Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kiri [LCPI 2016]

zredinov

Semprot Baru
Daftar
1 Dec 2013
Post
36
Like diterima
238
Bimabet
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk ring pelanca
Genjer-genjer dipangan musuhe sega
.....

Jakarta, 1967..

“J-Jane..”

“Benar seperti ini, k-kan?” tanya Lintang.

Jane Luyke beringsut, mendekati teman-temannya yang duduk bersimpuh membentuk segi empat. Wanita itu lalu mengangguk. Antara percaya dan tak percaya.Tanda tangan yang tersemat di atas sobekan kertas kecil itu memang sama persis seperti milik seorang Lukman Njoto.

“Astaga..” Rusliwa membekap mulut dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya tetap memegangi batang kayu penopang tempurung kelapa yang masih bergerak-gerak kecil tanpa kendali.

Mulanya, Jane mengira permainan malam ini benar-benar hanya sebatas untuk iseng. Berawal dari pertanyaan Saidah untuk mendapat kode buntut, hingga secuil cerita meneer De Vrees, yang ternyata sangat mengagumi paras ayu gadis-gadis Indonesia. Jane tak menyangka, Malini malah mengajukan sebuah pertanyaan serius setelahnya, “Saya punya kawan yang hilang, bisa tolong dicarikan? namanya.. Njoto...”

“Bung Njoto sekarang dimana?” Malini kembali bertanya, kali ini dengan mata yang mendadak berkaca-kaca.

“Dunia lain.”

Malini masih mengagumi Njoto meski ia telah bersuami, alasan itu mencuat begitu saja dari isi kepala Jane saat mendengar dua pertanyaan wanita yang berumur separuh usianya itu. Bagi Malini, Njoto adalah seorang pria yang sangat menarik. Tak hanya dalam berpolitik, Njoto juga pandai menulis, memiliki wawasan yang luar biasa luas, juga menguasai beberapa alat musik dengan sangat baik.

Sempat berhembus kabar kedekatan Njoto dengan Malini, sebelum akhirnya menghilang tertimpa kabar lain akan hubungan Njoto dengan seorang mahasiswi asal Uni Soviet. Belum sempat ada yang diluruskan dari dua kabar tersebut, Njoto keburu menghilang.

“Eh, ehmm... Bung, kan.. suka menulis...” Jane berbicara dengan lirih, membuka interaksi pertamanya dengan sesosok tak kasat mata yang mengaku sebagai Wakil Ketua Comite Central II Partai Komunis Indonesia itu.

Mengingat keberadaan Njoto yang memang masih tak diketahui hingga saat ini, Jane bisa sedikit bernapas lega, karena Oey Hay Djoen selamat. Meski sang suami, bersama empat angota Lekra lain yang merupakan pasangan hidup para wanita dalam ruangan itu, harus mendekam sebagai tahanan politik di Pulau Buru.

“Coba Bung beritahu kami.. nama pena yang biasa Bung pakai saat menulis karya sastra, apa?” Jane melanjutkan pertanyaannya.

Lintang, Rusliwa, Saidah, dan Malini sama-sama mengernyit, mata keempatnya kompak menyoroti Jane, yang menjadi satu-satunya orang yang berada di luar formasi ritual. Wanita itu berusaha memberi jawaban, dia menggerakkan mulut, mencoba berkata tanpa suara, “Hanya untuk memastikan..”

Jane masih belum bisa mempercayai meneer De Vrees sepenuhnya. Tak lama, jelangkung itu kembali bergerak, menuliskan satu-persatu huruf. I, R, A, dan terus bergerak untuk beberapa huruf berikutnya. Jane menelan ludah saat jelangkung itu selesai.

“Iramani..”



zredinov
K I R I
Persembahan khusus untuk :
Lomba Cerita Pendek 100% Indonesia 2016
dan mereka, yang menggenggam Merah Putih dengan tangan kiri.




Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan.
Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia)


2013..

Namanya Kiri, dan itu menjadi satu-satunya identitas diri yang dia ingat. Tak ada alamat rumah, nomor telepon, dan hal-hal yang lain, membuat pria itu harus berakhir di sini satu minggu terakhir. Alyssa duduk berhadapan dengannya, memperhatikan luka-luka yang masih perlu mendapat perawatan intensif.

“Sudah bisa mengingat sesuatu?” tanya psikiater itu lembut.

Kiri menggeleng. Semakin dia coba mengingat, semakin menjerit kepalanya. Ingatan pria itu seakan terpecah, menjadi serpihan-serpihan kecil yang sangat tajam dan mudah melukainya saat disentuh.

“Sulit, ya? Kepalanya masih sakit?”

“I-Iya..”

Alyssa menemukan Kiri di sebuah komplek pertokoan, sepulang dari kunjungan ke rumah satu keluarga yang menjadi korban perlakuan diskriminatif warga sekitar. Saat itu, Kiri dikeroyok tiga pria berseragam oranye - hitam.

Alasannya? Karena dia menanyakan beberapa hal tentang Partai Komunis Indonesia.

Kiri menjadi bulan-bulanan, dia menerima banyak pukulan dan tendangan tanpa ada orang lain yang mau membantu. Alyssa lalu datang menghampiri, bersama empat teman aktivis HAM lain yang satu mobil dengannya, mereka menghentikan aksi pemukulan sepihak yang terjadi.

Tak jelas pertanyaan apa yang sebelumnya sempat diajukan oleh Kiri, karena tiga anggota Pemuda Pancasila yang memukulinya enggan memberi penjelasan pada Alyssa. Mereka berlalu, hanya salah seorang diantaranya meninggalkan satu pesan dengan suara lantang, “Hati-hati! Dia itu bahaya, dia PKI.. Mampusin aja!”

Kiri sempat menjalani pemeriksaan ketat dari pihak kepolisian, sampai akhirnya dia dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan. Polisi, Alyssa, dan empat temannya berdiskusi, kemudian sepakat untuk membawa Kiri ke Yayasan Ruma Byakta, berharap bisa mengembalikan ingatan Kiri yang hilang, serta mencari jawaban, mengapa dia sempat disebut PKI oleh anggota Pemuda Pancasila?

= = = = =

Pemutaran Habibie Ainun di aula baru selesai, Kiri dan yang lain berjalan kembali ke kamar. Beberapa perawat membicarakan betapa romantisnya jalinan asmara antara tokoh Habibie dan Ainun di dalam film. Sementara Kiri, berjalan dalam diam, raut wajahnya nampak muram.

“Filmnya bagus, Ri?” tanya Alyssa yang berjalan tepat di samping kanannya, coba membuka jalan untuk mencari tahu arti ekspresi wajah Kiri.

“I-Iya, bagus..”

“Film Habibie Ainun itu.. salah satu film Indonesia yang paling laris waktu tayang di bioskop, Ri..” jelas Alyssa, “Banyak yang bilang kalau cerita Pak Habibie sama Bu Ainun itu dulu memang romantis banget.”

Kiri menggeleng, “Ada cerita yang lebih bagus dari itu.. cerita milik Lukman Njoto dan RA Soetarni Soemosoetargijo.”

Alyssa terkejut mendengar jawaban itu. Selama berada di Ruma Byakta, Kiri tidak terlalu banyak berbicara. Pria itu hanya menjawab singkat berbagai pertanyaan yang diberikan kepadanya. Kepala Kiri masih terasa sakit apabila mencoba mengingat terlalu banyak, dan kali ini Alyssa melihat ada yang berbeda.

“Lho, mereka siapa, Ri?” Alyssa pura-pura tak tahu, memancing Kiri agar berbicara lebih banyak.

“Beliau berdua korban 1965. Dipisahkan dengan cara yang sangat tidak manusiawi.. yang satu dibunuh, dengan jasad yang tak pernah ditemukan, dan yang satunya lagi dipenjara dalam kurun waktu yang cukup lama. Lebih parah lagi, keduanya harus menanggung dosa yang diciptakan oleh republik ini, bukan oleh diri mereka sendiri.”

Keduanya tiba di depan kamar nomor 44, kamar Kiri, namun pria itu masih melanjutkan perkataannya, “Lukman Njoto.. beliau berbeda dari orang komunis pada umumnya. Pakaiannya selalu necis, karena memang anak orang kaya.. tak heran, seorang Lukman Njoto piawai bermain biola dan saksofon, yang merupakan alat musiknya orang-orang kelas atas. Beliau suka menikmati musik simfoni, menghabiskan beberapa jam untuk menonton teater, hingga menulis puisi yang tak melulu berisi kata-kata pro-rakyat dan menggelorakan semangat perjuangan.”

Alyssa diam, dia masih berusaha mengira-ngira siapa Kiri yang sebenarnya. Putra seorang PKI kah? atau seseorang yang hanya kebetulan memiliki wawasan luas akan partai itu?

“Beliau menghapus The Old Man and the Sea dari daftar film Barat yang diharamkan Partai Komunis Indonesia, menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak pernah menganggap yang kapitalis harus selalu dimusuhi. Njoto, seharusnya sama sekali tak terlibat dengan G30S, seperti apa yang tertulis pada buku-buku sejarah saat ini.”

Alyssa mendengarkan penjelasan Kiri dengan seksama.

“Sayangnya, sejarah resmi 1965 selalu menunjukkan tak ada orang komunis yang tak bersalah. Mereka semua dianggap memiliki dosa yang sama. Di mata tentara saat itu, hanya ada komunis, atau bukan komunis. Karena itu, beliau diculik, dan benar-benar hilang hingga saat ini. Sedangkan Soetarni..” Kepala Kiri mendadak sakit bukan main saat tanpa sengaja melihat cermin yang berada di wastafel di depan kamarnya.

“Ri.. kamu kenapa?” tanya Alyssa cemas.

Kiri mencoba mengingat lebih jauh, menggali lagi, namun gagal. Ada ketakutan yang saling berbenturan di dalam dirinya, antara dia, dan sesosok yang bersembunyi di balik cermin.

= = = = =

2014..

Langit mendung menjadi payung yang cukup teduh untuk rumah duka di Pamulang, Tangerang Selatan. Kiri dan Alyssa turut berada dalam kerumunan pelayat. Kabar wafatnya RA Soetarni Soemosoetargijo diterima Alyssa dari Harris pagi ini. Dia lantas memberitahu Kiri, dan membuat pria itu langsung merengek bak anak kecil, meminta untuk diantar kesana.

“Ramai, Ri..” ujar Alyssa, matanya berkeliling mengamati sekitar.

Kiri tak menjawab. Matanya tertuju pada dua wanita lanjut usia yang sedang berbincang di depan pintu. Kiri tidak dapat mengingat siapa nama wanita tua itu, tapi dia yakin bahwa seharusnya dia mengenal keduanya.

“Ri.. Ibu Soetarni ini sebenarnya siapa? Kamu kenal?” tanya Alyssa setengah berbisik.

“Entah, Sa.. beliau ini..” Kiri menghela napas, “Saya menyebutnya sebagai wanita yang tak pernah menangis.”

“Wanita yang tak pernah menangis?” Alyssa memperhatikan Kiri, yang saat ini memandang tanpa berkedip foto sesosok Soetarni semasa muda. Foto itu dicetak dalam ukuran yang cukup besar, diletakkan di sebelah pagar dengan bingkai warna merah cerah.

“Wanita itu sangat kuat, Sa.. bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga secara mental.” gumam Kiri, “Pengorbanannya sangat besar. Bayangkan saja, selama 13 tahun dia disiksa oleh rezim militeristis Orde Baru, diasingkan di penjara Pelantungan. Hanya karena satu dosa besar yang sangat diada-ada, yakni karena dia adalah istri seorang PKI. Padahal, seumur hidupnya, Soetarni sama sekali tak pernah terjun dalam dunia politik.”

Kiri mengambil napas, “Suatu saat nanti, saya yakin.. kamu akan menjadi wanita yang hebat sepertinya.”

= = = = =

30 September. Kiri menyiapkan makan malam di atas meja dengan sangat berhati-hati. Cap cay seafood, sate kambing, puding karamel, lalu rootbeer. Seluruhnya adalah menu kesukaan Alyssa. Nyaris satu tahun bersama setelah mempersunting wanita cantik yang dulu adalah seorang psikiaternya, Kiri ingin hari ini menjadi spesial.

Beberapa menit lagi Alyssa pasti tiba, sesuai apa yang dikatakannya lewat telepon. Gadis itu nyaris tak pernah terlambat. Sambil menunggu Alyssa, Kiri mengambil saksofon yang dua hari lalu dibelinya dari sebuah toko barang antik.

Pria itu mulai memainkan musik. Entah mengapa, Kiri begitu familier dengan saksofon, meski sama sekali tak mengingat kapan, dimana, atau dengan siapa ia mempelajarinya. Kiri sama sekali tak kesulitan, jari-jarinya menari dengan baik di atas katup nada, dia selalu tahu kapan saat mulai meniup, kapan harus berhenti.

Alunan irama Gloomy Sunday karya Rezső Seress mengalir dengan indah, saat Alyssa tiba di rumah. Wanita itu memberi salam, namun tak ada jawaban yang terdengar. Alyssa berjalan dengan bersemangat, menuju meja, tempat dimana suara merdu yang didengarnya berasal.

Kiri masih asik memainkan saksofon, dia sama sekali tak menyadari kehadiran Alyssa, hingga sepasang tangan mengusap bahunya.

“Serius sekali, Ri...” ledek Alyssa.

Kiri menghentikan permainannya, kemudian berbalik badan, “Ahhh, sudah datang, rupanya..”

Alyssa terdiam beberapa saat. Wanita itu menelan ludah, “Ka-Kamu siapa?!”

Dia melangkah mundur, mencoba menjaga jarak dari seorang pria asing yang berdiri tegap di depannya. Pria itu berambut hitam legam, klimis, berbelah pinggir, wajahnya tirus, dengan sorot mata tajam yang berada di balik kacamata.

Kiri tertawa kecil, kemudian mengayunkan saksofonnya, hingga tepat mengenai kepala Alyssa.

= = = = =

Kesadaran Alyssa berangsur pulih kembali. Samar-samar, mata gadis itu mulai dapat menangkap redup bohlam yang menjadi penerangan satu-satunya di dalam ruangan.

“Aduuuhh, saakiiit..” Alyssa mengusap-usap sisi kiri kepalanya yang masih terasa nyeri.

Bau wangi yang sangat menyengat tiba-tiba menusuk hidungnya. Alyssa mencoba untuk berdiri, meski tubuhnya masih sempoyongan.

“Sudah bangun?” tanya Kiri, yang duduk di kursi tepat di belakang Alyssa.

“K-Kiri..” Alyssa berjalan menghampiri suaminya, “A-Apa yang tadi terjadi?”

Wanita itu masih mengingat jelas semuanya, sesosok berkacamata yang memukulnya dengan saksofon. Alyssa mengamati wajah Kiri lekat-lekat, memastikan bahwa yang ada dihadapannya saat ini benar-benar seorang Kiri.

“Kemarilah..” Kiri menjulurkan tangan pada Alyssa, membantunya berjalan ke depan sebuah cermin di sudut ruangan.

“P-Pria tadi, siapa? Yang berkacamata, yang berpakaian sama persis sepertimu..”

Kiri tak memberikan jawaban, dia hanya tersenyum. Pria itu menggandeng tangan Alyssa hingga keduanya tiba tepat di depan cermin. Mata Alyssa terbelalak begitu melihat sesosok yang berada di dalamnya.

Bukan pantulan dirinya dan Kiri, melainkan dua sosok yang benar-benar berbeda, meski dua sosok itu tak asing baginya. Yang ada di posisi Kiri, adalah dia, sosok berkacamata yang tadi memukulnya, sedangkan yang menggantikan posisinya adalah seorang wanita cantik.

Alyssa tak pernah bertemu dengan wanita itu, namun dia sangat mengingatnya. Foto seorang wanita cantik yang pernah membuat Kiri terus memandang kearahnya saat acara pemakaman itu. Foto itu, wajah itu, sama persis. Bulu kuduk Alyssa merinding. Mereka berdua adalah orang yang sama. Wanita itu adalah RA Soetarni Soemosoetargijo.

“Lihat, Tarni..” Kiri berbisik beberapa mili tepat di telinga Alyssa, “Dengan begini, kita bisa hidup bersama lagi..”

= = = = =

1980..

Malini masih jauh dari kata tua, saat putra semata wayangnya, bersama sang istri, meninggal dunia akibat sebuah kecelakaan pesawat. Mereka meninggalkan seorang cucu laki-laki yang masih bayi untuk dirawat dan dibesarkannya seorang diri.

Hari ini listrik padam. Malini menggendong cucunya dengan selendang, sementara tangan kanannya membawa lilin yang sedang menyala. Langkah kakinya berhati-hati melintasi ruang tamu, menuju kamar kosong yang telah ditinggalkan putranya.

Pintu kayu tua yang menutup kamar itu berderit saat dibuka, bau pengap langsung menguar bebas. Ruangan itu tak luas, hanya ada satu ranjang sempit dan satu meja kecil di dalamnya. Di seberang ranjang, ada foto Lukman Njoto yang dibingkai rapi. Tidak hanya ada satu, tapi ada dua belas foto yang lainnya. Termasuk foto Njoto bersama dengan Ir. Sokarno dan Dipa Nusantara Aidit.

Malini tersenyum saat melihatnya. Wanita itu lantas menidurkan cucunya di atas ranjang. Baru saja diletakkan, bayi itu menangis. Malini menunda niatan untuk mengambil sebuah gayung berbahan tempurung kelapa dari dalam laci meja. Dia kembali menggendong si kecil, berjalan-jalan keliling ruangan sambil bersenandung, “Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak..”

“Jangan menangis..”

“Kiri..”



* DISCLAIMER : Nama-nama seperti Lukman Njoto, RA Soetarni Soemosoetargijo, Jane Luyke, hingga Oey Hay Djoen, diambil dari tokoh yang memang ada dalam daftar sejarah Indonesia. Namun, penulis memadukannya dengan beberapa karakter dan cerita fiktif, hingga menghasilkan tulisan ini. Terima kasih sudah membaca Kiri, semoga dapat diterima.







Foot Note

PKI


Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia. PKI adalah partai komunis non-penguasa terbesar di dunia setelah Rusia dan Tiongkok sebelum akhirnya dihancurkan pada tahun 1965 dan dinyatakan sebagai partai terlarang pada tahun berikutnya

Seorang sosialis Belanda Henk Sneevliet dan Sosialis Hindia lain membentuk tenaga kerja di pelabuhan pada tahun 1914, dengan nama Indies Social Democratic Association (dalam bahasa Belanda: Indische Sociaal Democratische Vereeniging-, ISDV). ISDV pada dasarnya dibentuk oleh 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, SDAP dan Partai Sosialis Belanda yang kemudian menjadi SDP komunis, yang berada dalam kepemimpinan Hindia Belanda.[3] Para anggota Belanda dari ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi orang-orang Indonesia mencari cara untuk menentang kekuasaan kolonial.

PKI muncul kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, dan secara aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan dari Belanda. Banyak unit bersenjata berada di bawah kontrol atau pengaruh PKI. Meskipun milisi PKI memainkan peran penting dalam memerangi Belanda, Presiden Soekarno khawatir bahwa semakin kuatnya pengaruh PKI akhirnya akan mengancam posisinya. Selain itu, pertumbuhan PKI bermasalah sektor sayap kanan lebih dari pemerintahan Indonesia serta beberapa kekuatan asing, khususnya semangat penuh anti-komunis dari Amerika Serikat. Dengan demikian hubungan antara PKI dan kekuatan lain yang juga berjuang untuk kemerdekaan pada umumnya berjalan sengit.

Sukarno bertindak menyeimbangkan antara PKI, militer, faksi nasionalis, dan kelompok-kelompok Islam terancam oleh kepopuleran PKI. Pengaruh pertumbuhan PKI menimbulkan keprihatinan bagi pihak Amerika Serikat dan kekuatan barat anti-komunis lainnya. Situasi politik dan ekonomi menjadi lebih tidak stabil; Inflasi tahunan mencapai lebih dari 600 persen dan kehidupan Indonesia memburuk.

Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal senior Indonesia dibunuh dan mayat mereka dibuang ke dalam sumur. Pembunuh para jenderal mengumumkan keesokan harinya bahwa Dewan Revolusi baru telah merebut kekuasaan, yang menyebut diri mereka "Gerakan 30 September ("G30S"). Dengan banyaknya jendral tentara senior yang mati atau hilang, Jenderal Suharto mengambil alih kepemimpinan tentara dan menyatakan kudeta yang gagal pada 2 Oktober. Tentara dengan cepat menyalahkan upaya kudeta PKI dan menghasut dengan kampanye propaganda anti-Komunis di seluruh Indonesia.

Antara 300.000 sampai satu juta orang Indonesia dibunuh dalam pembunuhan massal yang digelar.Para korban termasuk juga non-komunis yang dibunuh karena kesalahan identitas atau "kesalahan oleh asosiasi". Namun, kurangnya informasi menjadi tidak mungkin untuk menentukan angka pasti dari jumlah korban yang dibunuh. Banyak para peneliti hari ini menjelaskan korban yang dibunuh antara 200.000 sampai 500.000 orang. Sebuah studi dari CIA tentang peristiwa di Indonesia ini menilai bahwa "Dalam hal jumlah korban pembantaian oleh anti-PKI, Indonesia masuk dalam salah satu peringkat pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20 ...".
 
Terakhir diubah:
Wow..

Hands down one of the best story i've read di kompetisi ini!

Dialognya mengalir banget! Konfliknya juga simple dan suasananya suspensenya dapet..

Suka banget sama ceritanya :ampun:
 
:jempol: mantap hu..

Sejarah yang kelam..
Banyak orang yang tak bersalah menjadi korban saat pemberantasan PKI..
Termaksuk Lukman nyoto dan RA Soetarni Soemosoetargijo. Pasangan suami istri yang terpisah oleh takdir yang kejam..hanya karena sebuah ideologi..

Lagu genjer-genjer pun di cap lagu PKI..


:beer:
 
Koq ane merasa kenal gaya penulisannya. Kloningannya siapa ya....

:pandaketawa:
 
genjer genjer neng kedhokan di dhol ng pasar,,
lagu yg sering dinyanyikan oleh guru ngaji saya dulu ..

ceritany cakep om. alurnya dapet
 
nuansa aliran kiri memang menarik..

:cendol: ijo semangat bung.. :top:
 
Duh.. ceritanya .. di awali dengan jelangkung, kemudian kisah si Linglung di rumah sakit jiwa, yang diakhiri dengan adegan seperti Film Rumah Dara.. :takut:
Tapi semuanya terangkum dalam sejarah kelam bangsa sembilas enam lima.. :jempol:

:ampun:
 
Wow..

Hands down one of the best story i've read di kompetisi ini!

Dialognya mengalir banget! Konfliknya juga simple dan suasananya suspensenya dapet..

Suka banget sama ceritanya :ampun:

setuju bgt suhu..

jelangkung, digabung dgn pki, konsepnya menarik bgt gan

kebetulan gw suka sama genre gini
 
setuju bgt suhu..
jelangkung, digabung dgn pki, konsepnya menarik bgt gan

kebetulan gw suka sama genre gini

sebenarnya jelangkung sama komunis itu nabrak banget gan.... setahu ane seharusnya orang komunis nggak percaya sama Jelangkung dan hal-hal berbau mistis dan takhayul.... (sama Tuhan aja nggak percaya, kenapa sama Jelangkng Percaya,,,) tapi setelah menilik bahwa adegan pertama itu benar-benar kejadian nyata (ada sumber yang menyatakan Jane Luyke pernah memanggil jelangkung demi mengetahui demi mengetahui di mana suaminya....) Jane yang sudah putus asa akhirnya nekat melakukan ritual pemanggilan arwah di saat semesta menghadapkannya pada jalan buntu....

di sini saya berpikir, seatheis-atheisnya manusia, se komunis-komunisnya seseorang, bahwa manusia adaah sosok dengan segala keterbatasan fisik dan mental.... semesta dipenuhi dengan ketidakpastian yang mustahil dinalar oleh sosok kerdil seperti kita.... di saat semua jalan buntu, manusia mulai mencari2 solusi-solusi di luar nalar dan logika.... mistisme...pencarian tuhan... mencoba mempercayai hal-hal gaib,,,, takdir,,, dan di sinilah kita,,,

mengenai penulisannya ada beberapa plot hole gede, yang tar biar dewan juri aja yang ngomentarin,,, tapi overall bagus lah gan,,,

ps: komunis tidak berarti atheis, atheis tidak lantas komunis... tapi setahu ane tokoh2 yang berideologi "kiri" menentang keras pemikiran mistismes dan takhayul,,,
 

sebenarnya jelangkung sama komunis itu nabrak banget gan.... setahu ane seharusnya orang komunis nggak percaya sama Jelangkung dan hal-hal berbau mistis dan takhayul.... (sama Tuhan aja nggak percaya, kenapa sama Jelangkng Percaya,,,) tapi setelah menilik bahwa adegan pertama itu benar-benar kejadian nyata (ada sumber yang menyatakan Jane Luyke pernah memanggil jelangkung demi mengetahui demi mengetahui di mana suaminya....) Jane yang sudah putus asa akhirnya nekat melakukan ritual pemanggilan arwah di saat semesta menghadapkannya pada jalan buntu....

di sini saya berpikir, seatheis-atheisnya manusia, se komunis-komunisnya seseorang, bahwa manusia adaah sosok dengan segala keterbatasan fisik dan mental.... semesta dipenuhi dengan ketidakpastian yang mustahil dinalar oleh sosok kerdil seperti kita.... di saat semua jalan buntu, manusia mulai mencari2 solusi-solusi di luar nalar dan logika.... mistisme...pencarian tuhan... mencoba mempercayai hal-hal gaib,,,, takdir,,, dan di sinilah kita,,,

mengenai penulisannya ada beberapa plot hole gede, yang tar biar dewan juri aja yang ngomentarin,,, tapi overall bagus lah gan,,,

ps: komunis tidak berarti atheis, atheis tidak lantas komunis... tapi setahu ane tokoh2 yang berideologi "kiri" menentang keras pemikiran mistismes dan takhayul,,,

tentang orang-orang yang terlibat dan ikut komunis atau masuk kedalam organisasi bentukan nya(komunis) tidak berarti seorang yang percaya atau tidak nya tentang keyakinan yang diyakini nya.

lebih banyak terjadi karena di kecewakan golongan(sebelumny) atau rasa tidak puasnya hingga menyebabkan berbelok dengan bergabung partai komunis.

banyak sekali di antara nya berasal dari golongan/keturunan agamis karena tersisih. ada pula dari kelompok-kelompok klenik yang segala urusan selalu bersebrangan dengan golongan putih(kaum agamis) yang dari nya (kelompok putih) menyebut mereka dengan kaum abangan.

maaf :ampun: mungkin seperti itu, bang Jay.. Sedikit kesaksian dari mereka yang sempat menjadi bagian atau pun terlibat pada lintasan sejarah saat itu.​
 
Bimabet
Selamat pukul ini kawan :halo: (ulrich style)

berikut sedikit opini dari Kami dan kesan-kesan selama membaca Kiri dalam Gelaran LCPI 2016.

Review Satu



"Kiri" secara tersirat mengisahkan tentang kisah cinta Lukman Njoto, seorang tokoh PKI, dengan RA Soetarni, istrinya, yang dipotret dari kacamata seorang pemuda amnesia bernama Kiri yang secara misterius mengetahui latar berlakang tragis dua insan manusia yang terpisah akibat pergolakan politik tahun 1965.

Cerita dibangun dengan perlahan melalui interaksi Kiri dengan Alyssa, psikiater yang merawat sang pemuda. Seiring berjalannya cerita mulai diungkap satu persatu sisi misterius kiri yang memiliki ketertarikan, kalau tidak bisa dikataka obsesi mengenai gerakan komunisme di Indonesia. Pemuda yang di awal cerita diceritakan kehilangan ingatan ternyata banyak mengetahui sosok-sosok di balik Partai Komunis Indonesia, terutama Lukman Njoto beserta sang istri, RA Soetarni Soemosoetargijo, hingga pembaca bertanya-tanya: Siapakah Kiri sebenarnya?

Tempo yang dijaga dengan baik, serta pembangunan adegan demi adegan untuk meggambarkan sisi misterius Kiri disusun dengan sangat baik oleh penulis, di satu sisi menimbulkan pertanyaan, namun di sisi lain berhasil menghadirkan ketegangan melalui simbol-simbol seperti: jelangkung, foto-foto tua, dan bayangan di cermin...

Bagaimana cara membangun karakter dan plot yang baik dalam keterbatasan jumlah kata? Permasalahai itu agaknya yang dialami sebagian besar peserta, tidak terkecuali cerita ini. Peserta pada umumnya mengakali hal ini dengan cara membuat lompatan-lompatan adegan guna mengakali terbatasnya kata yang diizinkan oleh panita.

Cerita mulai mengalami loncatan plot ketika "tahu-tahu saja" Kiri menikah dengan Alyssa. Lalu adegan disambung dengan Alyssa yang masuk ke dalam rumah melihat sesosok asing yang membawa saxophone.

Kita perhatikan, di alinea-alinea sebelumnya dijelaskan kalau memang Kiri yang sedang asyik memainkan lagu gloomy sunday. Namun tahu-tahu saja Alysa "mendadak" tidak bisa mengenali suaminya:

"Dia melangkah mundur, mencoba menjaga jarak dari seorang pria asing yang berdiri tegap di depannya. Pria itu berambut hitam legam, klimis, berbelah pinggir, wajahnya tirus, dengan sorot mata tajam yang berada di balik kacamata..."

Siapakah dia? Sosok gaib? Kiri yang berubah wujud? Kiri yang dirasuki arwah Njoto? Untuk menjaga sisi kemisteriusan cerita, saya memang tidak menuntut agar penulis menjelaskan terlalu gamblang mengenai hal ini, permasalahannya adalah kalimat fatal di penghujung adegan:

"Kiri tertawa kecil, kemudian mengayunkan saksofonnya, hingga tepat mengenai kepala Alyssa."


Di sini jelas-jelas ditulis "Kiri" bukan "sosok misterius". Lalu kenapa harus dipukul saksofon? Kenapa tidak dikepruk sutil? Kenapa? Semisterius-misteriusnya cerita, tindakan masing-masing tokoh harus memiliki alasan latar belakang yang logis, tidak lantas melalukan tindakan hanya semata-mata hanya karena "the writer told so..."

Cerita diakhiri tanpa adanya konklusi tersurat, sehingga pembaca dipaksa mengira-ngira apa yang sebenarnya.

Bukan pantulan dirinya dan Kiri, melainkan dua sosok yang benar-benar berbeda, meski dua sosok itu tak asing baginya. Yang ada di posisi Kiri, adalah dia, sosok berkacamata yang tadi memukulnya, sedangkan yang menggantikan posisinya adalah seorang wanita cantik.

Alyssa tak pernah bertemu dengan wanita itu, namun dia sangat mengingatnya. Foto seorang wanita cantik yang pernah membuat Kiri terus memandang ke arahnya saat acara pemakaman itu. Foto itu, wajah itu, sama persis. Bulu kuduk Alyssa merinding. Mereka berdua adalah orang yang sama. Wanita itu adalah RA Soetarni Soemosoetargijo.

"Lihat, Tarni.." Kiri berbisik beberapa mili tepat di telinga Alyssa, "Dengan begini, kita bisa hidup bersama lagi.."

Adegan di atas menyiratkan bahwa Kiri adalah Njoto, entah reinkarnasi Njoto, entah dirasuki arwah Njoto, ataukah Kiri hanyalah psikopat yang terobsesi terhadap sosok Njoto, siapa yang tahu? Yang jelas adegan dimana Alyssa juga bisa melihat pantulan "Sosok Berbeda" di cermin menunjukkan keterlibatan alam gaib dalam hal ini.

Pertanyaannya kenapa harus Alyssa?

Kenapa Alyssa dengan "kebetulan" bertemu dengan Kiri yang sedang dipukuli oleh anggota ormas Pemuda Pancasila? di dalam tubuh Kiri ingin membunuh Alyssa agar roh RA Soetarni bisa merasuk tubuh Alysa dan mereka bersama kembali?

Kenapa harus dibuat menikah dengan Alysa?

Keterbatasan jumlah kata bisa dipastikan membatasi penulis untukmelakukan pembangunan kemistri antara dua karakter dan membuat adegan romantis, kenapa harus memaksakan kedua orang ini menikah?


######


Terlepas dari plothole yang ada, Bersama "Tumanurung", "Kiri" adalah cerita dengan pemilihan kata dan penyusunan kalimat yang paling advance dibanding peserta yang lain. Tepat guna, tidak ada kalimat yang ditulis percuma, tidak ada pengulangan-pengulangan kata-kata yang tidak perlu, keseimbangan narasi-dialog-deskripsi, tidak ada kalimat sok puitis yang malah jadinya terlalu picisan, ditambah alur yang solid, menjadikan "Kiri" sebagai pemuncak klasemen.

Kiri membabat habis saingannya di LCPI, dengan kepiawaiannya membuai cerita lewat rangkaian kalimat lezat. Bahkan dari paragraf pembuka yang disajikan, telah membuat saya penasaran akan bagaimana kisah Kiri.

Lain halnya dengan cerita-cerita kebanyakan yang memakai rumus cerbung dengan berbagai macam perkenalan yang cenderung membosankan. Kiri hadir dengan konflik dan poin-poin penting yang dibuka di awal kemudian dimatangkan di perjalanan kisahnya. Tema Horor yg diangkat menambah kemisteriusan cerita dengan metode klimaks di akhir. Walau keterbatasan kata jadi hambatan, Padatnya cerita tak lantas membuat Kiri kehilangan pesonanya.

Nyatanya inilah yang membuatnya bisa jadi juara menggeser saingan terberatnya Tumanurung yang mengiringi ketat di posisi kedua.

Selamat untuk Kiri.
(Apelberacun)​



Review Dua
"Kiri, sebuah cerita pendek yang ditulis dengan nuansa mencekam, dan misterius dengan sedikit bumbu biografi dari sesosok tokoh yang juga misterius, Njoto...."

Cerita ini sesuai dengan kriteria dari cerita pendek yang diharapkan ada dalam gelaran LCPI 2016. Tema sejarah yang pas diramu dengan sedikit bumbu biografi dan suasana kelam membuat cerita ini memberikan pandangan lain dari sesosok tokoh penting dalam sejarah 'kelam' yang menghiasi negara ini. Sederhana, namun membuat imajinasi pembacanya berkembang bebas.

---

Kiri, ditulis bertemakan sejarah kelam dari sesosok tokoh yang memegang peranan penting dalam keberlangsungan sejarah kelam tersebut. Pemilihan tema yang berani, karena tidak berfokus kepada PKI dan 'kabut kelam' yang menyelubunginya tetapi kepada seorang Lukman Njoto yang digambarkan secara bagus dan lugas dalam balutan suasana kelam, gelap nan misterius di cerita ini.
"Very nice one"

Cerita dibangun dengan perlahan melalui interaksi Kiri dengan Alyssa, psikiater yang merawat sang pemuda. Seiring berjalannya cerita mulai diungkap satu persatu sisi misterius kiri yang memiliki ketertarikan, kalau tidak bisa dikataka obsesi mengenai gerakan komunisme di Indonesia. Pemuda yang di awal cerita diceritakan kehilangan ingatan ternyata banyak mengetahui sosok-sosok di balik Partai Komunis Indonesia, terutama Lukman Njoto beserta sang istri, RA Soetarni Soemosoetargijo, hingga pembaca bertanya-tanya: Siapakah Kiri sebenarnya?

Tempo yang dijaga dengan baik, serta pembangunan adegan demi adegan untuk meggambarkan sisi misterius Kiri disusun dengan sangat baik oleh penulis, di satu sisi menimbulkan pertanyaan, namun di sisi lain berhasil menghadirkan ketegangan melalui simbol-simbol seperti: jelangkung, foto-foto tua, dan bayangan di cermin...

Bagaimana cara membangun karakter dan plot yang baik dalam keterbatasan jumlah kata? Permasalahai itu agaknya yang dialami sebagian besar peserta, tidak terkecuali cerita ini. Peserta pada umumnya mengakali hal ini dengan cara membuat lompatan-lompatan adegan guna mengakali terbatasnya kata yang diizinkan oleh panita.




Plot yang sederhana, dengan menggunakan alur maju mundur membuat cerita ini nampaknya sederhana namun membuat kening pembacanya berkerut. Belum pemilihan jenis ceritanya yang termasuk dalam cerita kategori 'thriller' membuat cerita ini dicinta tapi juga sekaligus dibenci, dan bagi saya itu adalah salah satu kemampuan yang harus dikembangkan oleh seorang penulis.
"That's quite a skill"

Logika cerita meski berselimut kabut gelap berjalan lancar dengan terjaganya tempo dari alur yang digunakan. Penokohan dari Kiri dan Alyssa yang terasa pas, belum penggambaran detail latar serta penggunaan 'setting' tahun membuat suasana serta jenis cerita yang diusung cerita ini semakin kuat terasa.

Untuk plot, dibuka dengan penjelasan tentang minat Kiri terhadap PKI yang kemudian membawanya bertemu dengan Alyssa. Selanjutnya tensi cerita meningkat dengan secara tiba-tiba tatkala Kiri mampu mengingat secara rinci hubungan Ny. Soetarni dengan Lukman Njoto dan dipungkasi dengan klimaks sewaktu Kiri begitu familiar memainkan saksofon selayaknya sesosok Lukman Njoto dan menjadi 'serupa' dengan Lukman Njoto sebagaimana Alyssa yang juga menjadi 'serupa' dengan sosok Ny. Soetarni. Untuk penutup, Penutup cerita seperti apa yang mau diharapkan dari cerita dengan jenis cerita Thriller seperti cerita Kiri ini? Ya, penutup yang menggantung yang mengundang rasa penasaran pembaca. Alur mundur serta asal usul Kiri yang dijelaskan secara tiba-tiba membuat penutupan layar cerita ini begitu megah bila boleh dikatakan demikian.



Untuk pesan moral, dalam pandangan saya penulis ingin menyampaikan pesan bahwa segelap-gelapnya sejarah hendaknya jangan sampai melupakan sejarah, sebagaimana sesuai dengan ungkapan Bapak Pendiri bangsa, Ir. Soekarno yang menyatakan bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah). Pesan tersebut lantas diterjemahkan secara baik dan keseluruhan oleh penulis dengan menggunakan plot, alur, serta penokohan yang pas di cerita Kiri ini dan saya salut akan hal itu.

Dalam cerita ini ada hal-hal yang menarik. Kiri, secara umum dibangun dalam nuansa kelam, mencekam nan misterius dan hal tersebut menjadikan Kiri berbeda dengan cerita yang lain dalam LCPI kali ini. Perbedaan yang diusung Kiri tersebut memang sebuah hal yang layak mendapatkan apresiasi tetapi ada hal-hal yang Penulis-entah sengaja atau tidak-lewatkan dalam cerita ini.
1. Penulis-entah sengaja atau tidak-seakan mengaburkan pandangan pembaca tentang siapa atau apa 'sosok yang mendiami' tubuh kayu berkepala tempurung kelapa di awal cerita;
2. Penulis-entah sengaja atau tidak-seakan enggan untuk memberikan kepastian mengenai kondisi Kiri yang sebenarnya, apakah Kiri mengidap gangguan kejiwaan atau sekedar amnesia belaka;
3. Penulis-entah sengaja atau tidak-tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana Kiri secara tiba-tiba mampu mengingat dengan jelas hubungan antara Lukman Njoto dengan Ny. Soetarni meski hubungan antara Lukman Njoto tidak mendapatkan porsi yang lebih di cerita ini.

Sebenarnya masih banyak lagi hal-hal yang-entah sengaja atau tidak-penulis kaburkan dalam cerita ini tetapi bukankah kesempurnaan itu justru ketidak-sempurnaan itu sendiri?
Lagi pula bila semua hal-hal yang kabur dijelaskan secara gamblang dan runut apakah nanti cerita Kiri ini akan menjadi cerita Kiri seperti sekarang? Saya rasa tidak.

Untuk tampilan cerita, pemilihan font yang tepat seakan menghipnotis pembaca agar mengikuti cerita ini kata per kata sehingga nuansa dari cerita ini dapat terbebas lepas menyelimuti pembacanya tanpa tedeng aling-aling, dan itu adalah sebuah nilai tambah.


Selanjutnya cerita ini ditulis dengan menggunakan pemilihan kata yang pas, dan tepat sehingga membuat cerita ini mudah dicerna namun juga tak membuat daya magis dari cerita hilang.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, cerita ini pantas menyandang gelar sebagai juara LCPI 2016 sebab cerita ini mampu menyihir para pembacanya melalui penokohan Kiri, suasananya yang begitu kelam, plot yang nampak sederhana tapi membuat kita tertarik dipadukan dengan alur maju mundur yang perpindahan antar adegannya begitu mulus, serta komposisi dialog-narasi-deskripsi yang sangat teratur.



Selamat atas kemenangan anda dalam gelaran LCPI kali ini.
Tetap semangat dalam berkarya!


PS :
1. Pada "...Antara percaya dan tak percaya.Tanda tangan yang tersemat di atas sobekan kertas kecil..." kelihatannya ada salah tanda baca atau kurang spasi.

2. Coba dicek lagi mengenai "militeristis", "diada-ada", dan penulisan kata "republik" karena entah mengapa bagi saya terasa sedikit janggal.


Hormat saya,


Ulrich​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd