Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KUCUMBU TUBUH INDAHMU

Bimabet
BAB 14


Setelah sampai di rumah, Fahri segera membersihkan badan dan berganti pakaian. Dia mengambil tas ransel kemudian memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya. Fahri berpamitan pada Aini dan kembali ke rumah Fania dengan langkah tak sabar. Suasana rumah Fania sepi karena Bambang dan Laras sudah masuk ke dalam kamar. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Fahri membuka pintu kamar dengan perlahan. Fahri melihat Fania duduk di tepi ranjang dengan memakai gamis dan khimar panjangnya lengkap dengan cadarnya.

"Fania, kamu mau ke mana?" tanya Fahri heran.

"Alhamdulillah Mas sudah datang. Hampir saja lupa, kita 'kan ada undangan dari Bu Maryam."

Mendengar jawaban Fania, Fahri menggelengkan kepala dan mengucap istighfar. "Astaghfirullah ... Kamu masih sakit, Fania. Lihat wajahmu masih pucat."

"Tapi, Mas, Fania sudah janji sama Bu Maryam kalau mau datang. Fania takut Bu Maryam menunggu. Dia kemarin bilang, meskipun malam, Fania harus datang. Fania hanya ingin menepati janji, Mas," balas Fania tak mau menyerah.

"Fania, jangan karena memikirkan perasaan orang lain kamu jadi tidak memikirkan diri sendiri." Fahri mengingatkan Fania dengan sabar.

"Tapi, Mas, Fania harus datang." Fania tetap pada pendiriannya. Fahri pun terpaksa menuruti keinginan istrinya.

"Ya sudah, kita ijin bapak sama ummi dulu. Kalau diijinkan, kita datang. Sampai sana, salaman terus pulang."

"Terima kasih, Mas."

Fania langsung memeluk tubuh tegap suaminya secara spontan. Rasa bahagia membuat Fania lupa dengan siapa dia berbicara. Tubuh Fahri membeku karena baru pertama kali merasakan pelukan seorang gadis. Dia bahkan bingung harus bagaimana bersikap saat ini. Membalas pelukan atau membiarkannya?

Sementara Fania langsung melepas pelukan. Bau harum parfum Fahri yang berbeda membuatnya sadar. Suasana menjadi canggung tetapi membuat Fahri bahagia. Wajah Fania memerah karena malu dan dia pun menjadi salah tingkah.

"Maaf ... Fania spontan tadi ...."

"Nggak apa-apa, kita 'kan sudah halal. Kalau mau peluk lagi, aku ikhlas kok." Fahri tersenyum menggoda.

"Hemm ... maunya!"

"Ayo kita berangkat, mumpung belum terlalu malam."

Fania mengangguk setuju. Mereka keluar kamar dan berdiri di ruang tamu.

"Abi sama ummi sepertinya sudah tidur. Kita langsung berangkat saja," ujar Fania, tak ingin menggangu kedua orang tuanya.

"Tapi janji, ya, sebentar. Aku nggak mau kamu bertambah sakit." Fahri Kembali mengingatkan.

"Iya, Mas. Fania janji."

Akhirnya mereka berdua berangkat menuju rumah Maryam. Selama dalam perjalanan, pandangan mata Fania fokus ke depan. Sesekali Fahri melirik ke arah Fania dan tersenyum, mengingat pelukan tak sengaja yang membuat jantungnya berdebar dan tubuhnya terasa kaku. Sesampainya di rumah Maryam, mereka berdua disambut wanita paruh baya itu dengan ceria. Suasana rumah Maryam sepi, karena pesta pernikahan Bagas dan Shella diadakan di hotel tadi siang. Maryam langsung memeluk dan mencium kedua pipi Fania dengan perasaan rindu.

"Alhamdulillah Fania, akhirnya kamu datang. Terima kasih. Ini siapa?" tanya Maryam penasaran, melihat pemuda tampan yang berdiri di samping Fania.

"Ini Fahri, Bu," jawab Fania terus terang.

"Oh ini yang dulu calon suaminya Shella?" Fahri terpaksa mengangguk.

"Iya, Bu."

"Tapi kenapa kalian bisa datang bersama? Bukankah Fania nggak pernah pergi dengan yang bukan mahramnya?" tanya Maryam heran.

"Kami sudah halal, Bu. Tadi pagi kami sudah menikah," jelas Fania.

"Masyaa Allah, selamat buat kalian berdua. Maafkan Ummi. Ummi terlalu memaksamu datang ke sini. Padahal kalian juga baru saja menikah," balas Maryam menyesal.

"Tidak apa-apa, Bu. Fania senang kok bisa bertemu Ummi."

"Terima kasih, Fania. Ummi bersyukur kenal denganmu."

Beberapa menit kemudian, Fahri segera berpamitan.

"Bu, maaf sebelumnya. Kami tidak bisa lama-lama karena Fania sebenarnya kurang enak badan. Setelah ini, kami langsung pulang," ucap Fahri dengan sopan.

"Kalian nggak makan dulu?"

"Maaf, Bu, nggak usah. Fania ke sini tujuannya bertemu dengan Ummi."

"Sekali lagi terima kasih, ya."

"Bagas sama Shella ke mana, Bu? Kok sepi?" Fania sama sekali tak melihat keberadaan sang pengantin di rumah itu.

"Mereka langsung pergi bulan madu ke Lombok," jawab Maryam sembari menarik napas dalam. Fahri memperhatikan wajah sedih wanita paruh baya itu.

"Ummi sendirian?"

"Ada Bi Sumi."

"Kalau begitu kami pulang dulu, Bu," pamit Fania terpaksa meskipun sebenarnya tak tega. Maryam terlihat kesepian.

"Sekali lagi terima kasih, Fania, Fahri. Semoga kalian menjadi keluarga Sakinah mawaddah wa rahmah."

"Aamiin ...."

Fania mencium kedua pipi Maryam sebelum meninggalkan rumah besar itu. Selama dalam perjalanan pulang Fania dan Fahri sama-sama diam, larut dalam pikiran masing-masing. Beberapa saat kemudian Fahri pun memulai percakapan. Dia mengerti istrinya sedang sedih.

"Kelihatannya kalian berdua akrab, seperti ummi dan anak. Apa kalian kenal sudah lama?" tanya Fahri penasaran.

"Tidak juga. Tapi pertama kali bertemu, Bu Maryam sudah terlihat sayang sama Fania, seperti Ummi Aini."

"Kamu memang memiliki aura kasih."

"Seksi dong!"

"Istriku memang seksi." Fania berdecak sebal, Fahri tertawa.

"Kasihan juga melihat Bu Maryam. Kaya raya tapi kok kelihatannya nggak bahagia. Aku lihat wajahnya murung," ucap Fahri dan Fania pun membenarkan.

"Ya begitulah, anaknya keras kepala. Nggak pernah mendengar nasihat umminya."

"Habis pesta langsung bulan madu. Sepertinya oke juga."

"Maksudnya?" tanya Fania tak mengerti. Fahri pun tersenyum penuh arti.

"Minggu depan kita bulan madu, yuk!"

"Jangan cemberut, aku hanya bercanda. Aku akan mengurus surat pernikahan kita dulu. Kalau selesai baru kita bulan madu. Bagaimana?" Fahri meralat ucapannya.

"Insyaa Allah."

"Fania, apa kamu ingin kita mengadakan pesta pernikahan lagi?" tanya Fahri.

"Terus terang Fania nggak ingin. Jangan menghambur-hamburkan uang. Tujuan mengadakan pesta pernikahan itu 'kan untuk mengumumbkan kalau kita sudah sah biar tidak menjadi fitnah. Bukankah tadi pagi kita sudah mengumumkan pernikahan kita?" jawab Fania.

"Barangkali saja kamu ingin seperti gadis-gadis yang lain. Pakai baju pengantin dan duduk di pelaminan." Fania menggelengkan kepala tanda tak setuju.

"Maaf, Mas, Fania sama sekali nggak ingin seperti itu. Sungguh. Kecuali kalau Mas yang menginginkan pesta seperti itu, Fania nurut saja," sahut Fania.

"Tidak, aku sama denganmu. Aku tidak menginginkannya."

"Mas, kalau Mas menyuruhku tinggal di rumah Ummi, aku mau," ucap Fania terus terang,

"Alhamdulillah ... aku terserah kamu. Kamu merasa nyaman tinggal di mana. Atau kalua kamu nggak mau tinggal sama Ummi, aku juga nggak masalah. Kita bisa tinggal berdua kalau kamu mau."

"Mungkin itu lebih naik," sahut Fania.

"Baiklah, ayo, tidur, sudah malam," ajak Fahri.

Mereka berdua saat ini sudah berada di kamar. Fania duduk di depan kaca rias, Fahri duduk di tepi ranjang.

"Mas tidur saja dulu." Fahri tersenyum melihat Fania yang hanya diam saja.

"Kamu kenapa, Fania? Sepertinya kamu takut. Aku ini suamimu," ucap Fahri.

"Fania nggak takut, kok! Fania cuma belum ngantuk!" Fania membantah ucapan Fahri.

"Kamu harus istirahat, kamu masih sakit. Kalau kamu keberatan aku tidur di sini, aku akan tidur di luar atau aku pulang saja?" Pertanyaan Fahri membuat Fania gugup dan juga bingung.

"Jangan, Mas. Baiklah, Fania akan tidur. Tapi ... Mas jangan dekat-dekat, ya? Fania takut." Akhirnya Fania mengakui.

"Iya, aku nggak akan dekat-dekat kok. Tidurlah, aku akan menjagamu," pinta Fahri.

"Memangnya kita tidur di hutan, pakai dijaga segala." Fahri tertawa mendengar ucapan Fania.

"Hahaha ... istriku ternyata lucu!"

Fania merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Fahri berbaring di samping Fania dengan guling di antara mereka sebagai pembatas. Fahri terus memperhatikan wajah Fania tanpa berkedip, membuat Fania salah tingkah.

"Tidurlah, Mas, jangan melihat Fania seperti itu. Fania 'kan jadi nggak bisa tidur," ucap Fania tak terima.

Fahri tersenyum kemudian menarik napas dalam. Dia ingin mencari tahu informasi yang lebih tentang istrinya itu. Wajah Fania sangat cantik, berbeda dengan Laras. Fahri pun tahu, Fania bukan anak kandung wanita itu. Wajah cantik, hidung mancung, bola mata bulat dengan bulu mata yang lentik, alis tebal dan rapi. Bibir Fania tipis dengan gigi yang putih dan rata. Tahi lalat kecil di bawah dagu kanan, membuat semakin manis wajah Fania. Kulit Fania pun putih alami dan terawat. Semua laki-laki pasti akan terpesona melihat kecantikan istrinya.

"Fania, aku perhatikan, wajahmu seperti ada keturunan timur tengah. Tapi kulitmu juga putih seperti orang Cina. Apa memang kamu ada sedikit keturunan dari negara itu?" tanya Fahri penasaran.

"Kata bapak, bunda memang keturunan Pakistan dan Cina. Tapi entah keturunan yang ke berapa pastinya, bapak juga nggak tahu." jawab Fania terus terang.

"Hemm ... pantas saja. Tapi kenapa tetanggamu selalu bilang kamu buruk rupa? Padahal kamu secantik ini."

"Kata ummi, waktu kecil, aku memang kurus dan terlihat dekil karena kulitku sensitif. Kalau aku pulang sekolah, kena panas matahari sedikit, kulitku langsung terlihat hitam, kusam dan berkeringat," jelas Fania.

"Kata Fauzan, dia pernah melihat wajahmu. Tapi kenapa dia tidak bilang pada keluarga besarnya kalau kamu juga keturunan timur tengah?" Fania mengedikkan bahu.

"Sepertinya dia tidak terlalu memperhatikan. Waktu itu kejadiannya sangat cepat." Fahri mengangguk mengerti.

"Bisa jadi seperti itu. Seandainya saja dia tahu ... kira-kira apa yang terjadi?" Fania berdecak sebal mendengar pertanyaan Fahri.

"Sudahlah, Mas. Tolong jangan bahas Fauzan lagi. Fania nggak suka," ucap Fania kesal.

"Apa kamu suka padanya?" tanya Fahri penasaran, membuat Fania mulai emosi.

"Mas, tolong ... ini malam pertama kita menikah. Kenapa Mas malah bertanya yang aneh-aneh?"

"Maaf ... aku kadang masih cemburu dengan Fauzan." Fahri menyadari kesalahannya.

"Cemburumu nggak beralasan, Mas. Memangnya Fania selama ini pacaran sama dia." Fania masih tak terima dengan ucapan Fahri.

"Sekali lagi aku minta maaf," balas Fahri merasa bersalah.

"Ini yang Fania takutkan kalau menikah ... kita akan bertengkar dan akhirnya ...."

"Ssttt ... Maaf, aku yang salah. Sekarang ayo kita tidur. Sekali lagi aku minta maaf. Aku janji nggak akan membahas masalah Fauzan lagi." Fahri menyingkirkan guling di antara mereka dan mendekat. Kedua netra Fania tampak mulai berkaca-kaca, menahan air mata. Fahri mengusap pipi mulus Fania kemudian mengecup lembut keningnya. Fahri menyesali ucapannya yang membuat Fania sedih.

"Maafkan aku, Fania. Sekali lagi maafkan aku. Boleh aku peluk kamu?" tanya Fahri hati-hati. Fania hanya menganggukkan kepalanya dan mencoba tersenyum.

Fahri mendekap tubuh Fania dan kembali mengecup keningnya berulang kali. Rasa cemburu membuatnya bertingkah bodoh malam ini dan dia berjanji dalam hati, tak akan mengulanginya lagi. Malam itu, mereka pun terlelap sambil berpelukan. Pagi harinya Fania bangun dan mendapatkan Fahri sudah tidak ada di sampingnya. Fahri sudah bangun terlebih dahulu dan melaksanakan sholat subuh berjamaah di musholla bersama Bambang. Setelah selesai mandi, Fania membantu Laras di dapur, menyiapkan sarapan. Bambang sudah berangkat bekerja terlebih dahulu sebelum pukul tujuh.

"Tadi malam kalian ke mana?" tanya Laras penasaran. Dia mendengar suara kendaraan roda empat Fahri.

"Ke rumah Bu Maryam, Fania sudah janji," jawab Fania terus terang.

"Lain kali jangan seperti itu. Pikirkan kesehatanmu, pikirankan juga suamimu. Fahri pasti lelah seharian mondar-mandir mengurus pesta, mengantar Ummi Aini pulang, balik ke sini, mengantar kamu ke Bu Maryam. Bahkan ummi yakin, Fahri pasti belum makan malam. Benar 'kan, Fahri?" Pertanyaan Laras membuat Fania sadar dan mengucap istighfar. Fahri hanya tersenyum tanpa membantah ucapan Laras.

"Astaghfirullah ... maaf, Mas, Fania lupa," ucap Fania merasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Fania. Aku juga masih kenyang tadi malam. Sebelum berangkat ke sini, aku sudah makan sama Ummi." Jawaban Fahri membuat Laras dan Fania lega.

"Alhamdulillah kalau begitu. Ingat, Fania, kamu sekarang sudah punya suami. Jangan memikirkan diri sendiri. Pikirkan kebutuhan suamimu juga," tegas Laras, menasehati putrinya.

"Iya, ummi."

"Nak Fahri juga, kalau Fania salah, langsung tegur saja. Istrimu tanggung jawabmu." Fahri mengangguk mengerti.

"Iya, ummi."

"Maaf, kalau ummi cerewet tapi semua demi kebaikan kalian. Lalu, setelah kalian menikah, rencana kalian tinggal di mana? Ummi sama sekali nggak ada maksud mengusir kalian. Ummi hanya ingin kalian hidup mandiri, mengatur rumah tangga sendiri." Laras menjelaskan agar putri dan menantunya tidak salah paham.

"Insyaa Allah kami akan tinggal berdua, ummi. Alhamdulillah sebenarnya aku sudah memiliki rumah sendiri di dekat restoran. Insyaa Allah setelah Fania sehat, aku akan mengajaknya tinggal di sana."

Jawaban Fahri, membuat Laras tersenyum. Menantunya ternyata pria dewasa yang sudah memikirkan masa depan. Sementara Fania hanya menundukkan kepala. Air mata mulai mengalir membasahi kedua pipinya.

"Hei, kenapa kamu menangis, Fania?" tanya Fahri tak mengerti. Laras hanya tersenyum menanggapi.

"Sudah, biarkan saja, Nak Fahri. Fania memang seperti itu. Nanti kalau memang kalian sudah tinggal sendiri, tolong jaga putri ummi. Jangan sakiti putri Ummi yang berharga ini. Fania adalah satu-satunya harta yang berharga yang kami miliki." Ucapan Laras semakin membuat Fania menangis. Fahri pun akhirnya mengerti.

"Insyaa Allah, aku berjanji akan selalu mencintai dan menjaga Fania sepenuh hati”.

"Ummi percaya padamu, Nak. Ummi percaya. Ummi pamit ke kamar dulu. Kalian kalau mau berangkat kerja, berangkat saja, Ummi mau sholat duha dulu. Dokumen Fania untuk mengurus surat nikah sudah Ummi siapkan di meja dekat televisi. Sudah ya, Nduk, jangan menangis lagi. Ummi sayang sama kamu."

"Fania juga sayang sama Ummi."

Fania memeluk erat tubuh Laras, seolah tak ingin lepas. Laras mengusap lembut punggung putrinya berulang kali, menenangkan perasaan. Laras menyadari Fania akhir-akhir ini berubah sensitif dan gampang menangis, membuat Laras tak tega. Padahal selama ini Fania adalah seorang gadis yang berjiwa tegar dan kuat. Bahkan mereka sering berpisah karena Fania harus tinggal di asrama pondok pesantren yang berada di luar kota.

Setelah Laras masuk ke dalam kamar, Fania juga masuk ke dalam kamarnya sendiri. Fahri mengikuti langkah Fania dengan sabar.

"Mas, hari ini aku mau ke toko," ucap Fania.

"Tapi kamu belum sehat, Fania," balas Fahri cemas.

"Sebentar saja, Mas. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku urus." Fahri terpaksa mengijinkan.

"Baiklah, aku antar kalau begitu. Nanti pulangnya aku jemput.”

"Terima kasih, Mas."

*******


Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Fahri mengantar Fania terlebih dahulu sebelum pergi ke restoran. Fania dan Fahri keluar dari mobil dan berjalan beriringan ke dalam toko. Seseorang yang sudah menunggu, menyambut kedatangan mereka dengan pandangan penuh tanda tanya.

"Fahri? Fania? Kenapa kalian bisa datang berdua saja? Apa kalian nggak tahu kalua kalian bukan mahram? Dan kamu Fania, kenapa kamu membiarkan Fahri menggandeng tanganmu? Apa yang terjadi padamu, Fania? Kenapa kamu membiarkan laki-laki yang bukan mahram menyentuhmu?" teriak Fauzan tak terima.

"Fauzan, tenang ... kamu jangan salah paham." Fania berusaha menenangkan Fauzan yang terlihat emosi.

"Kami sudah menikah, Fauzan. Hubungan kami sudah halal ...."

"Maaf, aku sudah salah paham pada kalian," ucap Fauzan. Meskipun hatinya terluka tapi Fauzan mencoba menerima berita pernikahan mereka dengan ikhlas.

"Tidak apa-apa, Zan, santai saja. Aku sudah mengikuti saranmu. Aku langsung menikahi Fania," balas Fahri sambil tersenyum.

"Syukurlah ...."

"Semoga kamu segera menyusul, ya," sahut Fahri.

"Insyaa Allah."

"Oh ya, kamu ada perlu apa ke sini, Zan?" Fahri tidak ingin meninggalkan Fania bersama Fauzan, meskipun ada Mawar dan Citra.

"Oh... aku ingin pamit."

"Kamu mau pergi ke mana?" tanya Fahri penasaran. Sementara Fania hanya diam mendengarkan.

"Aku akan pergi ke Yordania. Aku akan tinggal sementara di sana. Mungkin dua atau tiga tahun."

"Lalu, Amira bagaimana?" tanya Fania.

"Insyaa Allah kami akan menikah dua Minggu lagi. Setelah itu kami akan tinggal di sana," jawab Fauzan dengan senyum yang dipaksakan.

"Alhamdulillah kalau begitu. Semoga kalian selalu dalam lindungan Allah di sana dan pernikahan kalian langgeng, sehidup sesurga."

"Aamiin Allahumma Aamiin. Do'a yang sama buat kalian berdua. Kalau begitu aku pamit. Tolong jaga Fania baik-baik dan jangan sakiti dia. Kamu beruntung mendapatkan istri seperti Fania. Terus terang saja, aku iri padamu," ucap Fauzan terus terang.

"Insyaa Allah, aku akan selalu menjaganya karena aku sangat mencintainya. Kamu sudah tahu itu. Semoga kamu juga berbahagia di sana."

"Aamiin ... Terima kasih."

Fauzan dan Fahri pun berpelukan sebelum Fauzan meninggalkan ruangan. Fauzan berjalan keluar menuju mobilnya dengan langkah yang tak bersemangat. Sampai di dalam mobil, Fauzan memukul kemudi berulang kali, meluapkan rasa kesal dan cemburu. Bagaimanapun juga, hatinya terasa sakit mendengar Fahri telah menikahi gadis pujaannya itu. Dia merasa kalah.

"Dari kemarin sudah berapa orang yang sudah memberiku ancaman," ucap Fahri dengan wajah dummiat menyedihkan.

"Maksudnya?" tanya Fania tak mengerti.

"Tolong jaga Fania. Tolong jangan sakiti dia. Kalau kamu sampai menyakitinya, kamu berurusan denganku. Apa itu semua bukan kalimat ancaman? Ternyata aku menikahi sebuah kristal yang sangat berharga. Aku benar-benar harus menjaganya jangan sampai terbentur, retak, apalagi pecah. Bisa-bisa aku dumminuh dan dicincang banyak orang." Fania tersenyum mendengar pujian Fahri.

"Lebay!

"Terima kasih, Fania. Kamu sudah menerimaku menjadi suamimu. Benar kata Fauzan, aku benar-benar beruntung memilikimu." Fania terkekeh melihat tingkah dan rayuan suaminya.

"Pagi-pagi sudah ngegombal! Sudahlah, Mas, aku malu. Jangan bicara seperti ini. Mereka semua itu terlalu berlebihan. Kamu tahu sendiri bagaimana pagi-pagi aku sudah membuat Ummi menangis. Kamu akhirnya juga tahu kalau aku secengeng itu. Aku bukan Fania yang tegar dan kuat, seperti yang mereka bilang." Fania berusaha mengungkapkan isi hatinya. Kedua bola mata Fania mulai berkaca-kaca.

Fahri menggenggam jemari tangan Fania dengan erat, memberi kekuatan. "Tidak Fania, kamu gadis yang tegar dan kuat. Jika semua orang mengatakan seperti itu, maka kamu harus jadi seperti yang mereka katakan. Tolong, mulai sekarang jangan menangis di hadapan Ummi. Kasihan Ummi, beliau pasti ikut terluka. Padahal kita menikah, karena ingin melihat Ummi bahagia, bukan?" Fahri berusaha memberi semangat pada Fania.

"Insyaa Allah, Fania akan berusaha. Mas, kapan kita akan pindah ke rumah yang kamu bilang tadi?" Pertanyaan Fania membuat Fahri tersenyum senang.

"Kapan pun yang kamu mau," jawab Fahri.

"Bagaimana kalau secepatnya? Besok juga Fania siap," ucap Fania yakin. Dia ingin segera hidup mandiri bersama Fahri.

"Ya jangan besok juga. Aku belum menyiapkan semuanya. Bagaimana kalau hari Sabtu saja? Besok kita mulai belanja perabot rumah tangga yang kita butuhkan. Aku ingin kamu yang memilihnya." Ucapan Fahri membuat Fania senang.

"Benarkah?"

"Benar. Aku ingin kamu merasa nyaman dengan barang-barang pilihanmu sendiri." Fahri bahagia melihat Fania terlihat bersemangat.

"Terima kasih, ya, Mas. Aku sangat senang sekali."

"Kalau begitu kamu harus sehat. Lusa kita berbelanja."

"Insyaa Allah, Mas. Aku akan makan yang banyak biar sehat." Fahri tertawa mendengar ucapan istrinya yang terdengar lucu.

"Kalau begitu, aku pergi dulu. Setelah dari KUA, aku langsung ke restoran. Kalau kamu ingin pulang, telepon saja, aku akan menjemputmu. Aku akan mengajakmu melihat rumah baru kita."

"Aku mau, Mas," sahut Fania dengan semangat.

"Tapi..."

"Tapi apa, Mas?"

"Rumahku berada di perumahan biasa, bukan perumahan mewah. Rumahku juga nggak tingkat. Maklum saja itu rumah aku beli dengan uang tabunganku sendiri. Kamu nggak apa-apa, kan?" Meskipun yakin Fania bukan gadis materialistis tapi Fahri ingin mendengar pendapatnya.

"Mas, apa kamu berpikir Fania gadis yang materialistis? Apakah kamu pikir Fania ini anak pengusaha kaya raya yang rumahnya berlantai lima? Tentu saja Fania tidak masalah. Tapi Fania berharap lingkungan di sana baik dan nyaman. Itu saja!"

"Alhamdulillah kalau begitu. Ya sudah, aku pergi dulu. Jangan banyak aktivitas dulu. Kalau capek, istirahatlah," ucap Fahri mengingatkan.

"Iya, Mas. Mas juga hati-hati."

"Oke, aku berangkat dulu. Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

Setelah kepergian Fahri, Fania kembali fokus pada pekerjaannya. Sesekali Fania memegang keningnya karena pusing masih terasa. Namun, mengingat Fahri akan mengajaknya pindah ke rumahnya sendiri, Fania tersenyum dan melupakan rasa sakitnya.

"Ternyata Fahri sangat baik dan bertanggung jawab. Bahkan dia sudah punya rumah sendiri meskipun rumah Ummi Aini besar. Semoga Fahri benar-benar menjadi suami yang shalih dan setia. Tadinya aku takut tinggal berdua sama Fahri. Kenapa sekarang aku jadi nggak sabar untuk segera pindah, ya? Astaghfirullah ... Ada apa denganku?"

*******


Kendaraan roda empat Fahri berhenti di depan sebuah rumah berwarna coklat tua kombinasi coklat muda. Sebuah rumah dengan pagar minimalis yang bersih dan asri. Fahri membuka pintu rumah itu dan membiarkan Fania masuk terlebih dahulu. Fania mengelilingi ruangan demi ruangan dengan tersenyum. Rasa bahagia dan haru menyelimuti hatinya saat ini. Fahri tersenyum melihat ekspresi wajah Fania yang terlihat bahagia.

"Bagaimana, suka?" Fania tersenyum dan mengangguk.

"Suka sekali, Mas. Fania jadi nggak sabar pindah ke sini. Alhamdulillah dari sini kalau mau ke tokoku juga lebih dekat," jawab Fania.

"Sabar, aku ingin kamu sudah sangat sehat sebelum kita pindah. Aku nggak mau kamu sakit lagi karena kecapekan," balas Fahri terus terang.

"Iya, Mas. Aku mengerti."

Saat ini posisi mereka berdiri berhadapan. Fahri menggenggam erat jemari tangan Fania dan mengecupnya dengan lembut. Fania menunduk dan tersipu malu. Fahri sangat senang melihat wajah Fania yang merah merona dan malu-malu.

"Fania, aku senang melihatmu tersenyum seperti ini. Jangan menangis lagi, ya." Fahri kembali mengecup jemari tangan Fania yang masih dalam genggamannya.

"Insyaa Allah, Mas. Mulai sekarang, Fania akan tegar dan kuat di hadapan Ummi dan Bapak, juga di hadapan Ummi," janji Fania.

"Ayo pulang, Mas. Sudah mau maghrib." Fania berusaha melepas genggaman tangan Fahri tapi Fahri masih menahannya. Fahri sengaja menggoda Fania yang kedua pipinya merah seperti tomat.

"Mas, jangan macam-macam, deh! Ingat, katanya nggak maksa. Aku juga masih halangan, Mas." Fania mulai salah tingkah. Fahri hanya diam dan memandangnya tak berkedip, membuat Fania semakin salah tingkah. Dalam hati Fahri sangat ingin tertawa, melihat tingkah Fania yang terlihat panik dan kebingungan.

"Mas, Mas kok diam saja, sih! Jangan-jangan Mas Fahri kesambet! Mas ... ayolah, lepaskan tanganku, jangan diam saja. Mas, jangan buat Fania takut. Mas, jangan senyum-senyum terus gitu, dong. Bicara kek, kok diam saja dari tadi."

Fania mulai tak sabar dengan sikap diam Fahri. Dia pun mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah suaminya itu.

Cup!

Fahri langsung mengecup bibir merah Fania dengan cepat. Kedua bola mata Fania melotot ke arahnya.

"Ih, Mas nakal!"

"Hahaha ... Yuk, kita pulang!"

Fahri menggandeng tangan Fania yang masih digenggamnya dan masuk ke dalam mobil. Selama dalam perjalanan, Fania hanya diam dan memandang ke arah jendela. Fahri tahu Fania marah dan kesal padanya tapi Fahri hanya diam saja selama dalam perjalanan pulang.
Setelah sampai di rumah, Fania langsung masuk ke dalam kamar. Fahri mengikuti langkah Fania dan duduk di tepi ranjang. Dia memperhatikan Fania yang sedang melepas khimar dan cadarnya. Fahri tersenyum saat Fania diam-diam melirik ke arahnya.

"Apa lihat-lihat?" tanya Fania dengan ketus.

"Nggak apa-apa, kan aku mau lihat istriku. Hanya memandang saja, katanya sudah dapat pahala, lho."

Fahri tak henti-hentinya menggoda Fania. Sesuatu yang mulai membuatnya candu. Fahri yang dulu pendiam, sekarang lebih suka iseng dan membuat Fania kesal. Fahri yang dulu selalu serius, semenjak menikah dengan Fania menjadi suka bercanda. Fahri bahagia dengan perubahan dirinya. Fahri mendekap erat tubuh Fania dari belakang. Fania hanya diam, tak berniat memberontak.

"Masih marah? Maaf, ya. Jangan ngambek. Mas sayang sama Fania. Mas mau mandi dulu, biar harum," bisik Fahri, membuat Fania merinding.

Fahri langsung keluar kamar tanpa menunggu jawaban Fania. Dia tersenyum sambil berjalan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di belakang. Fania memegang dadanya kemudian mengucap istighfar berulang kali.

"Astaghfirullah ... Astaghfirullah ... Lama-lama aku bisa sakit jantung kalau dekat-dekat dengan Fahri. Ya Allah, apa ini yang namanya cinta? Ingin marah, ingin memaki, tapi aku nggak bisa. Padahal jelas-jelas dia sudah membuatku kesal. Ah, bibirku sudah ternoda gara-gara Fahri!"

Fania langsung mengganti gamisnya dengan pakaian rumah yang sudah disiapkan. Dia akan membantu Laras memasak untuk makan malam mereka. Fania keluar kamar dan berjalan menuju dapur. Namun suara Laras yang memanggilnya, menghentikan langkahnya.

"Fania ...."

"Ada apa, ummi?"

"Ini ada bingkisan buat kamu. Tadi mas kurir yang mengantarnya. Sepertinya dari Fauzan." Laras menyerahkan kotak yang sudah dibungkus kertas kado berwarna merah muda.

"Terima kasih, ummi. Biar Fania bawa ke kamar dulu."

Fania masuk kembali ke dalam kamar kemudian meletakkan kado dari Fauzan di atas meja rias. Dia pun melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Setelah selesai memasak, Fania mandi kemudian masuk kembali ke dalam kamar. Fahri duduk di tepi ranjang sambil memandang layar ponselnya.

"Kado dari siapa?" tanya Fahri penasaran.

"Dari Fauzan ...."

Selesai makan malam dan berbincang santai bersama Bambang dan Laras, Fahri dan Fania masuk kembali ke dalam kamar. Fahri merasa bahagia bersama keluarga Fania yang selalu harmonis dan mementingkan komunikasi. Fahri yang dari kecil belum pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, sekarang mendapatnya dari Bambang. Apalagi Bambang selalu bisa membuat Fahri merasa nyaman seperti putranya sendiri, bukan orang asing.

"Nggak dibuka kadonya?" tanya Fahri. Fania terlihat cuek dan tidak ada tanda-tanda akan membuka hadiah dari Fauzan.

"Mas saja yang buka," jawab Fania.

"Nggak, ah. Itu 'kan kado buat kamu." Fahri menolak meskipun dalam hati mau. Dia sangat penasaran apa yang diberikan Fauzan pada istrinya itu, apalagi kado dari Fauzan ukurannya cukup besar.

"Mas pasti penasaran, ya? Kalau aku buka, nanti Mas cemburu," ucap Fania terus terang. Sebenarnya dia juga penasaran tapi berusaha menjaga perasaan Fahri.

"Nggak kok, aku nggak cemburu. Buka saja nggak apa-apa," balas Fahri sambil tersenyum.

"Baiklah, aku akan membukanya daripada Mas penasaran dan nggak bisa tidur." Fahri terkekeh mendengarnya.

"Ngapain juga aku nggak bisa tidur. Paling isinya seprai atau selimut. Biasanya kado buat orang nikahan 'kan begitu," sahut Fahri asal.

"Ya, sudah aku buka."

Fania pun membuka hadiah dari Fauzan di hadapan Fahri. Dikeluarkannya satu per satu isi dari kotak itu. Fahri berdecih lirih saat mengetahui beberapa barang yang ada di hadapannya.

"Ternyata isinya seperangkat alat sholat dibayar tunai. Memangnya dia mau kasih kamu mahar?"

"Tapi ini bagus sekali lho, Mas. Sepertinya bukan dari Indonesia. Isinya juga nggak hanya mukena dan sajadah saja. Ada gamis satu set, sepatu, tas... dan ini kotak perhiasan...."

"Kalau diperhatikan sepertinya ini barang-barang persiapan lamaran." Fahri menyadari semua barang-barang yang ada di hadapannya itu sama dengan yang dia berikan pada Fania saat mengkhitbahnya.

"Fania nggak tahu tapi ini ada suratnya. Mas saja yang baca." Fania menyerahkan selembar kertas berwarna biru muda yang terlipat rapi pada suaminya. Fahri terpaksa menerimanya kemudian membacanya.

"Assalamu'alaikum Fania"

"Aku ucapkan selamat untuk pernikahanmu dengan Fahri. Semoga kalian menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Aku tidak mau berpanjang lebar karena akan membuatku sakit hati. Aku hanya ingin memberikan barang-barang ini semua kepada pemiliknya."

"Aku yakin kamu bingung dengan barang-barang yang kuberikan. Semua ini tadinya aku persiapkan untuk melamarmu. Aku membeli satu per satu dan aku simpan di kamarku. Tolong diterima karena ini semua milikmu. Aku membelinya khusus untukmu. Sekali lagi selamat. Do'akan agar aku bisa melupakanmu." Fahri memandang istrinya yang menunduk. Dia menghela napas dalam, menenangkan perasaannya. Dia mengerti bagaimana sakitnya hati Fauzan saat ini.

"Biar Fania simpan saja. Fania janji tidak akan memakainya kalau Mas nggak berkenan." Fania berusaha tenang, meskipun sebenarnya dia bingung harus bersikap. Dia hanya ingin menjaga perasaan Fahri.

"Pakai saja, aku tidak keberatan. Lagi pula, dia juga akan menikah dan pergi jauh," balas Fahri mencoba bersikap bijaksana.

"Terima kasih, Mas," Fania pun membalas senyuman dan Fahri menganggukkan kepalanya.

"Oke ... ayo kita tidur, kamu harus cukup istirahat."

Fahri beranjak dari duduknya dan berniat merebahkan tubuhnya di atas ranjang, Namun, pandangan matanya tertuju pada benda hitam yang ada di tangan istrinya. Kening Fahri berkerut melihat Fania yang hanya diam saja.

"Apa yang kamu pegang, kok hitam-hitam gitu."

"Fania nggak tahu, Mas. Biar Fania buka."

Setelah membuka plastik yang membungkus kain berwarna hitam itu, Fania justru langsung melemparkannya, seolah itu sesuatu yang menjijikkan baginya.

"Hiiii ... Fania geli."

Fahri mengambil dua kain berwarna hitam dan maron itu kemudian membentangkannya dan Fahri pun tersenyum geli saat menyadari apa yang dipegangnya sekarang.

"Kok geli? Ini namanya lingerie."

"Iya, Fania tahu tapi Fania geli, Mas. Tolong bawa jauh-jauh. Fania geli sama baju yang ada renda-rendanya gitu. Fania merinding." Ekspresi wajah Fania membuat Fahri tertawa.

"Hahaha ... tapi kalau kamu yang pakai pasti seksi. Ayo, cobain dulu," goda Fahri, membuat Fania berjalan mundur beberapa langkah karena ketakutan.

"Nggak, Mas. Fania nggak bisa pakai bahan yang berenda gitu, beneran Fania nggak bisa! Ngapain juga Fauzan kasih beginian," teriak Fania dengan kesal.

"Mungkin dia ingin menyenangkan aku. Hahaha ...."

Fahri kembali tertawa merasa lucu dengan sikap istrinya. Baru kali ini dia melihat seorang gadis yang ketakutan memegang lingerie. Fahri melipat kedua lingerie itu kemudian membungkusnya kembali. Dia juga merasa kasihan pada Fania yang masih terlihat ketakutan sekaligus geli.

"Biar Fania masukkan lagi semuanya di kotak ini. Perhiasannya biar dipakai ummi saja. Fania sudah ada dari Mas kemarin," ucap Fania sembari memasukkan Kembali barang-barang pemberian Fauzan. Sementara kotak perhiasan berwarna merah, diletakkan di atas meja.

"Terserah kamu, itu punyamu. Tapi aku nggak nyangka juga Fauzan sampai menyiapkan semuanya. Kenapa nggak dikasihkan ke calon istrinya saja," ucap Fahri heran.

"Nggak tahu, Mas. Fania merasa dia terlalu berlebihan. Sudahlah, nggak usah dibahas lagi. Ayo, kita tidur." Fania pun naik ke atas ranjang, Fahri mengikutinya.

"Yuk, sini aku peluk. Takutnya nanti kamu mimpiin Fauzan lagi." Fania berdecak kesal mendengar ucapan suaminya.

"Mulai, deh. Baca doa dulu sebelum tidur biar pikirannya tenang dan nggak suudzon gitu," sahut Fania.

"Siap, Sayang. Aku sudah wudhu tinggal bobok tampan dengan istriku yang cantik."

"Gombal!"

Fania memperhatikan Fahri dan tersenyum bahagia. Fahri mencium kening istrinya kemudian merengkuh tubuh Fania dalam dekapan. Fania menurut karena dia pun mulai merasa nyaman.


*******


Tangan alif mulai beraksi melepaskan kancing baju Humaira satu persatu dari atas ke bawah dan pemandangan indah pun langsung tersaji didepan matanya saat baju umminya dia buka. payudara yang besar dan kenyal terbungkus BH merah berenda semakin membuatnya terlihat seksi. Tak ingin berlama lama alif langsung membuka pengait BH umminya dan terbebaslah dua gunung Humaira dari wadahnya.

"awww" lenguh Humaira saat alif benamkan kepalanya diantara dua gunung kembar umminya sambil dia remas keduanya.

Puting umminya, alif hisap bergantian kanan kiri sambil tangannya terus meremasnya membuat Humaira merem melek keenakan.

“ahh alif sedot lagi yang kuat" Humaira menekan kepala alif ke dadanya.

“hmm hmmm" alif turuti permintaan Humaira, alif sedot dengan ganas putingnya bergantian membuat lenguhan Humaira berubah menjadi desahan desahan nikmat.

“ohhhhshhh" Humaira meremas rambutku dan semakin menekan kepalalif ke payudaranya.

Tangan alif berpindah ke pantat humaira yang montok, alif meremas remas juga pantatnya membuat Humaira semakin keenakan. Setelah puas menikmati payudara Humaira alif berniat mencium bibir umminya namun Humaira justru mendorong alif untuk telentang di ranjang dengan kaki masih menjuntai ke bawah. Perlahan tangan Humaira mengelus kemaluan alif yang sudah tegang didalam celana sesekali dia juga meremasnya dengan gemas.

"uhhh buka saja ummi,,,".

Humaira tak menjawab namun tanganya membuka kancing celana alif dan berusaha melepaskan celana alif, alif membantunya dengan mengangkat pinggulnya agar celana alif dapat di buka dengan mudah. Kemaluan alif yang sudah tegang dari tadi langsung berdiri ngangguk-ngangguk seolah menantang perempuan yang ada didepanya. Tangan Humaira langsung menggenggam kelamuan alif dan mengocoknya dengan lembut, Humaira juga memainkan jempolnya dilubang kencing alif membuat alif semakin blingsatan menahan nikmat.

"ahhh…. ummi pinter banget, nikmat sekali rasanya" alif tak bisa lagi menahan desahannya.

Setelah puas mengocok kemaluan alif, Humaira meludahi ujung kemaluan alif dan meratakannya diseluruh permukaan kemaluannya terutama di kepalanya. Humaira lalu memposisikan payudaranya di selangkangan alif. Humaira menempatkan kemaluan alif di antara kedua payudaranya, kemudian dia mencepit kemaluan alif dengan payudaranya yang besar itu. Payudaranya digerakkan naik turun membuat kemaluan alif rasanya seperti dipijat benda kenyal, sungguh nikmat sekali rasanya.

"ahhh ummi pinter banget sih".

Mendengar alif mendesah kenikmatan Humaira semakin bersemangat mengocok kemaluan alif dengan payudaranya bahkan sesekali Humaira juga menjilati ujung kemaluan alif membuat alif semakin kelojotan menahan nikmat.

"shhh ohhh ….ummi… enak banget ummi."

alif sampai merem melek menahan nikmat dan rangsangan di kemaluannya. Humaira terus mengocok kemaluan alif dengan payudaranya, setelah merasa puas Humaira naik ke ranjang dan berbaring disamping alif.

"bagaimana lif enak kan?".

"mantap banget ummi...itu baru yang atas apalagi yang ini pasti lebih enak" ucap alif sambil mencolek kemaluan Humaira dari luar celananya.

“hehe buka sendiri kalau mau merasakan kenikmatannya" ucap Humaira sambil senyum senyum.

Alif memeluk tubuh Humaira dan mencium bibirnya.

"oouuhhh" desah Humaira saat alif menjilati lehernya, tangan alif juga meremas payudaranya yang besar.

Humaira menekan kepala alif kearah payudaranya lagi, alif menyedot putingnya yang sudah menegang kuat-kuat membuat Humaira merem melek keenakan.

"awww ahhh lagi lif ohhh" tubuh Humaira menggelinjang saat alif menggigit pelan putingnya.

Tangan Humaira menekan Pundak alif semakin ke bawah, alif mengerti apa maksud umminya, alif turun dari ranjang dan perlahan jilatannya turun keperutnya yang langsing, alif jilati pusernya membuat tubuh Humaira menggelinjang.

“ouuhh alif geliii" pinggul Humaira bergerak gerak liar.

Lidah alif terus bermain di perut Humaira sementara tangan alif meraba raba kemaluanya dari luar celana.

"buka lif..." ucap Humaira.

Alif buka celana Humaira dia membantu dengan mengangkat pinggulnya, ternyata Humaira juga mengenakan celana dalam warna merah yang berenda juga.

"buka sekalian lif" ucap Humaira mengangkat pinggulnya.

Alif turuti permintaan Humaira, perlahan alif pelorotkan celana dalamnya dan terpampanglah kemaluan Humaira yang penuh dengan bulu bulu halus di sekitarnya. alif membuka paha Humaira lebar-lebar dan dia jelati kemaluannya namun Humaira menjambak rambut alif menjauhkan kepala alif dari selangkanganya.

"pakai kontol saja alif, ummi sudah gak tahan" ucap humaira dengan nafas yang sudah memburu.

"pakai ini ya" alif menggoda Humaira dengan menggesekkan ujung kemaluannya ke bibir Kemalua umminya.

“ohhh iya itu itu ahhh" kepala Humaira bergerak liar dan tangannya meremas remas sprei.

“masuk lif ohhhh shhh masukin" kaki Humaira mengait pinggul alif dan menekan keselangkanganya.

Alif masukkan kemaluannya Kelubang kemaluan umminya yang sudah becek dan licin namun setelah kepala kemaluannya masuk alif tarik lagi dengan cepat.

" ah ah ah jangan ditarik kontolnya... " Humaira melotot melihat alif.

"hehehe mau ini ya" alif masukkan lagi kemaluannya dan dia tahan hanya kepalanya saja yang masuk, terasa hangat dan lembab.

“ahhh….iya kontol alif mau kontol" pinggul Humaira bergerak liar berusaha agar kemaluan alif semakin masuk kedalam.

"bless" alif dorong kemaluannya dengan cepat dan kuat masuk kedalam kemaluannya, terasa sempit sekali kemaluan Humaira, mencengkram kemaluan alif erat sekali dengan sedikit kedutan didalamnya.

'aaaaarrgghhhhhh" humaira melotot dan kepalanya terangkat cukup tinggi sesaat sebelum terhempas lagi ke bawah. Kakinya mengunci erat pinggul alif dan otot pahanya menegang.

"shhh ahh shhh" bibir Humaira mendesis seperti orang kepedesan.

Pinggul alif tak bisa bergerak karena kaki Humaira menguncinya kuat sekali, kemaluan Humaira masih berkedut-kedut menambah sensasi kenikmatan yang alif rasakan. Perlahan jepitan kaki Humaira di pinggul alif mengendur, merasakan itu perlahan alif menarik kemaluannya.

“ahhh jangan tarik dulu..." jepitan kaki Humaira kembali mengencang membuat alif sulit untuk bergerak lagi.

"'sshhh ohhhh" Humaira mendesah saat alif remas payudaranya dan alif menyedot-nyedot putingnya, tangan Humaira meremasi rambut alif semakin membenamkan kepala alif kepayudaranya yang kenyal.

“enak ummi..?".

"huuhhh enak banget lif" ucap Humaira dengan senyumnya yang manis.

“enak gak punya alif?"

"enak banget dapet kontol yang besar kaya gini, enggak loyo lagi bikin mau tambah lagi. " humaira mengerlingkan matanya membuat ia tambah cantik dan manis.

Alif menggerakkan maju mundur dengan teratur, Humaira menikmati sekali sepertinya sampai ia merem melek dan mendesis.

"ahh ahh kamu pintar sekali buat ummi melayang gini"

Alif hanya tersenyum saja mendengar ucapan umminya, dia menggerakkan lagi dengan cepat dan kuat.

"ohh ahh ahha ah ah terus itu enak sekali terus lif ahhh" Humaira kadang juga ikut bergoyang mengikuti irama alif.

"Alifff… cepet lagi Liff…. oh oh oh oh …..ummi sampai lif ahhhh " tubuh Humaira melengkung kaku untuk sesaat.

Alif menarik kemaluannya sampai hampir lepas saat ia terlena menikmati orgasmenya.

"jangan dilepasin lif, ummi mau lagi mau lagi huh huh" nafas humaira masih terengah engah tapi tidak mau berhenti.

"istirahat dulu ya ummi"

"enggak mau, ayo lif lagi itu masih belum keluar kan, ayo lagi cepetan lif"

Alif memasukkan lagi sampai mentok. Alif menggerakkan maju mundur dengan tempo cepat dan kuat hingga beberapa menit alif ingin mencapai puncaknya, dia remas payudara umminya yang menantang minta disentuh.

"ahhh ah terus lif, nikmat sekali mau sampai lagi lif ohh ohhh" tubuh Humaira bergerak liar dibawah tubuh alif.

"ayo ummi…. alif juga. kita sampai sama sama” desahan mereka juga ikut memenuhi ruangan.

“plok plok plok plok” bunyi kemaluan merekapun ikut bersuara nyaring karena mereka makin mempercepat gerakannya, Humaira ikut bergoyang makin menambah sensasi nikmatnya.

"aaahhhhh Sampai ummi."

'Crot crot crot" alif tumpahkan spermanya didalam kemaluan Humaira.

"Tahan lif tahan ahh ahhh ahh" pinggul Humaira bergerak cepat sekali untuk meraih orgasmenya yang kedua.

"Aaaarrgghhhhhhh" Humaira melenguh panjang dan berhenti bergerak.

Mereka saling berpelukan erat dan sesaat kemudian Humaira mendorong tubuh alif kesamping hingga kemaluannya terlepas dari kemaluan Humaira. Alif melihat banyak sekali cairan mereka yang mengalir dipaha Humaira, beberapa saat kemudian Humaira bangun dan menjilati semua cairan yang ada pada kemaluan alif.

"Alif, Sabtu depan kita ke rumah orang tua safira, mumpung ummi libur," ucap Humaira pada Alif yang duduk di hadapannya.

"Sekalian PDKT sama Safira. Ummi kira kamu yang bawa Safira ke rumah kemarin, ternyata dia itu sahabatnya Fania. Ummi sudah terlanjur suka sama Safira." ucap Humaira

"Mungkin Tante Laras memang sengaja jodohin kamu sama Safira. Kalau ummi sih setuju saja. Safira cantik dan manis. Ummi juga sudah kenal sama kedua orang tuanya." Humaira mengangguk setuju.

"Bagaimana, lif? Kamu masih belum bisa move-on dari Fania?" tanya Humaira terus terang.

Melihat Alif yang masih saja diam, Humaira angkat bicara, mencoba menasihati puteranya.

"Fania sudah menikah dan Ummi 'kan sudah menceritakan semuanya soal hubungan kamu dan Fania. Kamu itu seperti nggak ada cewek lain saja ...."

"Iya, ummi, Alif mau, kok," sahut Alif, memotong ucapan Humaira.

"Siplah kalau begitu." Humaira tersenyum senang mendengar jawaban putranya.

"Ayo, istirahat sudah malam, ummi ngantuk."

Humaira lalu memeluk alif dan mulai memejamkan matanya. Pemuda tampan berwajah oriental itu merebahkan tubuhnya kemudian memandang langit-langit kamar dengan perasaan yang tak menentu. Rasa sayang pada Fania masih ada, belum tersingkirkan sepenuhnya.

"Safira ... Cantik sih, tapi belum ada chemistry. Pesona Fania memang beda. Aku nggak pernah sedalam ini suka sama cewek padahal aku belum pernah melihat wajahnya," gumam Alif. Dia menarik napas dalam, menenangkan perasaan.

"Tapi apa salahnya dicoba. Apalagi Safira sahabat Fania. Pasti dia juga baik. Tubuhnya juga sexy. Baiklah, selain membuat ummi senang, aku akan membuka hatiku untuk Safira ...."

*********




 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd