka incar? Kepala Banyu Langit berputar mencari asal muasal inti permasalahan. Apa sebenarnya yang diincar pasukan sekejam Kelabang Sewu dari mereka? Mereka bukan siapa-siapa dan tidak membawa apa-apa kecuali...

Banyu Langit tertegun.

Jangan-jangan...

Kelabang Suto mendengus kesal, pertarungan ini jelas tidak akan mampu mereka menangkan dengan mudah, kawan-kawannya sudah berjatuhan dan tak bisa bangkit kembali. Sang majikan Raden Randu Panji pasti akan kesal bukan kepalang kalau tugas tidak berhasil mereka tuntaskan. Cara biasa tidak bisa maka harus menggunakan cara licik! Jalan terakhir harus ditempuh!

Heaaah!

Dengan sekuat tenaga ia mengayunkan tangan ke depan.

“AWAAASS KAKAAANG!”

Anom Kinasih terbang dengan cepat dan mendorong tubuh Banyu Langit yang tak waspada karena gegabah melamun di tengah medan tempur. Pedang sang pendekar wanita bergerak cepat. Denting benturan pedang dan benda tajam kecil terdengar.

Tang! Tang! Ting! Tang!

Sblpp! Sblpp! Sblpp!


Sepuluh jarum dilontarkan Kelabang Suto, Tujuh terlontar, tiga jarum lolos. Pada saat itu pula satu ledakan kecil terdengar dan asap bermunculan untuk mengacaukan pandangan. Banyu Langit yang terkesiap segera bertindak untuk membawa istrinya pergi dari tengah arena dengan ilmu meringankan tubuhnya. Ia bersyukur ia berhasil terhindar dari marabahaya karena kesigapan Anom Kinasih.

“Bedebaaaah!!” maki Banyu Langit yang membenci tindakan curang lawan.

Setelah meletakkan sang istri di tempat aman, Banyu Langit mencoba segera memburu Kelabang Suto dan Alis Kincir, tapi saat ia berhasil mengibaskan asap, baik Kelabang Suto, Alis Kincir maupun anggota-anggota Kelabang Sewu lain sudah tak lagi terlihat. Bangsat-bangsat itu telah melarikan diri! Mereka lolos!

“Diajeng!” buru-buru Banyu Langit menyambangi sang istri. “Terima kasih... maafkan aku yang gegabah telah meremehkan mereka. Seharusnya aku tidak mempercayai begundal-begundal itu, ah untung saja ada dirimu, Diajeng.”

Anom Kinasih tersenyum dan mengelus pipi sang suami. “Apapun akan aku lakukan untukmu, Kakang. Apapun.”

“Kamu tidak apa-apa kan, Diajeng? Mereka adalah orang-orang licik yang tidak pantas diberi ampun! Ah, aku memang sangat kurang pengalaman bertarung di dunia persilatan. Dengan mudahnya aku disilapkan oleh angan.”

“Kakang...”

Wajah Anom Kinasih memucat, ia menunjukkan lengannya pada Banyu Langit, ada tiga guratan hitam tanpa darah di sana. Tiga garis hitam yang membesar. “A-aku terkena jarum beracun, Kakang.”

Banyu Langit terbelalak. “Diajeng?”

Anom Kinasih ambruk di hadapan sang suami.


BAGIAN 4 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 5
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd