Part 02. Sisi Lain Rizal
Bel masuk sudah berbunyi, tapi belum ada tanda Bu Mona memasuki kelas. Rizal yang merupakan ketua di kelasnya mencoba mengecek HP-nya, siapa tahu ada pesan yang dikirim Bu Mona. Benar saja, terdapat sebuah pesan dari Bu Mona.
“Kumpulkan tugas yang kemarin dan antar ke ruang Ibu, sekalian kamu bilang ke semuanya hari ini ada rapat, tunggu satu jam lagi kalian bebas meninggalkan sekolah....” Rizal membaca pesan dari Bu Mona.
Tanpa membalas, Rizal segera melakukan perintah Bu Mona, tak lupa dia memberitahu teman satu kelasnya tentang isi pesan Bu Mona, si guru killer yang juga wali kelasnya.
Begitu semua tugas sudah terkumpul, Rizal segera membawanya ke ruang guru, tepatnya ke tempat Bu Mona.
Keadaan ruang guru terlihat sepi, itu yang dilihat Rizal begitu memasuki ruangan guru. Tapi dia tak peduli, tujuan dia ke ruang guru hanya mengantar tugas yang sudah selesai ketempat Bu Mona.
Sampai di tempat Bu Mona, Rizal mendapati Bu Mona sedang merapikan makeup nya. Sedangkan Bu Mona yang menyadari ada seseorang yang datang, dia segera melihat kearah orang itu.
Melihat Rizal sudah di depannya, Bu Mona menyuruh anak didiknya itu duduk.
“Ada yang tidak mengumpulkan?....” Bu Mona bertanya dengan nada santai tapi terdengar begitu tegas.
“Semua sudah mengumpulkan, Bu....”
“Baguslah, dan soal jam pulang, apa kamu sudah memberitahu ke mereka?....”
“Semua sudah saya beritahu seperti yang tadi Ibu pesankan....”
“Kamu memang selalu bisa Ibu andalkan, tapi sayang, 3 bulan lagi kamu akan lulus. Ibu pasti sulit menemukan murid seperti kamu....” ujar Bu Mona seraya menatap lekat kearah Rizal, dan untuk pertama kalinya dia tersenyum begitu manis kepada muridnya.
Rizal yang melihat senyum mania Bu Mona untuk pertama kalinya, dia sejenak dibuat terpesona oleh daya tarik gurunya itu. Jika biasanya meski terkenal jutek dan keras, Bu Mona tetap terlihat cantik, tapi barusan saat dia tersenyum bagi Rizal kecantikan Bu Mona menjadi berlipat ganda.
“Heran gue lihat wanita seperti Bu Mona masih betah hidup sendiri....” batin Rizal.
Di usianya yang sudah menginjak 24 tahun, Bu Mona memang masih singel. Cukup banyak lelaki yang mendekatinya, tapi belum ada yang cocok dengan keinginannya.
“Tahun pelajaran baru nanti pasti banyak murid baru yang lebih baik dari saya, jadi Ibu pasti mudah menemukan murid seperti saya....” ungkap Rizal.
“Murid pintar tuh memang banyak, tapi murid pintar yang bisa diandalkan tuh jarang. Dari dua tahun Ibu mengajar, baru kamu yang Ibu rasa murid paling sempurna. Cerdas, tanggungjawab, dan bisa diandalkan....” puji Bu Mona.
Rizal hanya tersenyum mendengar pujian Bu Mona. Biarpun sedikit terdengar berlebihan, Rizal tak sedikitpun memprotes pujian Bu Mona.
“Ya sudah, kamu boleh kembali ke kelas....” kata Bu Mona.
Seperti mendapat perintah, Rizal pun kembali ke kelasnya. Baru tiba di kelas, dia langsung ditarik Tomi ketempat duduknya.
“Woi, apaan lo tuh....” bentak Rizal yang merasa kurang nyaman dengan ulah salah satu temannya.
“Sorry bro, penting nih....” ungkap Tomi.
“Apanya yang penting?.... palingan juga soal cewek....” tebak Rizal dengan menunjukkan ekspresi malasnya.
“Iya soal cewek, tapi ini juga soal harga diri juga....” kali ini Diki yang berkata.
“Emang kalian masih punya harga diri?....” canda Rizal dengan gestur sok serius.
“Kampret lo tuh, gue tuh serius....” bentak Diki.
“Ok, ok, sekarang jelasin apa tuh yang penting?.... Awas saja gak penting!....”
“Ini soal nih si Vito, kemaren dia baru ngungkapin perasaannya ke cewek, tapi tuh cewek akan memberi jawaban kalau Vito nemuin dia di cafe yang berada di samping sekolahnya....” ujar Tomi.
“Apa susahnya, kan lo tinggal pergi ke tuh cafe dan lo bisa dapat jawaban tuh cewek....” Rizal berkata sambil menatap kearah Vito.
“Gak semudah itu Zal, masalahnya tuh di sini, tuh cewek murid SMA 08, lo tahu kan hubungan sekolah kita dengan SMA 08?....” Rizal mengangguk dan mulai mengerti dimana permasalahannya.
“Lo dengar kan tadi gue bilang tuh cewek nyuruh Vito ke cafe dekat sekolahnya?.... Yang gue takuti tuh si Vito nanti kenapa-napa disana, karena tuh gue ngajak lo. Lo mau kan ikut kita-kita?....” tanya Tomi penuh harap.
Meski malas, Rizal akhirnya mengiyakan ajakan Tomi. Biarpun kemungkinan ini jebakan, Rizal akan tetap ikut ketiga sobatnya, bagaimana dia gak ingin ada sahabatnya yang terluka.
Tak lama bel sekolah berbunyi, semua murid bersiap meninggalkan sekolah. Rizal dan tiga sahabatnya sudah berkumpul di parkiran dengan motor yang sudah berjajar rapi.
“Ada yang bawa kunci ring pas 12?....” tanya Rizal tiba-tiba.
“Buat apa ring pas 12?.... Kalau buat mukul, bukannya kekecilan....” ujar Tomi.
“Tikus juga tahu kunci ring pas segitu tuh kekecilan kalau untuk mukul. Gue butuh tuh kunci untuk nih lepas plat nomor motor gue, gue saranin copot juga tuh plat motor kalian....” kata Rizal menjelaskan maksudnya.
“Ternyata otak lo memang encer, gue aja lupa tatacara sebelum mulai kerusuhan. Menyembunyikan identitas diri, terutama kendaraan. Untung gue bawa, nih lo duluan, setelah tuh giliran gue....” ungkap Diki sambil menyerahkan kunci ring pas yang baru dia ambil dari jok motornya.
Di SMA 08 gurunya juga sedang rapat, dan tuh cewek sudah menunggu Vito.
Begitu selesai melepas plat nomor kendaraan, Rizal dan tiga orang temannya segera berangkat menuju cafe yang jadi tempat pertemuan. Karena plat nomor motor mereka dilepas, mereka memutuskan menyusuri jalan yang aman dari pengawasan pihak kepolisian.
Diki saat ini dibonceng Tomi berjalan di depan. Vito dan Rizal yang naik motor sendiri-sendiri, mengikuti di belakang mereka.
Sampai di depan cafe, Rizal mulai merasa aneh, dan firasatnya mengatakan ada yang gak beres. Selain suasana cafe yang sepi dengan hanya terlihat tiga motor terparkir, tentu motor itu selain punya Rizal dan teman-temannya. Menoleh kearah SMA 08, Rizal melihat sekolah itu benar-benar sudah sepi, gembok besar terlihat sudah terpasang di pintu gerbang.
Dari penglihatan mata tempat ini memang sepi, tapi sejak datang Rizal merasa ada banyak pasang mata sedang melihat kearahnya.
“Filing gue buruk....” ujar Diki yang memarkirkan motor di samping Rizal.
“Kalau lo saja bisa punya filing seperti itu, artinya memang akan ada hal buruk yang akan terjadi....” kata Rizal seraya ia mengeluarkan HP dari saku celana.
Di sisi lain dibalik tembok sekolah, ada puluhan murid cowok sedang mengamati empat orang yang sedang duduk diatas motor mereka.
“Bukannya tuh si Tomi dan dedengkotnya, lo yakin mau ngejebak mereka?....” tanya Tyo, salah satu pentolan SMA 08.
“Mereka cuma berempat, jangan bilang lo takut!....” kata Edo menanggapi pertanyaan Tyo.
“Bukannya gue takut, tapi gue merasa firasat buruk dari satu orang yang sekarang masih makai helm....” Tyo menunjuk satu dari empat orang yang sedang mereka amati.
“Cuma nambah satu serangga, gak akan ngebuat mereka selamat. Gue masih sakit hati dengan si Vito, karena tuh anak, gue jadi bonyok....”
“Karena itu lo nyuruh ceweklo, si Nisa buat ngejebak Vito?.... Gue justru takut si Nisa benar-benar suka sama si Vito....”
“Lo tenang saja, gue jamin Nisa tetap milik gue. Cewek yang udah segitunya gue rusak, gak akan ninggalin gue....”
“Tuh menurut lo, tapi bukannya Nisa udah resmi pindah ke SMA 45 mulai minggu depan....”
“Ya, tu cewek cuma nurutin kemauan nyokapnya yang kebetulan juga pindah tugas ke SMA 45....”
“Firasat gue makin gak enak....” batin Tyo.
Tak lama setelah obrolan mereka, empat orang yang sedang mereka amati bersamaan masuk kedalam cafe.
Mata Tyo seketika melotot saat melihat wajah cowok yang tadi masih tertutup helm. “Kenapa tuh orang bisa di sini?.... Ini buruk, cuma puluhan orang seperti ini, gak akan mampu bikin tuh orang bertekuk lutut....” batin Tyo dengan otak berfikir keras.
Kembali ke Rizal dan teman-temannya, yang kini sudah berada di dalam cafe.
Di dalam cafe mereka disambut 3 murid cewek SMA 08 yang salah satunya segera berjalan kearah Vito dan menariknya agak menjauh. Dua orang cewek yang lain, mereka hanya berdiri tak jauh dari Rizal dan dua temannya.
Rizal yang terkenal cuek, dia begitu saja duduk di salah satu kursi dan dengan santainya memanggil pelayan cafe.
Pelayan cafe yang merasa dipanggil, berjalan mendekat kearah Rizal. Saat berada tepat di depannya, Rizal melihat ekspresi pelayan cafe yang gak enak di lihat, dari ekspresi wajahnya, dia seperti menyuruh Rizal dan teman-temannya untuk segera pergi dari cafe.
“Jus jeruk 1 Mbak, es nya yang banyak....” kata Rizal memesan minuman.
Bukannya segera mencatat pesanan Rizal, pelayan yang di panggilnya justru terdiam menatap Rizal.
“Kenapa Mbak, ada yang salah dengan pesanan gue?....” tanya Rizal.
“Mas, lebih baik kamu dan teman-temanmu segera pergi, kalian tuh sedang di jebak!....” kata pelayanan cafe dengan suara lirih.
“Oh soal itu, Mbak tenang saja....” Rizal menunjukkan layar HP-nya kearah pelayanan cafe.
From Beni :
“Lo tenang saja, lima menit lagi gue dan yang lainnya datang. Sekalian gue mau bikin tuh bajingan SMA 08 benar-benar jera udah berurusan sama kita....”
Pesan dari sang ketua OSIS SMA 45 yang dibaca dengan suara lirih oleh wanita pelayan cafe.
“Kelinci mau ngejebak harimau, yang ada mereka yang dimakan ramai-ramai....” kata Rizal dengan suara sedikit serak yang membuat pelayan cafe merasa merinding dengan sosok Rizal.
“Dia jauh lebih mengerikan dari si bos nya SMA 08....” batin wanita pelayan cafe saat dia berjalan menuju dapur.
Vito yang baru selesai ngobrol dengan cewek yang dia temui, bergegas mendekati Tomi, dan setelahnya mereka mendekat dan berkumpul di samping Rizal.
“Bangsat, si bajingan Edo udah ngejebak kita. Begitu kita keluar, dia dan orang-orangnya akan nyerang kita....” seru Vito dengan penuh emosi.
“Maaf, ini semua salah gue....” kata cewek yang berdiri di samping Vito.
“Lo siapa, maksut gue, nama lo?....” tanya Tomi.
“Gue Nisa, pacarnya Edo. Tapi gue dah lama,-....”
“Nanti saja lo jelasin itu....” Rizal memotong perkataan Nisa. “Lebih baik kita keluar dan kita temuin yang namanya si Edo. Gue penasaran seperti apa wajah cowok yang berani manfaatin cewek untuk rencana busuknya....”
Semua orang terdiam mendengar apa yang dikatakan Rizal. Dalam situasi segenting ini dia masih begitu santai, bahkan dia menyuruh dua cewek yang gak ada hubungannya dengan situasi saat ini untuk keluar dan menjauhi cafe.
Setelah dua cewek tuh keluar, Rizal nunjukin pesan dari Beni di HP-nya yang seketika membuat tiga temannya merasa lega.
“Gue tadi hubungin tuh si OSIS maniak tawuran karena gue punya firasat buruk, dan barusan gue denger kenyataan dari firasat gue....” ujar Rizal menjelaskan semua.
“Lo memang yang terbaik....” ujar Tomi.
Akhirnya Rizal dan teman-temannya keluar dari cafe di ikuti Nisa yang mengekor di belakang Vito.
Seperti firasat Rizal dan fakta yang diungkap Nisa, mereka benar-benar di jebak. Puluhan murid SMA 08 sudah menunggu mereka tak jauh dari cafe.
Jika tiga temannya sedikit gentar dengan puluhan orang yang berteriak mengejek dan menantang, Rizal justru terlihat begitu santai, dia bahkan menyeringai lebar saat melihat dua orang murid SMA 08 yang berdiri di depan murid yang lainnya.
Mata Rizal sedikit menyipit saat mengenali salah satu dari dua orang itu. Dia terkekeh sambil menggelengkan kepalanya saat melihat orang itu.
Di sisi lain, Tyo yang terus-menerus dilihat oleh Rizal, dia merasa tubuhnya gemetaran. Tyo tentu sangat mengenal siapa Rizal, karena mereka teman satu sekolah waktu masih SMP. Dari semua orang, saat ini Tyo satu-satunya orang yang tau sisi lain Rizal.
Masih begitu jelas terekam di ingatan Tyo. Di balik sikap acuh, dan pendiam yang dimiliki Rizal, dia adalah sosok yang mengerikan jika ada yang menyinggungnya, itu juga berlaku untuk teman-temannya. Rizal tak akan segan menghajar orang yang menyakiti temannya. Biarpun cuma sendirian, dia pernah menghajar puluhan murid SMP lain, bahkan dia menang dengan sedikit luka.
Semua ingatan itu membuat Tyo saat ini hanya diam mematung. Tak ada kata ejekan atau kata menantang keluar dari mulutnya. “Lo salah memilih lawan....” batin Tyo dengan sorot mata tajam melirik kearah Edo.
“Nisa, lebih baik lo kesini!.... Gue rasa tugas lo sudah selesai....” seru Edo memanggil Nisa.
Nisa tak bergeming dari tempatnya. “Jadi lo si babi kotor yang sudah manfaatin cewek untuk akal licik lo!....” ejek Rizal dengan wajah jijik memandang Edo.
“Untuk orang yang sebentar lagi gue bikin bonyok, ternyata lo banyak omong juga. Hati-hati, lo sudah menghina seekor harimau....” balas Edo dengan nada mengancam.
“Lo Nisa, ini kesempatan terakhir, lo mau ke sisi gue atau lo mau ikut gue hajar!....” bentak Edo dengan suara lantangnya.
“Sebelum lo nyentuh Nisa, gue yang bakalan bikin lo tersungkur di depan gue....” Vito yang geram dengan Edo, mulai tak bisa menahan emosinya.
“Ok, silahkan lo ambil tuh sampah. Sampah memang cocoknya juga sama sampah....” cibir Edo. “Tapi sebelum kalian pergi, gue akan bikin kalian membusuk lebih busuk dari sampah....”
Edo menyeringai, dan dia mengajak seluruh temannya berlari kearah Rizal dan teman-temannya. Dengan membawa balok kayu, mereka dengan beraninya menyerang kelompok Rizal.
Belum juga sampai di dekat Rizal yang berdiri paling depan, puluhan motor datang dan berhenti tepat didepan Edo dan kumpulan murid SMA 08. Dengan jumlah yang berkali-kali lebih banyak, Edo segera lari di ikuti seluruh murid SMA 08 yang mengikutinya.
Kelompok Edo yang tadinya terlihat garang, kini justru jadi bahan ejekan pengendara motor yang masih memenuhi jalan.
Mendengar ejekan yang di tujukan padanya, membuat Edo memelankan larinya dan mencoba membalas. Tapi belum sempat membalas, puluhan motor yang tadi mencegatnya, kini bergerak dan melaju kearahnya. Melihat itu Edo kembali berlari, bahkan larinya kini semakin kencang.
Dari puluhan motor yang mengejar kelompok Edo, ada satu motor yang tak ikut mengejar. Satu motor itu dikendarai seseorang dan mengarahkan motornya tepat di depan Rizal.
Dari balik helm yang sudah terbuka, terlihatlah wajah sangar Beni, ketua OSIS SMA 45 yang tadi si hubungi Rizal.
“Cuma ngadepin sampah, kenapa juga lo harus minta pertolongan gue?....” sambil meletakkan helm full face di atas tangki motor sportnya, Beni mengirim pertanyaan ke Rizal.
“Jadi lo gak ikhlas nolongin gue?....” balas Rizal.
“Apanya yang ditolong, bukannya lo sendiri lebih dari cukup untuk bikin orang-orang tadi bonyok!....” ungkap Beni.
“Lo tuh teman lama gue, bahkan kita udah jadi teman sejak SD. Tapi sepertinya lo lupa apa yang bakal menimpa gue kalau gue berkelahi lagi....” Rizal mengarahkan tatapan tajam kearah Beni.
“Bukannya gue lupa, tapi gue cuma berpikir hukuman lo tuh udah gak berlaku....”
“Hukuman yang dulu memang sudah gak berlaku, tapi ancaman hukuman 3x lipat dari hukuman yang dulu gue rasain, itu udah cukup bikin ciut nyali gue untuk sekedar memukul dan dipukuli....” kata Rizal.
Mendengar kata-kata Rizal, membuat Beni bergidik ngeri, ingatannya melayang ke masa lalu. Dia masih ingat saat Rizal mendapatkan hukuman setelah ketahuan ikut tawuran. Hukuman itu terlihat biasa saja, tapi itu sudah cukup bisa membuat Rizal terkapar dan dirawat 3 hari di rumah sakit.
“Dia memang monster....” guman Beni, meski lirih tapi masih terdengar di telinga Rizal.
“Lo lupa dia siapa?....” tatapan tajam Rizal yang begitu dingin, membuat Beni benar-benar hanya bisa tersenyum masam di depan Rizal. “Bagaimanapun juga dia terap Ibu gue....” lanjut Rizal.
“Hehe, sorry!....” kata Beni. “Gue pergi ke anak-anak dulu, takutnya mereka terlalu berlebihan....” lanjutnya.
Beni pergi menyusul teman-temannya yang lain. Sedangkan Rizal, dengan santai dia berjalan kearah parkiran motor. Tepat di belakang Rizal, ada tiga temannya yang menyusul dan seorang wanita yang digandeng salah satu temannya.
Di tempat lain, tepatnya di sebuah gang perumahan warga. Terlihat puluhan murid SMA jatuh tersungkur diatas jalan beraspal dengan keadaan luka di sekujur tubuhnya. Di sekeliling mereka, ada puluhan remaja yang terlihat belum puas setelah memukuli mereka.
Warga sekitar yang melihat kejadian tawuran ini, mereka hanya sekali melirik dan setelahnya mereka acuh tak acuh dengan hal buruk yang diterima puluhan murid yang saat ini sedang merintih kesakitan.
Bagi warga sekitar, seluruh murid SMA yang saat ini sedang tergeletak tak berdaya, mereka adalah sampah. Para warga justru bersyukur melihat keadaan mereka. “Akhirnya si tukang bikin onar terkena batunya....” kata seorang warga yang melihat terjadinya tawuran.
Beberapa saat kemudian datang seseorang dengan mengendarai motor. Helm yang tak dia kenakan, memperlihatkan wajah dan senyuman yang menghias bibirnya. Seseorang yang baru datang ialah Beni, pemimpin SMA 45 yang baru selesai berpesta. Sedangkan puluhan murid SMA yang sedang merintih menahan sakit, mereka adalah Edo, Tyo, dan teman-temannya yang berasal dari SMA 08.
Warga di sekitar lokasi tawuran bisa dengan mudah mengenali Edo dan yang lainnya sebagai murid SMA 08 karena mereka masih menggunakan seragam sekolah. Sedangkan untuk Beni dan teman-temannya, mereka sudah mengganti seragam sekolah dengan baju biasa, jadi akan sulit bagi warga sekitar untuk mengenali asal mereka.
“Lo mau ngejebak teman gue, jangan mimpi!.... Sampah tetaplah sampah, jangan lo berharap seorang sampah bisa jadi barang yang bernilai....” ujar Beni sambil duduk jongkok di samping tubuh Edo.
“Gue pasti balas lo!....” kata Edo begitu lirih.
Sudut bibir Beni terangkat membentuk senyuman sinis saat mendengar kata-kata Edo.
“Gue tunggu, dan gue gak sabar ngerasain gimana rasanya balasan lo. Tapi sebelum lo balas dendam, gue ada sedikit hadiah buat lo....”
“BUGH....” satu pukulan Beni, secara telak mengenai wajah Edo.
Menerima pukulan Beni yang terasa seperti hantaman martil, seketika Edo pingsan.
“Seret mereka ke pinggir jalan!....” seru Beni ke teman-temannya. “Gue yakin 1 atau dua jam lagi mereka yang pingsan akan sadar, dan buat lo semua murid SMA 08 yang masih sadar, gue ingatin untuk terakhir kalinya, jangan cari gara-gara dengan murid-murid sekolah gue. Ini peringatan terakhir, dan jika kalian masih menantang peringatan itu, gue jamin lo semua akan hancur....” seru Beni, dan setelahnya dia mengajak teman-temannya pergi dari lokasi tawuran.
“Gue gak akan lagi berurusan dengan mereka....” gumam Tyo, satu dari segelintir murid SMA 08 yang masih sadar.
******