Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KUCUMBU TUBUH INDAHMU

Bimabet
BAB 5

Fania berjalan sendiri di salah satu mall terbesar yang ada di kota tempat dia tinggal. Dia baru saja selesai menghadiri acara launching produk gamis terbaru yang nantinya akan dijual di tokonya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang, adzan dhuhur pun sudah selesai berkumandang. Setelah sholat dhuhur di musholla yang ada di lantai paling atas, Fania segera keluar dari mall dan pergi ke rumah Aini, dengan taksi online. Tepat di saat Fania sampai di depan rumah Aini, pagar rumah itu pun terbuka. Sebuah mobil yang berjalan perlahan, berhenti di samping Fania. Fahri dan Aini menurunkan kaca jendela mobil.

"Lho, Fania? Mau mencari Ummi?" tanya Aini yang duduk di kursi tengah.

"Iya, Ummi, ada yang perlu Fania sampaikan," jawab Fania.

"Ya, sudah masuk saja kalau begitu. Ikut Ummi sekalian," ajak Aini.

Tapi..."

"Yuk, masuk. Bicara di dalam mobil saja." Aini langsung membuka pintu mobil. Fania terpaksa masuk ke dalam dan duduk di samping Aini. Fahri yang duduk di belakang kemudi, menganggukkan kepala pada Fania dengan sopan. Fania pun membalasnya dengan anggukan. Fahri pun melajukan kendaraan roda empatnya dengan kecepatan sedang.

"Ada apa, Fania? Kelihatannya ada yang penting sampai datang ke rumah."

"Iya, Ummi. Tadi malam Fania menemukan gelang permata. Fania nggak tahu ini punya siapa. Mungkin punya Ummi Aini." Fania mengeluarkan sebuah gelang permata dari tasnya kemudian menunjukkan pada Aini.

"Maaf, yang pasti bukan punya Ummi. Sepertinya itu punya Ummi Laila."

"Kalau begitu, Fania titip ke Ummi Aini saja, ya. Minta tolong Ummi Aini saja yang mengembalikan ke Ummi Laila," pinta Fania.

"Fania saja yang mengembalikan langsung ke Ummi Laila. Alhamdulillah rumahnya nanti kita lewati, arah tujuan kita sama. Fahri, nanti mampir ke rumah Fauzan, ya." Aini langsung menyuruh putranya menuju rumah Laila.

"Siap, Ummi," jawab Fahri dengan senang hati.

"Tapi Ummi ...."

"Nggak usah takut. Kalau Ummi Laila bicara macam-macam, biar Ummi nanti yang hadapi." Fania pun tak bisa membantah dan mencari alasan lagi. Dia pun diam dan menuruti ucapan Aini. Aini tersenyum melihat putranya yang berulang kali mengintip Fania dari kaca spion.

"Kalau nyetir itu fokus, jangan lihatin yang di belakang. Mama nggak mau kalau sampai calon menantu Mama nanti kenapa-kenapa karena kamu meleng." Fahri tertawa mendengar ucapan Aini.

"Ummi ini tahu saja ... hahaha ...."

"Ya tahulah, Ummi juga pernah muda."

Fania tertunduk malu dengan kedua pipi yang merona di balik cadarnya. Aini tak henti-hentinya menggoda putranya dan juga Fania.
Sekitar dua puluh menit, mereka pun sampai di depan rumah mewah berlantai dua. Seorang petugas sekuriti membukakan pintu pagar untuk mereka. Fahri, Aini, berjalan terlebih dahulu ke dalam rumah Laila. Sementara Fania mengikuti dari belakang.

"Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ... Ummi Aini, Fahri, apa kabar?" Seorang pemuda tinggi dan tampan berjalan mendekati mereka. Siapa lagi kalau bukan Fauzan. Kepala Fania semakin tertunduk mendengar suara yang sangat dikenalnya. Fauzan menjabat tangan Aini dan juga Fahri.

"Alhamdulillah baik, kamu kapan pulang?" tanya Aini.

"Sudah satu minggu yang lalu, Ummi. Silakan masuk, Umm. Ayo Fahri, kita ngobrol di dalam," ajak Fauzan.

"Yuk masuk, Fania." Mendengar Aini menyebutkan nama Fania, Fauzan langsung memandang ke arah gadis bercadar itu.

"Astaghfirullah ... maaf kalau aku sama sekali nggak memperhatikan. Ternyata kamu Fania? Tapi kok kamu bisa bareng sama Ummi Aini dan Fahri? Kalian sudah lama kenal?" Fauzan memberondong Fania dengan beberapa pertanyaan karena penasaran.

"Belum lama," jawab Fania singkat. Tiba-tiba perasaan Fauzan menjadi gelisah. Dia tak suka melihat kedekatan Aini dan gadis idamannya itu.

"Fania, kamu tidak ada hubungan apa-apa 'kan dengan Fahri?"

"Fania, jawab pertanyaanku. Ada hubungan apa kamu sama mereka?" Fauzan kembali bertanya karena Fania hanya diam. Fania menarik napas dalam, sebelum bicara. Dia merasa tatapan dan pertanyaan Fauzan terlalu mengintimidasi dan Fania tidak berniat memberi jawaban.

Itulah yang Fania tidak suka dari Fauzan, dari dulu dia terlalu pencemburu. Padahal mereka belum menjalin hubungan apa pun, tetapi sikap Fauzan seolah-olah Fania adalah miliknya.

"Maaf, Fania masuk dulu. Ada urusan yang lebih penting yang harus Fania selesaikan." Fania langsung meninggalkan Fauzan dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Fauzan terpaksa mengikuti langkah Fania dari belakang. Sementara Fahri memperhatikan dari pintu. Dia belum masuk ke dalam karena mendengar suara Fauzan yang memberi pertanyaan pada gadis bercadar itu. Fauzan pun langsung melotot saat melewati Fahri yang masih berdiri di depan pintu.

"Apa lihat-lihat? Jangan kepo urusan orang! Dan jangan ganggu Fania!" bentak Fauzan dengan emosi. Rasa cemburunya terlalu mendominasi.

Fahri hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Dia pun berjalan masuk dan duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Fahri duduk di samping kiri Aini. Sementara Fania duduk di samping kanan ibunya. Melihat posisi duduk mereka bertiga, membuat Fauzan semakin geram.

"Kursi di ruang tamu ini masih banyak yang kosong, kenapa bocah itu duduk di situ? Apa dia sengaja manas-manasin aku? Astaghfirullah ... sabar, jangan emosi. Kalau aku marah-marah, Fania nanti ilfeel lagi." Fauzan menggerutu dalam hati.

"Ummi kamu ada, Zam?" tanya Aini pada Fauzan.

"Sebentar, Umm, Fauzan panggilkan dulu. Ummi lagi di kamar, dari kemarin malam kurang enak badan," jawab Fauzan.

"Apa mungkin karena itu Ummi kamu pingsan waktu di rumah Fania?" Ucapan Aini sangat mengejutkan Fauzan. Perasaannya tiba-tiba tak tenang. Dia pun langsung memandang gadis bercadar yang duduk di hadapannya.

"Ummi pingsan di rumah Fania? Ummi ke rumah kamu?" tanya Fauzan tak percaya. Fania hanya mengangguk.

"Astaghfirullah ... mau apa Ummi ke rumah kamu, Fania? Maaf kalau ummiku bicara aneh-aneh sama kamu." Perasaan Fauzan semakin gelisah.

"Kamu tahu, ummimu datang ke ...."

"Tenang saja, Ummi Laila tidak bicara yang aneh-aneh, hanya silaturahmi saja." Fania langsung memotong ucapan Aini dan mengelus lembut lengan wanita di sampingnya. Aini pun mengerti, Fania ingin menyembunyikan kejadian yang sebenarnya.

"Kamu tidak bohong, kan?" Fania menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, tetapi Fauzan memandangnya tak percaya.

"Kalau nggak percaya, tanyakan saja pada ummi kamu nanti. Maaf, kedatangan Fania ke sini, mau mengembalikan gelang Ummi Laila yang jatuh di rumah. Ini, tolong berikan pada ummimu nanti."

Fania memberikan gelang permata yang sudah dibungkus dengan kantung plastic transparan pada Fauzan. Dia sengaja berbohong pada Fauzan karena tak ingin Fauzan bertengkar dengan ibunya. Fania pun yakin, Laila tak mungkin menceritakan kejadian yang sebenarnya pada putranya.

"Biar Fauzan panggilkan ummi...."

"Nggak usah, biarkan ummimu istirahat. Fania ke sini hanya ingin memberikan gelang itu saja. Fania pikir gelang itu punya Ummi Aini, makanya Fania ke sana. Qadarullah Ummi Aini mau pergi, jadi Fania diantar ke sini. Maaf, Fania harus pergi ke toko." Fania terpaksa menjelaskan karena tak ingin Fauzan salah paham.

"Baiklah, nanti Fauzan sampaikan. Terima kasih. Kalau Ummi Aini dan Fahri sibuk, biar Fauzan yang mengantar Fania ke toko." Fauzan menawarkan diri mengantar gadis pujaannya.

"Sayangnya kami tidak sedang sibuk. Biar kami yang mengantar Fania," sahut Fahri dengan cepat.

"Kalau begitu, Fania pamit dulu."

"Ummi juga pamit, sampaikan salam buat Ummi Laila." Aini beranjak dari duduknya, begitu pun dengan Fania.

"Insyaa Allah, Ummi." Fauzan pun ikut berdiri dan mengikuti langkah kedua wanita di depannya. Fahri menepuk pundak Fauzan, sengaja menggoda pemuda tampan itu. Fahri tahu, Fauzan cemburu padanya.

"Pamit ya, Bro. Aku mau jalan-jalan dulu sama Fania."

"Jangan macam-macam kamu! Dia milikku!" tegas Fauzan.

"Kita lihat saja nanti, siapa yang menang!" Ucapan Fahri semakin membuat Fauzan geram.

"Sial!!" umpat Fauzan.

Fahri yang mendengarnya terkekeh, merasa terhibur dengan tingkah Fauzan yang terlihat sangat marah. Dia pun mengucap salam dan melambaikan tangan kanannya pada Fauzan.

"Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...." Fauzan menjawab salam Fahri dengan terpaksa. Dia hanya bisa memandang kepergian kendaraan roda empat Fahri, sampai hilang dari pandangan. Fauzan sedih, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Fania bukan istrinya. Dia tak bisa seenaknya melarang Fania berhubungan dengan Fahri atau pun pria lain yang berniat mendekatinya.

"Aku harus segera membuat ummi menyetujui hubunganku dengan Fania secepatnya!" tekad Fauzan dalam hati.

Fauzan berjalan menuju kamar Laila. Berulang kali dia mengetuk pintu dan memanggil Laila tapi tak ada jawaban. Dia langsung masuk ke dalam kamar Laila yang tidak terkunci. Terlihat olehnya Laila sedang duduk di sofa dekat jendela. Laila sedang melamun, sembari memandang ke arah luar jendela.

"Ummi...."

"Eh, Fauzan ... ada apa?" Laila terkejut dan bertanya pada Fauzan yang duduk di hadapannya.

"Maaf, tadi Fauzan langsung masuk. Soalnya Fauzan panggil-panggil, nggak ada jawaban. Ummi kenapa, Ummi sakit?" Wajah putih Laila terlihat semakin putih karena pucat.

"Tadi ada tamu, ya?" Laila tak berniat menjawab pertanyaan Fauzan. Sebenarnya dia mendengar suara beberapa orang di ruang tamu, tetapi Laila enggan keluar kamar.

"Iya, Ummi Aini, Fahri dan Fania." Laila terkejut saat Fauzan menyebutkan nama gadis bercadar itu.

"Fa... Fania?"

"Iya, dia memberikan gelang Ummi yang jatuh di rumahnya. Kenapa Ummi nggak bilang kalau Ummi ke rumah Fania? Untuk apa Ummi ke sana? Tolong, Ummi, jangan bicara macam-macam sama Fania. Dia gadis yang baik, dia tidak pernah menggoda Fauzan. Fauzan yang selama ini selalu mendekatinya. Kalau Ummi ingin menyalahkan, salahkan Fauzan, Ummi." Fauzan berusaha memberi penjelasan pada ibunya.

Laila menerima gelang permata dari putranya kemudian memakainya. Dia memandang Fauzan sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke arah luar jendela kamar. Laila menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Perasaannya masih gelisah, mengingat gadis yang dipuja putranya adalah putri dari pria yang pernah membuatnya jatuh cinta.

Apakah dunia sesempit itu? Apakah tidak ada lagi gadis di dunia ini yang membuat putranya tertarik? Bahkan Fauzan sudah memuja gadis bercadar itu sebelum melanjutkan kuliahnya ke luar negeri. Apakah di sana tidak ada gadis yang membuatnya jatuh cinta? Kenapa setelah kembali ke Indonesia, dia masih saja mendambakan Fania? Ya Allah, aku harus bagaimana menghadapi masalah putraku ini? Pikiran Laila dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang dia sendiri tidak bisa menjawabnya. Laila bingung, gelisah, sebagian hatinya ingin menerima Fania, Sebagian lagi menolak. Laila mengakui, Fania memang gadis yang baik, sabar, sopan, dan jujur. Sifatnya sama persis dengan Ustad. Dulu Laila jatuh cinta pada Ustad, karena semua sifatnya itu. Lalu sekarang, putranya seperti dia, mencintai gadis dari keturunan Jawa, bukan keturunan Arab yang menjadi syarat dari kakek neneknya.

"Ummi, apa yang Ummi pikirkan? Ummi belum menjawab pertanyaanku. Kenapa Ummi ke rumah Fania? Kata Fania, Ummi hanya silaturahmi saja, apakah itu benar?" Fauzan heran melihat sikap Laila hari ini. Laila cenderung diam, tidak cerewet seperti biasanya. Bahkan semenjak tadi malam, ibunya mengurung diri di kamar.

"I... iya, Ummi ke sana hanya ingin silaturahmi saja, tidak ada maksud apa-apa," jawab Laila terbata. Dia sangat bersyukur karena Fania tak menceritakan kejadian yang sebenarnya.

"Benarkah? Apa Ummi nggak marah-marah? Terus kenapa Ummi pingsan? Kenapa Ummi nggak telepon Fauzan untuk menjemput Ummi? Meskipun Fauzan ada di kantor, Fauzan pasti akan datang menjemput Ummi." Fauzan memberondong pertanyaan, membuat Laila bingung mencari jawaban.

"Ummi Aini dan Fahri yang mengantar Ummi pulang,” jawab Laila singkat.

"Makanya kok Ummi Aini tahu kalau Ummi pingsan. Tapi kenapa Ummi Aini dan Fahri ke rumah Fania? Apa mereka sudah lama kenal? Ada hubungan apa mereka? Apakah Ummi tahu?" Laila mendesah, Fauzan tak henti-hentinya bertanya tentang kejadian tadi malam di rumah Fania. Dia tahu putranya tak akan terima jika tahu Aini ingin menjadikan Fania menantunya.

"Fauzan, lupakan dia. Fania itu calon menantunya Ummi Aini. Dia calon suaminya Fahri. Mereka berniat ta'aruf. Sebentar lagi mungkin Fahri akan melamar Fania." Fauzan terkejut mendengar penjelasan ibunya, pikirannya kacau. Dia berdiri dengan kedua tangan mengepal menahan emosi.

"Tidak! Fauzan tidak terima! Semua ini salah Ummi! Kalau Ummi sayang sama Fauzan, Ummi harus segera melamar Fania untuk Fauzan!" Laila kembali menarik napas panjang, sebelum membalas permintaan Fauzan. Apakah sekarang saatnya dia harus mengalah demi kebahagiaan putranya? Dia tahu putranya sangat mencintai Fania, seperti dirinya dulu mencintai Ustad.

Laila sadar, cinta bertepuk sebelah tangan sangatlah menyakitkan. Bahkan dirinya dulu sempat depresi, karena sakit hati dan membalas sakit hatinya dengan cara yang salah. Laila tidak ingin Fauzan seperti dirinya. Dia harus menyingkirkan gengsi demi kebahagiaan putranya.

"Fauzan ... beri Ummi waktu. Ummi juga harus bicara sama abimu. Abi belum pulang dari luar kota. Kamu harus sabar." Laila mencoba memberi pengertian pada Fauzan.

"Bagaimana kalau keduluan Fahri, Ummi?" Melihat kedekatan Fania dengan Aini dan Fahri, Fauzan sangat takut kehilangan gadis pujaannya itu.

"Fauzan ... nanti Ummi akan coba bicara dengan Mas Ustad ... eh maksud Ummi, Pak Ustad." Laila salah bicara dan bersyukur putranya itu tidak memperhatikan.

"Jadi Ummi setuju kalau Fauzan menikah dengan Fania?" tanya Fauzan tak percaya.

"Kita harus membicarakan dengan keluarga besar, Fauzan. Kamu tahu sendiri bagaimana kakek dan nenekmu ...."

"Apa kita tidak bisa mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan kakek nenek?" Fauzan kesal karena kakek neneknya selalu mencampuri urusan mereka.

"Kamu tahu sendiri bagaimana karakter kakek nenekmu. Kita tidak bisa membantah ucapan mereka. Abimu juga pasti tidak setuju kalau kita harus menentang kakek nenekmu. Fauzan, berdo'alah, semoga Fania memang jodohmu. Ummi tidak bisa banyak membantu." Fauzan mengangguk pasrah.

"Baiklah, Ummi. Fauzan akan bersabar dan berdo'a. Ummi mau menerima Fania saja, Fauzan sudah bahagia. Tapi ... kenapa Ummi tiba-tiba setuju? Bukankah kemarin Ummi sangat menentang Fauzan berhubungan dengan Fania?" Fauzan penasaran dengan perubahan sikap ibunya.

"Ehmm ... itu karena ... karena ...."

"Pasti karena Fania baik dan sopan, kan? Ummi sudah buktikan sendiri kalau Fania bukan gadis biasa. Dia juga punya usaha toko busana muslimah sendiri. Dia gadis shalihah dan mandiri. Suaranya lembut, itu yang membuat Fauzan jatuh cinta. Fauzan yakin di balik cadarnya, Fania adalah gadis yang sangat jelita."

"Ummi juga yakin, karena waktu mudanya Ustad sangat tampan." Laila pun setuju dengan ucapan Fauzan, meskipun hanya bisa dia ungkapkan dalam hati.

"Semoga saja." Laila hanya bisa mendo'akan putranya. Fauzan beranjak dari duduknya dan bersimpuh di depan Laila. Digenggamnya kedua tangan ibunya dengan lembut.

"Ummi, Fauzan minta maaf karena sudah marah sama Ummi. Maafkan Fauzan, ya, dan terima kasih karena sudah mau mendukung Fauzan untuk mendapatkan Fania."

"Semua Ummi lakukan untuk kebahagiaanmu, Fauzan," balas Laila sembari mengusap sudut matanya. Laila berjanji, meskipun tidak yakin berhasil, dia akan berjuang mewujudkan harapan putranya.

*******

Sementara itu di dalam mobil, Aini selalu mengajak bicara Fania. Dia sangat menyukai suara lembut gadis bercadar itu.

"Fania, kita makan dulu, yuk! Ummi yakin kamu pasti belum makan siang," ajak Aini.

"Maaf, Ummi, insyaa Allah Fania puasa sunnah hari ini." Fania terpaksa menolak ajakan Aini karena sedang puasa sunnah. Puasa Senin-Kamis yang sudah dijalankan Fania semenjak masuk pondok pesantren.

"Masyaa Allah, kamu benar-benar gadis muda yang shalihah. Ummi semakin kagum sama kamu." Aini merangkul pundak Fania yang duduk di sampingnya.

"Ummi jangan berlebihan, tidak baik terlalu memuji seseorang. Fania juga banyak kekurangan, Ummi saja yang belum mengenal Fania."
Aini tersenyum mendengar ucapan Fania, begitu juga Fahri. Sesekali ekor mata pemuda itu melihat Fania dari kaca spion.

"Tapi Ummi yakin kamu calon menantu dan istri yang baik. Fania, kalau boleh Ummi bertanya, kamu sudah lama mengenal Fauzan?" tanya Aini penasaran. Sikap Fauzan memperlihatkan kalau dia sangat mengenal Fania.

"Sudah, Ummi, Fauzan kakak tingkat angkatan waktu kuliah dulu," jawab Fania terus terang.

"Ooh, begitu."

"Maaf, kalau Fania bertanya. Ummi sendiri apa ada hubungan saudara dengan Fauzan?" Aini menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

"Tidak, kami sama sekali tidak ada hubungan saudara dengan keluarganya Fauzan. Dulu Fauzan dan Fahri satu pondok pesantren. Makanya kami kenal karena kami sering bertemu saat terima raport dan juga waktu acara pertemuan wali santri."

Fania mengangguk mengerti dan dia merasa bersyukur mendengar jawaban Aini. Bukannya Fania terlalu percaya diri, tetapi dia yakin Fahri juga menaruh hati padanya. Bagaimana kalau Fauzan dan Fahri bersaudara? Fania tidak ingin terjadi pertengkaran sesama saudara karena dirinya. ania memandang ke arah luar jendela. Dia mengenal daerah yang sedang mereka lewati saat ini.

"Maaf, Ummi, sepertinya Fania akan langsung pulang saja. Daerah ini lebih dekat sama rumah Fania dari pada ke toko."

"Terus tokomu?"

"Insyaa Allah, Mawar dan Citra sudah bisa mengurusnya dengan baik. Mereka insyaa Allah amanah. Selama Fania kuliah juga Mawar yang mengelolanya bersama satu orang lagi, tapi sekarang dia sudah resign." Aini mengangguk mengerti.

"Jadi ini langsung ke rumah?" Fania mengangguk yakin.

"Iya, Ummi, kalau Ummi dan Fahri ada urusan, Fania biar turun di sini. Fania bisa naik angkot atau taksi online," jawab Fania dan Fahri langsung menyahuti ucapan gadis itu.

"Kita antar sampai rumah, jangan pulang sendirian. Aku tadi sudah janji sama Fauzan akan mengantarmu sampai tujuan.” Aini tersenyum mendengar ucapan putranya. Fahri sudah mulai menunjukkan tanggung jawabnya meskipun dengan alasan Fauzan. Selama ini putranya itu selalu bersikap tak peduli pada lawan jenisnya, bahkan dengan Shella. Namun pada Fania, Fahri terlihat peduli.

"Baiklah, terima kasih," balas Fania pasrah, tak ingin membuat perdebatan jika dia memaksa pulang sendiri.

"Sama-sama, Fania. Entah kenapa, Umi sangat sayang sekali sama kamu. Ummi boleh 'kan sering main ke rumahmu?" Aini kembali merangkul pundak gadis itu. Fania tersenyum di balik cadarnya dan mengangguk mengiakan.

"Boleh, Ummi, silakan. Fania juga senang Ummi berkenan main ke rumah orang tua Fania," jawab Fania dengan sopan.

"Setelah urusan Fahri dengan Shella selesai, insyaa Allah Ummi akan langsung melamar kamu untuk Fahri. Kamu mau 'kan jadi menantu Ummi?"

Fahri menggelengkan kepala mendengar pertanyaan ibunya pada gadis itu. Ibunya benar-benar sudah tak sabar, meskipun Fahri juga setuju. Apalagi mengingat sikap Fauzan, Fahri semakin bersemangat untuk mendapatkan Fania.

"Sebuah penghormatan bagi Fania jika Ummi benar-benar ingin menjadikan Fania menantu. Tapi terus terang saja, masalah jodoh Fania menyerahkan semuanya sama Allah dan juga Abi. Jika Abi setuju, insyaa Allah Fania juga setuju." Aini kembali tersenyum mendengar jawaban Fania.

"Kamu memang berbeda, Fania."

"Fania hanya ingin berbakti pada Abi dan Ibu. Fania juga sangat yakin, pilihan Abi pasti yang terbaik buat putrinya." Fania memberi pengertian agar Aini tidak salah paham.

"Ummi mengerti. Ummi perhatikan abimu sangat baik dan sabar. Pantas saja anak gadisnya juga sabar." Fania hanya tersenyum.

Kendaraan yang dikemudikan Fahri pun berhenti, tepat di depan pagar rumahnya.

"Sudah sampai, Ummi. Silakan kalau mau mampir dulu."

"Maaf, kami harus pergi, ada urusan yang harus diselesaikan.” Aini menolak karena harus menghadiri pertemuan dengan keluarga Shella.

"Sekali lagi, terima kasih, Ummi. Terima kasih, Fahri." Fahri mengangguk sopan dan tersenyum. Aini mencium kedua pipi Fania sebelum gadis itu turun dari mobil.

"Sama-sama, kami pergi dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam ...."

Fania berdiri di depan pagar rumahnya. Fahri membunyikan klakson sebelum melajukan kendaraannya. Fania memperhatikan kendaraan roda empat itu sampai hilang dari pandangan. Tanpa disadari, seseorang sudah berdiri tepat di belakangnya.

"Itu tadi siapa, Fania?"

Fania sangat terkejut hingga melompat, menghindari Alif yang berjarak sangat dekat dengannya.

"Astaghfirullah ... kamu bikin kaget saja, lif!" Alif hanya menyengir dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Hehe ... maaf. Tadi itu siapa? Sepertinya bukan cowok yang kemarin. Siapa namanya? Fauzi…eh…Fauzan, ya" tanya Alif penasaran.

"iya, itu tadi bukan Fauzan. Itu Fahri dan umminya," jawab Fania terus terang.

"Oooh ... siapa dia?"

Alif kembali bertanya tanpa malu-malu. Dalam hati, dia kagum dengan wajah tampan yang baru saja dilihatnya.

"Hanya kenalan ...."

"Bukan calon suami? Soalnya ... ganteng banget! wajahnya kearab-araban gitu. Apa memang kamu suka cowok Arab ya, Fania? Eh ... maaf, Alif jadi kepo." Fania menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum, melihat tingkah Alif.

"Kamu ini ada-ada saja. Fauzan dan Fahri itu hanya kenalan Fania, bukan siapa-siapa. Soal wajah dia seperti itu, ya memang nggak sengaja. Fania tidak pernah pilih-pilih dalam berteman. Entah itu Arab, Jawa, Sunda, Amerika, Ambon, kalau memang mereka ingin berteman dengan Fania, insyaa Allah Fania akan terima."

"Kalau soal jodoh, kamu lebih suka yang seperti apa? Seperti fauzan, Fahri, atau yang keturunan Jawa?" Fania terkekeh mendengar pertanyaan pemuda di hadapannya.

"Kalau soal jodoh, silakan dekati abi. Kalau abi suka dan setuju, Fania akan terima. Entah itu Arab atau Jawa. Sudah, ya, Fania masuk dulu. Kamu kok nggak kerja?" Waktu masih menunjukkan pukul dua siang, tetapi Alif sudah ada di rumahnya.

"tadi dikantor ada acara syukuran, jadi pulang jam satu. Terus ini tadi disuruh ummi nganter kue buat tante Laras." Fania mengangguk mengerti, kenapa Alif berada di halaman rumahnya.

"Terima kasih, ya. Fania masuk dulu. Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

Alif memandang Fania yang berjalan masuk ke dalam rumah. Gamis longgar berwarna maroon dengan khimar panjang warna hitam, membuat penampilan Fania terlihat sexy dan elegan.

"Hemm ... masih ada kesempatan, nih! Aku harus deketin om Ustad!" Alif bertekad dalam hati.
Alif pun melangkah pergi, meninggalkan rumah Fania. Dia berjalan perlahan, sesekali melompat kegirangan. Bisa bicara dengan fania berdua saja, perasaan Alif senangnya tak karuan.​

********

"splooookk.... splooookk...... splooookk...... splooookk....." Baru sekitar 5 menit alif melakukan penetrasi tiba-tiba

“uhhhh...ouuhhh...ehhmmmm...ouuhhh..uhhh” suara itu keluar dari mulut humaira yang berusaha ia sembunyikan dengan menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Alif hanya tersenyum mendengar suara itu

“eeeeeehhhmmmmmmmmm” suara itu keluar setiap kali alif menarik kontolnya dan “oooooouuuuhhhhhhhhhhh” setiap kali alif memasukannya lebih dalam lagi.

Dengan lembut alif mencabut kontolnya dan memasukannya lagi kedalam memek umminya yang lembut itu hingga dia bisa merasakan gesekan kulit kelamin mereka setiap incinya.

“enak kan ummi” bisik ku pelan padanya

Humaira tidak menjawabnya tapi expresi wajahnya menunjukan betapa dia menikmatinya. Alif mempercepat goyangannya

“ouhhh...oooouuuhhhh...oooouuuhhhh”

"splooookk.... splooookk......s plooookk...... splooookk....." suara itu makin kencang seiring dengan goyangannya.

Saat humaira hendak mencapai klimaksnya alif kembali bertanya

“enak ga ummi..?”

“iya lif ini enak banget” ucap humaira memandang mata alif

“lanjutin ga nih” godaku lagi

“lanjutin lif, ummi mohon”

“ouuuhhhh....ouuuhh...ouuuhhhh.....oouuuhhh”

"splooookk.... splooookk...... splooookk...... splooookk....." suara itu kembali keluar saat alif memompa penisnya kurang dari 3 menit kemudian humaira berkata

“ummi keluar ...ummi keluar... ini keluar” ucap humaira sebelum

“oooooooohhhhhhhhhhhhhhhh....” lenguh humaira panjang sambil badannya bergetar dan menggeliat seperti cacing kepanasan. Kontol alif serasa seperti diremas-remas

Humaira mendapat orgasmenya yang pertama kemudian alif membiarkan umminya menikmatinya sejenak. Setelah alif merasa umminya sudah sadar dia cabut kontolnya. Kemudian alif arahkan umminya untuk berbalik masih dengan baju gamisnya. alif menunggingkan umminya dan mengangkat baju gamisnya. Blessss kontol alif masuk sepenuhnya karna memang sudah licin berkat cairan orgasmenya tadi.

“pelan lif, ummi belum terbiasa posisi begini dan punya kamu terasa lebih sesak di banding sebelumnya”

"splooookk.... splooookk...... splooookk...... splooookk....."

Alif tidak menjawabnya dan langsung memompa penisnya dengan cepat.

“eeeeeehhhmmmmmmmmm... oooooouuuuhhhhhhhhhhh.....” suara itu kembali keluar setiap kali alif menarik kontolnya dan memasukannya lagi. Alif menghentikan sejenak sambil menarik kedua kaki umminya supaya dia berposisi tengkurap dan alif menyodokan lagi kontolnya di memek umminya. Ternyata humaira tidak kuat dalam posisi itu karna tak lama dia berteriak.

“alif….. ummi mau keluar lagi.. ummi keluar.. oooooooohhhhhhhhh” kembali badan humaira menggeliat dan bergetar alif mendiamkan kontolnya di dalam memek umminya menikmati remasan yang di berikan saat umminya mendapatkan orgasme nya. Kemudian alif mencabut kontolnya dari memek umminya dan dia berbaring di samping umminya.

“kamu udah keluar alif?” humaira bertanya saat kenikmatan orgasmenya berkurang.

“belum ummi, tapi alif pengen ummi di atas” pinta alif

Humaira kemudian bangkit dan berjongkok tepat di atas penis alif dan mengarahkanya masuk.

“oooohhhh” desah Humaira saat penis alif masuk seutuhnya

Kemudian humaira menggoyangkan tubuhnya, saat umminya bergoyang alif seperti tak kuasa menahan kenikmatan yang di berikan. Langsung alif begulir kesamping dan memposisikan tangannya di lutut uminnya dan memompanya dengan keras.

"splooookk.... splooookk...... splooookk...... splooookk....."

“alif...ooohhh...aliiiff...ooohhhh” teriak humaira saat kontol alif menghujam memeknya dengan tusukan

“ummi mau keluar lagi.” Ucap humaira

“aliiiff…. ummiii keluar... oooooooohhhhhhhhhh” disusul orgasme Humaira yang ke tiga.

Saat alif merasa akan kelur dia cabut kontolnya "Crooottt...crrooott...crooot.." alif menyemburkan pejunya di badan dan wajah umiinya. mereka saling diam menikmati sisa orgasme mereka dengan nafas yang sama-sama terengah-engah.

**********

Keesokan harinya, Fania berangkat bekerja bersama Bambang. Setelah sampai dan membersihkan ruangan, Fania memeriksa laporan penjualan yang sudah diletakkan Mawar di meja kerjanya.

Pukul setengah delapan tepat, Mawar dan Citra pun datang. Mereka menjalankan aktivitas seperti biasanya. Tak lama kemudian beberapa pembeli pun berdatangan. Ada yang hanya melihat-lihat dan langsung pergi, ada yang membeli, ada juga yang bertanya langsung pada Fania karena ingin pesan dalam jumlah banyak. Mereka bertiga melayani semua yang datang dengan ramah. Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam toko dan langsung mendekati Fania yang duduk di depan meja kasir.

"Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

"Masih ingat sama Ibu?" Wanita itu tersenyum pada Fania.

"Ibu Maryam, kan? Yang waktu itu beli beberapa set gamis untuk acara pernikahan?" Maryam pun menjabat tangan Fania.

"Betul, bagaimana kabarmu, Fania?"

"Alhamdulillah baik, Bu. Ada yang bisa Fania bantu?"

"Ibu mau mencarikan set gamis untuk calon menantu Ibu. Tolong pilihkan yang bagus untuk acara santai."

"Siap, Bu."

"Seandainya saja anak Ibu belum punya pacar, Ibu ingin menjodohkannya dengan kamu, Fania."

"Ah, Ibu bisa saja."

"Bener lho, Fania. Pertama kali Ibu lihat kamu, Ibu sudah suka."

"Calon menantu Ibu mana? Biar Fania bisa memilihkan model dan warna yang tepat untuk calon menantu Ibu." Fania berusaha mengalihkan topik pembicaraan mereka.

"itu mereka!" Maryam menunjuk ke arah dua orang yang baru saja masuk dan berjalan ke arah mereka. Fania mengernyitkan dahi, merasa pernah melihat gadis yang bergandengan tangan dengan seorang pria berkulit putih bersih.

"Shella?" Tanpa sadar Fania menyebut namanya.

"Kalian sudah kenal?" Maryam heran dan juga pemasaran.

Shella sangat terkejut melihat gadis bercadar itu. Meskipun Shella tak mengenal Fania tetapi dia langsung mengingatnya. Pertemuannya dengan Fania di rumah Fahri, sangat tidak menyenangkan baginya. Shella pun tersenyum penuh arti dan memasang ekspresi wajah sedih.

"Shella, kamu kenal Fania?" Maryam bertanya pada Shella karena Fania pun hanya diam, tak ingin memberi jawaban.

"Tante ... Shella nggak kenal sama Fania. Tapi ... dia ini, cewek yang sudah merebut calon suami Shella ...."

"Kalau begitu, kita jangan beli gamis di sini. Ayo kita pergi." Pemuda yang Bernama Bagas itu memandang benci Fania.

"Bagas ...."

"Ayo, Ma, kita pergi. Masih banyak toko atau butik yang lebih bagus. Kasihan Shella kalau dia harus memakai pakaian dari toko ini. Pasti Shella sakit hati." Bagas dengan cepat memotong ucapan ibunya.

"Terima kasih, Mas, kamu sangat pengertian." Shella melirik ke arah Fania dan tersenyum licik. Mereka pun beranjak pergi keluar meninggalkan toko, tanpa menunggu Maryam.

"Fania, maafkan anak Ibu..."

"Tidak apa-apa, Bu, Fania mengerti. Tapi kalau boleh Fania menjelaskan, Fania sama sekali tidak merebut calon suaminya. Fania juga baru pertama kali bertemu dengan Shella. Percaya atau tidak, itu semua hak Ibu." Fania berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Maryam tersenyum dan mengangguk.

"Ibu... lebih percaya padamu. Ibu pamit dulu, nanti kapan-kapan Ibu akan main ke sini. Boleh, kan?" Fania tidak menduga tanggapan Maryam seperti itu.

"Silakan, Bu, dengan senang hati." Maryam kembali menjabat tangan Fania.

"Terima kasih, Fania. Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

Fania memandang kepergian Maryam sampai hilang di balik pintu. Dia Kembali menggelengkan kepala mengingat tuduhan Shella.

"Ada-ada saja, aku merebut Fahri katanya. Dia harusnya sadar kalau pernikahannya batal karena ulahnya sendiri. Baru juga dibatalkan, sekarang sudah punya calon suami lagi. Keren sekali anak muda sekarang. Astaghfirullah ... mulutku ini kenapa jadi ngomel sendiri?"
Setelah Mawar datang menggantikannya, Fania beranjak pergi menuju ruangannya sendiri. Bibirnya tak henti-hentinya mengucapkan istighfar berulang kali, merasa berdosa karena membicarakan Shella.

*********





 
Mantap suhu apa LG cerita lebih panjang dan tambah LG ibu si pania dan wanita2 ustadz di hantem sama Alif..di tunggu cerita nya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd