Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Lockdown Corona: Bella

Bimabet
Lockdown Corona: Bella
Ditulis oleh Giaraini, untuk Kakak-Kakak Semprot tercinta.

Kalo mau copas, copas judul sama penulisnya, ya.

Part X
Bandung, 14 Desember 2021

---


Setengah kepala penis Kak Zaki rasanya sudah tenggelam dalam himpitan pintu vaginaku. Mungin saat ini, setengah pintu vaginaku sudah berhasil dibukanya. Tapi sungguh kali ini aku tak kuasa menolaknya. Kelembutan dan kehangatan kepala penisnya seperti buaian yang mengayunkanku ke batas langit. Rasa kepala penisnya yang tersumpal di mulut rongga senggamaku itu terasa menggelitik.

Aku membuka mata, menatap Kak Zaki, dan menggelengkan kepalaku, memintanya agar mencabut penisnya dari pintu vaginaku.
"Aaaaaaaaaah!!!" Aku kembali menjerit saat Kak Zaki menarik penisnya keluar dari kemaluanku.

Tanpa aku sadari, aku menemukan diriku sedang terengah-engah.
"Kok enak banget, sih?" Tanyaku dalam hati.

"Bella." Suara Mama menyadarkanku dari lamunan.

"Iya, Ma." Jawabku, refleks menutupkan foto di handphoneku dari pandangan Mama.

"Katanya, Della dan Zaki sudah mau sampai."
"Tolong parkirin mobilnya ke pojok, biar mobil Zaki bisa masuk." Pinta Mama.

1 Year Ago Memories, begitu judul foto tadi. Foto setahun yang lalu yang otomatis ditampilkan di handphoneku. Foto tadi itu, foto Kak Zaki yang tengah berselimut, tertidur nyenyak di kamarku.

Satu tahun yang lalu.
"Hmhhh."

Banyak sudah yang berubah hingga hari ini, hari Lebaran di tahun 2021. Sekarang, PSBB sudah menjadi PPKM, Covid-19 sudah mau bermutasi jadi varian Delta, dan berbagai vaksin mulai disebar. Aku sendiri baru selesai UAS Ganjilku seminggu yang lalu. Dan dia? Dia, aku tak tahu kabarnya. Karena seminggu setelah kejadian mesum di kamarku itu, aku meminta Kak Zaki untuk melupakan semua yang terjadi. Demi kebaikan semua orang, demi kebaikan Kak Della Kakak Kandungku, aku memintanya untuk menyudahi semua prosa erotik yang terkarang bersamanya.

Kak Zaki dan Kak Della memang sempat beberapa kali bisa berkunjung kembali ke rumah, namun sebisa mungkin aku menghindari bertemu mereka. Walau pun waktu-waktu ketika bersama Kak Zaki sangat berkesan untukku, tapi aku lebih sayang dengan Kakak Kandungku. Maka tiap kali ada kabar mereka mampir atau menengok, aku sudah siap pergi keluar rumah dengan berbagai alasan. Sejauh ini, semua upayaku untuk menghindari suami-istri yang sedang merintis keluarga itu berhasil. Terkecuali hari ini, hari istimewa ini.

Di bawah gegana kelam Covid-19 varian Delta yang tengah menyelimuti India, peraturan libur Lebaran di Indonesia diperketat oleh pihak berwenangnya. Siapa pun yang akan ke luar kota harus punya kepentingan yang jelas dan punya surat keterangan untuk itu. Namun aku dan keluarga berhasil meloloskan diri sejak seminggu yang lalu ke rumah saudara yang jauh dari kota. Serunya, tempat saudaraku ini berada di daerah pantai yang lumayan bagus dan terkenal. Mengingat selama setahun tak bisa ke mana-mana, bukankah pantai jadi tempat yang menyenangkan untuk menghilangkan kejenuhan lockdown?

Kebalikannya dari nuansa pandemi, siang begitu cerah di langit pantai tempatku berada. Riak awan altokumulus dan birunya langit di atas Samudera Hindia seolah menawarkan realita pengganti, relap-binar kilauan gelombang dan debur ombak seolah membekukan detak jarum jam tiap kali aku memandanginya. Terlebih bungalow yang kami sewa, memiliki rimbunan pohon Waru Laut yang teduh di halamannya, plus pemandangan terbuka ke pantai, membuat tempat ini menjadi sangat spesial. Biasanya, kami sekeluarga menginap di rumah saudara sekitar 10 kilometer dari tempat ini, namun kali ini menantunya Mama punya ide berbeda. Menurut Kak Zaki, ini bungalow punya teman kerjanya dan selalu jadi favorit teman-teman kantornya untuk bertamasya.

Mungkin setengah jam kemudian, tenangnya pantai terusik gemeretak pecahan karang yang terlindas ban mobil. Honda Jazz Putih kemudian perlahan menepi persis di samping mobil Papa yang kuparkirkan.

"Santuy seperti di pantuy?" Kelakar Kak Dilla setelah menurunkan jendela.

Aku tertawa.
"Welcome to the beach!"

Dari jok kemudi, Kak Zaki tersenyum ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.

Aku, Papa, Mama, Nenek, dan Bibi Pembantu memang sudah berangkat lebih dulu, sementara Kak Zaki dan Kak Della baru bisa menyusul di hari ini.
"Mana yang lain?" Tanya Kak Della, keluar dari mobil, meninggalkan aku berdua dengan Kak Zaki yang baru selesai mematikan mesin mobil.

"Apa kabar, Bel?" Tanya Kak Zaki menghampiriku.
Jantungku sedikit berdebar. Sudah lama aku tak mendengar kata-kata dari pita suara berjakun yang bernada rendah itu.

"Baik, Kak." Jawabku agak canggung.

Kak Zaki berdiri menghadap lautan biru, sambil menyeruput Nescafe kaleng yang dipegangnya. Aku sendiri bingung, sebetulnya tak ingin berlama-lama berbicara dengan Kak Zaki, tapi rasanya tak sopan jika aku tinggalkan begitu saja.

"Berapa jam tadi jalan?" Tanyaku basa-basi.

Berdiri di belakangnya, indera penciumanku tak bisa menghindari molekul-molekul parfum yang menguap tertiup angin dari tubuh Kak Zaki. Wangi kayu-kayuan yang maskulin itu menyelinap ke balik cuping hidungku. Mengetahui bau yang familiar, kepalaku pun mulai sibuk bekerja mencarikan memori masa lalu yang berkaitan dengan wewangian ini.

"Enam jam. Lumayanlah pegel." Jawab Kak Zaki.

Tiap kali Kak Zaki menarik nafas, setiap kali itu pula tulang belikatnya mengembang, bahunya naik turun. Tiap kali itu pula aku teringat nafas tersengalnya saat penisnya terjepit di belahan kemaluanku.

Pejantan itu, terlihat begitu haus akan himpitan vagina perawan ketika itu.
"Ya udah, jangan terlalu dalem tapi ya?" Pintaku, ketika Kak Zaki menghunuskan kepala penisnya pada lubang kemaluanku.

"Kayak tadi?" Tanyanya memastikan.

Sekali pun begitu, manusia bertanduk ini pada akhirnya tetap mencuri-curi kesempatan tiap ada waktu. Namun aku sendiri terkadang tak bisa membendung rasa nikmat yang merajalela dari desakan kepala penisnya di ambang pintu liang vaginaku.

"Kak Zaki nakal." Protesku, ketika kepala penisnya maju lebih dalam dari sebelumnya.
Namun dia tahu betul aku begitu menikmati kesengajaannya itu.

"Eh, Zaki. Apa kabar, Nak?" Suara Mama memulihkan kesadaranku.
"Jam berapa berangkat dari rumah?"

Mengabaikan mereka berdua di teras, aku pun segera bergegas ke dalam rumah.

Rasa dag-dig-dug yang kurasakan saat menghadapi Kak Zaki tadi di luar dugaanku. Bagaimana tidak, bertemu kembali dengan orang yang pernah berciuman, bertelanjang, dan lebih dari itu. Seolah aku telah mengenalnya seumur hidupku, suaranya, tubuhnya, baunya, tawanya, pribadinya, padahal kenyataannya jika aku mengingat kembali perjalanan Kak Della bersamanya, aku hanyalah serpihan kecil baginya.

Sejak Kak Della dan Kak Zaki tiba pun, aku masih berusaha untuk mengurangi waktu untuk berkumpul. Namun tentu saja, aku tahu tak selamanya aku bisa menghindari itu.

"Kenapa ini pantai jadi serame ini, Pah?" Tanya Kak Della, di sela-sela suapan ikan bakar dari piringnya.

"Lah, gimana gak rame, masuknya aja gak dicek suhu." Jawab Mama.

"Semua orang butuh uang, Del.
"Dapur orang-orang di sini sangat mengandalkan kunjungan wisatawan.
"Kita maklumi aja, yang penting kita yang hati-hati." Timpal Papa, yang memang menginginkan makan malam di restoran yang satu ini.

Aku diam saja sepanjang percakapan, memilih untuk menikmati udang yang sedang kumakan dan nuansa malam di pesisir pantai.

"Bella mau?" Tanya Kak Della, mengacungkan kepala ikan Kuwe yang ada di piringnya ke arahku.

Aku mengangguk.

"Si Papa sama Bella ini paling suka makan kepala ikan, memang." Terang Mama pada menantunya.
"Selera makan Bella sama Ayahnya ini sama persis.
"Kalo Della kayak Mama, gak suka yang gajih-gajih kayak gitu."

"Iya. Della beli sate pun mesti daging semua." Kak Zaki mengiyakan.
"Kalo Bella suka sama yang berlendir gitu, ya?"

Aku mengernyitkan dahi.
""Bella suka sama yang berlendir" itu maksudnya secara harfiah atau kiasan?" Tanyaku dalam hati.

Persis saat Kak Della menyodorkan kepala ikannya, Kak Zaki keburu memotongnya,
"Ini aja.
"Kamu pasti suka.
"Kepala punyaku lebih berlendir."

"Kenapa harus bilang 'berlendir' sih?" Protesku dalam hati.

"Itu ikan Barramundi, lebih berminyak dari ikan Kuwe." Terang Papa, yang memang lebih tau tentang ikan laut.

Mencongkeli daging di sela-sela tulang kepala dan insang ikan kali ini tak begitu membuatku bernafsu untuk makan, namun pekat dan licinnya cairan bening dari kepala ikan yang melumuri jari membuatku bernafsu untuk hal lain.

"Suka?" Tanya Kak Zaki ke arahku, mungkin melihat kepala ikannya sudah mulai habis.

"Suka. Punya Kak Zaki enak." Jawabku rada melantur. Otakku terlanjur tersesat. Sejak pekatnya lemak ikan yang lumer di mulutku, pikiranku sudah pergi ke kasur yang sama dengan lamunanku tadi siang.

Semili demi-semilimeter, kepala penis yang hangat dan lembut itu masih terus berusaha maju agak dalam. Dan tiap kali aku merasa sudah terlalu dalam, aku hanya bisa menahan pinggangnya dengan tanganku, tanpa bisa menolak atau melarangnya.

Hingga pada suatu ketika, tekanan dan gesekan penisnya membuatku orgasme. Orgasme pertama kali yang aku dapatkan dari lubang kemaluanku.
"Enak?" Tanyanya.

Aku terdiam menikmati sisa-sisa klimaks yang masih berseliweran di relung tulang selangkaku. Denyutan jantung menghantarkan renyut-renyut orgasme ke sekujur tubuhku. Ketika itu, leherku masih terasa tegang, dadaku masih terasa panas, nafasku masih terengah, namun Kak Zaki nampak masih belum puas. Disambarnya buah dadaku, diremas, dan diperahnya. Dipilin, dicubit, dicium, dan dihisapnya putting susuku.
"Mau lagi, Kak." Bisikku sambil mendengus.

"Mau lagi, Bel?" Tanya Kak Della, mengaburkan semua remasan dan hisapan di payudara telanjangku.
"Masih ada punyaku." Tunjuknya pada kepala ikan di piring Kak Della.

---

Hari ke-dua. Pikiranku, emosiku, mentalku, rasanya sudah cukup teraduk-aduk sejak Kak Zaki datang. Inilah kenapa aku berusaha menjauhinya selama setahun ini, karena aku tahu Kakak Iparku ini dapat dengan mudah mempengaruhi akal sehatku, bahkan ketika dia tidak melakukan apa-apa sekali pun. Tapi apa dayaku saat ini. Ini adalah hari di mana semua orang harus bertemu dan berkumpul.

"Pantesan tadi Mama pas keluar kaget, kenapa pantai sepi banget." Kata Mama, di antara obrolan keluarga di teras bungalow.
"Jadi, itu tuh gimana ceritanya, Bel?"

"Iya. Ada orang posting video kemarin. Kan rame tuh, kita aja makan kemarin sampe susah parkir." Jawabku di sela-sela hisapan es kelapa muda di meja teras.
"Udah gitu, di video itu gak ada yang pake masker. Udah mah kayak pasar gitu, kan."
"Ketauan deh sama Pak Gubernur."

"Pak Gubernur ini kan gaul, Ma." Timpal Kak Della.
"Cepet itu yang kayak gitu nyampe ke dia."
"Langsung ditutup pantainya tadi pagi."

"Terus, kita gimana dong?" Tanya Mama lagi.
"Padahal kita …"

Suara Mama berceloteh mendadak sayup saat mataku mengikuti angin yang meniup-niup celana pendek pantai Kak Zaki. Tiupan angin itu memperdaya kain katun tipis yang dikenakannya, sehingga membentuk tonjolan khas di bawah perutnya.

Aku mengernyitkan dahi,
"Kenapa sih, aku salfok terus dari kemarin." Protesku dalam hati.

"Kalo menurut saya, kecil kemungkinan mereka mengusir wisatawan yang sudah masuk." Kak Zaki turut nimbrung.

"Iya. Urusannya bisa panjang."
"Kalo diusir, pasti kita minta refund."
"Penginapan kecil-kecil itu mana mungkin mau refund." Timpal Papa.

Mungkin tak ia sengaja, Kak Zaki dari tadi berdiri melawan arah angin, membuat selangkangannya yang mancung semakin jelas di mataku. Seharusnya penampakan seperti itu wajar, namun entah kenapa buatku kali ini sangat lain. Angin seolah memvisualkan aerodinamika benda pejal yang bangir itu. Dan itu hanya membuat kepalaku memutar rekaman memori lama di benakku. Kepalanya yang bundar mengkilap, lubang kencingnya yang tipis basah, bekas jahitan sunat di lehernya yang bergelombang, urat-urat dan aliran darah di batangnya yang merenjul tercengkram di sekelilingnya, pangkalnya yang kokoh tegap dan berbulu, membuat pikiranku lagi-lagi kembali ke kasur di kamarku.

"Beneran mau lagi?" Suara Kak Zaki bertanya, masih terasa jelas terdengar di kepalaku. Kakak Iparku itu terduduk dengan pahanya terbuka di hadapan selangkanganku, dengan penis yang mengacung ke udara. Penisnya yang gagah dan tegak begitu kontras dengan raut wajahnya yang sayu dan kalut oleh birahi.

"Kak Zaki masih mau, kan?" Tanyaku sambil mengulurkan tangan, mengusap-usap benda tegang yang dipenuhi oleh otot dan urat itu.

Kak Zaki tersenyum mengangguk.

"Mau apa emang Kak Zaki?" Tanyaku memancingnya.

"Mau itu." Jawabnya ragu-ragu.

"Mau apa ih?"

"Mau memeknya Bella." Jawabnya dengan lancar.

"Sini." Pintaku agar dia memelukku.
"Mau apa?" Bisikku di telinganya.

"Mau memeknya Bella."

"Memeknya Bella mau diapain?" Bisikku lagi.

"Hmm." Dia berpikir sejenak.
"Memeknya Bella mau aku entot."

Mendengar kata itu, seketika bulu roma di sekujur tubuhku berdiri.
"Apa? Gak denger." Bisikku.

"Memeknya Bella mau aku entot."

Refleks aku meremas gemas penisnya.
"Lagi, Kak." Bisikku, seraya merentangakan pahaku agar belahan kemaluanku terbuka.

Melamunkan itu saja, rasanya badanku mendadak berkeringat. Angin pantai di suhu yang tak terlalu panas ini bahkan tak bisa mengimbangi temperatur tubuhku yang mulai stress gara-gara melamun.

"Gerah, Bel?" Tanya Kak Della, melihatku menyibak-nyibak dress pantai yang kukenakan.

"Gemes, Kak. Gemes sama kelakuan Kak Zaki." Bisikku dalam hati.
"Iya." Jawabku.

Di sudut teras, Kak Zaki seperti menyimak apa yang sedang aku lakukan. Dia duduk di lantai bersandar ke tembok rumah sementara aku berlawanan arah duduk di lantai mengahadapi meja teras di mana kelapa mudaku berada. Entah setan apa yang mengguna-gunaku, aku menarik dress pantaiku hingga ke lutut, kemudian kutarik lututku hingga ke dada. Kubiarkan selangkanganku terbuka menantangi Kak Zaki di sebrang teras. Bila pun aku diprotes, aku akan berkilah membuka kaki tak sadar karena kegerahan.

Kak Zaki tampak begitu terkejut saat mengetahui pahaku terbuka lebar. Dari sudut mataku, aku melihat tatapannya seperti tak bisa beralih dari bawah meja. Mengetahui itu, permukaan kemaluanku terasa berdenyut-denyut. Semakin lama aku membiarkannya memandangi selangkanganku, semakin terangsang aku dibuatnya. Mungkin dia membayangkan bentuk kemaluanku yang berada di balik selapis celana dalam ini, mungkin dia membayangkan saat mulut dan lidahnya menghisap dan menjilati bagian itu, mungkin dia membayangkan rasanya saat penisnya terjepit kemaluanku.

"Masih ingat yang katanya putih, mulus, chubby dan kencang?" Tanyaku dalam hati.
"Masih ingat wanginya, Kak?"
"Masih rasa chamomile, kok."

---

Malam itu pun aku lewati dengan pikiran kalut-marut. Kak Zaki dan Kak Della yang lebih memilih untuk tidur di ruang tengah pun membuat aku tak berhenti membayangkan tingkah-laku mesum Kakak Iparku setahun yang lalu. Pemandangan gundukan daging di selangkangan Kak Zaki tadi sore membuatku harus menanggung kehornianku yang tak kunjung selesai. Pada akhirnya, aku menyerah pada jemariku di malam itu.

Berselimut tanpa pakaian bawah, aku menenggelamkan diri pada kenangan mesum bersama Kak Zaki.

"Mau ngapain, Kak?" Bisikku, saat kepala penisnya mulai membelah bibir kemaluanku.

"Memeknya Bella mau aku entot."

"Mau apa?"

"Mau ngentot memeknya Bella."

Aku terpejam, menikmati buaian kata-kata tabu itu, seiring penis hangatnya mendesak merambah dinding-dinding pintu vaginaku.

"Lagi apa, Kak?" Tanyaku pelan.

"Ngentot memeknya Bella."

"Hmhhh." Aku mendengus, mendengar kata-kata itu lagi.
Melihatku meregang akan kenikmatan, diraupnya buah dadaku yang membusung ini, diremas-remasnya hingga aku menggeliat-geliat tak karuan.

Seperti mur dan baut, helm lembut kemaluannya itu terkancing mesra antara dua himpitan bibir luar dan dua jepitan pintu vaginaku. Basah dan lincirnya cairan cintaku seolah menyambutnya untuk menari, berdansa dalam dekapan erat lubang senggamaku.

"Panggil dia, Kak." Bisikku manja.

"Memek Bella."

"Kenapa memek Bella?"

"Memek Bella sempit.
"Memek Bella panas.
"Memek Bella basah."
Suaranya, kata-katanya, nadanya, panggilannya, seperti busur panah kenikmatan yang melesat di lorong telingaku, menancap di lubang senggamaku, menyerpih dan berhamburan di sepanjang tulang punggungku.

"Memek Bella lagi diapain?" Tanyaku lagi.

"Memek Bella lagi dientot."
Kuraih tangannya, kudekapkan pada payudaraku. Diraupnya buah dada kencangku yang membusung ini, diremas-remas hingga aku menggeliat-geliat menahan nikmat.

Di antara kayuhan penisnya di pintu lubang senggamaku, di antara redup-redam kesadaranku, tiba-tiba Kak Zaki menekan penisnya lebih dalam. Cukup dalam, sekali pun penisnya tersangkut sampai melengkung.

"Hahh!!!" Mataku terbelalak terkejut, namun nafasku tersekat oleh kenikmatan yang tak biasa itu.
Namun kejadiannya pun selalu sama, aku akan terpaku sesaat menikmati sensasi dorongan penisnya yang membuat otot-otot, daging-daging, dan membran-membran di sekeliling vaginaku terentang meregang.

Satu detik, dua detik, tiga detik, kenikmatan berlalu seolah tak berbatas waktu.
Satu mili, dua mili, tiga mili, penis Kak Zaki menyelinap menusuk masuk.
Aku diam terpaku menikmati itu.

"Kak. Kejauhan itu." Protesku, sambil tak bisa menghindari tenggorokanku yang harus menelan air liur karena nikmat.
"Ini masuk?" Tanyaku was-was dan mengangkat kepalaku.
Aku terdiam melihat penisnya yang kian tenggelam di selangkanganku. Kali ini agak lain memang, pintu vaginaku tak terasa lagi menahan kepala penis itu, melainkan serasa sedang mencekik leher Penis Kak Zaki.

Sebelum aku berpikir dan memintanya untuk mencabut penisnya, Kak Zaki malah mengayuhkan penisnya maju.
"Ah. Kak. Jangan!"

Dia pun menarik penisnya mundur.

Namun dia bisa melihat sendiri bagaimana aku menikmati itu.
Maka dia pun kembali mendorong penisnya maju.
"Emmmhh. Kak." Protesku samar di antara lenguhanku.

Lalu mundur lagi.
Lalu maju lagi.

"Emmmh. Emmmh. Emmhhh."
Aku terpejam-pejam dibuatnya.

Kepala penisnya yang lembut terasa menyodok-nyodok dinding-dinding vaginaku, lingkar helmnya terasa menggerus-gerus dan mencongkel-congkel gumpalan-gumpalan daging dalam liang miliku. Batangnya yang kokoh, berurat, dan bergerinjul terasa menyayat pintu vaginaku dengan nikmatnya.

Kenikmatan demi-kenikmatan makin membuaiku.
Perlahan namun pasti, riak-riak kenikmatan di ujung-ujung syaraf kemaluanku menggulung cakrawala kesadaranku, dari riak menjadi alun yang memanjang, dari alun menjadi ombak yang membesar, dari ombak menjadi bena yang meluap, dari bena menjadi kisaran kenikmatan, semakin liar, semakin deras, memutar, memusar.
Nafasku memburu, jantungku memacu, leherku memanas, dada dan perutku menghangat, payudaraku mengencang, klitorisku mengeras.
Pikirku saat itu,
Mungkin sedikit lebih dalam lebih enak,
Mungkin agak dalam lagi lebih enak,
Mungkin ... Pikiranku makin tak sehat.

"Kak. Lagi ngapain?" Bisikku lirih.

"Ngentot memeknya Bella"
"emmmh."

"Apa?"

"Ngentot memeknya Bella."

Dengan nafas mendengus, aku menahannya sesaat, lalu menatapnya dalam-dalam. Sayu wajahnya, kemelut tatapnya, seperti sangat aku mengerti. Tarikan pusaran kenikmatan itu sedemikian kencang nampaknya juga dirasakan Kak Zaki.

Kukecup ujung bibirnya, kuciuminya dengan mesra. Lalu kubuka mulutku lebar-lebar, seperti aku perlahan membukakan selangkanganku.
Kak Zaki nampak terkejut mendapati lubang vaginaku yang merongga.

Aku tak peduli.
Kucium mulutnya lekat-lekat.
Kuremaskan tangannya pada buah dadaku.

Aku menatap kedua bola matanya, seperti lubang kencingnya yang sedang menatapi kerapatan rongga kemaluanku saat ini.
Kurenungi kedalaman matanya, seperti kepala penisnya yang merindu kedalaman vaginaku.
Kubiarkan penisnya maju satu mili.

Kupilah bilahan demi-bilahan selaput pelangi matanya, seperti bilahan selaput daraku yang mulai tersentuh tanduk pejantan itu.
Kutelusuri gerbang pupil matanya, seperti kepala penisnya yang kubiarkan bergerak menyusuri pintu lubang senggamaku.
Pupil matanya membesar, mengembang, seperti mengembangnya rongga kemaluanku yang meregang didesak batang kemaluannya.

Semili demi-semilimeter,
Tatapan matanya meruncing ke dalam mataku, seiring makin dalamnya batang kemaluannya yang semakin menancap dalam kemaluanku.
Batang yang merindu kegadisanku,
Batang yang mengharap keperawananku,
Batang yang mengharap kehormatanku.

Kedua bola matanya menatapku balik sama tajamnya, sama dalamnya, seperti dalamnya penis Kak Zaki yang kian terbenam dalam dekapan rongga vaginaku.
Kutatap relung di kedalaman matanya,
Kutatap hatinya,
Kupinta cintanya,
Kupinta kasih sayangnya,
Kupinta ketulusan hatinya.

Mataku mulai perih, kelopak mataku terasa hangat, pandanganku terasa sepat, kantung air mataku terasa sembab.
Perlahan, pojok mataku meneteskan air mata yang hangat, mengalir menyusuri pelipisku, seperti hangatnya darah encer yang menetes dari celah antara kemaluanku dan kemaluannya.

Kak Zaki terdiam kaku menatapku yang berlinang air mata, wajahnya menampakkan raut terkejutnya.

Batang kejantanannya, menancap dalam-dalam dan kokoh tertanam dalam rongga kemaluanku.

"Bella." Suara Kak Zaki di heningnya malam mengejutkanku.
Aku gelagapan mencari tisu untuk melap jari-jariku yang basah kuyup.

---


Yang penasaran sama endingnya Bella, ini ya.
Yang masih rela nemenin aku nanem kentang, semoga bersambung ke part berikutnya.

Makasi banyaaak buat yg udah support dan selalu nungguin dan ngomenin.

Khusus buat yang copas semua ceritaku di Wattpad, mengklaim sebagai karyanya, mengubah karakternya, dan begitu bangga dipuji-puji oleh pembacanya di sana. What is your problem? Apa salahku sama kamu? Congratulations, you may have my stories, but your life is so low and cheap dan aku turut bersedih sampe hidupmu harus ngeklaim-ngeklaim karya orang gitu.
Weh mantep ada update 😍

Buset ada yang copas + ngeklaim? Gini deh resiko punya karya bagus, banyak yang ngaku-ngaku. Tetep semangat nulisnya sis, biar gaya tulisannya makin banyak dikenal, biar orang-orang tau siapa yang ori 🔥🔥
 
Welcome back Sis... Langsung bikin cenut2.

Untuk yg copas dan ngaku2 karya orang lain... Sadarlah.
 
Melamun atau beneran ya??
Aku jadi bingung bacanya
Di bilang melamun itu pasti
Kalau beneran ceritanya gak nyambung..
 
Lockdown Corona: Bella
Ditulis oleh Giaraini, untuk Kakak-Kakak Semprot tercinta.

Kalo mau copas, copas judul sama penulisnya, ya.

Part X
Bandung, 14 Desember 2021

---


Setengah kepala penis Kak Zaki rasanya sudah tenggelam dalam himpitan pintu vaginaku. Mungin saat ini, setengah pintu vaginaku sudah berhasil dibukanya. Tapi sungguh kali ini aku tak kuasa menolaknya. Kelembutan dan kehangatan kepala penisnya seperti buaian yang mengayunkanku ke batas langit. Rasa kepala penisnya yang tersumpal di mulut rongga senggamaku itu terasa menggelitik.

Aku membuka mata, menatap Kak Zaki, dan menggelengkan kepalaku, memintanya agar mencabut penisnya dari pintu vaginaku.
"Aaaaaaaaaah!!!" Aku kembali menjerit saat Kak Zaki menarik penisnya keluar dari kemaluanku.

Tanpa aku sadari, aku menemukan diriku sedang terengah-engah.
"Kok enak banget, sih?" Tanyaku dalam hati.

"Bella." Suara Mama menyadarkanku dari lamunan.

"Iya, Ma." Jawabku, refleks menutupkan foto di handphoneku dari pandangan Mama.

"Katanya, Della dan Zaki sudah mau sampai."
"Tolong parkirin mobilnya ke pojok, biar mobil Zaki bisa masuk." Pinta Mama.

1 Year Ago Memories, begitu judul foto tadi. Foto setahun yang lalu yang otomatis ditampilkan di handphoneku. Foto tadi itu, foto Kak Zaki yang tengah berselimut, tertidur nyenyak di kamarku.

Satu tahun yang lalu.
"Hmhhh."

Banyak sudah yang berubah hingga hari ini, hari Lebaran di tahun 2021. Sekarang, PSBB sudah menjadi PPKM, Covid-19 sudah mau bermutasi jadi varian Delta, dan berbagai vaksin mulai disebar. Aku sendiri baru selesai UAS Ganjilku seminggu yang lalu. Dan dia? Dia, aku tak tahu kabarnya. Karena seminggu setelah kejadian mesum di kamarku itu, aku meminta Kak Zaki untuk melupakan semua yang terjadi. Demi kebaikan semua orang, demi kebaikan Kak Della Kakak Kandungku, aku memintanya untuk menyudahi semua prosa erotik yang terkarang bersamanya.

Kak Zaki dan Kak Della memang sempat beberapa kali bisa berkunjung kembali ke rumah, namun sebisa mungkin aku menghindari bertemu mereka. Walau pun waktu-waktu ketika bersama Kak Zaki sangat berkesan untukku, tapi aku lebih sayang dengan Kakak Kandungku. Maka tiap kali ada kabar mereka mampir atau menengok, aku sudah siap pergi keluar rumah dengan berbagai alasan. Sejauh ini, semua upayaku untuk menghindari suami-istri yang sedang merintis keluarga itu berhasil. Terkecuali hari ini, hari istimewa ini.

Di bawah gegana kelam Covid-19 varian Delta yang tengah menyelimuti India, peraturan libur Lebaran di Indonesia diperketat oleh pihak berwenangnya. Siapa pun yang akan ke luar kota harus punya kepentingan yang jelas dan punya surat keterangan untuk itu. Namun aku dan keluarga berhasil meloloskan diri sejak seminggu yang lalu ke rumah saudara yang jauh dari kota. Serunya, tempat saudaraku ini berada di daerah pantai yang lumayan bagus dan terkenal. Mengingat selama setahun tak bisa ke mana-mana, bukankah pantai jadi tempat yang menyenangkan untuk menghilangkan kejenuhan lockdown?

Kebalikannya dari nuansa pandemi, siang begitu cerah di langit pantai tempatku berada. Riak awan altokumulus dan birunya langit di atas Samudera Hindia seolah menawarkan realita pengganti, relap-binar kilauan gelombang dan debur ombak seolah membekukan detak jarum jam tiap kali aku memandanginya. Terlebih bungalow yang kami sewa, memiliki rimbunan pohon Waru Laut yang teduh di halamannya, plus pemandangan terbuka ke pantai, membuat tempat ini menjadi sangat spesial. Biasanya, kami sekeluarga menginap di rumah saudara sekitar 10 kilometer dari tempat ini, namun kali ini menantunya Mama punya ide berbeda. Menurut Kak Zaki, ini bungalow punya teman kerjanya dan selalu jadi favorit teman-teman kantornya untuk bertamasya.

Mungkin setengah jam kemudian, tenangnya pantai terusik gemeretak pecahan karang yang terlindas ban mobil. Honda Jazz Putih kemudian perlahan menepi persis di samping mobil Papa yang kuparkirkan.

"Santuy seperti di pantuy?" Kelakar Kak Dilla setelah menurunkan jendela.

Aku tertawa.
"Welcome to the beach!"

Dari jok kemudi, Kak Zaki tersenyum ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.

Aku, Papa, Mama, Nenek, dan Bibi Pembantu memang sudah berangkat lebih dulu, sementara Kak Zaki dan Kak Della baru bisa menyusul di hari ini.
"Mana yang lain?" Tanya Kak Della, keluar dari mobil, meninggalkan aku berdua dengan Kak Zaki yang baru selesai mematikan mesin mobil.

"Apa kabar, Bel?" Tanya Kak Zaki menghampiriku.
Jantungku sedikit berdebar. Sudah lama aku tak mendengar kata-kata dari pita suara berjakun yang bernada rendah itu.

"Baik, Kak." Jawabku agak canggung.

Kak Zaki berdiri menghadap lautan biru, sambil menyeruput Nescafe kaleng yang dipegangnya. Aku sendiri bingung, sebetulnya tak ingin berlama-lama berbicara dengan Kak Zaki, tapi rasanya tak sopan jika aku tinggalkan begitu saja.

"Berapa jam tadi jalan?" Tanyaku basa-basi.

Berdiri di belakangnya, indera penciumanku tak bisa menghindari molekul-molekul parfum yang menguap tertiup angin dari tubuh Kak Zaki. Wangi kayu-kayuan yang maskulin itu menyelinap ke balik cuping hidungku. Mengetahui bau yang familiar, kepalaku pun mulai sibuk bekerja mencarikan memori masa lalu yang berkaitan dengan wewangian ini.

"Enam jam. Lumayanlah pegel." Jawab Kak Zaki.

Tiap kali Kak Zaki menarik nafas, setiap kali itu pula tulang belikatnya mengembang, bahunya naik turun. Tiap kali itu pula aku teringat nafas tersengalnya saat penisnya terjepit di belahan kemaluanku.

Pejantan itu, terlihat begitu haus akan himpitan vagina perawan ketika itu.
"Ya udah, jangan terlalu dalem tapi ya?" Pintaku, ketika Kak Zaki menghunuskan kepala penisnya pada lubang kemaluanku.

"Kayak tadi?" Tanyanya memastikan.

Sekali pun begitu, manusia bertanduk ini pada akhirnya tetap mencuri-curi kesempatan tiap ada waktu. Namun aku sendiri terkadang tak bisa membendung rasa nikmat yang merajalela dari desakan kepala penisnya di ambang pintu liang vaginaku.

"Kak Zaki nakal." Protesku, ketika kepala penisnya maju lebih dalam dari sebelumnya.
Namun dia tahu betul aku begitu menikmati kesengajaannya itu.

"Eh, Zaki. Apa kabar, Nak?" Suara Mama memulihkan kesadaranku.
"Jam berapa berangkat dari rumah?"

Mengabaikan mereka berdua di teras, aku pun segera bergegas ke dalam rumah.

Rasa dag-dig-dug yang kurasakan saat menghadapi Kak Zaki tadi di luar dugaanku. Bagaimana tidak, bertemu kembali dengan orang yang pernah berciuman, bertelanjang, dan lebih dari itu. Seolah aku telah mengenalnya seumur hidupku, suaranya, tubuhnya, baunya, tawanya, pribadinya, padahal kenyataannya jika aku mengingat kembali perjalanan Kak Della bersamanya, aku hanyalah serpihan kecil baginya.

Sejak Kak Della dan Kak Zaki tiba pun, aku masih berusaha untuk mengurangi waktu untuk berkumpul. Namun tentu saja, aku tahu tak selamanya aku bisa menghindari itu.

"Kenapa ini pantai jadi serame ini, Pah?" Tanya Kak Della, di sela-sela suapan ikan bakar dari piringnya.

"Lah, gimana gak rame, masuknya aja gak dicek suhu." Jawab Mama.

"Semua orang butuh uang, Del.
"Dapur orang-orang di sini sangat mengandalkan kunjungan wisatawan.
"Kita maklumi aja, yang penting kita yang hati-hati." Timpal Papa, yang memang menginginkan makan malam di restoran yang satu ini.

Aku diam saja sepanjang percakapan, memilih untuk menikmati udang yang sedang kumakan dan nuansa malam di pesisir pantai.

"Bella mau?" Tanya Kak Della, mengacungkan kepala ikan Kuwe yang ada di piringnya ke arahku.

Aku mengangguk.

"Si Papa sama Bella ini paling suka makan kepala ikan, memang." Terang Mama pada menantunya.
"Selera makan Bella sama Ayahnya ini sama persis.
"Kalo Della kayak Mama, gak suka yang gajih-gajih kayak gitu."

"Iya. Della beli sate pun mesti daging semua." Kak Zaki mengiyakan.
"Kalo Bella suka sama yang berlendir gitu, ya?"

Aku mengernyitkan dahi.
""Bella suka sama yang berlendir" itu maksudnya secara harfiah atau kiasan?" Tanyaku dalam hati.

Persis saat Kak Della menyodorkan kepala ikannya, Kak Zaki keburu memotongnya,
"Ini aja.
"Kamu pasti suka.
"Kepala punyaku lebih berlendir."

"Kenapa harus bilang 'berlendir' sih?" Protesku dalam hati.

"Itu ikan Barramundi, lebih berminyak dari ikan Kuwe." Terang Papa, yang memang lebih tau tentang ikan laut.

Mencongkeli daging di sela-sela tulang kepala dan insang ikan kali ini tak begitu membuatku bernafsu untuk makan, namun pekat dan licinnya cairan bening dari kepala ikan yang melumuri jari membuatku bernafsu untuk hal lain.

"Suka?" Tanya Kak Zaki ke arahku, mungkin melihat kepala ikannya sudah mulai habis.

"Suka. Punya Kak Zaki enak." Jawabku rada melantur. Otakku terlanjur tersesat. Sejak pekatnya lemak ikan yang lumer di mulutku, pikiranku sudah pergi ke kasur yang sama dengan lamunanku tadi siang.

Semili demi-semilimeter, kepala penis yang hangat dan lembut itu masih terus berusaha maju agak dalam. Dan tiap kali aku merasa sudah terlalu dalam, aku hanya bisa menahan pinggangnya dengan tanganku, tanpa bisa menolak atau melarangnya.

Hingga pada suatu ketika, tekanan dan gesekan penisnya membuatku orgasme. Orgasme pertama kali yang aku dapatkan dari lubang kemaluanku.
"Enak?" Tanyanya.

Aku terdiam menikmati sisa-sisa klimaks yang masih berseliweran di relung tulang panggulku. Denyutan jantung menghantarkan renyut-renyut orgasme ke sekujur tubuhku. Ketika itu, leherku masih terasa tegang, dadaku masih terasa panas, nafasku masih terengah, namun Kak Zaki nampak masih belum puas. Disambarnya buah dadaku, diremas, dan diperahnya. Dipilin, dicubit, dicium, dan dihisapnya putting susuku.
"Mau lagi, Kak." Bisikku sambil mendengus.

"Mau lagi, Bel?" Tanya Kak Della, mengaburkan semua remasan dan hisapan di payudara telanjangku.
"Masih ada punyaku." Tunjuknya pada kepala ikan di piring Kak Della.

---

Hari ke-dua. Pikiranku, emosiku, mentalku, rasanya sudah cukup teraduk-aduk sejak Kak Zaki datang. Inilah kenapa aku berusaha menjauhinya selama setahun ini, karena aku tahu Kakak Iparku ini dapat dengan mudah mempengaruhi akal sehatku, bahkan ketika dia tidak melakukan apa-apa sekali pun. Tapi apa dayaku saat ini. Ini adalah hari di mana semua orang harus bertemu dan berkumpul.

"Pantesan tadi Mama pas keluar kaget, kenapa pantai sepi banget." Kata Mama, di antara obrolan keluarga di teras bungalow.
"Jadi, itu tuh gimana ceritanya, Bel?"

"Iya. Ada orang posting video kemarin. Kan rame tuh, kita aja makan kemarin sampe susah parkir." Jawabku di sela-sela hisapan es kelapa muda di meja teras.
"Udah gitu, di video itu gak ada yang pake masker. Udah mah kayak pasar gitu, kan."
"Ketauan deh sama Pak Gubernur."

"Pak Gubernur ini kan gaul, Ma." Timpal Kak Della.
"Cepet itu yang kayak gitu nyampe ke dia."
"Langsung ditutup pantainya tadi pagi."

"Terus, kita gimana dong?" Tanya Mama lagi.
"Padahal kita …"

Suara Mama berceloteh mendadak sayup saat mataku mengikuti angin yang meniup-niup celana pendek pantai Kak Zaki. Tiupan angin itu memperdaya kain katun tipis yang dikenakannya, sehingga membentuk tonjolan khas di bawah perutnya.

Aku mengernyitkan dahi,
"Kenapa sih, aku salfok terus dari kemarin." Protesku dalam hati.

"Kalo menurut saya, kecil kemungkinan mereka mengusir wisatawan yang sudah masuk." Kak Zaki turut nimbrung.

"Iya. Urusannya bisa panjang."
"Kalo diusir, pasti kita minta refund."
"Penginapan kecil-kecil itu mana mungkin mau refund." Timpal Papa.

Mungkin tak ia sengaja, Kak Zaki dari tadi berdiri melawan arah angin, membuat selangkangannya yang mancung semakin jelas di mataku. Seharusnya penampakan seperti itu wajar, namun entah kenapa buatku kali ini sangat lain. Angin seolah memvisualkan aerodinamika benda pejal yang bangir itu. Dan itu hanya membuat kepalaku memutar rekaman memori lama di benakku. Kepalanya yang bundar mengkilap, lubang kencingnya yang tipis basah, bekas jahitan sunat di lehernya yang bergelombang, urat-urat dan aliran darah di batangnya yang merenjul tercengkram di sekelilingnya, pangkalnya yang kokoh tegap dan berbulu, membuat pikiranku lagi-lagi kembali ke kasur di kamarku.

"Beneran mau lagi?" Suara Kak Zaki bertanya, masih terasa jelas terdengar di kepalaku. Kakak Iparku itu terduduk dengan pahanya terbuka di hadapan selangkanganku, dengan penis yang mengacung ke udara. Penisnya yang gagah dan tegak begitu kontras dengan raut wajahnya yang sayu dan kalut oleh birahi.

"Kak Zaki masih mau, kan?" Tanyaku sambil mengulurkan tangan, mengusap-usap benda tegang yang dipenuhi oleh otot dan urat itu.

Kak Zaki tersenyum mengangguk.

"Mau apa emang Kak Zaki?" Tanyaku memancingnya.

"Mau itu." Jawabnya ragu-ragu.

"Mau apa ih?"

"Mau memeknya Bella." Jawabnya dengan lancar.

"Sini." Pintaku agar dia memelukku.
"Mau apa?" Bisikku di telinganya.

"Mau memeknya Bella."

"Memeknya Bella mau diapain?" Bisikku lagi.

"Hmm." Dia berpikir sejenak.
"Memeknya Bella mau aku entot."

Mendengar kata itu, seketika bulu roma di sekujur tubuhku berdiri.
"Apa? Gak denger." Bisikku.

"Memeknya Bella mau aku entot."

Refleks aku meremas gemas penisnya.
"Lagi, Kak." Bisikku, seraya merentangakan pahaku agar belahan kemaluanku terbuka.

Melamunkan itu saja, rasanya badanku mendadak berkeringat. Angin pantai di suhu yang tak terlalu panas ini bahkan tak bisa mengimbangi temperatur tubuhku yang mulai stress gara-gara melamun.

"Gerah, Bel?" Tanya Kak Della, melihatku menyibak-nyibak dress pantai yang kukenakan.

"Gemes, Kak. Gemes sama kelakuan Kak Zaki." Bisikku dalam hati.
"Iya." Jawabku.

Di sudut teras, Kak Zaki seperti menyimak apa yang sedang aku lakukan. Dia duduk di lantai bersandar ke tembok rumah sementara aku berlawanan arah duduk di lantai mengahadapi meja teras di mana kelapa mudaku berada. Entah setan apa yang mengguna-gunaku, aku menarik dress pantaiku hingga ke lutut, kemudian kutarik lututku hingga ke dada. Kubiarkan selangkanganku terbuka menantangi Kak Zaki di sebrang teras. Bila pun aku diprotes, aku akan berkilah membuka kaki tak sadar karena kegerahan.

Kak Zaki tampak begitu terkejut saat mengetahui pahaku terbuka lebar. Dari sudut mataku, aku melihat tatapannya seperti tak bisa beralih dari bawah meja. Mengetahui itu, permukaan kemaluanku terasa berdenyut-denyut. Semakin lama aku membiarkannya memandangi selangkanganku, semakin terangsang aku dibuatnya. Mungkin dia membayangkan bentuk kemaluanku yang berada di balik selapis celana dalam ini, mungkin dia membayangkan saat mulut dan lidahnya menghisap dan menjilati bagian itu, mungkin dia membayangkan rasanya saat penisnya terjepit kemaluanku.

"Masih ingat yang katanya putih, mulus, chubby dan kencang?" Tanyaku dalam hati.
"Masih ingat wanginya, Kak?"
"Masih rasa chamomile, kok."

---

Malam itu pun aku lewati dengan pikiran kalut-marut. Kak Zaki dan Kak Della yang lebih memilih untuk tidur di ruang tengah pun membuat aku tak berhenti membayangkan tingkah-laku mesum Kakak Iparku setahun yang lalu. Pemandangan gundukan daging di selangkangan Kak Zaki tadi sore membuatku harus menanggung kehornianku yang tak kunjung selesai. Pada akhirnya, aku menyerah pada jemariku di malam itu.

Berselimut tanpa pakaian bawah, aku menenggelamkan diri pada kenangan mesum bersama Kak Zaki.

"Mau ngapain, Kak?" Bisikku, saat kepala penisnya mulai membelah bibir kemaluanku.

"Memeknya Bella mau aku entot."

"Mau apa?"

"Mau ngentot memeknya Bella."

Aku terpejam, menikmati buaian kata-kata tabu itu, seiring penis hangatnya mendesak merambah dinding-dinding pintu vaginaku.

"Lagi apa, Kak?" Tanyaku pelan.

"Ngentot memeknya Bella."

"Hmhhh." Aku mendengus, mendengar kata-kata itu lagi.
Melihatku meregang akan kenikmatan, diraupnya buah dadaku yang membusung ini, diremas-remasnya hingga aku menggeliat-geliat tak karuan.

Seperti mur dan baut, helm lembut kemaluannya itu terkancing mesra antara dua himpitan bibir luar dan dua jepitan pintu vaginaku. Basah dan lincirnya cairan cintaku seolah menyambutnya untuk menari, berdansa dalam dekapan erat lubang senggamaku.

"Panggil dia, Kak." Bisikku manja.

"Memek Bella."

"Kenapa memek Bella?"

"Memek Bella sempit.
"Memek Bella panas.
"Memek Bella basah."
Suaranya, kata-katanya, nadanya, panggilannya, seperti busur panah kenikmatan yang melesat di lorong telingaku, menancap di lubang senggamaku, menyerpih dan berhamburan di sepanjang tulang punggungku.

"Memek Bella lagi diapain?" Tanyaku lagi.

"Memek Bella lagi dientot."
Kuraih tangannya, kudekapkan pada payudaraku. Diraupnya buah dada kencangku yang membusung ini, diremas-remas hingga aku menggeliat-geliat menahan nikmat.

Di antara kayuhan penisnya di pintu lubang senggamaku, di antara redup-redam kesadaranku, tiba-tiba Kak Zaki menekan penisnya lebih dalam. Cukup dalam, sekali pun penisnya tersangkut sampai melengkung.

"Hahh!!!" Mataku terbelalak terkejut, namun nafasku tersekat oleh kenikmatan yang tak biasa itu.
Namun kejadiannya pun selalu sama, aku akan terpaku sesaat menikmati sensasi dorongan penisnya yang membuat otot-otot, daging-daging, dan membran-membran di sekeliling vaginaku terentang meregang.

Satu detik, dua detik, tiga detik, kenikmatan berlalu seolah tak berbatas waktu.
Satu mili, dua mili, tiga mili, penis Kak Zaki menyelinap menusuk masuk.
Aku diam terpaku menikmati itu.

"Kak. Kejauhan itu." Protesku, sambil tak bisa menghindari tenggorokanku yang harus menelan air liur karena nikmat.
"Ini masuk?" Tanyaku was-was dan mengangkat kepalaku.
Aku terdiam melihat penisnya yang kian tenggelam di selangkanganku. Kali ini agak lain memang, pintu vaginaku tak terasa lagi menahan kepala penis itu, melainkan serasa sedang mencekik leher Penis Kak Zaki.

Sebelum aku berpikir dan memintanya untuk mencabut penisnya, Kak Zaki malah mengayuhkan penisnya maju.
"Ah. Kak. Jangan!"

Dia pun menarik penisnya mundur.

Namun dia bisa melihat sendiri bagaimana aku menikmati itu.
Maka dia pun kembali mendorong penisnya maju.
"Emmmhh. Kak." Protesku samar di antara lenguhanku.

Lalu mundur lagi.
Lalu maju lagi.

"Emmmh. Emmmh. Emmhhh."
Aku terpejam-pejam dibuatnya.

Kepala penisnya yang lembut terasa menyodok-nyodok dinding-dinding vaginaku, lingkar helmnya terasa menggerus-gerus dan mencongkel-congkel gumpalan-gumpalan daging dalam liang miliku. Batangnya yang kokoh, berurat, dan bergerinjul terasa menyayat pintu vaginaku dengan nikmatnya.

Kenikmatan demi-kenikmatan makin membuaiku.
Perlahan namun pasti, riak-riak kenikmatan di ujung-ujung syaraf kemaluanku menggulung cakrawala kesadaranku, dari riak menjadi alun yang memanjang, dari alun menjadi ombak yang membesar, dari ombak menjadi bena yang meluap, dari bena menjadi kisaran kenikmatan, semakin liar, semakin deras, memutar, memusar.
Nafasku memburu, jantungku memacu, leherku memanas, dada dan perutku menghangat, payudaraku mengencang, klitorisku mengeras.
Pikirku saat itu,
Mungkin sedikit lebih dalam lebih enak,
Mungkin agak dalam lagi lebih enak,
Mungkin ... Pikiranku makin tak sehat.

"Kak. Lagi ngapain?" Bisikku lirih.

"Ngentot memeknya Bella"
"emmmh."

"Apa?"

"Ngentot memeknya Bella."

Dengan nafas mendengus, aku menahannya sesaat, lalu menatapnya dalam-dalam. Sayu wajahnya, kemelut tatapnya, seperti sangat aku mengerti. Tarikan pusaran kenikmatan itu sedemikian kencang nampaknya juga dirasakan Kak Zaki.

Kukecup ujung bibirnya, kuciuminya dengan mesra. Lalu kubuka mulutku lebar-lebar, seperti aku perlahan membukakan selangkanganku.
Kak Zaki nampak terkejut mendapati lubang vaginaku yang merongga.

Aku tak peduli.
Kucium mulutnya lekat-lekat.
Kuremaskan tangannya pada buah dadaku.

Aku menatap kedua bola matanya, seperti lubang kencingnya yang sedang menatapi kerapatan rongga kemaluanku saat ini.
Kurenungi kedalaman matanya, seperti kepala penisnya yang merindu kedalaman vaginaku.
Kubiarkan penisnya maju satu mili.

Kupilah bilahan demi-bilahan selaput pelangi matanya, seperti bilahan selaput daraku yang mulai tersentuh tanduk pejantan itu.
Kutelusuri gerbang pupil matanya, seperti kepala penisnya yang kubiarkan bergerak menyusuri pintu lubang senggamaku.
Pupil matanya membesar, mengembang, seperti mengembangnya rongga kemaluanku yang meregang didesak batang kemaluannya.

Semili demi-semilimeter,
Tatapan matanya meruncing ke dalam mataku, seiring makin dalamnya batang kemaluannya yang semakin menancap dalam kemaluanku.
Batang yang merindu kegadisanku,
Batang yang mengharap keperawananku,
Batang yang mengharap kehormatanku.

Kedua bola matanya menatapku balik sama tajamnya, sama dalamnya, seperti dalamnya penis Kak Zaki yang kian terbenam dalam dekapan rongga vaginaku.
Kutatap relung di kedalaman matanya,
Kutatap hatinya,
Kupinta cintanya,
Kupinta kasih sayangnya,
Kupinta ketulusan hatinya.

Mataku mulai perih, kelopak mataku terasa hangat, pandanganku terasa sepat, kantung air mataku terasa sembab.
Perlahan, pojok mataku meneteskan air mata yang hangat, mengalir menyusuri pelipisku, seperti hangatnya darah encer yang menetes dari celah antara kemaluanku dan kemaluannya.

Kak Zaki terdiam kaku menatapku yang berlinang air mata, wajahnya menampakkan raut terkejutnya.

Batang kejantanannya, menancap dalam-dalam dan kokoh tertanam dalam rongga kemaluanku.

"Bella." Suara Kak Zaki di heningnya malam mengejutkanku.
Aku gelagapan mencari tisu untuk melap jari-jariku yang basah kuyup.

---


Yang penasaran sama endingnya Bella, ini ya.
Yang masih rela nemenin aku nanem kentang, semoga bersambung ke part berikutnya.

Makasi banyaaak buat yg udah support dan selalu nungguin dan ngomenin.

Khusus buat yang copas semua ceritaku di Wattpad, mengklaim sebagai karyanya, mengubah karakternya, dan begitu bangga dipuji-puji oleh pembacanya di sana. What is your problem? Apa salahku sama kamu? Congratulations, you may have my stories, but your life is so low and cheap dan aku turut bersedih sampe hidupmu harus ngeklaim-ngeklaim karya orang gitu.
Biarin aja Sis @giaraini , kelakuan orang bukan sesuatu yg bisa kita control, it is within our circle of concerns saja, and better to ignore them. Just consider they're as low life that doesn't even worth your disappointment.
Cukup tau bahwa ini storiesmu, and you're a great writer.
Btw, Bellanya jadi agak nakal ya, it goes to the different direction sepertinya.
Thank you for the story, hampir aja crit pas baca ini setelah 60 hari no fap haha..
 
Lockdown Corona: Bella
Ditulis oleh Giaraini, untuk Kakak-Kakak Semprot tercinta.

Kalo mau copas, copas judul sama penulisnya, ya.

Part X
Bandung, 14 Desember 2021

---


Setengah kepala penis Kak Zaki rasanya sudah tenggelam dalam himpitan pintu vaginaku. Mungin saat ini, setengah pintu vaginaku sudah berhasil dibukanya. Tapi sungguh kali ini aku tak kuasa menolaknya. Kelembutan dan kehangatan kepala penisnya seperti buaian yang mengayunkanku ke batas langit. Rasa kepala penisnya yang tersumpal di mulut rongga senggamaku itu terasa menggelitik.

Aku membuka mata, menatap Kak Zaki, dan menggelengkan kepalaku, memintanya agar mencabut penisnya dari pintu vaginaku.
"Aaaaaaaaaah!!!" Aku kembali menjerit saat Kak Zaki menarik penisnya keluar dari kemaluanku.

Tanpa aku sadari, aku menemukan diriku sedang terengah-engah.
"Kok enak banget, sih?" Tanyaku dalam hati.

"Bella." Suara Mama menyadarkanku dari lamunan.

"Iya, Ma." Jawabku, refleks menutupkan foto di handphoneku dari pandangan Mama.

"Katanya, Della dan Zaki sudah mau sampai."
"Tolong parkirin mobilnya ke pojok, biar mobil Zaki bisa masuk." Pinta Mama.

1 Year Ago Memories, begitu judul foto tadi. Foto setahun yang lalu yang otomatis ditampilkan di handphoneku. Foto tadi itu, foto Kak Zaki yang tengah berselimut, tertidur nyenyak di kamarku.

Satu tahun yang lalu.
"Hmhhh."

Banyak sudah yang berubah hingga hari ini, hari Lebaran di tahun 2021. Sekarang, PSBB sudah menjadi PPKM, Covid-19 sudah mau bermutasi jadi varian Delta, dan berbagai vaksin mulai disebar. Aku sendiri baru selesai UAS Ganjilku seminggu yang lalu. Dan dia? Dia, aku tak tahu kabarnya. Karena seminggu setelah kejadian mesum di kamarku itu, aku meminta Kak Zaki untuk melupakan semua yang terjadi. Demi kebaikan semua orang, demi kebaikan Kak Della Kakak Kandungku, aku memintanya untuk menyudahi semua prosa erotik yang terkarang bersamanya.

Kak Zaki dan Kak Della memang sempat beberapa kali bisa berkunjung kembali ke rumah, namun sebisa mungkin aku menghindari bertemu mereka. Walau pun waktu-waktu ketika bersama Kak Zaki sangat berkesan untukku, tapi aku lebih sayang dengan Kakak Kandungku. Maka tiap kali ada kabar mereka mampir atau menengok, aku sudah siap pergi keluar rumah dengan berbagai alasan. Sejauh ini, semua upayaku untuk menghindari suami-istri yang sedang merintis keluarga itu berhasil. Terkecuali hari ini, hari istimewa ini.

Di bawah gegana kelam Covid-19 varian Delta yang tengah menyelimuti India, peraturan libur Lebaran di Indonesia diperketat oleh pihak berwenangnya. Siapa pun yang akan ke luar kota harus punya kepentingan yang jelas dan punya surat keterangan untuk itu. Namun aku dan keluarga berhasil meloloskan diri sejak seminggu yang lalu ke rumah saudara yang jauh dari kota. Serunya, tempat saudaraku ini berada di daerah pantai yang lumayan bagus dan terkenal. Mengingat selama setahun tak bisa ke mana-mana, bukankah pantai jadi tempat yang menyenangkan untuk menghilangkan kejenuhan lockdown?

Kebalikannya dari nuansa pandemi, siang begitu cerah di langit pantai tempatku berada. Riak awan altokumulus dan birunya langit di atas Samudera Hindia seolah menawarkan realita pengganti, relap-binar kilauan gelombang dan debur ombak seolah membekukan detak jarum jam tiap kali aku memandanginya. Terlebih bungalow yang kami sewa, memiliki rimbunan pohon Waru Laut yang teduh di halamannya, plus pemandangan terbuka ke pantai, membuat tempat ini menjadi sangat spesial. Biasanya, kami sekeluarga menginap di rumah saudara sekitar 10 kilometer dari tempat ini, namun kali ini menantunya Mama punya ide berbeda. Menurut Kak Zaki, ini bungalow punya teman kerjanya dan selalu jadi favorit teman-teman kantornya untuk bertamasya.

Mungkin setengah jam kemudian, tenangnya pantai terusik gemeretak pecahan karang yang terlindas ban mobil. Honda Jazz Putih kemudian perlahan menepi persis di samping mobil Papa yang kuparkirkan.

"Santuy seperti di pantuy?" Kelakar Kak Dilla setelah menurunkan jendela.

Aku tertawa.
"Welcome to the beach!"

Dari jok kemudi, Kak Zaki tersenyum ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.

Aku, Papa, Mama, Nenek, dan Bibi Pembantu memang sudah berangkat lebih dulu, sementara Kak Zaki dan Kak Della baru bisa menyusul di hari ini.
"Mana yang lain?" Tanya Kak Della, keluar dari mobil, meninggalkan aku berdua dengan Kak Zaki yang baru selesai mematikan mesin mobil.

"Apa kabar, Bel?" Tanya Kak Zaki menghampiriku.
Jantungku sedikit berdebar. Sudah lama aku tak mendengar kata-kata dari pita suara berjakun yang bernada rendah itu.

"Baik, Kak." Jawabku agak canggung.

Kak Zaki berdiri menghadap lautan biru, sambil menyeruput Nescafe kaleng yang dipegangnya. Aku sendiri bingung, sebetulnya tak ingin berlama-lama berbicara dengan Kak Zaki, tapi rasanya tak sopan jika aku tinggalkan begitu saja.

"Berapa jam tadi jalan?" Tanyaku basa-basi.

Berdiri di belakangnya, indera penciumanku tak bisa menghindari molekul-molekul parfum yang menguap tertiup angin dari tubuh Kak Zaki. Wangi kayu-kayuan yang maskulin itu menyelinap ke balik cuping hidungku. Mengetahui bau yang familiar, kepalaku pun mulai sibuk bekerja mencarikan memori masa lalu yang berkaitan dengan wewangian ini.

"Enam jam. Lumayanlah pegel." Jawab Kak Zaki.

Tiap kali Kak Zaki menarik nafas, setiap kali itu pula tulang belikatnya mengembang, bahunya naik turun. Tiap kali itu pula aku teringat nafas tersengalnya saat penisnya terjepit di belahan kemaluanku.

Pejantan itu, terlihat begitu haus akan himpitan vagina perawan ketika itu.
"Ya udah, jangan terlalu dalem tapi ya?" Pintaku, ketika Kak Zaki menghunuskan kepala penisnya pada lubang kemaluanku.

"Kayak tadi?" Tanyanya memastikan.

Sekali pun begitu, manusia bertanduk ini pada akhirnya tetap mencuri-curi kesempatan tiap ada waktu. Namun aku sendiri terkadang tak bisa membendung rasa nikmat yang merajalela dari desakan kepala penisnya di ambang pintu liang vaginaku.

"Kak Zaki nakal." Protesku, ketika kepala penisnya maju lebih dalam dari sebelumnya.
Namun dia tahu betul aku begitu menikmati kesengajaannya itu.

"Eh, Zaki. Apa kabar, Nak?" Suara Mama memulihkan kesadaranku.
"Jam berapa berangkat dari rumah?"

Mengabaikan mereka berdua di teras, aku pun segera bergegas ke dalam rumah.

Rasa dag-dig-dug yang kurasakan saat menghadapi Kak Zaki tadi di luar dugaanku. Bagaimana tidak, bertemu kembali dengan orang yang pernah berciuman, bertelanjang, dan lebih dari itu. Seolah aku telah mengenalnya seumur hidupku, suaranya, tubuhnya, baunya, tawanya, pribadinya, padahal kenyataannya jika aku mengingat kembali perjalanan Kak Della bersamanya, aku hanyalah serpihan kecil baginya.

Sejak Kak Della dan Kak Zaki tiba pun, aku masih berusaha untuk mengurangi waktu untuk berkumpul. Namun tentu saja, aku tahu tak selamanya aku bisa menghindari itu.

"Kenapa ini pantai jadi serame ini, Pah?" Tanya Kak Della, di sela-sela suapan ikan bakar dari piringnya.

"Lah, gimana gak rame, masuknya aja gak dicek suhu." Jawab Mama.

"Semua orang butuh uang, Del.
"Dapur orang-orang di sini sangat mengandalkan kunjungan wisatawan.
"Kita maklumi aja, yang penting kita yang hati-hati." Timpal Papa, yang memang menginginkan makan malam di restoran yang satu ini.

Aku diam saja sepanjang percakapan, memilih untuk menikmati udang yang sedang kumakan dan nuansa malam di pesisir pantai.

"Bella mau?" Tanya Kak Della, mengacungkan kepala ikan Kuwe yang ada di piringnya ke arahku.

Aku mengangguk.

"Si Papa sama Bella ini paling suka makan kepala ikan, memang." Terang Mama pada menantunya.
"Selera makan Bella sama Ayahnya ini sama persis.
"Kalo Della kayak Mama, gak suka yang gajih-gajih kayak gitu."

"Iya. Della beli sate pun mesti daging semua." Kak Zaki mengiyakan.
"Kalo Bella suka sama yang berlendir gitu, ya?"

Aku mengernyitkan dahi.
""Bella suka sama yang berlendir" itu maksudnya secara harfiah atau kiasan?" Tanyaku dalam hati.

Persis saat Kak Della menyodorkan kepala ikannya, Kak Zaki keburu memotongnya,
"Ini aja.
"Kamu pasti suka.
"Kepala punyaku lebih berlendir."

"Kenapa harus bilang 'berlendir' sih?" Protesku dalam hati.

"Itu ikan Barramundi, lebih berminyak dari ikan Kuwe." Terang Papa, yang memang lebih tau tentang ikan laut.

Mencongkeli daging di sela-sela tulang kepala dan insang ikan kali ini tak begitu membuatku bernafsu untuk makan, namun pekat dan licinnya cairan bening dari kepala ikan yang melumuri jari membuatku bernafsu untuk hal lain.

"Suka?" Tanya Kak Zaki ke arahku, mungkin melihat kepala ikannya sudah mulai habis.

"Suka. Punya Kak Zaki enak." Jawabku rada melantur. Otakku terlanjur tersesat. Sejak pekatnya lemak ikan yang lumer di mulutku, pikiranku sudah pergi ke kasur yang sama dengan lamunanku tadi siang.

Semili demi-semilimeter, kepala penis yang hangat dan lembut itu masih terus berusaha maju agak dalam. Dan tiap kali aku merasa sudah terlalu dalam, aku hanya bisa menahan pinggangnya dengan tanganku, tanpa bisa menolak atau melarangnya.

Hingga pada suatu ketika, tekanan dan gesekan penisnya membuatku orgasme. Orgasme pertama kali yang aku dapatkan dari lubang kemaluanku.
"Enak?" Tanyanya.

Aku terdiam menikmati sisa-sisa klimaks yang masih berseliweran di relung tulang panggulku. Denyutan jantung menghantarkan renyut-renyut orgasme ke sekujur tubuhku. Ketika itu, leherku masih terasa tegang, dadaku masih terasa panas, nafasku masih terengah, namun Kak Zaki nampak masih belum puas. Disambarnya buah dadaku, diremas, dan diperahnya. Dipilin, dicubit, dicium, dan dihisapnya putting susuku.
"Mau lagi, Kak." Bisikku sambil mendengus.

"Mau lagi, Bel?" Tanya Kak Della, mengaburkan semua remasan dan hisapan di payudara telanjangku.
"Masih ada punyaku." Tunjuknya pada kepala ikan di piring Kak Della.

---

Hari ke-dua. Pikiranku, emosiku, mentalku, rasanya sudah cukup teraduk-aduk sejak Kak Zaki datang. Inilah kenapa aku berusaha menjauhinya selama setahun ini, karena aku tahu Kakak Iparku ini dapat dengan mudah mempengaruhi akal sehatku, bahkan ketika dia tidak melakukan apa-apa sekali pun. Tapi apa dayaku saat ini. Ini adalah hari di mana semua orang harus bertemu dan berkumpul.

"Pantesan tadi Mama pas keluar kaget, kenapa pantai sepi banget." Kata Mama, di antara obrolan keluarga di teras bungalow.
"Jadi, itu tuh gimana ceritanya, Bel?"

"Iya. Ada orang posting video kemarin. Kan rame tuh, kita aja makan kemarin sampe susah parkir." Jawabku di sela-sela hisapan es kelapa muda di meja teras.
"Udah gitu, di video itu gak ada yang pake masker. Udah mah kayak pasar gitu, kan."
"Ketauan deh sama Pak Gubernur."

"Pak Gubernur ini kan gaul, Ma." Timpal Kak Della.
"Cepet itu yang kayak gitu nyampe ke dia."
"Langsung ditutup pantainya tadi pagi."

"Terus, kita gimana dong?" Tanya Mama lagi.
"Padahal kita …"

Suara Mama berceloteh mendadak sayup saat mataku mengikuti angin yang meniup-niup celana pendek pantai Kak Zaki. Tiupan angin itu memperdaya kain katun tipis yang dikenakannya, sehingga membentuk tonjolan khas di bawah perutnya.

Aku mengernyitkan dahi,
"Kenapa sih, aku salfok terus dari kemarin." Protesku dalam hati.

"Kalo menurut saya, kecil kemungkinan mereka mengusir wisatawan yang sudah masuk." Kak Zaki turut nimbrung.

"Iya. Urusannya bisa panjang."
"Kalo diusir, pasti kita minta refund."
"Penginapan kecil-kecil itu mana mungkin mau refund." Timpal Papa.

Mungkin tak ia sengaja, Kak Zaki dari tadi berdiri melawan arah angin, membuat selangkangannya yang mancung semakin jelas di mataku. Seharusnya penampakan seperti itu wajar, namun entah kenapa buatku kali ini sangat lain. Angin seolah memvisualkan aerodinamika benda pejal yang bangir itu. Dan itu hanya membuat kepalaku memutar rekaman memori lama di benakku. Kepalanya yang bundar mengkilap, lubang kencingnya yang tipis basah, bekas jahitan sunat di lehernya yang bergelombang, urat-urat dan aliran darah di batangnya yang merenjul tercengkram di sekelilingnya, pangkalnya yang kokoh tegap dan berbulu, membuat pikiranku lagi-lagi kembali ke kasur di kamarku.

"Beneran mau lagi?" Suara Kak Zaki bertanya, masih terasa jelas terdengar di kepalaku. Kakak Iparku itu terduduk dengan pahanya terbuka di hadapan selangkanganku, dengan penis yang mengacung ke udara. Penisnya yang gagah dan tegak begitu kontras dengan raut wajahnya yang sayu dan kalut oleh birahi.

"Kak Zaki masih mau, kan?" Tanyaku sambil mengulurkan tangan, mengusap-usap benda tegang yang dipenuhi oleh otot dan urat itu.

Kak Zaki tersenyum mengangguk.

"Mau apa emang Kak Zaki?" Tanyaku memancingnya.

"Mau itu." Jawabnya ragu-ragu.

"Mau apa ih?"

"Mau memeknya Bella." Jawabnya dengan lancar.

"Sini." Pintaku agar dia memelukku.
"Mau apa?" Bisikku di telinganya.

"Mau memeknya Bella."

"Memeknya Bella mau diapain?" Bisikku lagi.

"Hmm." Dia berpikir sejenak.
"Memeknya Bella mau aku entot."

Mendengar kata itu, seketika bulu roma di sekujur tubuhku berdiri.
"Apa? Gak denger." Bisikku.

"Memeknya Bella mau aku entot."

Refleks aku meremas gemas penisnya.
"Lagi, Kak." Bisikku, seraya merentangakan pahaku agar belahan kemaluanku terbuka.

Melamunkan itu saja, rasanya badanku mendadak berkeringat. Angin pantai di suhu yang tak terlalu panas ini bahkan tak bisa mengimbangi temperatur tubuhku yang mulai stress gara-gara melamun.

"Gerah, Bel?" Tanya Kak Della, melihatku menyibak-nyibak dress pantai yang kukenakan.

"Gemes, Kak. Gemes sama kelakuan Kak Zaki." Bisikku dalam hati.
"Iya." Jawabku.

Di sudut teras, Kak Zaki seperti menyimak apa yang sedang aku lakukan. Dia duduk di lantai bersandar ke tembok rumah sementara aku berlawanan arah duduk di lantai mengahadapi meja teras di mana kelapa mudaku berada. Entah setan apa yang mengguna-gunaku, aku menarik dress pantaiku hingga ke lutut, kemudian kutarik lututku hingga ke dada. Kubiarkan selangkanganku terbuka menantangi Kak Zaki di sebrang teras. Bila pun aku diprotes, aku akan berkilah membuka kaki tak sadar karena kegerahan.

Kak Zaki tampak begitu terkejut saat mengetahui pahaku terbuka lebar. Dari sudut mataku, aku melihat tatapannya seperti tak bisa beralih dari bawah meja. Mengetahui itu, permukaan kemaluanku terasa berdenyut-denyut. Semakin lama aku membiarkannya memandangi selangkanganku, semakin terangsang aku dibuatnya. Mungkin dia membayangkan bentuk kemaluanku yang berada di balik selapis celana dalam ini, mungkin dia membayangkan saat mulut dan lidahnya menghisap dan menjilati bagian itu, mungkin dia membayangkan rasanya saat penisnya terjepit kemaluanku.

"Masih ingat yang katanya putih, mulus, chubby dan kencang?" Tanyaku dalam hati.
"Masih ingat wanginya, Kak?"
"Masih rasa chamomile, kok."

---

Malam itu pun aku lewati dengan pikiran kalut-marut. Kak Zaki dan Kak Della yang lebih memilih untuk tidur di ruang tengah pun membuat aku tak berhenti membayangkan tingkah-laku mesum Kakak Iparku setahun yang lalu. Pemandangan gundukan daging di selangkangan Kak Zaki tadi sore membuatku harus menanggung kehornianku yang tak kunjung selesai. Pada akhirnya, aku menyerah pada jemariku di malam itu.

Berselimut tanpa pakaian bawah, aku menenggelamkan diri pada kenangan mesum bersama Kak Zaki.

"Mau ngapain, Kak?" Bisikku, saat kepala penisnya mulai membelah bibir kemaluanku.

"Memeknya Bella mau aku entot."

"Mau apa?"

"Mau ngentot memeknya Bella."

Aku terpejam, menikmati buaian kata-kata tabu itu, seiring penis hangatnya mendesak merambah dinding-dinding pintu vaginaku.

"Lagi apa, Kak?" Tanyaku pelan.

"Ngentot memeknya Bella."

"Hmhhh." Aku mendengus, mendengar kata-kata itu lagi.
Melihatku meregang akan kenikmatan, diraupnya buah dadaku yang membusung ini, diremas-remasnya hingga aku menggeliat-geliat tak karuan.

Seperti mur dan baut, helm lembut kemaluannya itu terkancing mesra antara dua himpitan bibir luar dan dua jepitan pintu vaginaku. Basah dan lincirnya cairan cintaku seolah menyambutnya untuk menari, berdansa dalam dekapan erat lubang senggamaku.

"Panggil dia, Kak." Bisikku manja.

"Memek Bella."

"Kenapa memek Bella?"

"Memek Bella sempit.
"Memek Bella panas.
"Memek Bella basah."
Suaranya, kata-katanya, nadanya, panggilannya, seperti busur panah kenikmatan yang melesat di lorong telingaku, menancap di lubang senggamaku, menyerpih dan berhamburan di sepanjang tulang punggungku.

"Memek Bella lagi diapain?" Tanyaku lagi.

"Memek Bella lagi dientot."
Kuraih tangannya, kudekapkan pada payudaraku. Diraupnya buah dada kencangku yang membusung ini, diremas-remas hingga aku menggeliat-geliat menahan nikmat.

Di antara kayuhan penisnya di pintu lubang senggamaku, di antara redup-redam kesadaranku, tiba-tiba Kak Zaki menekan penisnya lebih dalam. Cukup dalam, sekali pun penisnya tersangkut sampai melengkung.

"Hahh!!!" Mataku terbelalak terkejut, namun nafasku tersekat oleh kenikmatan yang tak biasa itu.
Namun kejadiannya pun selalu sama, aku akan terpaku sesaat menikmati sensasi dorongan penisnya yang membuat otot-otot, daging-daging, dan membran-membran di sekeliling vaginaku terentang meregang.

Satu detik, dua detik, tiga detik, kenikmatan berlalu seolah tak berbatas waktu.
Satu mili, dua mili, tiga mili, penis Kak Zaki menyelinap menusuk masuk.
Aku diam terpaku menikmati itu.

"Kak. Kejauhan itu." Protesku, sambil tak bisa menghindari tenggorokanku yang harus menelan air liur karena nikmat.
"Ini masuk?" Tanyaku was-was dan mengangkat kepalaku.
Aku terdiam melihat penisnya yang kian tenggelam di selangkanganku. Kali ini agak lain memang, pintu vaginaku tak terasa lagi menahan kepala penis itu, melainkan serasa sedang mencekik leher Penis Kak Zaki.

Sebelum aku berpikir dan memintanya untuk mencabut penisnya, Kak Zaki malah mengayuhkan penisnya maju.
"Ah. Kak. Jangan!"

Dia pun menarik penisnya mundur.

Namun dia bisa melihat sendiri bagaimana aku menikmati itu.
Maka dia pun kembali mendorong penisnya maju.
"Emmmhh. Kak." Protesku samar di antara lenguhanku.

Lalu mundur lagi.
Lalu maju lagi.

"Emmmh. Emmmh. Emmhhh."
Aku terpejam-pejam dibuatnya.

Kepala penisnya yang lembut terasa menyodok-nyodok dinding-dinding vaginaku, lingkar helmnya terasa menggerus-gerus dan mencongkel-congkel gumpalan-gumpalan daging dalam liang miliku. Batangnya yang kokoh, berurat, dan bergerinjul terasa menyayat pintu vaginaku dengan nikmatnya.

Kenikmatan demi-kenikmatan makin membuaiku.
Perlahan namun pasti, riak-riak kenikmatan di ujung-ujung syaraf kemaluanku menggulung cakrawala kesadaranku, dari riak menjadi alun yang memanjang, dari alun menjadi ombak yang membesar, dari ombak menjadi bena yang meluap, dari bena menjadi kisaran kenikmatan, semakin liar, semakin deras, memutar, memusar.
Nafasku memburu, jantungku memacu, leherku memanas, dada dan perutku menghangat, payudaraku mengencang, klitorisku mengeras.
Pikirku saat itu,
Mungkin sedikit lebih dalam lebih enak,
Mungkin agak dalam lagi lebih enak,
Mungkin ... Pikiranku makin tak sehat.

"Kak. Lagi ngapain?" Bisikku lirih.

"Ngentot memeknya Bella"
"emmmh."

"Apa?"

"Ngentot memeknya Bella."

Dengan nafas mendengus, aku menahannya sesaat, lalu menatapnya dalam-dalam. Sayu wajahnya, kemelut tatapnya, seperti sangat aku mengerti. Tarikan pusaran kenikmatan itu sedemikian kencang nampaknya juga dirasakan Kak Zaki.

Kukecup ujung bibirnya, kuciuminya dengan mesra. Lalu kubuka mulutku lebar-lebar, seperti aku perlahan membukakan selangkanganku.
Kak Zaki nampak terkejut mendapati lubang vaginaku yang merongga.

Aku tak peduli.
Kucium mulutnya lekat-lekat.
Kuremaskan tangannya pada buah dadaku.

Aku menatap kedua bola matanya, seperti lubang kencingnya yang sedang menatapi kerapatan rongga kemaluanku saat ini.
Kurenungi kedalaman matanya, seperti kepala penisnya yang merindu kedalaman vaginaku.
Kubiarkan penisnya maju satu mili.

Kupilah bilahan demi-bilahan selaput pelangi matanya, seperti bilahan selaput daraku yang mulai tersentuh tanduk pejantan itu.
Kutelusuri gerbang pupil matanya, seperti kepala penisnya yang kubiarkan bergerak menyusuri pintu lubang senggamaku.
Pupil matanya membesar, mengembang, seperti mengembangnya rongga kemaluanku yang meregang didesak batang kemaluannya.

Semili demi-semilimeter,
Tatapan matanya meruncing ke dalam mataku, seiring makin dalamnya batang kemaluannya yang semakin menancap dalam kemaluanku.
Batang yang merindu kegadisanku,
Batang yang mengharap keperawananku,
Batang yang mengharap kehormatanku.

Kedua bola matanya menatapku balik sama tajamnya, sama dalamnya, seperti dalamnya penis Kak Zaki yang kian terbenam dalam dekapan rongga vaginaku.
Kutatap relung di kedalaman matanya,
Kutatap hatinya,
Kupinta cintanya,
Kupinta kasih sayangnya,
Kupinta ketulusan hatinya.

Mataku mulai perih, kelopak mataku terasa hangat, pandanganku terasa sepat, kantung air mataku terasa sembab.
Perlahan, pojok mataku meneteskan air mata yang hangat, mengalir menyusuri pelipisku, seperti hangatnya darah encer yang menetes dari celah antara kemaluanku dan kemaluannya.

Kak Zaki terdiam kaku menatapku yang berlinang air mata, wajahnya menampakkan raut terkejutnya.

Batang kejantanannya, menancap dalam-dalam dan kokoh tertanam dalam rongga kemaluanku.

"Bella." Suara Kak Zaki di heningnya malam mengejutkanku.
Aku gelagapan mencari tisu untuk melap jari-jariku yang basah kuyup.

---


Yang penasaran sama endingnya Bella, ini ya.
Yang masih rela nemenin aku nanem kentang, semoga bersambung ke part berikutnya.

Makasi banyaaak buat yg udah support dan selalu nungguin dan ngomenin.

Khusus buat yang copas semua ceritaku di Wattpad, mengklaim sebagai karyanya, mengubah karakternya, dan begitu bangga dipuji-puji oleh pembacanya di sana. What is your problem? Apa salahku sama kamu? Congratulations, you may have my stories, but your life is so low and cheap dan aku turut bersedih sampe hidupmu harus ngeklaim-ngeklaim karya orang gitu.
Makasih banget updetannya mbak sist @giaraini
 
Mantab sekali lanjutan ceritanya. Sampe lepas perawan. Tidak menyangka di tengah cerira ada puisinya.

Bacanya ka a nonton interstellar, maju mundur maju mundur alurnya kaya genjotannya kak Zaki
 
Mantab sekali lanjutan ceritanya. Sampe lepas perawan. Tidak menyangka di tengah cerira ada puisinya.

Bacanya ka a nonton interstellar, maju mundur maju mundur alurnya kaya genjotannya kak Zaki
Wkwkwk, asuww... Plot interstellar kayak genjotan kak Zaki..
 
Lockdown Corona: Bella
Ditulis oleh Giaraini, untuk Kakak-Kakak Semprot tercinta.

Kalo mau copas, copas judul sama penulisnya, ya.

Part X
Bandung, 14 Desember 2021

---


Setengah kepala penis Kak Zaki rasanya sudah tenggelam dalam himpitan pintu vaginaku. Mungin saat ini, setengah pintu vaginaku sudah berhasil dibukanya. Tapi sungguh kali ini aku tak kuasa menolaknya. Kelembutan dan kehangatan kepala penisnya seperti buaian yang mengayunkanku ke batas langit. Rasa kepala penisnya yang tersumpal di mulut rongga senggamaku itu terasa menggelitik.

Aku membuka mata, menatap Kak Zaki, dan menggelengkan kepalaku, memintanya agar mencabut penisnya dari pintu vaginaku.
"Aaaaaaaaaah!!!" Aku kembali menjerit saat Kak Zaki menarik penisnya keluar dari kemaluanku.

Tanpa aku sadari, aku menemukan diriku sedang terengah-engah.
"Kok enak banget, sih?" Tanyaku dalam hati.

"Bella." Suara Mama menyadarkanku dari lamunan.

"Iya, Ma." Jawabku, refleks menutupkan foto di handphoneku dari pandangan Mama.

"Katanya, Della dan Zaki sudah mau sampai."
"Tolong parkirin mobilnya ke pojok, biar mobil Zaki bisa masuk." Pinta Mama.

1 Year Ago Memories, begitu judul foto tadi. Foto setahun yang lalu yang otomatis ditampilkan di handphoneku. Foto tadi itu, foto Kak Zaki yang tengah berselimut, tertidur nyenyak di kamarku.

Satu tahun yang lalu.
"Hmhhh."

Banyak sudah yang berubah hingga hari ini, hari Lebaran di tahun 2021. Sekarang, PSBB sudah menjadi PPKM, Covid-19 sudah mau bermutasi jadi varian Delta, dan berbagai vaksin mulai disebar. Aku sendiri baru selesai UAS Ganjilku seminggu yang lalu. Dan dia? Dia, aku tak tahu kabarnya. Karena seminggu setelah kejadian mesum di kamarku itu, aku meminta Kak Zaki untuk melupakan semua yang terjadi. Demi kebaikan semua orang, demi kebaikan Kak Della Kakak Kandungku, aku memintanya untuk menyudahi semua prosa erotik yang terkarang bersamanya.

Kak Zaki dan Kak Della memang sempat beberapa kali bisa berkunjung kembali ke rumah, namun sebisa mungkin aku menghindari bertemu mereka. Walau pun waktu-waktu ketika bersama Kak Zaki sangat berkesan untukku, tapi aku lebih sayang dengan Kakak Kandungku. Maka tiap kali ada kabar mereka mampir atau menengok, aku sudah siap pergi keluar rumah dengan berbagai alasan. Sejauh ini, semua upayaku untuk menghindari suami-istri yang sedang merintis keluarga itu berhasil. Terkecuali hari ini, hari istimewa ini.

Di bawah gegana kelam Covid-19 varian Delta yang tengah menyelimuti India, peraturan libur Lebaran di Indonesia diperketat oleh pihak berwenangnya. Siapa pun yang akan ke luar kota harus punya kepentingan yang jelas dan punya surat keterangan untuk itu. Namun aku dan keluarga berhasil meloloskan diri sejak seminggu yang lalu ke rumah saudara yang jauh dari kota. Serunya, tempat saudaraku ini berada di daerah pantai yang lumayan bagus dan terkenal. Mengingat selama setahun tak bisa ke mana-mana, bukankah pantai jadi tempat yang menyenangkan untuk menghilangkan kejenuhan lockdown?

Kebalikannya dari nuansa pandemi, siang begitu cerah di langit pantai tempatku berada. Riak awan altokumulus dan birunya langit di atas Samudera Hindia seolah menawarkan realita pengganti, relap-binar kilauan gelombang dan debur ombak seolah membekukan detak jarum jam tiap kali aku memandanginya. Terlebih bungalow yang kami sewa, memiliki rimbunan pohon Waru Laut yang teduh di halamannya, plus pemandangan terbuka ke pantai, membuat tempat ini menjadi sangat spesial. Biasanya, kami sekeluarga menginap di rumah saudara sekitar 10 kilometer dari tempat ini, namun kali ini menantunya Mama punya ide berbeda. Menurut Kak Zaki, ini bungalow punya teman kerjanya dan selalu jadi favorit teman-teman kantornya untuk bertamasya.

Mungkin setengah jam kemudian, tenangnya pantai terusik gemeretak pecahan karang yang terlindas ban mobil. Honda Jazz Putih kemudian perlahan menepi persis di samping mobil Papa yang kuparkirkan.

"Santuy seperti di pantuy?" Kelakar Kak Dilla setelah menurunkan jendela.

Aku tertawa.
"Welcome to the beach!"

Dari jok kemudi, Kak Zaki tersenyum ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.

Aku, Papa, Mama, Nenek, dan Bibi Pembantu memang sudah berangkat lebih dulu, sementara Kak Zaki dan Kak Della baru bisa menyusul di hari ini.
"Mana yang lain?" Tanya Kak Della, keluar dari mobil, meninggalkan aku berdua dengan Kak Zaki yang baru selesai mematikan mesin mobil.

"Apa kabar, Bel?" Tanya Kak Zaki menghampiriku.
Jantungku sedikit berdebar. Sudah lama aku tak mendengar kata-kata dari pita suara berjakun yang bernada rendah itu.

"Baik, Kak." Jawabku agak canggung.

Kak Zaki berdiri menghadap lautan biru, sambil menyeruput Nescafe kaleng yang dipegangnya. Aku sendiri bingung, sebetulnya tak ingin berlama-lama berbicara dengan Kak Zaki, tapi rasanya tak sopan jika aku tinggalkan begitu saja.

"Berapa jam tadi jalan?" Tanyaku basa-basi.

Berdiri di belakangnya, indera penciumanku tak bisa menghindari molekul-molekul parfum yang menguap tertiup angin dari tubuh Kak Zaki. Wangi kayu-kayuan yang maskulin itu menyelinap ke balik cuping hidungku. Mengetahui bau yang familiar, kepalaku pun mulai sibuk bekerja mencarikan memori masa lalu yang berkaitan dengan wewangian ini.

"Enam jam. Lumayanlah pegel." Jawab Kak Zaki.

Tiap kali Kak Zaki menarik nafas, setiap kali itu pula tulang belikatnya mengembang, bahunya naik turun. Tiap kali itu pula aku teringat nafas tersengalnya saat penisnya terjepit di belahan kemaluanku.

Pejantan itu, terlihat begitu haus akan himpitan vagina perawan ketika itu.
"Ya udah, jangan terlalu dalem tapi ya?" Pintaku, ketika Kak Zaki menghunuskan kepala penisnya pada lubang kemaluanku.

"Kayak tadi?" Tanyanya memastikan.

Sekali pun begitu, manusia bertanduk ini pada akhirnya tetap mencuri-curi kesempatan tiap ada waktu. Namun aku sendiri terkadang tak bisa membendung rasa nikmat yang merajalela dari desakan kepala penisnya di ambang pintu liang vaginaku.

"Kak Zaki nakal." Protesku, ketika kepala penisnya maju lebih dalam dari sebelumnya.
Namun dia tahu betul aku begitu menikmati kesengajaannya itu.

"Eh, Zaki. Apa kabar, Nak?" Suara Mama memulihkan kesadaranku.
"Jam berapa berangkat dari rumah?"

Mengabaikan mereka berdua di teras, aku pun segera bergegas ke dalam rumah.

Rasa dag-dig-dug yang kurasakan saat menghadapi Kak Zaki tadi di luar dugaanku. Bagaimana tidak, bertemu kembali dengan orang yang pernah berciuman, bertelanjang, dan lebih dari itu. Seolah aku telah mengenalnya seumur hidupku, suaranya, tubuhnya, baunya, tawanya, pribadinya, padahal kenyataannya jika aku mengingat kembali perjalanan Kak Della bersamanya, aku hanyalah serpihan kecil baginya.

Sejak Kak Della dan Kak Zaki tiba pun, aku masih berusaha untuk mengurangi waktu untuk berkumpul. Namun tentu saja, aku tahu tak selamanya aku bisa menghindari itu.

"Kenapa ini pantai jadi serame ini, Pah?" Tanya Kak Della, di sela-sela suapan ikan bakar dari piringnya.

"Lah, gimana gak rame, masuknya aja gak dicek suhu." Jawab Mama.

"Semua orang butuh uang, Del.
"Dapur orang-orang di sini sangat mengandalkan kunjungan wisatawan.
"Kita maklumi aja, yang penting kita yang hati-hati." Timpal Papa, yang memang menginginkan makan malam di restoran yang satu ini.

Aku diam saja sepanjang percakapan, memilih untuk menikmati udang yang sedang kumakan dan nuansa malam di pesisir pantai.

"Bella mau?" Tanya Kak Della, mengacungkan kepala ikan Kuwe yang ada di piringnya ke arahku.

Aku mengangguk.

"Si Papa sama Bella ini paling suka makan kepala ikan, memang." Terang Mama pada menantunya.
"Selera makan Bella sama Ayahnya ini sama persis.
"Kalo Della kayak Mama, gak suka yang gajih-gajih kayak gitu."

"Iya. Della beli sate pun mesti daging semua." Kak Zaki mengiyakan.
"Kalo Bella suka sama yang berlendir gitu, ya?"

Aku mengernyitkan dahi.
""Bella suka sama yang berlendir" itu maksudnya secara harfiah atau kiasan?" Tanyaku dalam hati.

Persis saat Kak Della menyodorkan kepala ikannya, Kak Zaki keburu memotongnya,
"Ini aja.
"Kamu pasti suka.
"Kepala punyaku lebih berlendir."

"Kenapa harus bilang 'berlendir' sih?" Protesku dalam hati.

"Itu ikan Barramundi, lebih berminyak dari ikan Kuwe." Terang Papa, yang memang lebih tau tentang ikan laut.

Mencongkeli daging di sela-sela tulang kepala dan insang ikan kali ini tak begitu membuatku bernafsu untuk makan, namun pekat dan licinnya cairan bening dari kepala ikan yang melumuri jari membuatku bernafsu untuk hal lain.

"Suka?" Tanya Kak Zaki ke arahku, mungkin melihat kepala ikannya sudah mulai habis.

"Suka. Punya Kak Zaki enak." Jawabku rada melantur. Otakku terlanjur tersesat. Sejak pekatnya lemak ikan yang lumer di mulutku, pikiranku sudah pergi ke kasur yang sama dengan lamunanku tadi siang.

Semili demi-semilimeter, kepala penis yang hangat dan lembut itu masih terus berusaha maju agak dalam. Dan tiap kali aku merasa sudah terlalu dalam, aku hanya bisa menahan pinggangnya dengan tanganku, tanpa bisa menolak atau melarangnya.

Hingga pada suatu ketika, tekanan dan gesekan penisnya membuatku orgasme. Orgasme pertama kali yang aku dapatkan dari lubang kemaluanku.
"Enak?" Tanyanya.

Aku terdiam menikmati sisa-sisa klimaks yang masih berseliweran di relung tulang panggulku. Denyutan jantung menghantarkan renyut-renyut orgasme ke sekujur tubuhku. Ketika itu, leherku masih terasa tegang, dadaku masih terasa panas, nafasku masih terengah, namun Kak Zaki nampak masih belum puas. Disambarnya buah dadaku, diremas, dan diperahnya. Dipilin, dicubit, dicium, dan dihisapnya putting susuku.
"Mau lagi, Kak." Bisikku sambil mendengus.

"Mau lagi, Bel?" Tanya Kak Della, mengaburkan semua remasan dan hisapan di payudara telanjangku.
"Masih ada punyaku." Tunjuknya pada kepala ikan di piring Kak Della.

---

Hari ke-dua. Pikiranku, emosiku, mentalku, rasanya sudah cukup teraduk-aduk sejak Kak Zaki datang. Inilah kenapa aku berusaha menjauhinya selama setahun ini, karena aku tahu Kakak Iparku ini dapat dengan mudah mempengaruhi akal sehatku, bahkan ketika dia tidak melakukan apa-apa sekali pun. Tapi apa dayaku saat ini. Ini adalah hari di mana semua orang harus bertemu dan berkumpul.

"Pantesan tadi Mama pas keluar kaget, kenapa pantai sepi banget." Kata Mama, di antara obrolan keluarga di teras bungalow.
"Jadi, itu tuh gimana ceritanya, Bel?"

"Iya. Ada orang posting video kemarin. Kan rame tuh, kita aja makan kemarin sampe susah parkir." Jawabku di sela-sela hisapan es kelapa muda di meja teras.
"Udah gitu, di video itu gak ada yang pake masker. Udah mah kayak pasar gitu, kan."
"Ketauan deh sama Pak Gubernur."

"Pak Gubernur ini kan gaul, Ma." Timpal Kak Della.
"Cepet itu yang kayak gitu nyampe ke dia."
"Langsung ditutup pantainya tadi pagi."

"Terus, kita gimana dong?" Tanya Mama lagi.
"Padahal kita …"

Suara Mama berceloteh mendadak sayup saat mataku mengikuti angin yang meniup-niup celana pendek pantai Kak Zaki. Tiupan angin itu memperdaya kain katun tipis yang dikenakannya, sehingga membentuk tonjolan khas di bawah perutnya.

Aku mengernyitkan dahi,
"Kenapa sih, aku salfok terus dari kemarin." Protesku dalam hati.

"Kalo menurut saya, kecil kemungkinan mereka mengusir wisatawan yang sudah masuk." Kak Zaki turut nimbrung.

"Iya. Urusannya bisa panjang."
"Kalo diusir, pasti kita minta refund."
"Penginapan kecil-kecil itu mana mungkin mau refund." Timpal Papa.

Mungkin tak ia sengaja, Kak Zaki dari tadi berdiri melawan arah angin, membuat selangkangannya yang mancung semakin jelas di mataku. Seharusnya penampakan seperti itu wajar, namun entah kenapa buatku kali ini sangat lain. Angin seolah memvisualkan aerodinamika benda pejal yang bangir itu. Dan itu hanya membuat kepalaku memutar rekaman memori lama di benakku. Kepalanya yang bundar mengkilap, lubang kencingnya yang tipis basah, bekas jahitan sunat di lehernya yang bergelombang, urat-urat dan aliran darah di batangnya yang merenjul tercengkram di sekelilingnya, pangkalnya yang kokoh tegap dan berbulu, membuat pikiranku lagi-lagi kembali ke kasur di kamarku.

"Beneran mau lagi?" Suara Kak Zaki bertanya, masih terasa jelas terdengar di kepalaku. Kakak Iparku itu terduduk dengan pahanya terbuka di hadapan selangkanganku, dengan penis yang mengacung ke udara. Penisnya yang gagah dan tegak begitu kontras dengan raut wajahnya yang sayu dan kalut oleh birahi.

"Kak Zaki masih mau, kan?" Tanyaku sambil mengulurkan tangan, mengusap-usap benda tegang yang dipenuhi oleh otot dan urat itu.

Kak Zaki tersenyum mengangguk.

"Mau apa emang Kak Zaki?" Tanyaku memancingnya.

"Mau itu." Jawabnya ragu-ragu.

"Mau apa ih?"

"Mau memeknya Bella." Jawabnya dengan lancar.

"Sini." Pintaku agar dia memelukku.
"Mau apa?" Bisikku di telinganya.

"Mau memeknya Bella."

"Memeknya Bella mau diapain?" Bisikku lagi.

"Hmm." Dia berpikir sejenak.
"Memeknya Bella mau aku entot."

Mendengar kata itu, seketika bulu roma di sekujur tubuhku berdiri.
"Apa? Gak denger." Bisikku.

"Memeknya Bella mau aku entot."

Refleks aku meremas gemas penisnya.
"Lagi, Kak." Bisikku, seraya merentangakan pahaku agar belahan kemaluanku terbuka.

Melamunkan itu saja, rasanya badanku mendadak berkeringat. Angin pantai di suhu yang tak terlalu panas ini bahkan tak bisa mengimbangi temperatur tubuhku yang mulai stress gara-gara melamun.

"Gerah, Bel?" Tanya Kak Della, melihatku menyibak-nyibak dress pantai yang kukenakan.

"Gemes, Kak. Gemes sama kelakuan Kak Zaki." Bisikku dalam hati.
"Iya." Jawabku.

Di sudut teras, Kak Zaki seperti menyimak apa yang sedang aku lakukan. Dia duduk di lantai bersandar ke tembok rumah sementara aku berlawanan arah duduk di lantai mengahadapi meja teras di mana kelapa mudaku berada. Entah setan apa yang mengguna-gunaku, aku menarik dress pantaiku hingga ke lutut, kemudian kutarik lututku hingga ke dada. Kubiarkan selangkanganku terbuka menantangi Kak Zaki di sebrang teras. Bila pun aku diprotes, aku akan berkilah membuka kaki tak sadar karena kegerahan.

Kak Zaki tampak begitu terkejut saat mengetahui pahaku terbuka lebar. Dari sudut mataku, aku melihat tatapannya seperti tak bisa beralih dari bawah meja. Mengetahui itu, permukaan kemaluanku terasa berdenyut-denyut. Semakin lama aku membiarkannya memandangi selangkanganku, semakin terangsang aku dibuatnya. Mungkin dia membayangkan bentuk kemaluanku yang berada di balik selapis celana dalam ini, mungkin dia membayangkan saat mulut dan lidahnya menghisap dan menjilati bagian itu, mungkin dia membayangkan rasanya saat penisnya terjepit kemaluanku.

"Masih ingat yang katanya putih, mulus, chubby dan kencang?" Tanyaku dalam hati.
"Masih ingat wanginya, Kak?"
"Masih rasa chamomile, kok."

---

Malam itu pun aku lewati dengan pikiran kalut-marut. Kak Zaki dan Kak Della yang lebih memilih untuk tidur di ruang tengah pun membuat aku tak berhenti membayangkan tingkah-laku mesum Kakak Iparku setahun yang lalu. Pemandangan gundukan daging di selangkangan Kak Zaki tadi sore membuatku harus menanggung kehornianku yang tak kunjung selesai. Pada akhirnya, aku menyerah pada jemariku di malam itu.

Berselimut tanpa pakaian bawah, aku menenggelamkan diri pada kenangan mesum bersama Kak Zaki.

"Mau ngapain, Kak?" Bisikku, saat kepala penisnya mulai membelah bibir kemaluanku.

"Memeknya Bella mau aku entot."

"Mau apa?"

"Mau ngentot memeknya Bella."

Aku terpejam, menikmati buaian kata-kata tabu itu, seiring penis hangatnya mendesak merambah dinding-dinding pintu vaginaku.

"Lagi apa, Kak?" Tanyaku pelan.

"Ngentot memeknya Bella."

"Hmhhh." Aku mendengus, mendengar kata-kata itu lagi.
Melihatku meregang akan kenikmatan, diraupnya buah dadaku yang membusung ini, diremas-remasnya hingga aku menggeliat-geliat tak karuan.

Seperti mur dan baut, helm lembut kemaluannya itu terkancing mesra antara dua himpitan bibir luar dan dua jepitan pintu vaginaku. Basah dan lincirnya cairan cintaku seolah menyambutnya untuk menari, berdansa dalam dekapan erat lubang senggamaku.

"Panggil dia, Kak." Bisikku manja.

"Memek Bella."

"Kenapa memek Bella?"

"Memek Bella sempit.
"Memek Bella panas.
"Memek Bella basah."
Suaranya, kata-katanya, nadanya, panggilannya, seperti busur panah kenikmatan yang melesat di lorong telingaku, menancap di lubang senggamaku, menyerpih dan berhamburan di sepanjang tulang punggungku.

"Memek Bella lagi diapain?" Tanyaku lagi.

"Memek Bella lagi dientot."
Kuraih tangannya, kudekapkan pada payudaraku. Diraupnya buah dada kencangku yang membusung ini, diremas-remas hingga aku menggeliat-geliat menahan nikmat.

Di antara kayuhan penisnya di pintu lubang senggamaku, di antara redup-redam kesadaranku, tiba-tiba Kak Zaki menekan penisnya lebih dalam. Cukup dalam, sekali pun penisnya tersangkut sampai melengkung.

"Hahh!!!" Mataku terbelalak terkejut, namun nafasku tersekat oleh kenikmatan yang tak biasa itu.
Namun kejadiannya pun selalu sama, aku akan terpaku sesaat menikmati sensasi dorongan penisnya yang membuat otot-otot, daging-daging, dan membran-membran di sekeliling vaginaku terentang meregang.

Satu detik, dua detik, tiga detik, kenikmatan berlalu seolah tak berbatas waktu.
Satu mili, dua mili, tiga mili, penis Kak Zaki menyelinap menusuk masuk.
Aku diam terpaku menikmati itu.

"Kak. Kejauhan itu." Protesku, sambil tak bisa menghindari tenggorokanku yang harus menelan air liur karena nikmat.
"Ini masuk?" Tanyaku was-was dan mengangkat kepalaku.
Aku terdiam melihat penisnya yang kian tenggelam di selangkanganku. Kali ini agak lain memang, pintu vaginaku tak terasa lagi menahan kepala penis itu, melainkan serasa sedang mencekik leher Penis Kak Zaki.

Sebelum aku berpikir dan memintanya untuk mencabut penisnya, Kak Zaki malah mengayuhkan penisnya maju.
"Ah. Kak. Jangan!"

Dia pun menarik penisnya mundur.

Namun dia bisa melihat sendiri bagaimana aku menikmati itu.
Maka dia pun kembali mendorong penisnya maju.
"Emmmhh. Kak." Protesku samar di antara lenguhanku.

Lalu mundur lagi.
Lalu maju lagi.

"Emmmh. Emmmh. Emmhhh."
Aku terpejam-pejam dibuatnya.

Kepala penisnya yang lembut terasa menyodok-nyodok dinding-dinding vaginaku, lingkar helmnya terasa menggerus-gerus dan mencongkel-congkel gumpalan-gumpalan daging dalam liang miliku. Batangnya yang kokoh, berurat, dan bergerinjul terasa menyayat pintu vaginaku dengan nikmatnya.

Kenikmatan demi-kenikmatan makin membuaiku.
Perlahan namun pasti, riak-riak kenikmatan di ujung-ujung syaraf kemaluanku menggulung cakrawala kesadaranku, dari riak menjadi alun yang memanjang, dari alun menjadi ombak yang membesar, dari ombak menjadi bena yang meluap, dari bena menjadi kisaran kenikmatan, semakin liar, semakin deras, memutar, memusar.
Nafasku memburu, jantungku memacu, leherku memanas, dada dan perutku menghangat, payudaraku mengencang, klitorisku mengeras.
Pikirku saat itu,
Mungkin sedikit lebih dalam lebih enak,
Mungkin agak dalam lagi lebih enak,
Mungkin ... Pikiranku makin tak sehat.

"Kak. Lagi ngapain?" Bisikku lirih.

"Ngentot memeknya Bella"
"emmmh."

"Apa?"

"Ngentot memeknya Bella."

Dengan nafas mendengus, aku menahannya sesaat, lalu menatapnya dalam-dalam. Sayu wajahnya, kemelut tatapnya, seperti sangat aku mengerti. Tarikan pusaran kenikmatan itu sedemikian kencang nampaknya juga dirasakan Kak Zaki.

Kukecup ujung bibirnya, kuciuminya dengan mesra. Lalu kubuka mulutku lebar-lebar, seperti aku perlahan membukakan selangkanganku.
Kak Zaki nampak terkejut mendapati lubang vaginaku yang merongga.

Aku tak peduli.
Kucium mulutnya lekat-lekat.
Kuremaskan tangannya pada buah dadaku.

Aku menatap kedua bola matanya, seperti lubang kencingnya yang sedang menatapi kerapatan rongga kemaluanku saat ini.
Kurenungi kedalaman matanya, seperti kepala penisnya yang merindu kedalaman vaginaku.
Kubiarkan penisnya maju satu mili.

Kupilah bilahan demi-bilahan selaput pelangi matanya, seperti bilahan selaput daraku yang mulai tersentuh tanduk pejantan itu.
Kutelusuri gerbang pupil matanya, seperti kepala penisnya yang kubiarkan bergerak menyusuri pintu lubang senggamaku.
Pupil matanya membesar, mengembang, seperti mengembangnya rongga kemaluanku yang meregang didesak batang kemaluannya.

Semili demi-semilimeter,
Tatapan matanya meruncing ke dalam mataku, seiring makin dalamnya batang kemaluannya yang semakin menancap dalam kemaluanku.
Batang yang merindu kegadisanku,
Batang yang mengharap keperawananku,
Batang yang mengharap kehormatanku.

Kedua bola matanya menatapku balik sama tajamnya, sama dalamnya, seperti dalamnya penis Kak Zaki yang kian terbenam dalam dekapan rongga vaginaku.
Kutatap relung di kedalaman matanya,
Kutatap hatinya,
Kupinta cintanya,
Kupinta kasih sayangnya,
Kupinta ketulusan hatinya.

Mataku mulai perih, kelopak mataku terasa hangat, pandanganku terasa sepat, kantung air mataku terasa sembab.
Perlahan, pojok mataku meneteskan air mata yang hangat, mengalir menyusuri pelipisku, seperti hangatnya darah encer yang menetes dari celah antara kemaluanku dan kemaluannya.

Kak Zaki terdiam kaku menatapku yang berlinang air mata, wajahnya menampakkan raut terkejutnya.

Batang kejantanannya, menancap dalam-dalam dan kokoh tertanam dalam rongga kemaluanku.

"Bella." Suara Kak Zaki di heningnya malam mengejutkanku.
Aku gelagapan mencari tisu untuk melap jari-jariku yang basah kuyup.

---


Yang penasaran sama endingnya Bella, ini ya.
Yang masih rela nemenin aku nanem kentang, semoga bersambung ke part berikutnya.

Makasi banyaaak buat yg udah support dan selalu nungguin dan ngomenin.

Khusus buat yang copas semua ceritaku di Wattpad, mengklaim sebagai karyanya, mengubah karakternya, dan begitu bangga dipuji-puji oleh pembacanya di sana. What is your problem? Apa salahku sama kamu? Congratulations, you may have my stories, but your life is so low and cheap dan aku turut bersedih sampe hidupmu harus ngeklaim-ngeklaim karya orang gitu.
ooo ternyata gara2 orng culas toh
masalah yg sama dihadapin sama para master2 suhu. sampe2 suhu tj44 dkk pun mundur gara2 ulah si culas.
tapi hatur tengkiu udh mau di apdet lagi bro.and selamat natal buat kita semua 😀😁🎄🎁
 
Keren ceritanya sis berasa kayak baca novel. Ternyata saya ketinggalan ceritanya setelah part 8 padahal part sebelumnya dah berulang kali baca tapi ga ninggalin jejak. Semangat sis, buat plagiat di sana biarkan saja semua juga bisa menilai kok. Semangat menulis yaa ditunggu lanjutannya.
 
Selain kisah bella adakah karya2 yang lain yg sebelumnya suhu tulis?? Kalau ada smg suhu berkenan untuk terbitkan juga krn saya suka gaya penulisannya 😁🙏🙏
 
Khusus buat yang copas semua ceritaku di Wattpad, mengklaim sebagai karyanya, mengubah karakternya, dan begitu bangga dipuji-puji oleh pembacanya di sana. What is your problem? Apa salahku sama kamu? Congratulations, you may have my stories, but your life is so low and cheap dan aku turut bersedih sampe hidupmu harus ngeklaim-ngeklaim karya orang gitu.

Aku sudah liat ceritamu yang dicopas ke wattpad. Leave some comments there, and ofc dalam itungan jam aku diblok dan komenku dihapus.

Saranku buat kamu: Go to wattpad, create an account, and post your original stories there!

Kamu sebagai penulis asli punya trump card yang dia ngga punya: cerita ini original dari kepalamu, dia ngga akan bisa copas ceritamu selama kamu belum publish chapternya. Kamu akan selalu bisa post chapter terbaru duluan.

And then let people decide who's the lowly thief.
 
Bimabet
Thanks ka. Its amazing. Tetap menulis ya.

Anjirrrrr akhirnya setelah sekian purnama apdett

:hati:Welcome back dear sistaa.. selalu dinanti kabar beritanya Bella..:hati:

Wrlcome back!! Nice update

Makasih updatenya Bella tapi yg copas ga tau betapa susahnya membuat cerita itu

cerita favorite dulu awal2 pandemi is back!!!
thankyou suhu

Semoga lekas lanjut

Whahahaha
Udah degdegan
Eh dibreak dlu

Akhirnya kombek

Uhhhhhhhhhhh

Makasi banyak, Kakak-kakak tercintaaa

Ini cerita bagus banget… ane tunggu2in lanjutannya dri jaman lockdown… Klo ada yg copas, jahat sih…

tetep semangat yah suhu @giaraini
btw, sedikit koreksi soal anatomi, gak bermaksud menggurui Hu, cuma ngasih masukan aja… salah kaprah yg sering bgt terjadi, tulang selangka itu tulang yg ada diatas dada Hu… Struktur pembentuk bahu, deketan sama tulang belikat n tulang lengan atas (humerus), dijadiin satu sama shoulder joint… Beda sama selangkangan… Nah org kita sering berpikir bahwa tulang selangka = selangkangan (pelvic)… Semoga bisa membantu mengembangkan tulisannya Hu…

Serius ini, ane suka bgt sama Bella, plis lanjut yah Hu…

Iya, ternyata aku salah nulis itu, maksudnya tulang panggul. Udah kubenerin. Makasi banyak udah bantu benerin, yaaa
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd