Halo semua,
Permisi untuk pertama kali menaruh tulisan di sini. Ini kisah fiksi buatan saya sendiri, tidak ada hubunganya dengan manusia hidup di dunia nyata. Pastinya bukan pengalaman pribadi.... hanya bercerita saja.
Mohon komentarnya ya. Kisah ini sudah bersambung beberapa bagian, tapi belum selesai. Moga-moga bisa diselesaikan di sini.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kawin dengan Orang Sekampung
Matahari itu nampak terik di langit yang biru. Tidak ada tanda-tanda awan. Angin berhembus kencang, menebarkan debu di sepanjang jalan. Ki Lurah menatap khawatir ke patok bambu yang menandai sumber air. Kering. Bencana kemarau ini sudah terasa berat bagi semua orang.
"Malam ini, kita ke Ki Gondolangit," kata Ki Lurah pendek. Kepala desa itu berjalan tertunduk. Kalau alam sudah murka begini rupa, mau apalagi?
Rumah Ki Gondolangit hanyalah sebuah gubuk sederhana, dengan dinding dari bilik bambu, serta sekat-sekat kayu tipis. Di tengah rumah ada ruangan yang luas, hanya ada sebuah tikar besar di sana. Ki Lurah dan para tetua desa sudah berkumpul. Ki Gondolangit yang tua renta itu, umurnya lebih dari 90 tahun, berada di tengah, duduk bersila. Matanya terpejam, sementara sebuah bokor berisi dupa menyan melepaskan asapnya perlahan-lahan.
"Penguasa alam ini murka karena kelakuan manusia," kata Ki Gondolangit dengan suara rendah. Matanya masih terpejam. "Kemarau panjang ini kutukan. Untuk menebus kutukan, pertama-tama semua orang harus eling." Ki Lurah dan para tetua yang mendengarnya manggut-manggut. Beberapa yang selama ini sudah korupsi, mukanya menjadi pucat. Tidak ada lagi kenyamanan lebih dari memaling uang kas desa.
"Tapi itu saja belum cukup. Harus ada persembahan. Harus ada laku kinarah di desa kita," kata Ki Gondolangit melanjutkan dengan khidmat. Tangannya terangkap di depan dada. "Dengan mempersembahkan darah dan mani, kita harus menjadi satu dan baru boleh bebas dari bahaya."
"Kinarah, Ki?" tanya Ki Lurah. Suaranya gemetar. Ini adalah ritual yang sudah amat sangat tua, yang hanya pernah terdengar sebagai cerita dari masa lalu. Dari kepercayaan masa lalu, untuk mempersembahkan darah dan mani. Darah perawan. Mani semua lelaki dewasa. Semua disatukan dalam satu liang, milik perawan desa yang paling cantik rupawan. Dan itu, adalah anaknya sendiri, Renggani.
Renggani, gadis yang periang itu, umurnya sudah 17 tahun. Tinggi semampai 170 centi, rambutnya hitam sepinggang, matanya bulat besar warna coklat, tulang pipinya tinggi, kulit wajah dan tubuhnya halus kuning langsat tak ada jerawat. Dadanya besar membulat. Renggani yang cerdas, hampir lulus SMA, dan ingin kuliah seni rupa di Bandung. Gadis yang diinginkan semua pemuda kampung, tapi belum ada yang mau diterimanya. Kalau ritual kinarah ini dilakukan, pasti anaknya yang harus jadi korban.
Tapi Ki Lurah adalah Kepala Desa yang harus mau berkorban demi rakyatnya. Semua tetua telah memandangnya, semua sudah paham apa yang harus terjadi. Renggani harus mau, kalau perlu dipaksa, demi kehidupan mereka semua. Merekapun bubar diiringi angin yang meniup debu. Ki Lurah semakin dalam mengkerutkan kening dan wajahnya.
Berita itu disampaikan Ki Lurah pada tengah malam itu juga. Ia memanggil istrinya dan Renggani dan menceritakan semua yang terjadi. Karuan saja, Renggani menangis sejadi-jadinya, menolak, tidak mau! Tapi Ki Lurah tidak punya pilihan. Kalaupun ia menolak, warga akan memaksa. Ia juga akan kehilangan jabatannya. Ini adalah demi kehidupan mereka, kehidupan desa. Ki Lurah memandang istrinya yang menangis, matanya merah sembab. Namun sang istri ini mengerti situasi, jadi ia terus beranjak ke kamar Renggani untuk membujuk anaknya ini.
Keesokan paginya, Renggani sudah duduk bersimpuh di hadapan ayahnya. "Baik ayah, Renggani bersedia, demi ayah dan desa kita...." katanya lirih. Ki Lurah menghela nafas. "Renggani... jangan sangka ayahmu senang dengan keadaan ini.... kuharap, engkau mengerti, bahwa apapun yang terjadi, ayah sangat bangga kepadamu." Ki Lurah tidak bisa menahan air matanya. Orang tua ini terus memeluk anak gadisnya, yang juga menangis terisak-isak.
Sore hari itu, Ki Lurah, para tetua dan Renggani sudah duduk di depan Ki Gondolangit, untuk menerima titah dari yang maha kuasa. Orang tua itu dengan khidmat berdoa memejamkan mata, lalu mulai berkata perlahan.
"Harus dihitung, mulai dari darah bulanan berhenti keluar dari Renggani. Tiga hari pertama adalah hari pembersihan diri, mandi sehari tiga kali, yang disediakan warga. Setelah tiga hari, upacara buka kain Renggani selama empat hari. Kemudian, upacara tumpah darah. Lima hari penyembuhan dengan puasa, setelah itu upacara kawin untuk kemudian laku tumpah mani." Ki Gondolangit membuka matanya. Ia memandang Renggani. "Nduk, sekarang sedang berdarah ya?"
Renggani mengangguk. Ia memang sedang haid.
"Kalau begitu, tunggu tiga hari lagi dari sekarang," kata Ki Gondolangit. Pertemuan itupun bubar.
"Ibu, bagaimana ini Bu? Ani harus bagaimana?" tanya gadis itu dengan panik setibanya di rumah. Ibunya muram, tapi maklum. "Lebih baik lihat sendiri, Nduk."
Malam itu, Renggani tidur di sofa dipan sebelah ranjang ayah dan ibunya. Ia hanya berbaring saja di situ, tidak bisa tidur pulas. Menjelang pagi, langit mulai terang, ibunya bangun dan membuka gorden jendela. Matahari yang baru muncul di timur menyinari ruangan itu. Renggani mengerjapkan matanya.
Gadis itu terus membelalak karena ibunya terus melepas seluruh bajunya dan mengikat rambutnya ke atas. Tubuh ibunya nampak masih langsing berotot, tidak ada kulit yang menggelambir. Warna kulitnya putih kuning langsat, seperti warna tubuh gadis itu. Kedua tetek ibunya sudah agak turun, dengan putting berwarna coklat gelap. Selangkangan ibunya dipenuhi bulu lebat, jauh lebih lebat daripada selangkangan Renggani.
"Pak… ayo main Pak…." sang istri membangunkan suaminya. Ia mencium bibir lelaki itu, kemudian menarik lepas sarung bawahnya. Pagi itu, kemaluan Ki Lurah menegang keras. Mengacung. Renggani menutup mulutnya, melihat batang kemaluan milik ayahnya, yang dahulu menjadikannya ada di dunia.
Ki Lurah yang terbangun,terus menciumi istrinya. Ia seperti lupa ada Renggani di sofa sana, hanya satu meter jaraknya. Sepasang suami istri itu berciuman lekat, sementara tangan istrinya meremas-remas batang kemaluan yang hitam memerah itu. Nampaknya birahi perempuan itu sudah naik tinggi, ia terus tidur terlentang di ranjang. Kedua kakinya yang jenjang indah -- Renggani baru sadar betapa indah kaki ibunya, panjang dan halus -- terangkat mengangkang. Renggani melihat kemaluan ibunya merah, agak bergelambir, lebih besar dari miliknya. Ayahnya mengarahkan batang kemaluan yang keras itu, lalu menerobos masuk.
Ibunya menjerit lirih. "Ooohhh….. Paakkkk… enak Paakk…. Ayo genjot, genjot…."
Ki Lurah menurut. Dengan kuat, lelaki kekar bertubuh warna tembaga ini memompa batangnya keluar masuk liang yang semakin basah. Tak lama, ibunya merintih-rintih hebat, sementara ayahnya menggerung-gerung seperti singa lapar. Gerakan ayahnya maju mundur semakin cepat, Renggani melihat bagaimana kemaluan itu menancap sedalam-dalamnya.
Tiba-tiba, ayahnya terdiam. Tubuhnya mengejang, berkedut-kedut. Ibunya menjerit agak keras, "ahhhhhhhh…." Wajahnya merah, matanya terpejam, mulutnya tersungging senyum. Penuh kenikmatan. Renggani melihat persetubuhan orang tuanya dengan takjub. Usia kedua orang tua itu hampir 50 tahun, tapi mereka masih sangat penuh gairah. Membuatnya meraba memeknya sendiri. Basah.
Ayahnya mencabut batang kemaluan itu dari liang ibunya. Cairan putih meleleh keluar. Mani lelaki. Ayahnya terus turun dari ranjang, memakai sarungnya dan ngeloyor pergi keluar, ke kamar mandi. Ibunya menatap Renggani. "Begitulah Nak, orang ngentot."
Setelah Renggani selesai menstruasi, Ki Lurah memberitahu para tetua untuk mulai menyiapkan air mandi. Para lelaki pergi jauh membawa jerigen, untuk mengambil air bersih dan menyediakan air mandi rendaman untuk Renggani. Belum pernah Renggani mandi sebanyak itu, sebersih itu. Mereka menaburkan semacam rempah dan garam di air mandinya, sehingga kulitnya menjadi lebih putih dan kencang halus.
Tiga hari kemudian, dimulailah upacara buka kain. Pertama-tama, Renggani harus mengenakan lima lapis baju dan kain di pagi hari. Ia lalu berjalan keliling rumah tetua desa, masing-masing melepaskan satu lapis baju dan kain. Ketika pulang ke rumah, Renggani hanya memakai BH dan celana dalam saja. Setelah itu ia tidak boleh berpakaian lagi.
Keesokan paginya, Ki Lurah yang masuk kamar Renggani dan melepaskan BH dan celana dalamnya. Gadis itu bugil di kamarnya, lalu datanglah para tetua desa. Mereka masuk dan memandang Renggani. Gadis itu tidak boleh menutup tubuhnya, walau ia panas dingin tak karuan dipandang orang-orang tua itu. Mereka memeriksa seluruh tubuhnya dengan teliti, dan puas dengan kesempurnaannya.
Pada hari ketiga, Renggani harus keluar dari kamarnya, lalu berjalan di dalam rumah dengan bugil. Ia semakin terbiasa dengan ketelanjangannya ini. Pada saat puncak terik matahari, Renggani harus keluar dan berjalan keliling kampung lima kali. Para tetua dan pemuda desa dewasa berjejer di pinggir jalan. Semua perempuan lain dan anak-anak harus tinggal di dalam rumah. Mereka semua memandang Renggani dengan takjub, tidak ada satupun yang mengeluarkan suara. Setelah lima kali berkeliling, Renggani yakin bahwa semua lelaki kini telah melihat setiap lekuk tubuhnya, setiap bagian selangkangannya terbuka nyata. Ia pulang dan tidak lagi terpikir untuk berpakaian. Toh memang tidak boleh berpakaian.
Di hari keempat, tetua kampung datang. Renggani disuruh berbaring telentang di ranjang. Ia mengingat bagaimana ibunya kemarin ngentot dengan ayahnya. Ia meniru gaya mengangkang itu, merekahkan pahanya lebar-lebar, kedua lututnya dipegang. Jantungnya berdebar-debar.
Para tetua desa mengambil telur ayam, lalu memecahkannya. Kuning telur dan putih telur dipisahkan. Kuning telur terus ditelan, sedangkan putih telur dituangkan di atas selangkangan Renggani. Mereka mengelus kemaluan gadis itu dengan lembut, licin lengket oleh putih telur, tapi akibatnya membuat Renggani seperti tercekik menahan rasa geli dan ngilu. Para tetua itu memelintir halus kelentitnya, yang terus jadi membesar. Setelah kelima orang itu bergantian menyentuh kelentitnya, Renggani merasa sangat bernafsu. Ia ingin ada lanjutannya. Tapi, tidak ada apa-apa.
Renggani terus mandi dan menyentuh memeknya sendiri. Kali ini ia terus menyentuh kelentitnya, mengusap, memijit, memelintir, sampai akhirnya dunia seperti terbalik oleh karena orgasme hebat yang pertama kali dirasakannya. Tidak cukup sekali. Malam itu, Renggani mengulanginya lagi di ranjang. Memeknya menjadi merah sekali. Panas. Sangat nikmat tidur telanjang bulat.
Keesokannya adalah upacara tumpah darah. Ki Gondolangit memimpin upacara itu dari pagi, ia seperti bernyanyi dan berdoa serta membaca mantra. Di siang hari, barulah Renggani diantar keluar, telanjang bulat, dari rumahnya ke panggung kayu di tengah alun-alun desa. Di sana Ki Gondolangit sudah berjalan keliling tujuh kali, mengelilingi sebuah ranjang kayu yang dialas kain. Renggani disuruh berbaring telentang. Matanya ditutup kain, sehingga tidak silau oleh matahari. Renggani kembali mengangkangkan kakinya. Liangnya yang perawan itu merekah.
Dua orang laki-laki naik dan memegangi kedua kaki gadis itu. Dua orang laki-laki lain kemudian naik, yang satu terus memegangi kedua tangan Renggani. Yang seorang membawa sebaskom minyak kelapa, yang terus diguyurkan ke selangkangan Renggani. Terasa hangat. Renggani kembali naik nafsunya. Dan, tiba-tiba ia seperti tersengat, ketika merasakan ada sesuatu yang hangat dan empuk di bibir kemaluannya.
Renggani mengintip ke selangkanganya. Ia melihat para tetua berjongkok dan terus menjilat memeknya. Satu kali, setelah itu mereka turun lagi, digantikan tetua lain. Ketika lima tetua sudah selesai, para pria dewasa bergantian naik dan menjilat memeknya satu kali. Setiap jilatan membuat Renggani semakin dekat dengan orgasmenya. Setelah para lelaki tua naik, kecuali ayahnya sendiri, kini giliran para pemuda. Mereka lebih nakal, karena bukan saja menjilat mereka juga menyedot kelentitnya.
Semua itu membuat Renggani tidak dapat menahan suaranya, ia mendesah dan menjerit lirih. Para pemuda itu hanya menjilat dan menyedot sekali, lalu turun dan diganti yang lain. Entah yang ketigapuluh atau keempat puluh lelaki yang menjilat kemaluannya, Renggani tidak tahan lagi. Ia mencapai puncaknya. Dari dalam kemaluannya menyemprot cairan yang terus membasahi muka pemuda yang sedang menjilat memeknya.
Renggani melihat siapa pemuda yang mukanya penuh cairan dari memeknya itu. "Agus?" tanyanya lirih. Pemuda ganteng yang pernah menjadi impiannya. Apakah….
Ki Gondolangit menepuk pundak Agus. Pemuda itu terus membuka bajunya, membuka celananya dan turut bertelanjang bulat seperti Renggani. Gadis itu memandang pemuda tampan dengan batang kemaluan yang mengacung tegak keras. Lebih panjang dari punya ayahnya. Agus menghampirinya. Batang kemaluan yang keras itu menuju pada liangnya. Renggani tahu apa yang akan terjadi, tapi ia baru saja orgasme dan sungguh sangat menginginkan kemaluan lelaki itu ditancapkan masuk ke liangnya yang basah.
Ki Gondolangit mengucapkan mantera, dan mendorong pantat Agus. Ujung kemaluan pemuda itu merekahkan bibir memek Renggani. Gadis itu menahan nafas. Agus mendorong lagi, membuat kemaluannya amblas masuk ke dalam liang memek Renggani. Rasa sakit menyengat, tapi tidak parah. Lebih hebat rasa luar biasa ketika kemaluannya diisi batang lelaki. "Arrgghhhhhhh…… Aaaahhhhhh….." Renggani menjerit, keras. Agus menancapkan semua batangnya jauh ke dalam kemaluan Renggani.
Ketika batang itu dicabut, darah tercurah keluar dari liang kemaluan Renggani. Darah perawan. Ki Gondolangit mengambil darah perawan itu dengan kedua jari tangannya, lalu memercikkannya ke langit dan ke bumi. Acara hari itu selesai, para perempuan tua datang dan membawa jubah untuk menutup tubuh Renggani. Ia merapatkan kedua pahanya. Sakit. Tertatih-tatih, Renggani dipapah turun, lalu berjalan perlahan menuju rumahnya.
Lima hari berikutnya, seluruh desa sibuk mempersiapkan pesta sambil berpuasa. Renggani dibuatkan baju kemben yang cantik, kain sarung yang baru, semua baju pengantin adat mereka. Puasa dimulai pada subuh, lalu dibuka setelah matahari terbenam, diikuti oleh wejangan-wejangan dari Ki Gondolangit.
Di hari pengantin, pada hari keenam, Renggani menjadi pengantin wanita yang sangat cantik, sore-sore itu duduk di atas ranjang di tengah lapangan, yang kini sudah dipasangi tenda. Sekitar jam empat sore, upacara dimulai dengan tari-tarian dan rampak kendang. Para pria dewasa semua mengenakan pakaian putih dan sarung. Renggani sendiri memakai baju pengantin dan duduk menunggu. Ki Gondolangit memimpin jalannya upacara, dengan bahasa adat yang hanya sedikit dipahami oleh Renggani.
Setelah upacara kawin itu selesai, Ayahnya datang dan mencium pipi Renggani. "Terima kasih, Nak," katanya lirih. Lalu Ki Lurah mulai membuka seluruh baju pengantin Renggani, sampai akhirnya perempuan yang tidak perawan lagi itu kembali bertelanjang bulat. Renggani tahu, kini saatnya tumpah mani.
Para lelaki mulai berdiri. Dimulai dari para tetua, mereka naik ke atas, menuju ranjang Renggani. Ia kembali berbaring dan mengangkang, dengan paha diangkat ke atas. Dua orang tetua datang, satu di kiri satu lagi di kanan. Mereka berjongkok, menahan kedua paha Renggani tetap mengangkang, lalu mulai mencium dan menghisap kedua putting Renggani. Tetua yang paling tua berjongkok di depan memek Renggani, lalu mencium dan menjilatnya. Kini cukup lama, sampai Renggani kembali bernafsu oleh serangan orang-orang tua itu di tetek dan memeknya.
Tetua yang paling tua terus berdiri. Kemaluannya sudah keras mengacung, terus ditancapkan ke memek Renggani yang basah oleh ludah. Renggani menjerit lirih. Tetua itu terus memompa dengan cepat, membuat Renggani merasa enak sekali. Lelaki tua ini hebat juga, tapi tidak bertahan lama dengan memek yang baru diperawani. Ia terus menyemprotkan maninya di dalam. Sesaat kemudian, ia berhenti dan terus turun. Tetua yang lain datang dan menggantikan, batang kemaluan keras lain terus masuk ke memek Renggani. Rasanya lain, lebih gemuk. Renggani semakin naik birahinya. Tetua ini juga tidak tahan lama, terus keluar di dalam. Dari liang Renggani meleleh keluar mani, menetes-netes di ranjang.
Tetua lain terus menggantikan, dan batang kemaluannya masuk. Beberapa pria yang dewasa nampak sudah mengacung kontolnya, mereka naik ke panggung. Istri mereka turut naik, membantu mengocok dan mengisap kontol suaminya. Mereka mengacungkan kemaluan mereka ke sekujur tubuh Renggani, terus menyemportkan mani mereka. Ada yang mengenai perut, ada yang mengenai tetek, ada juga yang terus kena muka, bahkan masuk ke mulut Renggani. Terasa asin.
Kontol lain menggantikan masuk ke memek Renggani, terus menyodok dan mengocok. Kontol lain terulur ke mulut Renggani, yang terus dijilatnya, dan akhirnya Renggani menghisap kontol itu dengan mulutnya. Tangannya memegang kontol lain, satu di sisi kiri, satu di kanan. Perempuan-perempuan membantu suami mereka untuk mengeluarkan mani membasahi seluruh tubuh Renggani.
Setelah lelaki beristri semuanya menyemprotkan mani, kini giliran pemuda dewasa, di atas 18 tahun, yang mengawini Renggani. Mereka dengan bersemangat mengentot Renggani, dengan sodokan-sodokan yang dalam dan kuat, yang membuat Renggani segera mencapai orgasmenya lagi. Tetapi para pemuda itu tidak menahan diri, mereka terus bergantian menyodok dan menyemprot.
Lama-lama Renggani menjadi pegal terlentang. Seorang tetua yang mengamati keadaan terus menghentikan para pemuda itu. "Sebentar. Nduk, sekarang kamu boleh menungging. Merangkak dengan kedua tangan dan kaki." Renggani menurut. Lebih enak bisa berganti posisi. Para pemuda itu kembali menyodokkan kontol mereka masuk memek, kini dari belakang. Renggani merintih, rasanya lebih kena bagian dalam, sehingga kembali berpacu menuju puncaknya yang keempat.
Air mani mulai menggenangi ranjang dan lantai tempat mereka berada, dan Renggani menjadi semakin liar. Kini sudah puluhan lelaki memasuki tubuhnya, masih ada puluhan lain lagi mengantri. Kini ada belasan pemuda di atas panggung, dengan batang kemaluan teracung, ingin masuk dan merasakan jepitan memek Renggani.
Kadang karena masih belum puas, seorang pemuda bisa naik panggung dua atau tiga kali, ingin merasakan lagi memek perempuan itu.
Di pinggir alun-alun, gadis-gadis desa memandang kontol-kontol tegak dengan penuh rasa penasaran. Sampai akhirnya, seorang gadis turut bertelanjang bulat lalu menarik seorang pemuda yang belum kebagian naik panggung. Pemuda itu bingung melihat gadis telanjang dan mengangkang, tapi ia terus menurunkan kontolnya dan menerobos masuk memek yang masih perawan. Jeritan terdengar.
Perempuan lain yang sudah janda, melihat situasi itu tidak mau kalah. Ia juga bertelanjang bulat dan menarik seorang pemuda yang disukainya, sambil meremas kontol lelaki itu dia bilang, "masukin ke sini saja, sayang…" Janda itu terus mengangkang, dan pemuda itu menurut, menancapkan kontolnya di memek yang sudah lama tidak dijamah lelaki. Mereka bergumul sampai akhirnya pemuda itu menumpahkan semua maninya di dalam rahim janda itu.
Malam itu, semua kontol diperas habis oleh memek Renggani dan memek-memek perempuan lain yang rindu ditusuk kontol lelaki. Mani dan darah perawan berceceran. Semua lelaki puas. Renggani dengan lemah akhirnya dipapah pulang, dengan tubuh penuh diselimuti mani. Upacara pun selesai.
Anehnya, malam itu hujan terus turun. Para tetua dan semua warga bergembira. Hanya, kegembiraan itu tidak berlangsung lama ketika hujan menjadi amat sangat lebat dan mendatangkan banjir di beberapa tempat. Mungkin, orang-orang itu agak terlalu berlebihan juga.
Bagaimana dengan Renggani? Setelah upacara itu, ia tidak lagi mendapatkan menstruasinya. Ia terus hamil, mengandung anak seisi kampung yang pernah tumpahkan mani masuk rahimnya. Ia bisa ngentot dengan siapa saja, dan hidupnya terjamin karena dijagai oleh suaminya, satu kampung.
Permisi untuk pertama kali menaruh tulisan di sini. Ini kisah fiksi buatan saya sendiri, tidak ada hubunganya dengan manusia hidup di dunia nyata. Pastinya bukan pengalaman pribadi.... hanya bercerita saja.
Mohon komentarnya ya. Kisah ini sudah bersambung beberapa bagian, tapi belum selesai. Moga-moga bisa diselesaikan di sini.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kawin dengan Orang Sekampung
Matahari itu nampak terik di langit yang biru. Tidak ada tanda-tanda awan. Angin berhembus kencang, menebarkan debu di sepanjang jalan. Ki Lurah menatap khawatir ke patok bambu yang menandai sumber air. Kering. Bencana kemarau ini sudah terasa berat bagi semua orang.
"Malam ini, kita ke Ki Gondolangit," kata Ki Lurah pendek. Kepala desa itu berjalan tertunduk. Kalau alam sudah murka begini rupa, mau apalagi?
Rumah Ki Gondolangit hanyalah sebuah gubuk sederhana, dengan dinding dari bilik bambu, serta sekat-sekat kayu tipis. Di tengah rumah ada ruangan yang luas, hanya ada sebuah tikar besar di sana. Ki Lurah dan para tetua desa sudah berkumpul. Ki Gondolangit yang tua renta itu, umurnya lebih dari 90 tahun, berada di tengah, duduk bersila. Matanya terpejam, sementara sebuah bokor berisi dupa menyan melepaskan asapnya perlahan-lahan.
"Penguasa alam ini murka karena kelakuan manusia," kata Ki Gondolangit dengan suara rendah. Matanya masih terpejam. "Kemarau panjang ini kutukan. Untuk menebus kutukan, pertama-tama semua orang harus eling." Ki Lurah dan para tetua yang mendengarnya manggut-manggut. Beberapa yang selama ini sudah korupsi, mukanya menjadi pucat. Tidak ada lagi kenyamanan lebih dari memaling uang kas desa.
"Tapi itu saja belum cukup. Harus ada persembahan. Harus ada laku kinarah di desa kita," kata Ki Gondolangit melanjutkan dengan khidmat. Tangannya terangkap di depan dada. "Dengan mempersembahkan darah dan mani, kita harus menjadi satu dan baru boleh bebas dari bahaya."
"Kinarah, Ki?" tanya Ki Lurah. Suaranya gemetar. Ini adalah ritual yang sudah amat sangat tua, yang hanya pernah terdengar sebagai cerita dari masa lalu. Dari kepercayaan masa lalu, untuk mempersembahkan darah dan mani. Darah perawan. Mani semua lelaki dewasa. Semua disatukan dalam satu liang, milik perawan desa yang paling cantik rupawan. Dan itu, adalah anaknya sendiri, Renggani.
Renggani, gadis yang periang itu, umurnya sudah 17 tahun. Tinggi semampai 170 centi, rambutnya hitam sepinggang, matanya bulat besar warna coklat, tulang pipinya tinggi, kulit wajah dan tubuhnya halus kuning langsat tak ada jerawat. Dadanya besar membulat. Renggani yang cerdas, hampir lulus SMA, dan ingin kuliah seni rupa di Bandung. Gadis yang diinginkan semua pemuda kampung, tapi belum ada yang mau diterimanya. Kalau ritual kinarah ini dilakukan, pasti anaknya yang harus jadi korban.
Tapi Ki Lurah adalah Kepala Desa yang harus mau berkorban demi rakyatnya. Semua tetua telah memandangnya, semua sudah paham apa yang harus terjadi. Renggani harus mau, kalau perlu dipaksa, demi kehidupan mereka semua. Merekapun bubar diiringi angin yang meniup debu. Ki Lurah semakin dalam mengkerutkan kening dan wajahnya.
Berita itu disampaikan Ki Lurah pada tengah malam itu juga. Ia memanggil istrinya dan Renggani dan menceritakan semua yang terjadi. Karuan saja, Renggani menangis sejadi-jadinya, menolak, tidak mau! Tapi Ki Lurah tidak punya pilihan. Kalaupun ia menolak, warga akan memaksa. Ia juga akan kehilangan jabatannya. Ini adalah demi kehidupan mereka, kehidupan desa. Ki Lurah memandang istrinya yang menangis, matanya merah sembab. Namun sang istri ini mengerti situasi, jadi ia terus beranjak ke kamar Renggani untuk membujuk anaknya ini.
Keesokan paginya, Renggani sudah duduk bersimpuh di hadapan ayahnya. "Baik ayah, Renggani bersedia, demi ayah dan desa kita...." katanya lirih. Ki Lurah menghela nafas. "Renggani... jangan sangka ayahmu senang dengan keadaan ini.... kuharap, engkau mengerti, bahwa apapun yang terjadi, ayah sangat bangga kepadamu." Ki Lurah tidak bisa menahan air matanya. Orang tua ini terus memeluk anak gadisnya, yang juga menangis terisak-isak.
Sore hari itu, Ki Lurah, para tetua dan Renggani sudah duduk di depan Ki Gondolangit, untuk menerima titah dari yang maha kuasa. Orang tua itu dengan khidmat berdoa memejamkan mata, lalu mulai berkata perlahan.
"Harus dihitung, mulai dari darah bulanan berhenti keluar dari Renggani. Tiga hari pertama adalah hari pembersihan diri, mandi sehari tiga kali, yang disediakan warga. Setelah tiga hari, upacara buka kain Renggani selama empat hari. Kemudian, upacara tumpah darah. Lima hari penyembuhan dengan puasa, setelah itu upacara kawin untuk kemudian laku tumpah mani." Ki Gondolangit membuka matanya. Ia memandang Renggani. "Nduk, sekarang sedang berdarah ya?"
Renggani mengangguk. Ia memang sedang haid.
"Kalau begitu, tunggu tiga hari lagi dari sekarang," kata Ki Gondolangit. Pertemuan itupun bubar.
"Ibu, bagaimana ini Bu? Ani harus bagaimana?" tanya gadis itu dengan panik setibanya di rumah. Ibunya muram, tapi maklum. "Lebih baik lihat sendiri, Nduk."
Malam itu, Renggani tidur di sofa dipan sebelah ranjang ayah dan ibunya. Ia hanya berbaring saja di situ, tidak bisa tidur pulas. Menjelang pagi, langit mulai terang, ibunya bangun dan membuka gorden jendela. Matahari yang baru muncul di timur menyinari ruangan itu. Renggani mengerjapkan matanya.
Gadis itu terus membelalak karena ibunya terus melepas seluruh bajunya dan mengikat rambutnya ke atas. Tubuh ibunya nampak masih langsing berotot, tidak ada kulit yang menggelambir. Warna kulitnya putih kuning langsat, seperti warna tubuh gadis itu. Kedua tetek ibunya sudah agak turun, dengan putting berwarna coklat gelap. Selangkangan ibunya dipenuhi bulu lebat, jauh lebih lebat daripada selangkangan Renggani.
"Pak… ayo main Pak…." sang istri membangunkan suaminya. Ia mencium bibir lelaki itu, kemudian menarik lepas sarung bawahnya. Pagi itu, kemaluan Ki Lurah menegang keras. Mengacung. Renggani menutup mulutnya, melihat batang kemaluan milik ayahnya, yang dahulu menjadikannya ada di dunia.
Ki Lurah yang terbangun,terus menciumi istrinya. Ia seperti lupa ada Renggani di sofa sana, hanya satu meter jaraknya. Sepasang suami istri itu berciuman lekat, sementara tangan istrinya meremas-remas batang kemaluan yang hitam memerah itu. Nampaknya birahi perempuan itu sudah naik tinggi, ia terus tidur terlentang di ranjang. Kedua kakinya yang jenjang indah -- Renggani baru sadar betapa indah kaki ibunya, panjang dan halus -- terangkat mengangkang. Renggani melihat kemaluan ibunya merah, agak bergelambir, lebih besar dari miliknya. Ayahnya mengarahkan batang kemaluan yang keras itu, lalu menerobos masuk.
Ibunya menjerit lirih. "Ooohhh….. Paakkkk… enak Paakk…. Ayo genjot, genjot…."
Ki Lurah menurut. Dengan kuat, lelaki kekar bertubuh warna tembaga ini memompa batangnya keluar masuk liang yang semakin basah. Tak lama, ibunya merintih-rintih hebat, sementara ayahnya menggerung-gerung seperti singa lapar. Gerakan ayahnya maju mundur semakin cepat, Renggani melihat bagaimana kemaluan itu menancap sedalam-dalamnya.
Tiba-tiba, ayahnya terdiam. Tubuhnya mengejang, berkedut-kedut. Ibunya menjerit agak keras, "ahhhhhhhh…." Wajahnya merah, matanya terpejam, mulutnya tersungging senyum. Penuh kenikmatan. Renggani melihat persetubuhan orang tuanya dengan takjub. Usia kedua orang tua itu hampir 50 tahun, tapi mereka masih sangat penuh gairah. Membuatnya meraba memeknya sendiri. Basah.
Ayahnya mencabut batang kemaluan itu dari liang ibunya. Cairan putih meleleh keluar. Mani lelaki. Ayahnya terus turun dari ranjang, memakai sarungnya dan ngeloyor pergi keluar, ke kamar mandi. Ibunya menatap Renggani. "Begitulah Nak, orang ngentot."
Setelah Renggani selesai menstruasi, Ki Lurah memberitahu para tetua untuk mulai menyiapkan air mandi. Para lelaki pergi jauh membawa jerigen, untuk mengambil air bersih dan menyediakan air mandi rendaman untuk Renggani. Belum pernah Renggani mandi sebanyak itu, sebersih itu. Mereka menaburkan semacam rempah dan garam di air mandinya, sehingga kulitnya menjadi lebih putih dan kencang halus.
Tiga hari kemudian, dimulailah upacara buka kain. Pertama-tama, Renggani harus mengenakan lima lapis baju dan kain di pagi hari. Ia lalu berjalan keliling rumah tetua desa, masing-masing melepaskan satu lapis baju dan kain. Ketika pulang ke rumah, Renggani hanya memakai BH dan celana dalam saja. Setelah itu ia tidak boleh berpakaian lagi.
Keesokan paginya, Ki Lurah yang masuk kamar Renggani dan melepaskan BH dan celana dalamnya. Gadis itu bugil di kamarnya, lalu datanglah para tetua desa. Mereka masuk dan memandang Renggani. Gadis itu tidak boleh menutup tubuhnya, walau ia panas dingin tak karuan dipandang orang-orang tua itu. Mereka memeriksa seluruh tubuhnya dengan teliti, dan puas dengan kesempurnaannya.
Pada hari ketiga, Renggani harus keluar dari kamarnya, lalu berjalan di dalam rumah dengan bugil. Ia semakin terbiasa dengan ketelanjangannya ini. Pada saat puncak terik matahari, Renggani harus keluar dan berjalan keliling kampung lima kali. Para tetua dan pemuda desa dewasa berjejer di pinggir jalan. Semua perempuan lain dan anak-anak harus tinggal di dalam rumah. Mereka semua memandang Renggani dengan takjub, tidak ada satupun yang mengeluarkan suara. Setelah lima kali berkeliling, Renggani yakin bahwa semua lelaki kini telah melihat setiap lekuk tubuhnya, setiap bagian selangkangannya terbuka nyata. Ia pulang dan tidak lagi terpikir untuk berpakaian. Toh memang tidak boleh berpakaian.
Di hari keempat, tetua kampung datang. Renggani disuruh berbaring telentang di ranjang. Ia mengingat bagaimana ibunya kemarin ngentot dengan ayahnya. Ia meniru gaya mengangkang itu, merekahkan pahanya lebar-lebar, kedua lututnya dipegang. Jantungnya berdebar-debar.
Para tetua desa mengambil telur ayam, lalu memecahkannya. Kuning telur dan putih telur dipisahkan. Kuning telur terus ditelan, sedangkan putih telur dituangkan di atas selangkangan Renggani. Mereka mengelus kemaluan gadis itu dengan lembut, licin lengket oleh putih telur, tapi akibatnya membuat Renggani seperti tercekik menahan rasa geli dan ngilu. Para tetua itu memelintir halus kelentitnya, yang terus jadi membesar. Setelah kelima orang itu bergantian menyentuh kelentitnya, Renggani merasa sangat bernafsu. Ia ingin ada lanjutannya. Tapi, tidak ada apa-apa.
Renggani terus mandi dan menyentuh memeknya sendiri. Kali ini ia terus menyentuh kelentitnya, mengusap, memijit, memelintir, sampai akhirnya dunia seperti terbalik oleh karena orgasme hebat yang pertama kali dirasakannya. Tidak cukup sekali. Malam itu, Renggani mengulanginya lagi di ranjang. Memeknya menjadi merah sekali. Panas. Sangat nikmat tidur telanjang bulat.
Keesokannya adalah upacara tumpah darah. Ki Gondolangit memimpin upacara itu dari pagi, ia seperti bernyanyi dan berdoa serta membaca mantra. Di siang hari, barulah Renggani diantar keluar, telanjang bulat, dari rumahnya ke panggung kayu di tengah alun-alun desa. Di sana Ki Gondolangit sudah berjalan keliling tujuh kali, mengelilingi sebuah ranjang kayu yang dialas kain. Renggani disuruh berbaring telentang. Matanya ditutup kain, sehingga tidak silau oleh matahari. Renggani kembali mengangkangkan kakinya. Liangnya yang perawan itu merekah.
Dua orang laki-laki naik dan memegangi kedua kaki gadis itu. Dua orang laki-laki lain kemudian naik, yang satu terus memegangi kedua tangan Renggani. Yang seorang membawa sebaskom minyak kelapa, yang terus diguyurkan ke selangkangan Renggani. Terasa hangat. Renggani kembali naik nafsunya. Dan, tiba-tiba ia seperti tersengat, ketika merasakan ada sesuatu yang hangat dan empuk di bibir kemaluannya.
Renggani mengintip ke selangkanganya. Ia melihat para tetua berjongkok dan terus menjilat memeknya. Satu kali, setelah itu mereka turun lagi, digantikan tetua lain. Ketika lima tetua sudah selesai, para pria dewasa bergantian naik dan menjilat memeknya satu kali. Setiap jilatan membuat Renggani semakin dekat dengan orgasmenya. Setelah para lelaki tua naik, kecuali ayahnya sendiri, kini giliran para pemuda. Mereka lebih nakal, karena bukan saja menjilat mereka juga menyedot kelentitnya.
Semua itu membuat Renggani tidak dapat menahan suaranya, ia mendesah dan menjerit lirih. Para pemuda itu hanya menjilat dan menyedot sekali, lalu turun dan diganti yang lain. Entah yang ketigapuluh atau keempat puluh lelaki yang menjilat kemaluannya, Renggani tidak tahan lagi. Ia mencapai puncaknya. Dari dalam kemaluannya menyemprot cairan yang terus membasahi muka pemuda yang sedang menjilat memeknya.
Renggani melihat siapa pemuda yang mukanya penuh cairan dari memeknya itu. "Agus?" tanyanya lirih. Pemuda ganteng yang pernah menjadi impiannya. Apakah….
Ki Gondolangit menepuk pundak Agus. Pemuda itu terus membuka bajunya, membuka celananya dan turut bertelanjang bulat seperti Renggani. Gadis itu memandang pemuda tampan dengan batang kemaluan yang mengacung tegak keras. Lebih panjang dari punya ayahnya. Agus menghampirinya. Batang kemaluan yang keras itu menuju pada liangnya. Renggani tahu apa yang akan terjadi, tapi ia baru saja orgasme dan sungguh sangat menginginkan kemaluan lelaki itu ditancapkan masuk ke liangnya yang basah.
Ki Gondolangit mengucapkan mantera, dan mendorong pantat Agus. Ujung kemaluan pemuda itu merekahkan bibir memek Renggani. Gadis itu menahan nafas. Agus mendorong lagi, membuat kemaluannya amblas masuk ke dalam liang memek Renggani. Rasa sakit menyengat, tapi tidak parah. Lebih hebat rasa luar biasa ketika kemaluannya diisi batang lelaki. "Arrgghhhhhhh…… Aaaahhhhhh….." Renggani menjerit, keras. Agus menancapkan semua batangnya jauh ke dalam kemaluan Renggani.
Ketika batang itu dicabut, darah tercurah keluar dari liang kemaluan Renggani. Darah perawan. Ki Gondolangit mengambil darah perawan itu dengan kedua jari tangannya, lalu memercikkannya ke langit dan ke bumi. Acara hari itu selesai, para perempuan tua datang dan membawa jubah untuk menutup tubuh Renggani. Ia merapatkan kedua pahanya. Sakit. Tertatih-tatih, Renggani dipapah turun, lalu berjalan perlahan menuju rumahnya.
Lima hari berikutnya, seluruh desa sibuk mempersiapkan pesta sambil berpuasa. Renggani dibuatkan baju kemben yang cantik, kain sarung yang baru, semua baju pengantin adat mereka. Puasa dimulai pada subuh, lalu dibuka setelah matahari terbenam, diikuti oleh wejangan-wejangan dari Ki Gondolangit.
Di hari pengantin, pada hari keenam, Renggani menjadi pengantin wanita yang sangat cantik, sore-sore itu duduk di atas ranjang di tengah lapangan, yang kini sudah dipasangi tenda. Sekitar jam empat sore, upacara dimulai dengan tari-tarian dan rampak kendang. Para pria dewasa semua mengenakan pakaian putih dan sarung. Renggani sendiri memakai baju pengantin dan duduk menunggu. Ki Gondolangit memimpin jalannya upacara, dengan bahasa adat yang hanya sedikit dipahami oleh Renggani.
Setelah upacara kawin itu selesai, Ayahnya datang dan mencium pipi Renggani. "Terima kasih, Nak," katanya lirih. Lalu Ki Lurah mulai membuka seluruh baju pengantin Renggani, sampai akhirnya perempuan yang tidak perawan lagi itu kembali bertelanjang bulat. Renggani tahu, kini saatnya tumpah mani.
Para lelaki mulai berdiri. Dimulai dari para tetua, mereka naik ke atas, menuju ranjang Renggani. Ia kembali berbaring dan mengangkang, dengan paha diangkat ke atas. Dua orang tetua datang, satu di kiri satu lagi di kanan. Mereka berjongkok, menahan kedua paha Renggani tetap mengangkang, lalu mulai mencium dan menghisap kedua putting Renggani. Tetua yang paling tua berjongkok di depan memek Renggani, lalu mencium dan menjilatnya. Kini cukup lama, sampai Renggani kembali bernafsu oleh serangan orang-orang tua itu di tetek dan memeknya.
Tetua yang paling tua terus berdiri. Kemaluannya sudah keras mengacung, terus ditancapkan ke memek Renggani yang basah oleh ludah. Renggani menjerit lirih. Tetua itu terus memompa dengan cepat, membuat Renggani merasa enak sekali. Lelaki tua ini hebat juga, tapi tidak bertahan lama dengan memek yang baru diperawani. Ia terus menyemprotkan maninya di dalam. Sesaat kemudian, ia berhenti dan terus turun. Tetua yang lain datang dan menggantikan, batang kemaluan keras lain terus masuk ke memek Renggani. Rasanya lain, lebih gemuk. Renggani semakin naik birahinya. Tetua ini juga tidak tahan lama, terus keluar di dalam. Dari liang Renggani meleleh keluar mani, menetes-netes di ranjang.
Tetua lain terus menggantikan, dan batang kemaluannya masuk. Beberapa pria yang dewasa nampak sudah mengacung kontolnya, mereka naik ke panggung. Istri mereka turut naik, membantu mengocok dan mengisap kontol suaminya. Mereka mengacungkan kemaluan mereka ke sekujur tubuh Renggani, terus menyemportkan mani mereka. Ada yang mengenai perut, ada yang mengenai tetek, ada juga yang terus kena muka, bahkan masuk ke mulut Renggani. Terasa asin.
Kontol lain menggantikan masuk ke memek Renggani, terus menyodok dan mengocok. Kontol lain terulur ke mulut Renggani, yang terus dijilatnya, dan akhirnya Renggani menghisap kontol itu dengan mulutnya. Tangannya memegang kontol lain, satu di sisi kiri, satu di kanan. Perempuan-perempuan membantu suami mereka untuk mengeluarkan mani membasahi seluruh tubuh Renggani.
Setelah lelaki beristri semuanya menyemprotkan mani, kini giliran pemuda dewasa, di atas 18 tahun, yang mengawini Renggani. Mereka dengan bersemangat mengentot Renggani, dengan sodokan-sodokan yang dalam dan kuat, yang membuat Renggani segera mencapai orgasmenya lagi. Tetapi para pemuda itu tidak menahan diri, mereka terus bergantian menyodok dan menyemprot.
Lama-lama Renggani menjadi pegal terlentang. Seorang tetua yang mengamati keadaan terus menghentikan para pemuda itu. "Sebentar. Nduk, sekarang kamu boleh menungging. Merangkak dengan kedua tangan dan kaki." Renggani menurut. Lebih enak bisa berganti posisi. Para pemuda itu kembali menyodokkan kontol mereka masuk memek, kini dari belakang. Renggani merintih, rasanya lebih kena bagian dalam, sehingga kembali berpacu menuju puncaknya yang keempat.
Air mani mulai menggenangi ranjang dan lantai tempat mereka berada, dan Renggani menjadi semakin liar. Kini sudah puluhan lelaki memasuki tubuhnya, masih ada puluhan lain lagi mengantri. Kini ada belasan pemuda di atas panggung, dengan batang kemaluan teracung, ingin masuk dan merasakan jepitan memek Renggani.
Kadang karena masih belum puas, seorang pemuda bisa naik panggung dua atau tiga kali, ingin merasakan lagi memek perempuan itu.
Di pinggir alun-alun, gadis-gadis desa memandang kontol-kontol tegak dengan penuh rasa penasaran. Sampai akhirnya, seorang gadis turut bertelanjang bulat lalu menarik seorang pemuda yang belum kebagian naik panggung. Pemuda itu bingung melihat gadis telanjang dan mengangkang, tapi ia terus menurunkan kontolnya dan menerobos masuk memek yang masih perawan. Jeritan terdengar.
Perempuan lain yang sudah janda, melihat situasi itu tidak mau kalah. Ia juga bertelanjang bulat dan menarik seorang pemuda yang disukainya, sambil meremas kontol lelaki itu dia bilang, "masukin ke sini saja, sayang…" Janda itu terus mengangkang, dan pemuda itu menurut, menancapkan kontolnya di memek yang sudah lama tidak dijamah lelaki. Mereka bergumul sampai akhirnya pemuda itu menumpahkan semua maninya di dalam rahim janda itu.
Malam itu, semua kontol diperas habis oleh memek Renggani dan memek-memek perempuan lain yang rindu ditusuk kontol lelaki. Mani dan darah perawan berceceran. Semua lelaki puas. Renggani dengan lemah akhirnya dipapah pulang, dengan tubuh penuh diselimuti mani. Upacara pun selesai.
Anehnya, malam itu hujan terus turun. Para tetua dan semua warga bergembira. Hanya, kegembiraan itu tidak berlangsung lama ketika hujan menjadi amat sangat lebat dan mendatangkan banjir di beberapa tempat. Mungkin, orang-orang itu agak terlalu berlebihan juga.
Bagaimana dengan Renggani? Setelah upacara itu, ia tidak lagi mendapatkan menstruasinya. Ia terus hamil, mengandung anak seisi kampung yang pernah tumpahkan mani masuk rahimnya. Ia bisa ngentot dengan siapa saja, dan hidupnya terjamin karena dijagai oleh suaminya, satu kampung.