Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Memaksa Mama Eksib (story + mulustrasi)

Bimabet
Wah suhu yakuza58 kmana aja nih? Baru keliatan, ditunggu terus hu cerita2nya khususnya tema eksib+incest
 
mantab huu!+ ahirnya bikin cerita lagi, ane suka banget genre nya,
klo ga muncul gambarnya berarti mesti pake proxy
 
28576248a9aea82be6c5b48cbbeecc446ddf8011.png


“Orang kapal sudah manggil Ayah. Katanya Ayah harus melaut sebulanan,” ujar Ayah. “Kamu jaga Mama ya. Nanti Ayah belikan oleh-oleh dari tempat kapal Ayah bersandar.”

Mama menatapku dengan pandangan ketakutan, sementara aku menyambut baik rencana itu.

“Baik Yah. Aku pasti ngejaga Mama kok. Ayah kapan berangkatnya?”

“Besok pagi,” ujar Ayah sambil menyeruput kopi. “Hari ini Ayah mau persiapin barang-barang yang mau dibawa besok.”

Besok paginya, Ayah pergi ke galangan kapal untuk bekerja. Sekarang tinggal aku dan Mama berdua di rumah.

“Sekarang enaknya kita ngapain ya Ma?” tanyaku.

Mama yang sedang menyapu halaman rumah pura-pura tidak mendengar. Kulitnya semakin terlihat kecokelatan karena terkena sinar matahari pagi.

“Kulit Mama bagus kalau kena matahari pagi begitu,” kataku. “Tapi sayang kalau cuma wajah dan tangan Mama saja yang kena. Kulit Mama bakal belang-belang nanti.”

“Bukan urusanmu,” ujar Mama.

“Urusan Mama urusanku juga,” kataku sambil meremas pantatnya. “Aku gak mau kulit Mama belang, gak enak dilihat nanti. Yuk Mama berjemur aja hari ini.”

Wajah Mama langsung berubah.

“Mama gak mau yang aneh-aneh lagi kayak kemarin,” ujarnya. “Cukup sudah. Kamu mau bikin Mama malu apa gimana?”

“Malu karena belum terbiasa. Kalau sudah sering, Mama pasti gak bakal malu lagi,” kataku. Kutarik lengan Mama agar mengikutiku ke pinggir jalan raya desa.

“Kamu mau apa?” Mama ketakutan.

“Mau melatih Mama biar gak malu lagi,” kataku. “Tenang, ini gak separah kemarin kok.”

Jalanan desa masih sepi, hanya beberapa ekor kucing saja yang bersantai di tengah jalan. Kalaupun ada kendaraan yang lewat, palingan cuma beberapa petani yang menggunakan sepeda atau truk yang membawa hasil desa.

“Di sini kayaknya pas. Mama bakal kena banyak sinar matahari di sini,” kataku saat tiba di pinggir jalan. “Ini tempat yang cocok biar Mama lebih kebal menahan malu.”

“Kamu mau apa Nak?” tanya Mama. Nada suaranya terdengar ketakutan.

“Turunin celana Mama,” kataku.

“Ta-tapi ini di pinggir jalan.”

“Jadi Mama lebih senang kalau foto memeknya kusebar di grup WA keluarga?” ancamku.

Mama tidak berkomentar lagi. Celana panjangnya diturunkan sampai ke mata kaki, berikut sempaknya.

“Naikin juga daster Mama sampai tetek Mama keliatan,” kataku.

“Mama malu Nak.”

“Cepat!”

Mama meraih bagian bawah dasternya, lalu menggulungnya ke atas sampai melewati dadanya. Terlihatnya beha putih berukuran besar yang melindungi kedua teteknya.

Aku takjub melihat tetek Mama. Bahkan beha berukuran besar pun masih belum sanggup menutupi seluruh bagian teteknya. Tetek Mama terlihat sesak.

28576257871aec31b2ac583bdd1033c63484b7d3.jpg


“Itu buka juga,” kataku sambil menarik beha Mama. “Selama Ayah gak ada, Mama gak perlu pakai beha.”

Mama berusaha menggapai kait beha di belakang tubuhnya, lalu dilepasnya. Beha itu jatuh ke tanah. Teteknya yang sebesar pepaya bergoyang-goyang seperti agar-agar raksasa.

28576260d2a72900838f0f994efafce99694a6e2.jpg


“Benerin gulungan dasternya, jangan sampai melorot,” kataku. Mama memilin-milin gulungan dasternya sampai kecil. Teteknya terlihat semakin besar karena tertekan gulungan daster.

“Sekarang Mama jongkok di sini. Pantat Mama harus mengarah ke jalan.”

“Tapi kalau ada tetangga yang lihat gimana?” tanya Mama.

“Aih jawab aja pantat Mama lagi sakit kulit, harus kena sinar matahari pagi,” kataku.

Mama pun jongkok. Posisinya seperti sedang buang air. Sebenarnya posisi itu adalah posisi kesukaanku karena pantat indah Mama terlihat sepenuhnya.

28576255660faaabd8daf825ddd6875137218206.jpeg


“Nah, Mama diam di sini sampai satu jam. Mama boleh berdiri kalau pegal. Kalau ada yang pegang-pegang pantat dan tetek Mama, JANGAN dilawan. Biarin aja,” kataku. “Aku awasi Mama dari balik pagar. Ingat, kalau Mama kabur maka foto memek Mama langsung aku kirim ke grup WA keluarga.”

Air mata mengalir di pipinya. “Semoga kamu sadar perbuatanmu salah Nak.”

Aku bersembunyi di balik pagar semen yang ada lubangnya sehingga aku bisa mengawasi Mama. Jantungku berdetak keras karena penasaran apa yang bakal terjadi.

Mama berjongkok sambil menundukkan kepala. Aku bisa melihat air matanya menetes. Terkadang rasa kasihan melintas di benakku, tapi keinginan untuk menjahili Mama jauh lebih besar. Asyik sekali bisa mengerjai Mama dan ia pun tidak melawan.

2857625969538a20dde993865851528cf9b52aeb.jpg


Kring! Kring!

Terdengar suara bel sepeda di kejauhan.

Kuintip keluar. Oh, rupanya Pak Darma yang sedang bersepeda. Beliau memang petani dan para petani di desaku memang berangkat ke sawah agak siangan.

Dag dig dug....

Semakin nyaring suara bel sepeda Pak Darma, semakin nyaring pula detak jantungku. Pikiranku berkecamuk kira-kira apa yang dilakukannya kalau melihat Mama lagi pamer pantat di jalan?

“Bu Romlah?” kudengar suara Pak Darma keheranan. “Bu Romlah lagi ngapain?”

“A-anu, punggung dan kulit saya gatal-gatal. Ha-harus kena sinar matahari pagi,” jawab Mama terbata-bata.

“Wah tapi masa harus di pinggir jalan gini Bu?”

“Di-di sini paling banyak sinar mataharinya,” jawab Mama.

Pak Darma menatap ke halaman rumahku. Ia menggeleng-gelengkan kepala. “Halaman rumah Bu Romlah pun banyak sinar mataharinya. Saya gak ngerti kenapa Ibu harus menjemur pantat di pinggir jalan.”

Mama diam saja.

Pak Darma melanjutkan bersepeda. Sesekali ia menoleh ke belakang. Aku yakin dia pasti menikmati juga keindahan pantat Mama.

Ting triting ting!

Suara itu sangat kukenal. Bang Jaka si tukang bakso! Biasanya aku membeli baksonya di sore hari. Tidak kusangka dia sudah berjualan sepagi ini.

“Waduh, Bu Romlah sedang apa?” tanya Bang Jaka keheranan.

“Lagi berjemur. Ka-kata dokter, kulit saya harus kena sinar matahari pagi biar gak gatal-gatal,” jawab Mama.

Bang Jaka bersiul sambil menatap pantat Mama. “Bu Romlah percaya diri bener sampai pamer pantat di pinggir jalan. Kalau ketahuan orang gimana?”

“Masih pagi. Masih sepi orang,” kata Mama.

Aku cekikikan melihat Mama salah tingkah.

“Tapi Bu Romlah gak pakai celana lagi pas saya lewat. Berarti Bu Romlah gak keberatan dong kalau pantatnya dilihat orang,” komentar Bang Jaka.

“Tanggung, sebentar lagi mau selesai,” ujar Mama.

Bang Jaka ikut jongkok di belakang Mama. “Wah pantat Bu Romlah seksi juga. Selama ini saya selalu ngayalin bentuk pantat Bu Romlah. Gak nyangka bisa lihat langsung.”

Ia menundukkan kepala. “Anusnya Bu Romlah kelihatan tuh.”

Wajah Mama memerah seperti udang rebus. Badannya kaku seperti patung.

Bang Jaka menyelipkan jarinya ke belahan pantat Mama.

“Ooooh, jadi gini bentuk memek Bu Romlah,” ia tertawa kesenangan. “Kasar bener nih, banyak jembutnya sih. Bu Romlah harus rajin nyukur jembut.”

Kulihat Bang Jaka memasukkan jari tengahnya ke dalam memek Mama. Badan Mama langsung mengejang.

“Ja-jangan...,” rintih Mama.

“Sudahlah akui saja kalau Bu Romlah itu nakal. Buktinya, Bu Romlah gak nolak waktu saya liatin.”

Jarinya semakin dalam masuk ke memek Mama.

“Aaaaaah...,” desah Mama.

“Tuh, Bu Romlah nikmatin juga kan?” ujar Bang Jaka. Jarinya digesek-gesek ke dalam memek Mama.

Jari tengahnya masuk ke memek Mama, sementara jari telunjuknya menerobos ke dalam anus Mama. Mama langsung menutup mulutnya agar tidak berteriak karena dua lubangnya diserang.

28576325a3b8d53cd592ead633c41873dfc61e2e.jpg


“Enak kan?” ujar Bang Jaka.

“Hmmmmph...,” Mama berusaha keras tidak teriak.

Sepuluh menit kemudian, tubuh Mama bergetar hebat. Terlihat tetesan-tetesan cairan jatuh di tempat Mama berpijak.

“Cepat amat klimaksnya,” keluh Bang Jaka.

Ia berdiri sambi membenarkan letak celananya. “Saya gak nyangka Bu Romlah bisa senakal ini. Ya sudah, saya mau jualan dulu.”

Ia berjalan menuju gerobaknya, lalu mendorongnya pergi.

Kudekati Mama yang tubuhnya masih gemetar. “Gimana Ma? Enak dikocok Bang Jaka?”

“Anak jahanam kamu!” seru Mama. “Mama malu bener!”

“Nanti juga terbiasa,” kataku sambil menarik pentil Mama yang mengeras. “Udahan yuk berjemurnya. Sekarang ganti baju Mama dengan kaos merah yang kukasih kemarin. Ingat, selama Ayah gak ada, Mama gak boleh pakai celana di rumah. Punya pantat sesemok ini ngapain ditutupin mulu. Mending dipamerin.”

Mama bangkit berdiri. Kudorong ia sampai masuk ke rumah.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd