Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Mak Comblang Seks

Bimabet
Bagian 2


POV Noval

Desahan Tante Viona terngiang-ngiang di pikiran gue sepanjang jalan menuju Solo, Jawa Tengah. Padahal, gue gak pernah mendengar sekalipun Tante Viona mendesah, hanya berimajinasi membayangkan bagaimana suaranya saat berbicara di depan gue, dicampur desahan bintang porno yang kerap gue saksikan di layar ponsel. Otak gue sudah kacau balau. Terus-terusan menyaksikan rekaman Tante Viona mandi saat Ia mengusap-ngusap selangkangannya dan menyabuni bagian ketiak yang tak berbulu. Dan, ini bagian yang sulit diceritakan. Duh! Pak Mardi yang mengemudikan mobil berhasil menahan kantuk. Beberapa kali pasang matanya melirik ke spion tengah mobil. Gue paham dia benar-benar sudah sange memandangi Tante Viona yang kali ini bersandar seraya memejamkan mata, entah tidur atau tidak. Apakah Pak Mardi sama halnya dengan gue, sedang mengimajinasikan Tante Viona? Atau Pak Mardi sedang berimajinasi Tante Viona tertidur bugil? Haha. Kendati mengenakan kaos lengan Panjang, Tante Viona tidak berhasil membuat rata bagian dadanya. Membuat kesan kurus tubuhnya biar tak lagi menarik perhatian para hidung belang. Justru itu adalah penyebab utama Pak Mardi gerah, sulit berkonsenterasi berkendara. Mencoba meredakan suasana ‘tegang’, Gue coba menemani Pak Mardi mengobrol walaupun Pak Mardi sangat berharap Tante Viona yang mengajaknya mengobrol dan sesekali duduk di sebelahnya. Gue juga menantikan hal itu. Akan tetapi, celah belum didapat.


Tatapan Pak Mardi​

Gue sekarang sedang berada di jalur pantura. Gue yang meminta Pak Mardi keluar dari jalan tol. Kali-kali saja ada ide-ide busuk melintas, kemudian bisa langsung dieksusi. Meski Mama sangat menolak, gue bersikeras dengan alasan melewati jalur pantura banyak hal bisa diabadikan. Menikmati keramaian jalan yang hari ini sudah tak lagi jadi jalur favorit bagi pemudik saat lebaran. Lagipula, perut mama sering mendadak lapar. Ragam jajanan bisa dibeli dan murah! Benarlah beberapa menit kemudian. Mama meminta Pak Mardi mencari minimarket terdekat. Ia mau buang kecil. Begitu juga dengan aku. Dari kejauhan tampak palang brand minimarket ternama terlihat, Mobil kami pun segera menepi.

“Mama duluan ya…”

“Iya. habis itu aku, Mba”, sahut Tante Viona menyusul Mama.

“Ma, aku beli cemilan dan minuman….”

“Iya beli aja, sekalian beliin buat Pak Mardi dan Tante Viona”

“Mau dibeliin apa, Pak?”, tanyaku memerhatikan Pak Mardi menyalakan sebatang rokok.

“Roti buat ngunyah, minumnya air mineral aja…”
“Oke...”

“Mas, nanti duduknya bisa tukeran gak sama Tante Viona?”, sahut Pak Mardi tiba-tiba menghentikan langkah gue.

“Hahaha…”
“Kalau Tante Vionanya mau, ya gue oke-oke aja Pak”, ceplos gue

“Hemm gitu yak…”.

Berjalan perlahan masuk ke minimarket, gue yang disambut seorang kasir pria segera mengambil keranjang belanja. Gue langsung mengitari area minimarket. Yang pertama kali gue cari adalah cemilan. Makanan ringan, seperti kacang, roti, dan biscuit masuk ke keranjang dengan jumlah lumayan banyak. Kemudian 4 botol air mineral ukuran 1 liter aku belikan agar persediaan minum tidak cepat habis dan kami tidak perlu menepi di pinggir jalan lagi. Ketika gue lihat Mama keluar dari toilet, tiba-tiba perut gue teras amulas. Gue sanggup menahan sebetulnya. Akan tetapi, mumpung bisa buang air besar di sini. Apalagi jumlah antrean ke toilet hanya Tante Viona yang sudah masuk lebih dulu dan tidak mau ada yang menyerebot. Gue lantas membawakan keranjang belanjaan ke kasir sekalian bilang ke Mama bahwa gue ingin buang air besar. Gak perlu menunggu lama, Tante Viona sudah keluar dari toilet dengan tangan basah dan Gue buru-buru menuju toilet minimarket.

Sambil konsenterasi mengeluarkan tinja, pikiran gue sempet-sempetnya mikirin apakah Tante Viona mau duduk di depan, sebelahan sama Pak Mardi. Bodohnya gue. Pak Mardi kan sering anter Mama dan Tante Viona dari dan ke kantor. Masa iya Tante Viona nolak. Gue agak ragu, hanya gak ingin Tante Viona jadi berpikir macam-macam saat gue minta bertukar posisi duduk. Gue harus pikirin dalih apa yang memungkinkan gue bisa duduk di belakang dan Tante Viona duduk di depan.

“Huh Legaaa!”, keluar dari toilet. Gue gak menemukan Mama masih di dalam minimarket. Mobil gue masih terparkir di luar. Gue langsung segera menuju ke sana, kiranya Mereka yang di dalam sudah lama menunggu.

“Val! Mau kemana?”

“Eh Mama?! Kirain udah di dalam mobil”

“Belum, lagi nunggu Tante Viona sama Pak Mardi beli sate”

“Beli sate di mana? Kok mama gak ikut?”

“Buat ngunyah dalam mobil katanya. Mama juga gak tahu. Pas mama keluar, udah gak ada mereka”

“Ini mama di-Wa sama Tante Viona, disuruh nunggu bentar”, ucap Mama sambil menunjukkan chat Tante Viona”.

“Duh pada kemana nih…”

^^^^^​

“Daging satenya gede-gede…”
“gak usah pakai lontong juga kenyang ini, pak”

“Kalo saya ya tetep musti pakai nasi, apalagi nyetir kan”
“Lontong kepunyaan bapak ajah”
“haha”, seloroh Pak Mardi, mengeluarkan guyonan vulgar.

“Ishh si bapak, ngomong begitu, malu ih…”
“Terus mau makannya bagaimana nanti? Bisa sambal nyetir?”

“Ada sendok plastik, nyambi nyetir bisa diaturlah…”
“O ya Mba, Mba Sinta dan Noval udah dikasih tahu?”

“Sudah Pak, ini barusan aku WA mereka berdua”

“Baguslah…”

Pak Mardi senang betul bisa jalan bersama dengan Viona, menyusuri pinggir jalan pantai utara Jawa, jajan sate kambing di sebuah warung yang asap bakar satenya mengepul-ngepul. Untung saja, sewaktu Pak Mardi dan Viona bertandang, sedang sepi pembeli sehingga mereka berdua tidak perlu khawatir membikin Mba Sinta dan Noval duduk menunggu di minimarket malam-malam. Sembari membiarkan sate dibakar oleh pedagangnya, Pak Mardi dan Viona duduk di dua buah kursi plastik yang disediakan jauh dari tungku pembakar. Interaksi keduanya minim karena Viona sibuk menatap layar ponselnya. Sebaliknya, Pak Mardi sekali-kali melirik ke arah tubuh Viona yang gak kalah berisi dengan daging sate. Pikir Pak Mardi, jangankan daging sate dilahapnya, tubuh Viona kalaupun rezeki bakal ‘disantap’. ‘Lontong’ lain dia punya. Apakah Viona minat?

Puyeng kepala Pak Mardi terus berharap dan berkhayal. Apalagi ‘otong’ di bawah sana senat-senut kepengen masuk ke sarang perempuan. Terserahlah sarang perempuan siapapun, bagaimana baik menurut majikannya saja yang belum jua kasih jatah. ‘Mandiri’ aslinya bukanlah yang diidam-idamkan ‘otong’ Pak Mardi. Yang didapat hanya pegal dan cape, tetapi birahi terus datang-pergi begitu cepat. Parahnya, yang diincar Viona. Mau sampai kapan ‘otong’ Pak Mardi ‘mandiri’? Bertemu dengan Viona nyari tiap hari kerja. Ditambah suguhan video rekaman Viona mandi dari Noval. Tak heran, setiap berinteraksi dengan Viona, bawaan Pak Mardi gemasnya bukan main. Ia ingin mengutarakan seterang-terangnya, apakah Viona mau diajak ‘main’? Didamprat sudah pasti risiko yang bakal didapat Pak Mardi. Dipecat demikian. Itu berarti dia tak akan bertemu Viona lagi. Pak Mardi mengalami dilema.

“Serius banget Mba”, sapa Pak Mardi memerhatikan Viona yang sedang menatap layer ponsel.

“Iya nih, Pak. Biasa Tidar kerepotan kalau udah gak ada mamanya di rumah”

“Belum makan? Atau?”

“Dia minta jajan sama ayahnya, tapi gak dikasih”
“Kalau udah gini dia pasti mintanya ke aku”

“Hooo….”

“Pak Mardi, Pak Mardi emang beneran mau cari istri lagi?”

“Mba kan dengerin cerita saya di mobil, masa saya bohong”
“Begitu adanya mba, saya gak mungkin bohongin diri sendiri”
“Memang kenapa? Mba mau bantu saya?”
“Hehe…” (Pak Mardi membatin, berharap Viona yang mau jadi istrinya)

“Wah, cari temen yang mau dipoligami susahnya minta ampun, Pak”
“temen aku hampir semuanya anti poligami”

“weleh-weleh”

“Pak, boleh pinjam hapenya sebentar?”, tanya Viona setelah menerima WA dari putranya, Tidar.

“Boleh, ada apa ya?”

“Mau pinjam telepon Tidar, pulsa telepon aku kebetulan habis”
“Tidar aku hubungi lewat telepon WA gak kesambung”
“jaringan mungkin…”

“Ini silakan….”

Ketika Viona berjalan menjauh, menghubungi Tidar, Pak Mardi beranjak berdiri, sate yang dipesan sedang akan dibungkus rapi. Pedagang lalu menanyakan mau menggunakan bumbu apa, kacang atau kecap, sambal dipisah atau dicampur. Salah satu pedagang bertanya, Pak Mardi berasal dari mana? Karena tergolong pembeli yang jarang dilihat. Uniknya, ada pedagang yang menanyakan diam-diam siapakah gerangan perempuan yang sedang menelepon. Tebaknya sendiri, istri Pak Mardi. Dipujilah Pak Mardi bisa memiliki istri cantik dan seksi. Pak Mardi sontak tertawa. Hatinya menjawab aamiin.

“Sudah dibayar?”

“Sudah Mba, pakai uang saya dulu, gampanglah”.

“Yuk, Mas, makasih yaaa….”, pamit Pak Mardi dan Viona kepada pedagang sate.

“Ckckck, beruntung bener bapak itu, usia boleh menua, tapi istrinya pasti bikin dia merasa awet muda terus yoo”
“Andai biniku di rumah begitu, kamu yang akan kusuruh jualan terus”, ujar pedagang sate kepada anak buahnya. Mereka berdua memandangi Pak Mardi dan Viona yang berjalan menjauh.

^^^^^​

Tidar: Maa, haduh, Ayah masih begitu aja…
Viona: Makanya, Mama sengaja suruh kamu di rumah aja. Mama mau lihat sampai segenit apa Ayah kamu itu sama tetangga sebelah. Kamu cukup tahu aja ya kelakuan ayah kamu.
Tidar: Terus Mama pulang kapan? Jangan lama-lama.
Viona: Kamu jangan tanya mama pulang kapan dulu. Mendingan kamu awasin ayah kamu dulu.
Tidar: Beres. Oo ya, Mama beneran jadi mau ngelakuin yang kita omongin kemarin?
Viona: Jadi dong sayang. Kamu pantengin hape terus ya.
Tidar: Oke Maa. Eh iya Ma, masa akum aku jajan gak dikasih uangnya sama ayah. Pelit banget. Alasannya karena udah malam gak boleh keluar-keluar.
Viona: Keterlaluan banget ya ayah kamu. Hmm. Yaudah kamu sabar aja dulu. Nanti Mama yang ngomong sama ayah.
Tidar: Nah gitu dong.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd