Gini aja dech
Semprot Lover
Entah dengan organ tubuh bagian yang mana mereka berfikir, but yang jelas, mata gue mual dan lambung gue pedih ngeliat kelakuan mereka. Emang, zaman telah berubah, bertransisi seiring selera pasar serta pola pikir masyarakat tapi .. GA BEGINI JUGA KELEUUSS !! (minjem jargonnya cak lonthong). Setelah gue tuang uneg-uneg sebelumnya di blog ERA 80-90an, MASA KEJAYAAN MUSIK INDONESIA, sekarang gue melebar, gue (mulai) muak (sampe muntah) dengan tingkah laku para caleg dan hal absurd lainnya tentang mereka.
Tak ubahnya Ludaruk, negeri ini (mungkin) Ludruk, apa yang kita lihat sebagai pemimpin, sang pemegang tongkat otoritas sebuah wilayah ternyata hanyalah sebuah boneka wayang (emang ga semuanya sich .. ). (Mereka) Di atur oleh seorang dalang berkapasitas super yang duduk didampingi para penjilatnya di belakang layar putih yang tampak udah kekuning-kuningan. huft .. Begitu "cantik" dan geniusnya permainan mereka, menempatkan "tongkat perseneling" di zona hijau nan strategis untuk kemudian menjadi playmaker atas skema yang mereka implementasikan dalam sebuah conspiracy. Sabotage, manipulate, mengiringi gerak gemulai perjalanan mereka menuju "kotak pinalty" sang lawan, untuk segera meng-konversi-nya menjadi GOAL. Yaeh ..ludruk tinggallah cerita, sehelai kertas skenario yang membungkus negeri di semudera Hindia.
Di liat dari kacamata tebal kawan gue yang hobi mbaca majalah trubus, masa kampanye ini ga ubah kelakuan sekumpulan kera menjelang musim kawin. Mereka bersolek dengan segala pesona dan kebaikan, berharap datangnya perhatian dalam porsi jumbo di hadapan mereka. Tanpa mempertimbangkan akan kumuhnya taman kota atau boulevard dengan carut marutnya spanduk dan tetek bengek lainnya yg bertebaran, mereka maju terus pantang mundur "mengexpose" aneka janji yang belum tentu di buktikannya andaikata berhasil mendapatkan "tiket" ke parlemen nanti, mengingatnya aja belum tentu. Serba salah, gue yang terlanjur apatis akan tetap golput. Tapi, kalo gue golput, berarti gue membiarkan suara gue di gantikan suara lain, suara burung hantu atau kuntilanak mungkin. Fyuh, sekali lagi serba salah. Seperti di hadapi dgn buah Simalakama. Dimakan salah, ga dimakan laper. Dan atas uneg2 yang udah gue muntahin di atas, muncullah sebuah pertanyaan yang mungkin belum pernah terlintas di benak seorang filsuf sekalipun. And my question ....
Berapa harga sekilonya buah Simalakama* ?
*buat yang ngaku tau silahkan tinggalkan ke-sok tahuan-nya di kolom coment.
(hehehe, just curcol, seorang pembayar pajak yg muak dengan kelakuan si tamak)
Tak ubahnya Ludaruk, negeri ini (mungkin) Ludruk, apa yang kita lihat sebagai pemimpin, sang pemegang tongkat otoritas sebuah wilayah ternyata hanyalah sebuah boneka wayang (emang ga semuanya sich .. ). (Mereka) Di atur oleh seorang dalang berkapasitas super yang duduk didampingi para penjilatnya di belakang layar putih yang tampak udah kekuning-kuningan. huft .. Begitu "cantik" dan geniusnya permainan mereka, menempatkan "tongkat perseneling" di zona hijau nan strategis untuk kemudian menjadi playmaker atas skema yang mereka implementasikan dalam sebuah conspiracy. Sabotage, manipulate, mengiringi gerak gemulai perjalanan mereka menuju "kotak pinalty" sang lawan, untuk segera meng-konversi-nya menjadi GOAL. Yaeh ..ludruk tinggallah cerita, sehelai kertas skenario yang membungkus negeri di semudera Hindia.
Di liat dari kacamata tebal kawan gue yang hobi mbaca majalah trubus, masa kampanye ini ga ubah kelakuan sekumpulan kera menjelang musim kawin. Mereka bersolek dengan segala pesona dan kebaikan, berharap datangnya perhatian dalam porsi jumbo di hadapan mereka. Tanpa mempertimbangkan akan kumuhnya taman kota atau boulevard dengan carut marutnya spanduk dan tetek bengek lainnya yg bertebaran, mereka maju terus pantang mundur "mengexpose" aneka janji yang belum tentu di buktikannya andaikata berhasil mendapatkan "tiket" ke parlemen nanti, mengingatnya aja belum tentu. Serba salah, gue yang terlanjur apatis akan tetap golput. Tapi, kalo gue golput, berarti gue membiarkan suara gue di gantikan suara lain, suara burung hantu atau kuntilanak mungkin. Fyuh, sekali lagi serba salah. Seperti di hadapi dgn buah Simalakama. Dimakan salah, ga dimakan laper. Dan atas uneg2 yang udah gue muntahin di atas, muncullah sebuah pertanyaan yang mungkin belum pernah terlintas di benak seorang filsuf sekalipun. And my question ....
Berapa harga sekilonya buah Simalakama* ?
*buat yang ngaku tau silahkan tinggalkan ke-sok tahuan-nya di kolom coment.
(hehehe, just curcol, seorang pembayar pajak yg muak dengan kelakuan si tamak)
salam
Terakhir diubah: