Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Lorem Ipsum Dolor Sit Amet (All I Wanna do is Keep on Loving You) END

Status
Please reply by conversation.
Ga melenceng banget, kan masih ada hubungannya sama si temennya. Cuma kalo mau dibikin thread sendiri dan seri tersendiri menarik juga sih.
 
Ga melenceng banget, kan masih ada hubungannya sama si temennya. Cuma kalo mau dibikin thread sendiri dan seri tersendiri menarik juga sih.
Ini kalo sisca dibikinin cerita sendiri seru sh
Rencananya mau gitu, sih ... Kak.
Udah ada beberapa alur buat cerita FajarxSisca.
mungkin bakal dibuat 4-5 episode, dan ada cast member sama ex juga.
semoga sesuai rencana, lah.
suka alurnya
Makasih banyak Kak, semoga betah.
mantap suhu
Wah mantap sekali suhu
Makasih banyak Kakak-kakak semua.
Semoga masih betah nungguinnya.
Rencana malem ini update, ditunggu aja.
gelar tikar dulu ...............
Siap kak.
Nitip sihu
Jangan lupa diambil lagi, Kak.


Maaf ges kalo lama ga update.
Banyak hal yang terjadi belakangan ini, mana sempat isoman juga.
Updateannya sebentar lagi rampung, semoga nanti malem bisa rilis.
Aku kasih spoilernya dulu deh.

Setelah membicarakan beberapa peraturan, kami pun siap untuk saling “bertanding”. Lala dan Anin pun sudah berada dihadapan kami. Mereka berdua terlihat sangat seksi dengan balutan gaun tidur yang cukup tipis. Lala sekarang mengenakan gaun tidur putih milik Anin yang tak kalah seksi. Payudaranya yang memang lebih besar seperti ingin mencuat dari balik gaun tersebut.

Lala terlihat santai berbaring menyamping diatas sofa panjang dengan bertumpu kepada sikut kirinya. Tatapannya seakan mengundang kami untuk menjamah tubuhnya. Dibanding Anin, telihat Lala sudah lebih siap menjadi objek pertandingan kami. Anin sendiri nampak tegang duduk diatas sofa. Entah kenapa dia pun seakan tak nyaman dengan semua ini.
 
Episode 20

Chill Pill



“Seperti biasa, kamu pasti mengumpulkan laporan lebih cepat daripada yang lain,” Puji dosen pembimbing magang saat aku mengumpulkan laporanku sepekan setelah magangku selesai. Aku sendiri selalu menyambi mengerjakan laporan tersebut ditengah-tengah magangku, sehingga laporan magangnya bisa selesai tak lama setelah magangku berakhir.

“Saya hanya mengerjakan laporannya saja, pak …” balasku. Beberapa dokumen penyerta ikut aku kumpulkan beserta laporan magangku. Dengan ini, tugasku di semester ganjil pun berakhir. Akhirnya aku bisa beristirahat dari semua tugas, pekerjaan maupun masalah yang belakangan cukup menumpuk. Seriously, I need to take a chill pill.

“Oh iya, Janu …. Nggak biasanya kamu datang ke kampus sendirian. Temenmu yang suka joget-joget itu mana, si Nadila? Biasanya kalian barengan kalo ngumpulin tugas kuliah kaya gini,” tanya dosen kembali sembari menoleh kearahku.

“Aah … mungkin dia sedang sibuk, pak,” jawabku singkat.

“Begitu, ya?” ujar dosen tersebut sembari merapikan seluruh dokumen laporan magang yang kuberikan. Setelah semuanya selesai, aku pun pamit dan langsung meninggalkan ruang dosen.

Sejujurnya, aku tak mengetahui lagi kabar Nadila semenjak kami putus. Sudah dua pekan juga aku menyandang status single yang sepertinya tidak ada bedanya saat aku masih berpacaran dengannya. Aku sendiri tak berniat menghindarinya. Yang aku tahu, dia memang sedang sibuk mempersiapkan hari-hari terakhirnya di JKT48.

BZZZ BZZZ

Kurogoh gawai yang bergetar dari dalam saku celana. Sekilas kulihat layar gawai tersebut. Nama yang familiar membuatku langsung menekan tombol hijau di layar tersebut.

“Halo … Kak Janu?” suara gadis yang sangat familiar langsung terdengar begitu telepon kami tersambung. “Hari ini jadi, kan?”

Langsung kutatap smartwatch yang berada di pergelangan tangan kiriku. “Aku pikir ini masih siang, Nin.” Gadis yang meneleponku tak lain adalah Anin. “Aku bukan orang yang pelupa. Kamu mengundangku pukul tujuh malam nanti, kan?”

Ya, dua hari yang lalu Anin mengundangku untuk mengikuti pesta barbeque di apartemennya. Dia mengatakan ingin menghiburku setelah tahu hubunganku dengan Nadila kandas dengan cara yang tidak baik. Aku sendiri tak tahu dan tak ingin menanyakan bagaimana dan dari siapa dia mendapat kabar tersebut. Aku sudah tak ingin memikirkan hal tersebut lebih lama lagi.

“Ya aku cuma ngingetin doang, Kak. Masa ntar disiapin semuanya, Kak Janunya malah ga dateng, gimana?” pungkasnya.

“Aku sudah berjanji kepadamu, Nin. Jika tak ada halangan yang lebih penting, aku pasti datang,” ucapku.

“Lho! Kok gitu, sih? Kak Janu harus datang, ya! Jangan sampe telat juga!” Nada bicara Anin terdengar meninggi saat berucap seperti itu.

Okay … okay,” jawabku.

“Nah, gitu dong …. Ditunggu, yah, Kak. Bye ….”

Anin pun menutup sambungan telepon kami tanpa menunggu jawaban dariku. Aku hanya bisa tersenyum melihat kelakuan Anin seperti itu. Ada yang terasa berbeda dari Anin setelah mengetahui aku putus dengan Nadila. Hampir setiap hari dia menghubungiku, menawarkan diri untuk mendengar ceritaku atau sekedar bertanya kabar. Yah, setidaknya perhatian yang dia berikan cukup membuatku berhenti memikirkan hal yang tidak terlalu penting.

Setelah berbincang dengan beberapa temanku yang sedang berkeliaran di kampus, kuputuskan untuk pulang ke rumah terlebih dahulu sembari menunggu waktu janjianku bersama Anin. Aku pun langsung pergi menuju parkiran kampus, dan langsung pergi meninggalkan kampus begitu mesin mobil kunyalakan.

.

.

.

Pukul tujuh kurang sepuluh menit, waktu yang ditunjukkan smartwatch saat aku tiba di depan pintu kamar apartemen Anin. Langsung kutekan intercom yang berada disebelah pintu unit apartemen tersebut.

“Siapa?? Kak Janu, yaa?!” ucap Anin beberapa saat setelah bel intercom apartemennya kutekan.

“Iya, Nin.” Tak lama pintu apartemennya pun terbuka. Aku tertegun sejenak saat melihat Anin yang nampak seksi dengan gaun tidur berwarna hitam berbelahan rendah. Kardigan hitam yang dia gunakan tak mampu menutup lekuk tubuhnya yang seksi. Apalagi gaun tidur yang dia gunakan hanya menutupi seperempat pahanya.



“Belum juga jam tujuh, Kak,” ucap Anin sembari tersenyum. Ucapan dari Anin tersebut membuatku kembali sadar dari lamunan. “Aku kan belum siap-siap.”

“Aku selalu tak sabar untuk bertemu denganmu, Nin,” selorohku yang sedikit panik. Beruntung Anin tak menyadari jika aku tadi sempat memandangi tubuhnya yang memang selalu ingin kunikmati.

“Iiihh! Baru ketemu malah ngegombal. Udah yuk masuk, Kak.” Anin yang terlihat tersipu langsung menarikku untuk masuk sembari menutup pintu. Baru saja kami berjalan masuk melewati dapur apartemen, terlihat dua orang gadis sedang sibuk dengan urusan mereka masing masing.

“Lala? Puchi?”

“Halo, Kak Jan …” sapa Puchi yang sedang duduk di sofa sembari memainkan gawainya. Dia sama sekali tak menoleh kepadaku.

“Akhirnya Kak Janu datang juga,” ucap Lala yang sedang berjongkok didepan panggangan portabel sembari menoleh. Dia pun tersenyum kearahku.

Aku pun memandang kearah Anin sembari memasang wajah sedikit kebingungan. Anin yang mengerti lantas tersenyum dan menjawab pertanyaanku, “Biar nggak sepi, kak. Yuk! Kita mulai aja.”

“Oh … oke, Nin.” Anin pun meninggalkanku menuju lemari es yang berada di dekat pintu masuk. Dia nampak menungging mengambil sesuatu dari dalam lemari es tersebut. Kardigan hitam yang dia gunakan sedikit terangkat, begitu pun dengan gaun tidurnya yang membuat paha Anin semakin terekspos.

“Kak.” Lala yang tiba-tiba berada disampingku. Hal tersebut sontak membuatku kaget dan menoleh kearahnya. “Ngeliatin Kak Aninnya gitu amat, sih.” Aku yang tertangkap basah hanya bisa ikut tersenyum lebar.

Dia pun merangkul lenganku dengan cukup erat didepan kedua payudaranya. “Nanti ada waktunya kakak nikmatin Kak Anin. Aku juga, deh … kayaknya,” ujar Lala sembari berkumut. “Sekarang, mending kita barbeque-an dulu, Kak. ‘Dah laper, nih.”

Lala lantas menarikku untuk duduk disebelahnya didepan panggangan. Dia pun kembali mempersiapkan makanan sambil sesekali tersenyum kearahku. Beberapa kali kuperhatikan, ternyata pakaian yang digunakan Lala pun tak kalah seksi. Dia menggunakan turtleneck hitam ketat hingga payudaranya yang cukup besar terlihat menonjol dari balik pakaian tersebut. Denim biru pendek yang dia gunakan pun cukup ketat sehingga pantatnya yang sintal terlihat lebih menggoda.



“Kalian berdua lagi ngomongin apa?” tanya Anin saat ikut berkumpul di depan panggangan. Ditaruhnya beberapa bungkus daging beserta sayuran yang dia bawa keatas meja. Dia pun duduk disebelahku sembari memandang kearah kami.

“Aku sedang membicarakan kecantikan kamu bersama Lala, Nin,” selorohku sekenanya. Lala sendiri hanya terkekeh mendengarnya.

“Eh?” Anin nampak terkejut dengan jawaban spontanku. Pupil matanya terlihat membesar ditengah wajahnya yang sedikit tersipu.

“Kak Janu kalo udah ngegombal jago banget dah,” ucap Lala sembari terus tertawa kecil. Aku pun hanya bisa ikut tertawa melihat tingkah Anin yang nampak menggemaskan seperti itu.

Bugh

Tiba-tiba saja sebuah bantal melayang tepat kearah wajahku tanpa sempat aku hindari.



“Elu abis putus ama Kak Nadila kok jadi ganjen gini sih, Kak? Nggak pantes banget, dah,” cela Puchi sembari menatapku sinis.

“Dah, udah … mending kita mulai aja manggang dagingnya. Emang nggak pada laper, ya?”

Ucapan dari Anin tersebut seperti komando untuk memulai pesta barbeque kami. Puchi yang sedari tadi hanya bermain gawai pun sekarang ikut duduk bersimpuh di depan meja. Kami pun mulai ikut memanggang daging yang sepertinya lezat itu sembari bercanda.

“Kak Anin, itu liat dagingnya gosong!”

“Lha, ya angkat dong La, jangan diliatin doang!”

“Eh, Kak Anin, jangan diabisin, dong! Gue juga masih mau sosisnya.”

“Kak Janu, aaa …”


Tawa canda menemani kami selama pesta berlangsung. Kelakuan ketiga gadis ini benar-benar membuat pikiranku rileks dan bisa tertawa dengan cukup lepas. Sejenak aku benar-benar lupa dengan segala masalah yang sedang menimpa diriku ini.

“Hadeh, kenyang banget,” ucap Lala sambil bersender kepada sofa sembari memegang perutnya. Tak sampai satu jam, hampir seluruh makanan yang berada di meja sudah berpindah kedalam perut kami. Anin sendiri terlihat ikut bersender disamping Lala.

Berbeda dengan Puchi, entah kenapa dia sekarang terus menatap kearahku.

“Kenapa, Puchi? Ada yang salah dengan wajahku?” tanyaku yang mulai tidak nyaman dengan tatapannya.

“Gue penasaran, Kak. Elu kurang apaan ya sampe Nadila bisa nusuk elu dari belakang,” jawabnya. “Sama si Renaldy, lagi.”

Aku hanya tersenyum getir mendengar ucapan darinya. “Entahlah, Puch …. Aku sendiri sudah sedikit malas membahas hal tersebut.”

“Puchi! Kita kan dah janji nggak bakal ngomongin itu didepan Kak Janu,” seru Anin sembari menatap kearah Puchi dengan tatapan yang sedikit tajam.

It’s okay, Nin,” ucapku sembari tersenyum kearahnya. “Aku sudah benar-benar tak memikirkan hal tersebut.”

Ah, begitu … ya.” Entah kenapa Anin sekarang terlihat canggung. Dia terlihat memalingkan wajah saat aku mencoba menatapnya. Aku yang bingung dengan perubahan sikap Anin lantas menoleh kearah Puchi maupun Lala.

“Jadi gini, Kak Janu.” Puchi yang mengerti kebingunganku lantas mulai memberikan penjelasan. “Kak Anin tuh tiap hari kepikiran Kak Jan-”

“PUCHI!” Belum selesai Puchi berucap, Anin tiba-tiba saja menyergap dan menutup mulutnya. Lala yang duduk tak jauh hanya tertawa kecil melihat kelakuan kedua temannya itu.

“Ada apa ini sebenarnya?” Tanyaku sembari tertawa kecil. Ya, aku tertawa melihat kelakuan Anin yang seperti salah tingkah dan menyembunyikan sesuatu dariku.

Anin terlihat membisikkan sesuatu kepada Puchi. Tak lama, Puchi yang mulutnya masih ditutup oleh kedua tangan Anin kemudian mengangguk. Terlihat dia seperti menahan tawa saat Anin melepaskan kedua tangan yang sedari tadi menutup mulutnya.

“Nggak ada apa-apa, Kak Janu,” jawab Puchi sembari tersenyum kearahku. “Iya nggak, Kak Anin?” DIa menoleh kearah Anin sembari mengangkat kedua alisnya. Dia terlihat seperti menggoda Anin dengan tatapannya. Hal tersebut sontak membuat Anin memukul bahu Puchi.

“Aduh! Sakit, Kak Anin,” sahut Puchi sembari mengelus bahunya. Anin sendiri terlihat mendengus. Aku pun hanya tertawa melihat hal tersebut.

Betewe … kita bakal ngebuktiin obrolan tadi nggak?” Tanya Lala tiba-tiba.

“Yang mana, La?” Anin yang nampak bingung dengan pertanyaan Lala malah bertanya balik.

“Itu … Kak Anin. Yang lebih jago mana Kak Janu ama Kak Puchi.” Mendengar jawaban Lala, mata Anin membulat. Mulutnya pun sedikit terbuka. Berbeda dengan Puchi, dia yang awalnya terlihat terkejut kini malah tersenyum penuh arti.

“Ya gue sih ayo aja,” ucap Puchi dengan penuh percaya diri. “Kak Janunya mau kagak?” Tanyanya sembari menoleh kearahku.

“Mau apa? Aku masih tidak mengerti apa yang kalian bicarakan,” jawabku. Entah, apalagi yang mereka rencanakan kali ini.

Mereka bertiga pun saling menatap satu sama lain sembari terlihat berunding. Tak lama, sepertinya mereka sepakat. Puchi pun kembali berbicara kepadaku.

“Jadi gini, Kak Janu …. Tadi, sebelum elu dateng, kita lagi bandingin lebih jago bikin enak mana, elu ama gue, Kak …. Katanya elu lebih jago bikin dia enak dibanding gue …. Padahal biasanya juga ‘eni anak keluar kalo dimainin ama gue,” jelas Puchi.

Aku yang mulai paham dengan arah pembicaraan mereka lantas ikut tersenyum. “Terus? Membuat enak ini seperti apa? Aku masih belum paham. Bagaimana, Nin?” ucapku sembari menatap kearah. Anin sendiri terlihat salah tingkah dan tak berani membalas tatapanku. Dia pun menyembunyikan wajahnya yang tersipu dibelakang Lala.

Kayaknya elu udah paham, Kak. Jadi gimana? Berani nggak elu?” tantang Puchi.

“Bagaimana cara mainnya, Puch?”

“Simpel aja, Kak. Elu ama gue balapan bikin mereka nge-crit duluan,” ucap Puchi sembari menunjuk kearah Anin dan Lala. “Oh iya, satu lagi. Ntar yang kalah ngabulin permintaan yang menang, okey?”

Aku sedikit merengut saat dia berkata demikian. “Kenapa ada persyaratan seperti itu?”

“Nggak apa-apa lah, Kak. Kenapa, elu takut? Kontol doang gede, nyali nggak ada,” olok Puchi sembari terkekeh. Tatapannya terlihat meremehkanku. Semua provokasi yang dia berikan cukup untuk membuat emosiku terpantik.

“Okay, Puch …. Bisa kita mulai saja?” Puchi yang sepertinya menyadari perubahan emosiku hanya terkekeh.

Setelah membicarakan beberapa peraturan, kami pun siap untuk saling “bertanding”. Lala dan Anin pun sudah berada dihadapan kami. Mereka berdua terlihat sangat seksi dengan balutan gaun tidur yang cukup tipis. Lala sekarang mengenakan gaun tidur putih milik Anin yang tak kalah seksi. Payudaranya yang memang lebih besar seperti ingin mencuat dari balik gaun tersebut.

Lala terlihat santai berbaring menyamping diatas sofa panjang dengan bertumpu kepada sikut kirinya. Tatapannya seakan mengundang kami untuk menjamah tubuhnya. Dibanding Anin, telihat Lala sudah lebih siap menjadi objek pertandingan kami. Anin sendiri nampak tegang duduk diatas sofa. Entah kenapa dia pun seakan tak nyaman dengan semua ini.

Aku sendiri mendapat Anin sebagai pasanganku, sedangkan Puchi lah yang harus membuat Lala orgasme.

“Siap, Kak Janu?” Tanya Puchi. Aku hanya mengangguk. Emosi karena olokan Puchi bercampur dengan nafsuku yang melihat keseksian Lala dan Anin bercampur, membuatku sedikit kehilangan fokus. “Oke, tiga … dua … satu … Sutarutto!”

Selepas aba-aba dari Puchi, aku pun langsung mendekati Anin. Begitu pun Puchi yang langsung mencumbu bibir Lala. Cumbuan yang awalnya berfokus di bibir Lala, perlahan turun kearah leher dan pundaknya. Terlihat Lala mendesah keenakan. Kepalanya mendongak menikmati setiap inchi cumbuan Puchi kepada lehernya.

Beberapa saat aku terpaku melihat adegan yang cukup panas itu. Tak lama aku pun mulai kembali sadar bahwa aku sedang berlomba dengan mereka yang sedang aku saksikan. Aku bisa kalah jika hanya berdiam diri seperti ini.

Anin pun ternyata sedang menatap kearah percumbuan Puchi dan Lala sembari bengong. Wajahnya terlihat memerah. Nafasnya pun terdengar semakin berat.

“Eh!” Anin sedikit memekik saat tanganku mulai mengelus pipinya. Terlihat dia seperti mundur, mencoba menolak sembari menundukkan kepala. Sepertinya, dia benar-benar tegang. Aku harus membuatnya tenang terlebih dahulu.

Kuelusi pipi Anin yang lembut. Beberapa saat kemudian, resistensi Anin mulai berkurang. Kuangkat wajah Anin hingga kami pun saling bertatapan. “Kamu merasa tidak nyaman, Nin? Kalau iya, kita hentikan saja semua ini,” ucapku sembari mengelusi pipinya.

Anin nampak terkejut mendengar ucapanku. “Ja-jangan, Kak Janu. Terusin aja.”

Aku pun tersenyum kepadanya. Kuelus pipinya yang lembut. Anin yang semakin rileks kini mulai membalas senyumanku. Tak lama, tanganku pun naik dan menyibak poninya kebelakang telinga. Perlahan, aku pun mendekatkan wajahku kearah wajah Anin.

“Cupphh ….”

Bibir kami pun bertemu. Kulumat bibir bawahnya dengan lembut, Ciuman yang awalnya pelan lambat laun semakin dalam dan mesra. Anin yang sepertinya mulai larut dalam percumbuan ini mulai memegang kedua pipiku. Dia pun mulai membalas dengan melumat bibir atasku.

“Sluurpp … haammpp mmmhh ….”

Tanganku yang awalnya mengelus pipi gembil Anin kini mulai turun menyusuri lehernya hingga menuju bahu. Kuelus sebentar kulit bahu yang tak terhalang sehelai kain pun sebelum tangan kananku menangkup payudara kirinya.

“Aahhh, hhmmppp ….”

Anin mendesah cukup kencang hingga cumbuan kami terlepas saat payudaranya kuremas. Dia pun ikut meremas belakang rambutku sembari menggigit bibir bawahnya. Matanya menatapku sayu saat payudaranya yang terasa empuk itu. Tak lama, Bibir kami pun kembali saling melumat.

Desahan-desahan kecil pun mulai terdengar ditengah decak ludah permainan bibir dan lidah kami. Semakin lama, nafas Anin terdengar semakin tersengal seiring dengan semakin intensnya remasanku kepada kedua payudaranya. Bibirku pun mulai turun kearah lehernya. Kukecup dan kujilat leher hingga tengkuknya yang terlihat sangat putih dan menggoda, membuat Anin sedikit blingsatan dibuatnya.

“Aahhh … Ssshhh geliii, Kak Jan- uuhhh ….”

Tubuh Anin terus menggeliat saat leher dan payudaranya kurangsang dengan intens. Kuhisapi tulang selangkanya dengan hati-hati, tanpa mencoba meninggalkan bekas kemerahan disana. Cumbuanku terus merayap turun menuju kedua payudaranya yang kini sudah mencuat keluar dari gaun tidur. Kedua puting payudaranya yang sudah mengeras kini menjadi sasaran rangsanganku selanjutnya. Kuhisapi puting yang berwarna coklat muda itu sembari memilin puting satunya.

“Awwuhh Kaakkhh … terushh ….”

Anin terus mendesah keenakan akibat rangsanganku. Salah satu tangannya kini meremas bahuku, sedangkan tangan yang satunya menekan kepalaku kearah dadanya. Kuhisapi terus puting payudaranya dan kumainkan dengan lidah saat kukulum puting tersebut didalam mulut.

“AAWWHH!”

Desahan Lala yang terdengar cukup kencang membuatku berhenti merangsang Anin dan menoleh kearah mereka. Gaun tidur yang digunakan Lala nampak tergulung dan melingkar di perutnya, mempertontonkan selangkangan beserta payudara indahnya yang sedang dihisapi oleh Puchi. Tangan Puchi pun terlihat sibuk meraba-raba selangkangan Lala yang sudah terbuka lebar. Terlihat Puchi mulai menggesek klitoris Lala, membuatnya meringis sembari terus mendesah keenakan.

“Kaakk … jangan berenti ….” Anin tiba-tiba saja merengek. Hal tersebut cukup membuatku sadar bahwa kami sedang bertanding. “Maaf, Nin ….”

Kutarik keatas gaun tidur yang digunakan Anin hingga terlepas. Kini, tubuh sintal Anin terpampang dihadapanku tanpa terhalang apa pun, membuatku semakin bersemangat menjamah tubuhnya. Sesaat kembali kujilati puting Anin sebelum turun mencumbu perutnya yang cukup berisi.

“Aaahhh ssshhh Kaakkhh, geliihhh ….”

Lenguh desah terus keluar dari mulut Anin ketika area perutnya kucumbui, terus turun hingga akhirnya aku sampai di area selangkangannya. Kutarik celana dalam berenda berwarna hitam transparan, hingga akhirnya vagina Anin terpampang jelas dihadapanku.

“Nnngghhh ….”

Lenguhan Anin terdengar cukup kencang saat lidahku mulai menyapu bibir vaginanya. Bibir vaginanya yang mulai lembab terus kujilat dan kuhisap, dengan lidahku mencoba untuk menyeruak masuk kedalam lipatan vaginanya. Paha Anin menggeliat cukup kuat. Aku bahkan harus memegangi kedua paha Anin agar bisa stabil merangsang vaginanya.

“AAARRGGHH KAAPUCH!”

Desahan keras Lala membuatku menghentikan rangsangan kepada vagina Anin dan menoleh kearahnya. Lala mendongak, punggungnya terlihat menegang keatas seperti busur. Terlihat cairan bening meleleh keluar saat Puchi menarik jari tengah dan telunjuknya dari dalam vaginanya.

“Gue menang, Kak Janu ….” Ujar Puchi sembari tersenyum bangga. Aku hanya menatap kearahnya sembari mendengus. Dia pun terkekeh. Nampak Lala yang sudah bersimbah peluh menatap kearahku sembari tersenyum lemas.

“Kak ….” Lirihan pelan dari Anin dengan nafas yang tersengal sembari kembali menekan kepalaku kearah selangkangannya. Kembali kurangsang area yang sangat sensitif itu. Sesaat aku mendelik keatas kearah wajah Anin. Nampak Anin sedikit mengdongkak dengan mata terpejam. Dia pun menggigit gemas bibir bawahnya.

“Aaahhh … Kakh Jahn oohhh ….”

Anin kembali mendesah saat kujilati vaginanya. Pinggulnya terangkat. Sembari memegangi pahanya yang kembali meronta, lidahku kini bermain diantara lubang anus dan vaginanya. Kujilati bagian yang sepertinya membuat Anin keenakan, hingga akhirnya kini aku mencoba menjilati bagian dalam rongga vaginanya.

Aku yang ingin membuatnya semakin larut dalam kenikmatan kini mulai menggesek klitorisnya. Kugesek tonjolan yang semakin memerah di ujung vagina anin tersebut sembari terus menjilati rongga vaginanya. Tubuh Anin pun kembali menggeliat, mencoba menahan segala rangsangan kenikmatan yang terus melanda area selangkangannya itu.

Tak lama, kuganti posisi mulut dan jariku. Sekarang mulutku menghisap-hisap klitoris Anin, sedangkan jari tengah dan telunjukku mulai mengorek-orek liang vaginanya. Kedua kaki Anin yang kutaruh diatas bahu beberapa kali terasa menendang. Sepertinya dia benar-benar kewalahan menerima kenikmatan yang terus mendera tubuhnya.

Kedua paha Anin terasa menekan kepalaku. Nafasnya terdengar semakin tersengal. Sepertinya Anin akan mencapai puncak orgasmenya. Aku pun bangkit dan memposisikan diriku berlutut, mencoba mencari posisi agar bisa menggerakan jariku lebih leluasa lagi. Kembali, kukocok vagina Anin dengan lebih kencang lagi. Desahan Anin semakin lama terdengar semakin kencang, dia pun nampak meremasi payudara dan memilin-milin putingnya sendiri.

“Kaakk uuuhhh … awwhh …. Nnnggg- AAAHHHH!!!”

Sembari mendesah kencang, pinggul Anin terlihat bergetar. Dia orgasme, bahkan hingga squirt! Terlihat cairan bening keluar dari sela-sela kocokan jariku terhadap vaginanya. Kucabut jariku lalu kugesek klitorisnya dengan cukup kencang. Anin terus menggeliat saat cairan bening terus menyemprot dari vaginanya dengan cukup kencang.

“Hhh … hhh ….”

Nafas Anin terdengar cukup berat saat orgasmenya mulai mereda. Tubuh mungilnya yang basah oleh keringat nampak kembang-kempis terduduk lemas diatas sofa. Matanya terlihat menatap kosong kearah langit-langit dari balik rambutnya yang lepek berantakan.

Kusibak rambut yang menghalangi pandangan Anin. Kembali kusasar bibirnya yang terlihat sensual. Anin pun membalas ciuman tersebut sembari mengelus pipiku. Cukup lama dan dalam kami berciuman, hingga akhirnya terlepas akibat kehabisan nafas. Kami pun saling memandang dan melempar senyum.

“Ahem!”

Aku yang dikejutkan oleh suara dehem dari Puchi lantas menoleh kearahnya, begitu pula dengan Anin. Puchi nampak tersenyum tipis menatap kearah kami.

“Kalo dibiarin bentar lagi ngentot, nih. Sabar dikit ‘napa?” ucap Puchi sembari terus tersenyum. Bahkan sekarang dia terlihat sedikit menyeringai. Berbeda dengan Lala yang berada disebelahnya, dia malah tertawa kecil sembari menutup mulut.

So sweet banget, Kak Anin … Kak Janu,” goda Lala kepada kami.

Aku yang sedikit malu lantas menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Anin pun demikian, dia terlihat salah tingkah, wajahnya tersipu mendengar godaan dari kedua temannya.

“Tapi elu hebat juga, ya. Bisa buat Kak Anin ampe muncrat-muncrat gitu. Pantesan dia bilang elu lebih jago,” ucap Puchi kembali sembari menatap kearah Anin. Anin yang nampak terkejut lantas memalingkan wajahnya yang semakin memerah.

Puchi dan Lala kembali menggoda Anin yang sekarang kelabakan. Wajahnya benar-benar merah seperti kepiting rebus.

“Udah dong, Puch … La ….” Anin terus menyembunyikan wajahnya sembari meringkuk diatas sofa. Meski terlihat lucu, sepertinya aku harus menghentikan perundungan ini.

“Sudah, Puch … Lala …. Jangan menggoda Anin terus menerus seperti itu,” ucapku. Mendengar ucapan tersebut, Puchi dan Lala malah semakin gencar menggoda Anin.

“Ciee dibelain, ciee ….” Mereka berdua pun tertawa melihat Anin yang semakin ingin membenamkan tubuhnya keatas sofa.

Puchi yang sepertinya sudah puas menggoda Anin kini menatap kearahku. “Oh iya, Kak Janu .... Elu nggak lupa sama perjanjian kita tadi, kan?”

Ah, benar juga, keriaan ini benar-benar membuatku lupa jika aku kalah dan harus mengabulkan permintaannya. Semoga dia tak meminta hal yang aneh.

“Aku pegang janjiku, Puch …. Katakan, apa yang kamu inginkan?”

Puchi tersenyum sinis dan mulai mendekat kearahku. “Nggak sabaran banget sih, Kak? Mending Kak Janu ambil hadiah juara dua dulu, dah.”

“Hadiah juara dua? Aku dapat apa, Puchi?” Aku merengut mendengar ucapannya. Puchi yang berada persis didepanku kini mulai mengelus dadaku. Wajahnya tiba-tiba mendekat. Saat bibir kami hampir bersentuhan, dia malah menghindar dan mendekat kearah telingaku.

“Kita …” bisik Puchi dengan suara seperti mendesah tepat didepan telingaku. Entah kenapa aku malah bergidik dibuatnya.

.

.

.

tbc
 
Akhirnya bisa update lagi kakak-kakak semua.
Sorry for the delay, ketiduran kemaren malem.

Harusnya ini ada lanjutannya, kita liat aja kedepannya gimana.
 
tengkyuu apdetnya thor, eh suhuuu🙏
walaupun kentang goreng mekdi banget😭
 
Bimabet
Mantaaaap gan
Makasi kak
Baaahhhhh sampe muncrat2 donnggg
Makasih hu buat apdetnya
Buat Anin khusus dong, ehehe
Siap sama-sama Kak.
Mantap banget hihihi
Makasih Kak, semoga nanti updatenya lebih mantap.
Mantapppp om suhu
Siap Kakak.
Lanjoooottttt
Otw.
tengkyuu apdetnya thor, eh suhuuu🙏
walaupun kentang goreng mekdi banget😭
Sama-sama Kak.
Ada lanjutannya kok, cuma kemaren dipotong dulu, takut kepanjangan dan entah kenapa susah banget beresnya.
Semoga 2-3 hari kedepan bisa beres lah.
Akhirnya update lagi, tapi kentang dong, hadeh wkwkw
Sabar, sabar.
Udah ada lanjutannya, kok.
Masa iya udah ada berempat di satu ruangan ga diceritain.
Ehehe'
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd