Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Mara: The Catastrophe

Status
Please reply by conversation.

hellondre

Guru Semprot
Daftar
30 Apr 2014
Post
560
Like diterima
2.307
Bimabet
"Even among the prodigy,
Mara is an anomali."



8b7eed512475946.jpg


Katanya cinta dibentuk dari kedetakan,
Dari interaksi dua insan
Katanya rasa sayang lahir dari kebersamaan,
Dari dua orang yang takut akan kesendirian

Katanya hidup itu soal bertahan,
Atau maju ke depan,
Atau mencintai,
Atau membenci,
Atau menjalaninya untuk kemudian mati

Katanya hidup dan cinta adalah dua elemen yang saling berkaitan,
Karena mencintai maka kamu hidup,
Dan karena hidup maka kamu bisa mencintai

Aku mencintai manusia,
Menyayangi jiwa-jiwa mereka
Justru karena mencintai, maka aku harus merenggutnya,
Merenggut hidup mereka

Mencintai adalah memiliki,
Atau melepaskan
Lalu ketika aku bisa memiliki semuanya,
Maka kenapa aku harus melepas salah satunya?

Meski aku tahu,
Dengan merenggut hidup mereka sekalipun,
Aku tetap tak akan bisa memilikinya

Jadi...
Aku berhenti mencintai,
Aku berhenti...
Lalu membiarkan diriku sendiri tenggelam,
Dalam kesendirian

Biarkan aku sendiri,
Agar aku tak merenggut lagi,
Karena jika aku mulai mencinta...

Maka itu berarti bencana


•••=•••



•Chapters of Tragedy•


The Prelude:


First Arc:
The Terror of Wandering Undertaker
 
Terakhir diubah:
A Gloomy Prologue





Ga ada yang bisa mengalahkan pemandangan langit malam yang cerah bertabur bintang. Ga ada satupun. Kelap-kelip bintang di angkasa sana seakan menghipnotis manusia, untuk terus dan terus memandangi mereka.

Tahu apa yang lebih baik dari memandangi bintang-bintang? Kamu memandanginya sambil beralaskan tumpukan alas empuk, sehingga ga membuat bagian belakang tubuhmu pegal-pegal. Seperti itu lah yang dilakukannya. Bocah itu masih berbaring di atas tumpukan alas yang menjulang tinggi. Satu tangannya terentang ke atas, seperti berusaha menggapai salah satu bintang.

"Twinkle, twinkle, little star. How I wonder what you are?"


Senandung itu keluar dari bibirnya. Diselingi siulan kecil, nyanyian bocah itu seketika memecah hening di sana. Sebuah lapangan bekas proyek terbengkalai yang ga selesai. Tepat berada di pinggir yang paling pinggir dari kota.

"Amis. Bau amis. Uuugghh..."

Dia mengibaskan tangan tepat di depan hidungnya, untuk menghalau semerbak bau amis yang semakin menyengat. Bau amis yang bercampur dengan bau besi. Tapi seketika penciumannya menangkap ada bau lain yang di bawa angin kepadanya.

Bau ancaman.

Bau yang amat dihafalnya. Bersama bau itu, datang pula bahaya sedang menuju ke arahnya. Dan dia terlalu terusik untuk mengabaikan hal tersebut.

Instingnya menggelitik. Dia harus pergi dari lapangan itu, yang artinya, dia mesti menyudahi sesi melihat bintang-bintang. Maka, si bocah pun bangun, lalu melompat ringan, tungkai-tungkainya yang ramping menjejak tanah basah dengan mudahnya.

Langkah-langkahnya meninggalkan jejak-jejak kemerahan di tanah. Jejak darah. Tentu bukan darahnya, melainkan dari genangan darah yang menggenang di sekitar tempatnya berpijak tadi.

Dan asal dari genangan itu, adalah tumpukan mayat segar yang si bocah gunakan sebagai alas berbaring tadi. Puluhan tubuh ga bernyawa tergolek, tumpuk-menumpuk membentuk gunungan kecil, dan dari luka yang menganga mengalir darah segar--bagai air sungai yang mengalir dari gunung menuju dataran rendah.

Nama bocah itu Mara, dan dia membawa bencana bagi tiap tempat yang disinggahinya. Bencana serupa kematian bagi siapapun yang dekat dengannya.



-Prologue: End-
 
Terakhir diubah:
Chapter I:
-The Blessed Child-






Dari luar, dia cuma bocah remaja biasa, laki-laki, kurus dan ga terlalu tinggi. Raut mukanya juga standar, terkesan polos tanpa dosa. Bukan tipe muka yang akan membuatmu mundur hanya dalam sekali tatapan. Sekilas, ga ada yang menarik darinya.

Dia cuma bocah remaja biasa.

Rambutnya memang agak panjang, cukuplah untuk menguncir rambutnya sendiri kalau dia sedang kegerahan. Alisnya tebal dan meruncing, menjadi pelengkap sepasang mata yang selalu menatap bersahaja kepada siapapun yang dilihatnya. Hidungnya mancung, namun pipih. Di tambah bibir merah tipisnya, yang terdapat bekas luka kecil di ujung kanan bibirnya. Semua komponen itu tercetak pada wajah dengan pipi tirus, yang sedikit memperlihatkan lesung pipi ketika tersenyum.

Serius, dia cuma bocah remaja biasa.

Masalahnya adalah, definisi 'biasa' ini hanya menurut persepsinya. Bukan persepsi pada umumnya.

Kehidupannya biasa berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Menjelajah. Dia terbiasa dengan suasana baru, cara adaptasi yang baru, dan lingkungan baru. Sekali lagi, ini hanya soal biasa. Menurutnya, kehidupan nomaden tanpa arah itu biasa.

Lalu, kehidupan penuh spontanitasnya terjungkir balik, manakala seorang pria kaya raya mengadopsinya menjadi anak. Seperti memungut anak kucing di jalan untuk dipelihara di rumah, pria kaya itu langsung berperan jadi pengasuh yang baik. Si bocah remaja ini di beri pakaian layak, di ajari cara bertutur kata yang baik, sopan santun dan semacamnya. Selain itu, dipanggilkan lah guru-guru terbaik untuk mengajari si bocah ini pelajaran-pelajaran, mulai dari dasar sampai setingkat SMA.

Ajaibnya, hanya dalam waktu satu tahun, si bocah mampu menyerap semua pelajaran yang diajarkan kepadanya. Satu tahun yang singkat. Menginjak tahun keduanya tinggal bersama si pria kaya, bocah itu telah menjelma jadi replika utuh si pria kaya. Baik dalam bersikap, berbicara, maupun isi kepala.

Si pria kaya ini mulai menyadari sesuatu: bocah yang di adopsinya bukan anak laki-laki biasa.

Siapapun anak ini, dia akan jadi aset terbesarku nanti, pikir si pria kaya. Dia mulai bisa melihat kemana arah berkembangnya bocah yang dia rawat. Bocah itu jenius, atau lebih daripada itu?

Dia masih ingat akan hari pertama mereka bertemu. Setahun lalu, bocah itu baru berumur lima belas, sementara dia sudah menginjak kepala empat.

Hidup sendirian tanpa isteri maupun anak jelas mendatangkan kesepian baginya, tapi bukan itu yang paling dia takutkan. Warisannya, kemana akan dia hibahkan semua harta dan asetnya jika dia mati nanti? Harus ada yang bisa meneruskan perjuangannya.

Lalu doanya di dengar.

Dia bertemu bocah ini. Waktu itu, di pinggir jalan yang kumuh. Si bocah dilihatnya sedang bermain-main dengan seekor anak kucing hitam yang menggemaskan. Ga ada kesan menarik yang tampak ketika si pria kaya melihat bocah ini. Bukan kesan menarik, melainkan kasihan. Kondisi si bocah sama kumuhnya dengan jalanan itu. Kurus kering, wajah tirus, dan mata cekung. Memprihatinkan.

Berbekal rasa kemanusiaan, si pria mengajak bocah itu untuk ke rumahnya. Tadinya itu hanya acara makan malam biasa, kemudian di lanjutkan dengan mandi, menginap, dan bocah itu diperlakukan sebaik mungkin oleh para pelayan rumah mewah itu.

Lalu semua berubah ketika malam berganti pagi.

Si pria tadinya telah bersiap melepas si bocah untuk kembali ke jalanan, tempatnya semula. Dia telah menaiki anak tangga, berjalan menuju salah satu kamar tamu. Lalu, pintu dibukanya perlahan, hanya untuk membuat matanya membelalak karena menyaksikan apa yang dilihatnya.

Di sana, tepat di hadapannya, si bocah duduk di tepi ranjang, dengan palet berada di lengan kanan, dan kuas kecil di genggaman kiri. Bukan, bukan yang si bocah lakukan yang membuat pria itu terkejut. Tapi kepada apa yang kuas itu torehkan.

Kanvas polos yang dia tinggalkan di ruang itu dua malam sebelumnya--berikut cat minyak dan segala perlengkapannya, kini di isi penuh oleh torehan cat berbagai warna. Warna-warna dan rupa yang sama persis dengan kanvas di sebelahnya. Kanvas lukisan yang dia buat sendiri.

Dan bocah itu meniru lukisannya, dengan tingkat presisi yang seratus persen sempurna.

Ini lukisan yang pernah di tawar seharga ratusan juta karena nilai estetika dan esensi seninya yang tinggi! Aku mencurahkan ide, waktu serta ilmu yang kupunya demi lukisan ini, menjadikannya salah satu lukisan paling sulit untuk di duplikasi. Bagaimana bisa bocah ini meniru karyaku dengan sempurna?!

Dia berkali-kali mengamati dari dekat, menatap inci demi inci lukisan yang dibuat si bocah, untuk dibandingkan dengan lukisannya. Ga ada perbandingan. Meski belum selesai, tapi lukisan yang bocah ini buat sama persis meniru lukisannya. Baik dalam garis torehan kuas, komposisi warna, detil... semuanya sempurna!

Pagi itu juga, dia melihat masa depan dalam diri bocah itu.


= = = = =​


Satu tahun berlalu, dan bocah itu belajar jauh lebih banyak dari yang diajarkan padanya. Si pria kaya menyadari, bahwa bakat bocah ini bukan cuma melukis. Bukan, ini bukan tentang hal remeh macam itu. Bakatnya adalah sesuatu yang jauh lebih besar.

Meniru secara sempurna.

Satu tahun, dan bocah itu telah mengkopi seluruh lukisan yang si pria itu buat, belajar tentang bahasa dan aksen aristokratnya secara sempurna, mampu mengerjakan berbagai macam hal, dari memasak sampai mengoprek mobil. Semua hanya dalam satu-dua kali lihat.

Jadi bagaimana sebutan yang pantas untuk bocah ini?

Mungkin, kita bisa sematkan sebutan yang sesuai dengan kemampuannya: prodigy. Begitu si pria kaya menyebutnya.

Tapi sampai detik ini, si pria kaya ga berhasil mengorek satu informasi pun tentang si bocah. Semua bagai tertutup tirai hitam, disembunyikan rapat-rapat darinya. Dari dunia. Bocah itu sama misteriusnya dengan kemampuan yang dia punya.

Hanya ada satu hal yang bocah itu beritahukan padanya, yaitu nama. Satu nama singkat: Mara.

Si pria kaya cukup terkejut waktu itu. Mara, adalah nama kakeknya. Orang yang menurunkan bakat melukis pada dirinya, dan menjadi mentornya langsung hingga jadi pelukis kenamaan. Bagaimana bisa seorang bocah remaja punya nama yang sama dengan orang yang sudah almarhum?

Kebetulan? Si pria kaya ga percaya dengan kebetulan. Dia malah curiga, kemana semesta akan mengarahkannya kali ini? Jadi, daripada menganggapnya kebetulan, si pria kaya lebih menerima bahwa ini semacam pertanda. Untuknya.


= = = = =​


"Ayah, aku mau sekolah," begitu ucap Mara, umur enam belas.

Pria itu tertegun. Sekolah? Bukannya selama ini Mara melakukannya? Guru-guru yang silih berganti dipanggilkan ke rumah mewah itu adalah buktinya. Mara sudah bersekolah, bahkan dari sebelum dia menyadarinya.

"Kenapa kamu tiba-tiba...?" tukas si pria.

"Aku tadi diceritakan oleh Pak Matthew, itu Yah, guru Matematika aku, kalau ada tempat namanya sekolah, penuh sama orang-orang seusiaku, ada guru-guru macam Pak Matthew juga, dan ada kantin untuk makan siang. Ayah, apa itu kantin?"

"Kantin itu...," si pria tampak kesulitan menerangkan.

"Apa di sini ada kantin? Lalu, Pak Matthew bilang, kalau yang aku lakukan selama ini bukan sekolah. Aku hanya belajar di rumah, tanpa mengenal dunia luar. Ayah, dunia luar itu seperti apa?"

Lagi-lagi, si pria kesulitan menjawab pertanyaan Mara. Sepertinya, bocah ini mulai bangkit rasa ingin tahunya.

"Ayah, aku ingin tahu dunia luar," ucap Mara lagi.

"Tapi kamu pernah kenal dengan dunia luar, Mara," begitu jawab si pria, lirih. "Itu dunia sebelum saya angkat kamu jadi anak saya. Kamu mau kembali ke dunia macam itu?"

"Tapi di duniaku dulu, aku tak pernah pergi ke sekolah. Hanya ada jalanan, emperan toko, dan tempat sampah belakang restoran untuk mengais sisa makanan. Aku mau mengenal sekolah, karena sekolah merupakan bagian dari dunia luar yang belum aku tahu."

Si pria terdiam. Diam yang kebingungan. Entah harus menjawab apa, atau bersikap bagaimana menyikapi rentetan rasa ingin tahu Mara.

"Ayah, kalau aku tak di izinkan sekolah, aku akan berhenti belajar," kali ini, ga ada wajah polos tercetak di wajah Mara saat berucap, "aku serius akan hal ini."

Lalu, Mara meletakkan pisau dan garpu ke piring, kemudian menggeser mundur kursi dan bangkit berdiri. Dia menatap si pria, cukup tajam, untuk membuat si pria menyadari bahwa anak angkatnya kini sedang mengintimidasinya.

Demi masa depan, si pria berulang-ulang meyakinkan hatinya. Akhirnya, pria itu terpaksa melepas Mara kembali mengenal dunia luar.

"Besok, kamu akan mulai bersekolah di sekolah terbaik yang ada di kota ini. Sebelum itu, kamu akan di tes. Satu tes kecil, untuk menentukan kamu akan di tempatkan di tingkat berapa, Mara," ujar si pria, getir, "saya harap kamu bisa belajar dengan sebaik-baiknya."

Lalu, senyum ceria itu terbit di wajah Mara. Senyum melegakan yang membuat tenang siapapun yang melihatnya. Kecuali si pria, yang sedang dilanda kekalutan dari pikirannya sendiri.

"Tapi, kamu harus menuruti beberapa aturan tambahan yang saya tetapkan untuk kamu nanti, Mara," ujar si pria, menambahkan.

Ya, Mara memang butuh pengawasan lebih. Untuk remaja se-ajaib dirinya, dunia luar berpotensi terlalu besar untuk mengkontaminasi kesucian dan kepolosannya dengan drama.

Sayangnya, si pria kaya raya ini ga pernah tahu siapa atau apa Mara itu sebenarnya. Setidaknya, belum. Karena jika nanti saatnya dia tahu yang sebenarnya, di saat itu juga dia menyadari bahwa terlambat untuk menyelamatkan nyawanya sendiri.

Mara adalah bencana, begitu yang di bilang 'ayah-ayah' lain sebelum dirinya.



-The Blessed Child: End-
 
wow cerita dari suhu2 besar bermunculan...
ane izin numpang mejeng di pejwan ya suhu, sambil berharap cerita ini selesainya g sampai 2 tahun jg wkwkwk

arigatou...
 
Ijin baca dulu suhu...
:baca:
 
Hmmm masih meraba-raba nih.

Siapa sebenernya MARA ini apakah sesosok badblood hadeh ngawur....

Kaburr ninggalin jejak dulu....
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Lom bisa kasih coment...mejeng dulu dah...
Hhmmmttt...si riza g lnjt suhu?hhhe
 
Akhirnya salah satu master terbaik fav saya bikin cerita baru, wajib bangun rumah disini, lets story begin mister hellondre.
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Comment dulu...

:baca: nyaaaaaaa nanti aja ngelonin yg tersayang dulu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd