Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    497
***

Pulang sih pulang. Tapi faktanya, saat baru saja aku keluar dari area hutan, mesin motor Beat mendadak mati di tengah jalan. Susah jelas ini penyebabnya adalah oli!

Benar. Aku tidak sedang berdusta. Saat kulihat dan aku cek, olinya kering. Sedikit pun tak keluar.

Aku berdiri dari posisi jongkokku. Menatap Tante Ima yang sedang duduk di bawah pohon sambil makan kuaci. Ia balas menatapku tanpa dosa.

"Tante Ima." Aku memanggilnya dengan wajah sebal. "Bisa jelaskan ke aku, gimana ceritanya motor Tante nggak ada olinya sama sekali?"

"Anu ..." Tante Ima garuk kepala sambil tetap mengunyah, "Tante yo ndak tahu, Be. Biasane Ommu seng benerin." (Tante ya tidak tahu, Be. Biasanya Ommu yang benerin.)

"Kapan itu?" selidikku dengan mata menyipit. Semoga saja jawaban yang Tante Ima berikan tak sesuai prediksiku.

Tante Ima berpikir sejenak. Takut-takut, ia menyahut, "Ada setahunan."

"MATENG KON!" (MATANG KAMU!) aku menghentak-hentakkan kaki di tanah. Menjambak rambut frustasi. Sudah cukup kebodohan hari ini. Waktunya aku berubah jadi batu. Enak, diam saja tidak perlu kerja keras. Cukup menikmati setiap kekonyolan yang tersaji di depan mata.

Tante Ima menghela nafas. "Bukan salah Tante juga, lah, Be. Ommu tuh yang ndak perhatian sama Tante. Motor Tante aja ndak pernah diurus, apalagi Tante sendiri."

"Malah curhat. Ya wes, sekarang di mana bengkel terdekat, Te?"

"Ya di desa kita, Be. Samping rumahnya Pak RT ada bengkel yang dikelola sama anaknya."

"Oke."

"Apanya yang oke?"

Aku berdecak. "Ya oke. Kita jalan. Tante naik sini, biar aku yang nuntun ini motor butut."

Pipi Tante Ima menggelembung sok marah. "Jambret. Jangan ngatain motor Tante butut, Be."

"Iya, iya. Duh! Cepetan naik, Te. Mendung ini."

Sambil merogoh bungkus kuaci dan mengambil biji matahari di dalamnya, Tante Ima menghempaskan bokong semoknya di atas jok motor. Duduk tegak memasang tampang lempeng-lempeng saja. Ini orang apa ote-ote, sih, jancok?!

Tanpa mengeluh, segera kutuntun motor, berikut seluruh barang bawaan beserta betina kampret yang nangkring di atasnya.

Beberapa meter kemudian, sesekali aku berhenti untuk sekadar mengambil nafas panjang. Keringat mulai bercucuran. Panasnya mentari di siang hari tak bisa diabaikan. Lelah fisikku terasa berlapis-lapis. Sekuat-kuatnya tenaga yang kumiliki, pun ada batasnya. Tak menampik sebuah fakta jikalau tanganku mulai kram. Kakiku hampir copot.

Tak ada percakapan untuk 45 menit ke depan. Aku yang konsentrasi untuk menyelesaikan tugas, Tante Ima yang kali ini beralih fokus dari makan kuaci ke rokokan sambil minum minuman dingin.

Aku meliriknya sekilas.

Sementara Tante Ima hanya nyengir, sebelum menawarkan, "Sebat dulu, bro."

"Sebat udelmu bodong!" cetusku, sebal.

Hahahahahaha!

Tawa Tante Ima sungguh meledek. Ingin rasanya aku tampar bibirnya yang tipis itu dengan si Palu Gatot. Bajingan.

"Gimana, Kapten?" Palu Gatot mulai menggeliat bangun dari tidurnya. Tanpa kusuruh, kepala dan badannya mulai mencari posisi nyaman untuk tegak lurus. Namun, apalah daya celana dalam yang kugunakan sedikit ketat. Alhasil si Palu Gatot sedikit miring ke kiri.

"Nggah usah gimana-gimana kamu! Sini gantiin aku nuntun, kontol!"

"Aku tahu, aku kontol. Cuma kamu mikir, lah, Kapten. Mana ada aku tangan? Ada pun, aku nggak bakal bantuin kamu. Hahahaha."

"Cok. Kalau mau ngolok, mending kamu tidur aja sana. Bikin emosi yang ada."

"Idih! Sok iye lu, serundeng Belgia."

"Oh, cacing Suramadu."

"Maksudmu panjang dan besar, kan, Kapten?"

"Jelas kecil kayak ketombe, lah!"

"ASU!"

"Kamu asu apa kontol?"

"Kamu yang asu, aku yang kontol."


Plak!

Aku tepes si Palu Gatot karena berisik. Tindakanku ini jelas saja mencuri atensi Tante Ima. Yang kemudian, ia menegur, "Kenapa titidmu, Be?"

Aku kembali melirik Tante Ima sebentar. Pandanganku justru jatuh pada wajahnya yang berkeringat. Kaus ketat yang ia kenakan juga basah. Mempertontonkan bra hitamnya yang menyembunyikan dua bongkahan gunung segar di siang hari.

Mungkin melihatku yang tak kunjung menyahut, Tante Ima berkata lagi, "Awas timbilen matamu, Be." (Awas bintitan matamu, Be.)

"Babahno. Salahe Tante dewe nggawe klambi kok ngetat koyok ngunu." (Terserah. Salahnya Tante sendiri pakai baju kok ngetat seperti itu.)

"Jambret. Tak culek nggawe sunduk cilok, lho!" (Jambret. Aku colok pakai tusuk cilok, lho!)

"Bahaya, Te. Mending culeken nggawe pentil." (Bahaya, Te. Mending colok saja pakai puting.)

Bletak!

Tante Ima memukulku dengan ujung botol. Sakit sekali. Tetapi, aku dengan kurang ajarnya terus mengamati payudaranya tanpa berpaling. Mata jahanamku seakan terpaku tanpa bisa dikendalikan. Sungguh mata laknat.

Langkah demi langkah aku lalui menyusuri jalanan aspal menuju Desa Gentengan.

Perjalanan melelahkan bak kura-kura membawa kulkas tiga pintu cukup mengurus stamina.

Dan nasib buruk kembali datang.

Adalah langit siang dengan awan hitam yang terbayang di atas. Suara guntur, berikut kilatan petir yang bersiap menurunkan hujan sedang mengambil ancang-ancang.

Melihat hal itu, aku percepat langkah kakiku. Kedua tangannya semakin erat memegangi setir motor.

Tik, tik, tik!

Rintik gerimis menghantam wajahku. Mengundang reaksi Tante Ima yang mengatakan untuk menepi.

Tak disuruh pun, aku lakukan. Gila apa mau mandi hujan dengan fisik yang mulai lelah? Bisa-bisa aku tumbang. Kemungkinan terburuk aku mati kedinginan di tengah jalan. Apa aku berlebihan? Tentu saja tidak, bajingan. Aku itu meski memiliki fisik kuat, tetap saja aku rapuh soal hujan. Sebagian orang menikmati, bahkan rela mandi hujan. Kalau aku lebih ke arah menghindari. Sebab, diriku dan si Palu Gatot punya riwayat buruk seputar hujan.

Mau dengar?

"Dengar matamu itu! Cepat selimuti aku, bodoh!" si Palu Gatot membeo dari balik celana. Suara marahnya seperti kucing yang telat diberi makan.

Tanpa menggubris omelan si Palu Gatot, aku menuju ke sebuah pohon besar di pinggir jalan pada jalur kiri.

Sejurus, standar motor kuturunkan, Tante Ima turun dengan sendirinya. Berjalan agak cepat berlindung di bawah pohon dengan dedaunan rimbun. Setidaknya pohon tersebut bisa melindungi dari air hujan yang perlahan mulai deras.

Sesaat setelah aku mengambil posisi duduk di salah satu akar besar pohon yang menjorok keluar. Aku mengeluarkan rokok yang agak gepeng. Lalu, aku membakarnya. Lalu, aku mendongak menatap Tante Ima, sebelum bertanya, "Ada jas hujan, Te?"

"Ada, Be. Tapi jas hujan tipe training."

"Satu stel, gitu?"

"Iya. Terus gimana, Be?"

"Ya udah Tante yang pakai. Aku gampang."

"Ndak usah. Kita tunggu reda dulu," sahut Tante Ima dengan suaranya yang bergetar. Menggigil kedinginan.

Aku tak menyahut. Kembali aku sibuk menghisap rokok dalam-dalam. Pandanganku lurus ke arah jalan. Hembusan angin hujan begitu menenangkan. Sedikit banyak membuatku nyaman, dan tanpa sadar bersandar pada batang pohon. Santai. Rileks sejenak.

Terciptanya keheningan di antara kami bertahan cukup lama. Aroma hujan menjadi bumbu pemanis senyap terbaik dalam lamunan.

Sampai tak lama ....

"Kobe," panggil Tante Ima. Ia menatapku dengan sorot aneh.

Aku yang kebetulan mendongak menatap Tante Ima, jelas saja mengernyit bingung. Pasalnya, kedua tangan Tante Ima menyatu dengan kesepuluh jarinya digerakkan gelisah.

"Kenapa, Te?" akhirnya aku menyahut setelah terdiam beberapa saat mengamati gelagat tidak biasa Tante Ima.

"Kebelet pipis."

"Ya tinggal pipis, lah. Tante pakai popok, kan?" candaku.

"Untumu rompal! Mbok kiro Tante balita, ta?" (Gigimu rontok! Kamu kira Tante balita, kah?) cetus Tante Ima dengan mata melotot.

"Terus aku kudu piye? Mangap ngadahi uyuhe Tante seng pesing iku?" (Terus aku harus bagaimana? Membuka mulut menampung kencingnya Tante yang pesing itu?)

"Adoh! Capek Tante ngomong sama kamu, Be, Be. Peka dikit napa sama cewek. Ihhh!"

"Tante luarnya aja kayak cewek. Dalemnya kayak gorilla."

"Apa? Coba ngomong lagi?" Tante Ima menjewer telingaku sampai aku otomatis setengah berdiri. Benar-benar dijewer penuh tenaga. Tenaga gorilla.

"Aduh, duh, duh! Ampun, Te! Maap, maap. Ampuni hamba, Baginda Ratu. Hahahaha." Melasku, sambil tertawa sumbang.

"Huh!" Tante Ima menarik telingaku lagi, sebelum akhirnya melepaskan. Setelahnya, menatapku sebal dengan sorot menggoda. "Kamu nggak sopan ngomongin dalaman Tante. Emang pernah lihat?"

"Belum, sih. Tapi kayaknya bentar lagi lihat."

Alis Tante Ima terangkat satu. "Nenekmu masih kurang?"

"Bukan kurang. Kalau ada kesempatan, ya kenapa tidak dimanfaatkan dengan maksimal? Logika sesimpel itu." Aku menjawab enteng. Lalu, mengambil sebatang rokok lagi. Membakarnya.

"Punya Tante udah jelek. Bagusan punya Nenekmu." Tante Ima merendah hanya untuk memancing.

"Menurut aku ..." aku menjeda. Mengamati lekat dari wajah, dada, perut, pinggang, hingga dua pahanya yang berisi. Lalu, aku meneruskan, "Tante masih seksi, kok. Kalau aku punya uang banyak, aku mau permak Tante sedikit, terus aku jadiin istri."

"Gendeng. Apanya yang perlu dipermak? Terus kenapa dijadiin istri juga?" meski bernada galak, dapat kulihat semburat merah di pipi Tante Ima hanya karena pujian spontanku. Bisa gitu, ya?

"Tuh, mulutnya Tante suka kotor kalau udah ngomong. Nanti aku permak biar bunyinya agak merdu dikit. Desah namaku sambil ngulek-ngulek di atas, misalnya." Lontaran ucapan kelewat kurang ajar dariku langsung mendapat lemparan gincu. Aku hanya tertawa cekikikan sambil mengacungkan dua jari. "Damai, damai. Bercanda aja aku, Ndoro Putri."

"Awas, ya! Tante laporin ke ommu! Sekalian Tante bilangin ke Mbak Ami!" ancam Tante Ima, serius.

Rokok kuhisap. Kutatap mata Tante Ima untuk beberapa lama. Kemudian, aku berdiri tegap. Mendekatinya. "Bisa nggak Tante ngomongnya santai aja, nggak usah teriak-teriak? Menurutku, Tante jauh lebih cantik kalau kalem, lho."

"Apaan, sih?" Tante Ima kalah adu tatap. Ia buru-buru menunduk, dan kembali memainkan jemari tangan.

"Tante Ima," panggilku, lembut. Sebelah tanganku yang bebas kugunakan mengelus pipi Tante Ima. Terasa hangat dan mulus pipi itu saat kulit jempolku menyentuhnya.

"A-a-apa?" sahut Tante Ima, dengan masih bertahan tak ingin melihat ke wajahku. Mungkin insting wanita, Tante Ima melangkah mundur satu kali.

Telapak tanganku berpindah ke belakang kepala Tante Ima. Kudekatkan dirinya kepadaku agak kuat. Kupaksa ia mendongak untuk kami melakukan kontak mata.

Mata saling bertemu. Ada luapan perasaan yang tak bisa kutafsirkan dengan baik. Tapi satu yang jelas terlihat adalah sorot mata Tante Ima berubah teduh.

"Mungkin terdengar aneh. Tapi kayaknya aku jatuh cinta sama Tante. Gimana menurut Tante?"

Entahlah. Apa yang kuucapkan ini benar adanya cinta atau hanya sebatas rasa penasaran guna memuaskan nafsu akan ketertarikan dengan wanita yang berstatus bibiku ini.

Kendati demikian, wajah barbar serta cara bicaranya yang frontal, bertolak belakang akan tingkahnya yang seperti anak muda. Begitu malu-malu saat mata Tante Ima kadang menatapku, kadang pula melirik ke kanan-kiri.

Cup!

Bajingan.

Tanpa sadar, aku berani mencium bibir Tante Ima! Untuk kedua kalinya, aku merasakan lembut bibir seorang wanita. Di tempat yang sama. Di situasi berbeda. Tante Ima dan Nenek. Dua orang wanita yang memiliki pesonanya sendiri. Tak terkira aku bisa senakat ini.

Namun, alih-alih menghajarku seperti halnya Tante Ima menghabisi para begal payudara, Tante Ima justru memejamkan mata. Menyambut ciumanku. Membalasnya. Bibirnya terbuka sedikit.

Secara insting kelelakian, aku ikut membuka bibir. Kujulurkan lidahku menerobos bibir dinginnya. Menghisap. Mengecup. Bertaut. Kepala kamu sama-sama miring ke kanan. Dari sejuta perasaan gundah gulana penuh rasa bersalah, untuk sesaat terkalahkan oleh luapan rasa bahagia bercampur benih-benih cinta. Mengabaikan sejenak status sedarah di antara kami.

Aku buang rokokku. Kugunakan kedua tanganku memeluk Tante Ima. Mengelus punggungnya. Sedikit terasa stras bra yang menghambatku di sana. Di sisi lain, Tante Ima kian merapatkan badan ke arahku. Aku yang lebih tinggi dari Tante Ima, kontan saja tangannya yang halus merangkul tengkuk leherku.

Permainan mulut kami hanya bertahan dua menit tanpa sedikit pun melepaskan pagutan, Tante Ima yang pertama menyudahi.

"Kobe."

"Ya, Tante."

"Jangan ada cinta di antara kita. Baik kamu mau pun Tante harus tahu batasan. Kamu keponakanku, aku Tantemu. Selamanya akan seperti itu. Jadi ..." Tante Ima tersenyum manis. Mengelus rahangku sambil menatapku penuh kerinduan, "Tante harap kamu nggak godain Tante terus-terusan."

"Tante marah?"

"Tante cuma takut kalau cinta Tante ke kamu tumbuh lebih besar."

"Itu berarti ...?"

"Nggak tahu. Tante nggak tahu." Tante Ima menjulurkan lidah. Mengejek. "Sekarang kamu anterin Tante pipis, yuk. Kamu tega emang biarin wanita sendiri?"

"Gila! Dikira kita lagi di pom bensin, apa?" Tante Ima yang berusaha mencarikan suasana, aku pun turut menyambung dengan candaan agar canggung suasana melankolis di antara kami berakhir.

Sambil berkacak pinggang, Tante Ima berdecak semakin kesal. "Ck! Kan ini kita di jalan yang banyak pohon. Bisa di belakang pohon sana, tuh. Cepetan, Be. Sudah di ujung, nih!"

"Bersihinnya gimana, coba?"

"Kamu banyak omong!"

Dan setelah mengatakan itu, Tante Ima menarik paksa diriku untuk menuju ke rinbun semak-semak. Sebelum menjalankan misi buang air kecil di tempat semi tertutup, Tante Ima menyerahkan seluruh barang bawaannya untuk aku bawakan.

"Jangan ngintip, Kobe." Tante Ima mengingatkan, dan langsung melengos menuju semak-semak.

"Dikit nggak pa-pa kali!" seruku, karena suara hujan semakin keras saja terdengar.

Tak ada sahutan lagi dari Tante Ima. Benar adanya kalau wanita sudah kebelet tak lagi bisa dihentikan. Jangankan adegan ranjang, hal kecil seperti buang air kecil saja wajib hukumnya untuk dituntaskan kalau tidak ingin wajahmu terkena cakaran kuku-kuku gorilla betina satu ini. Bajingan.

Aku balik badan. Sesungguhnya ada hasrat ingin mengintip, tapi aku mengurungkan niatku. Toh, aku bukanlah tipikal lelaki mata keranjang. Tentu saja, hal-hal sepele seperti ini bisa berakibat fatal ke depannya kalau si yang diintip tidak terima. Kemungkinan terburuknya, telingaku bisa pindah ke bibir, dan bibirku pindah ke jidat. Asu!

Bersamaan dengan curah hujan yang semakin meninggi, sebuah pekikan keras dari balik semak-semak menggagetkanku. Itu ... suara Tante Ima!

"KOBE! TOLONG!"
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd