Part 16
"Oh maaf, aku bisa mengerti. Tapi, bisakah hubungan kita dekat seperti ini setelah kau menikah nanti?" Bujuk Stella.
***
Cukup lama Alex terdiam, tatapan mata Stella yang selalu membuatnya luluh, kini sekuat tenaga dihindarinya. Membuat dada pemuda itu turun naik karena berusaha mengontrol perasaannya.
Stella masih menatap Alex, menunggu jawaban darinya. Melihat reaksi Alex yang tak biasa membuat gadis itu berjalan mendekat.
Tangan Stella meraih kerah baju Alex dan merapikannya. Tak lama tangan itu turun ke dasinya, hal yang sama ia lakukan lagi, merapikannya hingga akhirnya, ia menyandarkan kepalanya di dada bidang pemuda itu.
"Entah mengapa, aku merasa akan kehilangan dirimu. Apa kau juga merasakan hal yang sama sepertiku, Alex?"
"Tidak."
"Lalu, mengapa aku merasa, kau seakan ingin menghindariku. Bukankah sejak dulu kau hanya mencintaiku saja?"
"Itu dulu, sebelum aku mengenal sosok calon istriku," jawab Alex gugup.
"Begitu ya, rasanya aku ingin segera bertemu dengan calon istrimu itu, aku ingin tahu gadis seperti apa yang bisa membuatmu berpaling dariku."
"Jangan libatkan dia, kau yang lebih dulu menolakku. Kau bilang jika aku bukan tipe pria yang ingin kau nikahi."
"Arya."
Mendengar nama Arya disebut, Stella langsung menatap tajam Alex. Gadis itu mengerutkan keningnya seolah tak mengerti mengapa Alex bisa menyebutkan nama itu.
"Aku tahu kau sudah lama memendam perasaanmu pada Arya, bukan? Mungkin sudah saatnya ia tahu jika kau memiliki perasaan khusus untuknya," ucap Alex dengan bibir bergetar. Tak lama pemuda itu membalikkan badan. Mencoba menyembunyikan perasaannya saat ini.
"Pergi, dan kejar Arya, pria yang ingin kau nikahi itu. Ia tak akan tahu jika kau terus diam seperti ini, maka kau akan sama seperti aku dulu, yang terus-menerus mengharapkan dirimu."
"Sejujurnya, aku sangat takut ia menolakku, Alex."
"Itu lebih baik, setidaknya kau tahu perasaannya padamu."
Stella melangkah dan duduk di kursi, lalu menundukkan wajahnya, sorot matanya yang terlihat sayu, hampir saja membuat Alex ingin memeluknya. Namun, pemuda itu masih bisa menahan dirinya.
"Sejak kapan kau mencintai gadis itu?" Lirih Stella.
"Kenapa?"
"Aku hanya ingin tahu."
"Sejak setengah tahun lalu," Alex berbohong.
"Berarti sejak setengah tahun lalu kau menyembunyikannya dariku."
"Tidak, bukan menyembunyikan, kupikir kau tak ingin tahu."
"Bukankah kita teman baik?" Tanya Stella.
"Kita memang teman, tapi bukan berarti semua urusan pribadiku harus kau ketahui, bukan?"
"Begitu ya, berarti aku bukan gadis yang spesial lagi bagimu. Kau sudah menemukan sosok lain yang menggantikanku."
"Maaf. Tapi, itu benar."
Alex menghela napas panjang. Masih mencoba mengendalikan debaran halus di hatinya. Rasa sakit terlihat diwajahnya kala ia terpaksa terus membantah ucapan Stella.
Mereka berdua kini diam, wajah Stella kembali menunduk. Aktris cantik itu meremas jemarinya, seakan ingin menahan tangisnya.
Cukup lama mereka tak bicara. Pundak Stella nampak sedikit bergetar. Entah apa yang dirasakannya sekarang. Karena tak lama kemudian, gadis itu bangkit dan berdiri.
"Kau benar, aku memang harus mengakhiri semuanya. Akan kukatakan pada Arya bagaimana perasaanku selama ini padanya."
Alex menatap Stella sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Andai Stella mengetahui betapa perih hatinya saat ini, karena sudah membohongi perasaannya sendiri. Namun, ia harus melakukannya, bukan demi memenuhi janjinya pada Raya tetapi demi kebaikannya sendiri. Pemuda itu mulai menyadari jika selama ini ia telah menyakiti dirinya sendiri karena mencintai seseorang yang tidak pernah bisa membalas perasaannya.
"Ayo, katakan pada Arya." Alex mencoba memberinya semangat.
"Kau akan menemaniku, kan?" Pinta Stella.
"Maaf, kali ini aku tidak bisa menemanimu. Karena sebentar lagi aku harus menjemput Raya, calon istriku," ungkap Alex sengaja berbohong.
"Oh."
Raut wajah kecewa ditunjukkan Stella padanya, dengan langkah ragu ia pamit.
"Baiklah, aku pulang dulu, Terima kasih, sudah mendengarkan keluhanku. Kau memang teman yang terbaik. Alex," ucap Stella sambil menatap nanar lawan bicaranya.
Alex memilih diam, tak menjawabnya. Seraut senyum tipis kembali ia perlihatkan. Seakan ingin menutupi hatinya yang patah saat ini.
Tubuh Stella akhirnya menghilang di balik pintu itu, ia sudah pergi meninggalkan Alex yang masih terpaku menatap pintu.
"Kau benar, Stella. Kita hanya bisa jadi teman saja. Tak lebih. Selama ini aku sangat bodoh karena terlalu mengharapkan balasan cinta darimu dan mengharapkan dirimu menjadi milikku, meskipun aku tahu, cintamu tak akan pernah bisa kugapai," lirih Alex.
***
Satu bulan kemudian.
"Impianmu menikahi pria kaya akhirnya terkabul juga. Aku iri denganmu, nggak nyangka gadis menyebalkan dan perhitungan seperti dirimu bisa punya nasib yang beruntung seperti ini," ucap Nita sambil melihat Mbak Ningsih, seorang Makeup artist yang sibuk merias wajah Raya.
"Maaf ya, nasibku memang beruntung," balas Raya terkekeh.
"Tapi, aku senang kau nikah sama si bule kesasar itu daripada Mas Dhani yang pengkhianat itu."
"Jangan lupa bikin video akad nanti yang bagus trus dishare yang banyak biar si pengkhianat itu menyesal karena melepaskan Raya yang manis dan imut imut ini," cicit Raya membuat Nita langsung mencebik kesal padanya.
"Hmm, kalau ada maunya aja, cepet banget otaknya loading," Sindir Nita.
"Ya nanti akan ku share, kau tenang saja. Mantanmu itu akan lihat betapa bahagianya hidupmu sekarang."
"Kau memang yang terbaik, Nita." Puji Raya sambil memamerkan deretan giginya.
"Giliran ada maunya saja, muji yang terbaik," balas Nita sambil memanjangkan bibirnya.
"Oh ya, selama dijakarta kau nggak pernah bertemu dengan mantanmu itu?"
Raya langsung menggeleng," tidak. Aku tidak pernah bertemu dengannya, karena memang aku tak mau mencarinya. Buat apa? Lagipula, si bule nyasar lebih ganteng sepuluh kali lipat dari cicak darat itu."
"Cicak darat."
"Iya, cicak darat. Istilah kadal atau buaya darat mah terlalu keren untuknya. Nit!"
"Hadeuh, kau ada ada saja. Tapi, kali ini aku setuju. Kau benar, si bule nyasar itu memang lebih keren daripada Mas Dhani. Mata birunya itu lho bikin aku kesemsem."
Mendengar celotehan sahabatnya, membuat Raya berdehem, kemudian meliriknya tajam.
"Ini calon istrinya."
"Iya tahu, calon nyonya Green."
"He ... he ... Horang kayah," ungkap Raya terkekeh.
"Ampun deh, nih bocah. Mbak kasih riasan Mak lampir saja. Cocok untuknya." Canda Nita pada Mbak Ningsih yang sedang mengoleskan lipstik ke bibir tipis Raya.
"Jangan marah. Nanti akan kuajak naik Ferarri nya Alex. Adem banget. Bikin betah duduk lama-lama disana, enak malah buat tidur sekalian," tutur Raya polos.
"Pamer." Nita mendengkus kesal.
"Sip, akhirnya selesai, mbak."
Ucapan Mbak Ningsih membuat Raya mengulas senyum manis ketika melihat hasil riasan yang indah diwajahnya. Ia benar benar terlihat sangat berbeda dihari pernikahannya. Membuat Rifky, adik semata wayangnya. Terpukau.
"Tumben kau bisa cantik, kak. Kupikir kau bisanya ngitung piutang orang saja."
"Sembarangan. Aku kan memang cantik, manis, dan imut imut."
"Auk ah, jadi mau muntah dengernya. Moga aja suaminya betah punya istri modelan kayak begini," ungkap Rifky.
"Tumben kau sangat jujur kali ini, Rifky." Nita menambahkan, lalu melirik Raya yang masih asyik mengagumi alis dan bulu mata palsunya yang cetar membahana.
"Kau mengatakan sesuatu, dek?" Tanya Raya sambil merapikan kalungnya.
"Ah, tidak. Aku bilang kau sangat mirip dengan Lisa Blackpink, aktris idolamu itu," ucap Rifky nyengir.
"Ah, kau benar. Kalau dipikir aku memang mirip dengannya. Mata kami sama kan."
"Iya, termasuk isi kepalamu juga sama seperti Patrick star, tokoh kartun favoritmu. Iya kan?"
"Tentu saja, aku memang lucu dan menggemaskan seperti Patrick," Jawab Raya tak peduli sambil tersenyum manis menatap cermin.
"Haduh, lama lama aku bisa jadi Sponge Bob kalau terlalu lama dekat dan bicara denganmu, kak," sindir Rifky.
"Kau benar dek, mending kita keluar, nemenin si bule kesasar saja, biar nggak ketularan penyakit anehnya si Raya, kakakmu yang menyebalkan itu," ajak Nita pada Rifky.
Mereka berdua keluar dari kamar Raya, meninggalkan calon mempelai cantik itu yang masih asyik memandang dan mengagumi hasil kerja tukang rias wajahnya tadi.
"Ternyata aku lebih cantik dari gadis kota yang dibawa Mas Dhani itu, kau bodoh mas, melepaskan gadis secantik diriku," gumam Raya sambil tersenyum lebar dan semanis gula. Tanpa menyadari, ada yang sedang memperhatikan dirinya dari balik pintu kamar ini.
****
"Bagaimana para saksi?"
"Sah?"
"Sah."
"Sah."
"Alhamdulillah," ucap para undangan berbarengan.
Senyum Raya mengembang, begitu juga dengan Bu Hartati yang terharu melepas putri sulungnya menikah dengan pria pilihannya. Ada rasa lega yang nampak diwajahnya karena Raya mendapat suami yang baik.
Bu Sekar yang duduk berdekatan dengan besannya, Bu Hartati, kini terlihat saling memberi selamat. Tak hanya Bu Hartati yang merasa lega karena anak perempuannya menikah, Bu Sekar pun merasakan hal yang sama.
"Tanggung jawabku kini beralih," ungkap mereka hampir bersamaan.
"Ah!" Kedua menoleh. Saling memandang penuh arti.
"Kok bisa samaan ya bu, mikirnya."
"Iya, aku senang sekarang ada yang bisa menjaga dan mengendalikan Raya," tutur Bu Hartati.
"Sama bu."
"Alex juga kelihatannya nurut sama Raya. Biasanya anak itu susah dibilangin. Aku bahkan sampai menjodohkan anak itu dengan sepuluh gadis, tapi selalu saja ditolaknya, dengan macam macam alasan. Hanya dengan Raya saja. Anak itu seperti tak bisa berkutik."
"Lho. Ternyata anak perempuanku ada kelebihannya juga, kupikir bisanya cuma bikin orang kesal saja," ungkap Bu Hartati, Ibunya Raya terkekeh.
"Mungkin karena itu yang membuat mereka berjodoh, Bu. Karena ...."
" ... Karena mereka berdua sama-sama menyebalkan. Ha ... ha ...!" Ucap kedua wanita itu bersamaan.
Rifky yang tak sengaja mendengarnya langsung menggeleng. Tak lama ia mengumpat.
"Jangan - jangan, pas aku nikah nanti kelakuan emak juga seperti ini sama calon mertuaku. Bisa jatuh pamorku kalau begini."
Suasana haru terjadi ketika kedua pengantin meminta doa restu pada kedua keluarga. Raya menunduk dan memeluk erat Bu Hartati, memohon maaf dan meminta doa agar diberi kebahagiaan dalam rumah tangganya, begitu juga saat ia mencium tangan Bu Sekar, Ibu mertuanya.
"Mama akan selalu berdoa yang terbaik untuk kalian. Semoga pernikahan kalian awet sampai maut yang memisahkan kalian," Tutur Bu Sekar.
Begitu prosesi akad selesai dilaksanakan, Raya mendelik tajam pada Nita, dengan kode jari, pengantin wanita itu, memanggil Nita, sahabatnya.
"Bagaimana, sudah kau rekam belum?" Bisik Raya pada Nita setelah acara akad nikah ini selesai.
"Beres!" Jawab Nita sambil mengangkat jempol kanannya.
"Aku hanya tak habis pikir, masih sempat sempat nya kau mikirin mantan. Kupikir kau sudah lupa."
"Sstttt ... Jangan keras keras, Ntar didengar oleh Alex."
"Apa baru saja kau memanggilku?" Ucap Alex bingung sambil menyipitkan matanya.
"Aha ... he ... he, tidak. Kau salah dengar. Aku tadi bilang Empek Empek. Ya, itu makanan paling enak se Palembang ini."
"Oh, maksudnya kau ingin menawariku makan Empek Empek, begitu?"
"I-iya, tentu saja. Iya kan Nit?" Mata Raya melirik tajam, memberi kode pada Nita.
"Benar, tuan bule!" Ucap Nita sambil menyunggingkan senyum tipis.
Mendengar ucapan mereka, Alex langsung mendengkus kesal. Lalu tiba tiba ia bergumam.
"Hanya kau saja yang tiba tiba teringat makanan dihari pernikahan. Biasanya pengantin itu mengulas senyum manis, berusaha meninggalkan kesan bahagia di hari spesial. Sedang kau, malah sibuk mikirin empek-empek. Kadang aku berpikir, benarkah keputusanku menikahi gadis aneh dan menyebalkan seperti dirimu ini? Ah, sudahlah tak ada gunanya juga aku bicara," sungut Alex sambil melirik Raya yang masih memamerkan deretan giginya itu.
Bersambung.