Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Kost Delima

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Bagian Empat — Dita



Pagi ini, aku terbangun dengan keadaan badan yang remuk redam. Rasanya kayak capek luar biasa sampai bikin badanku pegal-pegal semua. Apalagi ditambah masuk angin karena tidur telanjang, jadinya aku ambruk deh dan terpaksa harus izin ga masuk kuliah.

Setelah kabarin salah satu temen kampus, aku kembali rebahan. Pikiranku melayang-layang, berusaha inget-inget kejadian aneh semalam. Meskipun aku ga tau pasti kalau semalam itu aku beneran diperkosa hantu, tapi aku yakin semalam terlalu jelas untuk dibilang mimpi. Juga... terlalu enak. Pengalaman seks pertamaku, ternyata sama hantu.

Engga, ini ga normal. Gimana bisa aku menikmati diperkosa oleh sesuatu yang aku sendiri bahkan ga bisa lihat wujudnya? Jelas-jelas ada sesuatu yang salah disini. Semua kejadian ini pasti ada penyebabnya. Berbulan-bulan aku ngekos di Delima, tapi kenapa baru akhir-akhir ini kejadian anehnya?

"Bu Kos pasti tau sesuatu," gumamku. Akhirnya, aku putusin kalau hari libur ini kupakai untuk cari tau asal-usul kamar kost ku.

•​

"Ayo, diminum dulu tehnya. Mumpung masih hangat." Bu Marni, pemilik kos, mempersilahkanku minum teh manis yang dia suguhkan.

"Terima kasih, Bu."

Bu Marni pun duduk, anggun banget cara duduknya. Dia nunggu aku selesai menyeruput teh ku, baru memulai pembicaraan. "Ada apa to, kamu tiba-tiba mau bicara penting sama saya?"

Aku diam, ga siap sama pertanyaan Bu Marni yang straight to the point. Harus banget ga sih aku cerita semua, sejelas-jelasnya? Atau sebaiknya aku cukup mengorek informasi soal kamarku aja? Soalnya, aku yakin kalau aku cerita masalah utamanya, pasti nanti akan merembet kemana-mana, dan aku pasti terpaksa cerita ke Bu Marni kalau kamar kosnya suka aku pakai untuk... masturbasi.

Aib dong, jangan lah! Gila kali cerita semuanya.

"Gini Bu... gimana bilangnya ya? Ini soal kamar kos yang aku tempatin..."

Badan Bu Marni langsung condong ke depan. "Kenapa kamarmu? Langit-langitnya ada yang bocor? Atau kunci pintunya rusak?"

Aku menggeleng. "Bukan Bu, kondisi kamarnya baik-baik aja kok. Tapi ini hal lain...."

"Hal lainnya apa? Ada yang ganggu kamu?"

Kali ini, aku ngangguk.

"Siapa yang ganggu? Kamar yang mana? Atau kamu belum tau siapa orangnya?"

"Ini... bukan orang, Bu." Kedua tanganku mengepal diatas paha yang kurapatkan. Sikap aku yang keliatan resah gini membuat Bu Marni makin memberondongku dengan pertanyaan lainnya.

"Lantas, kalau bukan orang ya apa yang ganggu kamu? Hantu? Setan?"

Agak ragu, aku mengangguk. "Ga hantu juga sih Bu, tapi sepertinya. Aku juga belum yakin."

Bu Marni pun ngeliatin aku terus, hampir tanpa kedip. Aku liat air mukanya mengeras, jadi tegang gitu. "Memang kamu diganggunya bagaimana?"

"Itu... akhir-akhir ini aku selalu mimpi buruk, Bu. Mimpinya bersambung, tapi buruk. Memang cuma mimpi, tapi itu mengganggu banget. Aku jadi ga nyaman dan takut, Bu."

Aku berusaha ngumpulin keberanian untuk bertanya. Gimanapun juga, aku harus tau di kamar itu pernah terjadi apa sampai harus ada hantu mesum yang memperkosaku semalam. "Maaf Bu, bukannya aku mau lancang, tapi apa pernah terjadi sesuatu di kamar yang aku tempatin itu? Kalau Ibu tau sesuatu, ceritain ke aku Bu," akhirnya, aku bisa juga ngomong lugas ke Bu Marni.

Bu Marni tarik nafas panjang, lalu dihembus pelan dan teratur. "Kirain kamu diganggu apa. Ternyata cuma dikasih mimpi buruk saja."

Cuma? Aku sudah ga perawan gara-gara diperkosa setan dan ibu kostku bilang itu 'cuma'? Tapi gimanapun juga, ini salahku karena ga cerita semuanya. Bener deh, aku ga akan sanggup kalau cerita semuanya ke Bu Marni. Entah nanti aku dianggap gila, atau aku jadi super malu karena ternyata dibalik sikap dan penampilanku yang kelihatan baik-baik, aku kecanduan masturbasi.

"Ndak pernah terjadi sesuatu di kamar itu, Dita. Ndak ada kejadian aneh-aneh sebelumnya. Ini saya ngomong jujur. Kalau kamu masih ragu karena saya yang bilang hanya supaya bikin kamu tenang, kamu boleh tanya sama penghuni kost lain yang paling lama tinggal. Ada dua orang yang bisa kamu tanya, dan saya yakin jawaban mereka juga sama dengan jawaban saya. Kamu bisa tanya ke Pak Ramdan di lantai satu, dan Raras di lantai dua. Mereka yang paling lama tinggal disini."

Aku mengangguk. Aku pikir, aku ga bisa percaya begitu aja dengan pengakuan Bu Marni, karena gimanapun Bu Marni adalah pemilik kos, dan jadi kewajiban pemilik kos untuk menutupi sesuatu yang bisa menyebabkan usahanya ga laku. Yaudah deh, aku pamit sama Bu Marni, mau balik ke kamarku. Tapi sebelum pergi, aku distop sama Bu Marni.

"Tapi gimanapun juga, saya coba bantu cari tahu masalah kamu. Tentu, kalau kamu izinkan, nak Dita."

"Bu Marni bantu akunya gimana? Ibu... bisa ngelakuin hal-hal supranatural gitu?"

Bu Marni geleng-geleng, sambil senyum misterius. "Bukan saya. Ada teman saya yang sering saya minta bantuan untuk masalah seperti ini. Secepatnya saya kabari. Kamu juga kabari saya kalau ada apa-apa lagi."

Aku mengangguk, lalu mengulang pamit ke Bu Marni.

•​

Sorenya, ada tamu yang main ke kamarku. Dia kenalin diri sebagai Raras, cewek satu-satunya yang menghuni deretan kamar di lantai dua. Badannya langsing, berkulit sawo matang dengan wajah ayu khas wanita Jawa. Ada tahi lalat di bibir bawahnya, sebelah kiri. Raras ini kayaknya umurnya sudah dua puluh lima ke atas, taksirku.

"Iya, Ibuk telepon tadi, bilang katanya kamu ada perlu sama aku. Ada apa ya?"

"Ibuk?"

"Bu Marni."

Aku langsung manggut-manggut. "Beliau ga cerita ke Mbak Raras detilnya?"

"Engga tuh, cuma bilang gitu aja. Emang ada apa sih?"

"Emmm... jadi gini..." Lalu, aku ceritain deh tuh semua yang aku ceritain ke Bu Marni. Tentu aja, yang ga aku ceritain ke Bu Marni, ga aku ceritain juga ke Mbak Raras. Dengerin ceritaku, Mbak Raras responnya tuh antara manggut-manggut dan hmmm hmmm ga jelas gitu. Aku malah ragu kalau dia ngerti apa yang aku ceritain.

"Jadi gini, eh nama kamu siapa tadi? Dita ya? Ehem, jadi gini Dit, setau aku sih penghuni kamar kamu ini sebelumnya suami-istri gitu. Mereka ga punya anak selama tinggal di kamar ini. Tapi mereka baik-baik aja kok selama tinggal, mungkin ada kali tiga tahunan. Ga pernah ada cerita aneh-aneh dari mereka soal kamar ini. Makanya aku kaget sama cerita kamu. Karena sebelumnya, ya emang ga pernah ada kejadian aneh-aneh disini," kata Mbak Raras sehabis dengerin ceritaku.

"Terus mereka pindahnya kenapa, Mbak? Masa tiga tahun tinggal ga ada apa-apa, tiba-tiba pindah?"

Mbak Raras malah ketawa denger pertanyaan aku. "Lucu ah kamu," katanya, "ya mereka pindah mungkin karena udah mampu punya tempat tinggal yang lebih baik. Lagian pindahnya ga tiba-tiba kok, kan jauh hari sebelumnya mereka kasih tau orang-orang sini kalau mereka mau pindah. Sedih sih, karena Mas Indra dan Mbak Ayu itu salah satu tetangga paling baik dan supel disini, jadi pas mereka bilang mau pindah, kami tuh semacam merasa kehilangan gitu."

Ga ada yang mencurigakan dari keterangannya Mbak Raras. Kalau Mbak Raras aja yang tinggal paling lama disini bilang ga ada kejadian aneh di kamarku, ya mungkin berarti memang ga ada yang aneh disini, dan aku yang lagi apes. Tapi parah sih, apesnya sampai hilang perawan. Sama hantu lagi. Ah, tapi enak juga, jangan nyesel-nyesel amat lah, Dit.

"Oh iya, kalau kamu ga keberatan, boleh ga sekali-sekali aku main kesini? Jarang punya temen aku, suntuk jadinya."

"Emang Mbak Raras tinggal sendirian?"

Dia ngangguk. "Tujuh tahun ngekos, ga pernah punya temen sekamar. Sedih ya?"

"Ya sama Mbak, aku juga. Meskipun ga selama Mbak Raras sih," bales aku, "yaudah Mbak Raras kalo lagi suntuk main aja kesini. Aku juga seneng bisa ada temen ngobrol jadinya."

Mbak Raras pamit, katanya dia mau kerja. Ternyata dia kerja di pabrik deket sini, dapet shift sore yang pulangnya tengah malem. Aku pun nganterin dia sampai depan kamarku. Sekilas, Mbak Raras bengong, yang bikin aku heran jadinya.

"Dit, misal nih ya, ini misalnya. Kalau misalnya yang berhantu bukan kamar kamu, gimana?"

Pertanyaan Mbak Raras ga bisa aku jawab. Aku cuma angkat bahu, dan bengong ngeliatin Mbak Raras berjalan menjauh, ke kamarnya. Dan aku masih bengong di depan pintu, mikirin pertanyaan tadi. Pertanyaan Mbak Raras, kayak dentingan lonceng yang bangunin kesadaran aku.

Mengutip slogan film Insidious pertama yang pernah aku tonton, aku menggumamkan kalimat itu pelan-pelan. "It is not the house, that haunted."
Thanks atas update e om
 
Seru ini sih gila. Kayaknya bakal ada kisah cerita yg lebih bagus nanti
 
Bagian Lima — Dita




Sekarang, aku punya temen baru di kosan selain Mas Duki. Eh, anggap Mas Duki temen juga ga pas sih, karena aku ga pernah interaksi sama dia selain kalau lagi papasan di depan kamar. Yah pokoknya sekarang aku kenal lebih banyak orang disini, deh. Mbak Raras lumayan sering main ke kamarku, hampir tiap malam bawa-bawa makanan untuk makan bareng. Aku jadi ga begitu kesepian lagi sekarang.

Gangguan mistis yang terjadi di kamarku juga sekarang ga ada lagi. Kalau tidur juga mimpinya ga aneh-aneh sekarang. Kalau aku inget-inget, semenjak aku mengadu ke Bu Marni deh kayaknya, semua gangguan itu menghilang. Ga tau deh Bu Marni berbuat apa, yang jelas aku bersyukur kalau ternyata ini berkat bantuan beliau.

Oh iya, aku juga belum ngelakuin masturbasi lagi semenjak Mbak Raras sering ke kamarku. Kayaknya udah dua minggu deh. Hasrat pengen masturbasi juga hilang gitu aja. Aku pikir ini karena adanya Mbak Raras yang sering jadi temen ngobrol aku. Stress kuliahku jadi punya pelampiasan baru; ngobrol sama Mbak Raras. Ini sih bikin aku mikir, kayaknya aku ga hyper amat deh, aku cuma kesepian aja.

"Dit, kok tumben sore banget pulangnya?" tanya Mbak Raras, waktu aku papasan sama dia yang habis mandi.

"Iya, banyak matkul hari ini. Mbak sendiri mau siap-siap kerja?"

"Ga kok. Cuma mandi sore aja, gerah abisnya. Panas banget cuaca akhir-akhir ini. Aku libur kok hari ini, besok juga masuk sore, jadi bisa nemenin kamu ngobrol sambil begadang, hehe. Kamu juga besok libur kuliah kan?"

Aku kaget dong. Mbak Raras tau darimana coba kalau besok aku libur? "Kan besok Minggu, masa Minggu ngampus juga sih?" sambung dia, seakan nebak pikiranku.

"Oooh... sebenernya sih ga tentu juga Mbak. Kadang Minggu juga masuk kok, tapi biasanya sih buat matkul yang praktek aja. Tapi bener kok, besok aku libur. Mbak Raras mau nginep di kamar aku?"

"Boleh emang? Mau dong kalo boleh," Mbak Raras keliatan antusias banget ngerespon ajakanku. "Ini pertama kalinya loh selama aku ngekos, aku nginep di tetangga. Yaudah nanti aku bawain makanan ya, kita makan malem bareng."

"Eh, Mbak Raras repot-repot banget. Akunya yang ga enak tau, Mbak bawa makanan mulu tiap main."

"Ga apa-apa, kan aku udah kerja, kamu belum. Yang punya penghasilan dong yang maklum," bales dia, sambil jalan santai ke kamarnya.

Aku pun masuk ke kamarku. Beres-beres kamar seperti biasa kalau Mbak Raras mau main kesini. Biasanya sih Mbak Raras main habis maghrib, jadi aku punya waktu dua jam untuk beresin kamarku yang lumayan berantakan ini. Uuuhh... renggangin badan dulu deh. Kayaknya bakal capek beberes nanti.

•​

Mbak Raras tuh totalitas banget emang kalau mau nginep di tempat orang. Dia udah bawa baju ganti buat tidur nanti, selimut, bantal, bawa makanan juga buat makan, cemilan, kopi sachet, dan perlengkapan masak kayak kompor portabel dan termos listrik. Katanya sih biar ga ngerepotin tuan rumah, tapi ini sih terlalu berlebihan. Aku jadi ga punya kesempatan untuk menjamu tamu kan.

"Dit, sekarang udah ga ada gangguan aneh-aneh kan disini?" tanya Mbak Raras tiba-tiba, pas kita lagi cerita sehari-hari.

"Ga ada sih, Mbak. Eh Mbak Raras kenapa tanya itu sih? Nanti kalo setannya balik lagi gimana?!"

Mbak Raras malah ketawa ngeliat aku panik. "Ga lah Dit, percaya sama aku. Selama kamu ga macem-macem, ga bakal ada yang gangguin kok," bales dia sambil ketawa.

Aku langsung bengong loh. Omongan Mbak Raras tuh kayak nyindir aku gitu. "Ga macem-macem... gimana ya maksudnya, Mbak?"

"Bawa cowok ke kosan gitu, misalnya?" bales dia sambil ketawa.

"Iiihhh, ga pernah aku tuh bawa cowok kesini. Enak aja, aku cewek baik-baik tau!"

"Pffft, iya, iya, maaf deh," Mbak Raras cubit pipi aku, awww sakit ih! "Kamu gemesin kalo lagi kesel gitu."

Aku gosok-gosok pipi yang terasa pedes banget. Mbak Raras nyubitnya ga santai ih. Mungkin karena merasa ga enak, Mbak Raras akhirnya alihin topik obrolan. Pas banget mau makan malem, akhirnya kita ngomongin kuliner kesukaan. Ternyata Mbak Raras suka kulineran, buktinya pengetahuan dia soal makanan enak luas banget. Dia juga ngajakin aku kalau nanti ada waktu untuk kulineran berdua, daripada seharian di kosan aja katanya.

Pas lagi seru-serunya ngobrol, dari luar kedengeran suara langkah kaki. Suaranya makin lama makin deket. Mbak Raras langsung stop obrolan, keliatannya dia fokus ke asal suara. Karena suasana jadi hening, aku juga jadi ikut fokus sama suara langkah kaki yang makin jelas kedengerannya itu dong. Entah kenapa, suara langkah kakinya kedengeran ganjil di kupingku. Suara langkah kaki itu terdengar berat, dan pelan. Seperti setiap langkahnya itu menjejak dalam.

Suaranya makin deket dong. Kami berdua bisa mengira-ngira kalau suara langkah kaki itu sekarang ada di depan kamar kos sebelah. Meskipun sekarang aku lagi sama Mbak Raras, tapi aku agak takut juga sama suara langkah kaki itu. Soalnya, aku hafal suara langkah kakinya Mas Duki kayak gimana, dan yang kudengar sekarang beda banget!

"Sebelah siapa sih, Dit? Masduki kan?" tanya Mbak Raras, bisik-bisik. Aneh juga kenapa dia harus bisik-bisik ngomongnya.

Aku ngangguk. "Mungkin Mas Duki lagi galau Mbak, jadi jalannya gitu banget," balesku, berusaha mencairkan suasana.

Habis aku bales omongannya Mbak Raras, suara langkah kakinya hilang. Ada hening lumayan lama sampai aku bisa denger suara nafasku sendiri. Bulu-bulu halus di badanku seketika meremang untuk alasan yang ga jelas. Suara langkah kaki, hebatnya, bisa bikin aku merinding dong.

Ehhh, habis itu, kedengeran suara pintu dibuka, pelan. Bunyi gesekan pintu sama lantai pun terdengar lirih. Pas kedengeran suara pintu ditutup, aku langsung merasa lega. Keteganganku menurun, lucunya, Mbak Raras juga ngerasain hal yang sama. Ada ekspresi lega di mukanya saat dia tau kalau suara di sebelah kamarku itu ternyata milik tetanggaku yang baru pulang kerja.

"Bener Dit, Masduki baru pulang." Mbak Raras hembusin nafas panjang, sebelum dia rebahan di kasurku.

Akhirnya, kita pun lanjut ngobrol. Segala hal dibahas, sampai ga kerasa jarum jam udah nunjukin pukul sebelas lewat sepuluh menit. Ngeliat aku yang udah menguap terus, Mbak Raras ngajak aku tidur. Dia sih bilang kalau belum ngantuk, karena Mbak Raras bilang kalau dia emang suka begadang. Tapi aku kan ga biasa, makanya jam segini wajar kalau udah ngantuk. Tapi, sebelum tidur, aku...

"Mbak, temenin aku pipis mau ga?"

Mbak Raras ketawa denger permintaan aku. "Udah gede masa masih minta ditemenin pipis sih, Dit. Yang bener aja," katanya.

"Abisnya, aku takut kalo sendirian, Mbak. Please, temenin ya? Aku sebenernya kebelet dari tadi, cuma karena kita keasikan ngobrol, jadi aku tahan mau pipisnya."

Mungkin karena aku mintanya sampai dua kali, Mbak Raras jadi sanggupin permintaanku. Dia langsung berdiri, terus buka pintu kamar. "Yaudah aku sekalian juga deh kalo gitu," katanya.

"Sekalian apa, Mbak? Pipis juga?"

"Nyari setan, Dita."

"Mbak, ih! Jangan sembarangan ngomong ah!"

"Lagian kamu, pake nanya segala. Udah ah, yuk pipis terus kamu tidur. Udah malem," omel dia. Ih, dia yang bercanda aku yang diomelin masa.

Kita pun keluar kamar, langsung menuju kamar mandi. Karena sekarang kamar mandi lagi kosong, jadi bilik kamar mandi yang cuma dua bilik itu bisa dipakai bersamaan. Aku dan Mbak Raras sebelah-sebelahan pipisnya. Sambil pipis, kita masih ngobrolin topik yang tadi. Aku seneng deh, ngobrol sama Mbak Raras tuh ga ada abisnya emang.

Setelah pipis, kita langsung balik ke kamarku. Tapi, pas mau masuk kamar, ada suara langkah kaki dari anak tangga. Suaranya cepat-cepat gitu. Belum sempet aku nengok, ada suara laki-laki nyapa aku dan Mbak Raras. Suaranya... dari belakang.

"Lah si Dita malem-malem masih di luar aja."

Saat aku nengok ke asal suara, ada Mas Duki di tepi tangga. Sedang berdiri sambil menenteng plastik kresek hitam. Ngeliat Mas Duki, justru bikin aku langsung ketakutan. Bulu-bulu halus di badanku merinding seketika. Lututku gemeteran, kakiku langsung lemas sampai harus pegangan di pagar koridor biar aku ga jatuh. Aku bersumpah, kalau ada kaca, pasti mukaku sekarang pucat banget. Dan ekspresi pucat itu keliatan juga di muka Mbak Raras.

Kami bengong sambil ngeliatin Mas Duki, dengan mulut menganga dan mata melotot, serta nafas tertahan.

"Eh, ada Raras juga. Nginep di kamar Dita, Ras?" tanya Mas Duki, yang ga kami respon sama sekali.

"Dit... Dita," ucap Mbak Raras, pelan. Tangannya berusaha menggapai aku, tapi cuma dapet udara kosong aja, karena matanya masih tertuju ke Mas Duki. "Dita, masuk ke kamar. Cepetan..."

"Eh, apa Mbak?"

Aku yang masih mikir, berusaha mencerna kata-katanya Mbak Raras dengan proses yang lambat. Tapi Mbak Raras yang keliatan panik, langsung tarik aku menjauh dari Mas Duki. Dia ga peduli walaupun aku jalannya tertatih, yang jelas dia kayak orang ketakutan yang lagi menghindari sesuatu saat narik aku ke kamar. Sekilas, aku nangkep ekspresi keheranan Mas Duki saat ngeliat tingkah aneh kami berdua, sebelum aku dan Mbak Raras masuk kamar dan Mbak Raras menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Dia sampai kunci pintu dua kali putaran.

"Mbak... Mbak... itu... Mas Duki..." Aku menunjuk-nunjuk ke arah samping kamarku. "Kalo Mas Duki baru pulang, itu tadi... tadi suara langkah kaki yang kita denger... terus yang masuk ke kamar dia siapa, Mbak?!"

"Yang tadi... juga bukan Mas Duki, Dit," jawab Mbak Raras, tapi mukanya masih menghadap ke pintu.

"M-m-maksudnya?!"

Belum dapat jawaban dari Mbak Raras, ponselku tiba-tiba bunyi. Ada telepon masuk ternyata, dan pas aku liat di layar, nomornya Mas Duki. Aku dan Mbak Raras saling berpandangan, tapi Mbak Raras kasih isyarat tangan supaya aku angkat teleponnya. Pelan-pelan aku beraniin diri angkat telepon Mas Duki...

"Ha-halo... iya, Mas?"

"Dit, aduh kamu ini, saya teleponin susah banget. Kena pesan suara mulu." Begitu kalimat yang keluar di seberang telepon.

"Eh, pesan suara gimana, Mas? Hp saya aktif kok dari tadi nomornya..."

"Ah masa? Itu tadi kena ke pesan suara terus. Sampe abis pulsa saya teleponin kamu. Ah udahlah, udah nyambung ini. Jadi gini Dit, saya kan harus pulang ke rumah orangtua. Soalnya ada urusan dadakan. Saya mau minta tolong kamu buat titip kamar saya, bisa ga? Kuncinya saya titip ke Bu Kos, sih. Tapi kalo perlu sesuatu di kamar saya, kamu ambil aja dari Bu Kos. Saya udah titip pesen kok. Yaudah, cuma mau nyampein gitu aja, soalnya saya lama nih pulangnya. Semingguan. Makanya—"

"—Mas, jadi Mas Duki engga pulang ke kosan hari ini?!" tanyaku, langsung motong pembicaraan.

"He? Ya enggak lah Dit. Ga sempet pulang dulu tadi. Ini aja udah di jalan mau sampe rumah, langsung dari tempat kerja. Tadinya mau ngasih tau kamu pas pagi, eh kita ga ketemu. Kasih tau di telepon juga susah banget. Yaudah, gitu aja Dit. Udah dulu ya, teleponnya mahal nih pulsanya. Titip kamar saya ya—"

"—Mas Duki serius ga pulang? Mas Duki... lagi ngerjain kita ya?" potongku lagi. Aku langsung memberondong Mas Duki dengan pertanyaan gara-gara panik sekarang. "Soalnya, tadi kan—"

Mbak Raras langsung bekap mulut aku, lalu dengan bahasa isyarat, dia nyuruh aku untuk akhiri telepon. Di seberang sana, Mas Duki gantian nanya. "Tadi kan apa Dit? Emang ada apaan?"

"Oh, eh... engga Mas. Ga apa-apa. Tadi aku salah paham, ngira tetangga di sebelah kamar Mas Duki itu Mas Duki yang pulang. Yaudah Mas... udah dulu ya."

"Iya, Dit. Jaga diri aja. Udah ya Dit, makasih banyak loh. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam..."

Setelah telepon diputus, aku langsung lunglai. Saking lemesnya badanku, aku sampai nyender di tembok. Aku shock banget, pas tau kalau Mas Duki ternyata ga pulang hari ini. Terus, yang tadi mirip Mas Duki itu siapa? Dari mulai posturnya, suaranya, gesturnya, semua mirip banget sama Mas Duki. Kalau orang semirip itu bukan dia, terus itu siapa? Atau... itu apa?

"Dari pertama kali papasan tadi, aku udah tau kalo itu bukan si Masduki, Dit," kata Mbak Raras, buka omongan. "Kamu ga nyadar, karena kamu udah terlalu ketakutan. Sebenernya pikiran kita sama, kita berdua takut karena mikir kalau kita baru ketemu "Masduki" yang katanya baru pulang, terus suara langkah kaki yang kita denger sebelumnya itu suara siapa, ya kan?"

Aku ga bersuara, cuma dengerin omongannya Mbak Raras baik-baik. Mulutku udah terlalu kaku buat ngomong.

"Tau ga aku bisa tau itu bukan Masduki dari mana? Baunya. Bau Masduki tadi kayak bau prengus. Bau karet dibakar. Itu semerbak banget kecium loh baunya. Kamu nyium juga, ga?"

Aku menggeleng. "Tadi napas aja aku susah. Emang... itu kenapa kalo baunya begitu, Mbak?"

"Manusia, ga ada yang baunya kayak gitu, Dit. Yang aku tau, bau prengus begitu itu cuma bau... emmm..."

Ngeliat Mbak Raras yang ragu-ragu mau selesein omongannya, aku deketin Mbak Raras, lalu sodorin kuping kananku ke mulutnya. Seakan, kami tau harus berbicara dengan bagaimana.

"Itu... bau Genderuwo, Dita," bisik Mbak Raras, hati-hati.

Bulu-bulu di tengkukku langsung meremang hebat. Seakan ga cukup bikin aku ketakutan, ada hal aneh lain yang tiba-tiba terjadi. Ada suara geraman aneh kedengeran dari luar. Suaranya pelan, lirih, dan terasa jauh. Aku sama Mbak Raras saling berpandangan, saling kontak mata seakan menyiratkan kalau satu sama lain mendengar hal yang sama.

Setelah suara geraman itu hilang, mendadak ada bau lain di kamarku. Bau yang ga pernah ada sebelumnya. Bau... kentang rebus.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd