sandbitch
[Kembali ke ranjang....]
“Mbak Sita?”
“Hmm?”
“Kocok kontol saya, dong,” kata Pak Reksha dengan kontol di dekat tangan Sita.
Tanpa nego-nego, Sita meraih alat kelamin Pak Reksha. Dia genggam benda itu. Dia elus. Dia urut dari atas ke bawah. Atas-bawah. Atas-bawah.
“Ehmm... alus banget tanganmu, Mbak,” ucap Pak Reksha sambil mengamati cincin di jari manis Sita yang ikut naik-turun mengocok kontolnya. Sungguh, pemandangan yang tak biasa. Seorang wanita berjilbab yang sudah bersuami sedang menunggangi mertua dan mengocok kemaluan pria lainnya.
Sita, oh, Sita.
“Ahhhh...,” erang Pak Reksha, “yaahhh... gitu... hmmmm....”
Mengejutkan semua orang, Sita tiba-tiba berhenti memompa. Dia tolehkan kepala pada Basir dan berkata, “Mas Basir! Sini! Aku kocokin juga kontolnya.”
Melebar garis bibir Basir yang menggigit rokok putihan. Dengan mengepulkan asap dari lobang hidung, dia mendekat. Gondal-gandul pentungan raksasanya.
Karena saking panjang dan besarnya kontol Basir, Sita sempat kesusahan mengurutnya. Sukar dipercaya. Benda itu hampir sebesar lengannya! Benda itu tadi bersarang di dalam dirinya! Menyodok-yodok rahimnya! Mengaduk perutnya! Menumpulkan akal sehatnya!
Lewat kocokan tangan, Sita bertekad menyampaikan kekagumannya.
“Mbak Sita?” panggil Pak Reksha. “Haus ndak?”
Dengan berat hati Sita berpaling dari kontol Basir sebelum mengangguk pada Pak Reksha.
“Arak mau?”
“H-hmmmau,” kata Sita menahan pekik gara-gara Basir baru saja menampar satu payudaranya, “Paakkk....”
Pak Basuki menggeleng-gelengkan kepalanya saat kemudian dia saksikan menantunya meneguk habis minuman keras itu seakan-akan itu minumannya sehari-hari.
Ke mana Sita yang sebelumnya?
Yang batuk-batuk tadi?
Pak Basuki mengingatkan diri sendiri untuk... tidak mengkritisi. Malam ini merupakan malam terbaik dalam hidupnya. Dia tidak perlu bertanya. Ikuti alurnya saja. Karena, bagaimanapun juga, di sini dia bukan sutradara. Bukan dalangnya.
“Ahhh...,” desah Pak Basuki saat Sita kembali mengendarainya. Terpana dia pandangi payudara sempurna Sita yang bergoyang senada hentakan pinggulnya. Tahu berapa lama kontol-kontol Pak Reksha dan Basir bisa bertahan tetap keras, dia atur napasnya agar tidak merusak suasana.
Tiga menit pun lewat tanpa terasa.
“Sudah,” kata Basir merusak fokus Pak Basuki. Dia tarik lepas kontol kudanya dari genggaman Sita. Dalam diam dia mundur. Sebelum ada yang menegur, dia naikkan satu kakinya ke atas kasur.
“Wow! Wow! Wow! Mau apa kamu?” tanya Pak Reksha menghentikan usaha anak haramnya.
“Itu. Nyoba silitnya.”
“Eh?” kata Pak Basuki dan Sita serempak. Keduanya takut bergerak.
“Halah.” Pak Reksha menggelengkan kepalanya. Dia pandangi ketiga manusia lain di kamar. “Ya, mbok, dipakai kepalamu. Ambrol kasurnya kalau kamu naik.”
Yang terjadi selanjutnya adalah Pak Reksha mengomando Pak Basuki agar bergeser dari posisinya yang membujur menjadi melintang dengan kaki menggantung ke lantai. Dia pastikan keduanya mematuhi perintah tanpa melepaskan kelamin mereka. Dia kemudian meminta Pak Basuki mendekap pinggang Sita. Sita sendiri lalu dia minta menelungkup ke depan.
“Nah, gini, kan, enak.”
“Ini kita mau apa, Pak?” tanya Sita yang sekarang dikunci punggungnya oleh tangan-tangan mertuanya.
Pak Reksha mengedip jahil.
“Sudah. Manut saja. Bakal enak, kok.”
Sangsi, Sita menengok ke belakang. Dia tadi tidak salah dengar. Basir tidak bercanda. Raksasa itu sudah stand by di belakangnya. Jari tangannya bahkan sudah meraba, mengusap, mengelus lalu mengorek duburnya.
“Paaakkk,” kata Sita memelas pada Pak Reksha, “t-tolong jangan di situ!”
“Ck, cerewet kamu, ya.”
“Itu kooottooorrr....”
Merasakan kelembutan payudara Sita yang tergencet ke dadanya, Pak Basuki berdebar-debar menunggu. Kontolnya masih menancap. Dia masih bisa lanjut.
“Hmmmphhh... tapi, Pak?” kata Sita saat Basir memasukkan jari keduanya ke pintu belakangnya. Jari-jari itu menusuk, memutar-mutar, dan melebarkan anusnya. Rasanya sakit. Tapi juga nikmat. Perih. Tapi juga nagih.
“Wis. Emut kontol saya.” Pak Reksha menjambak jilbab kusut Sita. Dia tempelkan pusakanya ke hidung, mata, pipi, lalu mulut Sita. “Buka mulutnya.”
“Ngggak maaauuu....”
Sita terdengar seperti akan menangis lagi.
Pak Reksha bereaksi dengan mendongakkan kepala Sita, menampar pipinya, lalu meludah ke rongga mulutnya.
Cuuih.
"Telan!"
Pasrah, Sita menelan ludah Pak Rheksa.
Menatap mata berkaca-kaca si betina, pria tua itu lantas berkata, “Dengar, ya, Lonte. Kamu sekarang ini lebih hina dari bianatang jalang. Jangan sok nolak-nolak kita, ya. Baca suasana, dong. Katanya pinter. Katanya pernah kuliah. Hm?“
Sita mulai terisak. Air mata meleleh ke pipinya. Biarkan dia berdosa. Ternoda. Tapi jangan sentuh duburnya.
“Saya bisa bunuh kamu, Mbak,” kata Pak Reksha, tak tergerak. “Ngerti? Kenapa saya jauh-jauh bertamu? Kenapa saya usir demit dari rumah kamu? Hm? Karena saya mau tolong kamu. Kalau bukan karena saya, kamu masih akan penasaran. Kenthu yang bener itu bagaimana. Orgasme itu apa. Hm? Mudeng kamu?”
“P-pak?” Pak Basuki ikut buka suara.
“Apa?!”
“T-tolong jangan... kasar-kasar ke... menantu saya.”
“Kamu juga!” Pak Reksha menginjak muka Pak Basuki. “Mertua macam apa yang mau-maunya ikut ngenthu dia punya mantu? Heh? Jawab! Sok-sokan ngatur, ya. Main judi ndak berhenti-berhenti, kok, sok nguliahi.”
Hening.
Di luar kamar, Egi rasakan jantungnya berhenti berdetak. Kagum dia betapa Sita, ayahnya, dan Basir terperdaya kata-kata Pak Rheksa. Dia sendiri tak hendak memberontak. Sudah kepalang konak. Dia mau nonton lagi yang enak-enak.
“Sudah! Jangan ada yang rusak mood saya lagi habis ini!" Diam-diam Pak Reksha mengalihkan tatapannya dari pintu. Sejak beberapa saat yang lalu dia tahu, ada yang mengintip di sana. Dan dia tahu itu siapa. Dan dengan senang hati dia akan membuat orang itu membayar harga dari tindakannya.
“Sekarang,” kata Pak Reksha, hidungnya dan hidung Sita hampir bersentuhan, “Mbak tahu tugas Mbak?”
Kaku Sita mengangguk.
“Bagus. Ini!" Dia sodorkan kembali kontolnya yang sempat setengah melayu gara-gara emosi yang meninggi. “Isap!”
Patuh, Sita pun mencaplok kontol melengkung itu.
“Jangan pakai gigi!” salah Pak Reksha, tangan menampar kepala berjilbab Sita. “Nah, gitu. Pinter. Pakai lidahnya. Bijinya juga. Jilati.”
Menuruti perintah Pak Reksha tidak sepenuhnya merugikan Sita. Rasa takutnya pada pria itu membuat pikirannya sedikit teralihkan dari ganjalan kontol mertua di memeknya dan permainan jari-jari Basir di duburnya. Setelah beberapa lama, dia nikmati juga tekstur, bau, dan rasa kontol Pak Reksha. Dari yang tadinya masih setengah lembek, kontol itu mengeras. Tegas.
“Gerak woi,” kata Basir pada Pak Basuki.
“E-eh, iya.”
Sebisa-bisanya Pak Basuki menyodok-nyodok memek Sita. Tanpa adanya alas untuk kakinya berpijak, harus diakui; tugasnya jadi lebih susah dari yang seharusnya. Sesekali dia remas tetek menantunya agar lebih semangat memompa.
Mendapati lendir kembali meleleh dari vagina si perempuan alim, Basir setengah menyeringai. Dia gunakan pelumas alami itu untuk melonggarkan anus Sita. Secara sabar dia tunaikan bagiannya. Dari dua jari, sekarang dia bisa memasukkan tiga. Otot-otot anus yang tadinya kencang menolak usahanya kini juga sudah mulai mengendur. Mulai rileks. Mulai menerima. Namun begitu, Basir enggan buru-buru. Jika ada yang dia pelajari dari ayahnya, hal itu adalah kesabaran. Adalah memanfaatkan peluang.
Omong-omong soal peluang, sekarang adalah saat yang tepat bagi Egi untuk berhenti mengintip. Dia mendengar semua obrolan mereka. Dia tahu apa yang akan terjadi. Istrinya akan dinikmati tiga laki-laki sekaligus. Vagina, mulut, dan anusnya akan diisi kontol-kontol yang lebih besar dari kontolnya. Dia tahu kelanjutan adegan hanya akan menghancurkan harga diri, jiwa, serta semangat hidupnya.
Akan tetapi, entah mengapa, dia bertahan.
Apa karena burungnya perlahan mulai bangun lagi?
Benarkah dia menikmati pemandangan istrinya disetubuhi pria-pria lain?
Apa yang salah dengan dirinya?
Kenapa tidak dia labrak saja mereka?
Kita tinggalkan Egi dan pertanyaan-pertanyaannya.
Di tepi ranjang, Pak Reksha sedang menikmati blow-job pertamanya dari Sita. Tidak buruk. 7/10. Selapan lagi dilatih dan servisnya akan luar biasa.
Halus dia elus jilbab si akhwat. Beberapa kali bahkan dia memintanya berhenti agar bisa dia rapikan kain yang sudah acakadul itu. Dia tidak bercanda saat dia bilang ke Sita agar tetap memakai hijabnya. Baginya, ada ironi yang indah di sana. Sebinal-binalnya Sita setelah malam ini, dia ingin betina itu tidak kehilangan jati dirinya. Agar terus ingat. Bahwa sebelum menjadi pelacur nista, dia adalah muslimah alim yang taat beragama.
“Sudah?” tanya Pak Reksha pada Basir yang belum juga mengarahkan torpedonya ke lobang pembuangan Sita. Tak biasanya pemuda itu berlama-lama menyantap hidangan yang satu itu.
Pernah bahkan suatu ketika Basir menyodomi seorang klien mereka yang bahkan tidak dia beri aba-aba. Pingsan ibu-ibu pengajian beranak dua itu dibuatnya. Tindakannya tidak sepenuhnya keliru. Toh, pada akhirnya, ibu-ibu yang juga istri kepala desa itu jadi budak seks mereka juga.
Jika sekarang Basir memutuskan untuk belajar sabar; bagus. The thing is... Pak Reksha sudah tidak sabar men-deepthroat Sita. Dia ingin wanita itu meminum pejuhnya. Belum afdol dia memperbudak mangsanya jika si budak belum menelan saripati kelelakiannya.
Dan untuk deepthroat itu dia harus yakin Sita tidak akan menggigit putus kontolnya. Dia sudah melihat silit wanita berjibab itu. Tidak yakin dia Sita akan begitu saja bertahan menerima kontol Basir di anusnya. Pasti akan ada reaksi luar biasa nantinya.
Daaan, benar saja.
Ramalan itu menjelma nyata.
Segera sesudah Basir selesai menyiapkan Sita yang ditandai dengan beberapa kali meludahi lobang tujuannya, Pak Reksha tarik kontolnya. Dia lepaskan pula kepala wanita itu. Hampir seketika Sita menggertakkan giginya. Wajahnya berkumpul di satu titik. Sekujur badannya mengejang. Basir sudah mulai mencoba memerawani duburnya.
“AAAAAHHHHRGGHMMMMM!!!!”
Sita medesah, melenguh, menjerit, mengerang, dan menggeram di satu waktu. Bukan main sakit dia terima di anusnya. Rasanya tubuhnya seperti mau dibelah dua. Air mata menyeruak dari pelupuk mata.
Fakta bahwa Pak Basuki berhenti mengayun kontolnya dan Pak Reksha membiarkan mulutnya kosong sama sekali tak membantu. Segenap fokusnya kini berpusat pada otot-otot duburnya yang menjeritkan berjuta lara.
“Aaahhduhhhhh.... Aaahhhh.... jangannnn dimasukiiinnn.... laaaagiii.... udahhhh.... pliiiiss.... plisss......”
“Rileks, Mbak. Jangan dilawan. Malah sakit. Tenang. Santai. Tarik napasnya. Ikuti saya. Tarik... lepas.... tarik... lepas.... Ya, gitu. Tarik... lepas... tarik.. lepas....”
Metode tarik-ulur yang serupa namun berbeda Basir terapkan juga di silit Sita. Dia dorong kontolnya, lalu diamkan, lau tarik, untuk kemudian dia dorong lagi. Setiap dia menarik, lingkar anus Sita ikut tertarik. Saat dia mendorong, lobang itu melesak. Dia ulang-ulang sampai akhirnya amblas juga kontol berkulupnya. Anus si wanita yang tadinya tak seberapa itu kini sudah bersedia menampung batang perkasanya. Pipi pantatnya terlihat kian membulat saja.
“Gimana? Enak, kan?” tanya Pak Reksha di depan wajah Sita yang berlinang air mata. Sempurna sudah dia menjadi mainan mereka. “Jangan nangis. Nagih nanti, kok.”
Pada Pak Basuki yang merah-padam kesusahan menahan diri agar tak negcrot dini, dukun itu berkata, “Ayo, Pak. Genjot lagi. Biar nanti Basir nyusul.”
Sita bersyukur sakit di anusnya ternyata... mereda setelah beberapa lama. Sodokan kontol mertuanya juga sedikit banyak membantunya bernapas lebih lega. Karenanya, ketika Pak Reksha menyodorkan kontol melengkungnya, dia sambut suguhan itu tanpa banyak kata.
Pelan Sita rasakan kemudian kontol yang mengisi duburnya ditarik, lalu dihentakkan lagi. Ditarik. Dihentakkan lagi. Sakit. Sakit sekali. Tapi, agaknya... dia akan terbiasa. Sebelum Sita menyadari, tiga lobangnya sudah bekerja optimal memuaskan mereka yang menggarapnya. Ketiga-tiganya selalu ada yang mengisi. Entah itu silih berganti atau bersama-sama.
“Splookkk.... splokkkkkss... splokkkkk... splokkk...”
“Aaahhh... ahh.... sempit... banget.... silitnyaaa.....”
“Glooookkhh... glokkksss... hloookkkss...”
“Ahhh... ughhh.... anget banget mulutmu Mbak Sitaaa....”
“Plokkkss... plokss... ploks....”
“Enghhh.... enghhh.... tempikmu enak banget... Si.. ihhh.... taahhhh....”
Masuk-keluar-masuk-keluar-masuk-keluar kemaluan para bedebah itu di lobang-lobang Sita. Harus Egi akui, luar biasa istrinya itu. Bukan saja tidak pingsan dikeroyok sedemikian rupa, lama-lama dia yakini juga Sita bisa mengimbangi para penjantannya. Goyangan pinggulnya. Getaran pantatnya. Anggukan kepalanya. Ayunan buah dadanya. Dan, mahkotanya yang tidak lepas dari kepala.
Ada bangga yang menunggangi cemburu dalam dada sesak Egi.
Pak Reksha juga bangga.
Bangga dia akan keberhasilannya menaklukkan Sita. Bangga dia pada Sita yang memenuhi ekspektasinya. Dan lain dari Egi yang menyimpan bangga itu untuk diri sendiri, Pak Reksha bersuka cita mengumumkannya.
“Siiiitaaa.... kammu luar biasa,” kata Pak Reksha empat menit sesudahnya. Dia tanjapkan kontolnya sedalam mungkin ke kerongkongan Sita dan dia diamkan di sana. Wanita itu menatapnya tak berkedip. Kecantikannya berlipat ganda. Apalagi saat panik memancar dari sana ketika kontol yang dia kulum memuntahkan laharnya.
Croott... crooott... crottt....
Karena tersumpal, Sita tak punya pilihan selain menelan seluruh pejuh Pak Reksha. Dan anehnya, dia menyukainya. Kenapa dia baru mengicipinya sekarang? Ke mana saja dia?
“Aaahhkk... aaku....,” erang Pak Basuki dari bawah Sita, “keeluaaar!”
Sita rasakan rahimnya kembali penuh. Kali ini oleh pejuh mertuanya. Ayah dari suaminya. Laki-laki yang seharusnya menjadi kakek bayinya.
“Gimana, Mbak?” tanya Pak Reksha sambil menarik lepas penisnya; yang lagi-lagi masih keras seperti ketika pertama kali dia gunakan menggasak Sita. “Enak, to?”
Meski mulas, Sita tampak puas.
“Sir?” Pak Reksha panggil anaknya yang lagi asik menampar-nampar pantat Sita. Yang lagi seru menggempur silit si akhwat. “Masih lama?”
Basir mengangguk saja. Tidak ada yang meragukan si raksasa. Dia bisa mengenthu Sita sampai shubuh kalau perlu.
“Ganti posisi.” Pak Reksha menepuk ubun-ubun Pak Basuki yang seenaknya saja tidur di bawah tubuh molek menantunya. Sita sendiri tampaknya akan ikut ngorok kalau dibiarkan. Kepala wanita itu terkulai lemah di leher mertuanya. “Aku mau pastikan Mbak Sita bunting.”
Tanpa kesulitan Basir mengabulkan permintaan ayahnya. Tangan-tangan kekarnya mengait di ketiak-ketiak Sita. Dalam satu tarikan napas dia angkat Sita dari dada Pak Basuki. Kontolnya masih bersarang di anus wanita berhijab itu. Semakin dalam malah gara-gara dibantu bobot tubuh Sita.
Sesudah Pak Basuki menyingkir, Basir empaskan punggungnya ke kasur. Dengan kaki-kaki masih memijak lantai, kembali dia aduk-aduk silit wanita di atas perutnya. Kuat dia cengkeram gunung kembar si akhwat.
Tak ingin ketinggalan, Pak Reksha pun menempatkan diri di depan lobang tempik Sita yang belepotan sperma. Bibir memek itu dower. Jauh berbeda dari ketika dia temukan untuk kali pertama. But it doesn’t matter. Lobang peranakan itu masih salah satu yang terenak yang pernah dia rasakan. Penuh nafsu dia lesakkan kontolnya.
Bleesshhhhh.
Kan? Masih menggigit gila. Sembari membentangkan paha Sita, dia pun kembali menggenjot betinanya.
Dalam posisi di-sandwich semacam itu, secara sadar Sita menyerahkan kesadarannya. Dia sudah tidak harus banyak bekerja. Bapak dan anak itu tahu dia telah mencapai batasnya. Sebagai tuan rumah, dia sudah memuliakan tamu-tamunya. Dengan senyuman di wajahnya, dia pun memejamkan mata.
~bersambung