Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Nyi Kinarah

Duckkler

Semprot Kecil
Daftar
11 Apr 2017
Post
94
Like diterima
923
Bimabet
Halo semua,
Permisi untuk pertama kali menaruh tulisan di sini. Ini kisah fiksi buatan saya sendiri, tidak ada hubunganya dengan manusia hidup di dunia nyata. Pastinya bukan pengalaman pribadi.... hanya bercerita saja.

Mohon komentarnya ya. Kisah ini sudah bersambung beberapa bagian, tapi belum selesai. Moga-moga bisa diselesaikan di sini.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kawin dengan Orang Sekampung

Matahari itu nampak terik di langit yang biru. Tidak ada tanda-tanda awan. Angin berhembus kencang, menebarkan debu di sepanjang jalan. Ki Lurah menatap khawatir ke patok bambu yang menandai sumber air. Kering. Bencana kemarau ini sudah terasa berat bagi semua orang.

"Malam ini, kita ke Ki Gondolangit," kata Ki Lurah pendek. Kepala desa itu berjalan tertunduk. Kalau alam sudah murka begini rupa, mau apalagi?

Rumah Ki Gondolangit hanyalah sebuah gubuk sederhana, dengan dinding dari bilik bambu, serta sekat-sekat kayu tipis. Di tengah rumah ada ruangan yang luas, hanya ada sebuah tikar besar di sana. Ki Lurah dan para tetua desa sudah berkumpul. Ki Gondolangit yang tua renta itu, umurnya lebih dari 90 tahun, berada di tengah, duduk bersila. Matanya terpejam, sementara sebuah bokor berisi dupa menyan melepaskan asapnya perlahan-lahan.

"Penguasa alam ini murka karena kelakuan manusia," kata Ki Gondolangit dengan suara rendah. Matanya masih terpejam. "Kemarau panjang ini kutukan. Untuk menebus kutukan, pertama-tama semua orang harus eling." Ki Lurah dan para tetua yang mendengarnya manggut-manggut. Beberapa yang selama ini sudah korupsi, mukanya menjadi pucat. Tidak ada lagi kenyamanan lebih dari memaling uang kas desa.

"Tapi itu saja belum cukup. Harus ada persembahan. Harus ada laku kinarah di desa kita," kata Ki Gondolangit melanjutkan dengan khidmat. Tangannya terangkap di depan dada. "Dengan mempersembahkan darah dan mani, kita harus menjadi satu dan baru boleh bebas dari bahaya."

"Kinarah, Ki?" tanya Ki Lurah. Suaranya gemetar. Ini adalah ritual yang sudah amat sangat tua, yang hanya pernah terdengar sebagai cerita dari masa lalu. Dari kepercayaan masa lalu, untuk mempersembahkan darah dan mani. Darah perawan. Mani semua lelaki dewasa. Semua disatukan dalam satu liang, milik perawan desa yang paling cantik rupawan. Dan itu, adalah anaknya sendiri, Renggani.

Renggani, gadis yang periang itu, umurnya sudah 17 tahun. Tinggi semampai 170 centi, rambutnya hitam sepinggang, matanya bulat besar warna coklat, tulang pipinya tinggi, kulit wajah dan tubuhnya halus kuning langsat tak ada jerawat. Dadanya besar membulat. Renggani yang cerdas, hampir lulus SMA, dan ingin kuliah seni rupa di Bandung. Gadis yang diinginkan semua pemuda kampung, tapi belum ada yang mau diterimanya. Kalau ritual kinarah ini dilakukan, pasti anaknya yang harus jadi korban.

Tapi Ki Lurah adalah Kepala Desa yang harus mau berkorban demi rakyatnya. Semua tetua telah memandangnya, semua sudah paham apa yang harus terjadi. Renggani harus mau, kalau perlu dipaksa, demi kehidupan mereka semua. Merekapun bubar diiringi angin yang meniup debu. Ki Lurah semakin dalam mengkerutkan kening dan wajahnya.

Berita itu disampaikan Ki Lurah pada tengah malam itu juga. Ia memanggil istrinya dan Renggani dan menceritakan semua yang terjadi. Karuan saja, Renggani menangis sejadi-jadinya, menolak, tidak mau! Tapi Ki Lurah tidak punya pilihan. Kalaupun ia menolak, warga akan memaksa. Ia juga akan kehilangan jabatannya. Ini adalah demi kehidupan mereka, kehidupan desa. Ki Lurah memandang istrinya yang menangis, matanya merah sembab. Namun sang istri ini mengerti situasi, jadi ia terus beranjak ke kamar Renggani untuk membujuk anaknya ini.

Keesokan paginya, Renggani sudah duduk bersimpuh di hadapan ayahnya. "Baik ayah, Renggani bersedia, demi ayah dan desa kita...." katanya lirih. Ki Lurah menghela nafas. "Renggani... jangan sangka ayahmu senang dengan keadaan ini.... kuharap, engkau mengerti, bahwa apapun yang terjadi, ayah sangat bangga kepadamu." Ki Lurah tidak bisa menahan air matanya. Orang tua ini terus memeluk anak gadisnya, yang juga menangis terisak-isak.

Sore hari itu, Ki Lurah, para tetua dan Renggani sudah duduk di depan Ki Gondolangit, untuk menerima titah dari yang maha kuasa. Orang tua itu dengan khidmat berdoa memejamkan mata, lalu mulai berkata perlahan.

"Harus dihitung, mulai dari darah bulanan berhenti keluar dari Renggani. Tiga hari pertama adalah hari pembersihan diri, mandi sehari tiga kali, yang disediakan warga. Setelah tiga hari, upacara buka kain Renggani selama empat hari. Kemudian, upacara tumpah darah. Lima hari penyembuhan dengan puasa, setelah itu upacara kawin untuk kemudian laku tumpah mani." Ki Gondolangit membuka matanya. Ia memandang Renggani. "Nduk, sekarang sedang berdarah ya?"

Renggani mengangguk. Ia memang sedang haid.

"Kalau begitu, tunggu tiga hari lagi dari sekarang," kata Ki Gondolangit. Pertemuan itupun bubar.

"Ibu, bagaimana ini Bu? Ani harus bagaimana?" tanya gadis itu dengan panik setibanya di rumah. Ibunya muram, tapi maklum. "Lebih baik lihat sendiri, Nduk."

Malam itu, Renggani tidur di sofa dipan sebelah ranjang ayah dan ibunya. Ia hanya berbaring saja di situ, tidak bisa tidur pulas. Menjelang pagi, langit mulai terang, ibunya bangun dan membuka gorden jendela. Matahari yang baru muncul di timur menyinari ruangan itu. Renggani mengerjapkan matanya.

Gadis itu terus membelalak karena ibunya terus melepas seluruh bajunya dan mengikat rambutnya ke atas. Tubuh ibunya nampak masih langsing berotot, tidak ada kulit yang menggelambir. Warna kulitnya putih kuning langsat, seperti warna tubuh gadis itu. Kedua tetek ibunya sudah agak turun, dengan putting berwarna coklat gelap. Selangkangan ibunya dipenuhi bulu lebat, jauh lebih lebat daripada selangkangan Renggani.

"Pak… ayo main Pak…." sang istri membangunkan suaminya. Ia mencium bibir lelaki itu, kemudian menarik lepas sarung bawahnya. Pagi itu, kemaluan Ki Lurah menegang keras. Mengacung. Renggani menutup mulutnya, melihat batang kemaluan milik ayahnya, yang dahulu menjadikannya ada di dunia.

Ki Lurah yang terbangun,terus menciumi istrinya. Ia seperti lupa ada Renggani di sofa sana, hanya satu meter jaraknya. Sepasang suami istri itu berciuman lekat, sementara tangan istrinya meremas-remas batang kemaluan yang hitam memerah itu. Nampaknya birahi perempuan itu sudah naik tinggi, ia terus tidur terlentang di ranjang. Kedua kakinya yang jenjang indah -- Renggani baru sadar betapa indah kaki ibunya, panjang dan halus -- terangkat mengangkang. Renggani melihat kemaluan ibunya merah, agak bergelambir, lebih besar dari miliknya. Ayahnya mengarahkan batang kemaluan yang keras itu, lalu menerobos masuk.

Ibunya menjerit lirih. "Ooohhh….. Paakkkk… enak Paakk…. Ayo genjot, genjot…."

Ki Lurah menurut. Dengan kuat, lelaki kekar bertubuh warna tembaga ini memompa batangnya keluar masuk liang yang semakin basah. Tak lama, ibunya merintih-rintih hebat, sementara ayahnya menggerung-gerung seperti singa lapar. Gerakan ayahnya maju mundur semakin cepat, Renggani melihat bagaimana kemaluan itu menancap sedalam-dalamnya.

Tiba-tiba, ayahnya terdiam. Tubuhnya mengejang, berkedut-kedut. Ibunya menjerit agak keras, "ahhhhhhhh…." Wajahnya merah, matanya terpejam, mulutnya tersungging senyum. Penuh kenikmatan. Renggani melihat persetubuhan orang tuanya dengan takjub. Usia kedua orang tua itu hampir 50 tahun, tapi mereka masih sangat penuh gairah. Membuatnya meraba memeknya sendiri. Basah.

Ayahnya mencabut batang kemaluan itu dari liang ibunya. Cairan putih meleleh keluar. Mani lelaki. Ayahnya terus turun dari ranjang, memakai sarungnya dan ngeloyor pergi keluar, ke kamar mandi. Ibunya menatap Renggani. "Begitulah Nak, orang ngentot."

Setelah Renggani selesai menstruasi, Ki Lurah memberitahu para tetua untuk mulai menyiapkan air mandi. Para lelaki pergi jauh membawa jerigen, untuk mengambil air bersih dan menyediakan air mandi rendaman untuk Renggani. Belum pernah Renggani mandi sebanyak itu, sebersih itu. Mereka menaburkan semacam rempah dan garam di air mandinya, sehingga kulitnya menjadi lebih putih dan kencang halus.

Tiga hari kemudian, dimulailah upacara buka kain. Pertama-tama, Renggani harus mengenakan lima lapis baju dan kain di pagi hari. Ia lalu berjalan keliling rumah tetua desa, masing-masing melepaskan satu lapis baju dan kain. Ketika pulang ke rumah, Renggani hanya memakai BH dan celana dalam saja. Setelah itu ia tidak boleh berpakaian lagi.

Keesokan paginya, Ki Lurah yang masuk kamar Renggani dan melepaskan BH dan celana dalamnya. Gadis itu bugil di kamarnya, lalu datanglah para tetua desa. Mereka masuk dan memandang Renggani. Gadis itu tidak boleh menutup tubuhnya, walau ia panas dingin tak karuan dipandang orang-orang tua itu. Mereka memeriksa seluruh tubuhnya dengan teliti, dan puas dengan kesempurnaannya.

Pada hari ketiga, Renggani harus keluar dari kamarnya, lalu berjalan di dalam rumah dengan bugil. Ia semakin terbiasa dengan ketelanjangannya ini. Pada saat puncak terik matahari, Renggani harus keluar dan berjalan keliling kampung lima kali. Para tetua dan pemuda desa dewasa berjejer di pinggir jalan. Semua perempuan lain dan anak-anak harus tinggal di dalam rumah. Mereka semua memandang Renggani dengan takjub, tidak ada satupun yang mengeluarkan suara. Setelah lima kali berkeliling, Renggani yakin bahwa semua lelaki kini telah melihat setiap lekuk tubuhnya, setiap bagian selangkangannya terbuka nyata. Ia pulang dan tidak lagi terpikir untuk berpakaian. Toh memang tidak boleh berpakaian.

Di hari keempat, tetua kampung datang. Renggani disuruh berbaring telentang di ranjang. Ia mengingat bagaimana ibunya kemarin ngentot dengan ayahnya. Ia meniru gaya mengangkang itu, merekahkan pahanya lebar-lebar, kedua lututnya dipegang. Jantungnya berdebar-debar.

Para tetua desa mengambil telur ayam, lalu memecahkannya. Kuning telur dan putih telur dipisahkan. Kuning telur terus ditelan, sedangkan putih telur dituangkan di atas selangkangan Renggani. Mereka mengelus kemaluan gadis itu dengan lembut, licin lengket oleh putih telur, tapi akibatnya membuat Renggani seperti tercekik menahan rasa geli dan ngilu. Para tetua itu memelintir halus kelentitnya, yang terus jadi membesar. Setelah kelima orang itu bergantian menyentuh kelentitnya, Renggani merasa sangat bernafsu. Ia ingin ada lanjutannya. Tapi, tidak ada apa-apa.

Renggani terus mandi dan menyentuh memeknya sendiri. Kali ini ia terus menyentuh kelentitnya, mengusap, memijit, memelintir, sampai akhirnya dunia seperti terbalik oleh karena orgasme hebat yang pertama kali dirasakannya. Tidak cukup sekali. Malam itu, Renggani mengulanginya lagi di ranjang. Memeknya menjadi merah sekali. Panas. Sangat nikmat tidur telanjang bulat.

Keesokannya adalah upacara tumpah darah. Ki Gondolangit memimpin upacara itu dari pagi, ia seperti bernyanyi dan berdoa serta membaca mantra. Di siang hari, barulah Renggani diantar keluar, telanjang bulat, dari rumahnya ke panggung kayu di tengah alun-alun desa. Di sana Ki Gondolangit sudah berjalan keliling tujuh kali, mengelilingi sebuah ranjang kayu yang dialas kain. Renggani disuruh berbaring telentang. Matanya ditutup kain, sehingga tidak silau oleh matahari. Renggani kembali mengangkangkan kakinya. Liangnya yang perawan itu merekah.

Dua orang laki-laki naik dan memegangi kedua kaki gadis itu. Dua orang laki-laki lain kemudian naik, yang satu terus memegangi kedua tangan Renggani. Yang seorang membawa sebaskom minyak kelapa, yang terus diguyurkan ke selangkangan Renggani. Terasa hangat. Renggani kembali naik nafsunya. Dan, tiba-tiba ia seperti tersengat, ketika merasakan ada sesuatu yang hangat dan empuk di bibir kemaluannya.

Renggani mengintip ke selangkanganya. Ia melihat para tetua berjongkok dan terus menjilat memeknya. Satu kali, setelah itu mereka turun lagi, digantikan tetua lain. Ketika lima tetua sudah selesai, para pria dewasa bergantian naik dan menjilat memeknya satu kali. Setiap jilatan membuat Renggani semakin dekat dengan orgasmenya. Setelah para lelaki tua naik, kecuali ayahnya sendiri, kini giliran para pemuda. Mereka lebih nakal, karena bukan saja menjilat mereka juga menyedot kelentitnya.

Semua itu membuat Renggani tidak dapat menahan suaranya, ia mendesah dan menjerit lirih. Para pemuda itu hanya menjilat dan menyedot sekali, lalu turun dan diganti yang lain. Entah yang ketigapuluh atau keempat puluh lelaki yang menjilat kemaluannya, Renggani tidak tahan lagi. Ia mencapai puncaknya. Dari dalam kemaluannya menyemprot cairan yang terus membasahi muka pemuda yang sedang menjilat memeknya.

Renggani melihat siapa pemuda yang mukanya penuh cairan dari memeknya itu. "Agus?" tanyanya lirih. Pemuda ganteng yang pernah menjadi impiannya. Apakah….

Ki Gondolangit menepuk pundak Agus. Pemuda itu terus membuka bajunya, membuka celananya dan turut bertelanjang bulat seperti Renggani. Gadis itu memandang pemuda tampan dengan batang kemaluan yang mengacung tegak keras. Lebih panjang dari punya ayahnya. Agus menghampirinya. Batang kemaluan yang keras itu menuju pada liangnya. Renggani tahu apa yang akan terjadi, tapi ia baru saja orgasme dan sungguh sangat menginginkan kemaluan lelaki itu ditancapkan masuk ke liangnya yang basah.

Ki Gondolangit mengucapkan mantera, dan mendorong pantat Agus. Ujung kemaluan pemuda itu merekahkan bibir memek Renggani. Gadis itu menahan nafas. Agus mendorong lagi, membuat kemaluannya amblas masuk ke dalam liang memek Renggani. Rasa sakit menyengat, tapi tidak parah. Lebih hebat rasa luar biasa ketika kemaluannya diisi batang lelaki. "Arrgghhhhhhh…… Aaaahhhhhh….." Renggani menjerit, keras. Agus menancapkan semua batangnya jauh ke dalam kemaluan Renggani.

Ketika batang itu dicabut, darah tercurah keluar dari liang kemaluan Renggani. Darah perawan. Ki Gondolangit mengambil darah perawan itu dengan kedua jari tangannya, lalu memercikkannya ke langit dan ke bumi. Acara hari itu selesai, para perempuan tua datang dan membawa jubah untuk menutup tubuh Renggani. Ia merapatkan kedua pahanya. Sakit. Tertatih-tatih, Renggani dipapah turun, lalu berjalan perlahan menuju rumahnya.

Lima hari berikutnya, seluruh desa sibuk mempersiapkan pesta sambil berpuasa. Renggani dibuatkan baju kemben yang cantik, kain sarung yang baru, semua baju pengantin adat mereka. Puasa dimulai pada subuh, lalu dibuka setelah matahari terbenam, diikuti oleh wejangan-wejangan dari Ki Gondolangit.

Di hari pengantin, pada hari keenam, Renggani menjadi pengantin wanita yang sangat cantik, sore-sore itu duduk di atas ranjang di tengah lapangan, yang kini sudah dipasangi tenda. Sekitar jam empat sore, upacara dimulai dengan tari-tarian dan rampak kendang. Para pria dewasa semua mengenakan pakaian putih dan sarung. Renggani sendiri memakai baju pengantin dan duduk menunggu. Ki Gondolangit memimpin jalannya upacara, dengan bahasa adat yang hanya sedikit dipahami oleh Renggani.

Setelah upacara kawin itu selesai, Ayahnya datang dan mencium pipi Renggani. "Terima kasih, Nak," katanya lirih. Lalu Ki Lurah mulai membuka seluruh baju pengantin Renggani, sampai akhirnya perempuan yang tidak perawan lagi itu kembali bertelanjang bulat. Renggani tahu, kini saatnya tumpah mani.

Para lelaki mulai berdiri. Dimulai dari para tetua, mereka naik ke atas, menuju ranjang Renggani. Ia kembali berbaring dan mengangkang, dengan paha diangkat ke atas. Dua orang tetua datang, satu di kiri satu lagi di kanan. Mereka berjongkok, menahan kedua paha Renggani tetap mengangkang, lalu mulai mencium dan menghisap kedua putting Renggani. Tetua yang paling tua berjongkok di depan memek Renggani, lalu mencium dan menjilatnya. Kini cukup lama, sampai Renggani kembali bernafsu oleh serangan orang-orang tua itu di tetek dan memeknya.

Tetua yang paling tua terus berdiri. Kemaluannya sudah keras mengacung, terus ditancapkan ke memek Renggani yang basah oleh ludah. Renggani menjerit lirih. Tetua itu terus memompa dengan cepat, membuat Renggani merasa enak sekali. Lelaki tua ini hebat juga, tapi tidak bertahan lama dengan memek yang baru diperawani. Ia terus menyemprotkan maninya di dalam. Sesaat kemudian, ia berhenti dan terus turun. Tetua yang lain datang dan menggantikan, batang kemaluan keras lain terus masuk ke memek Renggani. Rasanya lain, lebih gemuk. Renggani semakin naik birahinya. Tetua ini juga tidak tahan lama, terus keluar di dalam. Dari liang Renggani meleleh keluar mani, menetes-netes di ranjang.

Tetua lain terus menggantikan, dan batang kemaluannya masuk. Beberapa pria yang dewasa nampak sudah mengacung kontolnya, mereka naik ke panggung. Istri mereka turut naik, membantu mengocok dan mengisap kontol suaminya. Mereka mengacungkan kemaluan mereka ke sekujur tubuh Renggani, terus menyemportkan mani mereka. Ada yang mengenai perut, ada yang mengenai tetek, ada juga yang terus kena muka, bahkan masuk ke mulut Renggani. Terasa asin.

Kontol lain menggantikan masuk ke memek Renggani, terus menyodok dan mengocok. Kontol lain terulur ke mulut Renggani, yang terus dijilatnya, dan akhirnya Renggani menghisap kontol itu dengan mulutnya. Tangannya memegang kontol lain, satu di sisi kiri, satu di kanan. Perempuan-perempuan membantu suami mereka untuk mengeluarkan mani membasahi seluruh tubuh Renggani.

Setelah lelaki beristri semuanya menyemprotkan mani, kini giliran pemuda dewasa, di atas 18 tahun, yang mengawini Renggani. Mereka dengan bersemangat mengentot Renggani, dengan sodokan-sodokan yang dalam dan kuat, yang membuat Renggani segera mencapai orgasmenya lagi. Tetapi para pemuda itu tidak menahan diri, mereka terus bergantian menyodok dan menyemprot.

Lama-lama Renggani menjadi pegal terlentang. Seorang tetua yang mengamati keadaan terus menghentikan para pemuda itu. "Sebentar. Nduk, sekarang kamu boleh menungging. Merangkak dengan kedua tangan dan kaki." Renggani menurut. Lebih enak bisa berganti posisi. Para pemuda itu kembali menyodokkan kontol mereka masuk memek, kini dari belakang. Renggani merintih, rasanya lebih kena bagian dalam, sehingga kembali berpacu menuju puncaknya yang keempat.

Air mani mulai menggenangi ranjang dan lantai tempat mereka berada, dan Renggani menjadi semakin liar. Kini sudah puluhan lelaki memasuki tubuhnya, masih ada puluhan lain lagi mengantri. Kini ada belasan pemuda di atas panggung, dengan batang kemaluan teracung, ingin masuk dan merasakan jepitan memek Renggani.

Kadang karena masih belum puas, seorang pemuda bisa naik panggung dua atau tiga kali, ingin merasakan lagi memek perempuan itu.

Di pinggir alun-alun, gadis-gadis desa memandang kontol-kontol tegak dengan penuh rasa penasaran. Sampai akhirnya, seorang gadis turut bertelanjang bulat lalu menarik seorang pemuda yang belum kebagian naik panggung. Pemuda itu bingung melihat gadis telanjang dan mengangkang, tapi ia terus menurunkan kontolnya dan menerobos masuk memek yang masih perawan. Jeritan terdengar.

Perempuan lain yang sudah janda, melihat situasi itu tidak mau kalah. Ia juga bertelanjang bulat dan menarik seorang pemuda yang disukainya, sambil meremas kontol lelaki itu dia bilang, "masukin ke sini saja, sayang…" Janda itu terus mengangkang, dan pemuda itu menurut, menancapkan kontolnya di memek yang sudah lama tidak dijamah lelaki. Mereka bergumul sampai akhirnya pemuda itu menumpahkan semua maninya di dalam rahim janda itu.

Malam itu, semua kontol diperas habis oleh memek Renggani dan memek-memek perempuan lain yang rindu ditusuk kontol lelaki. Mani dan darah perawan berceceran. Semua lelaki puas. Renggani dengan lemah akhirnya dipapah pulang, dengan tubuh penuh diselimuti mani. Upacara pun selesai.

Anehnya, malam itu hujan terus turun. Para tetua dan semua warga bergembira. Hanya, kegembiraan itu tidak berlangsung lama ketika hujan menjadi amat sangat lebat dan mendatangkan banjir di beberapa tempat. Mungkin, orang-orang itu agak terlalu berlebihan juga.

Bagaimana dengan Renggani? Setelah upacara itu, ia tidak lagi mendapatkan menstruasinya. Ia terus hamil, mengandung anak seisi kampung yang pernah tumpahkan mani masuk rahimnya. Ia bisa ngentot dengan siapa saja, dan hidupnya terjamin karena dijagai oleh suaminya, satu kampung.
 
:konak: lhaa!!!!!! ratu lebah Renggani:..
baru:coli: baliq bisa kawinin juga!?​
 
Wah akhirnya tampil juga cerita ini dimari..yg Rena dan Diana piye? Udah diupload juga dimari suhu?
 
woooohh nikah dengan orang sekampung
mestinya asyik ini


ehh pejwan
 
SAKIT

Renggani bertelanjang bulat. Ia merasakan punggungnya menekan papan yang dialasi beberapa lembar kain. Rambutnya tergerai lepas di atas bantal tipis. Kedua kakinya ditekuk naik, mengangkang. Ada dua orang di kiri dan kanan memegangi pahanya supaya tetap terbuka. Kemudian, sebatang kemaluan lelaki menerobos masuk. Licin. Semua saraf di liangnya merasakan gesekan batang lelaki yang berurat itu. Renggani tidak hanya merasakan batang kemaluan lelaki lewat liangnya, karena kedua tangannya, kiri dan kanan, juga meremas dan mengocok dua batang lelaki. Jempolnya mengusap kepala penis yang licin, ia mengocok kiri dan kanan seirama dengan penis yang sedang keluar masuk liangnya. Ia merasakan birahinya sendiri meningkat, tapi sebelum puncaknya tercapai, mukanya tiba-tiba disemprot mani yang memancar keluar dari kiri dan kanan. Renggani memejamkan matanya, tidak mau kemasukan air mani ke mata. Ia juga merasakan kedutan-kedutan kuat ketika penis itu dijejalkan masuk liangnya dalam-dalam, dan mengeluarkan maninya di sana.

Ketiga penis itu dicabut, dan segera digantikan oleh tiga penis lain yang masih keras tegang. Kedua tangannya sudah lelah meremas dan mengocok. Para lelaki itu kemudian mengocok kemaluan mereka sendiri, dan menyemprot. Semburannya banyak, lendir memenuhi seluruh rambutnya, seluruh wajahnya, kedua buah dadanya. Lendir putih menggenangi tubuhnya. Renggani tidak tahan lagi, ia sampai kepada puncak orgasmenya. Mengejan, merintih namun penis baru menggantikan penis sebelumnya, menerobos masuk selangkangannya. Peju menggenangi tubuhnya. Para lelaki terus memancarkan mani dari kiri kanan dan bawahnya. Ia tenggelam dalam kolam lendir, baunya menyengat dan memabukkan. Merasakan kenikmatan ketika batang keras itu menyodok masuk, licin namun masih bisa dicengkeram otot-otot liang perempuan miliknya, dan segera membuat semburan keras di dalam.

Genangan lendir makin tinggi, Renggani terbenam. Wajahnya, pipinya diselimuti lendir. Masuk mulutnya, asin dan lengket. Masuk hidungnya. Renggani tak bisa bernafas. Satu batang lagi, keras dan panjang keluar masuk. Tidak bisa bernafas, orgasme hebat kembali melanda seluruh tubuhnya. Mengejang. Tak bisa bernafas....

Renggani menjerit. Membelalakkan mata, bangun terduduk di ranjangnya yang basah oleh keringat. Terengah-engah, ia mencoba untuk duduk. Perutnya yang bunting besar terasa menekan. Ingin segera buang air kecil.

Renggani melihat jam. Sudah pukul empat pagi. Tertatih, ia berjalan keluar telanjang, hanya mengenakan celana dalamnya yang basah. Melintasi ruangan di rumah yang gelap, mengambil handuk di gantungan, terus masuk kamar mandi. Kencing. Terus menyalakan shower dan membiarkan air hangat mengguyur seluruh tubuhnya.

Setiap kali mimpi itu datang, Renggani merasa lendir di seluruh tubuhnya. Terasa lengket, gatal. Ia harus keramas, pakai shampoo sampai lima kali. Pakai sabun cair tiga kali. Lalu sekali lagi untuk menyabuni selangkangannya. Merasakan jari jemarinya menggosok kelentitnya yang mengeras, mengusap bibir kemaluan di sebelah bawah dekat anus, yang semenit kemudian membawa orgasme melanda. Membuatnya terengah-engah di bawah pancuran air hangat.

Dalam kenyataan, sejak para lelaki sekampung menyetubuhinya, bukan perkosaan karena Renggani dengan rela mengangkang dan membuka memeknya, tidak pernah lagi ada lelaki yang menjamahnya. Mereka menyediakan sebuah rumah bagus di pinggir desa, memberikan si Mbok menemani hari-harinya, tapi tidak pernah ada orang mau bercakap-cakap dengannya. Sejak saat itu Renggani terus hamil dan semua warga menyediakan segala kebutuhan, tapi tidak ada yang menyapanya. Hingga sembilan bulan, seperti tidak ada yang peduli. Bahkan ayah dan ibunya juga tidak.

Renggani juga tidak berniat keluar rumah. Ia lebih suka bertelanjang di dalam, agar setiap saat ingin mandi dan keramas, bisa dilakukan. Itulah hidupnya sekarang: tidur, duduk di halaman belakang, mandi dan keramas, makan, masturbasi, mandi dan keramas, tidur lagi... Sementara kehamilannya semakin besar.

Sebulan sekali, dukun beranak yang sebenarnya asisten mantri desa, datang berkunjung dan memeriksa kehamilannya, sambil membawakan susu untuk ibu hamil beserta semua kebutuhannya. Satu-satunya orang yang dengan tulus memperhatikan dan menolongnya selama kehamilan. Anaknya kuat, aktif menendang-nendang, tapi Renggani merasa asing dengan mahluk hidup dalam rahimnya. Ia ingin cepat melahirkan dan membiarkan anak itu diasuh orang sekampung. Ia sendiri tidak berniat menjadi ibu, memandang pada kedua susunya yang kini benar-benar besar. Baiklah, mungkin menyusui selama setahun pertama...

Mungkin setelah anaknya selesai menyusui, Renggani baiknya terus mati saja. Untuk apa hidup? Dan jangan biarkan bu haji itu menceramahinya! Bukankah suaminya, si pak haji juga termasuk orang yang memasukkan kontolnya dan menyembur di dalam? Untuk apa semua ceramah tentang berdoa bersolat dan berpakaian itu? Hanya untuk dilihat orang?

Saat ini semua lelaki sudah melihat segalanya. Sudah tahu betul seperti apa bentuk dan rasa memeknya. Tak ada lagi rahasia.

Setelah mentari terbit, Renggani ingin makan surabi di pasar, kesukaannya. Ia cukup waras untuk terus memakai daster hamilnya dari kain batik. Tidak memakai BH karena sekarang ukuran yang ada tidak muat menampung kedua susunya yang bulat besar penuh, dengan puting menonjol. Renggani melihat dirinya di cermin. Kedua putingnya menonjol besar di dada, berlomba dengan perut buntingnya yang maju ke depan. Renggani tersenyum. Biarlah semua orang melihat. Toh itu akibat perbuatan mereka semua juga, demi keselamatan kampung.

Ia melangkah keluar rumah, perlahan-lahan. Kandungannya terasa berat, pinggangnya pegal. Perutnya lapar. Setengah jam kemudian, baru ia sampai di kedai surabi dan duduk di sana sendiri. Cuek saja pada orang-orang yang menjauhinya, seperti bertemu pengidap penyakit menular berbahaya. Surabi panas itu masih terasa enak. Tukang surabi itu juga salah satu yang kontolnya dipegang dan dikocok sampai menyemprot dadanya. Kini Renggani tidak pernah membayar surabi yang dimakannya.

Baru saja Renggani menghabiskan makanannya, nampak ada kerumunan orang di ujung jalan. Ia mendengar orang di sana sini berseru, "Itu dokter Ridwan, anaknya Pak Karta!" "Dokter yang sekolah di Jerman?" "Belum punya istri!" "Aduuhh moga-moga mau sama anak saya...."

Ha? Anak perempuannya baru 10 tahun! Dulu Renggani sering disuruh menjagai. Sekarang, mendekat pun tidak boleh...

Penasaran, Renggani berjalan berlawanan arah dengan rombongan ramai itu. Dokter Ridwan berjalan di depan, mencari-cari kedai makan pagi. Tampaknya ia kesulitan dengan begitu banyak orang yang menawari segala macam barang. Renggani tidak bisa melepaskan pandangannya dari dokter muda itu. Rapi. Amat sangat tampan. Dan masih tersenyum sopan padanya. Mengangguk ramah.

Mereka berpapasan. Dokter muda itu tidak berhenti menatapnya. Renggani merasa wajahnya memerah. Jantungnya berdebar.

Di saat itulah, perutnya terasa sakit. Menyengat, tiba-tiba saja cairan deras memancar keluar dari liang selangkangan Renggani, membasahi seluruh dasternya. Sendalnya menjadi licin di jalan tanah itu.

Serangan rasa sakit berikutnya membuat Renggani tidak dapat mempertahankan keseimbangan. Ia terpeleset tubuhnya jatuh menabrak dagangan sayur kangkung dan sawi putih di sisi kiri.

Gubrak! Renggani jatuh ke arah depan, untungnya ia masih bisa memegang tiang kayu yang melukai tangannya.

Orang-orang terpana, seperti tidak tahu harus berbuat apa atas seorang ibu hamil tua yang pecah ketuban dan terjatuh di tengah jalan di pasar tradisional. Seperti, tidak ada yang mau mengotorkan tangan menyentuhnya.

Dokter muda itu berpaling, mau membantu. Ibu yang mau menjodohkan anak perempuan kecilnya terus memegangi tangan dokter, mencegahnya ke sana. Karuan saja dokter muda ini jadi bingung. "Ibu, lepaskan!"

Pemuda itu bergegas menghampiri Renggani yang merintih di jalan sambil memegangi perutnya. Darah nampak sedikit keluar dari vaginanya.

Plasentanya lepas? Dokter itu menggumam sendiri. "Ibu, bisa berdiri?"

Serangan sakit itu mereda. Renggani mengangguk. Ia merasa kandungannya sedikit lebih ringan, tapi kini semua basah. Ia tahu hal gawat sedang terjadi, tapi tidak tahu harus bagaimana.

Untungnya di dekat pasar itu ada balai desa. Dan di sana ada ruangan kantor Ki Lurah, yang bagaimanapun masih sayang pada anaknya. Tergopoh-gopoh ia keluar ketika melihat dokter Ridwan membopong Renggani. Di belakang balai desa ada ruangan buat memeriksa kesehatan, yang biasa dikunjungi mantri kesehatan. Di sana ada satu dipan dan beberapa peralatan medis sederhana.

Dokter muda itu lantas membaringkan Renggani. Baru saja berbaring, ia sudah merintih lagi. Kontraksi.

"Masak air sepanci!" kata dokter muda itu tegas. Orang-orang yang berkerumun didorongnya keluar. Tapi seorang perempuan paruh baya mendesak masuk. Dokter mau menyuruhnya keluar tapi Renggani berseru, "Ibu!" Perempuan itu terus masuk dan memeluk anak perempuannya yang mau melahirkan. Matanya penuh air mata.

"Bubar! Bubar! Perempuan mau ngelahirin aja kok dikerubungi gini. Bubar!" Seorang perempuan lain membubarkan kerumunan massa di depan balai desa. Renggani menoleh. Oh, itu dukun beranak yang baik hati. Dokter Ridwan mengenalinya sebagai asisten mantri, mempersilakannya masuk.

Renggani merintih lagi. Ibunya dan si dukun menjadi suster, membantu dokter muda. Ia terus melihat dan mengukur bukaan vagina Renggani. Sudah bukaan lima. Sejam kemudian, bukaan sepuluh.

Renggani adalah ibu muda, usia 18 sekarang, yang tubuhnya kuat. Ia merintih sakit tapi tidak menyerah. Peluh membasahi seluruh tubuhnya. Sekali lagi, dua orang di kiri kanan memegangi pahanya mengangkang lebar. Kali ini bukan batang lelaki yang masuk, melainkan kepala bayi yang keluar. Renggani mendorong perutnya sendiri, mendorong ke bawah. Darah membasahi dipan, menggenangi lantai. Pendarahan karena tadi terjatuh.

Satu jam kemudian, proses itu selesai. Si dukun beranak terus menghisap lendir yang menyekat mulut bayi yang besar kuat itu, dan tak lama tangisan keras terdengar memenuhi seluruh ruangan.

Renggani menangis, lega. Rasa sakitnya mereda, kecuali dari bekas jahitan di selangkangan, karena tadi dokter Ridwan membuat sayatan episiotomi di perineum untuk mempermudah jalan lahir. Itupun tidak lagi terlalu nyeri, bisa ditahan.

Renggani hanya mau menggendong anaknya sebentar, terus diserahkannya pada neneknya. Ia memandang dokter tampan yang menolongnya melahirkan.

"Dokter, terima kasih," Renggani masih belum lupa tata krama.

"Selamat ya Bu! Eh, mana Bapaknya? Anak laki-laki ini mau diberi nama siapa?"

Renggani menggeleng. Sesaat kemudian, ia menangis keras, menangis sejadi-jadinya. Ibunya memeluk kuat dan turut menangis.

Dokter Ridwan menjadi bingung. Ibu dukun beranak itu turut basah matanya, lantas menarik si dokter ke samping. Ia menceritakan semua yang terjadi pada Renggani sejak sembilan bulan lalu.

"APA? GILA, MANA BISA BEGITU?"

"Pssttt.... Sudah Dok, sudah terjadi. Ini kepercayaan lama orang di sini, dokter tahu kan?"

Dokter menggelengkan kepalanya. "Itu dulu sekali waktu saya masih kecil. Hanya cara orang tua menakut-nakuti anak perempuannya yang membandel," katanya.

"Bukan hanya omongan. Semua percaya. Saya tidak, tapi tidak bisa apa-apa.

Sekarang mereka juga percaya, Renggani jadi pembawa sial kalau berdekatan. Karena seluruh kesialan desa ditanggungkan padanya. Mereka harus bertanggung jawab atas kehidupan Renggani namun tidak mau berhubungan lagi dengannya."

"Saya tidak percaya," kata dokter Ridwan dengan tegas. Rahangnya terkatup. Kemarahan terasa menyesakkan dadanya. Ia menarik nafas panjang beberapa kali. Mendekat pada ibu muda ini. Masih remaja 18 tahun. Sudah harus mengalami seperti ini, kepercayaan lama, kebodohan lama.

Renggani masih merintih. Darah masih mengalir dari liang lahirnya. Pendarahan.

"Tidak bisa diatasi di sini," gumam dokter Ridwan. Ia terus mengambil handphone. Ambulans dari rumah sakit umum daerah segera mencapai tempat ini. Ridwan memandang pasiennya yang tergolek lemah, pucat. Cantik. Tubuhnya halus. Kakinya indah, walau sedikit bengkak khas ibu hamil. Kedua payudaranya bulat besar, penuh kelenjar susu. Secantik ini, semalang ini.

Entah kenapa, tiba-tiba Ridwan merasa sangat menyayangi Renggani.

Seminggu kemudian, Renggani sudah cukup sehat untuk duduk di ranjang rumah sakit yang sederhana. Ini kelas tiga, ada sepuluh pasien di ruangan. Kebanyakan dikelilingi oleh keluarga yang turut menunggui. Renggani hanya ditunggui oleh ibunya, itupun ia suruh pulang supaya bisa beristirahat. Renggani sudah biasa sendiri.

Satu orang yang ia nantikan setiap siang adalah dokter Ridwan. Ganteng, ramah, dan rupanya jadi pujaan setiap suster di RSUD ini. Tapi Ridwan lebih banyak menghabiskan waktu senggang di samping ranjangnya. Bercakap-cakap.

Renggani menemukan Ridwan adalah dokter muda yang pandai dan sama sekali tidak sombong. Ridwan menemukan Renggani adalah wanita muda yang cerdas dan jenaka. Waktu berlalu dengan cepat setiap kali mereka berbicara. Terasa kurang.

Setelah satu minggu, Ridwan merasa harus berlari-lari di sepanjang lorong rumah sakit, supaya bisa menghabiskan waktu dengan Renggani. Ibu muda ini juga semakin cerah, dan mau menyusui anaknya beberapa kali sehari. Air susunya berlimpah.

Pendarahannya terobati. Waktunya meninggalkan rumah sakit itu. Renggani menjadi muram, membayangkan akan segera kembali ke rumah di pinggiran desa. Berarti, tidak lagi bisa menemui Ridwan.

Toh dia adalah dokter cemerlang. Siapakah Renggani, sehingga bisa berharap? Sudah jadi istri dari orang sekampung, istri yang dianggap menampung semua kesialan dan musibah, seperti saat dirinya menampung semua batang dan mani yang dijejalkan dalam-dalam. Mengerikan.

Tak tahunya, Ridwan berpikiran sama. Ia masih ingin bersama Renggani, yang sekarang dipanggilnya Ani saja. Dan Ani dengan manis kini memanggilnya Kakak. Kakak tersayang.

"Ani... Ummm.... Kamu kan masih lemah ya, baiknya jangan pulang ke desa dulu. Kalau ada apa-apa, jauh. Ada kenalan di kota sini?"

Renggani menggeleng. "Tidak ada, Kak..."

"Umm.... Di rumah saya ada ada dua tempat kost. Biasanya dipakai dua pasang suami istri. Sekarang, yang satu sudah kosong, mereka sudah beli rumah... Bagaimana kalau Ani dan Danang tinggal di sana? Eh... Untuk sementara, mungkin?"

"Ani mau.... Tapi, bagaimana bayar kos nya?"

"Ah, Ani kan tamu saya. Jangan kuatir, tidak usah pusing soal pembayaran..."

Jadilah, sore hari itu Ani keluar dari rumah sakit terus ke rumah dokter Ridwan. Tempat kostnya ada di sisi kanan belakang rumah besar itu, dengan pintu menghadap ke pagar luar. Di sebelah dalam juga ada pintu yang menghadap ke dalam. Sebuah ranjang besar, queen size, sebuah lemari dua pintu, dan sebuah meja beserta kursi mengisi ruangan itu. Cukup nyaman dan teduh karena pohon besar menaungi halaman.

Dua bulan berlalu dengan cepat. Renggani menjadi semakin sehat, tubuhnya kembali menjadi langsing seperti seorang gadis muda. Ibunya datang dan membawa pakaian-pakaian lamanya. Ia juga membawa sejumlah baju bayi dan popok serta kain bedong untuk cucu kecilnya yang lucu. Renggani membiarkan sang nenek memuaskan diri dengan anak itu; ia hanya menggendong anaknya saat memberikan air susu.

Sore itu, Ridwan pulang lebih cepat daripada biasanya. Ia nampak gembira.

"Ani! Aku pulang!"
"Oh hai Kak Ridwan…. Tumben pulang cepat?"

"Yep. Hari ini hari spesial!"

"Spesial?"

"Lupa ya? Ini kan hari ulang tahunmu!"

"Ulang tahun….? Hihihihi….." Renggani tidak bisa menahan cekikikannya.

"Lho kok?"

"Kak Ridwan melihat ktp ku ya?"

"Er… iya."

"Itu salah. Mereka menulis tanggal lahir orang lain lain di ktp. Ulang tahunku masih bulan depan. Bapak berusaha meluruskan, tapi terlalu ribet. Jadi akhirnya dibiarkan saja, toh hanya beda satu bulan."

Ridwan tampak kecewa.

"Oh, tapi ayolah kita rayakan." kata Renggani dengan riang. "Hanya, tidak usah terlalu istimewa lah. Makan biasa saja."

Wanita itu cukup senang pria pujaan hatinya memberi perhatian begitu rupa. Setelah menitipkan anak pada ibunya, Renggani dibawa Ridwan pergi ke restoran kecil di pinggir kota, di atas bukit. Pemandangan malam itu indah, mereka mengobrol dengan intim, mencari tempat tersembunyi yang tidak ada tamu lain. Bahkan pelayan pun tidak datang kalau tidak diteriaki kuat-kuat. Obrolan menjadi semakin lancar, tidak ada lagi yang perlu ditutupi.

"Jadi…. Sebetulnya…. Sakitkah?" tanya Ridwan.

"Sakit?"

"Malam itu…. Begitu banyak lelaki…."

"oh. Umm… itu…." Ani menggeleng.

"Nggak apa-apa, cerita aja."

"Beberapa hari sebelumnya, mereka memberi…. Semacam ramuan. Di minum. Di pakai di air mandi. Dan jadinya, rasanya…. Tidak sakit."

"Obat perangsang?"

"Nggak tahu. Tidak sakit lagi, dimasukin anunya laki-laki. Malah…. Enak. Jadi…. Ingin, enak kalau…. Dientotin." Renggani tertunduk malu.

"Yah…. Setidaknya kamu nggak menderita kan…."

"Nggak. Tapi, rasanya jadi….. Gimana, gitu. Sepanjang malam, pengin lagi, lagi, tidak puas. Berkali-kali sampai, tidak puas. Sampai lemas, lemas sekali. Setelah itu, tidak ada lagi yang,,,, masukin anu…"

"Dan sebelumnya, Ani masih…. Perawan? Nggak pernah pacaran?"

"Nggak. Nggak pernah begituan. Pertama kali dimasukin sama…. Orang-orang tua. Setelah itu, setelah tidak sakit lagi, upacaranya kawin dengan…. semua lelaki. Tapi, Ani nggak terlalu mikirin. Waktu itu, cuman mengangkang dan mereka masukin, bergantian…. Enak. Mau lagi. Dan kayaknya tidak ada yang tahan lama, begitu masuk terus gak lama keluar di dalam. Ganti lain terus masuk bentar, keluar lagi. Sudah tidak dihitung. Banyak juga lelaki yang nggak Ani kenal."

Renggani menatap Ridwan. "Kak Ridwan tidak jijik pada Ani?"

"Jijik? Ya nggak…. Terus, setelah itu…. Gimana rasanya?"

"Seminggu sesudahnya, Ani sakit badan semua. Tapi, gimana ya… rasanya masih terbayang. Tapi setelah itu nggak ada laki-laki yang mau mendekat pada Ani. Jadi…. Ani pegang sendiri tempik pakai tangan, gosok-gosok. Lumayan rasanya enak juga, sampai dapat. Setiap hari begitu."

"Wah. Masturbasi setiap hari?"

"Ya… kan sedang hamil, tidak mens lagi. Mau berhenti, tapi…. Tiap kali bermimpi, pasti memimpikan lagi disemprot banyak lelaki. Rasanya lengket, menutupi seluruh badan. Lengket, bau, jorok. Tapi orgasmenya enak…. Itu ya, namanya orgasme? Jadi harus keramas berkali-kali, supaya hilang baunya."

"Wah. Berapa botol shampo seminggu?"

"Tiga."

"Pernah ciuman?"

"Ha? Ya nggak lah… mereka hanya mengurusi memeknya aku aja."

"Ciuman yuk." Ridwan mendekat. Ia mendekap Renggani. Wanita muda itu memejamkan matanya. Bibir mereka bersentuhan. Mula-mula lambat, tapi kemudian keduanya saling melumat, hingga habis nafas.

"Ahhhh…. Baru tahu, berciuman begini…. Enak. Tapi…. Jadinya, Ani gatal di sini…." ia meraih tangan Ridwan, lalu ditempelkan di selangkangannya. Ridwan menggaruk perlahan. Wanita itu menggelinjang, nafasnya semakin memburu.

"Kak…. Jangan pulang. Kita menginap di mana gitu, yuk?" Mereka berdua menaiki mobil dan meluncur ke hotel yang tidak jauh dari situ. Setelah check ini, Renggani buru-buru masuk kamar dan pipis. Ridwan menutup pintu kamar dan menguncinya.

Kedua orang muda itu kembali berciuman, Renggani seperti baru menemukan mainan baru. Ia tidak mau berhenti. Tubuhnya terasa panas. Pakaian ini ingin dilepas -- kembali telanjang seperti hari-harinya di desa. Sebentar saja, tidak ada sehelai benangpun yang menempel di tubuh yang tinggi semampai, halus indah itu.

Renggani terus berbaring telentang, dan mengangkat kedua pahanya mengangkang. Seperti yang sudah-sudah. Bukannya mengeluarkan penis dan memasukkan ke liang yang merah muda basah, Ridwan malah mencium bibir kemaluan Ani. Wanita itu mendesah panjang. Ridwan terus mencium dan memainkan lidahnya di sana. Kedua tangannya merayap ke atas dan memelintir putting susu yang mengacung keras.

Walaupun Ani sudah menerima ratusan penis masuk ke dalam dirinya, ia tidak pernah benar-benar bermain cinta. Nafsunya meningkat sangat tinggi, ia semakin ingin dimasuki lelaki ini. Tetapi Ridwan terus merangsangnya dengan ciuman di kedua putingnya, menghisapnya, menelan susu yang muncrat keluar. Tangannya menggosok-gosok kelentit Ani yang keras seperti kacang. Dalam hitungan lima menit, Ani mencapai orgasmenya, sedang Ridwan masih berpakaian lengkap.

Giliran Renggani yang menelanjangi lelaki ini. Baju, celana panjang, dan celana dalam terlepas semua. Penisnya mengacung keras dan panjang, berurat-urat. Ani memegangnya. Merasakan kembali batang kemaluan lelaki dalam genggaman tangannya. Mereka kembali berciuman. Ani kembali terangsang, kini ia amat sangat ingin kemaluan itu masuk ke dalam. Begitu kehausan.

Ridwan terlentang di ranjang. Renggani merangkak naik di atasnya. Ia mengarahkan batang itu ke mulut liangnya, lalu menekan tubuhnya ke bawah. Rasa ada batang keras berurat menerobos masuk memeknya diterima dengan kerinduan yang amat sangat. Penis itu melesak masuk sampai jauh ke dalam. Renggani memejamkan matanya, dan mulai bergerak liar di atas tubuh Ridwan. Pemuda ini mengerang panjang merasakan kenikmatan yang luar biasa dari kemaluannya.

Sepuluh menit kemudian, Renggani merintih panjang dan tubuhnya mengejang-ngejang, memeras batang kemaluan yang tertancap dalam-dalam. Ridwan tidak tahan lagi, terus juga memuntahkan maninya di dalam. Ani menerimanya dengan sangat bahagia, lega. Batang lelaki itu melemas di dalam liangnya. Cairan putih kembali melelh keluar, terus disekanya dengan tisu.

Keduanya terlelap berdekapan, menghabiskan dua jam bersama, sebelum akhirnya mereka mandi, dan terus checkout. Pulang. Kini hari-hari tidak akan sama lagi.
 
bangun benteng dulu aaahhhhh.......
cerita yang sepertinya menjanjikan keseruan yang berbeda.
 
secara materi terjamin karena begitu banyak yang nafkahin.. Namun kebutuhan birahi sungguh-sungguh dibuat prihatin!:((:(( akan jadi siksaan bathin sebab dijahuin.. dan lagi, akan memusingkan petugas catatan sipil nanti, bagaimana:pusing: dicatatnya status sang anak... masak iyaa, tertulis
Danang bin lelaki sekampung :bata:
gimana tak bingung!?:pusing: ntuchh..​
 
masih pejwan ya....nancepin akar dimari
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd