Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Namaku Syam

mantep tenan..
gabungan fiksi-nyata-misteri.
wajib ninggalin gelas..
 
Mohon maaf tertunda ya updatenya para suhu.... Ampuun beribu ampuuun...

Ijin melanjutkan kali ini :

Bagian 10 : Kejutan


Tidak ada hal lain yang terpikir selain secepat mungkin meninggalkan Pulau Madura secepatnya. Aku hanya berkata sekali kepada Cak Kandar, "Langsung Tulungagung!" Setelah itu aku diam, mataku memang terbuka namun kesadaran dan logikaku melayang-layang hinggap di kenangan satu ke kenangan yang lain dan semuanya adalah peristiwa mistis yang terjadi di Gili Labak. Citra yang disenggamai oleh Pak Tabak hingga kemudian berubah menjadi entah siapa yang anggun sekaligus angkuh dan berkuasa. Pak Tabak yang berhasil mengambil harta karun ghaib berupa keping-keping emas dan seuntai tasbih giok yang diberikan kepadaku. Aku yang disetubuhi wanita berwujud mirip Calon Arang pada sendratari yang sering dipentaskan di Pulau Bali. Semua berkecamuk tidak bisa tertata secara logika, semua buyar tidak masuk nalar.

Pondok mertuaku di Tulungagung lah yang terpikir untuk aku datangi guna menenangkan diri. Sebuah pondok kecil tua di pinggir kota, didirikan oleh kakek mertuaku atau kakek buyut Umi, istri pertamaku. Pondok ini berdiri setelah kakek buyut Umi pulang haji entah tahun berapa, yang pasti di jaman Belanda, kakek buyut tersebut adalah penduduk Pulau Bawean kala itu yang menyusup ke kapal pengangkut haji yang bersandar sebentar di pulau Bawean guna mengisi air tawar. Kala itu kakek buyut masih berusia belasan tahun, tahu kalau kapal yang dia bantu mengisi air adalah kapal menuju Mekkah dan beriai jamaah haji dari Nusantara dia sembunyi dan mengikuti seluruh ritual hingga kembali ke Pulau Jawa dan kemudian bersama seorang Kiai dia mendirikan pondok pesantren yang kelak terkenal akan spesialisasinya sebagai pondok para pejuang kemerdekaan untuk mengisi ilmu kebal dan memompa nyali.

Tengah malam baru saja terlewati, begitu pula kota Kediri. Melewati kuburan Ngujang sebagai batas wilayah Kediri dan Tulungagung aku seperti melihat puluhan sosok hitam memegang tombak, berdiri berseliweran diantara pepohonan. Mereka serentak bergerak ke arah jalan raya di mana mobil yang aku tumpangi akan lewat, semua makhluk menyeramkan yang tak tampak raut wajahnya itu menundukkan badan, berlutut dengan satu kaki dan meletakkan tombak masing-masing sejajar tanah saat aku melewati mereka. Aku bergidik bulu kudukku meremang sekujur badan, apa lagi yang akan terjadi?

Memasuki kampung di mana Pondok Pesantren mertuaku berada, aku mulai gelisah. Berbagai kenangan terlintas, bagaimana dahulu aku bisa diterima masuk ke lingkungan pesantren hanya karena seragam menwa.

Kala itu banyak kiai dibunuh oleh sosok tidak dikenal, disebutlah pasukan ninja pembunuh kiai. Mulai dari Banyuwangi hingga ke barat pulau jawa, lingkungan pesantren waspada dan bersiaga. Banyak korban berjatuhan, sosok orang gila lah yang banyak tewas dibantai dituduh sebagai "ninja" yang pura-pura gila. Ketika suasana memanas, kala itu aku dan kawan-kawan kuliahku yang aktif menjadi menwa, sedang melakukan kunjungan liburan ke salah satu anggota menwa yang berasal dari kampung di lingkungan pesantren itu, kakaknya menikah saat itu. Kami berseragam PDL menwa lengkap dengan sepatu laars dan baret ungu hanya untuk gaya-gayaan dan supaya aman di jalan, maklum toyota hardtop yang kami pakai saat itu tidak bersurat. Kebetulan, situasi memanas ada isu bahwa pasukan "ninja" sudah masuk kota Kediri dan sebentar lagi akan memasuki Tulungagung. Kami pun berinisiatif berpatroli dan menjaga kiai, kebetulan anak kiainya cakep, si umi yang kemudian dijodohkan denganku. Suatu kebetulan karena sekedar gaya-gayaan.
Memasuki gerbang pesantren, suasana khas bulan puasa sungguh terasa, beberapa santri tampak membaca kitab, sementara dari arah dapur terdengar suara santriwati memasak dengan ditemani para pengasuh. Setelah parkir, aku memasuki rumah utama, Cak Kandar sehera mencari tempat merebahkan badannya yang aku yakin sungguh penat.

Mertua dan ibu mertua tampak masih berada di kamar mereka, mbok Ratmi pembantu tua yang sudah mulai pikun dan telah ikut di keluarga ini semenjak bapak mertua masih kecil melihat ke arahku laku mulai bergumam, "Lungo! Lungo! Metu! Metu! Ojo nang kene!" Mulai dari suara pelan hingga kini histeris dan menarik perhatian seisi rumah.

Aku dibawa istriku masuk kamar, dia menjelaskan bahwa Mbok Ratmi memang telah sepuh dan pikun, jangan diambil hati kata-katanya. Di dalam kamar, pakaianku yang memang sudah kotor dan kacau, kurang lebih sama dengan pikiranku, dibuka oleh istriku perlahan, sambil dia bertanya, "Mas Syam dari mana saja to? Kok sampai dekil gini, mandi air hangat ya? Umi siapin dulu".

Aku mengiyakan, lalu dengan hanya bercelana dalam aku duduk di kursi dekat pintu kamar mandi. Di dalam kamar yang besar ini memang bentuknya seperti satu rumah sendiri, area private bagi keluarga dalam pondok. Ada ruang tv, tempat duduk dan kamar mandi tersendiri. Tak lama, istriku masuk, menggotong ember besar berdua dengan seorang santriwati yang berusia sekitar 20 an tahun. Istriku memperkenalkannya padaku, namanya Siti asalnya dari Nganjuk.

Aku mandi ditemani Umi, dia dengan telaten membersihkan tubuhku yang dekil dan letih, layaknya seorang istri yang berbakti pada suami. Sebenarnya perasaanku iba muncul, mengingat bagaimana kelakuanku di luar sana yang menghianatinya dalam hubungan antara suami dan istri yang seharusnya saling menjaga kepercayaan.

Walau Umi menggosok tubuhku menggunakan spom mandi dan sesekali menggosokkan tangannya, aku tidak sedikitpun meresponse dengan gairah birahi layaknya lelaki dan perempuan, entah karena badan dan pikiranku yang begitu letih entah karena kenangan bagaimana hubungan ranjangku dengannya yang tidak pernah hangat. Semenjak malam pertama, dia tidak meresponse sebagimana layaknya betina lain yang bergairah dengan seks, dia sekedar melaksanakan kewajiban, dingin dan hambar. Tidak ada tantangan untuk membuatnya terangsang dan mau bersetubuh, karena dia selalu mau. Namun ibaratnya aku bercinta dengan boneka berkerudung, pasif dan nurut dan tidak tampak menikmati.
Kali ini, ada sedikit kejutan, dia membuka seluruh bajunya dan berkata, "mumpung belum subuh mas...". Wow, ada apa ini? Tubuh Umi kecil dan cenderung kurus, payudaranya menyembul tak lebih besar dari bak pao yang dijual keliling pakai gerobak. Tubuhnya bersih mulus dan putih tentu karena selalu terlindung pakaian serba tertutupnya. Aku belum terpicu bahkan untuk sekedar ereksi.

Setelah kami mengeringkan badan, berpindahlah kami ke tempat tidur, Umi memijatku perlahan, mulai dari kaki betis paha dan dada. Lama kelamaan kelakianku bangkit juga, perlahan namun pasti batang kelaminku berdiri mengeras. Aku memejamkan mata, terlentang pasrah dan menyambut ciuman bibir lembut dari Umi, aku pun meresponse selayaknya lelaki.
Aku menuntaskan persetubuhan ini dalam posisi missionari, Umi tampak menikmati dan tidak seperti biasanya desahan dan lenguhannya kini terdengar. Setelah dia tampaknya mencapai orgasme dan aku pun ejakulasi di dalam liang vaginanya, usai sudah hak dan kewajiban ini tertuntaskan. Ketika dia memelukku, terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup lagi, dan itu di ruang private kami. Umi tampak tersenyum terpejam dan aku pun kemudian tenggelam dalam lelap.

***

Terbangun oleh suara dua perempuan yang tampaknya saling beradu argumen di ruang tv, masih di dalam ruang private kami. Walau mereka merendahkan suara, namun emosi membuat mereka kadang lupa mengontrol suara. Aku mendengarkan seksama adu pendapat antara mereka berdua, yang rupanya salah satunya adalah Umi.

"Demi topan badai!!!" Aku berteriak dalam hati, dari apa yang aku dengarkan rupanya satu perempuan itu memprotes Umi yang bersetubuh denganku tadi, dia menangis terisak-isak dan Umi terdengar judes sekali meresponse, "Makanya, kamu itu nurut sama aku, kalau nurut kamu gak akan tersakiti, kalau gak nurut aku kembali ke Mas Syam! Lihat aku juga bisa menikmati bercinta sama dia, kamu lihat tidak tadi? Haa, Jawab!"
Perempuan yang rupanya Siti yang tadi pagi dikenalkan istriku, hanya terisak sambil berbisik, "Mbak Jahaaaat".


Masih akan bersambung ...
 
waduhh...what happen..halah :D antara Umi dan Siti.
apakah Siti sengaja atau tidak atau disuruh Umi utk melihat persenggamaan semlem?
mungkinkah mbok Ratmi melihat sesuatu dlm diri Syam?

( komen pertama di eps ini :D
jik usum tha... :D :D )
 
Ada apakah dgn syam??? Dan mengapa siti dan Umi ribut diluar??? Mari kita tunggu kelanjutannya bersama-sama....
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Weww...amazing...cerita yg luar biasa..di tunggu kelanjutannya bro...
 
Salam kenal, mohon perkenan ikut bergabung di forum ini. Nubi masih dalam tahap proses belajar, mohon dimaklumi jika kurang enak dalam berkisah.

Post pertama nubi kali ini akan berkisah tentang Syam, seorang lelaki berusia 40 tahun (paruh baya kan?) dan perjalanan hidup serta petualangan sexnya.

Nubi berharap, ini akan menjadi kisah panjang, nubi update berkala sesuai waktu senggang yang tersedia.

Nama, lokasi dan peristiwa seluruhnya adalah rekaan semata, walau mungkin ada pengalaman pribadi sebagian, juga ada kejadian nyata itu hanyalah sebagai bumbu penyedap cerita saja.

Selamat membaca...


NAMAKU SYAM

Bagian 1 Dia Bernama Mida

Breaking News Kompas TV menayangkan berita Bom Bunuh diri di Terminal Kampung Melayu Jakarta. Aku terpaku menatap televisi di Lounge ruang tunggu Bandara Hang Nadim Batam. Ketika reporter kemudian mengabarkan bahwa terdapat beberapa korban anggota polisi, bintara muda yang sedang bertugas mengamankan pawai obor menjelang Ramadhan seketika aku memaki perlahan, "Bangsat! Teroris keparat!".

Kuambil telepon selular yang sedang kuisi daya baterainya, kulihat sudah hampir 90% lalu kunyalakan. Pesan WA pun bertubi-tubi dari berbagi Group dan private message, kuabaikan hampir semuanya hingga kutemukan pesan WA dari nomor tanpa nama dengan kode negara +60 sekian-sekian yang berisi foto tulisan tangan berisi alamat email, "[email protected]". Tidak lama kemudian hampir bersamaan dengan panggilan boarding, masuk lagi pesan dari nomor tanpa nama, kali ini dengan kode negara +65 sekian-sekian yang berisi foto tulisan "L3m4hAbangTeles". Aku segera mengingat keduanya dengan detail.

Aku berdiri merapikan bawaanku sebuah messenger bag dari kulit berwarna coklat berisi laptop, sepasang pakaian dan beberapa buku lalu berjalan menuju gerbang keberangkatan. Sambil berjalan aku menelepon seseorang di Jakarta menanyakan situasi terkini kejadian bom bunuh diri, tanya jawab sebentar lalu kututup telepon dan kumasukkan ke saku celana.
"Bagaimana situasi Jakarta pak? Apakah masih aman untuk datang ke sana?" Sebuah suara lembut seorang perempuan paruh baya terdengar dari samping kiriku. Aku melihat ke arah sumber suara, wajah perempuan berkacamata hitam tampak kuatir sambil melihat ke arahku.

"Oh, aman kok bu, hanya kejadian kecil saja di Kampung Melayu, tidak melebar ke mana-mana. Ibu mau ke Jakarta?"

"Iya pak, syukurlah kalau begitu"

Kami pun kemudian boarding ke pesawat melalui fasilitas garbarata. Aku mempersilahkan ibu cantik itu mendahuluiku, kuperhatikan dari belakang postur tubuhnya ideal, mengenakan busana bagus berkelas namun tidak berlebihan, menyeret koper samsonite ukuran 20" berwarna biru donker sewarna dengan tas jinjing kulit elegan yang ia sandang.

Seperti biasa, aku duduk di sisi jendela bangku emergency exit, nomor 14F. Kuambil smart phone, log in ke google mail denga id dan password yang tadi tertera pada pesan WA, menunggu beberapa saat, aku check inbox, sent dan spam semuanya biasa saja, hanya ada pesan selamat datang dari google yg artinya akun ini baru saja dibuat beberapa saat lalu. Ternya pada folder draft baru kudapati apa yg aku cari, rangkaian instruksi bersandi yang bagi awam hanya akan tampak sebagai rangkaian kata dengan ritme pantun. Screen capture dan kemudian kupindah smartphone ke flight mode untuk kemudian kembali kukantongi. Aku ambil buku dari tas selempangku, sebuah novel terjemahan Pak Pramudya Anantha Toer berjudul Ibunda karya Maxim Gorky yang baru aku baca kurang dari seperempat tebal buku, novel ini sudah kubawa-bawa ke mana-mana dan selalu kubaca di setiap penerbangan namun baru beberapa lembar biasanya aku jatuh tertidur bahkan ketika tanda safety belt belum padam. Aku duduk kembali setelah meletakkan tas selempangku di bagasi kabin, memasang safety belt dan mencoba mencari halaman terakhir yang ku baca di penerbangan sebelumnya. Bangku 14D diisi oleh seorang bapak berkisar 60 tahun yang tampak nervouse, dia memangku jinjingannya berupa sebuah kardus mie instan yang diikat tali rafia sementara bangku 14E hingga pintu ditutup tidak terisi penumpang.

Semua penumpang sudah duduk, awak kabin mulai memeriksa sabuk pengaman dan memastikan hp sudah dimatikan. Seorang cabin crew mendekatiku dan mengkonfirmasi namaku sambil menyerahkan slip security item, aku tersenyum kepadanya sambil berterimakasih. Widya, nama pramugari itu kuketahu dari name tag yang dia pakai, tersenyum manis sekali sambil mengatakan, "Kembali kasih..".
Widya menyapa bapak 14D dan memintanya meletakkan kardus yang dipangku di bagasi kabin. Bapak itu terlihat bingung dan gerakkannya pun canggung. Widya kemudian menanyakan kepada Pak 14D apakah beliai bersedia bertukar tempat duduk dengan penumpang lain, karena si baris emergency exit tidak boleh ada barang bawaan yang mungkin menghalangi jalan ketika terjadi keadaan darurat, juga dijelaskan yang duduk di baris itu harus bersedia membantu awak kabin mengarahkan penumpang ke pintu darurat. Bapak Nervouse akhirnya bertukar duduk dengan ibu cantik tadi yang ternyata duduk di bangku 16D. Ah sebuah kebetulan yg manis.

Take Off berlangsung mulus, aku memperhatikan laut dan pulau-pulau di sekitar Batam yang semakin mengecil tertinggal di bawah. Ibu Cantik berambut pendek berwajah cantik menyapaku, "Bener ya Pak, Jakarta aman kan?"
"Insyaallah, bu"
"Kalau hotel yang dekat-dekat daerah Cibubur yang cukup bagus apa ya pak?"
Ah, dia basa-basi. Tentu mencari informasi semacam itu di jaman yang segala macam info bisa didapat melalui smartphone mudah saja dia lakukan. Namun demi kesopanan dan mencoba peruntungan aku menjawab, "Ada hotel di Mall Ciputra dekat Citra Grand bu, ibu bisa naik bus Bandara jurusan Cileungsi dan turun di depannya persis"
Pembicaraan pun berlanjut ke berbagai hal, mulai serangan teroris, pariwisata, kemacetan Jakarta dan berbagai hal lain hingga soal kuliner. Setelah bertukar cerita lucu dan suasana sudah demikian cair, kami pun bertukar nama, seperti biasa aku memakai penggalan nama belakangku, Syam. Sedangkan ibu cantik itu mengaku bernama Mida. Aku memintanya untuk tidak memanggilku dengan Pak , namun menyebut nama langsung saja dan dia pun meminta hal yang sama. Obrolan sempat terhenti ketika cabin crew membagikan minuman dan makanan namun kemudian berlanjut lagi.

"Syam, apakah sudah selesai membaca novelnya? Kalau sudah boleh aku pinjam untuk bacaanku nanti di Hotel?'

"Belum sih, tapi bawa aja jika mau, aku bakal gak punya waktu luang besok untuk membaca"

"Okay, aku pinjam ya, minta kontaknya dong, agar bisa mengembalikan nanti"

Mida mencopot nomorku dan aku mencatat nomornya. Novel Ibunda berpindah tangan, dia membuka-buka dan mulai membaca dan aku mulai terpejam, memikirkan siapa perempuan yang tiba-tiba akrab ini, berbagai kemungkinan aku uji dengan logika dan rangkaian fakta namun aku belum menemukannya. Aku pun kemudian terlelap.

***
Aku terbangun ketika cabin crew mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Mida tampak masih membaca novel Ibunda, dia melirikku, tersenyum dan berkata, "Enak benar tidurnya, habis begadang di Batam ya?"
Aku tersenyum tidak menjawab, meraih botol air minum dari kantong kursi, menenggak habis.
"Novel ini diterjemahkan Pram dari Bahasa Rusia ya Syam?"

"Iya, tampaknya begitu, aku belum kelar-kelar baca novel itu, padahal kubawa-bawa ke mana-mana sampai lecek gitu"

"Di bawa ke KL juga ya kemaren?"

Agak terkejut, bagaimana Mida tau aku dari KL, hmm tapi segera memoryku terpanggil bahwa ada boarding pass Malindo yang aku selipkan di Novel dan Mida pasti menemukannya.

"Iya, kok Mida tahu?"
"Aku kan agen rahasia, jadi tahu lah!"
Dia menatapku jahil sambil mengatakan kalimat itu.

"Okay... Jangan-jangan namamu Ziva bukan Mida" aku tertawa menyebut nama tokoh special agent pada serial NCIS.

Pesawat mendarat dengan sedikit guncangan, kami keluar bebarengan. Tidak ada bagasi yang kami ambil, hanya mampir sebentar di counter Lost and Found untuk mengambil security item lalu aku mengajaknya bareng ke terminal bis bandara, kuarahkan untuk nanti menggunakan Bis Sinar Jaya tujuan Cileungsi untuk bisa turun di Citra Grand. Sedangkan aku berencana naik Bis jurusan PGC atau Pasar Minggu karena aku harus langsung ke kantor membereskan beberapa hal.

Sudah hampir tengah malam di Jakarta, Mida menanyakan apakah bis tujuan Cibubur itu masih ada, aku menjawab kalau bisnya mungkin sudah habis, aku bilang bahwa sebenarnya tempat tinggalku searah dengan tujuan Mida, aku tinggal di Kota Wisata dan jika pulang aku sering melewati depan Citra Grand.

"Kita bareng aja naik Taxi, Mida nginap di Hotel dekat kantorku, ada Swiss Bell di sana, setelah aku selesaikan pekerjaan, nanti bareng aku ke arah Cibubur, mungkin jam 8 atau 9 pagi kita sudah bisa jalan"
"Oke kalau begitu, aku juga sudah ngantuk banget" jawab Mida.

Di dalam Taxi, Mida memesan kamar via Traveloka dan kebetulan masih tersedia. Kemudian ia tertidur sepanjang perjalanan. Aku yang duduk di kursi depan ngobrol dengan sopir taxi, aku tanya dia apakah merasa takut dengan adanya aksi teror bom bunuh diri seperti di Kampung Melayu, sopir taxi bernama Karyo itu mengatakan bahwa dia lebih takut tidak bisa mengirim uang ke kampung dibanding terorist.

"Halah paaak, mau teroris atau bukan, kalau memang jadi jalan mati kita, ya wis kita terima aja lha wong gak mungkin kita menghindar takdir, saya lebih takut sampai gak bisa tidur ketika akhir bulan waktunya mengirim jatah ke istri di kampung belum mencukupi... He he he he"
Aku pun tertawa getir mengingat kegagalanku dalam berumah tangga.

Kemudian aku asyik dengan smartphone ku hingga Taxi sudah di depan TMP Kalibata. Kami turun di Lobby Swiss Bell, setelah Mida mendapat kunci kamar, aku pamit dan menuju kantorku, sebenarnya bukan kantor dalam arti harfiah namun sebuah titik temu atau safe house yang terletak di Kalibata City Apartmen.

Aku masuk, bertemu beberapa kolega di sana, menyerahkan data-data dan mengarahkan staff untuk membuat laporan dari data-data terbut. Aku dan kawan-kawan kemudian mengadakan rapat terkait langkah-langkah yang akan kantor ambil ke depan menyikapi situasi keamanan regional.

Rapat selesai pukul 04:00 pagi, aku turun 4 lantai menuju apartemen Eni, seorang therapyst spa di kawasan Mangga Besar yang aku sewakan apartemen untuk ditinggalinya bersama Citra, entah nama sebenarnya siapa, yang bekerja sebagai waitress salah satu restoran di Kalibata Mall. Eni dan Citra masih ada hubungan saudara, mereka sepupuan.

Aku ketuk pintu apartemen Eni, tidak lama pintu terbuka, wajah sumringah muncul dari balik pintu, "Eh, Mas Syam... Lama banget nunggunya sampe aku ketiduran di kursi.." Eni menyambutku dengan pelukan.

"Iya ini En, maaf ya, tadi langsung rapat jadi kepagian datangnya, bareng sama bencong pulang" candaku.
"Mas Syam doyan bencong ya? Ih geli tau!" Eni tertawa kecil meladeni guyonanku.

Aku minta segelas kopi, menanyakan apakah tadi masuk kerja atau off, dan keberadaan Citra.
"Hari ini Eni tetep Eni, lagi gak jadi Putri di Spa hehehe Citra ada tuh di kamar, molor lah jam segini, Mas Syam mau ngeloni Citra atau mau Eni kelonin?"

"Aku capek banget En, kamu pijit ya..." Aku melepaskan baju dan celana, menyisakan boxer saja kemudian tengkurap di kasur lipat yang sudah tergelar, biasanya Citra yang tidur di kasur lipat ini, Eni tidur di kamar bersamaku jika pas aku berkunjung karena memang apartmen kecil ini hanya memiliki satu kamar yg sempit.

"Kok masih dipakai ini celana, buka sekalian!" Eni menarik celana boxerku hingga terlepas.
Masih dalam posisi tengkurap, sapuan handuk basah hangat cenderung dingin disapukan eni di kedua kakiku, berganti handuk baru dia menyapu pantat, punggung hingga leher. Terasa segar dan bersih, tertiup hembusan AC yang sejuk aku merasa semakin ngantuk. "Balik badan mas", ujar Eni perlahan sambil mengangkat bahu kiriku agar aku berguling terlentang. Handuk hangat suam-suam kuku kembali menyapu wajahku lalu leher, dada dan perutku. Berganti handuk baru, Eni melap selangkangan dan membersihkan dengan detail kantong kemaluan hingga batangnya sebersih mungkin. Handuk terakhir digunakannya menyapu kedua paha hingga kaki.

Tercium samar aroma green tea dari seuatu yang dicampurkan Eni pada air hangat. Aku semakin mengantuk. Terlentang dan terpejam, aku mendengar bisikan Eni di telingaku, "Mas, keluarin dulu ya... Baru nanti diurut biar rilex gak tegang lagi". Tanpa daya aku mengangguk mengiyakan. Hembusan nafas Eni terasa dikeningku, dia mengecup perlahan sebagai awal dari rangkaian panjang kecupan di depan telinga, kelopak mata, berhenti sebentar dia merubah posisinya naik ke atas tubuh bugilku.

Selangkangan Eni yang berlapis celana pendek berbahan kaos menempel hangat di atas kelaminku. Dada sintal tertutup kaos tanpa BH bergeser perlahan di perut dan dadaku seiring bibirnya bergerak melata laksana lintah menghisap-hisap puting kecilku lalu menyerang leher, mengendus ketiak beraroma maskulin keringat lelaki bercampur deodoran body shop dan berakhir dengan pagutan lembut basah di kedua bibirku. Aku meladeninya, mengulum bibir, memilin lidah dan berpagutan ala kadarnya.

Kaos Eni kulepas, kedua susunya dengan puting kelam sudah tampak mengeras, aku meraba keduanya, mendorong badan Eni agar sedikit naik sehingga aku bisa mengulum dua mutiara kenyal susu Eni. Gelitikan basah lidahku membuatnya mendesah-ndesah, sementara tanganku meremas dan mencengkeram pantat bulat berbalut celana kaos Eni.


Di luar sana sayup-sayup terdengar rekaman orang ngaji dari masjid entah di mana, sebentar lagi adzan subuh tampaknya. Pintu kamar terbuka, Citra keluar kamar dan tampak tidak memperhatikan kami, dia masuk kamar mandi. Eni pun seakan tak peduli, dia meneruskan saja aksinya, menggesek-gesek selangkangan empuknya di kemaluanku yang mulai berdenyut membesar dan mengeras.
Pintu kamar mandi terbuka, Citra tampak terperanjat melihat kami bertumpukan di kasur lipatnya, "Maaf ..maaf..." Ujarnya sambil berlalu kembali masuk kamar. "Gak apa-apa nok, kalau mau ambil baju ambil aja..." Saut Eni sambil terus beraksi. Memang lemari baju Citra berupa rak sorong plastik ada di luar kamar, ada persis di samping tempat kami saling peluk.

Kelaminku yang sempat melemas ketika Citra lewat, kembali menegang ketika Eni mulai mengulum dan menjilati kepala penisku. Kuluman basah dalam diselingi jilatan dan kecupan di bagian bawah batang penis hingga kantong biji benar-benar membuatku terangsang hebat. Sementara badanku letih, pikiranku juga belum sepenuhnya lepas dari persoalan pekerjaan membuatku segan untuk bermain cinta dengan Eni. Aku hanya ingin segera ejakulasi sehingga syaraf-syarafku yg tegang bisa relaksasi.

Aku pegang kepala Eni dengan kedua tanganku, kuikuti irama kuluman naik turunnya, kupercepat ritme kulumannya sambil kuteganggkan otot paha dan fokus ke kantong spermaku untuk segera melepaskan cairan kental bernama mani itu.

Kubimbing ritme kepala Eni mengulum penisku semakin cepat dan ketika ejakulasi terjadi kutahan kelaminku dalam mulutnya, entah berapa banyak sperma yang keluar. Rasa nikmat luar biasa terasa disusul rasa lega dan rilex dilengkapi ngantuk luar biasa.

Aku melihat Citra samar-samar mendekat, "Teh.. punten mau ambil mukena"
Jeda sesaat, suara Eni meludahkan spermaku di ember air buat mengelap badanku tadi, lalu terdengar suara Eni agak tersenggal, "Sok ambil aja, santai aja nok..". Aku pun kemudian terlelap.

(Masih akan bersambung)
Njirrrr keren suhu...
Eksmud beud dahhh
 
Ini cerita baru bagi gue.. belum pernah kayak ini sebelum belumnya.. sukakkk..


Salam, berjumpa kembali dan terimakasih kepada para suhu yang sudah mampir dan berkenan membaca nubie punya cerita.

Mohon ijin, nubi akan melanjutkan kisah Syam yang sempat tertunda


Bagian 2 : Mencari Sofia

Dengung berulang-ulang terdengar dari smartphone yang bergetar di meja kaca apartemen Eni membangunkan lelapku, jam dinding menunjukkan angka 08:45, pasti Mida yang menelpon, karena tidak ada yang pernah menelepon nomor yang baru kupergunakan sepekan ini dan hanya Mida yang aku kasih tau nomornya.

Panggilan terhenti, aku segera membuka selimut meraih smartphone lalu mengirimkan pesan, "Tunggu sekejap ya... lagi di kamar mandi, ETA Swisbell 45 menit"
Dijawabnya, "Ok Syam, take your time.."

Berdiri telanjang bulat aku bergerak ke kamar mandi, sayup terdengar suara berkecipak cepat dan desahan perlahan. Suara itu menerobos celah pintu kamar mandi yang memang sudah agak rusak tidak dapat dikunci. Eni atau Citra yang di dalam sana, aku bertanya dalam hati. Ku tengok kamar satu-satunya, kosong dan sudah rapi. Waduh! Apakah mereka berdua di kamar mandi?

Kubuka perlahan pintu plastik rusak itu, Eni seorang diri, duduk dilantai kepalanya mendongak ke atas, tangan kirinya menumpu lantai menyangga tubuhnya, kedua kaki mengangkang sempurna dan jari-jari tangan kanannya menyapu liar permukaan vagina Eni yang berjembut rapi.

Jemari dan permukaan bibir vaginanya mengkilat dengan sedikit ada warna putih semacam busa bergelembung kecil. "Sssssssssshhhhh aaaah uh uh uh aaaaaaaah!" Desis bibir mungil Eni seiring gerakan tangan yang semakin cepat. Desahan itu berganti dengan senggalan pendek-pendek nafas seiring dengan melambatnya gerakan tangan namun tampak dia menekan dan pinggulnya digerakkan mengimbangi irama. Matanya masih terpejam sementara aku terbelalak dengan kelamin berdiri tegak.

Eni menyudahi aksinya, bersandar di dinding membuka mata dan berteriak, "Aaah Mas Syam jahat, aku jadi malu tau". Eni lalu merapatkan kaki dan memandangiku dengan wajah merah padam. "Kamu jadi malu dan aku jadi mau En! Ha ha ha" aku meresponse sambil maju selangkah dengan dipimpin kelaminku yang dalam posisi tegak mendongak.

Kuraih ketiak Eni, kuangkat badannya, aku cium dan kecup wajah, telinga, leher hingga susu dan perutnya dalam posisi berdiri menempel dinding kamar mandi.

Ketika dia mulai mendesah-ndesah dan vaginanya menghangat lagi. Aku posisikan dia nungging dengan kepala dan tangannya bertumpu pada tangki air closet. Eni menutup lobang Closet memposisikan diri nungging senyaman mungkin. Kelamin ku yang sudah berdenyut keras ku arahkan masuk lobang vaginanya perlahan.

Terasa nikmat gesekan antara kulit paling sensitif dari kedua jenis manusia ini. Hangat, licin mencengkeram lembut sementara aku mendorong batangku masuk lebih dalam, kepala kelaminku yang membulat mencari-cari titik nikmat yang diistilahkan sebagai G-Spot. Seolah pakai GPS, titik itu langsung saja ketemu, ya pengalamanku puluhan tahun menyenangkan wanita tak bisa dibohongi.

Menyentuh g-spot, Eni melenguh, kutarik Eni mendesah, kudesak lagi lebih keras Eni mulai berteriak "Enak mas! Terus mas! Nah itu! Nah itu! Lagi! Lagi! Aaaaah aaaah aaah ssssssshh enaaaaknua ngewek smaaa maaassss... Dikit lagi...dikit lagi... Aaaach!"

"Assalamualaikuum! Sarapan dataaang!" Citra berteriak sambil masuk apartemen. Sialan nih anak, lagi tanggung sebentar lagi, malah dia masuk.

Aku tetap memegang erat pinggul Eni, menyodokkan pinggulku berkali-kali dan sedalam mungkin, lenguhan keras dan panjang Eni mengiringi orgasme kami berdua.

Aku menyepak pintu plastik kamar mandi agar tertutup namun justru memantul dan kembali terbuka, tanpak Citra berdiri sambil ternganga.

Kucabut kelaminku dari vagina Eni, masih setengah tegang, aku kencingi kaki dan paha Eni. Duuh kencing yang paling enak sepanjang masa adalah kencing setengah ereksi pasca ejaculasi, nikmatnya panjang, sepanjang aliran urin.

Eni berteriak, "Mas jahat, mas jorok, kok aku dikencingi!". Aku tertawa, dan kudengar dari balik pintu plastik Citra terkikik lalu masuk kamar.

Ku usir Eni keluar kamar mandi karena aku mau BAB, bersarungkan handuk dia keluar, aku meneruskan hajatku dan langsung mandi. Duh, semua bajuku ada di luar, aku minta Eni mengambilkan handuk. Lalu aku keluar bersarungkan handuk.

Eni berganti mengambil gilirannya mandi. Aku masuk kamar, tempat di mana baju-baju bersihku berada. Masih ada Citra yang rapi dengan baju kerja tiduran sambil main hp. Aku masuk, Citra bangun hendak keluar. "Udah situ aja, toh udah lihat badanku ini" responku.

Aku berganti baju, memakai deodorant dan menyisir rambut. Citra nampak melirik sesekali sambil masih dalam posisi tiduran. Pahanya menyilang rapat dibalik rok span pendek yang dikenakannya. Hmmm dia pasti konak pikirku. "Kamu curang Citra!"
"Curang kenapa om?"
"Kamu sudah lihat aku telanjang bulat, malah lihat aku ngewek sama Eni, aku harus lihat kamu telanjang dan lihat kamu ngewek sama pacarmu"
"Aaah... Aku belum punya pacar oom..." Saut Citra denga wajah merah padam.
"Ya udah, lihat memekmu sebentar!" Aku berkata pelan namun dengan tekanan yang pas sehingga Citra tidak berreaksi ketika aku buka lebar kedua pahanya, rok pendeknya terangkat, celana dalam putih yang dia pakai tampak basah membuatnya jadi transparan memperlihatkan warna hitam jembut Citra. Aku tarik sisi kanan celana dalam Citra sehingga memeknya yang merah merona dan basah terbuka tanpa harus membuka semua celana dalamnya. Suara pintu kamar mandi dibuka aku melepaskan tarikanku pada celdam Citra sambil bergumam, "Jangan bilang Eni!"

Kami makan pagi bersama dengan cepat, karena aku harus segera menjemput Mida dan Citra akan berangkat kerja. Eni juga akan berangkat ke spa tempat dia bekerja jam 11:00 nanti.

Aku dan Citra keluar apartemen bersama, berdiri menunggu lift Citra menundukkan kepala tanpa bicara sepatah kata. "Kamu marah ya? Maaf deh kalau marah" aku mengangsurkan tangan kananku mengajaknya berjabat tangan. "Gak marah kok om, cuma malu..." Desisnya perlahan.
"Ya wis sini..." Aku menjawab sambil meraih kepalanya sehingga terjangkau kecupanku di keningnya.

Aku berjalan menuju Swiss Bell Hotel sementara Citra menuju KBM, kami berpisah sambil bertukar senyum.
Sampai lobby SB Hotel, tampak Mida duduk di sofa, membolak-balik kertas dalam agenda yang dia pegang. Aku mendekat menyapanya, "Selamat pagi Mida, gimana enak tidurnya?" Aku mengulurkan tangan, ketika tangan Mida menyambut tanganku, dalam posisi bersalaman reflek aku mengecup kening Mida yang masih dalam posisi duduk. Mida tampak meresponse dengan sedikit mendongakkan kepala dan memejamkan mata. Aku tersadar, terperanjat, "Maaf, reflek ini Mida, bukan sengaja!" Aku tersipu.
"Iya, aku juga reflek...kenapa ya? Jodoh kali ya?" Mida meresponse sambil tersenyum malu.

Kami duduk, memesan kopi lalu bertukar cerita. Ternyata Mida sedang mendapat perintah dari bossnya, seorang istri pejabat perusahaan perdagangan yang berbasis di Singapura. Mereka orang Indonesia juga, namun memang bisnisnya bergerak international dan kantor pusatnya ada di Singapura.

Misi tersebut adalah mencari seorang wanita, hanya diketahui foto, nama dan nomor handphonenya saja, serta koordinat lokasi paling sering hp tersebut aktif. Koordinat tersebut adalah seputar Citra Grand Cibubur.
Mida tidak bercerita, kenapa perempuan itu harus dicari dan akupun tidak bertanya. Aku hanya meresponse, "Aku bisa mengerjakan kerjaan itu, Mida tidak perlu repot-repot, duduk manis nanti aku laporkan".
"Oh, really? Are You a detective or a police?" Mida terkejut
"No, I am a civilian but fortunately working in a global security company" sautku singkat.

Kami tidak jadi berangkat ke Cibubur bareng, Mida memilih untuk menyerahkan kerjaan itu kepadaku dan kami bersepakat dengan paket 5000 Sing Dollar untuk mendapatkan data alamat, foto-foto, keterangan asal-usul, status perkawinan, pekerjaan dan info dasar lainnya. Dibayar 1000 di depan, 2000 progress dan sisanya ketika data lengkap.
Mida meminta ID Card ku untuk dia foto, sebagai jaminan keamanan dia katanya. Aku pun meminta Mida untuk bersedia aku melihat dan memotret ID Cardnya, dia menyorongkan Passport. Kufoto passport itu kulirik nama lengkap dan tanggal lahirnya sekilas.
"Wow, Pisces girl!"
"What's up Virgo man!
Kami pun tertawa bersama kemudian Mida menyerahkan cash 1000 dollar Singapore, lalu dia berkata, "Kalau begitu, sampai jumpa, aku bisa belanja-belanja dan beranjangsana, oh ya nama perempuan itu Sofia, nanti aku kirim data yang sudah ada via WA ya Syam"

Mida beranjak, menyalamiku dan menuju lift untuk kembali ke kamarnya.
Tinggal aku yang harus memburu Sofia namun masih terbayang-bayang anunya Citra.

Masih akan bersambung.
 
Ijin melanjutkan kisah Syam duhai para Suhu....

Bagian 11 : Cinta Mati

Aku memasuki ruangan di mana Umi dan Siti terlihat bersitegang, "Sudah, apa yang kalian ributkan? Ini bulan puasa, tahan diri ya, apa yang ada di ruangan ini tetap tinggal di sini, jangan di bawa keluar sana, nanti malam kita bicarakan, sudah sekarang kalian keluar semua aku juga mau bertemu bapak ibu"
Mereka menunduk, lalu bergerak. Aku sok bijak dan sok paham persoalan.

Aku mandi lagi, berganti baju khas pondok, kain sarung dan kaos cap kidang putih dan tentu pake peci hitam. Keluar ruang private, bertemu warga pondok, bertegur sapa dan sowan Bapak Kiai dan Ibu Nyai. Berbicara banyak hal, fokusku berangsur-angsur kembali normal. Aku tampak wajar seperti biasanya.

Lalu, Mbok Ratmi masuk ruangan sambil membawa sapu lidi dan secara dramatis menyerang ku dengan sapu sambil berteriak, "Minggaaaaaat! Ayo Minggat!" Satu gebukan sapu yang tidak keras mendarat di punggungku, Ibu Nyai merespon dengan segera menangkap tangan Mbok Ratmi dan menyeretnya keluar ruangan. Bapak Kiai berkata, "Ada yang tidak wajar pada dirinya, mohon maklum dan aku lihat ada sesuatu yang menempel padamu nak Syam, cobalah berdiam diri dan bertafakur". Aku pamit, agak shock dan kembali ke kamarku.

Sore hari, suasana pondok tidak seramai awal puasa, banyak santri yang sudah pulang ke rumah masing-masing. Hari ini adalah puasa hari ke 27, 3 hari lagi lebaran. Aku juga tak paham dunia luar sana, duniaku di luar pondok, seluruh gadgetku masih mati, aku belum siap kembali menjadi Syam yang biasa, aku masih menikmati menjadi Gus Syam, anak mantu Kiai. Cak Kandar sudah kuselesaikan kewajibanku padanya, dia kembali ke Surabaya sambil berpesan bahwa dia kapanpun siap dipanggil.

Saat buka puasa bersama, aku tidak melihat Mbok Ratmi, aku hanya melihat Siti dan Umi yang canggung melayani keluarga inti pondok. Bapak dan Ibu tampak banyak diam. Selesai rangkaian malam bulan puasa, jam 22:00 aku sudah berada di dalam kamar, tak berapa lama Umi dan Siti masuk, mereka menunduk setelah menutup pintu dan duduk. Aku mengambil posisi duduk di kursi di ujung meja, sehingga berada dalam posisi dominan.

Siti tertunduk, Umi sesekali memandangku dan tampak ragu untuk memulai pembicaraan. Aku paham situasinya dan langsung saja aku berujar, "Kalian mau berbicara tentang hubungan kalian? Silahkan, aku orang yang berpikirian terbuka, Umi kan tau sejak dahulu aku adalah orang yang biasa berdiskusi, ayo jangan ragu"

Mulailah Umi mengungkapkan segalanya, bagaimana dia memiliki kecenderungan untuk menyukai sesama jenis, yakni perempuan tentu saja, sejak dahulu. Berawal dari bagaimana ibu tirinya, yakni istri pak kiai yang sekarang, memberikan pengalaman seksual pertama ketika usia remaja. Memang ibu kandung Umi telah meninggal ketika dia masih balita, lalu Bapaknya menikah lagi dengan salah satu santrinya ketika Umi berusia 12 tahun. Bu Nyai itulah yang memberikan belaian dan usapan erotis padanya ketika hormon di tubuhnya mulai berkembang. Kejadian itu membekas dan terus membayangi kehidupannya hingga masa-masa kuliah di Perguruan Tinggi Islam di Ponorogo. Ketika kemudian bapaknya, yakni Pak Kiai menjodohkannya denganku, Bu Nyai berhenti menyentuh Umi dan dia pun berusaha menikmati sensasi berhubungan dengan lelaki, aku. Bahkan ketika keperawanannya pun dia lepaskan dia tidak bisa menikmati secara maksimal sensasi orgasme seperti yang ia rasakan ketika mendapat sentuhan sesama perempuan, yang memang hanya satu, ibu tirinya.

Lalu, ketika suatu saat Umi sakit demam, aki tidak pulang-pulang, dia dirawat oleh Siti. Hubungan pun semakin jauh, hingga terjalinlah hubungan asmara di antara mereka. Siti yang sebenarnya cenderung normal akhirnya terbawa menjadi penyuka sesama.

Lalu, masalah timbul ketika Siti hendak dikawinkan oleh oramg tuanya bulan Syawal nanti. Siti tidak peduli siapapun jodohnya, yang penting bisa menuruti kehendak orang tua dan meningkatkan drajad dan martabat keluarga. Kebetulan calon suaminya ini adalah seorang pengusaha tambang batu kapur yang lumayan kaya dan baru setahun menduda.

Umi meradang, melarang namun tidak punya alasan yang cukup kuat untuk diutarakan secara terbuka. Makanya dia memprovokasi Siti dengan menyuruhnya melihat Umi berhubungan badan denganku, sambil mengancam akan membuka kisah asmara mereka kepada semua orang agar gagal perkawinan Siti dengan sang pengusaha.

Siti mulai terisak, dia berkata "Aku menyayangi Mbak, tapi aku juga harus mengabdi kepada bapak ibuku mbak... Tidak ada jalan lain yang cepat dan mungkin selain menuruti kehendak mereka"

"Jadi karena harta? Kau mau menyerahkan dirimu pada lelaki tua itu? Apa beda dengan pelacur?" Umi menyahut lantang.

"Sudah, diam semua, aku ingatkan apa yang ada di ruangan ini, tetap ada di sini, segala cerita dan peristiwa tetap ada di sini menjadi rahasia kita bertiga"

Lalu aku mulai berkata bijak, bahwa aku memahami hubungan lesbi adalah suatu hal yang manusiawi. Aku tidak menyalahkan mereka, aku menawarkan jalan keluar agar semua bisa menerima. Juga bercertia soal azab yang akan mereka terima akan dibayar tunai jika persoalan ini sampai keluar ruangan. Mereka akan dikucilkan dan akan berantakan segala rencana. Aku menawarkan memberikan solusi jika mereka mau menerima.

Umi mengiyakan, dia tampak lega aku berpihak kepada mereka lalu Siti pun mengangguk setuju akan menerima saran dan masukannku. Memang mereka tidak punya pilihan lain selain tunduk dan taat di situasi seperti ini.

Pertama aku sampaikan soal situasi, bahwa Umi bersuami dan Siti akan bersuami, itu setara, gak usah diributkan. Hubungan harus adil agar langgeng dan tidak menjadi emosi berkepanjangan antar mereka yang akan menjadi pintu masuk menuju neraka.

Kedua, aku sampaikan bahwa mereka harus taktis, memiliki strategi yang baik agar tidak menimbulkan curiga. Menjaga rahasia diantara kami bertiga, lalu membuat alasan untuk saling berjumpa kelak menuntaskan rindu. Umi memprotes, mengatakan bahwa itu gak fair, karena Siti bakal dikekepin terus sama Pak Tua juragan kapur sementara dia sangat jarang bertemu denganku. Aku menjawab, "Tapi, kamu kan telah lebih lama punya suami, dan belum tentu juga suami Siti nanti bener bener mampu ngekepin Siti tiap hari" aku menukas argumen itu sambil tertawa.

Suasana menjadi lebih cair, Siti pun protes bagaimana dia emosi ketika Umi aku setubuhi semalam, dia cemburu berat. Lalu berkata, "Pokoknya mbak hutang nonton aku gituan sama suamiku nanti...."
"Ora sudi!" Umi menyahut ketus. Siti tersenyum, aku tertawa dan Umi cemberut.
"Wis ya, semua sepakat, apa yang terjadi di sini tetap di sini! Tidak keluar dari ruangan ini dengan alasan apapun!"
Mereka berdua menyahut, "Nggih, setuju"

Lalu aku berdiri, berpindah ke kamar tidur, mereka masih di ruang duduk. Aku menyalakan tivi sambil berpikir, jadi selama ini Umi hanya seperti boneka seks saja, pantesan dia gak hamil, atau jangan jangan dia pakai kontrasepsi tanpa sepengetahuanku. Ah, bodo amat, toh aku juga bukan orang suci, benar kata Tuhan dalam kitab sucinya, lelaki benar hanya untuk perempuan benar dan begitu juga sebaliknya. Baiklah aku menerima kenyataan ini.

Lalu aku melihat, mereka berpelukan, saling terisak mengungkan emosi terpendam. Tapi, kenapa aku jadi bergairah karenanya. Kelaminku mengeras, hasratku berkobar. Bagaimana kalau aku menyetubuhi mereka malam ini? Dua tubuh perempuan lesbi dan satunya masih perawan, apakah mereka juga pernah memakai sex toy? Apakah mereka juga suka nonton film blue sesama jenis? Setan belang, aku semakin ngaceng!

Kupanggil Umi dan Siti ke dalam, aku sudah merebahkan diri di tempat tidur, hanya memakai sarung dan kaos oblong cap kijang. "Sekarang kita istirahat, di sini bersama-sama, apa yang terjadi di sini...."
"Tetap ada di sini!" Mereka menyaut cepat dan kompak.
"Ayo, bersih-bersih sana kalian, lalu tidur bareng-bareng kita"

Berdua mereka masuk kamar mandi, setelah keluar, Umi sudah melepas kerudungnya, begitu pula Siti yang tampak malu-malu. Umi duduk dan kemudian berbaring di sebelah kananku, Siti ragu namun aku menyuruhnya tidur di sebelah kiriku. Kami berada dalam diam sekitar 3 menit, lalu aku memulai berbicara, "kalau kalian bercinta, bagaimana caranya? Apa ada yang dimasukkan? Siapa yang jadi lelaki dan siapa perempuannya?"
Tidak ada yang menjawab, Umi memelukku, "Sudah, tidur!"
"Wah ini gak adil, Siti juga boleh peluk aku". Tangan kiri Siti kutarik agar memelukku, sempat menyenggol susunya yang terasa lebih sintal dari punya Umi.
"Bagaimana kalau Siti kunikahi saja? Jadi gak perlu kawin sama juragan kapur itu dan kalian tetap bisa bersama, rahasia terjaga? Bagaima?"

Umi, mengangkat tangannya, lalu duduk tiba-tiba, "Benar juga Ti! Kamu mau tidak? Toh akan sama saja nanti keluargamu aku dan Mas Syam bantu!"
Siti menjawab, "terserah mbak saja..."

Lalu, suasana menjadi lebih hangat, candaan mesum pun dikeluarkan, rencana-rencana diungkapkan, aku sih peduli setan, yang penting bisa ngewe dua lesbian. Ha ha ha ha!

"Ya sudah, Siti sekarang jadi istri keduaku, urusan penghulu besok kita atur!"

***

Lalu, aku mulai dengan membuka kaos dan sarung, telanjang bulat aku diapit dua perempuan, yang satu kurus putih yang satu agak gelap sintal. "Ayu kita lakukan malam pertama kita ti, kamu bisa balas dendam sama Mbak mu, biar dia nonton" satu cubitan kecil mendarat di pinggangku, Umi yang melakukan.

Aku mulai mencium kening Siti, matanya, pipinya, bibirnya, lehernya. Dia terdiam, matanya terpejam. Kemudian aku beralih ke Umi, kucium dia perlahan dan kubuka seluruh pakain yang dikenakannya. Kuangkat dia di atas tubuhku, badannya yang kecil menggeliat namun tangan dan wajahnya justru ke arah Siti yang masih terpejam. Badan telanjang umi di atas tubuhku, wajahny menciumi Siti dengan emosi, sementara tangannya menarik baju kurung Siti ke atas, hingga melewati kepala dan tampaklah gundukan payudara tertutup bra.

Siti membalas ciuman Umi, tangan kiriku mengusap permukaan kelamin Siti dari atas permukaan kain rok panjang yang dia pakai. Rok berbahan kaos itu tidak cukup tebal untuk menyembunyikan texture vagina Siti yang tembem dan hangat, terasa juga rambut kemaluannya dari permukaan kain. Mungkinkan Siti tidak memakai celana dalam? Aku lalu memastikan dengan menyibakkan rok itu dan melanjutkan rabaanku pada vaginanya. Hangat dan lembab serta empuk kenyal terasa, sementara di tengah belahannya terasa basah.

Aku menggeser Umi agar dia kembali terlentang, lalu Siti kutarik, agar naik ke atas tubuhku yang terlentang. Sambil aku buka seluruh kain yang menempel di tubuhnya. Kami bertiga telanjang bulat tanpa kata, hanya sesekali terdengar kecupan, jilatan dan lenguhan. Sensasi bergumul dengan dua perempuan bugil sungguh luar biasa, aku laksana kesurupan sesuatu, antara sadar dan tidak, antara terpejam dan melek.

Empuknya kasur membuat pergumulan ini menjadi tidak leluasa, tidak ada tumpuan kokoh untuk posisi-posisi sulit. Aku minta mereka turun dari ranjang, kutarik selimut tebal ke lantai, lalu kami berpindah. Aku memposisikan diri terlentang, Umi aku minta berlutut di atas kepalaku, menghadap ke arah kakiku lalu aku arahkan Siti pada posisi yang sama namun menghadap Umi. Kedua selangkangan mereka berhadap-hadapan di atas wajahku, sementara agak jauh di atas, dua pasang susu bertemu saling menyentuh, lebih atas lagi dua pasang tangan berpegangan erat dan di puncaknya dua wajah perempuan bertemu berciuaman bibir.

Aku jilat dan kecup bergantian kedua kelamin yang sama-sama memerah, melembab dan menghangat di wajahku. Sesekali aku gigit dan sapu dengan lidah klitoris mereka, juga sapuan-sapuan basah di kedua lobang anus yang aku yakin sudah bersih permukaannya. Kelaminku yang keras mendongak terabaikan.

Umi mulai meracau tampaknya dia akan mencapai orgasme, tercium aroma kacang goreng samar-samar dari kelaminnya, Siti pun melenguh-lenguh dan tercium bau bayclin samar-samar dari lobang kelaminnya. Aku menggeser pinggul Siti ke arah pinggangku, kuarahkan kelaminku pada lobang kelamnnya yang sudah licin basahdan hangat. Badan Umi yang kecil mengikuti tubuh Siti, sementara vaginanya ditempelkannya kuat-kuat di permukaan mulutku. Aku menghisap keras klitorisnya sambil menekan pinggulku ke atas menancapkan kelaminku dalam vagina Siti.

Desahan kuat Umi, dibarengi jerit tertahan Siti ketika kelaminku berhasil menembus hymen selaput keperawanan Siti. Gerakan pinggulku kupercepat, agak kesulitan dengan posisi ini, namun kemudian Umi membantu Siti agar pinggulnyalah yang bergerak naik turun.

Emosi, rasa, gairah dan sensasi sensual menyelimuti kami, ketika kemudian Siti mencapai orgasme yang kedua kalinya dan aku mencapai ejakulasi. Lalu terasa gelap, entah tertidur entah pingsan yang kurasakan karena saking enaknya.

***

Aku terbangun oleh ketukan di pintu kamar, aku melirik jam dinding, kulihat pukul 8:30. Hari telah berganti pagi rupanya, aku memakai sarung dan kaos yang tercecer. Lalu membuka pintu kamar, suasana ramai di luar, Bapak Kiai tidak tampak, yang kelihatan Ibu Nyai dikelilingi santri putri, tampak lemas terduduk dan berlinang air mata.

Akhirnya aku mengetahui bahwa, Umi, Siti dan Mbok Ratmi telah tewas. Mobil Carry Pick Up yang disopiri Umi menabrak pohon Randu di Kuburan Ngujang, ketika mereka membawa Mbok Ratmi ke RS di Kediri karena mengamuk dan kemudian pingsan setelah dicegah masuk kamarku untuk memburuku.

Aku terduduk tertegun, gelang manik-manik batu kristal yang kudapat dari Pak Tabak berpendar dan tiba-tiba 3 butirnya berubah menjadi berwarna merah terang sementara yang lain tetap putih bening.


Masih akan berlanjut ....
 
Terimakasih atas perhatian dan komentar para suhu semua, senang jika kisah ini disuka.

Salam
 
semoga bukan karena Citra yg "nagih" pada Syam..atau perjanjian Citra dengan Pak Tabak
 
Bimabet
Weh.. mantep bener nih cerita..

Konfliknya dalem dan ruwet..


Trus tugas dari mida gimana tu Hu..?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd