Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Monreia: King of Cloak and Dagger (Episode 3: Homecoming)

Akhirnya update juga, kasian juga itu red, baru ketemu udah mau dipotong aja wkwk
 
Akhirnya comeback juga, mantap suhu :khappy:

Ditunggu lagi kelanjutannya, masih penasaran sama world buildingnya wkwk
ajarin nulis apdet sampe 11k dong suhu wkwkwkw
Wah ada Kak Oniel, gaskeun ekse kak oniel
mau ekse gimana, rednya aja diiket trs mau dipotong anunya
ninggalin jejak ;)
monggo suhu semoga suka
cici jeyuk memang mantep
cijejes emang mantep hehehe
Akhirnya update juga, kasian juga itu red, baru ketemu udah mau dipotong aja wkwk
oniel sok keras aja ini wkwkwk
 
Homecoming

Newcester, beberapa ratus kilometer dari Berdenmouth —
Kabut tebal menyelimuti perairan di pesisir kota Newcester pagi-pagi buta ini dapat terlihat jelas melalui jendela kabin kamar Jesslyn. Dinginnya udara terasa menusuk tubuhku yang telanjang bulat dan berkeringat. Sudah sepekan berlalu sejak serangan bajak laut yang menewaskan ayah Jesslyn, dan sudah sepekan pula aku menginap di kamarnya.

“Ooh… yaa… terus…” Racauku menikmati hangatnya mulut Jesslyn yang sedang mengisap penisku.

“Mmph… clp… mmh…” Jesslyn menatapku, bibir tebalnya menjepit penisku erat.

“Aaah… sial, aku keluar… aahhhh…”

Seolah mengerti, Jesslyn langsung melahap seluruh batang penisku dalam-dalam dan mengeluarkannya sesaat kemudian hingga hanya tersisa kepala penisku di dalam mulutnya. Aku ejakulasi sangat banyak di dalam mulut Jesslyn. Semua spermaku disedotnya habis tak tersisa, menandakan usainya permainan kami setelah tadi aku menggempur vaginanya saat baru saja terbangun dari tidur.

“Hihi.” Jesslyn tersenyum lebar menatapku yang masih tersengal karena nikmatnya blowjob dari gadis ini.

“Udah jago ya.” Kubelai rambutnya.

Jesslyn hanya mengangguk dan berdiri kemudian menyeka tubuh telanjangnya dengan kain basah yang dari tadi sudah direndam dalam guci penuh air hangat di pojokan kamar.

Aku menengok keluar jendela. Ombak lautan lepas telah berganti menjadi perairan teluk yang tenang, di kejauhan terlihat cahaya mercusuar samar-samar tertutupi kabut, begitu juga siluet kota Newcester yang perlahan semakin jelas.

“Kak.” Jesslyn mendekapku.

“Jes, panggil aku Red. Berapa kali harus kubilang?”

“I-iya… Red…” Jesslyn mengusap tubuhku dengan kain basah yang tadi digunakannya. “Menurutmu… apa yang harus aku lakukan?”

“Maksudnya?” Kubiarkan Jesslyn menyeka tubuhku sambil tetap memandangi Newcester yang mulai tampak jelas.

“Ayahku sudah tidak ada. Aku harus apa? Aku tak punya siapa-siapa lagi.” Katanya lalu tertunduk lemas.

“Hei… kamu punya aku.” Kuangkat wajahnya yang kemudian terkena pancaran sinar matahari dari jendela.

“Aku nanti menjadi bebanmu, Red.”

“Kalau kamu bebannya, aku tak masalah.”

“Benarkah?”

“Ya, kubawa kamu ke mana pun aku pergi.”

Jesslyn tersenyum dan memelukku erat, namun suara pintu dipukul membuat kami melepas pelukan.

Dug dug dug!

“Kapten memanggil semua orang naik ke atas, sekarang!” Teriak seseorang dari balik pintu.

Aku dan Jesslyn bergegas memakai pakaian kami masing-masing. Kami kembali berciuman sejenak sebelum membuka pintu dan naik ke atas dek.

Kabut di sekitar kapal sudah menipis sehingga sinar matahari pagi dapat menembus masuk, membuatku menyipitkan mata karena menahan silaunya. Udara dingin musim gugur yang kering menusuk hingga ke tulang, tidak buruk, namun sangat berbeda dengan musim gugur bahkan musim dingin di Castanaro. Kali pertamaku se-utara ini di dunia, namun entah mengapa terasa tak asing.

Kami menghampiri Vincenzo dan Viona sudah berdiri menunggu kapten yang sedang memberi instruksi kepada beberapa awak kapal sebelum akhirnya berjalan ke arah kami.

“Pagi, rekan-rekan semuanya.” Kapten Siegfried memberi salam dengan menyentuh ujung topi tricorn-nya. “Kalau kalian belum lihat, sebentar lagi kita akan sampai di Newcester dan ini saatnya untuk melunasi ongkos perjalanan kalian.”

Vincenzo langsung merogoh kantongnya dan menyerahkan tiga koin emas kepada sang kapten, membayarkan biayaku, Viona, juga dirinya sendiri.

“Koin emas adalah cara yang tak biasa untuk membayar, tapi tak apa.” Mata sang kapten hampir melotot memandangi koin emas yang bercahaya memantulkan sinar matahari. Ia kemudian menoleh ke Jesslyn yang sedang kebingungan. “Nona?”

“I… i-iya?” Jawab Jesslyn sambil tertunduk berusaha menghindari tatapan mata Kapten Siegfried.

“Ayahmu sudah tiada, nona. Terakhir kali kuperiksa, hartanya juga salah satu yang berhasil dibawa kabur oleh para perompak itu.” Kapten Siegfried mendekatkan wajahnya.

“M-maaf, pak. Apakah ada cara lain untuk membayar?”

“Tentu ada, darah Xingwenmu bisa sangat membantu.” Kapten Siegfried menggenggam dagu Jesslyn dan memaksa gadis itu menoleh dan menatapnya.

“M-maksudnya?”

“Apa kau suka tinggal di kastil?” Kapten Siegfried melepaskan Jesslyn yang tak bisa menjawab pertanyaannya itu. “Count Alistair Gray, tuan tanah di Cheaux, kota pelabuhan kecil yang sekarang bisa menyaingi Newcester itu. Dia akan sangat senang jika kubawakan ‘spesimen’ Xingwen baru untuk dijadikan mainannya.”

“Tak perlu repot-repot ke sana, kapten.” Aku berdiri di antara kapten dan Jesslyn, dan menyerahkan sebuah koin emas dari dalam kantongku kepada sang kapten.

Kapten Siegfried mendengus dan merampas koin dari tanganku sebelum melangkah pergi, kecewa karena tidak jadi menjual Jesslyn.

“Terima kasih, Red.” Jesslyn berjalan melewatiku sambil tersenyum dan kembali turun ke kabinnya.

Vincenzo dan Viona menatapku kesal, mulut mereka terbuka bersamaan, tapi Vincenzo berhasil mengambil kesempatan untuk bicara lebih dulu.

“Kau punya rencana apa untuk gadis itu? Mengirimnya ke sekolah dan menjadikannya Succubus?” Terdengar kekesalan di dalam kata-kata Vincenzo. Tak salah, menambah satu orang lagi ke dalam rombongan akan menambah beban kami dalam berpergian, apalagi Jesslyn sama sekali tidak mengerti bagaimana cara bertarung.

“Ya, apa rencanamu, Red?” Viona menyilangkan lengannya di dada. “Kebiasaan, kalo mikir pasti pake kontol dulu baru pake otak.”

“Tenang, tenang.” Aku memasang senyumku. “Dia tanggung jawabku jadi kalau memang menyusahkan, penggal saja aku.” Jawabku mantap.

“Aku lebih khawatir tentang pikiranmu, jangan lupakan tujuan kita jauh-jauh ke sini.” Balas Vincenzo dengan tegas lalu meninggalkan aku dan Viona yang masih menatapku sinis.

“Kalau sampai dia berbuat ulah…” Viona mengepalkan tangannya di depan mukaku lalu pergi.

Aku berdiri di anjungan sendirian, mengamati pelabuhan yang semakin dekat. Tentu saja Newcester tidak sesibuk Galvica, hanya ada beberapa kapal dagang pagi ini sementara dermaga-dermaga kecil tempat perahu nelayan sudah kosong. Cahaya mercusuar pagi ini tetap menyala karena tebalnya kabut. Setelah beberapa saat Brunhild akhirnya bersandar, terlihat beberapa petugas bea cukai kerajaan sudah menunggu di dermaga dan langsung dihampiri oleh Kapten Siegfried.

Kami berpamitan dengan kapten dan para awak kapal dan berjalan pergi. Seorang utusan sudah menunggu di pinggir jalan depan pelabuhan sambil menuntun empat kuda di belakangnya.

“Master Vincenzo.” Pria itu membungkuk di hadapan Vincenzo.

“Beaumont, hahahaha. Kau sudah besar.” Jawab Vincenzo akrab.

“Sudah sembilan belas tahun sejak terakhir kita bertemu, Master.” Pria bernama Beaumont tersenyum hangat, ia kemudian menoleh ke arahku, Viona, dan Jesslyn. “Kalian berempat? Tapi kudanya tak cukup untuk kita semua.”

“Ya, ada yang tiba-tiba menambahkan jumlah orang di dalam rombongan ini.” Vincenzo sekilas melirikku. “Omong-omong, perkenalkan teman perjalananmu kali ini… eee…” Vincenzo menunjuk ke arah Jesslyn.

“Jesslyn.”

“Ya, Jesslyn. Lalu dia Viona, dan laki-laki ini adalah Red. Dia yang akan menunggang kuda berdua bersama Jesslyn.”

Aku memandangi lelaki yang sedang berbicara dengan Vincenzo ini, ia tak lebih tinggi dariku, bahkan aku harus sedikit menunduk untuk menatap wajahnya. Postur tubuhnya sedikit membungkuk tapi ia sangat pintar menyembunyikannya dengan memaksa punggungnya untuk tegak, tak terlalu terlihat tapi tertangkap oleh mataku.

“Red, Viona, perkenalkan. Beaumont adalah muridku jauh sebelum kalian berdua terlahir di dunia.” Mata Vincenzo berbinar, senyumnya lebar. Ia seperti terhanyut dalam kenangan-kenangan masa lalu saat ia masih muda dan ditugaskan di Harwick.

“Ahahaha, kau membuatku terlihat tua, Master.” Beaumont tertawa malu.

“Kalau kau tua lalu aku ini apa? Ahaha.” Vincenzo ikut tertawa, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kedua orang ini sudah sangat akrab.

“Cukup berbincangnya, kita harus segera berangkat.” Tawa Vincenzo terhenti dan wajahnya kembali menjadi serius seperti biasa, hanya ada rona merah di pipi bekas tawanya yang terbahak-bahak.

“Baik, Master.” Beaumont menunggangi kudanya, begitu pula kami semua. Jesslyn naik setelahku dan duduk menyamping di depan. Aku seakan memeluknya karena harus memegang tali kekang kuda dengan kedua tanganku.

Kami berkuda keluar dari Newcester pagi ini dan menyusuri Padtorough Road menuju Berdenmouth, ibu kota Kerajaan Harwick yang ternyata masih memulihkan diri dari bertahun-tahun perang sipil dan pemberontakan, begitulah yang diceritakan Beaumont sepanjang perjalanan.

“Apa yang mereka perangi, Beaumont?” Aku bertanya setengah berteriak pada Beaumont yang menunggang sedikit jauh di depan.

“Maksudmu apa alasan mereka berperang?” Beaumont menengok ke belakang. Aku menjawab dengan anggukan pelan.

“Hmm… perang antara kerajaan dan tuan tanah-tuan tanah yang tak terima.” Beaumont melihat jalan, menimbang tiap kata yang ia keluarkan.

“Tak terima?” Tanyaku.

“Belasan tahun lalu, ada suatu peristiwa yang mengakibatkan digulingkannya Raja Rickard. Sepupu jauhnya yang naik takhta mengklaim bahwa Raja Rickard telah melanggar hukum Tuhan, sementara tuan tanah-tuan tanah yang masih setia pada Rickard menyangka Gerard hanya mencari pembenaran terhadap sebuah kudeta diam-diam yang ia lakukan.”

“Lalu, siapa yang benar?” Tanya Viona.

“Kebenaran itu subyektif, nona. Bagi kita, hamba-hamba Pervical ini, kebenaran mutlak berada dalam darah dan emas.” Beaumont tersenyum lebar. “Yang bisa dipastikan adalah, seluruh anggota keluarga Raja Rickard dibunuh saat itu sebagai penebusan dosa mereka terhadap Candorough, kecuali seorang bayi, anak bungsu Raja Rickard yang hilang dan kalau masih hidup kira-kira umurnya sepantaran dengan kalian.”

Aku mengangguk dan menyimak semua yang dikatakan Beaumont, lalu ia menoleh ke arahku.

“Ya, bayi itu seumuran dengan kalian, dan sama seperti semua keturunan Raja Rickard, ia berambut merah.” Beaumont memicingkan matanya padaku. “Persis seperti merahnya rambutmu.”

“Hahahaha.” Beaumont tertawa. “Bayangkan saja kalau satu-satunya keturunan dinasti tertua di Monreia ada di tangan kita.”

“Cukup, Beaumont.” Vincenzo menyela. “Red adalah Red. Sejak saat ia menginjakkan kaki di aula akademi kita, ia tidak terikat hubungan darah atau apa pun dengan dunia luar. Titik. Aku tak akan melanggar perintah Dread Mother Pervical, bahkan kalau memang benar ia adalah anak itu.”

“Tentu saja, Master.” Beaumont kembali menoleh ke arahku dan Viona. “Hidup kalian adalah milik ibu kita dan bukan milik raja mana pun di bumi ini.” Beaumont menegaskan.

Aku dan Viona saling bertukar pandang, tak kusangka bahkan beribu-ribu kilometer dari akademi pun kami masih tetap dapat ceramah seperti ini.

Kami berkuda sepanjang siang hingga petang tiba dan matahari sebentar lagi tenggelam. Aku sudah terbiasa menunggang kuda, tapi Jesslyn membuatku susah untuk fokus. Bagaimana tidak, payudaranya menjepit lenganku sementara gerak langkah kuda membuat bokongnya dan penisku saling bergesekan. Andai saja kami tidak sedang dalam perjalanan dia yang akan kutunggangi.

Kami berhenti di pinggiran sebuah desa yang lumayan besar setelah seharian melewati lahan pertanian yang sudah selesai dipanen dan beberapa kastil yang tampak tak terlalu dirawat.

“Kita bermalam di sini.” Beaumont turun dari kuda dan mengikat tali kekangnya di batang pohon. Ia lalu menengok ke kanan dan kiri perlahan, mengamati keadaan sekitar.

“Seingatku daerah ini hingga Newcester dulunya adalah milik Duke Hakon. Sayang sekali ia memihak para pemberontak yang kalah.”

“Lalu apa yang terjadi?” Tanya Viona.

“Menurutmu apa hukuman bagi pemberontak, nona? Hanya ada dua kemungkinan, lehermu di tali gantung atau di ujung kapak algojo.” Beaumont menjelaskan sembari mengambil kain jubah yang terlipat rapi di atas kudanya. “Lalu Raja Gerard menyita semua tanah-tanah para pemberontak itu dan melelangnya. Sekarang siapa pun yang punya cukup uang bisa jadi bangsawan. Hahaha.” Beaumont menghamparkan jubahnya di tanah untuk alas sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Sudah cukupkah kalian membahas politik?” Vincenzo menyela Beaumont lagi.

“Maaf, Master.” Beaumont mengangguk pelan dan duduk di atas jubahnya itu.

Jesslyn turun dari kuda terlebih dulu, jubahnya dijadikan alas sama seperti Beaumont.

“Ini, malam akan sangat dingin tanpa jubah.” Aku memakaikan jubahku pada Jesslyn yang dibalas senyuman olehnya.

Tak lama setelah kami semua menyiapkan tempat tidur, api unggun yang kubuat menyala untuk menerangi malam ini dan melindungi kami dari dingin dan hewan buas.

“Oh ya, Red. Kalau kau tertarik, besok akan ada upacara besar untuk Candorough yang akan dihadiri keluarga kerajaan. Sekalian kuajak kau keliling kota.” Beaumont tiba-tiba berbicara.

“Apakah sempat?” Tanyaku.

“Kurasa sempat kalau kita berangkat pagi-pagi.”

Tak ada lagi kata-kata yang keluar malam itu. Kami semua diam, seakan ada suatu hal dalam pikiran yang sangat mengganjal dan tak bisa berhenti dipikirkan. Sesaat kemudian kami semua tertidur karena lelahnya seharian berkuda.

Berdenmouth, Ibukota Kerajaan Harwick — Pinggiran kota Berdenmouth terlihat sangat sepi, toko-toko tak buka meskipun hari sudah menjelang siang. Gerbang utama kota Berdenmouth dan dindingnya yang tinggi membayang-bayangi langkah kami memasuki kota. Alun-alun kota yang luas sudah menjadi bazaar yang dipenuhi kios-kios kayu dengan berbagai macam barang dagangan. Orang-orang yang berlalu-lalang tampak mengenakan pakaian berwarna cerah disertai kalung yang sama. Di tengah alun-alun sudah berdiri beberapa bentara dari sang raja disertai pengawal di atas sebuah panggung.

Suara terompet membuat kerumunan massa yang bising perlahan terdiam dan menoleh ke arah panggung.

“Kita berkumpul hari ini untuk merayakan kedatangan Candorough yang Maha Agung di bumi, Lord of Winter, The White Arbiter of Life!” Si bentara membacakan dari gulungan yang dipegangnya.

“Sambutlah Pendeta Tinggi dari the Church of Candorough yang akan membacakan doa dan memimpin upacara hari ini, High Priest Stuart IV.”

Seorang pria tua berterusan putih-merah menaiki panggung.

“Lalu sambutlah raja kalian, Yang Mulia King Gerard the Victorious, first of His name, King of the Salmers, Protector of the Realm!”

Sang raja berjalan naik ke atas panggung diikuti oleh permaisuri lalu ketiga anaknya.

“Mereka pangeran dan putri raja.” Tunjuk Beaumont yang setengah berbisik di sebelahku. “Putra mahkota dan pewaris takhta, pangeran tertua.” Tunjuknya lagi. “Namanya Maric. Sebentar lagi umurnya 25.”

“Pangeran satunya, anak bungsu. Pangeran Podric. Tersisihkan menjadi urutan ketiga untuk mewarisi takhta raja sejak kelahiran putra pertama Pangeran Maric bulan kemarin. Senang menjadi pusat perhatian, selalu berusaha membuktikan dirinya di hadapan orang karena selalu dibandingkan dengan kakaknya.” Beaumont kembali menjelaskan.

“Lalu si tuan putri?” Aku menoleh ke gadis di antara kedua pangeran itu.

“Heh, matamu bagus, anak muda.” Beaumont terkekeh. “Si anak tengah. Satu-satunya putri dari sang raja, Putri Cornelia. Hari ini adalah ulang tahunnya yang ke-18, kebetulan bertepatan dengan hari raya ini, hari pertama musim dingin.” Beaumont menoleh ke kanan-kiri sebelum kembali berbisik padaku. “Kau tidak berpikiran yang aneh-aneh kan? Ingat tugasmu di sini.”

“Apa maksudmu, Beaumont?”

“Kita di sini tidak untuk berkenalan dengan orang-orang. Kau adalah agen dari sang ibu, kau harus menjaga kerahasiaan itu.”

Tatapanku tak berpaling dari Putri Cornelia. “Apa salahnya berbincang sejenak?”

“Baiklah. Kau sedang beruntung, Red.” Beaumont kembali berbisik. “Nanti malam akan ada jamuan besar dari sang raja dan semua bangsawan di negeri ini akan ada di sana. Aku akan menyamar dan masuk ke jamuan itu, kau boleh ikut.”

Aku tersenyum melirik Beaumont dan mengangguk pelan.

Upacara kemudian dimulai, sang High Priest membacakan doa-doa dengan pendeta-pendeta lain berjalan-jalan di kerumunan sambil membakar dupa sementara semua yang lain menunduk khusyuk dan berdoa. Kami berlima pergi dan menjauh dari upacara pagi itu.

Setelah menyusuri jalan-jalan dan gang kota yang sepi, kami sampai di sebuah gedung tua di tengah-tengah distrik perdagangan kota. Gedung ini tampak tak terawat dari luar namun saat kami masuk ke dalam bisa terlihat belasan orang sedang menunggu untuk menyambut kami, Vincenzo lebih tepatnya.

“Master.” Serentak orang-orang itu membungkuk dan mendekat untuk menyalami Vincenzo.

Datang pula beberapa anak-anak yang langsung mengambil barang bawaan dan tas-tas kami.

“Barang kalian akan dibawa ke kamar kalian masing-masing, tolong ikut mereka. Dewan para Master akan menyambut Vincenzo.” Kata salah seorang yang menunggu kami tadi kepadaku, Viona, dan Jesslyn.

“Kamarnya yang ini sama sebelahnya.” Kata salah seorang anak saat ia menaruh tasku di lantai.

“Cuma dua?” Tanya Viona.

“Iya, para Master menyuruh kami untuk menyiapkan dua kamar.”

Viona lalu menatapku dan Jesslyn dengan wajah sinis kemudian langsung masuk mendobrak pintu kamar di depannya.

Brak!

Pintu yang didobrak Viona tak bergerak, malah ia sendiri yang jatuh karena menabrak pintu yang masih terkunci.

“Aduh!” Viona memegangi dahinya yang terbentur pintu dan lantai.

“Eh iya, maaf-maaf ini kuncinya.” Anak satunya membuka kamar dengan kunci yang ia bawa.

Viona berdiri lalu masuk dan menutup pintu kamar tanpa menoleh kembali.

Aku dan Jesslyn masuk ke kamar satunya setelah anak-anak tadi pamit pergi.

“Kenapa sama Viona tadi?” Tanya Jesslyn.

“Entah.” Jawabku lalu memeluk Jesslyn dari belakang. “Aku sudah gak sabar mau melucuti bajumu.”

07ce391368610967.jpg


Kulepas jubah Jesslyn yang tebal itu, baju dalamnya kuturunkan hingga perut, memperlihatkan buah dadanya yang segera kuremas-remas.

“Red… mmmhh… kita baru sampe loh.” Jesslyn melenguh keenakan, dadanya membusung saat putingnya kupilin.

“Justru karena kita sudah sampai…” Kalimatku tertahan di tengah karena Jesslyn tiba-tiba mendongak dan menyambar bibirku.

“Mmh… clp… mmmh…” Suara decak bibir kami memenuhi ruangan seraya kami saling bertukar liur. Lidah kami saling mencari. Ciuman ini menjadi semakin panas detik demi detik, tanganku pun semakin aktif bermain-main dengan payudara Jesslyn.

“Ahh… Red...” Tangan Jesslyn meremas penisku yang sudah tegang di dalam celana.

“Jess, gak bisa ditunda lagi.” Kudorong Jesslyn hingga menungging, kini tubuhnya bertumpu pada ujung-ujung tempat tidur. Dalaman daster yang dikenakannya kupeloroti hingga Jesslyn kini sudah telanjang bulat.

Kulepas celanaku dan membebaskan penisku yang sudah tegak berdiri. Tanpa basa-basi langsung kutancapkan ke dalam vagina Jesslyn.

“Ngggh… ahhh…” Desahan Jesslyn seketika memenuhi ruangan. Ia tak berusaha menahannya sama sekali. “Red… ahhh…”

Kubiarkan penisku terbenam sepenuhnya sebelum mulai menggerakkan pinggulku.

“Ohhh… ahhh…” Jesslyn mencengkeram pergelangan tanganku yang sedang memegangi pinggulnya. Mata Jesslyn terpejam menikmati besarnya penisku dalam vaginanya.

“Fffuck, Jess...” Kupercepat tempo permainanku, hujaman penisku semakin dalam.

“Aaahhh… ahh… ahhh…”

“Oooh… Reeed… aaaahh…”

“Teruuss… ahhh… Red…”

“Red… Nngggh… aaaahh…” Lutut Jesslyn gemetar hingga tak mampu menahan beban tubuhnya sendiri. Penisku lepas seraya Jesslyn jatuh berlutut membelakangiku bersamaan dengan orgasmenya.

“Aaahhh… aahh… ooooh…” Jesslyn masih tenggelam dalam nikmat orgasmenya itu.

Masih belum puas, kuangkat Jesslyn dan kubaringkan di atas kasur, kubuka pahanya dan kumasukkan lagi penisku.

“Reeed… tungguuu… ahhhh…” Seluruh tubuh Jesslyn gemetaran karena orgasmenya belum selesai.

Clp… clp… clp…

Plak plak plak!


Kedua suara itu yang sekarang memenuhi ruangan, suara beceknya vagina Jesslyn dan suara tabrakan paha kami.

“Aaa… nggggghh…” Jesslyn kini tak bisa bersuara lagi, wajahnya merah menahan orgasme-orgasme yang datang bertubi-tubi. Tangannya kini meremas-remas payudaranya sendiri.

“Fuck… hahhh… aku keluar… aaahhh…” Kucabut penisku yang langsung menyemburkan sperma ke perut dan payudara Jesslyn.

Crot crot crot crot!

Kurebahkan diri di samping Jesslyn, napas kami sama-sama tak teratur.

“Aaaaahhh… ssssshhh… enaknyaa…” Jesslyn memegangi bibir vaginanya, ia masih terus-terusan mengalami orgasme bahkan setelah tak lagi kusentuh. Tak lama tubuhnya melemas dan Jesslyn tak sadarkan diri.

Aku memandangi tubuh gadis yang baru saja kujelajahi ini, napasnya kini sudah normal, payudaranya naik turun seirama dengan denyut jantung dan napasnya. Cairan sperma kental masih menempel di perut, buah dada, dan puting Jesslyn. Melihatnya tertidur lelap dengan keadaan puas seperti itu membuatku kembali tegang, namun rasa kantuk menguasaiku dan aku pun tertidur.

.

.

.

Kucipratkan minyak wangi beberapa kali ke setelan mahal yang dipinjamkan Beaumont padaku sore tadi. Setelah merapikan kerah dan memakai sepatu, aku meninggalkan kamar beserta Jesslyn di dalamnya yang tadi tubuhnya sudah kubersihkan dan kuselimuti. Aku berjalan keluar dari gedung tua ini menuju gerbang kastil fi mana Beaumont telah menunggu.

“Malam, Red. Langsung saja.” Katanya lalu berbalik badan dan melangkah masuk ke dalam kastil.

Aku mengikuti Beaumont tepat di belakangnya. Pintu aula besar terbuka di depan kami dengan para pelayan yang menunggu di baliknya. Kami berdua masuk dan langsung disambut oleh mereka. Tanganku disiram air mawar lalu diseka kain lap tebal, kemudian kami dipersilahkan masuk ke dalam jamuan.

Meja-meja panjang berjajar memenuhi aula, tamu-tamu pun sudah duduk dan berbincang-bincang. Aku dan Beaumont duduk di meja tengah, tepat di samping beberapa tuan tanah bergelar Duke dan Count kalau aku tak salah dengar dari percakapan mereka. Di ujung depan aula terdapat pula meja panjang yang melintang dan singgasana raja di tengah-tengahnya.

“Sebentar lagi keluarga kerajaan akan tiba, kita akan berdiri sampai mereka duduk.” Bisik Beaumont.

Benar saja, seorang bentara datang mengumumkan kedatangan raja dan semua tamu berdiri menyambut. Tampak Raja Gerard I menggandeng permaisurinya, di belakangnya terdapat para pangeran dan putri. Setelah raja dan keluarganya duduk, kami pun duduk dan hidangan segera diantarkan ke meja-meja.

“Pakai tanganmu, kalau mau memotong pakai pisau. Gunakan semua jari, tak apa. Tapi jangan kelingkingmu.” Bisik Beaumont lagi saat makanan-makanan mulai dihidangkan di meja kami. Dari semua masakan mewah di atas meja aku terpaku pada daging-daging bakar. Ada berbagai macam daging mulai dari rusa kutub, sapi, ayam, dan babi.

Beaumont kemudian mengambil beberapa potong daging ayam, lalu ia mengambil sejumput garam dengan kelingkingnya.

“Biarkan kelingkingmu bersih untuk hal-hal seperti garam dan gula, semua yang dipakai bersama.”

Kami menyantap makanan dengan lahap. Di tengah-tengah jamuan ada pertunjukan drama bertemakan hal-hal religius, lalu ada pertunjukan musik harpa beserta penyanyi yang mengiringi. Aku tak terlalu memerhatikan pertunjukan-pertunjukan itu karena selain fokus untuk makan, mataku fokus melihat Putri Cornelia dari kejauhan.

Sehabis makan-makan para tamu saling berbincang, anggur-anggur mulai dituangkan dan musik mulai dimainkan. Putri Cornelia tampak tak terlalu tertarik dan beberapa saat kemudian hilang dari tempat duduknya di samping Pangeran Maric si pewaris.

Kutenggak segelas anggur sebelum berdiri dan menyelinap keluar dari kerumunan bangsawan-bangsawan tamu undangan yang sedang berbincang saling pamer harta dan bisnis mereka. Cukup mudah, sekarang tinggal mengendap-endap di lorong kastil ini dan mencari tahu ke mana perginya si tuan putri cantik itu.

Lantai atas. Kamar-kamar pribadi raja dan keluarga kerajaan pasti ada di lantai atas. Dari belakang kulewati beberapa penjaga yang tampak sudah kebosanan mendapat tugas patroli lorong kastil dan aku pun menaiki sederetan tangga yang membawaku entah sampai ke lantai berapa ini, yang jelas aku sudah berada cukup tinggi di kastil ini dan jika sampai ketahuan, melompat dari jendela bukanlah sebuah pilihan.

Koridor lantai atas tampak lebih lebar dan dihias lebih mewah dari lantai-lantai sebelumnya, pertanda aku sudah dekat. Baru saja aku akan mengecek satu per satu kamar di lantai ini, aku disergap dari belakang, seseorang menjepit leherku dengan lengannya, napasnya menghembus di telingaku.

va fáill.” Ucapnya. Kata-kata terakhir yang kudengar sebelum kesadaranku hilang.

.

.

.

Aku terbangun di atas tempat tidur mewah. Kaki dan tanganku terikat di ujung-ujung dipan, dan aku sudah telanjang bulat. Aku merasa lemah, bergerak pun aku tak kuat, apalagi dalam posisi seperti ini.

Di tengah kamar berdiri sesosok yang tak bisa kulihat dengan jelas dari sini. Ia mengambil lilin di meja dan mendekat ke arahku.

“Akhirnya si penguntit bangun.” Suaranya lembut, suara seorang wanita. “Kau mencariku, kan?”

Putri Cornelia berdiri di depanku membawa lilin di satu tangan dan belatiku di tangan satunya.

“Kuberi kau pilihan, kontolmu atau lehermu yang lebih dulu kupotong?”

cd4d2d1368611022.jpg


-TO BE CONTINUED-
Menunggu Mu
 
Bimabet

King of Cloak and Dagger​

mantap, awalannya bikin kecanduan nih....
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd