Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY MESIN PENGHAPUS MEMORI [END]

Bimabet
lanjut lagi hu semangat terus buat berkarya
 
Memori TIGA Bagian I
Hari berlalu. Sudah seminggu lebih aku tinggal di rumah Tante Ririn. Sudah berkali-kali pula aku bergumul dengan Tante Ririn. Tante Ririn semakin mahir melakukan olahraga SEX, yang membuatku menjadi enggan untuk kembali ke ibu kota, tetapi aku harus kembali karena aku perlu membeli komponen pengganti untuk mesin penghapus memoriku yang rusak. Dapat menikmati tubuh Tante Ririn bagiku adalah bonus, aku tetap fokus pada penelitianku. Aku menunggu hingga akhir pekan untuk kembali ke ibu kota karena aku masih ingin melakukan observasi kepada warga desa dan ada satu hal lain yang ingin aku pastikan.

Hari ini hari Jumat. Jumat malam biasanya Om Jono, suami Tante Ririn, akan pulang dari ibu kota. Dari pagi aku sudah sibuk merencanakan sesuatu. Aku mencari cara untuk bisa memantau aktivitas Om Jono dan Tante Ririn di kamarnya. Tentu saja ini terkait mesin penghapus memoriku yang telah menghapus ingatan Tante Ririn tentang SEX. Meski, sekarang Tante Ririn sudah kembali tahu tentang SEX, sebagai salah satu bentuk cabang olahraga. Memang aku sudah menyiapkan Tante Ririn untuk menghadapi Om Jono, tapi aku perlu memastikan Om Jono tidak menaruh curiga atas perubahan perilaku SEX istrinya.

Aku menemukan smartphone bekasku di kotak peralatan yang aku bawa. Mudah saja bagi ku untuk memodifikasi kameranya menjadi kamera pengintai. Aku memasangnya di tempat tersembunyi di kamar Tante Ririn. Hanya saja aku tidak menemukan cara untuk bisa memonitor suara di kamar Tante Ririn. Bukan masalah. Yah minimal aku bisa melihat apa yang terjadi di sana, pikirku, itu sudah cukup. Masalahnya, aku tidak tahu bagaimana kehidupan SEX Om Jono dan Tante Ririn sebelumnya, dan apakah mereka akan melakukan hubungan SEX malam ini?. We’ll see.

Tepat pukul 7 malam mobil Om Jono memasuki halaman rumah. Setelah Om Jono bersih-bersih, kami makan malam bersama. Obrolan pada saat makan malam berlangsung santai. Aku lega Tante Ririn tidak sedikitpun menyinggung ‘aktivitas’ kami selama seminggu ini. Om Jono sempat bertanya mengenai penelitianku yang membuatku terpaksa mengarang cerita. Aku juga bilang bahwa besok aku akan pulang ke kota. Om Jono menawarkan untuk ke kota hari Minggu malam saja bersamaan dengan dia kembali ke kota. Bukan ide buruk pikirku.

Setelah makan aku dan Om Jono melanjutkan mengobrol santai sambil menonton tv. Tante Ririn membersihkan meja makan bersama pembantunya. Tak berapa lama Om Jono pamit ke kamar hendak beristirahat karena lelah setelah menempuh perjalanan jauh dari kota. Aku juga bangkit bergerak menuju kamarku. Aku berpapasan dengan Tante Ririn ketika menuju kamar.

“Tante, ajakin Om olahraga tuh biar sehat,” pancingku.

“Ah, kasihan Om-mu kan baru saja datang, masih capai,” jawabnya santai.

Aku hanya nyengir. Kami bergerak ke kamar masing-masing.

Aku langsung menyalakan laptop begitu sampai kamar. Segera aku akses kamera yang aku pasang di kamar Tante Ririn. Camera Not Found. Anjing! aku mengumpat dalam hati. Apa-apan ini! Padahal aku tadi sudah mencobanya beberapa kali dan tidak ada masalah. Sial! Aku mencoba mengutak-atik setingan dalam laptopku, hanya itu yang bisa aku lakukan. Ketika aku sudah hampir putus asa, aku menemukan hal yang menjadi penyebabnya. Ternyata ada pengaturan yang entah bagaimana berubah. Setelah aku sesuaikan, kamera menyala. Monitor laptopku menayangkan gambar kamar Tante Ririn yang diambil dari salah satu sudut atas ruangan itu.

Terlihat di gambar Om Jono berbaring santai di tempat tidur sambil memainkan smartphone-nya. Tante Ririn tidak terlihat di kamar. Aku bingung. Di mana Tante Ririn? tanyaku dalam hati. Aku tunggu beberapa saat, Tante Ririn masih belum terlihat juga. Karena penasaran, aku keluar kamar. Tepat ketika aku membuka pintu kamar, Tante Ririn berjalan melintas membawa setumpuk pakaian bersih yang sepertinya baru saja disetrika, menuju kamarnya. Aku buru-buru menutup pintu dan kembali masuk ke dalam kamar. Duduk kembali di hadapan laptop.

Tante Ririn menata baju-baju yang tadi dibawanya dan memasukkan ke dalam lemari pakaian. Tampak Om Jono dan Tante Ririn sedang mengobrol tapi tentu saja aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Om Jono bergerak mendekati Tante Ririn tepat ketika Tante Ririn selesai membereskan baju-bajunya. Om Jono memeluk Tante Ririn dari belakang. Ini dia! aku bersorak girang dalam hati. Om Jono mencium tengkuk Tante Ririn. Tante Ririn diam saja. Tangan Om Jono bergerak ke arah dada Tante Ririn dan meremas-remas payudaranya. Aku jadi terbayang kekenyalan payudara Tante Ririn di tanganku. Nafsuku merangkak naik. Begitu juga sepertinya Tante Ririn, yang mulai terbakar gairah, kepalanya disenderkan ke belakang menikmati remasan Om Jono di dadanya. Om Jono yang sudah lama tidak bertemu istrinya terlihat tidak sabaran. Dengan cepat dia melucuti pakaian yang dikenakan Tante Ririn. Dalam hitungan detik tidak ada satupun kain yang menempel di badan Tante Ririn. Meski sudah beberapa kali melihat tubuh bugil Tante Ririn, dan bahkan beberapa kali mencicipinya, tetap saja aku takjub melihat lekuk mempesona tubuh setengah bayanya. Batang kemaluanku pun mulai berontak.

Benak yang tertanam dalam pikiran Tante Ririn adalah ini sebuah olahraga, sebuah pertandingan, sebuah kompetisi, seperti yang selama ini aku tanamkan dalam pikirannya, maka, diapun langsung membalas serangan suaminya, melucuti baju yang dipakai suaminya, dengan sigap kemudian dia berjongkok di hadapan suaminya dan langsung melahap kemaluan suaminya bulat-bulat. Om Jono terlihat kaget atas perbuatan istrinya tapi jelas tampak dia sangat menikmatinya. Kepalanya menengadah ke atas, tangannya memegang kepala Tante Ririn. Melihat reaksi Om Jono, aku menduga ini bukan sesuatu yang biasa dilakukan oleh Tante Ririn.

Tak berapa lama Om Jono mendorong kepala Tante Ririn dari selangkangannya. Dia mengangkat tubuh Tante Ririn dan membaringkannya di tempat tidur. Om Jono kemudian menindih Tante Ririn. Tubuhnya kemudian bergerak naik turun tidak teratur. Giliran Tante Ririn yang raut mukanya terlihat keenakan. Namun adegan itu tidak lama, Tante Ririn menggulingkan tubuh Om Jono dan mengangkangi batang kemaluannya. Kembali Om Jono menunjukkan reaksi tidak biasa. Tante Ririn bergerak liar di atas tubuh Om Jono. Om Jono terlihat kewalahan, panik, namun tidak bisa melawan hanya terbaring pasrah. Tangan Om Jono meraih gundukan yang bergelayut di hadapannya, dada Tante Ririn diremas-remasnya kasar. Mendapat perlawanan seperti itu, Tante Ririn justru termotivasi untuk menyainginya. Dia mengkombinasikan goyangan pinggulnya dengan berbagai variasi gerakan, yang aku yakin memberikan efek kenikmatan luar biasa bagi pusaka Om Jono. Melihat dari gelagatnya aku yakin Om Jono tidak akan bertahan lama. Dan benar saja, terlihat di layar laptopku tubuhnya mengejang sejenak, tangannya mencengkram tetek Tante Ririn. Seperti biasanya, Tante Ririn justru memanfaatkan momen itu untuk melancarkan serangan dengan intens, bergerak semakin liar. Bahkan kontolku pun turut bergetar membayangkan sensasi yang dirasakan Om Jono.

Beberapa saat kemudian, gerakkan Tante Ririn berubah menjadi ganjil dan goyangannya melambat hingga akhirnya berhenti. Terlihat ada percakapan antara Om Jono dan Tante Ririn. Tante Ririn kemudian mengangkat tubuhnya dari atas badan Om Jono dan berbaring di sampingnya. Sepertinya percakapan di antara mereka masih berlanjut hingga terlihat Om Jono terlelap kelelahan. Tante Ririn gelisah, beberapa kali tangannya terlihat berada disekitar selangkangannya. Dia kemudian sedikit mengangkat tubuhnya melihat ke arah suaminya yang sudah terlelap. Tante Ririn melihat sekitar, meraih dasternya dan memakainya tanpa mengenakan pakaian dalam. Kemudian Tante Ririn bangkit dari tempat tidurnya menuju pintu kamar.

Mau ke mana Tante Ririn? batinku. Aku mempertimbangkan untuk keluar kamar melihat apa yang dilakukan Tante Ririn, bahkan terpikir untuk menggagahi Tante Ririn karena libidoku juga sudah memuncak tapi aku ragu karena ada Om Jono di rumah. Keraguanku langsung dibalas dengan ketukan pintu lirih. Aku diam, memastikan tidak salah dengar. Tok tok tok. Ketukan kembali terdengar. Aku langsung bergerak cepat menutup laptopku. Aku melihat sekeliling, aku melihat kain sarung, langsung aku raih. Entah apa yang aku pikirkan, aku melepas celana dan celana dalam yang ku kenakan dan menggantinya dengan kain sarung, aku acak-acak rambutku. Ku matikan lampu kamar dan bergegas membuka pintu.

“Tante?” kataku pura-pura bingung sambil mengucek mata mengisyaratkan baru bangun tidur.

“I ... Iko,” gumam Tante Ririn gugup.

“Kenapa, Tante?”

“Kamu sudah tidur ya?” Tante Ririn mencoba menguasai dirinya.

Aku sebenarnya sudah tidak sabar ingin menubruk dirinya tapi aku menahan diri.

“Iya Tante, kenapa sih, Tante?” Aku membuat raut muka bingung.

“Ah ... tidak, tidak ... tadinya Tante ingin mengajak kamu olahraga kalau kamu belum tidur,” jelasnya polos.

“Ohh ....” Aku menunjukkan perasaan lega, “Iko kirain kenapa? Bikin kaget Iko aja nih Tante.”

“Maaf ... maaf,” balasnya, “ya sudah, Iko lanjut tidur deh, Tante juga mau tidur saja.”

“Kan, ada om, Tante?” tanyaku cepat-cepat sebelum Tante Ririn beranjak pergi, “Kenapa gak olahraga sama om aja?.”

“Om-mu sudah tidur.” Ada raut kecewa di wajahnya ketika menjawab.

“Oh,” jawabku pendek.

Tante Ririn tidak jadi beranjak, diam menunggu responku berikutnya.

“Emang gak pa-pa, tante, olahraga sama Iko?”

“Kenapa memangnya?” tanyanya bingung.

“Kan ada Om Jono, Iko gak enak kalo nanti Om lihat Tante lagi olahraga sama Iko. Iko kan pernah bilang, biasanya kalo yang sudah menikah olahraganya sama suami atau istrinya. Nanti Om bisa cemburu loh kalo lihat Tante sama Iko,” jelasku.

Tante Ririn seperti hendak mendebat tetapi kemudian memutuskan menjawab singkat, “Om-mu itu kalau sudah tidur pulas, susah dibangunkan, apa lagi kalo sedang capai.”

Aku diam sejenak pura-pura berpikir.

“Ya udah Tante, masuk dulu,” kataku menarik tangan Tante Ririn untuk masuk ke dalam kamarku. Tante Ririn menurut saja. Ada sirat kegembiraan dimukanya.

Segera ku tutup pintu kamar setelah Tante Ririn masuk. Kamarku gelap gulita. Mata Tante Ririn masih menyesuaikan dengan kondisi kamar yang gelap tetapi aku langsung menyerbunya. Ku lumat mulutnya tanpa peringatan. Tanganku langsung mencengkram memeknya dari luar, cairan merembes ke luar dasternya. Tante Ririn yang tidak siap melonjak kaget tapi kemudian lansung membalas ciumanku, dia memelukku mengelus-elus punggungku.

“Tadi seperti malas-malasan, ya?” ejek Tante Ririn begitu bibirnya lepas dari lumatanku, “Sekarang langsung serang duluan. Curang!”

Aku cuma nyengir tapi tentu saja Tante Ririn tidak bisa terlalu jelas melihat raut mukaku karena sedikit saja cahaya, dari kisi-kisi ventilasi, yang menyusup ke kamarku.

“Tante, kita gak usah bertanding dulu malam ini. Anggap aja kali ini pertandingan persahabatan. Pokoknya kita saling memuaskan satu sama lain. Untuk senang-senang saja. Tidak ada skor.” kataku pelan.

Aku melihat siluet Tante Ririn mengangguk, tidak ada pertanyaan seperti biasa yang terjadi kalo Tante Ririn tidak mengerti akan suatu hal.

Aku kembali mencium mesra bibir Tante Ririn sembari melucuti pakaianku. Sarung yang aku kenakan aku pelorotkan. Kontolku yang sudah tegang bergoyang menyenggol paha Tante Ririn. Tante Ririn langsung menangkapnya.

“Sudah siap ini,” katanya lembut.

Aku membalas dengan menyelusupkan tanganku ke dalam daster Tante Ririn dan mencolok-colok memeknya yang sudah banjir dengan cairan kental. Anjing! Ini juga ada bekas pejuh Om Jono pasti batinku dalam hati. Bodo amat!

“Tante habis olahraga sama Om Jono ya?” tanyaku pura-pura.

“Iyaa ... akhhh.”

Kupercepat kocokan jariku di memek Tante Ririn. Tanganku yang satunya meremasi dadanya yang kenyal. Payudara Tante Ririn merupakan salah satu bagian tubuhnya yang menjadi favoritku. Ukurannya yang tidak besar dan tidak kecil, pas menghiasi tubuhnya yang semampai dengan indah. Kekenyalan teteknya terasa nyaman dicengkraman tanganku.

“Gimana hasilnya, Tante? Siapa yang menang?”

“Eghhh!” Tante Ririn terpekik karena kupencet itilnya.

“Tante kalah ya?” godaku.

“Ahh ... enak sa ... ja,” jawabnya sambil mendesah keenakan, “Baru sebentar Om-mu sudah K.O.” Ada nada kecewa dalam kata-kata Tante Ririn.

“Gimana gak K.O., Tante Ririn mainnya sudah kayak atlet pro gitu,” ujarku terkekeh, “Ntar Iko ajarin deh caranya kalo bertanding dengan pemula, biar sama-sama enak.”

“Ahh ... ya ... ahh ahhh,” jawab Tante Ririn pendek sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya berusaha menggali kenikmatan lebih dari jariku.

Karena sudah terlebih dahulu digagahi Om Jono, mudah saja libido Tante Ririn memuncak kembali dan hampir mencapai klimaksnya. Aku juga tidak mau berlama-lama karena khawatir tiba-tiba Om Jono bangun dan sadar Tante Ririn tidak ada di sampingnya. Bisa jadi masalah nanti.

Langsung saja, dengan satu dorongan, ku gantikan jariku dengan kontolku yang sudah ngaceng untuk menusuk liang memek Tante Ririn.

“Oouuuhhhhhhh.” Tante Ririn melenguh panjang, kepalanya menengadah.

“Pelan-pelan, Tante. Jangan berisik! Ntar ke dengeran Om Jono,” protesku.

“Akkhh ... akkkhhh ... ahh.” Tante Ririn tidak peduli terus mendesah seiring dengan goyangan pinggulku.

Aku menyetubuhi Tante Ririn sambil berdiri membuat Tante Ririn kesulitan menahan posisinya kerena pijakan kakinya melemah seiring dengan meningkatnya kocokan kontolku di vaginanya. Mulutku menyucup puting Tante Ririn dari luar dasternya, ku gigit-gigit lembut kedua pentilnya bergantian. Suasana kamar yang gelap membuat indera perasa kami menjadi lebih peka. Nafsu kami berdua membuncah, memacu, menggebu, memuncak dengan cepat menyundul-nyundul batas maksimal yang bisa kami terima.

“Akkkhh ... Ikooo,” erang Tante Ririn.

“Ohh ... ohh.” Aku juga mendesah nikmat. “Memek Tante memang nikmat. Kalo kontol Iko olahraga gini terus, pasti bakal sehat terus.”

“Ahhkkhh ... aahh ... Iko, Tante ... ehhh, sudah hampir sampai ... ekhh.” Tante Ririn mencoba menggerakkan pinggulnya mengimbangi goyanganku, hanya saja karena pijakannya yang lemah gerakkannya jadi tak karuan.

“Akhhh … aakkhhh … iyaa Tante, kocokin kontol Iko terus. Oohh … ohh … terus Tann … teee.” Baru kali ini aku mengeluarkan kata-kata kotor di hadapan Tante Ririn saking terbawa nafsu yang tinggi.

“Ik … ko … Iko … akhh … aaahh … ahhh.” Tante Ririn sudah tidak kuat lagi menahan tubuhnya. Tangannya dikaitkan ke belakang leherku untuk membantu menahan badannya yang melorot ke bawah. Batang nikmatku semakin tenggelam dalam liang surgawinya.

Karena posisi kami yang sudah tidak bagus, aku cabut kontolku. “Oohhhhhhh.” Tante Ririn melenguh panjang.

Aku harus menahan Tante Ririn agar badannya tidak ambruk ke lantai. Meski sudah berhenti menggagahinya, nafas Tante Ririn masih terus memburu, badannya sedikit-sedikit bergidik.

“Enak, Tante?” godaku sembari ngos-ngosan karena nafsuku sendiri juga sudah di ubun-ubun.

“Ayo … Iko, ehh … eh … Tante sudah hampir ini.” Baru kali ini aku mendengar Tante Ririn memohon demi meraih kenikmatan. Biasanya dia akan bertahan habis-habisan demi mengalahkan lawannya. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya.

Aku tarik lepas daster Tante Ririn kemudian ku baringkan tubuhnya di kasur. Tanganku langsung menuju memeknya. Lubang kenikmatannya basah kuyup seperti habis diterjang hujan badai dan banjir.

“Eggghhhhhh.” Tante Ririn terpekik, badannya kaku begitu ku elus itilnya.

Dengan jahil ku sentil pelan klitorisnya dengan jariku. “HEGGHHHHKKKHHH!” Tante Ririn teriak tertahan, tubuhnya bergetar hebat. Tangannya meraih ke arahku, memukul-mukulku protes.

Aku terkekeh melihat reaksinya. Aku bergerak ke samping Tante Ririn dan berbaring. Aku tarik tubuh Tante Ririn ke atasku. Dengan tidak sabaran Tante Ririn langsung meraih burungku dan memasukkan ke liang vaginanya.

“Oooohhhh.” Giliran aku yang melenguh. Aku biarkan Tante Ririn yang mengendalikan permainan.

Tante Ririn tak mau membuang waktu langsung bergerak liar di atasku melakukan segala usaha yang dia bisa demi meraih kenikmatan yang dicarinya.

“Ahh … aaahh … aaghhh,” desah Tante Ririn seirama dengan gerakkannya.

“Ahhh … Tante … ooohhh … Tante Ririiiin.” Aku meracau kenikmatan, menjadikan Tante Ririn objek kepuasan sexualku.

“Eegghh … ehhh … eeegghhh.” Tante Ririn mengeluarkan segala kekuatannya untuk meledakkan birahinya.

“Teruss … Tante … eggh … terruus, oohh.” Kenikmatanku pun serasa ditarik-tarik dari buah zakarku oleh sedotan vagina Tante Ririn.

“Ikoo … Iko … Ikk!!” Tante Ririn bergoyang sangat liar.

“Ayo Tante!” Aku menyemangati.

“HHAAAKKKKHHHHHH!” Tante Ririn menghujamkan badannya ke bawah. Tubuhnya kaku, melenting ke belakang. Tangannya mencengkram pahaku. Kenikmatannya meledak dahsyat. Dia mencapai klimaks.

“Tanntee!” Aku terpekik. Kontolku tenggelam sepenuhnya dalam liang senggama Tante Ririn. Lubang vaginanya mengkerut mencengkram batangku kencang dan sedetik kemudian gelombang urutan ku rasakan datang dari pangkal batang kemaluanku bergerak cepat ke ujung kepala kontolku, berulang-ulang. Sensasi geli tak tertahankan kurasakan ketika diding liang vagina Tante Ririn melumati kepala kontolku.

“Hegghh … egghh … heehhghh!” Tubuh Tante Ririn melemah-mengejang silih berganti.

Aku balikkan tubuh Tante Ririn tanpa melepas kontolku dari memeknya. Kini aku di atasnya. Kuangkat kedua kaki Tante Ririn ke atas kemudian pahanya aku tahan dengan lenganku. Tante Ririn hanya pasrah, matanya terpejam, nafasnya ngos-ngosan, masih menikmati sisa orgasmenya. Saatnya aku menagih kenikmatanku.

Cengkraman memek Tante Ririn masih kuat sehingga aku sedikit kesulitan menarik batang keperkasaanku.

“Uhhhkkkk!” Aku melenguh, badanku bergetar merasakan sensasi nikmat di sekujur tubuhku ketika menarik kontolku.

“Eggghhhh!” Tante Ririn merintih lemah. Memeknya menyedot-nyedot tidak rela kontolku meninggalkan rongganya.

Ketika tinggal menyisakan kepala kejantananku di dalam liang vagina Tante Ririn, aku melesatkan kembali pusaku, tidak dalam, kemudian menariknya lagi dan melesatkan masuk lagi, berulang-ulang dengan cepat. Kepala kontolku mengaduk-aduk liang nikmat Tante Ririn hingga cengkraman vaginanya melemah.

“Aahhh … ahhh …agghh.” Tante Ririn mendesah nikmat. Tubuhnya diam saja tidak memiliki tenaga untuk bergerak, hanya sesekali menggelinjang.

“Tanntee … mau muncratt … Tante … oohh ohh ohh.” Ku percepat kocokkan kontolku di memek Tante Ririn. Kini batang kemaluanku melesat seluruhnya hingga mentok ke dalam liang surgawi Tante Ririn.

“EGHHHHHH!” Tubuh Tante Ririn kaku kembali. Tangannya menahanku untuk tidak bergerak. Begitu juga memeknya yang mencengkram erat kontolku.

Aku melawan, dengan sekuat tenaga ku gerakkan kontolku menghujami vaginanya.

“TANNTEEEEE!!!” Badanku menegang. Burungku kuhujamkan dalam di lubang nikmat Tante Ririn. CROOT CROOTTT CROTT. Spermaku menyemprot deras, menghujani rahim Tante Ririn. Sebagian meleleh keluar dari celah antara batangku dan memek Tante Ririn. Tubuhku ambruk menindih badan Tante Ririn yang tak henti-henti menggelinjang.

“Tante … terima kasih,” bisikku lemah.

Detik berikutnya hanya ada suara engahan nafas kami berdua.

“Capai ... Tante lemas sekali,” kata Tante Ririn lemah setelah staminanya mulai kembali.

Aku hanya terkekeh menanggapinya. “Tante, sebaiknya Tante balik ke kamar deh. Takut dicariin Om Jono,” usulku.

“Iya,” jawab Tante Ririn pendek. Aku tahu ada rasa enggan di hatinya untuk berpindah tempat. Biasanya kami berolahraga di kamarnya dan setelah selesai, kami yang sama-sama lelah langsung terlelap di ranjang besar Tante Ririn dan Om Jono hingga pagi.

Tante Ririn mengangkat tubuhnya bangun dari ranjang kemudian meraih dan mengenakan dasternya. Sebelum Tante Ririn meninggalkan kamarku aku memberikan sedikit saran, supaya besok lagi ketika Tante Ririn berolahraga dengan Om Jono bisa sama-sama enak.

Tante Ririn mengangguk ragu mendengar penjelasanku karena belum sepenuhnya mengerti tapi rasa lelah menahannya untuk meminta penjelasan lebih lanjut.

“Besok Iko ajarin deh,” balasku memahami kebingungan Tante Ririn.

Ku antar Tante Ririn ke pintu kamar. Setelah Tante Ririn meninggalkan kamarku, aku langsung ambruk tertidur dengan kebahagiaan yang membuncah.

§​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd