zredinov
Semprot Baru
- Daftar
- 1 Dec 2013
- Post
- 36
- Like diterima
- 238
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk ring pelanca
Genjer-genjer dipangan musuhe sega
.....
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk ring pelanca
Genjer-genjer dipangan musuhe sega
.....
Jakarta, 1967..
J-Jane..
Benar seperti ini, k-kan? tanya Lintang.
Jane Luyke beringsut, mendekati teman-temannya yang duduk bersimpuh membentuk segi empat. Wanita itu lalu mengangguk. Antara percaya dan tak percaya.Tanda tangan yang tersemat di atas sobekan kertas kecil itu memang sama persis seperti milik seorang Lukman Njoto.
Astaga.. Rusliwa membekap mulut dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya tetap memegangi batang kayu penopang tempurung kelapa yang masih bergerak-gerak kecil tanpa kendali.
Mulanya, Jane mengira permainan malam ini benar-benar hanya sebatas untuk iseng. Berawal dari pertanyaan Saidah untuk mendapat kode buntut, hingga secuil cerita meneer De Vrees, yang ternyata sangat mengagumi paras ayu gadis-gadis Indonesia. Jane tak menyangka, Malini malah mengajukan sebuah pertanyaan serius setelahnya, Saya punya kawan yang hilang, bisa tolong dicarikan? namanya.. Njoto...
Bung Njoto sekarang dimana? Malini kembali bertanya, kali ini dengan mata yang mendadak berkaca-kaca.
Dunia lain.
Malini masih mengagumi Njoto meski ia telah bersuami, alasan itu mencuat begitu saja dari isi kepala Jane saat mendengar dua pertanyaan wanita yang berumur separuh usianya itu. Bagi Malini, Njoto adalah seorang pria yang sangat menarik. Tak hanya dalam berpolitik, Njoto juga pandai menulis, memiliki wawasan yang luar biasa luas, juga menguasai beberapa alat musik dengan sangat baik.
Sempat berhembus kabar kedekatan Njoto dengan Malini, sebelum akhirnya menghilang tertimpa kabar lain akan hubungan Njoto dengan seorang mahasiswi asal Uni Soviet. Belum sempat ada yang diluruskan dari dua kabar tersebut, Njoto keburu menghilang.
Eh, ehmm... Bung, kan.. suka menulis... Jane berbicara dengan lirih, membuka interaksi pertamanya dengan sesosok tak kasat mata yang mengaku sebagai Wakil Ketua Comite Central II Partai Komunis Indonesia itu.
Mengingat keberadaan Njoto yang memang masih tak diketahui hingga saat ini, Jane bisa sedikit bernapas lega, karena Oey Hay Djoen selamat. Meski sang suami, bersama empat angota Lekra lain yang merupakan pasangan hidup para wanita dalam ruangan itu, harus mendekam sebagai tahanan politik di Pulau Buru.
Coba Bung beritahu kami.. nama pena yang biasa Bung pakai saat menulis karya sastra, apa? Jane melanjutkan pertanyaannya.
Lintang, Rusliwa, Saidah, dan Malini sama-sama mengernyit, mata keempatnya kompak menyoroti Jane, yang menjadi satu-satunya orang yang berada di luar formasi ritual. Wanita itu berusaha memberi jawaban, dia menggerakkan mulut, mencoba berkata tanpa suara, Hanya untuk memastikan..
Jane masih belum bisa mempercayai meneer De Vrees sepenuhnya. Tak lama, jelangkung itu kembali bergerak, menuliskan satu-persatu huruf. I, R, A, dan terus bergerak untuk beberapa huruf berikutnya. Jane menelan ludah saat jelangkung itu selesai.
Iramani..
zredinov
K I R I
Persembahan khusus untuk :
Lomba Cerita Pendek 100% Indonesia 2016
dan mereka, yang menggenggam Merah Putih dengan tangan kiri.
Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan.
Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia)
K I R I
Persembahan khusus untuk :
Lomba Cerita Pendek 100% Indonesia 2016
dan mereka, yang menggenggam Merah Putih dengan tangan kiri.
Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan.
Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia)
2013..
Namanya Kiri, dan itu menjadi satu-satunya identitas diri yang dia ingat. Tak ada alamat rumah, nomor telepon, dan hal-hal yang lain, membuat pria itu harus berakhir di sini satu minggu terakhir. Alyssa duduk berhadapan dengannya, memperhatikan luka-luka yang masih perlu mendapat perawatan intensif.
Sudah bisa mengingat sesuatu? tanya psikiater itu lembut.
Kiri menggeleng. Semakin dia coba mengingat, semakin menjerit kepalanya. Ingatan pria itu seakan terpecah, menjadi serpihan-serpihan kecil yang sangat tajam dan mudah melukainya saat disentuh.
Sulit, ya? Kepalanya masih sakit?
I-Iya..
Alyssa menemukan Kiri di sebuah komplek pertokoan, sepulang dari kunjungan ke rumah satu keluarga yang menjadi korban perlakuan diskriminatif warga sekitar. Saat itu, Kiri dikeroyok tiga pria berseragam oranye - hitam.
Alasannya? Karena dia menanyakan beberapa hal tentang Partai Komunis Indonesia.
Kiri menjadi bulan-bulanan, dia menerima banyak pukulan dan tendangan tanpa ada orang lain yang mau membantu. Alyssa lalu datang menghampiri, bersama empat teman aktivis HAM lain yang satu mobil dengannya, mereka menghentikan aksi pemukulan sepihak yang terjadi.
Tak jelas pertanyaan apa yang sebelumnya sempat diajukan oleh Kiri, karena tiga anggota Pemuda Pancasila yang memukulinya enggan memberi penjelasan pada Alyssa. Mereka berlalu, hanya salah seorang diantaranya meninggalkan satu pesan dengan suara lantang, Hati-hati! Dia itu bahaya, dia PKI.. Mampusin aja!
Kiri sempat menjalani pemeriksaan ketat dari pihak kepolisian, sampai akhirnya dia dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan. Polisi, Alyssa, dan empat temannya berdiskusi, kemudian sepakat untuk membawa Kiri ke Yayasan Ruma Byakta, berharap bisa mengembalikan ingatan Kiri yang hilang, serta mencari jawaban, mengapa dia sempat disebut PKI oleh anggota Pemuda Pancasila?
= = = = =
Pemutaran Habibie Ainun di aula baru selesai, Kiri dan yang lain berjalan kembali ke kamar. Beberapa perawat membicarakan betapa romantisnya jalinan asmara antara tokoh Habibie dan Ainun di dalam film. Sementara Kiri, berjalan dalam diam, raut wajahnya nampak muram.
Filmnya bagus, Ri? tanya Alyssa yang berjalan tepat di samping kanannya, coba membuka jalan untuk mencari tahu arti ekspresi wajah Kiri.
I-Iya, bagus..
Film Habibie Ainun itu.. salah satu film Indonesia yang paling laris waktu tayang di bioskop, Ri.. jelas Alyssa, Banyak yang bilang kalau cerita Pak Habibie sama Bu Ainun itu dulu memang romantis banget.
Kiri menggeleng, Ada cerita yang lebih bagus dari itu.. cerita milik Lukman Njoto dan RA Soetarni Soemosoetargijo.
Alyssa terkejut mendengar jawaban itu. Selama berada di Ruma Byakta, Kiri tidak terlalu banyak berbicara. Pria itu hanya menjawab singkat berbagai pertanyaan yang diberikan kepadanya. Kepala Kiri masih terasa sakit apabila mencoba mengingat terlalu banyak, dan kali ini Alyssa melihat ada yang berbeda.
Lho, mereka siapa, Ri? Alyssa pura-pura tak tahu, memancing Kiri agar berbicara lebih banyak.
Beliau berdua korban 1965. Dipisahkan dengan cara yang sangat tidak manusiawi.. yang satu dibunuh, dengan jasad yang tak pernah ditemukan, dan yang satunya lagi dipenjara dalam kurun waktu yang cukup lama. Lebih parah lagi, keduanya harus menanggung dosa yang diciptakan oleh republik ini, bukan oleh diri mereka sendiri.
Keduanya tiba di depan kamar nomor 44, kamar Kiri, namun pria itu masih melanjutkan perkataannya, Lukman Njoto.. beliau berbeda dari orang komunis pada umumnya. Pakaiannya selalu necis, karena memang anak orang kaya.. tak heran, seorang Lukman Njoto piawai bermain biola dan saksofon, yang merupakan alat musiknya orang-orang kelas atas. Beliau suka menikmati musik simfoni, menghabiskan beberapa jam untuk menonton teater, hingga menulis puisi yang tak melulu berisi kata-kata pro-rakyat dan menggelorakan semangat perjuangan.
Alyssa diam, dia masih berusaha mengira-ngira siapa Kiri yang sebenarnya. Putra seorang PKI kah? atau seseorang yang hanya kebetulan memiliki wawasan luas akan partai itu?
Beliau menghapus The Old Man and the Sea dari daftar film Barat yang diharamkan Partai Komunis Indonesia, menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak pernah menganggap yang kapitalis harus selalu dimusuhi. Njoto, seharusnya sama sekali tak terlibat dengan G30S, seperti apa yang tertulis pada buku-buku sejarah saat ini.
Alyssa mendengarkan penjelasan Kiri dengan seksama.
Sayangnya, sejarah resmi 1965 selalu menunjukkan tak ada orang komunis yang tak bersalah. Mereka semua dianggap memiliki dosa yang sama. Di mata tentara saat itu, hanya ada komunis, atau bukan komunis. Karena itu, beliau diculik, dan benar-benar hilang hingga saat ini. Sedangkan Soetarni.. Kepala Kiri mendadak sakit bukan main saat tanpa sengaja melihat cermin yang berada di wastafel di depan kamarnya.
Ri.. kamu kenapa? tanya Alyssa cemas.
Kiri mencoba mengingat lebih jauh, menggali lagi, namun gagal. Ada ketakutan yang saling berbenturan di dalam dirinya, antara dia, dan sesosok yang bersembunyi di balik cermin.
= = = = =
2014..
Langit mendung menjadi payung yang cukup teduh untuk rumah duka di Pamulang, Tangerang Selatan. Kiri dan Alyssa turut berada dalam kerumunan pelayat. Kabar wafatnya RA Soetarni Soemosoetargijo diterima Alyssa dari Harris pagi ini. Dia lantas memberitahu Kiri, dan membuat pria itu langsung merengek bak anak kecil, meminta untuk diantar kesana.
Ramai, Ri.. ujar Alyssa, matanya berkeliling mengamati sekitar.
Kiri tak menjawab. Matanya tertuju pada dua wanita lanjut usia yang sedang berbincang di depan pintu. Kiri tidak dapat mengingat siapa nama wanita tua itu, tapi dia yakin bahwa seharusnya dia mengenal keduanya.
Ri.. Ibu Soetarni ini sebenarnya siapa? Kamu kenal? tanya Alyssa setengah berbisik.
Entah, Sa.. beliau ini.. Kiri menghela napas, Saya menyebutnya sebagai wanita yang tak pernah menangis.
Wanita yang tak pernah menangis? Alyssa memperhatikan Kiri, yang saat ini memandang tanpa berkedip foto sesosok Soetarni semasa muda. Foto itu dicetak dalam ukuran yang cukup besar, diletakkan di sebelah pagar dengan bingkai warna merah cerah.
Wanita itu sangat kuat, Sa.. bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga secara mental. gumam Kiri, Pengorbanannya sangat besar. Bayangkan saja, selama 13 tahun dia disiksa oleh rezim militeristis Orde Baru, diasingkan di penjara Pelantungan. Hanya karena satu dosa besar yang sangat diada-ada, yakni karena dia adalah istri seorang PKI. Padahal, seumur hidupnya, Soetarni sama sekali tak pernah terjun dalam dunia politik.
Kiri mengambil napas, Suatu saat nanti, saya yakin.. kamu akan menjadi wanita yang hebat sepertinya.
= = = = =
30 September. Kiri menyiapkan makan malam di atas meja dengan sangat berhati-hati. Cap cay seafood, sate kambing, puding karamel, lalu rootbeer. Seluruhnya adalah menu kesukaan Alyssa. Nyaris satu tahun bersama setelah mempersunting wanita cantik yang dulu adalah seorang psikiaternya, Kiri ingin hari ini menjadi spesial.
Beberapa menit lagi Alyssa pasti tiba, sesuai apa yang dikatakannya lewat telepon. Gadis itu nyaris tak pernah terlambat. Sambil menunggu Alyssa, Kiri mengambil saksofon yang dua hari lalu dibelinya dari sebuah toko barang antik.
Pria itu mulai memainkan musik. Entah mengapa, Kiri begitu familier dengan saksofon, meski sama sekali tak mengingat kapan, dimana, atau dengan siapa ia mempelajarinya. Kiri sama sekali tak kesulitan, jari-jarinya menari dengan baik di atas katup nada, dia selalu tahu kapan saat mulai meniup, kapan harus berhenti.
Alunan irama Gloomy Sunday karya Rezső Seress mengalir dengan indah, saat Alyssa tiba di rumah. Wanita itu memberi salam, namun tak ada jawaban yang terdengar. Alyssa berjalan dengan bersemangat, menuju meja, tempat dimana suara merdu yang didengarnya berasal.
Kiri masih asik memainkan saksofon, dia sama sekali tak menyadari kehadiran Alyssa, hingga sepasang tangan mengusap bahunya.
Serius sekali, Ri... ledek Alyssa.
Kiri menghentikan permainannya, kemudian berbalik badan, Ahhh, sudah datang, rupanya..
Alyssa terdiam beberapa saat. Wanita itu menelan ludah, Ka-Kamu siapa?!
Dia melangkah mundur, mencoba menjaga jarak dari seorang pria asing yang berdiri tegap di depannya. Pria itu berambut hitam legam, klimis, berbelah pinggir, wajahnya tirus, dengan sorot mata tajam yang berada di balik kacamata.
Kiri tertawa kecil, kemudian mengayunkan saksofonnya, hingga tepat mengenai kepala Alyssa.
= = = = =
Kesadaran Alyssa berangsur pulih kembali. Samar-samar, mata gadis itu mulai dapat menangkap redup bohlam yang menjadi penerangan satu-satunya di dalam ruangan.
Aduuuhh, saakiiit.. Alyssa mengusap-usap sisi kiri kepalanya yang masih terasa nyeri.
Bau wangi yang sangat menyengat tiba-tiba menusuk hidungnya. Alyssa mencoba untuk berdiri, meski tubuhnya masih sempoyongan.
Sudah bangun? tanya Kiri, yang duduk di kursi tepat di belakang Alyssa.
K-Kiri.. Alyssa berjalan menghampiri suaminya, A-Apa yang tadi terjadi?
Wanita itu masih mengingat jelas semuanya, sesosok berkacamata yang memukulnya dengan saksofon. Alyssa mengamati wajah Kiri lekat-lekat, memastikan bahwa yang ada dihadapannya saat ini benar-benar seorang Kiri.
Kemarilah.. Kiri menjulurkan tangan pada Alyssa, membantunya berjalan ke depan sebuah cermin di sudut ruangan.
P-Pria tadi, siapa? Yang berkacamata, yang berpakaian sama persis sepertimu..
Kiri tak memberikan jawaban, dia hanya tersenyum. Pria itu menggandeng tangan Alyssa hingga keduanya tiba tepat di depan cermin. Mata Alyssa terbelalak begitu melihat sesosok yang berada di dalamnya.
Bukan pantulan dirinya dan Kiri, melainkan dua sosok yang benar-benar berbeda, meski dua sosok itu tak asing baginya. Yang ada di posisi Kiri, adalah dia, sosok berkacamata yang tadi memukulnya, sedangkan yang menggantikan posisinya adalah seorang wanita cantik.
Alyssa tak pernah bertemu dengan wanita itu, namun dia sangat mengingatnya. Foto seorang wanita cantik yang pernah membuat Kiri terus memandang kearahnya saat acara pemakaman itu. Foto itu, wajah itu, sama persis. Bulu kuduk Alyssa merinding. Mereka berdua adalah orang yang sama. Wanita itu adalah RA Soetarni Soemosoetargijo.
Lihat, Tarni.. Kiri berbisik beberapa mili tepat di telinga Alyssa, Dengan begini, kita bisa hidup bersama lagi..
= = = = =
1980..
Malini masih jauh dari kata tua, saat putra semata wayangnya, bersama sang istri, meninggal dunia akibat sebuah kecelakaan pesawat. Mereka meninggalkan seorang cucu laki-laki yang masih bayi untuk dirawat dan dibesarkannya seorang diri.
Hari ini listrik padam. Malini menggendong cucunya dengan selendang, sementara tangan kanannya membawa lilin yang sedang menyala. Langkah kakinya berhati-hati melintasi ruang tamu, menuju kamar kosong yang telah ditinggalkan putranya.
Pintu kayu tua yang menutup kamar itu berderit saat dibuka, bau pengap langsung menguar bebas. Ruangan itu tak luas, hanya ada satu ranjang sempit dan satu meja kecil di dalamnya. Di seberang ranjang, ada foto Lukman Njoto yang dibingkai rapi. Tidak hanya ada satu, tapi ada dua belas foto yang lainnya. Termasuk foto Njoto bersama dengan Ir. Sokarno dan Dipa Nusantara Aidit.
Malini tersenyum saat melihatnya. Wanita itu lantas menidurkan cucunya di atas ranjang. Baru saja diletakkan, bayi itu menangis. Malini menunda niatan untuk mengambil sebuah gayung berbahan tempurung kelapa dari dalam laci meja. Dia kembali menggendong si kecil, berjalan-jalan keliling ruangan sambil bersenandung, Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak..
Jangan menangis..
Kiri..
* DISCLAIMER : Nama-nama seperti Lukman Njoto, RA Soetarni Soemosoetargijo, Jane Luyke, hingga Oey Hay Djoen, diambil dari tokoh yang memang ada dalam daftar sejarah Indonesia. Namun, penulis memadukannya dengan beberapa karakter dan cerita fiktif, hingga menghasilkan tulisan ini. Terima kasih sudah membaca Kiri, semoga dapat diterima.
Foot Note
PKI
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia. PKI adalah partai komunis non-penguasa terbesar di dunia setelah Rusia dan Tiongkok sebelum akhirnya dihancurkan pada tahun 1965 dan dinyatakan sebagai partai terlarang pada tahun berikutnya
Seorang sosialis Belanda Henk Sneevliet dan Sosialis Hindia lain membentuk tenaga kerja di pelabuhan pada tahun 1914, dengan nama Indies Social Democratic Association (dalam bahasa Belanda: Indische Sociaal Democratische Vereeniging-, ISDV). ISDV pada dasarnya dibentuk oleh 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, SDAP dan Partai Sosialis Belanda yang kemudian menjadi SDP komunis, yang berada dalam kepemimpinan Hindia Belanda.[3] Para anggota Belanda dari ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi orang-orang Indonesia mencari cara untuk menentang kekuasaan kolonial.
PKI muncul kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, dan secara aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan dari Belanda. Banyak unit bersenjata berada di bawah kontrol atau pengaruh PKI. Meskipun milisi PKI memainkan peran penting dalam memerangi Belanda, Presiden Soekarno khawatir bahwa semakin kuatnya pengaruh PKI akhirnya akan mengancam posisinya. Selain itu, pertumbuhan PKI bermasalah sektor sayap kanan lebih dari pemerintahan Indonesia serta beberapa kekuatan asing, khususnya semangat penuh anti-komunis dari Amerika Serikat. Dengan demikian hubungan antara PKI dan kekuatan lain yang juga berjuang untuk kemerdekaan pada umumnya berjalan sengit.
Sukarno bertindak menyeimbangkan antara PKI, militer, faksi nasionalis, dan kelompok-kelompok Islam terancam oleh kepopuleran PKI. Pengaruh pertumbuhan PKI menimbulkan keprihatinan bagi pihak Amerika Serikat dan kekuatan barat anti-komunis lainnya. Situasi politik dan ekonomi menjadi lebih tidak stabil; Inflasi tahunan mencapai lebih dari 600 persen dan kehidupan Indonesia memburuk.
Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal senior Indonesia dibunuh dan mayat mereka dibuang ke dalam sumur. Pembunuh para jenderal mengumumkan keesokan harinya bahwa Dewan Revolusi baru telah merebut kekuasaan, yang menyebut diri mereka "Gerakan 30 September ("G30S"). Dengan banyaknya jendral tentara senior yang mati atau hilang, Jenderal Suharto mengambil alih kepemimpinan tentara dan menyatakan kudeta yang gagal pada 2 Oktober. Tentara dengan cepat menyalahkan upaya kudeta PKI dan menghasut dengan kampanye propaganda anti-Komunis di seluruh Indonesia.
Antara 300.000 sampai satu juta orang Indonesia dibunuh dalam pembunuhan massal yang digelar.Para korban termasuk juga non-komunis yang dibunuh karena kesalahan identitas atau "kesalahan oleh asosiasi". Namun, kurangnya informasi menjadi tidak mungkin untuk menentukan angka pasti dari jumlah korban yang dibunuh. Banyak para peneliti hari ini menjelaskan korban yang dibunuh antara 200.000 sampai 500.000 orang. Sebuah studi dari CIA tentang peristiwa di Indonesia ini menilai bahwa "Dalam hal jumlah korban pembantaian oleh anti-PKI, Indonesia masuk dalam salah satu peringkat pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20 ...".
Terakhir diubah: