Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Malaikat Paling Sempurna Diantara Lima Malaikat (by : meguriaufutari)

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
EPISODE 24 : Aneh

“Mbak Fera...” Kataku.

Didepanku berdiri Mbak Fera, yang sudah siap dengan dua pisau di tangan kirinya. Jujur, aku bisa dikatakan karyawan baru di PT Ancient Technology. Aku tidak begitu mengenal Mbak Fera. Apakah dia bisa diajak kompromi? Bisakah aku menceritakan semuanya padanya? Saat ini aku memang sendirian, betul-betul sendirian. Sepertinya memang tidak ada jalan lain selain mempercayainya.

“Oke, Mbak Fera. Aku-“ Kataku sambil berusaha mengangkat kedua tanganku untuk menyerah.

SYUUTTT! Satu pisau lagi melesat dengan cepat melewati sela leherku. Gila, akurasi lemparan yang bukan main tepatnya.

“Jangan bergerak, Jay. Biarkan aku melumpuhkanmu dengan baik-baik.” Kata Mbak Fera.

Hmmm, ada yang aneh. Setahuku Mbak Fera bukan orang paranoid yang mudah panik. Akan tetapi, mengapa ia terlihat begitu panik akan reaksiku yang sebetulnya normal-normal saja. Kepanikan ini... Tidak salah lagi, kepanikan yang dibuat-buat. Hmmm, tunggu. Untuk apa dia sengaja berpura-pura panik? Sebagai pertahanan diri kah agar aku tidak berbuat macam-macam? Tidak, kurasa bukan itu. Nafsu membunuh yang dipancarkan oleh Mbak Fera bukan nafsu membunuh yang dibuat-buat. Kenapa dia ingin membunuhku?

Eh? Bagaikan ada lampu yang tiba-tiba menyala dalam kepalaku. Tiba-tiba, aku teringat tentang kejadian di kantor polisi. Ya, waktu itu aku sedang diinterogasi oleh polisi. Kemudian, Valensia mendatangiku. Dia mengatakan bahwa setelah semua ini, semuanya akan bahaya, atau sejenis itulah. Dia menyuruhku untuk kabur, dan jangan mempercayai siapapun. Saat aku keluar dari ruangan interogasi di kantor polisi itu, aku melihat Valensia dan beberapa orang berseragam hitam dari ujung rambut sampai ujung kakinya dibutakan oleh flash grenade. Ya, itulah yang waktu itu terjadi di kantor polisi itu.

Cih, kenapa aku baru sadar sekarang? Itu memang kejadian yang sangat aneh. Valensia menyuruhku untuk kabur, kemudian dia keluar dari ruangan. Diluar ruangan, aku melihat Valensia dan beberapa orang seragam hitam itu. Ya, pertanyaannya adalah, siapa sebetulnya orang-orang berseragam hitam itu? Kalau mereka hendak memfitnahku, harusnya mereka tidak perlu membuat drama flash grenade itu. Mungkinkah, tujuan mereka sebetulnya selain membungkam mulut si preman Otong itu adalah... membunuhku? Cukup masuk akal sepertinya.

Disitu juga ada Valensia. Aku tidak mengerti mengapa Valensia bisa terlibat dengan mereka. Aku tahu betul Valensia. Kami berdua sahabat baik, bisa dibilang sama-sama hancur dan sama-sama kere. Harusnya sih tidak ada untungnya jika dia membunuhku. Dari kata-katanya yang memberitahuku untuk lari, sepertinya tidak ada kebohongan. Mungkin dia juga yang melempar flash grenade untuk mengacaukan kelompok seragam hitam itu.

Lalu, saat kami bertemu didekat Sungai Ciliwung, lagi-lagi dia harus membuat drama dengan menusukku menggunakan pisau bohongan? Kenapa ya? Ah, apakah karena dia diawasi? Ya, pasti itu. Harusnya sih tidak ada alasan lain. Oke, mungkin dalam hal ini, hanya Valensia yang bisa kupercayai. Dia memberitahuku untuk tidak mempercayai semua orang, apakah itu termasuk juga Mbak Fera yang saat ini berada dihadapanku dengan nafsu membunuh yang sangat tebal itu?

Sekarang, analisisku beralih ke Mbak Fera. Mengapa ia begitu paranoid begitu aku bergerak sedikit saja? Sekali lagi, kepanikan itu hanya dibuat-buat. Nafsu membunuh itu pun begitu nyata sekali. Ah! Lagi-lagi seolah-olah ada lampu yang menyala dalam kepalaku. Nafsu membunuh yang begitu nyata... Kepanikan yang dibuat-buat... Aku mengerti. Analisisku sekarang adalah Mbak Fera datang kesini bukan untuk menolongku, melainkan untuk membunuhku. Mungkinkah ia juga tergabung dalam sindikat yang sama seperti si preman Otong dan para tidak jelas berseragam hitam itu?

Sepertinya pertarungan memang tidak terhindarkan. Tidak, mungkin memang hanya pertarungan yang bisa menjawabnya. Aku tidak punya jalan lain selain bertarung dengan Mbak Fera dan menerobos kabur dari pandangannya.

“Hooo, jadi kamu memutuskan untuk melawan ya?” Tanya Mbak Fera.

“Lho? Kok jadi tenang lagi, mbak? Tadi kayanya panik banget.” Kataku sambil mengejek.

Mendengar perkataanku, Mbak Fera berpikir sebentar, dan kemudian ia tersenyum tipis.

“Kamu sudah menebak semuanya ya?” Tanya Mbak Fera.

“Begitulah.” Kataku.

“Hebat juga analisis kamu. Pantas saja Diana menyuruhku untuk berhati-hati kepadamu.” Kata Mbak Fera.

Cih, sampai Ci Diana pun juga musuh ya? Yah, tapi memang inilah kondisiku sekarang. Aku sepertinya tidak bisa mengeluh, hanya bisa menerima semuanya dan menghadapinya.

Tidak ada waktu untuk bersedih. Lebih baik aku segera membentuk taktik untuk menghadapi Mbak Fera. Yang aku tahu adalah, Mbak Fera jago melempar pisau dengan akurasi yang sangat luar biasa. Tidak hanya itu, waktu sebelumnya ia menolongku dari mantannya Martha yang aku lupa siapa namanya, ia sempat melempar pisau dimana pisau itu kemudian berbelok sendiri di udara. Aku tidak mengerti trik apa yang digunakannya. Lebih baik, aku tidak meremehkannya. Aku harus menganggap bahwa Mbak Fera ini adalah manusia super yang bisa mengendalikan laju pisaunya kapanpun dia mau, sekalipun pisau itu sudah melesat di udara. Berdasarkan fakta itu, harusnya Mbak Fera ini adalah seorang petarung jarak jauh. Petarung jarak jauh itu biasanya cenderung lemah dalam pertarungan jarak dekat.

Aku tidak boleh main-main. Aku harus memperpendek jarakku dengan Mbak Fera sampai sedekat jangkauan tangan, dan aku juga tidak boleh membiarkan Mbak Fera mengambil jarak untuk melempar pisau. Aku segera berdiri dengan cepat dan berlari sekencang-kencangnya kearah Mbak Fera. Seperti yang kuduga, dia begitu sigap dengan gerakanku yang tiba-tiba itu. Ia langsung melempar pisaunya dengan cepat. Kali ini tepat kearah mata kananku. Aku segera menghindarinya dengan mengelakkan kepalaku kearah kanan. Langkah pertama sukses, aku berhasil menghindari lemparan pisaunya dan memperdekat jarak antara aku dan Mbak Fera. Aku langsung melancarkan tendangan sapuan kearah kakinya. Mbak Fera segera melompat keatas untuk menghindarinya. Bagus, jika dia melompat ke udara, dia akan kesulitan untuk menghindari serangan yang datang. Aku segera melancarkan tendangan tusukan dengan kaki kiriku kearah perutnya. Akan tetapi, sebelum aku sempat melancarkan tendangan tusukan, tiba-tiba nafsu membunuhnya naik dengan tinggi. Aku segera menghentikan seranganku. Betul saja, dia melemparkan pisau dengan sangat cepat. Aku melihat arahnya, kali ini mengarah ke leherku. Pisau itu sangat cepat, jauh lebih cepat daripada yang tadi-tadi. Aku dengan reflek semata langsung menggulingkan tubuhku kearah kanan. Pisau itu menyerempet bahu kiriku. Ukh, perih sekali rasanya. Walau hanya menyerempet, pisau itu tetap menancap ke tanah dengan cukup dalam. Pasti lemparan pisaunya itu sangat kuat dan cepat.

Eits, aku tetap tidak boleh kebanyakan berpikir. Aku segera kembali mendekati Mbak Fera yang baru mendarat di tanah dari lompatannya. Aku segera melancarkan serangan yang bertubi-tubi, dengan tangan dan kakiku. Sial, tapi semua gerakanku bisa ditebak olehnya. Ia menghindarinya dengan mudah.

“Saatnya kita menyudahi permainan ini, Jay.” Kata Mbak Fera.

Kali ini, sepertinya Mbak Fera akan memfokuskan dirinya untuk menyerang. Baiklah, aku fokus bertahan saja untuk melihat seperti apa pola serangannya. Ia melancarkan tusukan dan sabetan pisau dengan cepat. Kecepatan tusukan dan sabetan pisaunya pun tidak main-main. Pada suatu titik, ia melancarkan tebasan pisau kearah kakiku. Gawat, aku terpaksa melompat kebelakang untuk menghindarinya. Akan tetapi, belum sempat aku mendarat ke tanah dari lompatanku, ia sudah melempar satu pisau lagi kearah mataku. Dengan sekuat tenaga, aku menggulungkan badanku di udara, sehingga aku berhasil menciptakan momentum yang membuat tubuhku bergerak ke kiri. Kemudian, ia melempar satu pisau lagi kearah perutku. Akan tetapi, karena tubuhku bergerak kearah kiri, otomatis gravitasi membuatku menghindari serangannya secara otomatis.

“Sayang sekali, satu pisau terbuang dengan percuma.” Kataku mengomentari kesalahannya dalam melempar pisau.

“Melupakan fakta kecil akan fatal bagimu, Jay.” Kata Mbak Fera.

Dalam sekejap, aku langsung merinding. Aku merinding karena aku paham betul apa maksud dari perkataannya. Apa yang kupikirkan itu betul-betul terjadi. Pisau yang sudah melewat melewatiku itu tiba-tiba berbelok dengan sendirinya. Ah, aku tidak mungkin bisa menghindar dari serangan ini. Pisau itu terlalu cepat untuk kutangkap. Dan akhirnya, aku membiarkan pisau itu menancap di perut sebelah kananku. Ah, sial. Kenapa harus di perut? Ini gawat. Aku terjatuh tanpa bisa mempertahankan posisiku akibat tertusuk pisau.

“Sudah berakhir, Jay. Pisauku itu dilumuri oleh neurotoksin yang sangat keras. Kamu akan mati dalam hitungan detik.” Kata Mbak Fera.

Ah, berita buruk yang sangat buruk. Aku segera merasa sangat lemas dan terjatuh beberapa saat kemudian. Dalam sisa kesadaranku, aku bisa mendengar Mbak Fera melangkah mendekatiku. Ah, inilah saatnya, sepertinya dia akan menghabisiku. Saat ia sudah dekat, ia mengambil tanganku. Eh? Apa yang dia hendak lakukan? Oh, dia hendak membawaku. Saat ia mengangkat tubuhku ke dalam papahannya, aku segera beraksi dan melancarkan serangan tinju mendadak ke perutnya. JREEBB. Seranganku mengena telak. Mbak Fera langsung kesakitan dan otomatis melepaskan tanganku yang sudah berada di bahunya. Walaupun orang sekuat Mbak Fera sekalipun, tinjuku yang kulancarkan dengan sekuat tenaga ini pasti membuatnya kesakitan.

Aku sudah lepas dari genggaman Mbak Fera. Aku memilih satu-satunya jalan yang masuk akal. Aku mengambil batu dari tanah, kemudian melemparkannya dengan kencang kearah kepalanya. Sepertinya tinjuku memang telak sekali, terbukti dengan Mbak Fera begitu kesulitan menghindar dari serangan lemparan batuku. Lemparan batuku pun mengenai kepalanya dengan telak. Setelah itu, aku terus berlari dari pandangannya. Aku tidak bisa mengambil keputusan gila dengan melawan Mbak Fera. Walaupun sudah terkena seranganku, aku yakin dia belum kehilangan kesadaran. Bunuh diri namanya jika aku nekat untuk tetap melawannya.

Aku terus berlari... berlari... dan berlari. Sampai akhirnya, aku tiba di daerah yang lumayan membuatku familiar. Dari sini, aku tahu jalan untuk kembali ke markas kontrakanku itu. Sial, ternyata musuh-musuh datang dari tempat tidak terduga. Aku tidak bisa membahayakan diriku sendiri untuk menaiki transportasi umum. Terpaksa aku berjalan ke markas kontrakanku itu, walaupun jaraknya sangat jauh, sekitar 20 kilometer.

Pisau Mbak Fera tadi yang menusuk perut kananku itu dilumuri neurotoksin ya? Berbahaya sekali. Jika bukan karena pisau mainan Valensia yang kusembunyikan di pinggang kananku, pastilah aku sudah meregang nyawa. Ya, pisau ajaib berbelok yang dilempar Mbak Fera tadi tidak menusuk perut sebelah kananku, melainkan menancap di gagang pisau mainan Valensia. Oleh karena itu, aku begitu sehat sekarang karena pisau itu tidak berhasil mencapai kulitku.

Aku terus berjalan tanpa melihat kiri kanan. Aku berusaha semaksimal mungkin agar jangan sampai terlihat orang. Aku sempat merogoh seluruh kantong celanaku untuk memeriksa apa yang kupunyai. Hmmm, dompet di kantong kanan celanaku. Tiba-tiba, aku merasakan ada sesuatu di kantong belakang celanaku. Apa ini? Aku segera mengeluarkan benda itu dari kantong belakang celanaku. Rupanya kertas. Aku segera membukanya. Kertas itu bertuliskan SGT-2032210978-622653 yang ditulis dengan tinta berwarna biru. Sejak kapan kertas ini berada di kantongku? Aku sangat yakin bahwa tulisan itu bukan tulisan tanganku. Bukan juga tulisan tangan orang yang kukenal. Hmmm, kenapa kertas ini berada di kantong belakang celanaku.

Aku bingung dan juga kedinginan karena seluruh pakaianku basah kuyup karena tadi aku tercebur ke sungai akibat drama penusukan Valensia itu. Sial dingin sekali. Tapi kertas ini hebat juga ya, tidak basah meskipun celanaku begitu basah kuyup. Eh? Tidak basah? Tunggu, apakah ini kertas spesial yang anti basah? Aku segera mencari-cari genangan air di jalanan. Kebetulan sekali, aku langsung menemukannya dalam sekejap. Aku mencelupkan sedikit kertas itu ke genangan air di jalan itu. Eh? Kertasnya basah kok? Kenapa tidak basah ya waktu aku tercebur ke sungai tadi? Aneh sekali, betul-betul aneh sekali.

Tunggu! Bagaimana jika kertas itu mendarat di kantongku setelah aku naik dari sungai? Ya, masuk diakal jika begitu. Kertas ini baru mendarat di kantongku saat aku naik ke sungai. Karena kalau tidak, pastinya kertas ini pun juga sudah basah sepenuhnya. Satu-satunya yang mungkin adalah... Mbak Fera? Apakah dia memasukkan kertas ini ke kantongku saat aku tadi pura-pura terjatuh? Hmmm, kenapa dia harus memasukkan kertas ini ke kantongku? Apakah ini sebuah pesan untukku? Ataukah... rencana cadangan untuk membuatku bingung kalau-kalau ternyata aku berhasil melarikan diri dari tangkapannya?

BERSAMBUNG KE EPISODE-25
 
Gila mantap makin penasaran apa si jay hidup ampe kontrakan. ..
Mana malaikatnya...
 
Bimabet
Saya suka sekali dengan cerita genre seperti ini hehe... ane kalo jadi si jay juga pasti bingung skema jebakan sebenernya kaya gimana...
makasih suhu, ane tunggu updatenya lagi..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd