Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA KISAHKU DENGAN LELAKI LAIN

Maaf, suhu-suhu semua. Baru bisa update. Maafkan juga kalo update kali ini kurang mantab. Tapi tetap saya sajikan. Selanjutanya akan saya lanjutkan dengan cerita yang lebih seru. Semoga menikmati ceritanya.

=========================================================

Berita duka tiba-tiba datang dua hari setelah aku kembali dari kota. Ayah mertuaku meninggal setelah berhari-hari dirawat di rumah sakit. Ayah sudah tak bisa bertahan melawan penyakitnya. Kami sekeluarga telah mengikhlaskan beliau pergi selamanya. Ibuku menangis sejadi-jadinya di hari ayahku meninggal.

Kami mengadakan pengajian selama 7 hari berturut-turut untuk kepergian ayah. Rencananya, setelah 7 hari aku dan Mas Iwan akan kembali ke kota. Setiap hari selama 7 hari, kami banyak disibukkan oleh persiapan acara pengajian. Maklum, ayahku adalah tokoh yang dikenal oleh seluruh kampung. Wajar sekali jika banyak yang datang. Ditambah karena di kampung, kami mesti menyediakan makanan bagi para tamu.

Karena kecapean, di hari kelima aku sempat terjatuh di kamar mandi. Kakiku terkilir. Aku jadi kesakitan. Mas Iwan mencoba untuk memijit kakiku. Tetapi yang ada malah tambah sakit.

“Dibawa ke tukang urut saja ya?” kata Mas Iwan.

“Di mana tukang urut yang paham soal kaki terkilir di sini?”

“Sepertinya ibu tau.”

Mas Iwan beranjak menemui ibu. Tak lama ia kembali membawa kabar bahwa ibu tahu tempatnya.

“Ibu tahu tempatnya. Tapi karena ibu sibuk, dia menyuruh Pak Tono yang menemani kita.”

Mas Iwan dan aku, ditemani juga oleh Pak Tono pergi menuju rumah tukang urut. Dalam perjalanan, Pak Tono banyak menjelaskan tentang kemahiran si tukang urut.

Sesampainya di sana, kami sudah disambut oleh Pak Kasman di depan rumahnya. Pak Kasman sangat ramah kepada kami. Kami disambut dengan baik. Setelah berbincang, Pak Kasman langsung memulai memijit kakiku.

Rasanya sakit sekali. Tapi tidak lama pijatannya selesai. Dan kakipun mulai terasa lebih enak.

“Wah, terima kasih, Pak. Kaki saya sudah lebih enakan.”

Pak Tono kutaksir masih berumur sekitar 50 tahunan. Ia punya badan yang tinggi besar meski tidak berotot. Ia sangat ramah dan cara bicara mengisyaratkan bahwa dia orang baik. Pak Kasman memiliki istri. Tetapi, istrinya sedang bekerja di luar negeri sebagai TKW.

“Pak Tono bisa pijat satu badan juga kan?” tanya suamiku.

“Bisa, Pak.”

“Bolehlah kami pijat nanti sebelum balik ke kota.”

“Boleh, Pak. Boleh.”

Rencana itu pun terealisasi. Sehari sebelum balik ke kota, aku dan suamiku pergi ke rumah Pak Kasman. Kami berdua berencana untuk pijat seluruh badan. Kali ini kami tidak lagi ditemani Pak Tono. Aku pun bersyukur akan hal itu. Sebab ada perasaan bersalah saat berada di antara Pak Tono dan suamiku.

Sesampainya di rumah Pak Kasman, kami lagi-lagi langsung disambut. Pak Kasman langsung mempersilakan kami masuk.

“Siapa duluan nih yang mau pijat?” kata Pak Kasman.

“Istri saya dulu, Pak.” Kata Mas Iwan.

Kami semua masuk ke dalam kamar. Sebuah ruangan khusus tempat Pak Kasman memijat, sepertinya. Pak Kasman memintaku mengganti baju dengan kain sarung saja. Lumrahnya seperti saat orang akan dipijat. Aku pun menuruti perintahnya. Sebelum memijat, Pak Kasman menyiapkan minuman dulu untuk suamiku. Ia menaruh kopinya di ruang tamu.

Pak Kasman mulai memijatku. Dimulai dari bagian punggungku menggunakan minyak urut. Untuk mengurut di bagian itu, kain sarungku harus diturunkan. Saat itu aku tak melepaskan BH-ku. Suamiku duduk di samping. Tetapi, barangkali bosan dia meminta untuk menunggu di luar saja.

“Kenapa ga di dalam saja, Mas?” kataku.

“Di dalam panas,” Suamiku pun pergi ke kamar.

“Sekalian diminum kopinya, Pak.” Kata Pak Kasman.

Pak Kasman terus memijatku. Pijatannya enak. Tidak sakit, namun tidak terlalu pelan juga. Aku menikmatinya sampai aku ketiduran sebentar. Dan kulihat pijatan Pak Kasman sudah sampai di pahaku. Kurasakan juga kaitan BH-ku sudah terlepas.

“Mbak, saya boleh ijin buka baju?” kata Pak Kasman. “Soalnya saya terbiasa buka baju jika memijat. Lebih leluasa, mbak.”

Aku sempat kaget. “Hmmm. Silakan saja, Pak.”

Pak Kasman lalu membuka bajunya. Aku kira dia hanya membuka kaosnya. Tetapi, dia malah membuka celana pendeknya juga yang membuatnya hanya mengenakan CD saja.

“Yah, seperti inilah saya kalo lagi mijet, mbak.” Ucap Pak Kasman.

“Meskipun yang dipijat wanita?” tanyaku.

“Iya, mbak.”

“Ngga malu, Pak?”

“Udah biasa, mbak. Hehehe.”

Aku benar-benar kaget dengan yang dia lakukan. Apa dia tidak takut mengingat ada suamiku di luar? Tapi, dia malah biasa saja.

Badannya benar-benar tegap. Di bagian dadanya ditumbuhi bulu lebat yang terus turun ke perut dan hilang di balik CD-nya yang berwarna biru muda. Di bagian pahanya juga ditumbuhi bulu yang cukup lebat. Apalagi ditambah gundukan besar di selangkangannya.

“Aku cuma ga enak sama suamiku di luar, mbak.” Kataku.

“Ngga apa-apa, Bu. Tenang saja.”

Entah kenapa Pak Kasman biasa saja. Dia malah terus melanjutkan pijatannya. Aku sendiri tidak konsen di tengah pemandangan, yang harus kuakui, membangkitkan gairah. Apalagi kini pijatannya kian lembut di bagian pahaku. Kain sarungku telah naik ke atas dan sedikit memperlihatkan pantatku yang terbungkus CD. Tangan Pak Kasman kadang masuk ke bagian dalam paha.

Pijatannya terus turun ke betis sampai akhinya dia menyuruhku berbalik. Dia hendak memijat bagian depan. Aku mencoba menutupi bagian atas terutama dadaku dengan sarung. Dengan posisi ini, aku bisa leluas melihat Pak Kasman. Di tubuhnya kulihat ada keringat-keringat kecil. Pak Kasman mulai memijit tanganku. Setelah selesai keduanya, ia mencoba memijat dadaku tepat di atas payudaraku. Aku memegangi kain sarung agar tetap menutupi dadaku.

“Diturunin ya mbak sarungnya?” kata Pak Kasman.

“Saya malu, Pak.”

“Lho, gimana saya mau pijat kalo ditutup gini, Mbak?”

Aku tidak menjawab. Pak Kasman malah langsung menurunkan sarungku hingga membuat payudaraku yang dibungkus bra terlihat. Sarungku diturunkan terus sampai perutku juga terlihat. Pak Kasman mulai memijit perutku. Pelan. Tangan kasar Pak Kasman terasa sekali beradu dengan kulitku. Momen ini sedikit membuat birahiku bangkit. Sesekali aku melirik selangkangan Pak Kasman kian menggunung.

Selesai dengan perut, Pak Kasman beralih ke paha. Ia memijit bagian depan pahaku. Sudah pasti sarungku diangkat agar Pak Kasman lebih leluasa memijit. Entah kenapa, pijatan Pak Kasman semakin lama terasa seperti usapan. Aku terasa terbuai dengan usapannya itu. Pak Kasman justru menaikkan lebih ke atas lagi sarungku hingga sebagian selangkanganku terlihat. Anehnya aku malah tidak protes dengan sikapnya. Tangan Pak Kasman kini tidak lagi memijat melainkan mengelus-elus area pahaku. Bahkan ia juga sedikit menyentuh selangkanganku. Dan lama kelamaan Pak Kasman jadi berani mengelus vaginaku dari luar CD.

“Pak... ” kataku dengan sedikit mendesah.

Pak Kasman tahu bahwa aku mulai terbawa birahi. Ia memanfaatkannya untuk menarik ke bawah sarungku hingga terlepas. Kini terlihatlah aku hanya mengenakan CD dan braku di depan Pak Kasman. Pak Kasman lagi-lagi mengulangi mengelus betisku terus naik ke atas ke paha dan sampai ke selangkangan.

“Ah... ah... ah... ” aku mendesah. “Pak... suamiku... .”

Pak Kasman menuju pintu dan mengamati keadaan di luar lewat lubang kunci. “Suami ibu tertidur.”

Entah aku harus bahagia atau sedih, yang jelas ini seperti semacam surga bagi Pak Kasman. Ia kembali dengan senyum kemenangan di bibirnya.

Pak Kasman kini naik ke atas tempat aku berbaring. Ia membuka pahaku dan menempatkan dirinya di antara kedua pahaku. Tangannya meraih braku dan menariknya hingga terlepas. Kini tampaklah payudaraku di hadapannya. Pak Kasman pun mulai meremas-remas dan memainkan putingnya. Ia menarik tubuhku mendekati tubuhnya hingga membuat selangkanganku bersentuhan langsung dengan selangkangannya. Ada satu aliran yang menyebar ke seluruh tubuhku saat vaginaku menyentuh kejantanannya. Kurasakan penisnya mulai mengeras.

Pak Kasman memposisikan tubuhnya agak condong ke depan sehingga penisnya makin menekan selangkanganku. Tangannya terus memainkan payudaraku. Terkadang sesekali juga mengelus. Pak Kasman tampaknya mencoba memancingku dengan menggesek-gesekkan penisnya ke vaginaku. Aku mulai merasakan kenikmatan.

“Ah... ah... ”

Kini aku tidak lagi memikirkan bagaimana seandainya suamiku masuk dan melihat semua ini. Kini yang aku mau hanyalah meneruskan kenikmatan yang baru dimulai. Pak Kasman terus menggesek-gesekkan penisnya hingga kurasakan vaginaku mulai membasahi CD-ku.

“Ah... ah... ah... .” Aku terus mendesah keenakan sambil semakin mendekatkan vaginaku ke selangkangan Pak Kasman.

“Pak... udah... pak... ga.. kuuattt... ” desahku saat Pak Kasman makin intens melakukan gerakan menggesek vaginaku. Penisnya yang mengeras begitu kuat menempel ke vaginaku meski masih tertutupi celana dalam. Tapi, rasanya aku sudah tidak kuat.

“Pak... .” Aku menggenggam lengan Pak Kasman menahan gejolak birahiku. Rasanya aku ingin mendesah sekeras-kerasnya untuk melampiaskan kenikmatan yang kurasakan.

Pak Kasman akhirnya menuruti permintaanku. Ia berhenti menggesekkan penisnya ke vaginaku. Tetapi, ia malah menarik turun celana dalamku sampai terlepas. Aku diam saja tak melawan saat dia melakukan hal itu. Dan tampaklah vaginaku di depan mata Pak Kasman. Ia terlihat bahagia. Tak lama kemudian, ia juga melucuti celana dalamnya dan telanjanglah dia di depanku. Penisnya sangat besar dan panjang. Jauh lebih besar dari Ahmad dan Pak Tono. Pemandangan bulu yang tumbuh di sebagian tubuhnya membuatku makin bernafsu.

“Ayo, mbak, kita sama-sama meraih kenikmatan.” Kata Pak Kasman sembari membuka pahaku.

Kuraskan Pak Kasman mulai mengarahkan penisnya untuk masuk ke vaginaku. Ujungnya kurasakan mulai menyentuh. Perlahan ada gerakan mendorong untuk memasukkan penis itu. Begitu kepala penis itu masuk, ah rasanya vaginaku seperti dibuka lebar-lebar oleh penis Pak Kasman. Penis itu terus didorong masuk.

“Ah... ” Penis itu memenuhi seluruh ruang di vaginaku karena ukurannya yang besar. Pak Kasman terus mendorong sampai kurasa ia telah mentok. Lalu mulailah Pak Kasman menggenjot vaginaku dengan penisnya.

Awalnya genjotannya masih pelan. Tetapi, lama-lama genjotan itu makin terasa cepat. “Ah... ah... ah... ” aku mulai mendesah.

Pak Kasman menurunkan badannya agar bibirnya bisa meraih bibirku. Aku pun langsung menyambut ciumannya dengan mesra. Barangkali karena aku telah terbawa oleh nafsu sehingga begitu saja menerima ciuman Pak Kasman. Kami saling berciuman bermesraan, saling memagut, dan lidah kami saling bertautan. Bulu-bulu dada dan perut Pak Kasman menyentuh payudaraku membuat aku kian bernafsu. Kini aku tak lagi malu dan khawatir akan kemunculan suamiku. Aku memeluk tubuh Pak Kasman seolah ingin meminta kehangatan yang sepenuhnya kepadanya. Penis Pak Kasman semakin mengobrak-abrik vaginaku. Genjotannya makin kuat dan aku makin tidak tahan untuk tidak mendesah. “Pak... ee... nakkk... .”.

Genjotan di vaginaku berhenti. Pak Kasman meminta mengganti posisi. Ia memintaku menungging. Aku menuruti permintaannya. Pak Kasmanpun langsung menusuk vaginaku dari belakang. “Ah... .”. Ia kembali menggenjotku. Penis gagahnya kembali mengoyak vaginaku. Tubuhku jadi maju mundur mendapat serangan dari Pak Kasman. Tangannya menggenggam seprai menahan birahiku yang kian menjadi.

“Pak... sa... yaa... ga... ah... .” Dan akhirnya aku sampai. Aku telah mencapai orgasmeku. Sementara Pak Kasman masih terus menggenjot.

“Ah... ah... ah... ”

Kudengar desahan Pak Kasman. Ia tampak masih belum akan orgasme. Tenaganya masih belum takmpak kendor. Genjotannya masih kuat di vaginaku. Tiba-tiba ia meminta mengganti posisi. Ia membangunkanku dan menyuruhku duduk di pangkuannya. Atau lebih tepatnya, duduk di atas penisnya.

Kini aku yang mulai lebih aktif. Aku mulai bergerak turun naik agar penis Pak Kasman bisa keluar masuk. Mulanya pelan, tetapi lama-lama semakin cepat. Sementara Pak Kasman memeluk tubuhku dan mulutnya menciumi kedua payudaraku, kiri dan kanan. Putingku tak luput dari hisapannya. Kadang ia juga menggigitnya dan membuatku aku menggelinjang.

“Ohh... .”

Aku terus bergerak naik turun. Masih belum ada tanda-tanda Pak Kasman akan orgasme. Malahan Pak Kasman mengangkat tubuhku. Pak Kasman bangkit dan mulai berdiri. Ia menggendongku dan sambil penisnya tetap tertancap di vaginaku. Aku terus bergerak naik turun sambil bergelayut di tubuh Pak Kasman. Kini tubuhnya yang penuh bulu itu menempel begitu dekat di tubuhku. Nafsuku kian bangkit menerima kehangatan itu.

“Ah... ah... ah... ”

Genjotan penis Pak Kasman makin kuat di vaginaku. Aku semakin tidak tahan sampai akhirnya aku mencium bibir Pak Kasman. Kini justru aku yang terlihat ingin sekali menikmati permainan ini. Kuciumi bibir Pak Kasman. Aku memagutnya seolah ingin mengalirkan nafsu birahiku padanya. Lidah kami saling berpagutan. Aku menyedot lidahnya dalam-dalam. Pak Kasman kini membaringkanku lagi di ranjang. Kini dia berada di atasku. Aku tak melepaskan ciumanku di bibirnya. Ia kembali menggenjotku. Genjotannya semakin cepat.

“Bu... sa... ya... kke... ” Dan penis itu tercabut dari vaginaku dan crot... crot... crot... . Sperma Pak Kasman muncrat di perutku. Banyak sekali. Ketimbang milik Ahmad dan Pak Tono, miliki Pak Kasman jauh lebih banyak. Rasanya juga hangat di perutku.

“Bersihin dong, bu.”

Pak Kasman menyodorkan penisnya ke wajahku. Ia ingin aku membersihkan penisnya dengan mulutku. Aku langsung melahapnya dan membersihkan semua batang penisnya dari cairan cinta kami. Setelah bersih, Pak Kasman tidur di sampingku.

“Makasih ya, bu.” Ucap Pak Kasman.

Aku tidak menjawab. Rasanya aku juga ingin mengatakan terima kasih telah memberiku kepuasan dengan penis gagahnya.

“Suami saya gimana, pak?” tanyaku.

“Sepertinya masih tertidur, bu.” Pak Kasman bangkit dan kembali melihat suamiku. “Benar, bu. Suami ibu masih tidur. Tampaknya lelap sekali.”

Aneh sekali suamiku bisa tertidur. Apakah dia terlalu capek? Dan apakah dia tidak mendengar suara persenggamaan aku dan Pak Kasman.

“Sepertinya masih nutut sekali lagi, mbak.” Kata Pak Kasman padaku. Ia kembali menindihku.

“Saya capek, pak.”

Pak Kasman langsung mencium bibirku. “Saya ingin keluar di dalam, bu.”

Aku terkejut dengan ucapannya. Jauh di dalam hatiku, aku juga ingin meraskan hal yang sama. Aku ingin Pak Kasman menyemburkan spermanya di dalam. Aku membayangkan betapa hangatnya nanti. Tetapi, aku tidak menjawab dan hanya diam saja.

Pak Kasman tidak menunggu aba-aba dariku. Ia langsung kembali mengerjaiku. Kami kembali bercinta. Aku kembali mereguk kenikmatan dari Pak Kasman. Kali ini aku meraih orgasme sampai tiga kali. Dan Pak Kasman benar-benar muncrat di dalam. Aku benar-benar bahagia meski di luar kamar ada suamiku.

Setelah persenggamaan selesai, aku kembali mengenakan bajuku dan keluar kamar. Sebelum aku keluar, Pak Kasman meminta CD-ku sebagai kenang-kenangan untuknya. Jadi, aku pulang tanpa mengenakan CD.

Kubangunkan suamiku. Ia tampak mengantuk sekali.

“Kok lama banget, Ma?” tanya Mas Iwan.

“Udah tadi, Mas. Cuma mas yang dibangunin ga mau bangun.” Jawabku mengelak.

“Oh, gitu ya, Ma. Gak tau juga nih. Tiba-tiba mas ngantuk banget.”

“Yaudah pulang aja deh, Mas. Kapan-kapan aja. Kayanya mas ngantuk berat.”

Akhirnya Mas Iwan tidak jadi pijat. Ia memilih untuk pulang saja. Aku yang menyetir mobil sampai rumah. Sampai di rumah, Mas Iwan langsung tidur. Sementara aku masih terbayang-bayang persenggamaan dengan Pak Kasman, tukang pijat yang perkasa.


Bersambung...
 
Maaf, suhu-suhu semua. Baru bisa update. Maafkan juga kalo update kali ini kurang mantab. Tapi tetap saya sajikan. Selanjutanya akan saya lanjutkan dengan cerita yang lebih seru. Semoga menikmati ceritanya.

=========================================================

Berita duka tiba-tiba datang dua hari setelah aku kembali dari kota. Ayah mertuaku meninggal setelah berhari-hari dirawat di rumah sakit. Ayah sudah tak bisa bertahan melawan penyakitnya. Kami sekeluarga telah mengikhlaskan beliau pergi selamanya. Ibuku menangis sejadi-jadinya di hari ayahku meninggal.

Kami mengadakan pengajian selama 7 hari berturut-turut untuk kepergian ayah. Rencananya, setelah 7 hari aku dan Mas Iwan akan kembali ke kota. Setiap hari selama 7 hari, kami banyak disibukkan oleh persiapan acara pengajian. Maklum, ayahku adalah tokoh yang dikenal oleh seluruh kampung. Wajar sekali jika banyak yang datang. Ditambah karena di kampung, kami mesti menyediakan makanan bagi para tamu.

Karena kecapean, di hari kelima aku sempat terjatuh di kamar mandi. Kakiku terkilir. Aku jadi kesakitan. Mas Iwan mencoba untuk memijit kakiku. Tetapi yang ada malah tambah sakit.

“Dibawa ke tukang urut saja ya?” kata Mas Iwan.

“Di mana tukang urut yang paham soal kaki terkilir di sini?”

“Sepertinya ibu tau.”

Mas Iwan beranjak menemui ibu. Tak lama ia kembali membawa kabar bahwa ibu tahu tempatnya.

“Ibu tahu tempatnya. Tapi karena ibu sibuk, dia menyuruh Pak Tono yang menemani kita.”

Mas Iwan dan aku, ditemani juga oleh Pak Tono pergi menuju rumah tukang urut. Dalam perjalanan, Pak Tono banyak menjelaskan tentang kemahiran si tukang urut.

Sesampainya di sana, kami sudah disambut oleh Pak Kasman di depan rumahnya. Pak Kasman sangat ramah kepada kami. Kami disambut dengan baik. Setelah berbincang, Pak Kasman langsung memulai memijit kakiku.

Rasanya sakit sekali. Tapi tidak lama pijatannya selesai. Dan kakipun mulai terasa lebih enak.

“Wah, terima kasih, Pak. Kaki saya sudah lebih enakan.”

Pak Tono kutaksir masih berumur sekitar 50 tahunan. Ia punya badan yang tinggi besar meski tidak berotot. Ia sangat ramah dan cara bicara mengisyaratkan bahwa dia orang baik. Pak Kasman memiliki istri. Tetapi, istrinya sedang bekerja di luar negeri sebagai TKW.

“Pak Tono bisa pijat satu badan juga kan?” tanya suamiku.

“Bisa, Pak.”

“Bolehlah kami pijat nanti sebelum balik ke kota.”

“Boleh, Pak. Boleh.”

Rencana itu pun terealisasi. Sehari sebelum balik ke kota, aku dan suamiku pergi ke rumah Pak Kasman. Kami berdua berencana untuk pijat seluruh badan. Kali ini kami tidak lagi ditemani Pak Tono. Aku pun bersyukur akan hal itu. Sebab ada perasaan bersalah saat berada di antara Pak Tono dan suamiku.

Sesampainya di rumah Pak Kasman, kami lagi-lagi langsung disambut. Pak Kasman langsung mempersilakan kami masuk.

“Siapa duluan nih yang mau pijat?” kata Pak Kasman.

“Istri saya dulu, Pak.” Kata Mas Iwan.

Kami semua masuk ke dalam kamar. Sebuah ruangan khusus tempat Pak Kasman memijat, sepertinya. Pak Kasman memintaku mengganti baju dengan kain sarung saja. Lumrahnya seperti saat orang akan dipijat. Aku pun menuruti perintahnya. Sebelum memijat, Pak Kasman menyiapkan minuman dulu untuk suamiku. Ia menaruh kopinya di ruang tamu.

Pak Kasman mulai memijatku. Dimulai dari bagian punggungku menggunakan minyak urut. Untuk mengurut di bagian itu, kain sarungku harus diturunkan. Saat itu aku tak melepaskan BH-ku. Suamiku duduk di samping. Tetapi, barangkali bosan dia meminta untuk menunggu di luar saja.

“Kenapa ga di dalam saja, Mas?” kataku.

“Di dalam panas,” Suamiku pun pergi ke kamar.

“Sekalian diminum kopinya, Pak.” Kata Pak Kasman.

Pak Kasman terus memijatku. Pijatannya enak. Tidak sakit, namun tidak terlalu pelan juga. Aku menikmatinya sampai aku ketiduran sebentar. Dan kulihat pijatan Pak Kasman sudah sampai di pahaku. Kurasakan juga kaitan BH-ku sudah terlepas.

“Mbak, saya boleh ijin buka baju?” kata Pak Kasman. “Soalnya saya terbiasa buka baju jika memijat. Lebih leluasa, mbak.”

Aku sempat kaget. “Hmmm. Silakan saja, Pak.”

Pak Kasman lalu membuka bajunya. Aku kira dia hanya membuka kaosnya. Tetapi, dia malah membuka celana pendeknya juga yang membuatnya hanya mengenakan CD saja.

“Yah, seperti inilah saya kalo lagi mijet, mbak.” Ucap Pak Kasman.

“Meskipun yang dipijat wanita?” tanyaku.

“Iya, mbak.”

“Ngga malu, Pak?”

“Udah biasa, mbak. Hehehe.”

Aku benar-benar kaget dengan yang dia lakukan. Apa dia tidak takut mengingat ada suamiku di luar? Tapi, dia malah biasa saja.

Badannya benar-benar tegap. Di bagian dadanya ditumbuhi bulu lebat yang terus turun ke perut dan hilang di balik CD-nya yang berwarna biru muda. Di bagian pahanya juga ditumbuhi bulu yang cukup lebat. Apalagi ditambah gundukan besar di selangkangannya.

“Aku cuma ga enak sama suamiku di luar, mbak.” Kataku.

“Ngga apa-apa, Bu. Tenang saja.”

Entah kenapa Pak Kasman biasa saja. Dia malah terus melanjutkan pijatannya. Aku sendiri tidak konsen di tengah pemandangan, yang harus kuakui, membangkitkan gairah. Apalagi kini pijatannya kian lembut di bagian pahaku. Kain sarungku telah naik ke atas dan sedikit memperlihatkan pantatku yang terbungkus CD. Tangan Pak Kasman kadang masuk ke bagian dalam paha.

Pijatannya terus turun ke betis sampai akhinya dia menyuruhku berbalik. Dia hendak memijat bagian depan. Aku mencoba menutupi bagian atas terutama dadaku dengan sarung. Dengan posisi ini, aku bisa leluas melihat Pak Kasman. Di tubuhnya kulihat ada keringat-keringat kecil. Pak Kasman mulai memijit tanganku. Setelah selesai keduanya, ia mencoba memijat dadaku tepat di atas payudaraku. Aku memegangi kain sarung agar tetap menutupi dadaku.

“Diturunin ya mbak sarungnya?” kata Pak Kasman.

“Saya malu, Pak.”

“Lho, gimana saya mau pijat kalo ditutup gini, Mbak?”

Aku tidak menjawab. Pak Kasman malah langsung menurunkan sarungku hingga membuat payudaraku yang dibungkus bra terlihat. Sarungku diturunkan terus sampai perutku juga terlihat. Pak Kasman mulai memijit perutku. Pelan. Tangan kasar Pak Kasman terasa sekali beradu dengan kulitku. Momen ini sedikit membuat birahiku bangkit. Sesekali aku melirik selangkangan Pak Kasman kian menggunung.

Selesai dengan perut, Pak Kasman beralih ke paha. Ia memijit bagian depan pahaku. Sudah pasti sarungku diangkat agar Pak Kasman lebih leluasa memijit. Entah kenapa, pijatan Pak Kasman semakin lama terasa seperti usapan. Aku terasa terbuai dengan usapannya itu. Pak Kasman justru menaikkan lebih ke atas lagi sarungku hingga sebagian selangkanganku terlihat. Anehnya aku malah tidak protes dengan sikapnya. Tangan Pak Kasman kini tidak lagi memijat melainkan mengelus-elus area pahaku. Bahkan ia juga sedikit menyentuh selangkanganku. Dan lama kelamaan Pak Kasman jadi berani mengelus vaginaku dari luar CD.

“Pak... ” kataku dengan sedikit mendesah.

Pak Kasman tahu bahwa aku mulai terbawa birahi. Ia memanfaatkannya untuk menarik ke bawah sarungku hingga terlepas. Kini terlihatlah aku hanya mengenakan CD dan braku di depan Pak Kasman. Pak Kasman lagi-lagi mengulangi mengelus betisku terus naik ke atas ke paha dan sampai ke selangkangan.

“Ah... ah... ah... ” aku mendesah. “Pak... suamiku... .”

Pak Kasman menuju pintu dan mengamati keadaan di luar lewat lubang kunci. “Suami ibu tertidur.”

Entah aku harus bahagia atau sedih, yang jelas ini seperti semacam surga bagi Pak Kasman. Ia kembali dengan senyum kemenangan di bibirnya.

Pak Kasman kini naik ke atas tempat aku berbaring. Ia membuka pahaku dan menempatkan dirinya di antara kedua pahaku. Tangannya meraih braku dan menariknya hingga terlepas. Kini tampaklah payudaraku di hadapannya. Pak Kasman pun mulai meremas-remas dan memainkan putingnya. Ia menarik tubuhku mendekati tubuhnya hingga membuat selangkanganku bersentuhan langsung dengan selangkangannya. Ada satu aliran yang menyebar ke seluruh tubuhku saat vaginaku menyentuh kejantanannya. Kurasakan penisnya mulai mengeras.

Pak Kasman memposisikan tubuhnya agak condong ke depan sehingga penisnya makin menekan selangkanganku. Tangannya terus memainkan payudaraku. Terkadang sesekali juga mengelus. Pak Kasman tampaknya mencoba memancingku dengan menggesek-gesekkan penisnya ke vaginaku. Aku mulai merasakan kenikmatan.

“Ah... ah... ”

Kini aku tidak lagi memikirkan bagaimana seandainya suamiku masuk dan melihat semua ini. Kini yang aku mau hanyalah meneruskan kenikmatan yang baru dimulai. Pak Kasman terus menggesek-gesekkan penisnya hingga kurasakan vaginaku mulai membasahi CD-ku.

“Ah... ah... ah... .” Aku terus mendesah keenakan sambil semakin mendekatkan vaginaku ke selangkangan Pak Kasman.

“Pak... udah... pak... ga.. kuuattt... ” desahku saat Pak Kasman makin intens melakukan gerakan menggesek vaginaku. Penisnya yang mengeras begitu kuat menempel ke vaginaku meski masih tertutupi celana dalam. Tapi, rasanya aku sudah tidak kuat.

“Pak... .” Aku menggenggam lengan Pak Kasman menahan gejolak birahiku. Rasanya aku ingin mendesah sekeras-kerasnya untuk melampiaskan kenikmatan yang kurasakan.

Pak Kasman akhirnya menuruti permintaanku. Ia berhenti menggesekkan penisnya ke vaginaku. Tetapi, ia malah menarik turun celana dalamku sampai terlepas. Aku diam saja tak melawan saat dia melakukan hal itu. Dan tampaklah vaginaku di depan mata Pak Kasman. Ia terlihat bahagia. Tak lama kemudian, ia juga melucuti celana dalamnya dan telanjanglah dia di depanku. Penisnya sangat besar dan panjang. Jauh lebih besar dari Ahmad dan Pak Tono. Pemandangan bulu yang tumbuh di sebagian tubuhnya membuatku makin bernafsu.

“Ayo, mbak, kita sama-sama meraih kenikmatan.” Kata Pak Kasman sembari membuka pahaku.

Kuraskan Pak Kasman mulai mengarahkan penisnya untuk masuk ke vaginaku. Ujungnya kurasakan mulai menyentuh. Perlahan ada gerakan mendorong untuk memasukkan penis itu. Begitu kepala penis itu masuk, ah rasanya vaginaku seperti dibuka lebar-lebar oleh penis Pak Kasman. Penis itu terus didorong masuk.

“Ah... ” Penis itu memenuhi seluruh ruang di vaginaku karena ukurannya yang besar. Pak Kasman terus mendorong sampai kurasa ia telah mentok. Lalu mulailah Pak Kasman menggenjot vaginaku dengan penisnya.

Awalnya genjotannya masih pelan. Tetapi, lama-lama genjotan itu makin terasa cepat. “Ah... ah... ah... ” aku mulai mendesah.

Pak Kasman menurunkan badannya agar bibirnya bisa meraih bibirku. Aku pun langsung menyambut ciumannya dengan mesra. Barangkali karena aku telah terbawa oleh nafsu sehingga begitu saja menerima ciuman Pak Kasman. Kami saling berciuman bermesraan, saling memagut, dan lidah kami saling bertautan. Bulu-bulu dada dan perut Pak Kasman menyentuh payudaraku membuat aku kian bernafsu. Kini aku tak lagi malu dan khawatir akan kemunculan suamiku. Aku memeluk tubuh Pak Kasman seolah ingin meminta kehangatan yang sepenuhnya kepadanya. Penis Pak Kasman semakin mengobrak-abrik vaginaku. Genjotannya makin kuat dan aku makin tidak tahan untuk tidak mendesah. “Pak... ee... nakkk... .”.

Genjotan di vaginaku berhenti. Pak Kasman meminta mengganti posisi. Ia memintaku menungging. Aku menuruti permintaannya. Pak Kasmanpun langsung menusuk vaginaku dari belakang. “Ah... .”. Ia kembali menggenjotku. Penis gagahnya kembali mengoyak vaginaku. Tubuhku jadi maju mundur mendapat serangan dari Pak Kasman. Tangannya menggenggam seprai menahan birahiku yang kian menjadi.

“Pak... sa... yaa... ga... ah... .” Dan akhirnya aku sampai. Aku telah mencapai orgasmeku. Sementara Pak Kasman masih terus menggenjot.

“Ah... ah... ah... ”

Kudengar desahan Pak Kasman. Ia tampak masih belum akan orgasme. Tenaganya masih belum takmpak kendor. Genjotannya masih kuat di vaginaku. Tiba-tiba ia meminta mengganti posisi. Ia membangunkanku dan menyuruhku duduk di pangkuannya. Atau lebih tepatnya, duduk di atas penisnya.

Kini aku yang mulai lebih aktif. Aku mulai bergerak turun naik agar penis Pak Kasman bisa keluar masuk. Mulanya pelan, tetapi lama-lama semakin cepat. Sementara Pak Kasman memeluk tubuhku dan mulutnya menciumi kedua payudaraku, kiri dan kanan. Putingku tak luput dari hisapannya. Kadang ia juga menggigitnya dan membuatku aku menggelinjang.

“Ohh... .”

Aku terus bergerak naik turun. Masih belum ada tanda-tanda Pak Kasman akan orgasme. Malahan Pak Kasman mengangkat tubuhku. Pak Kasman bangkit dan mulai berdiri. Ia menggendongku dan sambil penisnya tetap tertancap di vaginaku. Aku terus bergerak naik turun sambil bergelayut di tubuh Pak Kasman. Kini tubuhnya yang penuh bulu itu menempel begitu dekat di tubuhku. Nafsuku kian bangkit menerima kehangatan itu.

“Ah... ah... ah... ”

Genjotan penis Pak Kasman makin kuat di vaginaku. Aku semakin tidak tahan sampai akhirnya aku mencium bibir Pak Kasman. Kini justru aku yang terlihat ingin sekali menikmati permainan ini. Kuciumi bibir Pak Kasman. Aku memagutnya seolah ingin mengalirkan nafsu birahiku padanya. Lidah kami saling berpagutan. Aku menyedot lidahnya dalam-dalam. Pak Kasman kini membaringkanku lagi di ranjang. Kini dia berada di atasku. Aku tak melepaskan ciumanku di bibirnya. Ia kembali menggenjotku. Genjotannya semakin cepat.

“Bu... sa... ya... kke... ” Dan penis itu tercabut dari vaginaku dan crot... crot... crot... . Sperma Pak Kasman muncrat di perutku. Banyak sekali. Ketimbang milik Ahmad dan Pak Tono, miliki Pak Kasman jauh lebih banyak. Rasanya juga hangat di perutku.

“Bersihin dong, bu.”

Pak Kasman menyodorkan penisnya ke wajahku. Ia ingin aku membersihkan penisnya dengan mulutku. Aku langsung melahapnya dan membersihkan semua batang penisnya dari cairan cinta kami. Setelah bersih, Pak Kasman tidur di sampingku.

“Makasih ya, bu.” Ucap Pak Kasman.

Aku tidak menjawab. Rasanya aku juga ingin mengatakan terima kasih telah memberiku kepuasan dengan penis gagahnya.

“Suami saya gimana, pak?” tanyaku.

“Sepertinya masih tertidur, bu.” Pak Kasman bangkit dan kembali melihat suamiku. “Benar, bu. Suami ibu masih tidur. Tampaknya lelap sekali.”

Aneh sekali suamiku bisa tertidur. Apakah dia terlalu capek? Dan apakah dia tidak mendengar suara persenggamaan aku dan Pak Kasman.

“Sepertinya masih nutut sekali lagi, mbak.” Kata Pak Kasman padaku. Ia kembali menindihku.

“Saya capek, pak.”

Pak Kasman langsung mencium bibirku. “Saya ingin keluar di dalam, bu.”

Aku terkejut dengan ucapannya. Jauh di dalam hatiku, aku juga ingin meraskan hal yang sama. Aku ingin Pak Kasman menyemburkan spermanya di dalam. Aku membayangkan betapa hangatnya nanti. Tetapi, aku tidak menjawab dan hanya diam saja.

Pak Kasman tidak menunggu aba-aba dariku. Ia langsung kembali mengerjaiku. Kami kembali bercinta. Aku kembali mereguk kenikmatan dari Pak Kasman. Kali ini aku meraih orgasme sampai tiga kali. Dan Pak Kasman benar-benar muncrat di dalam. Aku benar-benar bahagia meski di luar kamar ada suamiku.

Setelah persenggamaan selesai, aku kembali mengenakan bajuku dan keluar kamar. Sebelum aku keluar, Pak Kasman meminta CD-ku sebagai kenang-kenangan untuknya. Jadi, aku pulang tanpa mengenakan CD.

Kubangunkan suamiku. Ia tampak mengantuk sekali.

“Kok lama banget, Ma?” tanya Mas Iwan.

“Udah tadi, Mas. Cuma mas yang dibangunin ga mau bangun.” Jawabku mengelak.

“Oh, gitu ya, Ma. Gak tau juga nih. Tiba-tiba mas ngantuk banget.”

“Yaudah pulang aja deh, Mas. Kapan-kapan aja. Kayanya mas ngantuk berat.”

Akhirnya Mas Iwan tidak jadi pijat. Ia memilih untuk pulang saja. Aku yang menyetir mobil sampai rumah. Sampai di rumah, Mas Iwan langsung tidur. Sementara aku masih terbayang-bayang persenggamaan dengan Pak Kasman, tukang pijat yang perkasa.


Bersambung...
Luarr biasa Hu..,, tapi ane Saran hubungan tersembunyi dengan Ahmad harus dilanjut ya Hu :klove:
 
ibu mertuanya pasti dah kena juga tuh Ama pak Kasman,, enak nih di gangbang atau pesta sex Ama ibu mertuanys
 
Setuju sama atas ane......pasti mekinya bangsat tu mertua.....pak tono aja g komplain kayaknya
 
Sambil menunggu cerita kelanjutan dengan si Ahmad, saya coba berikan satu cerita tentang masa lalu tokoh 'aku'. Semoga mengobati penasaran suhu-suhu semua.

---------------
Oh ya, aku sendiri belum mengenalkan namaku. Namaku Rina. Aku sendiri hanya bekerja mengurus suami dan anakku. Walaupun sebetulnya aku adalah seorang Sarjana Pertanian. Aku bisa menggunakan gelar tersebut untuk mendapatkan kerja. Akan tetapi, suamiku menginginkan aku tinggal di rumah saja. Katanya, dia yang akan berusaha mencukupi semua kebutuhanku dan anakku. Dan, itu semua mampu diwujudkannya. Itu yang membuat aku sangat mencintai Mas Iwan, suamiku.
Selain itu, Mas Iwan juga bisa menerimaku apa adanya. Bagaimana tidak, saat menikah dengannya aku sudah tidak perawan lagi. Kehormatanku telah direnggut oleh mantan pacar saat kuliah dulu.

Memang, Mas Iwan baru mengetahuinya saat kami sudah menikah. Barangkali jika Mas Iwan tahu saat pernikahan belum berlangsung, dia kemungkinan akan meninggalkanku. Tapi, yang terpenting bagiku, Mas Iwan langsung mengatakannya sendiri padaku bahwa ia menerimaku apa adanya. Bahkan Mas Iwan pernah memintaku menceritakan semuanya. Awalnya aku menolak, tapi Mas Iwan tetap memaksa dan aku pun menurutinya.
“Sayang, kamu berapa kali pacaran dulu?” tanya Mas Iwan.

“Berapa ya? Lupa, Mas.”

“Masa lupa?”

“Tiga mungkin.”

“Hmmm. Selama pacaran, ngapain aja?”

“Ngapain ya? Ya samalah kaya orang-orang yang juga pacaran.”

“Belum tentu dong.” Jawab suamiku.

“Yah...pegangan tangan, ciuman.”

“Terus?”

“Ya itu-itu aja, Mas.”

“Hmm. Padahal ngakunya pernah ML.”

“Iya iya, Mas.”

“Siapa pacar pertama?” tanya suamiku.

“Temen SMA.”

“Ngapain aja selama pacaran sama dia?”

“Ciuman aja, Mas. Kan dulu masih SMA.”

“Yakin cuma ciuman? Ciumannya di mana? Di sini?” kata Mas Iwan sambil menyentuh bibirku.

Aku mengangguk.

“Sering?”

“Nggak, Mas.”

“Kalo ciuman di mana biasanya?”

“Di belakang sekolah, Mas. Pernah juga di rumahnya, pas lagi gak ada orang.”

“Pacar yang kedua siapa?”

“Temen KKN.”

“Ngapain aja sama dia? Pasti lebih dari yang sebelumnya. Apalagi pas KKN.”

“Ciuman juga, mas.”

“Hmmm. Bohong.”

“Eh...sama pegang-pegang juga sih, Mas.”

“Pegang apa? Ceritain dong.” Kata Mas Iwan sambil memiringkan badannya dan memelukku. Tangannya juga langsung menyelusup ke dalam bajuku dan meraih puting susuku. Kebetulan, kami saat itu memang akan tidur. Dan aku terbiasa tidak memakai BH.

“Ih, gak usah lah, Mas. Udah masa lalu itu. Gak mau inget-inget lagi.”

“Mas kan pengin tahu. Ayolah.”

“Nanti mas marah lagi.”

“Nggak kok.”

“Janji ya.”

Mas Iwan mengangguk.

“Jadi, aku dulu sempet pacaran sama temen KKN, mas. Kami pacaran setelah dekat selama 2 minggu KKN. Kami, satu kelompok KKN, mengontrak salah satu rumah penduduk. Kami, cowok dan cewek, tinggal dalam satu rumah itu. Oh ya, nama pacarku itu Denis, Mas. Awal-awal pacaran kami hanya sebatas berciuman saja. Tentu kami melakukannya saat tidak ada teman yang lain.

Tapi, setelah satu Minggu pacaran, Denis mulai berani melangkah lebih jauh. Saat itu malam hari. Biasanya tempat tidur cewek dan cowok berpisah. Tapi entah kenapa, malam itu, teman-teman cowok yang lain memilih tidur di luar. Lalu, Denis mengajakku tidur bersama. Aku menolaknya. Tapi, Denis tetap memaksaku dan aku pun tak bisa menolak lagi. Denis memelukku, mula-mula. Lama kelamaan tangannya makin naik ke arah dadaku. Aku menghentikannya. Tapi, kekuatan Denis lebih besar. Akhinya aku kalah dan Denis pun menyentuh payudaraku.”

“Dari dalam apa dari luar?” tanya Mas Iwan.

“Pertama, dia meremas-remas dari luar, Mas. Tapi lama-lama tangannya masuk ke dalam dan menyentuh payudaraku. Aku menolak lagi, tapi gagal.”

“Sudah?”

“Nggak, mas. Selain meremas dia juga memainkan puting susuku. Bahkan dia sempat berbisik katanya ingin 'nyusu'.”

“Kamu kasih?”

“Nggaklah, Mas. Mana berani. Gimana kalo ketahuan yang lain?”

“Terus?”

“Cuma sampe remas-remas susu aja sih, Mas. Sebenernya dia juga meraba selangkanganku dan memaksa masuk. Tapi, saat itu aku berhasil menolak. Dia juga membawa tanganku ke selangkangannya.”

“Kamu remas?”

“Iya, Mas. Penisnya udah tegang banget.”
“Besar ya punya dia?”

“Gak tahu, Mas. Aku cuma pegang dari luar celana.”

“Cuma sekali itu?”

“Ngga, Mas. Sering. Bahkan tiga hari sebelum pulang, aku berturut-turut tidur berdua dengan Denis.”

“Sama? Ciuman sama pegang2 juga?”

“Iya, Mas.”

“Temen-temenmu gimana?”

“Entahlah, Mas. Mereka seolah biasa-biasa saja.”

“Lalu, kenapa putus?”

“Ternyata dia sudah punya pacar sebelumnya.”

“Terus kalo pacar yang ketiga? Ini yang memerawani kamu?”

Aku mengangguk. “Namanya Yogi, Mas. Satu fakultas denganku. Kami juga berada dalam satu UKM. Karena itulah kami saling dekat dan akhirnya menjalin hubungan.”

“Bagaimana sampe bisa ML?”

“Mas yakin mau denger?”

Suamiku mengangguk.

“Awalnya Yogi mengajakku menginap di kost-nya, Mas. Tapi aku menolak. Aku bilang aku takut ketahuan ibu kost-nya. Ternyata kost-nya tidak dijaga oleh si pemilik. Tapi aku tetap menolak. Yogi terus merayuku dan pada akhirnya aku luluh. Aku pun dijemput dan dibawa ke kost-nya. Saat itu kira-kira pukul sembilan.
Maaf ya, Mas. Dulu aku sangat mencintai Yogi. Dia baik, perhatian, atlet voli, dan ya intinya idamanku banget, Mas. Orangnya sih tidak ganteng-ganteng banget. Tapi, entahlah. Aku sangat mencintai dia, Mas.”

“Terus?”

“Saat tiba di sana. Yogi mempersilakanku duduk di kasurnya. Kasurnya berada di lantai. Yogi sendiri langsung mengganti celananya. Yogi mengganti celananya langsung di hadapanku. 'Ih, Yogi. Malu ah,’ Kataku. Tapi Yogi cuek-cuek aja. Malah setelah mengganti celana pendek dia langsung memelukku dan menidurkanku sambil mulutnya menyerang bibirku.
Kami mulai berciuman. Yogi menciumiku dengan ganas. Aku sampai kesulitan untuk bernafas. Tangan Yogi juga mulai bergerilya di dadaku. Lama-lama aku juga mulai bernafsu.”

Mas Iwan semakin asyik memainkan puting susuku. Kuraih juga penisnya, sudah tegang. Rupanya dia terangsang oleh ceritaku.

“Lanjutkan, sayang.” Kata suamiku.

“Sambil berciuman, Yogi mengangakat ujung bawah kaosku ke atas. Aku mencegahnya. Tapi Yogi malah menghentikan ciumannya dan mulai beralih untuk membuka kaosku. Aku terus menolak, tapi Yogi meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku percaya, Mas. Aku membiarkan Yogi membuka kaos yang kukenakan. Tampaklah payudaraku di hadapan Yogi, Mas.”

“Terus apa yang Yogi lakukan?”

“Dia langsung membuka BH-ku, Mas. Setelah terbuka, dia langsung meremas kemudian melahapnya. Itu pertama kalinya aku menampakkan bagian tubuh atasku pada orang lain. Bahkan sampai menciuminya juga, Mas.”

“Kamu gak protes?”

“Awalnya aku agak risih, Mas. Tapi setelah Yogi memainkan lidahnya di putingku, gairahku kian naik, Mas. Rasanya enak. Kadang Yogi juga menggigit kecil puting susuku dan membuatku kesakitan. Kulihat juga dia melakukan cupang di pinggiran susuku, Mas.”

“Yogi gak merabah selangkanganmu?”

“Nggak, Mas.”

“Gak mungkin. Pasti meraba-raba.”

“Iya, Mas,” jawabku malu. “Sambil mencium susuku, tangannya turun ke selangkangan. Dia juga mencoba untuk menyelinap ke dalam celana.”

“Kamu cegah?”

“Iya, Mas. Kali ini aku memohon-mohon dan Yogi pun mau. Tapi...”

“Kenapa?”

“Eh...Yogi minta diganti yang lain.”

“Apa?”

“Aku harus mengocok penisnya, Mas.”

“Oh ya?”

Aku mengangguk.

“Kamu mau?”

“Gak ada cara lain, Mas. Daripada dia menyentuh punyaku.”

“Terus?”

“Yogi ya langsung berdiri dari posisinya yang menindihku. Dia langsung membuka celana pendeknya, berikut juga CD-nya. Aku bisa melihat langsung penis Yogi, Mas. Itu juga pertama kalinya aku melihat barang laki-laki secara langsung.”

“Langsung kamu pegang?”

“Iya, Mas. Yogi langsung menuntunku. Penisnya sudah sangat keras.”

“Besar ya penisnya Yogi?”

“Gak tahu, Mas.”

“Mana besar dengan punya mas?” tanya Mas Iwan.

“Eh...sama mungkin, Mas. Entahlah. Aku sudah lupa.”

“Ah, masa udah lupa. Itu kan perdana kamu pegang penis?”

“Eh, lebih besar punya Yogi sepertinya, Mas.”

“Sama mantanmu yang KKN?”

“Aku gak pernah pegang langsung, Mas. Tapi sepertinya sama.”

Mas Iwan langsung mengarahkan tanganku ke penisnya yang sudah berada di luar. Dia memintaku mengocoknya.

“Langsung kamu kocok?”

“Iya, Mas. Langsung aku kocok. Saat itu tidak sampai 5 menit, Yogi sudah muncrat, Mas. Spermanya banyak sampai terkena ke badanku.”

“Cuma sampai ngocok?”

“Iya, Mas. Kalo yang ML, itu saat aku ketiga kalinya main ke tempat kost-nya.”

“Apa saat itu cuma sekali ngocok?”

“Nggak, Mas. Setelah Yogi keluar, kami berdua tidur. Pagi harinya kami mengulang kejadian semalam. Tapi kali ini Yogi keluar agak lama.”

“Terus yang kedua kalinya?”

“Yang kedua kalinya juga di kost-nya, Mas. Kali ini aku langsung mau begitu diajaknya. Yogi tak perlu memaksaku lagi. Begitu sampai di kamar, aku merasa tidak canggung lagi. Aku langsung menerima ciuman dari Yogi. Kami langsung berciuman dengan penuh nafsu.
Ketika membuka bajuku, aku juga tidak menolak lagi. Yogi pun langsung dengan mudah meraih susuku. Dia langsung menyedot dengan mulutnya. Kanan dan kiri secara bergantian.”

Kurasakan tangan Mas Iwan meraih vaginaku. Tangannya mulai menari-nari di sana. Perlahan aku mulai naik birahi.

“Teruskan, sayang.”

“Yogi kemudian membuka semua pakaiannya sampai telanjang. Maaf, Mas. Ah... aku benar-benar jatuh cinta melihat badan Yogi yang sangat atletis. Ditambah... ahhh.... pemandangan di selangkangannya yang menghitam karena jembutnya. Lalu dia menyuruhku kembali mengocok. Sambil dia berdiri, aku mengocok penisnya.
Untuk yang kali ini, Mas..... ohh... Yogi benar-benar tahan lama. Tanganku sampai capek gara-gara mengocok penisnya. Justru karena tak kunjung keluar, Yogi memintaku untuk oral, Mas.”

“Oh ya?”

“Ahh...iya, Mas...” desahku merasakan nikmat di vaginaku. “Mas, jangan dimainin... ah... gitu... gak konsen ceritanya.”

Suamiku menuruti permintaanku. “Kamu mau?” tanyanya.

Dengan malu-malu aku menjawab, “Iya, Mas.”

“Yogi mendudukkanku di depan selangkangannya. Penisnya berada tepat di depan wajahku. Awalnya aku pegang-pegang dulu, kemudian perlahan aku masukkan ke dalam mulutku, Mas. Aku mulai mengulumnya. Aku dengar Yogi mendesah menikmati kulumanku. Aku hisap penis Yogi, Mas. Kujilati seluruh batangnya. Entah kenapa aku jadi makin bernafsu, Mas. Yogi memajumundurkan kepalaku. Jadilah penisnya keluar masuk di mulutku. Itu aku lakukan kira-kira 15 menit, Mas.
Kemudian, Yogi menarik penisnya dan.... muncratlah spermanya di wajahku, Mas. Rasanya hangat.”

“Terus?”

“Kami langsung tidur. Kemudian paginya, aku terbangun karena sesuatu bergerak-gerak di selangkanganku. Dan setelah kulihat, tangan

[Bersambung]
Sambil menunggu update terbaru. Moggo disimak lanjutan cerita dengan mantan pacarnya waktu kuliah.

-------------------------------------------------------
“Setelah peristiwa aku mengulum penis Yogi, kami langsung tidur, Mas. Kemudian paginya, aku terbangun karena sesuatu bergerak-gerak di selangkanganku. Dan setelah kulihat, tangan Yogi bermain di selangkanganku. Tubuhku pun mulai dijalari rasa nikmat yang berasal dari vaginaku.”

“Kamu membiarkannya menyentuh vaginamu?”

“Iya, Mas. Kini aku sekarang sudah pasrah. Tapi masih belum sampe ML.”

“Lalu?”

“Ya, saat Yogi mulai memainkan vaginaku dengan jarinya, aku mulai mendesah keenakan, Mas. Tangannya Yogi bermain di bibir vaginaku dan bahkan sampe menyentuh klitorisku. Benar-benar nikmat, Mas. Itu adalah kali pertama aku mengalaminya. Yogi adalah laki-laki pertama yang menyentuh kemaluanku. Saat itu aku benar-benar basah. Aku menyuruh Yogi berhenti lantaran aku tidak tahan, Mas.”

“Lalu Yogi menurutinya?”

“Iya, Mas. Yogi menghentikannya tetapi dia malah membuka pahaku dan mengarahkan penisnya ke vaginaku. Aku bertanya dia mau apa. Lalu Yogi menjawab hanya sekedar menempelkan dan menggesek-gesekkan saja. Sejujurnya aku khawatir, Mas. Tetapi Yogi berhasil memaksaku dan akhirnya penis Yogi menempel di vaginaku.

Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya, Mas. Tapi rasanya seperti ada sengatan begitu kepala penisnya menyentuh bibir vaginaku. Kemudian Yogi menggerak-gerakkan penisnya ke atas ke bawah. Mas.... benar-benar nikmat. Aku kembali basah dan mendesah keenakan. Cairan yang membasahi vaginaku justru membuat penis Yogi bergerak lebih leluasa di bibir vaginaku. Terkadang juga ia menyentuh ‘biji kacangku’.”

“Apa Yogi bisa menepati janjinya?” tanya Mas Iwan.

“Hampir saja, Mas. Saat Mas Iwan makin bernafsu, ia menggesek-gesekkannya lebih cepat dan keras sampai akhirnya penis hendak menyeruak masuk ke dalam vaginaku. Tapi, aku segera mencegahnya, Mas. Aku mendorong Yogi. Aku mengatakan padanya bahwa aku belum siap untuk yang satu itu.”

“Yogi mau?”

“Iya, Mas. Yogi menuruti kemauanku. Tapi ia mengatakan bahwa ingin sekali melakukan hal itu denganku. Ia bilang, ingin mengekalkan cintanya padaku dengan cara seperti itu.”

“Oh ya?” tanya Mas Iwan seperti terkejut.

“Iya, Mas. Tapi aku tak menjawabnya. Aku diam saja. Lalu Yogi kembali menyodorkan penisnya ke mulutku. Ia memintaku kembali mengulumnya. Aku pun menyetujui permintaannya, Mas. Aku kulum penis Yogi sampai ia muncrat. Setelah itu, kami berdua keluar kamar untuk mengikuti kuliah hati itu.”

“Kalo yang ketiga kalinya gimana? Itu kalian yang ML, kan?”

“Sebenarnya berawal dari kesalahanku, Mas. Yogi mencurigaiku berpacaran dengan cowok lain. Lalu ia marah padaku. Aku coba menjelaskan padanya tapi ia tak percaya. Aku benar-benar sedih dibuatnya. Aku melakukan berbagai cara agar ia percaya padaku. Aku mendatangi kosnya, Mas. Sampai di sana aku menangis di hadapannya dan berkata bahwa aku tidak punya hubungan dengan cowok lain. Yogi pun percaya, Mas. Lalu dia mengatakan sesuatu yang akhirnya tak bisa kutolak, Kamu mau kan melakukan hal itu denganku?’ Aku tidak menjawab apa-apa. Tapi bibir Yogi sudah mendarat di bibirku.

Kami mulai berciuman, Mas. Mesra dan bernafsu sekali. Bahkan Yogi menyusuri seluruh wajahku dan leherku. Baru kali itu aku melihat Yogi begitu bernafsu. Sambil berciuman, ia mulai membuka bajuku. Kemudian ia membuka BH-ku dan aku pun mulai bertelanjang dada. Yogi langsung meremas kedua payudaraku dengan kedua tangannya.”

Kulihat Mas Iwan mulai bernafsu. Tangannya juga mulai meremas payudaraku dan memainkan puting susuku.

“Ah... Ah.... Ah....” desahku karena ulah Mas Iwan.

“Lanjutkan, sayang.”

“Ciuman Yogi turun ke leher dan terus sampai ke dadaku. Mulut Yogi pun mulai melahap susuku, Mas. Dicaploknya kedua putingnya dan mulai dihisap dalam-dalam. Aku mendesah, mas... Ah...

Lidahnya mulai menari-nari di atas puting susuku. Berputar-putar di sana. Itu membuatku merasa geli sekaligus enak, Mas. Lalu Yogi membaringkanku di kasur. Ia makin leluasa bermain di payudaraku. Kemudian setelah dia puas, ciumannya kini turun ke perutku dan terus ke bawah. Sampai tangannya meraih resleting celanaku dan ia mulai membukanya.”

“Kamu diam saja, Sayang?” tanya Mas Iwan.

Aku mengangguk. “Aku benar-benar pasrah saat itu, Mas. Aku sudah menyerahkan semua tubuhku pada Yogi. Mas jangan cemburu ya?”

“Ngga kok.” Jawab Mas Iwan sambil mencium keningku. “Lanjutkan.”

“Kini aku sudah bertelanjang bulat, Mas. Yogi sudah melucuti semua pakaianku. Begitu juga dengan pakaian Yogi sendiri. Ia juga sudah bertelanjang. Kulihat penisnya sudah menegang, Mas. Tegak ke atas. Dia langsung membuka pahaku dan mengarahkan penisnya ke vaginaku. Aku bener-bener deg-degan kala itu, Mas. Aku berpikir aku akan melepas keperawananku. Yogi pun mulai melakukan gerakan menggesek penisnya ke vaginaku. Ah... Dia mencoba merangsangki, Mas. Dan dia berhasil.”

“Lalu, dia mulai menusukmu?”

“Iya, Mas. Setelah agak lama, dan vaginaku sudah basah, ia mulai menekan penisnya ke lubang vaginaku. Rasanya sakit, Mas. Aku mendorong tubuh Yogi. Tapi Yogi menjelaskan bahwa memang seperti itu. Lama kelamaan tidak akan sakit. Ia pun kembali mencobanya. Ia memintaku menahan sakitnya. Aku berusaha untuk tak berteriak pula saat kepala penis Yogi terus menyeruak masuk ke lubang vaginaku. Sampai akhirnya, aku merasakan separuh penisnya sudah masuk dan kurasakan perih di vaginaku. Tapi Yogi terus memaksa masuk seluruh batang penisnya. Aku kembali menahan rasa sakit. Karena agak susah, Yogi menarik penisnya. Ia coba memasukkan lagi dari awal. Ia melakukan hal itu berulang kali. Dan akhirnya, dia terus menakan masuk hingga mentok. Ah, mas... Vaginaku benar-benar sakit. Perih. Tapi rasa itu seketika berubah saat Yogi mulai memaju-mundurkan pantatnya. Ia membuat penisnya keluar masuk di vaginaku. Ya, mas. Kali ini aku merasakan nikmat meski masih tersisa sedikit perih.”

Mas Iwan menarik tanganku dan menuntunnya ke arah selangkangannya. Ternyata sudah bangun ‘burung’ Mas Iwan.

“Yogi terus memaju-mundurkan pantatnya. Ia melakukannya sambil menunduk mencium bibirku. Tangannya sesekali juga meremas payudaraku. Ah... Aku tidak tahan untuk tidak mendesah, Mas. Benar-benar nikmat rasanya.”

“Lalu, apa dia bertahan lama?”

“Ngga, mas. Mungkin karena pertama kalinya, Yogi tak sampai 10 menit sudah menarik penisnya. Setelah sebelumnya genjotannya terasa makin cepat. Ia menarik penisnya dan membuatnya menyemprotkan spermanya di luar vaginaku.”

“Banyak?”

“Banyak, Mas... Dan kental sekali. Yogi langsung terjatuh di sampingku. Aku juga merasa lelah, Mas. Kuraba vaginaku dengan jari dan ternyata ada darah di sana, Mas. Aku menangis. Aku telah melepas kehormatanku. Lalu Yogi menenangkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.”

“Cukup sampai di situ?”

“Ngga, Mas. Kami langsung saling membersihkan badan kami dengan tissue. Ada bercak merah di seprai kasur Yogi, Mas.”

“Darah perawanmu ya, Sayang?”

“Iya, Mas. Mas ga menyesal kan menikahi wanita yang sudan tidak perawan?” Tanyaku.

“Tentu saja tidak, sayang. Apa kalian melakukannya lagi setelah itu?”

“Iya, Mas. Kami melakukannya beberapa kali. Kali itu aku sudah tidak canggung lagi. Aku lebih siap, Mas.”

“Di mana kalian melakukannya?”

“Di kos Yogi, Mas. Pernah juga di homestay saat kami liburan.”

“Bersama siapa?”

“Hanya berdua, Mas. Yogi yang meminta.”

“Pasti kalian ML sampai puas ya?”

“Karena Cuma kita berdua, tentu saja iya, Mas.”

“Berapa kali?”

“Aku lupa, Mas.”

“Yogi tetep keluar di luar?”

“Hmmm. Sebenarnya...”

“Kenapa?”

“Sebenarnya dia keluar di dalam, Mas. Tapi saat itu dia memakai kondom, jadi tidak sampai tumpah di rahimku. Hmm. Banyak kondom yang kita habiskan, Mas.”

“Berarti sudah seperti bulan madu ya?”

“Iya, Mas. Mas ga marah kan?”

“Buat apa marah?” kata Mas Iwan sambil tersenyum.

“Kami melakukan beberapa posisi saat itu, Mas. Bahkan kami mandi berdua. Aku benar-benar lelah setelahnya.”

“Tapi pada akhirnya kalian putus ya?”

“Iya, Mas. Dia pergi meninggalkanku. Beruntung aku memiliki Mas Iwan saat ini.”

“Kalian pernah melakukan hal aneh apa selama pacaran?”

“Hmm. Apa ya, Mas?”

“Masa ga ada?”

“Kita pernah seharian tidak keluar kos dan hanya ML sepanjang hari itu. Tentu saja pakai kondom, Mas. Kita juga pernah bertukar CD?”

“Oh ya?”

“Iya, Mas. Dia memintaku.”

“Apa CD-nya kamu simpan sampai sekarang?”

“Untuk apa? Sudah saya bakar.”

“Selain itu?”

“Tidak ada, Mas.”

Kemudian Mas Iwan mulai menindihku. Ia menciumku dan kami pun mulai bercinta. Meski Mas Iwan laki-laki yang biasa saja, tapi aku sangat menyayanginya.
 
Luarr
Sambil menunggu update terbaru. Moggo disimak lanjutan cerita dengan mantan pacarnya waktu kuliah.

-------------------------------------------------------
“Setelah peristiwa aku mengulum penis Yogi, kami langsung tidur, Mas. Kemudian paginya, aku terbangun karena sesuatu bergerak-gerak di selangkanganku. Dan setelah kulihat, tangan Yogi bermain di selangkanganku. Tubuhku pun mulai dijalari rasa nikmat yang berasal dari vaginaku.”

“Kamu membiarkannya menyentuh vaginamu?”

“Iya, Mas. Kini aku sekarang sudah pasrah. Tapi masih belum sampe ML.”

“Lalu?”

“Ya, saat Yogi mulai memainkan vaginaku dengan jarinya, aku mulai mendesah keenakan, Mas. Tangannya Yogi bermain di bibir vaginaku dan bahkan sampe menyentuh klitorisku. Benar-benar nikmat, Mas. Itu adalah kali pertama aku mengalaminya. Yogi adalah laki-laki pertama yang menyentuh kemaluanku. Saat itu aku benar-benar basah. Aku menyuruh Yogi berhenti lantaran aku tidak tahan, Mas.”

“Lalu Yogi menurutinya?”

“Iya, Mas. Yogi menghentikannya tetapi dia malah membuka pahaku dan mengarahkan penisnya ke vaginaku. Aku bertanya dia mau apa. Lalu Yogi menjawab hanya sekedar menempelkan dan menggesek-gesekkan saja. Sejujurnya aku khawatir, Mas. Tetapi Yogi berhasil memaksaku dan akhirnya penis Yogi menempel di vaginaku.

Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya, Mas. Tapi rasanya seperti ada sengatan begitu kepala penisnya menyentuh bibir vaginaku. Kemudian Yogi menggerak-gerakkan penisnya ke atas ke bawah. Mas.... benar-benar nikmat. Aku kembali basah dan mendesah keenakan. Cairan yang membasahi vaginaku justru membuat penis Yogi bergerak lebih leluasa di bibir vaginaku. Terkadang juga ia menyentuh ‘biji kacangku’.”

“Apa Yogi bisa menepati janjinya?” tanya Mas Iwan.

“Hampir saja, Mas. Saat Mas Iwan makin bernafsu, ia menggesek-gesekkannya lebih cepat dan keras sampai akhirnya penis hendak menyeruak masuk ke dalam vaginaku. Tapi, aku segera mencegahnya, Mas. Aku mendorong Yogi. Aku mengatakan padanya bahwa aku belum siap untuk yang satu itu.”

“Yogi mau?”

“Iya, Mas. Yogi menuruti kemauanku. Tapi ia mengatakan bahwa ingin sekali melakukan hal itu denganku. Ia bilang, ingin mengekalkan cintanya padaku dengan cara seperti itu.”

“Oh ya?” tanya Mas Iwan seperti terkejut.

“Iya, Mas. Tapi aku tak menjawabnya. Aku diam saja. Lalu Yogi kembali menyodorkan penisnya ke mulutku. Ia memintaku kembali mengulumnya. Aku pun menyetujui permintaannya, Mas. Aku kulum penis Yogi sampai ia muncrat. Setelah itu, kami berdua keluar kamar untuk mengikuti kuliah hati itu.”

“Kalo yang ketiga kalinya gimana? Itu kalian yang ML, kan?”

“Sebenarnya berawal dari kesalahanku, Mas. Yogi mencurigaiku berpacaran dengan cowok lain. Lalu ia marah padaku. Aku coba menjelaskan padanya tapi ia tak percaya. Aku benar-benar sedih dibuatnya. Aku melakukan berbagai cara agar ia percaya padaku. Aku mendatangi kosnya, Mas. Sampai di sana aku menangis di hadapannya dan berkata bahwa aku tidak punya hubungan dengan cowok lain. Yogi pun percaya, Mas. Lalu dia mengatakan sesuatu yang akhirnya tak bisa kutolak, Kamu mau kan melakukan hal itu denganku?’ Aku tidak menjawab apa-apa. Tapi bibir Yogi sudah mendarat di bibirku.

Kami mulai berciuman, Mas. Mesra dan bernafsu sekali. Bahkan Yogi menyusuri seluruh wajahku dan leherku. Baru kali itu aku melihat Yogi begitu bernafsu. Sambil berciuman, ia mulai membuka bajuku. Kemudian ia membuka BH-ku dan aku pun mulai bertelanjang dada. Yogi langsung meremas kedua payudaraku dengan kedua tangannya.”

Kulihat Mas Iwan mulai bernafsu. Tangannya juga mulai meremas payudaraku dan memainkan puting susuku.

“Ah... Ah.... Ah....” desahku karena ulah Mas Iwan.

“Lanjutkan, sayang.”

“Ciuman Yogi turun ke leher dan terus sampai ke dadaku. Mulut Yogi pun mulai melahap susuku, Mas. Dicaploknya kedua putingnya dan mulai dihisap dalam-dalam. Aku mendesah, mas... Ah...

Lidahnya mulai menari-nari di atas puting susuku. Berputar-putar di sana. Itu membuatku merasa geli sekaligus enak, Mas. Lalu Yogi membaringkanku di kasur. Ia makin leluasa bermain di payudaraku. Kemudian setelah dia puas, ciumannya kini turun ke perutku dan terus ke bawah. Sampai tangannya meraih resleting celanaku dan ia mulai membukanya.”

“Kamu diam saja, Sayang?” tanya Mas Iwan.

Aku mengangguk. “Aku benar-benar pasrah saat itu, Mas. Aku sudah menyerahkan semua tubuhku pada Yogi. Mas jangan cemburu ya?”

“Ngga kok.” Jawab Mas Iwan sambil mencium keningku. “Lanjutkan.”

“Kini aku sudah bertelanjang bulat, Mas. Yogi sudah melucuti semua pakaianku. Begitu juga dengan pakaian Yogi sendiri. Ia juga sudah bertelanjang. Kulihat penisnya sudah menegang, Mas. Tegak ke atas. Dia langsung membuka pahaku dan mengarahkan penisnya ke vaginaku. Aku bener-bener deg-degan kala itu, Mas. Aku berpikir aku akan melepas keperawananku. Yogi pun mulai melakukan gerakan menggesek penisnya ke vaginaku. Ah... Dia mencoba merangsangki, Mas. Dan dia berhasil.”

“Lalu, dia mulai menusukmu?”

“Iya, Mas. Setelah agak lama, dan vaginaku sudah basah, ia mulai menekan penisnya ke lubang vaginaku. Rasanya sakit, Mas. Aku mendorong tubuh Yogi. Tapi Yogi menjelaskan bahwa memang seperti itu. Lama kelamaan tidak akan sakit. Ia pun kembali mencobanya. Ia memintaku menahan sakitnya. Aku berusaha untuk tak berteriak pula saat kepala penis Yogi terus menyeruak masuk ke lubang vaginaku. Sampai akhirnya, aku merasakan separuh penisnya sudah masuk dan kurasakan perih di vaginaku. Tapi Yogi terus memaksa masuk seluruh batang penisnya. Aku kembali menahan rasa sakit. Karena agak susah, Yogi menarik penisnya. Ia coba memasukkan lagi dari awal. Ia melakukan hal itu berulang kali. Dan akhirnya, dia terus menakan masuk hingga mentok. Ah, mas... Vaginaku benar-benar sakit. Perih. Tapi rasa itu seketika berubah saat Yogi mulai memaju-mundurkan pantatnya. Ia membuat penisnya keluar masuk di vaginaku. Ya, mas. Kali ini aku merasakan nikmat meski masih tersisa sedikit perih.”

Mas Iwan menarik tanganku dan menuntunnya ke arah selangkangannya. Ternyata sudah bangun ‘burung’ Mas Iwan.

“Yogi terus memaju-mundurkan pantatnya. Ia melakukannya sambil menunduk mencium bibirku. Tangannya sesekali juga meremas payudaraku. Ah... Aku tidak tahan untuk tidak mendesah, Mas. Benar-benar nikmat rasanya.”

“Lalu, apa dia bertahan lama?”

“Ngga, mas. Mungkin karena pertama kalinya, Yogi tak sampai 10 menit sudah menarik penisnya. Setelah sebelumnya genjotannya terasa makin cepat. Ia menarik penisnya dan membuatnya menyemprotkan spermanya di luar vaginaku.”

“Banyak?”

“Banyak, Mas... Dan kental sekali. Yogi langsung terjatuh di sampingku. Aku juga merasa lelah, Mas. Kuraba vaginaku dengan jari dan ternyata ada darah di sana, Mas. Aku menangis. Aku telah melepas kehormatanku. Lalu Yogi menenangkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.”

“Cukup sampai di situ?”

“Ngga, Mas. Kami langsung saling membersihkan badan kami dengan tissue. Ada bercak merah di seprai kasur Yogi, Mas.”

“Darah perawanmu ya, Sayang?”

“Iya, Mas. Mas ga menyesal kan menikahi wanita yang sudan tidak perawan?” Tanyaku.

“Tentu saja tidak, sayang. Apa kalian melakukannya lagi setelah itu?”

“Iya, Mas. Kami melakukannya beberapa kali. Kali itu aku sudah tidak canggung lagi. Aku lebih siap, Mas.”

“Di mana kalian melakukannya?”

“Di kos Yogi, Mas. Pernah juga di homestay saat kami liburan.”

“Bersama siapa?”

“Hanya berdua, Mas. Yogi yang meminta.”

“Pasti kalian ML sampai puas ya?”

“Karena Cuma kita berdua, tentu saja iya, Mas.”

“Berapa kali?”

“Aku lupa, Mas.”

“Yogi tetep keluar di luar?”

“Hmmm. Sebenarnya...”

“Kenapa?”

“Sebenarnya dia keluar di dalam, Mas. Tapi saat itu dia memakai kondom, jadi tidak sampai tumpah di rahimku. Hmm. Banyak kondom yang kita habiskan, Mas.”

“Berarti sudah seperti bulan madu ya?”

“Iya, Mas. Mas ga marah kan?”

“Buat apa marah?” kata Mas Iwan sambil tersenyum.

“Kami melakukan beberapa posisi saat itu, Mas. Bahkan kami mandi berdua. Aku benar-benar lelah setelahnya.”

“Tapi pada akhirnya kalian putus ya?”

“Iya, Mas. Dia pergi meninggalkanku. Beruntung aku memiliki Mas Iwan saat ini.”

“Kalian pernah melakukan hal aneh apa selama pacaran?”

“Hmm. Apa ya, Mas?”

“Masa ga ada?”

“Kita pernah seharian tidak keluar kos dan hanya ML sepanjang hari itu. Tentu saja pakai kondom, Mas. Kita juga pernah bertukar CD?”

“Oh ya?”

“Iya, Mas. Dia memintaku.”

“Apa CD-nya kamu simpan sampai sekarang?”

“Untuk apa? Sudah saya bakar.”

“Selain itu?”

“Tidak ada, Mas.”

Kemudian Mas Iwan mulai menindihku. Ia menciumku dan kami pun mulai bercinta. Meski Mas Iwan laki-laki yang biasa saja, tapi aku sangat menyayanginya.
Luarr biasa Hu ,, :panlok1:
 
Mengharap bakalan ada spin off cerita antara dia dengan mas yogi
 
Salam kenal, gan. Saya masih baru di sini. Saya mencoba untuk menulis sebuah cerita. Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Murni dari karangan penulis. Semoga pembaca berkenan.

--------------

Lelaki Ber-CD Abu-abu

Sudah dua hari ini aku berada di kampung halaman suamiku. Aku dan suami terpakasa harus pulang karena ayah mertuaku mendadak sakit. Sebenarnnya suamiku menyuruhku tinggal di rumah saja. Tetapi, aku memaksa ikut karena juga ikut khawatir dengan keadaan ayah mertuaku. Lagipula di rumah aku takut jika harus berdua dengan anakku yang masih berumur 5 tahun.

Semenjak kedatanganku ke sini, ayah mertuaku belum menunjukkan kemajuan soal kesehatannya. Sudah berulangkali suamiku memanggil dokter untuk datang ke rumah. Tetapi, tetap saja kesehatan ayah belum juga membaik. Akhirnya, suamiku dan saudara-saudaranya memutuskan untuk membawa ke rumah sakit di kota.

“Aku harus mengantar bapak dulu ke kota,” kata suamiku, “kamu di sini saja. Ada Ibu dan Mbak Ana di sini.”

Aku mengiyakan perintahnya. Mbak Ana adalah istri dari saudara suamiku. Jadi, yang ikut ke kota hanyalah Ma Eko, suamiku, dan Mas Baim dan satu lagi, Mila, adik bungsu suamiku yang masih belum berkeluarga.

Di rumah aku banyak menemani Kayla, anakku, bermain. Sebab untuk urusan rumah tangga sudah ada ART yang mengerjakan. Jadi, aku tak punya banyak kegiatan di sini. Ibu mertuaku biasanya juga melarangku untuk mengerjakan urusan rumah tangga. Aku benar-benar bisa dibilang santai jika pulang ke kampung suamiku ini.

“Ajak Kayla main ke muara, Yu,” kata ibu, “di sana banyak perahu yang menambat. Biasanya anak-anak senang kalau melihat perahu.”

Maka kuajak Kayla ke muara seperti yang dianjurkan ibu. Jadi, kampung halaman suamiku ini bisa dibilang agak di pesisir. Banyak warga di sekitar rumah yang menjadi nelayan, tentunya. Ayah mertuaku sendiri adalah salah satu juragan yang punya kapal penangkap ikan dan punya banyak anak buah.

Di sekitar muara memang sering kali banyak perahu yang berlabuh saat sore hari. Biasanya banyak para nelayan yang sibuk menyiapkan perahunya untuk digunakan melaut di malam hari. Kayla tampak senang saat sampai di muara. Ia bisa melihat banyak perahu-perahu. Wajahnya tampak antusias sekali. Bahkan ia mengajakku berlari-lari melihat perahu satu per satu.

Saat Kayla mengajakku berlarian, tanpa sengaja aku melihat pemandangan yang tidak seharusnya aku lihat. Di salah satu perahu yang letaknya agak tersembunyi, ada salah satu nelayan yang terlihat hanya mengenakan celana dalam saja. Ia tengah sibuk membuang air yang masuk ke dalam perahunya. Meski tidak begitu jelas karena jarak yang cukup jauh, tapi aku bisa memastikan kalau nelayan itu masih tampak muda. Mungkin tidak jauh beda dengan suamiku.

Aku tidak tahu seolah-olah mataku tertarik untuk terus menerus memandangnya. Jika situasinya mendukung, barangkali aku sudah menikmatinya sampai puas. Apa karena sosok tubuh nelayan itu yang tampak gagah? Terlihat dari otot-otot paha dan lengannya. Mungkin kejamnya lautan membuat tubunya terbentuk sedemikian rupa. Atau juga karena tonjolan di CD abu-abunya yang besar? Ah, entahlah. Seharunsya aku tak membayangkan hal itu.

Beruntung, Kayla membuyarkan lamunanku, “Mama, ayo pulang. Siapa tau papa sudah pulang.”

Tentu saja suamiku belum pulang. Menurut kabar, ayah mertua harus mendapatkan perawatan yang intensif. Alhasil, suamiku tidak bisa meninggalkannya. Apalagi jarak ke kota dari kampung lumayan jauh. Aku hanya bisa berkomunikasi dengannya lewat telpon dan chat.

Saat menemani Kayla tidur, tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk. Aku bangkit dari tempat tidur. Kulihat ibu sudah tidak ada di depan tv (biasanya ibu tertidur di depan tv). Ketika kubuka pintu depan, kulihat seorang lelaki berdiri di sana.

“Siapa ya?” tanyaku.

“Saya Ahmad, anak buah Pak Bagus,” jawabnyak. Pak Bagus adalah ayah mertuaku. “Apa bapak sudah pulang?”

“Oh. Belum. Bapak masih di rumah sakit,”

“Wah, baiklah kalau begitu. Saya balik dulu, mbak.”

“Iya,”

Tunggu. Sepertinya aku pernah melihat laki-laki itu. Bukankah dia laki-laki yang di kapal itu? Laki-laki yang hanya memakai CD saja? Laki-laki yang menarik perhatianku saat di muara tadi? Ya, aku bisa pastikan kalau dia adalah laki-laki di kapal tadi. Jadi, dia adalah anak buah ayah mertuaku?!

“Ahmad,” aku memanggilnya. Aku juga tidak tau kenapa aku melakukan hal ini. Seolah ini adalah panggilan dari batinku. Ahmad, yang belum jauh berjalan, berbalik menujuku. Aku menghampirinya.

“Ayah masih belum bisa pulang. Beliau harus dirawat secara intensif. Jadi, mungkin agak lama di sana. Tapi doakan semoga cepat membaik. Apa kamu ada sesuatu yang mau disampaikan?”

“Hmmm. Sebenarnya saya mau bertemu Mas Baim (kakak suamiku). Ada masalah pekerjaan yang harus saya laporkan. Tapi, sepertinya beliau masih di rumah sakit, jadi saya batalkan saja.”

“Apa itu penting? Kalau iya, lebih baik kamu sampaikan segera saja.”

“Baik, mbak. Biar nanti saya telpon saja.”

Ahmad pun ijin balik. Aku pun kembali ke dalam rumah dan segera masuk kamar. Di dalam kamar, aku masih terbayang pemandangan di kapal tadi. Aku terbayang tubuh kekar Ahmad dan tonjolan di CD-nya. Jujur birahiku naik saat membayangkan hal itu. Ah, apa-apaan aku ini! Dan setelah kulihat secara deket, memang benar-benar gagah. Wajahnya juga lumayan tampan. Meskipun kulitnya agak gelap.

Pagi hari suamiku menelpon memintaku mengantar baju ke rumah sakit. Saat kutanya bersama siapa aku harus ke sana, suamiku bilang bahwa ada anak buah ayah yang juga akan pergi ke kota. Kujawab saja kenapa tidak dititipkan pada anak buah ayah saja bajunya. Tetapi, suamiku menjawab, “Aku kangen, yang. Hehehe.”

Anak buah ayah yang dimaksud adalah Ahmad. Ahmad ditugaskan ke kota untuk membeli beberapa perlengkapan kapal oleh Mas Iwan. Aku tidak menyangka bahwa anak buah yang dimaksud adalah dia. Aku tak bisa menutup kebahagiaanku. Walaupun hanya berduaan dalam perjalanan, setidaknya aku bisa mengobrol berdua saja dengannya. Aku akan berdua dalam mobil bersamanya.

Ternyata yang dimaksud ‘kangen’ oleh suamiku adalah kangen yang lain. Rupanya dia tidak tahan berlama-lama tidak berhubungan intim. Alhasil, karena tidak ada tempat yang memungkinkan lagi, kami melakukannya di kamar mandi. Mas Baim dan adik bungsu suamiku, Mila, sepertinya paham dengan situasi. Mereka begitu saja keluar dengan alasan akan membeli sesuatu. Mereka kembali tak lama setelah kami selesai.

Ahmad kembali menjemputku pukul setegah 4 sore. Aku pamit pada suamiku dan yang lainnya untuk pulang. Ahmad lebih banyak diam daripada saat di perjalanan sebelumnya.

“Tadi beli apa, Mad?” tanyaku.

“Eh, beli alat untuk mesin kapal.”

“Oh,” jawabku. “Omong-omong, kamu sudah lama ya kerja sama bapak?”

“Belum lama. Mungkin satu tahunan.”

“Pantesan saya gak pernah lihat kamu,” jawabku. “Tapi hebat baru sebentar kerja, udah dipercaya bawa mobil.”

“Hehehe. Iya, mbak. Dipercaya juga bawa istrinya Mas Eko.”

“Iya. Makanya dijaga baik-baik.” godaku. “Pastikan selamat sampai tujuan. Jangan dibawa kabur. Hehehe.”

Ahmad hanya tertawa mendengar jawabanku.

“Mad, kamu belum punya istri?”

“Sudah, mbak. Tapi cerai.”

“Gak cari istri lagi?”

“Belum dapet, mbak.”

“Kesepian dong. Hehehe.”

“Yah, kalau kesepian dibawa melaut aja, mbak.”

“Kalau kepengin?” Aku mulai memancingnya.

“Hahaha. Ya, dibiarin keluar sendiri aja.”

“Emang bisa ya?”

“Bisa dong, mbak. Mau lihat?”

“Ih, apaan sih?” jawabaku sambil tersenyum.

“Kalau mbak lagi pengin enak ya tinggal minta. Hehehe.”

“Iyalah. Kan ada suami.”

“Hmm. Kayanya Mas Eko pinter muasin istri deh.”

“Ah, biasa aja.”

“Pasti punya Mas Eko besar ya, mbak?” tanya Ahmad sembari tersenyum.

“Ah, omonganmu kok makin nakal sih.” Jawabku. Tapi tidak marah pada Ahmad.

“Buktinya selalu bisa muasin istrinya. Hehehe.”

“Tidak besar. Tapi tidak kecil juga. Standar lah.”

Dalam hati aku sebenarnya berkata, “Jelas lebih besar punyamu.” Memang aku tak melihatnya langsung. Tapi setidaknya itu yang bisa aku tebak dari balik CD-nya waktu itu.

“Segini, mbak?” Tiba-tiba saja tangan Ahmad menarik tanganku dan membawanya ke selangkangannya. Aku terkejut karena kurasakan ada benda panjang dan keras. Kurasakan penis Ahmad sudah menegang.

Aku melihat ke wajah Ahmad. Seolah menanyakan apa maksud dari semua ini. Tapi Ahmad tidak menjawab. Dia memberi perintah padaku untuk meremasnya lewat tangannya. Aku pun seolah menurut saja dengan mulai melakukan gerakan meremas pada penis Ahmad. Ahmad tampak tersenyum padaku.

Semakin lama kurasakan penisnya makin menegang. Ahmad juga mulai tampak mendesah. Kuperintahkan dia juga fokus menyetir agar tidak terjadi kecelakaan. Perjalanan masih cukup jauh. Di tengah perjalanan Ahmad menghentikan kendaraan.

“Mau apa?” kutanya.

“Pipis.”

Ahmad turun dari mobil sementara aku masih di dalam. Ahmad berjalan menuju pinggir jalan dan dalam kegelapan kulihat dia mulai membuka celananya. Ah, andaikan aku bisa melihatnya, pikirku. Tak lama kemudia dia kembali. Tanpa kuduga dia membuka celana pendeknya begitu juga dengan CD-nya. Aku terkejut. Dalam remang-remang cahaya lampu di dalam mobil, aku bisa melihat penis Ahmad. Benar dugaanku kalau ternyata miliknya jauh lebih besar dari suamiku. Penisnya agak tidur semenjak mengeluarkan air kecingnya. Tapi tetap tampak perkasa di depanku. Bulu-bulu di pangkalnya tampak lebat. Aku ingin sekali menyentuhnya dan merabanya sampai dadanya yang bidang. Astaga. Kurasakan vaginaku mulai gatal.

“Kok diliatin, mbak?” kata Ahmad. “Pegang aja.”

Kembali tangannya menuntunku menuju ke selangkangannya. Sekarang gerakanku tidak meremas lagi melainkan mulai mengocok. Dan itu tanpa diperintah Ahmad.

“Kamu kenapa buka celana?”

“Ngasih hadian buat, mbak. Hehehe.”

“Hadiah? Hadiah buat apa?”

“Ya hadiah. Lagian mbak kan gak pernah pegang kontol yang gede? Katanya punya Mas Eko standar? Hehehe.”

Aku tak menjawab. Harusnya aku membela begitu mendengar ucapannya tentang Mas Eko, suamiku. Tapi aku tetap melakukan gerakan mengocok di penis Ahmad.

“Pasti belum pernah ngerasain kontol gede juga ya, mbak?” tanyanya sambil tertawa.

“Ih, sok tau.”

“Lha, sama siapa?”

“Ada deh.”

Sebelum dengan suamiku, aku sudah pernah melakukan hubungan suami istri saat masih kuliah. Aku melakukannya dengan mantan pacarku saat kuliah dulu. Penisnya hampir tak jauh berbeda dengan milik Ahmad. Sama-sama besarnya. Suamiku sudah tau soal ini. Dia menerima semuanya.

“Mad, udah mau sampe nih. Buruan pake celanamu.”

“Tenang, mbak. Ini udah malem. Udah pada tidur.”

Sampai masuk kampung dan bahkan sampai masuk ke halaman rumah, Ahmad belum juga memakai celananya. Gila bener orang ini, pikirku. Mesin pun mati dan kami belum ada yang turun.

“Mbak, kocokin lagi dong sampe keluar.”

“Nggak, ah. Nanti ada yang lihat.”

“Gak ada, mbak. Udah pada tidur.”

Seolah termakan dengan rayuannya, tanganku bergerak ke arah selangkangannya. Sambil memerhatikan keadaan sekitar, aku mulai melakukan gerakan mengocok. Penis Ahmad perlahan mulai mengeras. Gerakan tanganku semakin kupercepat. Tangan Ahmad juga tak mau tinggal diam. Dia bergerak ke balik bajuku dan meraih payudara dan segera meremasnya.

Kudengar nafas Ahmad mulai memburu. Tangannya semakin nakal mempermainkan payudara dan putingku. Aku mendesah begitu puting susuku dimainkan oleh jari-jarinya. Seiring dengan desahanku, gerakan tanganku semakin cepat dan kurasakan penis Ahmad benar-benar tegang. Sampai akhirnya, penis Ahmad berkedut-kedut dan kulihat cairan putih menyembur ke mana-mana. Ahmad menegang menikmati pucak birahinya itu.

“Ah...ah...ah...”

Spermanya berhamburan ke mana-mana. Segera ia meraih celananya dan membersihkan tanganku yang terkena semprotan pejuhnya. Selanjutnya ia membersihkan tempat-tempat lainnya.

“Sudah. Cepet pakai.” Pintaku pada Ahmad. Ahmad pun menuruti.

Sebelum turun, aku menggodanya, “Badan dan kontol aja yang kekar. Tapi gak tahan lama.”

“Wah, nanti kutunjukkan kemampuanku yang sebenarnya sama mbak.”

[Bersambung]
Lanjut oke seperti pengalaman pribadi
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd