Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Lorem Ipsum Dolor Sit Amet (All I Wanna do is Keep on Loving You) END

Status
Please reply by conversation.
boleh kok main-main ke trit sebelah tapi gaada jerry, masih galau ditinggal oshi katanya

wah tenang kak jer, masih ada kesayangan-kesayangan lain nya kan?


serius amat bacanya njel

Semangat nulis updatenya hu!!! Aku mendukungmu.
Lanjutkan suhu..
lanjutttkan terus huu
Enak hu lanjutinn.. ditunggu exe sas sis nya juga

siap kakak-kakak semua, makasih udah mampir, semoga makin terhibur

Nadila baperan, dia cuma dimanfaatin januari, januari must die, berani beraninya merawanin nadila tp asik asik ama aurel. sekali lagi Januari must die!!!!!!

galak amat ih, kakak sepertinya kurang fanta yah

suka suka Janu dong mau asik asik sama siapa

eh

Duh, lanjutan ceritanya kira-kira gimana ya?

ditunggu aja kak, bentar lagi, setelah yang satu ini,

Jangan jangan hamil nih si nadila
wanita memang ditakdirkan untuk hamil hu

nah iya bener, wanita itu ditakdirkan untuk hamil

Wuish calon berkelas inimah

apalah aku ini kak dibanding sama yang udah pengalaman disini mah.
makasih tapi, ehehe'
 
Episode 05

Lagu Kesepian



“Halo ….”

Nadila langsung menyapaku saat telpon tersambung, suaranya terdengar parau.

“Halo Nad ….”

Isakan kemudian terdengar dari balik telpon. Sepertinya Nadila menangis.

“Halo Nad? Kamu kenapa? Ada yang bisa kubantu?” kembali aku bertanya.

“.…”

“Janu ….”

“Bisa kita ketemu?”


.

.

.

Jalanan sudah cukup sepi saat kuparkikan mobilku disamping sebuah gerbang. Gerbang yang menjadi pembatas antara tempat tinggal Nadila dan jalan ini. Sebenarnya Nadila meminta agar kami bertemu di tempatku. Namun jarak yang cukup jauh, dan juga waktu yang sudah sangat larut sepertinya sangat tidak memungkinkan untuk membiarkannya pergi sendirian menuju tempat tinggalku. Sesuai dengan instruksi yang dia beri sebelumnya, langsung kuhubungi dirinya via chat, mengabarkan bahwa aku telah sampai di depan tempat tinggalnya. Tak lama setelah pesan terkirim, terlihat Nadila keluar dari gerbang tersebut.

“Maaf ya Jan manggil kamu kesini malem-malem,” ucap Nadila saat aku keluar dari mobil dan menghampiri dirinya. Matanya sembab menatap sembari tersenyum. Sebuah senyuman yang terlihat getir.

“Nggak apa-apa Nad,” jawabku.

“Habis aku nggak tau harus ceritain ini ke siapa lagi, aku nggak bisa curhat tentang masalah ini ke orang lain,” ucapnya kembali sembari tertunduk dihadapanku. Aku agak mengerti kemana arah pembicaraan ini. Sepertinya tidak pantas pembicaraan ini dilakukan di pinggir jalan, seperti sekarang.

“Kita mau cari tempat dulu atau gimana?” tanyaku kepada Nadila.

“Ditempatku aja, Jan.” Kamipun berjalan beriringan masuk melewati gerbang tersebut. Didalamnya terdapat beberapa paviliun serta bangunan bertingkat. Nadila sendiri menempati sebuah paviliun yang berada di dekat gerbang.

“Masuk Jan ....”

Nadila mempersilahkanku untuk masuk kedalam ruang paviliun miliknya. Namun belum jauh kami melangkah, dia berhenti.

“Kok bisa sih?”

Ucap Nadila sembari menoleh kearahku. Suaranya bergetar menahan tangis. Wajahnya seperti menahan amarah. Matanya kembali berkaca menatapku.

“Kok bisa sih aku??” Keluhnya kembali. Dirinya tampak berusaha keras menguasai diri agar tetap tenang. Namun akhirnya air mata mulai jatuh membasahi pipinya.

Aku cukup kaget dengan Nadila yang sekarang sedang berada dihadapanku. Nadila yang biasanya terlihat cuek dan kuat, kini seperti rapuh dan penuh emosi. Sepertinya hal tempo hari benar-benar mengguncang dirinya. Jujur, aku yang baru pertama kali berhadapan dengan hal seperti ini merasa kebingungan bagaimana cara untuk menghadapinya.

“Maafin aku ya, Nad. Seharusnya malam itu aku bisa menahan diri lebih baik lagi.” Kini, air matanya meleleh. Aku mencoba memegangi tangannya, menuntunnya untuk masuk dan duduk di dalam. Namun kembali dia menepis tanganku.

“Kamu marah sama aku?”

“Pengen, aku pengen marah sama kamu, Janu. Tapi aku nggak bisa marah, karena saat itu aku masih cukup sadar saat kita ngelakuin hal itu. Aku bahkan masih sadar saat kamu coba menghindar. Aku tau kamu mencoba melindungiku supaya semua itu nggak terjadi. Tapi, aku juga nggak bisa menahan diriku saat itu, Jan ….”

Nadila yang berada di hadapanku kemudian tertunduk. Tetesan air mata terus jatuh diiringi isak tangis dari dirinya. Aku yang sedikit agak panik kemudian mencoba kembali menggengam kedua tangannya. Mengelus punggung tangannya yang halus tersebut, berusaha membuatnya nyaman. Akhirnya penolakan Nadila mengendur hingga aku dapat menarik dirinya untuk duduk di sofa dalam paviliun. Sambil duduk berhadapan kuelus bahunya. Nadilapun hanya bisa tertunduk dan menangis.

“Aku bingung Jan, aku ngerasa aku bukan perempuan baik-baik. Aku takut orang-orang bakal mikir yang nggak-nggak tentang aku, mereka bakal ninggalin aku yang udah hina kaya gini.”

“Hey, hey. Kamu perempuan baik, dan hebat, Nad,” ucapku kepadanya. Tanganku sendiri sudah berpindah tempat mengelusi pundaknya. “Ini bukan akhir dari segalanya. Everything will be alright. Nggak akan ada yang ninggalin kamu karena hal ini. Aku janji, apa yang terjadi di antara kita, itu akan tetap jadi rahasia kita.”

“Bukan itu masalahnya! Kamu ngerti nggak, sih!?” Sergah Nadila dengan nada marah bercampur tangis yang tak juga kunjung reda.

Sekarang aku memang tidak bisa melakukan apapun dan hanya menatap Nadila yang sedang tertunduk sembari tersedu sedan. Aku kehabisan kata-kata untuk menenangkannya. Dan lagi, aku memang baru menghadapi masalah seperti ini, masalah yang tidak pernah kutemui saat masih di Inggris. Yang bisa kulakukan hanyalah menggenggam kedua tangannya, menyiratkan kepadanya bahwa dia tidak sendirian.

“Maafin aku ya Nad ….”

Its okay, Jan. Aku yang salah … Aku cuma bingung harus gimana sekarang, aku ngerasa sendirian ngehadepin ini Jan,” ucap Nadila sambil menatap mataku. Tatapan mata yang memelas, seakan meminta jawaban atas kebingungan yang sedang melanda dirinya saat ini. Aku kembali menggenggam tangannya dengan lebih erat, menatap wajahnya yang sedikit lebih tirus dari biasanya.

“Kamu udah makan malam?” Nadila menggelengkan kepala.

“Aku pakai dapur kamu buat masak ya, Nad. Biar aku bikinkan sesuatu untuk kamu makan.”

“Aku nggak lapar Jan.” Namun apa yang dia ucapkan sangat kontras sekali dengan apa yang terlihat dari tubuhnya yang terlihat lemas.

“Nad, mau kamu sesedih apapun, kamu tetep harus makan. Bahkan buat bersedih juga kamu butuh tenaga,” ucapku sembari menatap matanya dengan serius. Namun anehnya dia tertawa mendengar hal tersebut.

“Kenapa ketawa Nad?”

“Kamu lucu Jan, tapi bener apa yang kamu bilang,” jawab Nadila. Dirinya mulai terlihat santai.

“Ya bener Nad. Makan ya sekarang.” Nadila pun mengangguk. Namun pada akhirnya kami memesan makanan secara online karena memang tidak ada bahan makanan apapun tersisa di dapurnya, atau mungkin Nadila selama seminggu ini tidak memikirkan hal tersebut. Beruntung masih ada restoran cepat saji yang tersedia dan masih buka didekat sini meski sudah larut malam. Tak lama menunggu, akhirnya sang ojol yang mengantar pesanan kami sudah tiba di pintu gerbang. Akupun kemudian keluar mendatangi ojol tersebut, dan kembali ke paviliun milik nadila dengan membawa 2 kantung plastik berisi makanan.

Aku mengeluarkan paket ayam krispi dan kusodorkan kepada Nadila. “Kamu makan ini ya, Nad. Aku bakal memastikan kamu ngabisin seluruh makanan itu.”

Nadila kembali mengangguk dan mengambil makanan tersebut. “kamu pesen apaan, Jan?”

“Ah iya, ini buat kamu.” Aku mengeluarkan sesuatu dari kantung plastik tersebut. Sebuah mainan berbentuk tokoh fiksi animasi yang terkenal berasal dari Jepang, hadiah dari paket makanan yang aku beli. Nadila mengernyitkan dahinya sembari memukul bahuku. “Dikira aku anak kecil apa dikasih yang begituan?!”

“Hehe … ini buat nemenin kamu kalo kamu lagi sepi Nad. Tapi kalau kamu nggak suka, kamu hubungi aku aja kalo kamu ngerasa sendirian. Aku selalu siap untuk kamu, Nad.”

Namun entah kenapa Nadila seperti terhenyak mendengarkan ucapan tersebut. Mulutnya terbuka, matanya pun terlihat kosong meski menatap kearahku.

“Nad …? Halooo ….” Aku kembali memanggilnya sembari melambaikan tangan di depan wajahnya.

“E-eh iya, Jan. Aku makan dulu,” ujar Nadila yang kembali tersadar. Ia mulai menyantap makanan yang ada dihadapannya. Namun dia terus menundukkan wajahnya yang bersemu merah. Entah apa yang ia pikirkan. Nadila seperti tersipu malu dihadapanku.

Sengaja aku tidak mengajak Nadila berbicara karena menginginkannya untuk fokus makan. Tak butuh waktu lama, makanan yang berada dihadapannya sudah habis tak bersisa.

Nadila yang berada dihadapanku saat ini sudah terlihat mulai bersemangat meski wajahnya masih terlihat agak pucat. Aku masih agak khawatir sebenarnya. Namun sebaiknya aku pulang dan membiarkan dirinya istirahat dengan tenang. Lagipula memang tidak ada lagi yang dapat kulakukan disini. “Ini buat kamu aja ya, Nad. Untuk kamu makan besok pagi. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku aja ya,” ujarku sembari mulai bangkit dari hadapannya.

Grep

Terasa ada yang menahan gerakku ketika akan beranjak pergi. Saat kutoleh ternyata Nadila sedang memengangi jaketku.

“Aku nggak mau sendirian, Jan,” ucapnya sambil menatap mataku. Tatapan mata yang masih sendu tersebut membuat hatiku sedikit terenyuh.

Okay Nad, tapi kamu sekarang istirahat ya. Nanti aku temani hingga kamu tidur.” Nadila hanya mengangguk. Kemudian dirinya beranjak menuju kamar mandi untuk menggosok giginya. Tak lama setelahnya, dia keluar dari kamar mandi dan menanggalkan cardigan hitam yang sedari tadi dia gunakan. Aku cukup kaget saat dirinya keluar dari kamar mandi. Ternyata dari balik kardigan tersebut, tubuh mungilnya hanya terbalut tanktop tipis berbelahan rendah dan celana pendek tipis dan sepertinya sulit untuk menutupi lekuk tubuhnya yang cukup menggelitik birahiku.

Namun nafsu yang mulai menyeruak ini sedikit tertahan oleh rasa empatiku kepada Nadila. Setelah berbaring diranjang ia menatap kearahku, meminta untuk mendekat. Kuselimuti tubuhnya dan langsung mengambil posisi untuk duduk di karpet, persis sebelah ranjangnya. Kugenggam juluran tangan yang keluar dari dalam selimut, hangat.



“Makasih ya, Jan.” Lelah wajahnya terlihat berkurang. Senyum merekah dari wajah manisnya, membuatku ikut tersenyum. Matanya yang semakin lama semakin berat akhirnya terpejam, memancing mataku untuk ikut beristirahat, hingga tak butuh waktu lama aku menyusul menuju alam mimpi.

.

.

.

“Maaf ya aku jadi ngerepotin lagi Jan,” Kembali Nadila meminta maaf padaku saat kami sampai di bandara. Ya, kami sekarang berada di bandara yang berada cukup jauh dari pusat kota Jakarta.

“Nggak apa-apa Nad,” balasku singkat. Ternyata hari ini dia hendak pergi berlibur bersama teman-temannya ke Yogyakarta. Seharusnya dia berangkat pukul 8 pagi tadi. Namun kami berdua tertidur hingga pukul 11 siang karena memang kami baru bisa tidur selepas shubuh. Ya, aku kembali tertidur di tempat tinggalnya, kali ini aku tertidur sembari duduk di sebelah ranjangnya.

“Makasih banyak ya, Jan. Kamu juga udah mau repot nyariin tiket untuk aku, padahal ga usah pake pesawat juga,” ucap Nadila. Setidaknya aku masih bisa membantunya untuk pergi dengan tenang dan nyaman. Sambil bersiap-siap untuk keluar mobil, dia menutup kepala dengan tudung hoodie yang sedari tadi dia kenakan. Kemudian dia merogoh ransel kecilnya untuk mengambil cermin untuk kemudian dia gunakan untuk berkaca, merapikan wajahnya yang sedikit berantakan. Kantung matanya yang cukup berat terlihat karena dia sama sekali tidak menggunakan makeup.

“Kamu yakin mau pergi jauh Nad? Aku khawatir sama kamu.” Kugenggam tangannya yang halus sambil menatap matanya dalam. Nadila yang agak terkaget kemudian ikut menggenggam tanganku. Sebenarnya aku masih berat melepas kepergiannya sendirian, apalagi dengan jarak sejauh ini. Kondisinya masih belum terlalu fit. Dia sendiri bercerita kepadaku bahwa selepas kejadian malam itu, dirinya tidak bisa makan maupun beristirahat dengan baik.

“Aku udah nggak apa-apa Jan,” Nadila kemudian tersenyum kepadaku. “Aku beneran makasih lho Jan kamu mau nemenin tadi malam, bahkan sampai seharian ini. Tapi sekarang aku beneran harus pergi, aku udah janji soalnya. Kalo emang kamu khawatir, nanti aku kabarin lagi keadaanku selama disana.”

Okay, Nad. Aku antar sampai ke dalam ya.” Nadila mengangguk. Aku membuka bagasi belakang, kemudian turun dari mobil untuk mengangkat koper miliknya yang berada didalam bagasi tersebut. Nadila pun berlalu masuk menuju bandara diikuti olehku yang berada dibelakang, berjalan sambil menarik koper miliknya. Setelah melakukan check-in dan mendapat boarding pass, kamipun akhirnya sampai di pintu keberangkatan, dimana hanya pemegang boarding pass yang bisa melewati gerbang tersebut.

Dia pun mulai mengambil koper yang sedari tadi berada di tanganku. Tiba-tiba saja aku memegang tangannya, kutatap kembali wajahnya dengan perasaan yang cukup rumit. Nadila yang awalnya kaget melihat tangannya kupegang, lalu membuka maskernya. Digenggamnya tanganku dengan kedua tangan, sembari mengelus tanganku lembut dia tersenyum manis kearahku. Senyuman yang benar-benar membuat jantungku berdegup dengan kencang. Senyuman itu pula yang menyiratkan bahwa dia akan baik-baik saja.

Nadila akhirnya berlalu melewati gerbang tersebut. Setelah cukup jauh dia kembali menoleh kearahku, terlihat dia merogoh sesuatu dari saku hoodienya. Terlihat dia mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Boneka Pikachu pemberianku kemarin. Dilambaikannya boneka tersebut kearahku. Wajahnya sendiri tidak dapat kulihat dengan pasti karena dia menggunakan masker dan kacamata. Akupun membalas lambaian tersebut. Lambat laun keberadaannya menghilang ditengah kerumunan. Kutunggu hingga kudengar pemberitahuan bahwa pesawat yang Nadila tumpangi benar-benar pergi meninggalkan bandara. Setelah itu aku mampir sebentar ke sebuah kedai kopi yang berada dalam bandara, membeli segelas kopi untuk menemaniku berkendara pulang ke rumah. Kunyalakan radio mobil dan langsung menemukan lagu yang cukup enak untuk didengar meskipun aku tidak tahu judul lagu tersebut.

Oh~. di mana terang yang kau janjikan~ Aku kesepian~

Di mana tenang yang kau janjikan~ Aku kesepian~

Sepi~


.

.

.

Blugh! Blugh! Blugh!

Bunyi dari bola karet yang membentur tembok terdengar cukup konstan menemani kesendirianku di kamar. Tidak banyak yang kulakukan selama libur semester ganjil ini. Sudah empat hari juga aku tidak pergi kemanapun. Aku sendiri memang bukan tipikal orang yang senang pergi keluar hanya untuk bercengkrama dengan teman-teman, tanpa ada keperluan yang jelas.

Sudah cukup lama pula Nadila tidak membalas pesan dariku. Terakhir kali dia membalas pesanku adalah saat mengabarkan bahwa dia bersama teman-temannya akan pergi ke sebuah candi. Setelah itu tidak ada lagi balasan darinya. Entah kenapa, perasaanku menjadi resah dan terus teringat akan dirinya.

Sepertinya tidak benar membiarkan hati dan perasaanku kalut seperti ini. Mungkin perasaan ini akan sedikit membaik jika aku pergi keluar rumah. Namun dengan siapa sebaiknya aku pergi? Karena pergi sendiri pun rasanya malas. Ah iya, disaat seperti ini Aurel adalah orang yang tepat. Langsung kubuka aplikasi chat di HP ku dan kuhubungi dirinya.

Vania Aurellia

“Kamu ada dimana Rel?”

Tak perlu menunggu lama, Aurel pun membalas pesanku.

Vania Aurellia

“Gw ad d kosan Ka”

“Knp? Lu kangen gw?”


Aku tidak membalas pesan tersebut dan langsung bersiap menuju rumah kostnya. Tak sampai 30 menit berkendara di jalanan ibukota, aku akhirnya sampai di depan rumah kost Aurel. Kemudian kutelepon dirinya.

“Halo, Rel? Aku sudah di depan rumah kost kamu.”

“Eh, kak? Lu kok nggak bilang mau kesini?? Ya udah masuk dulu aja deh, naik ke lantai 4 ya! Kamar yang ada di kiri, kalo kanan itu punya Sisca.

Setelah mendapatkan posisi kamarnya dengan pasti akupun langsung masuk kedalam rumah kost tersebut. Di lantai 4 sendiri hanya terdapat dua buah kamar.

Tok tok tok

Pintu pun sedikit terbuka, kulihat Aurel mengintip dari balik pintu dengan wajah yang agak sinis.

“Lu kalo mau datang bilang kek.”

“Maaf Rel, pikiranku lagi bercabang soalnya.” Aku menjawab pertanyaannya dengan lesu.

“Lu kenapa kak? Sini masuk dulu.” Aurel yang tampak khawatir membuka lebar pintu kamarnya. Kamipun duduk di sofa yang berada di depan ranjang. Sambil mengelus wajahku, Aurel yang tampak khawatir terus bertanya tentang kondisiku, tentang masalahku. Namun aku sendiri bingung apa yang terjadi.

“Aku juga bingung, Rel. Nggak tahu kenapa, kaya ada yang hilang di hati ini. Seperti ada ruang yang kosong, dan aku sendiri nggak tau gimana ngisinya Rel. Aku ngerasa sepi.”

Aurel pun menatap mataku dalam. Terlihat wajahnya pun sedikit gusar.

“Lu nggak pernah sendirian, kak. Ada gue disini.” Aurel pun mencium pipiku. Menempelkan wajahnya ke wajahku. Dan entah siapa yang memulai, setelah itu kamipun mulai berciuman dengan cukup dalam. Bibirnya pun sudah mulai membalas lumatanku. Tangannya yang awal memegangi lengan kini mulai berpindah merangkul leher, terus berpindah naik hingga memegangi belakang kepalaku. Ditariknya kepala ini agar pagutan kami berlanjut semakin dalam.

“Aaahhmmmp … Cpplkkhh ….”

Desahan Aurel terdengar disela-sela cumbuan kami, saat tangan kiriku mulai bergerilya diatas payudaranya yang cukup padat tersebut. Mata Aurel menatap sayu ketika tangan ini mulai meremas-remas payudara tersebut memutar. Mulutnya yang kini mulai terbuka membuatku leluasa untuk melumat bibir yang merona tersebut. Kukulum bibir atas dan bawahnya secara bergantian, sambil tangan kiri ini tetap merangsang payudaranya dengan intens.



Kudorong tubuh mungilnya hingga terbaring di sofa. Aurel yang awalnya terbelalak kaget hanya tersenyum nakal dan menarik kasar kepalaku agar kami kembali berpagutan mesra. Tanganku mulai turun mengelus lembut pahanya, terus naik hingga menyingkap oversized sweater yang dia gunakan. Ternyata dibalik sweater yang menutupi hingga tengah pahanya, dia masih menggunakan denim yang sangat pendek. Sangat pendek hingga tenggelam didalam sweater tersebut.

Langsung kuturunkan celana pendek beserta celana dalam yang digunakannya. Aurel yang sudah sangat bernafsu ikut membuka resleting celanaku, menarik penis yang sedari tadi sesak ingin keluar. Sambil tetap bercumbu, tangannya mulai maju mundur mengurut penis yang sudah mengacung tegak sambil membalur batang tersebut menggunakan cairan pre-cum yang keluar. Tangankupun mulai aktif menggosok klitorisnya, semakin lama semakin kencang hingga Aurel mulai meracau keenakan dan melepas cumbuannya.

“Sssshh … Aaaaahhh … Kaaakkhhh … nngghhh ….”

Vaginanya sudah cukup basah ketika aku kuelus bagian tersebut. Kuangkat tubuhnya hingga menungging bertumpu pada meja rias disebelah lemari. Kusingkap keatas sweater yang menghalangi pantat semoknya tersebut. Sambil memegangi pinggulnya, perlahan kumasukkan penis yang sudah menegang kedalam vaginanya yang terasa cukup hangat dan basah, perlahan hingga terbenam dengan sempurna.

“Aaarrrgggghh … kaakhh … pelaahhnn ….”

Wajah kesakitan bercampur rasa nikmat yang berasal dari pantulan dirinya di cermin sungguh darahku semakin bergejolak. Vaginanya pun terasa semakin menjepit dalam posisi seperti ini. Desahan demi desahan dari mulutnya semakin menjadi saat aku mulai memompa liang sempit tersebut dengan tempo sedang.

“Dikira aku anak kecil apa dikasih yang begituan?!”

Ucapan dari Nadila dengan wajah yang terlihat kesal terlintas dalam pikiran saat kulihat sebuah foto yang tertempel di sudut cermin. Foto Aurel bersama ketiga temannya, salah satunya Nadila. Entah kenapa, aku rindu melihat senyumannya.

“Nnngg Jangan berhenti dong kak!” Desah Aurel yang protes karena genjotanku terhenti. Aku yang tersadar dari lamunan langsung menggerakkan pinggul, kembali menggenjot vaginanya.

PLOK!! PLOK!! PLOK!!

Celanaku sudah turun hingga dengkul saat bunyi dari selangkangan yang bertumbuk dengan pantatnya konstan menggema didalam kamar ini. Hembusan angin dingin dari penyejuk ruangan tidak begitu terasa ditengah erangan bercampur desahan kenikmatan keluar mengalun dari kedua mulut kami. Racauan tersebut semakin tidak karuan ketika kecepatan genjotanku bertambah, terutama yang keluar dari mulut Aurel.

“Aaahhh … Kakh Jaann … Nggghhh … harder Kaaakkhhh …”

Vaginanya menjadi semakin hangat dan basah. Dinding vagina tersebut terasa berkedut dan memijit kencang penisku.

“Aaahh kaakhh … akhu … akkhu … NNGGGHHH!!!”

Punggung Aurel yang sedang kugenjot menegang kaku. Pantatnya tertarik kedepan hingga penisku terlepas. Tubuhnya ambruk telungkup bertumpu pada meja rias dihadapannya. Nafasnya tersengal terdengar sangat memburu. Cairan kenikmatan mulai meleleh diantara selangkangannya. Matanya nanar menatapku sambil tersenyum.

“Aku nggak mau sendirian, Jan.”

Wajah sendu Nadila yang sedang mengucap kata tersebut tiba-tiba terlintas dalam benakku. Tapi, kenapa juga aku selalu terpikir tentang dirinya?

“Ngapain lu ngelamun kak? Kesambet? Belum beres lho ini.”

Tiba-tiba Aurel mendorong tubuhku ke ranjang. Sambil menyeringai dia mulai beranjak keatas tubuhku.

“Kok udah lemes sih kak?” tanya Aurel saat melihat penisku yang mulai mengecil. Ya, entah kenapa nafsuku sekarang mulai menghilang. Yang ada didalam pikiranku kembali hanyalah Nadila.

“Haamphhh … Sssrlllppp ….”

Penisku yang setengah tegang mulai dikulum oleh Aurel. Aurel pun mulai menyeringai menggoda menatapku nakal. Dia mencoba memancing kembali birahiku, dan berhasil. Penisku kembali menegang sempurna oleh perlakuan sensualnya. Tak lama, dia merangkak ke atas tubuhku, mulai mengarahkan penisku untuk masuk kembali kedalam vaginanya.

“Nnggghhh….”

Aurel mengerang nikmat saat penisku kembali menjejali vaginanya. Sambil memegangi wajah dan mencumbui bibirku, dia mulai menggoyangkan pinggulnya naik turun, memompa penis yang ada dibawah tubuh sekalnya. Akupun mulai menikmati setiap rangsangan yang dia berikan kepadaku.

Dengan lantang~ Aku katakan~

dalam asa~ bercita wujudkan angan~


Suara lagu terdengar dari meja yang berada di bawah televisi. Sepertinya berasal dari gawai milik Aurel. Namun dia tidak memperdulikan hal tersebut. Dia hanya fokus memompa penis yang ada didalam vaginanya sambil terus meracau mendesah kenikmatan.

Dengan lantang~ Aku katakan~

dalam asa~ bercita wujudkan angan~


Sepertinya aku ingat dengan lagu ini. Benar, ini lagu milik tim akustiknya Nadila. Ah~. Kembali, yang terbersit hanyalah Nadila didalam benakku, hanya Nadila.

Sepertinya, aku mulai menyukai dirinya.

“Reel … udah yaa ….”

Aku meminta Aurel untuk berhenti menggenjot penisku. Namun dia tidak menggubris hal tersebut. Malahan sekarang dia menekan kedua tanganku yang mencoba mendorong tubuhnya dan mulai bergerak naik turun diatas tubuhku.

Parah kamu rel, udah minta jemput, ditungguin dari tadi dibawah taunya malah enak-enak disini.”

Tiba-tiba saja terdengar suara seorang gadis dari arah pintu kamar. Seorang gadis menatap kearah kami dengan wajah yang terlihat kesal. Rasanya pernah kutemui gadis ini didalam teater. Lebih tepatnya, pernah kutonton.



“ANIN?!”

.

.

.

tbc
 
Terakhir diubah:
malem gaes, akhirnya aku update kembali.
tau mungkin aku ngambil judul eps ini dari lagu nya siapa

daripada aku terus ngelantur ga jelas, mending kakak-suhu-om baca aja deh lanjutan cerita diatas
yang minta sas sis sas sis, maap sampe sekarang masih belum bisa dikabulkan, tau deh besok gimana

lah masih ngebacot aja, gitu deh pokoknya, kalo ada salah salah mohon dimaapkan, maklum nubi hanya orang biasa yang masih belajar.


okay folks, enjoy while it last
 
wah update, puja paha aurel!

dilihat dari respon anin yang tidak terkejut dan terheran-heran sepertinya anin juga sudah cukup berpengalaman, hmm :pandajahat:

oiya itu foto aurel emang sengaja dicrop?
 
Hehe olel hehe jder @SundayTheSix
gada tukat tukatnya nih tuan.

-------------------------------

Tuan TS lagi sange sampe merkosa aurel cem gitu. isi palanya selangkangan doank gitu? seksi dikit hajar. nanti siapa lagi korabnya? anin? awas kalo gak ada ayen ya Tuan.
 
Wet wet.. Jadi bingung milih tim sapa ini dah.. Bdw, alur nya enak euyy

Makasih update nya suhu.. Set jam brpa dah ini

waduh udah ada shipping nih, apa sekalian dibuka vote ajah?
ehehe

makasih loh kak, kebeneran aja masih on jam segitu, lagi menggandrungi city builder soalnya

waduh anin diajakin ga ya?
:bingung:

diajak gak yah? bosen gak dia lagi dia lagi?

wah update, puja paha aurel!

dilihat dari respon anin yang tidak terkejut dan terheran-heran sepertinya anin juga sudah cukup berpengalaman, hmm :pandajahat:

oiya itu foto aurel emang sengaja dicrop?

pengalaman atau tidaknya belum bisa dipastikan kak, mungkin semuanya (mungkin) bisa terjawab di update selanjutnya, pantengin aja ya kak

gatau tuh, kemaren imagebb nya agak error, sekarang juga masih agak kepotong, apa harus kotak gitu gambarnya?

biar keliatan pinter kak :capek:

biasa aja juga kamu udah sempurna kok njel

Asiiiikkk oleeelll
Hehe olel hehe jder @SundayTheSix
gada tukat tukatnya nih tuan.

-------------------------------

Tuan TS lagi sange sampe merkosa aurel cem gitu. isi palanya selangkangan doank gitu? seksi dikit hajar. nanti siapa lagi korabnya? anin? awas kalo gak ada ayen ya Tuan.

banyak juga yah yang suka aurel ternyata, selain aku. kurang apa coba dia sebenernya

ya biasanya kan gitu kak, kalo kepala atas pusing, kepala bawah juga suka ikutan pusing, mending beresin aja dah satu satu pusingnya
:pandaketawa:
wah kakak jack mintanya rona ang mulu nih.
 
pengalaman atau tidaknya belum bisa dipastikan kak, mungkin semuanya (mungkin) bisa terjawab di update selanjutnya, pantengin aja ya kak

gatau tuh, kemaren imagebb nya agak error, sekarang juga masih agak kepotong, apa harus kotak gitu gambarnya?

selalu ditunggu updatenya hu hehehehe

btw ini saya bisa kok, yg dilink fullnya hu jangan thumbnailnya
photo6282644875048495484.jpg
biasa aja juga kamu udah sempurna kok njel

nah @syhfrangela ini contoh kata-kata buaya njel, kalo kak jer mah mujinya tulus gak berlebihan gini
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd