Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Kondisi Obi yang spesial pertama kali kusadari saat usianya sekitar 3 tahun. Anak lain seusianya kuperhatikan sudah bisa mengucapkan kata-kata sederhana, bahkan membentuknya menjadi kalimat. Obi tidak sama sekali. Perkembangan bicaranya benar-benar tertinggal dibandingkan dengan anak lain. Setelah konsultasi dengan suami, aku memutuskan untuk mengikutkan Obi pada sebuah program pelatihan bicara untuk anak-anak. Di tempat itulah akhirnya aku diberitahu bahwa Obi mungkin berkebutuhan khusus. Aku diminta untuk melakukan tes lanjutan.

Setelah dilakukan tes yang lebih komprehensif, dipastikan bahwa Obi memang mengidap suatu kelainan. Aku syok, tapi suami jauh lebih terpukul mengetahui kenyataan ini. Obi adalah buah hati yang telah kami tunggu-tunggu selama lima tahun pernikahan belum dikaruniai anak. Sebelum mendapatkan Obi, sudah tak terhitung usaha yang aku dan suami lakukan ke berbagai tempat, bahkan saking putus asanya, yang terakhir itu kami pergi ke “orang pintar”. Entah karena si orang pintar atau karena sebab lain, memang akhirnya aku hamil tak lama setelah itu.

Dulu, si orang pintar sempat memberikan wejangan yang dia sampaikan khusus kepadaku. Dia menyampaikannya ketika suami sudah keluar menuju parkiran mobil. Dia berpesan untuk selalu menyayangi anakku kelak jika berhasil hamil. Tentu saja aku akan menyayanginya. Kan aku sendiri yang ngotot ingin punya anak. Mana mungkin tidak kusayangi. Si orang pintar hanya tersenyum, lalu menambahkan, “Sayangi dia dengan seluruh jiwa-ragamu. Apapun yang terjadi.”

Aku tidak mengerti alasan orang pintar itu berkata demikian sampai akhirnya Obi mendapatkan diagnosis kelainannya. Oleh karena itu aku sedikit bisa meredam kekecewaanku. Aku langsung teringat wejangannya.

Berbeda dengan suami.

Sebetulnya dia orang yang baik, tapi dia punya keluarga yang sangat memandang tinggi status sosial dan pengakuan. Di kalangan keluarga besar suami, pencapaian pribadi benar-benar dianggap penting. Kalau tidak dalam bentuk kekayaan, berarti dalam bentuk jabatan. Akan lebih mantap kalau bisa dapat dua-duanya.

Orang yang tidak punya prestasi apa-apa akan dikucilkan dan jadi bahan cemoohan.

Untuk konteks seorang perempuan, kesuksesan seorang perempuan adalah ketika berhasil memberikan keturunan. Kemudian anak itu menjadi anak yang hebat dan diakui banyak orang. Begitulah tuntutan yang dibebankan ke pundakku begitu aku memutuskan untuk menikah dengan suami. Aku tetap menyanggupinya karena kupikir semua akan lancar-lancar saja.

Ternyata kenyataan berkata lain.

Sebelum aku berhasil hamil Obi, suami pernah hampir menceraikanku. Dia memang belum sempat mengutarakan niatnya itu, tapi aku mendengar percakapannya dengan ibu mertua lewat telepon. Ibu mertua mendesak supaya suami mencari istri baru yang lebih subur. Pada saat itu aku sakit hati tapi tak mampu melakukan apa-apa.

Ketika akhirnya berhasil hamil Obi, aku merasa mendapat kesempatan untuk membuktikan pada keluarga suami bahwa aku bukanlah ladang kering. Oleh karena itu, kujaga betul jabang bayiku ketika hamil dulu. Asupan makananku kuatur dengan ketat. Aku bahkan ikut kelas yoga online supaya mentalku lebih kuat.

Ketika akhirnya buah hati yang ditunggu-tunggu lahir, semua orang bersorak gembira. Terlebih, ini adalah cucu laki-laki dari anak laki-laki pertama. Berbagai perayaan dan selamatan digelar oleh keluarga besar suami. Aku ikut merasa bangga.

Aku tidak menyangka bahwa kenyataan selalu punya kejutan.

Kalau bukan karena wejangan di masa lalu itu, mungkin aku juga sudah runtuh ketika menghadapi kenyataan bahwa anak kandungku, yang menjadi tumpuan harapan banyak orang, ternyata punya kelainan yang begitu parah. Diriku pribadi sempat sangat terpukul, tapi itu tidak berlangsung terlalu lama. Mungkin karena naluriku sebagai seorang ibu, begitu melihat wajah anakku, semua kekecewaan itu seakan-akan sirna seketika.

Sementara suami, dia membutuhkan waktu lebih lama untuk berdamai dengan situasi. Dia sempat tak mau berinteraksi dengan Obi. Kalau Obi mengajaknya berbicara, selalu memalingkan wajah. Aku yang melihatnya tentu saja merasa sangat sedih. Tapi di sisi lain, berpegang teguh pada wejangan si orang pintar, aku bertekad untuk menjadi orang tua terbaik buat Obi—apapun yang terjadi. Sejak saat itulah Obi jadi jauh lebih dekat denganku ketimbang dengan ayahnya.

Selang beberapa bulan, suami akhirnya bisa sedikit rileks. Kemudian dia mengusulkan sebuah solusi: coba lagi. Dia sangat menggebu-gebu soal ide ini. Aku sendiri sebenarnya mau-mau saja, tapi yang aku khawatirkan adalah, kalau sampai ada anak selanjutnya, apakah Obi akan ditelantarkan? Apakah Obi akan dibuang seperti produk gagal? Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku utarakan kepada suami secara tegas. Dia bilang hal itu tidak akan pernah terjadi. Sebagai bukti, dia mulai mencoba bermain lagi dengan Obi. Sayangnya, karena lama tak dihiraukan, Obi jadi sulit menerima ayahnya kembali.

Aku melihat itikad baik suami terhadap Obi sudah ada, jadi kuputuskan untuk menerima ide itu. Lagipula ini bukan cuma soal dia, tapi lebih besar lagi tentu saja tentang martabat keluarganya. Akhirnya kami usahakan lagi punya anak. Awalnya, dengan asumsi bahwa tidak ada masalah apa-apa dengan kesuburanku (dan memang terbukti bahwa aku bisa punya anak), kami berkonsultasi dengan dokter kandungan. Bulan demi bulan berlalu, aku tak kunjung hamil lagi. Aku langsung terpikir untuk mendatangi si orang pintar lagi.

Anehnya, ketika datang ke tempatnya yang dulu kami datangi, orang itu sudah tidak ada. Jangankan orangnya, rumahnya saja sudah tidak ada. Bekasnya pun tidak ada. Yang kutemukan di alamat itu adalah sebuah ruko. Tak mau berpikir ke mana-mana, kuanggap saja dia memang sudah pindah.

Sampai Obi menginjak usia lima tahun, aku tak juga hamil anak kedua. Mertua sempat menyarankan untuk menjalani program bayi tabung, tapi suami menolak. Biayanya terlalu mahal, katanya.

Aku sendiri malah semakin bisa beradaptasi dengan kondisi Obi. Aku mengikuti berbagai kelas parenting anak berkebutuhan khusus. Aku membeli banyak buku-buku psikologi. Aku bahkan berkorespondensi dengan seorang peneliti dan praktisi di bidang psikologi anak. Aku bisa menerima Obi dengan segala kekurangan—dan juga kelebihan—nya.

Tapi tekanan dari pihak keluarga suami bertambah berat. Semakin Obi tumbuh besar, semakin terlihat bahwa dia berbeda. Meskipun tak pernah menunjukkan keengganan mereka secara terang-terangan, aku bisa merasakan tatapan merendahkan yang mereka arahkan setiap melihat Obi. Di situ aku sakit hati dan perlahan-lahan punya pikiran untuk pergi saja meninggalkan keluarga bermartabat tinggi ini.

Sebelum aku sempat mengutarakan pikiranku itu—yang kuperkirakan akan ditolak mentah-mentah—mereka (suami dan mertua) ternyata sudah duluan melakukan sesuatu yang kemudian menjadi titik balik perjalananku sebagai seorang wanita. Aku tidak menyangka orang bermartabat seperti mereka bisa mengusulkan ide segila itu.

Suami diam-diam sudah melakukan nikah siri dengan seorang perempuan. Ketika kabar sinting itu sampai di telingaku, tentu saja lewat menguping, si perempuan sudah bunting lima bulan. Mereka berniat menyampaikan langsung kepadaku ketika anak si perempuan itu sudah lahir.

Yang langsung terpikirkan olehku adalah, sebegitu ngototnya kah mereka ingin punya penerus takhta—? Sebegitu pentingnya kah jadi “orang” bagi mereka? Serusak itukah anakku di mata mereka? Kalau memang aku dan anakku sudah tak lagi mereka anggap, kenapa tidak cerai saja?

Aku memendam semua beban benci dan kekesalan itu selama kurang lebih empat bulan. Ketika mereka akhirnya menyampaikan bahwa suami sudah nikah lagi dan sudah punya anak lagi dengan si istri baru, aku hanya menanggapi dengan sambil lalu. Yang paling najis adalah mereka pura-pura mengasihaniku, tapi kemudian mereka mengasihani diri mereka lebih-lebih, berkata bahwa semua itu demi kemaslahatan keluarga. Iya, tapi keluarga elu!

Si istri baru dibawa tinggal bersama. Kami pindah ke rumah baru yang lebih besar. Rupanya, menolak usulan bayi tabung karena alasan biaya mahal itu omong kosong saja. Buktinya suami ada duit untuk menghidupi istri kedua.

Saat pikiranku sedang kalut-kalutnya Obi selalu bisa menghiburku. Seiring dengan kemampuan komunikasinya yang meningkat sedikit, terutama terhadapku, Obi mulai bisa membaca sekelumit emosi yang kutunjukkan di hadapannya. Ketika aku menangis tanpa suara, menitikkan air mata, Obi mencoba menyusut air mata itu dengan tangannya.

“Bunda. Cep… Cep…” ucap Obi sambil menirukan gerakanku mengusap-usap kepalanya kalau dia sedang menangis.

Terang saja aku malah semakin menangis. Terharu. Kupeluk Obi. Kuputuskan untuk bertahan menghadapi apapun itu masalahnya, yang penting aku bisa menjaga Obi, memberikan yang terbaik untuknya, dan—sesuai wejangan yang semakin lama semakin kupegang teguh—aku akan berusaha menyayangi Obi dengan seluruh jiwa-ragaku. Jiwa-dan-raga.

***​

Secara de jure alias di atas kertas, memang aku ini masih istri, dan satu-satunya istri sah, dari suami. Tapi pada kenyataannya, dengan istri barunya lah suami menghabiskan hampir seluruh waktunya. Dengan anak mereka yang sedang lucu-lucunya. Terkadang aku punya pikiran jahat supaya anak itu juga mendapatkan semacam penyakit bawaan yang bikin hidupnya tak berarti di mata keluarga suami. Buru-buru kuingatkan pada diriku sendiri bahwa anak itu tak ada dosa sama sekali. Dia patut mendapatkan kehidupan yang sama layaknya dengan anakku.

Anak itu tumbuh normal. Usia tujuh tahun dia dimasukkan ke sekolah favorit paling mahal. Sementara Obi, tak pernah sekalipun ditawari untuk masuk sekolah—sekolah khusus. Tentu saja karena hal itu akan menjadi aib buat keluarga mereka. Kebanyakan orang luar diberi tahu bahwa Obi diberi pendidikan homeschooling. Tidak salah sih, tapi yang melakukannya adalah aku seorang. Mereka sama sekali tidak turut campur, tidak ada peduli apapun.

Sebetulnya aku memang lebih nyaman kalau Obi selalu dekat denganku. Aku tidak ambil pusing bahwa Obi tidak sekolah, cuma kesal saja rasanya bahwa mereka tidak sedikit pun memikirkan soal masa depan Obi. Untung saja aku memiliki akses penuh terhadap segala sumber pengetahuan dan fasilitas untuk mendidik Obi dengan sebaik-baiknya. Banyak barang-barang impor penunjang pendidikan anak berkebutuhan khusus yang bisa kubeli tanpa pikir-pikir. Suami memberiku kartu kredit dengan limit lumayan tinggi.

Kejutan selanjutnya menantiku ketika kukira hidup sudah mulai sedikit tenang.

Suatu hari aku mencuri dengar percakapan antara suami dan mertua. Aku juga heran pada diriku sendiri kok masih mau mendengarkan omongan mereka di belakangku, padahal isinya sudah pasti tidak ada yang mengenakkan hati.

“Seandainya kamu dulu nikahnya sama Dinda dari awal. Pasti nggak bakal repot kayak sekarang hidup kamu. Kamu tahu nggak si Tiar itu suka beli barang-barang mahal dan nggak jelas cuma buat si Obi?”

“Saya nggak repot, Bu. Obi juga kan anak saya. Biar lah Tiar merawat Obi sepenuhnya.”

“Merawat sih merawat, tapi nggak usah ngabisin tabungan suami juga dong. Emangnya bisa apa anak idiot kayak si Obi itu? Mau dibeliin mainan semahal apapun, idiot ya idiot aja.”

Sumpah ya. Hampir-hampir aku meraih guci keramik terdekat supaya bisa kupecahkan di kepala mertua bajingan itu. Berani-beraninya dia bilang anakku idiot. Dasar nenek lampir.

Sesorean itu sampai malam moodku jadi buruk sekali. Rasa kesal dan sakit hati yang tidak bisa kulampiaskan. Tapi rupanya kesialanku belum selesai. Masalah datang bertubi-tubi.

Satu lagi bukti konkret bahwa aku sudah tak dianggap sebagai istri adalah bahwa selama ini suami tak pernah lagi menyentuhku. Jangankan berhubungan suami-istri, mencium saja sudah tak pernah. Betul-betul gersang ladangku. Tapi, meskipun kadang kepikiran, aku tak pernah menjadikannya masalah besar karena toh aku juga selalu fokus pada Obi hampir selama 24 jam penuh.

Ketika kutahu bahwa suami nikah siri, tentunya sudah mencapai pemahamanku bahwa dia pasti melakukan hubungan suami-istri dengan perempuan itu. Ya iya lah. Saat itu si perempuan kan sudah bunting.

Ketika dia memutuskan untuk membawanya tinggal bersama, pastinya diriku yang manusia dewasa ini sudah mamahami secara mendalam bahwa sudah seyogianya mereka akan sering melakukan hubungan suami-istri. Kalau tak ke ladang yang satu, pasti kan ke ladang yang baru. Kan logikanya begitu. Mana mungkin suami membiarkan perempuan muda itu nganggur.

Dengan semua pemahaman tersebut, tak pernah sedikit pun aku terbersit rasa cemburu. Sebab, detik ketika kudengar bahwa diriku ini dimadu, detik itu pula sudah hilang semua perasaanku pada suami yang dulu sempat kujaga dan kupertahankan.

Tapi semua berubah ketika kusaksikan kejadian malam itu. Rentetan peristiwa yang akhirnya membawa hidupku ke belantara misteri baru yang sempat membuatku gentar.

Aku dan Obi tidur sekamar, bahkan seranjang. Meskipun menurut ukuran masyarakat umum usia Obi sudah tak cocok lagi tidur sekasur dengan ibunya, toh tak ada yang tahu juga kecuali orang rumah. Semuanya normal-normal saja, tidak ada yang aneh. Paling Obi kadang suka membangunkanku tengah malam minta diantar ke kamar mandi atau minta dibuatkan susu.

Malam itu malah aku yang terbangun karena ingin buang air kecil. Setelah buang air kecil, kok tiba-tiba terasa sangat haus, dan yang terbayang di benakku adalah menenggak sebotol teh dingin yang ada di kulkas dapur.

Posisi kamarku dan Obi ada di bagian paling depan rumah. Untuk mencapai dapur di bagian belakang harus melewati ruang tengah. Biasanya lampu tengah selalu dimatikan ketika dipastikan semua orang rumah sudah tidur.

Adapun kamar suami dan si pelakor ada di lantai dua. Mereka leluasa berbuat apapun di sana. Dan, demi apapun, aku tak peduli. Aku tak pernah iseng terpikirkan perbuatan apa saja yang mereka lakukan di sana.

Apes sekali diriku malam itu, ketika hendak mengambil minuman dingin ke dapur, aku malah memergoki mereka berdua sedang bergulat di sofa ruang tengah. Langkahku terhenti dan aku langsung menunduk. Entah kenapa terpikir olehku bahwa kalau sampai mereka tahu aku memergoki mereka, akan menjadi sangat canggung bagi semua pihak.

Berdasarkan pemikiran otak sadarku yang waras, seharusnya aku segera kembali ke dalam kamar dan menutup pintu. Namun, tololnya aku, pada siatuasi segenting itu aku malah diam membeku. Mataku tak bisa kabur dari menatap adegan persetubuhan mereka.

Bisa kulihat jelas meskipun dengan pencahayaan minim, penis suami sedang keluar masuk lubang vagina Dinda. Posisi mereka membelakangiku. Kaki Dinda mengangkang ke tas. Genjotan mereka masih pelan, menandakan bahwa permainan sepertinya baru saja dimulai. Mereka khusyuk berciuman.

Lebih dari perasaan lain, pada awalnya aku terkejut. Aku terkejut karena memergoki mereka melakukannya di tengah-tengah ruang publik. Apa mereka tidak berpikir bahwa ada kemungkinan seseorang bakal memergoki mereka? Atau mereka memang sengaja ingin dipergoki? Oleh siapa? Apakah olehku? Apakah mereka sengaja ingin membuatku cemburu?

Ya, perlu kuakui, memang kurasakan cemburu. Tapi bukan cemburu kepada seorang suami yang bercinta dengan wanita lain. Cemburuku lebih pada fakta bahwa mereka bisa bersetubuh dengan puasnya hampir setiap malam, sedangkan ladangku kering-kerontang selama bertahun-tahun. Untuk pertama kalinya aku merasakan ingin sekali dicumbu laki-laki.

Maka, menurut skenario yang seharusnya berlaku, hal selanjutnya yang kurasakan adalah horny. Seiring dengan rasa dengkiku yang tiba-tiba meroket, berahiku pun tiba-tiba melesat tinggi. Sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali aku disetubuhi, tanganku mulai bergerak meraba-raba bagian bawah. Posisiku berjongkok di atas lantai.

Tidak lama vaginaku sendiri mulai terasa basah. Genjotan suami ke vagina Dinda semakin meningkat kecepatannya. Suara erangan mereka pun mulai terdengar meskipun sangat lirih. Mereka pasti menahannya sebisa mungkin. Aku sebetulnya sudah tidak terlalu memikirkan apa-apa selain mengobel kelaminku sendiri. Saat itulah tragedi selanjutnya menyusul.

Sesuatu menyentuh punggungku, saat kutengok ke belakang, Obi sedang berdiri di sana. Tatapannya lurus ke arah adegan persenggamaan di ruang tengah.

ASTAGA!

Sudah berapa lama Obi berdiri di belakangku? Kok aku tidak sadar? Pikiranku menuntut untuk bertindak secepat mungkin.

Langsung kuraih tangan Obi, kutarik dia kembali masuk ke dalam kamar, lalu kututup pintunya sepelan mungkin, berusaha tidak menimbulkan suara. Jantungku rasanya mau copot.

Kutatap wajah Obi, matanya penuh tanya. Aku baru sadar bahwa tanganku yang sedang memegang lengan Obi adalah tangan yang tadi kupakai untuk mengobel vaginaku yang sudah agak berlendir. Langsung kulepaskan.

Sial. Aku benar-benar mati kutu, tak tahu harus bagaimana.

Segera kuseka tangan kotorku. Setelah kupastikan kering tak bersisa (lendirnya), baru kugunakan untuk memegang lengan Obi lagi.

“Obi mau apa? Mau Bunda bikinin susu?”

Obi tidak bereaksi. Biasanya dia setidaknya menggeleng kalau yang kutanyakan bukan keinginannya.

“Obi tadi mau ke mana?”

Obi tetap diam. Aku kehabisan pikir.

“Ya udah. Bobo lagi yuk.”

Kutuntun Obi untuk naik lagi ke atas ranjang. Kuselimuti dia, dan kutepuk-tepuk punggungnya supaya lekas tidur lagi.

Aku tidak bisa memastikan sudah berapa lama tadi Obi berdiri di belakangku, dan sejauh mana atau sejelas apa dia melihat adegan persetubuhan itu. Namun, kuasumsikan saja, meskipun dia melihatnya, Obi tak akan paham. Selama ini tak ada pengaruh dunia luar yang mencapai Obi kecuali lewat diriku. Semua akan baik-baik saja, pikirku.

Sambil menepuk-nepuk punggung Obi, malah aku yang jadi megantuk lagi dan akhirnya tertidur. Kemudian aku bermimpi. Di dalam mimpi, berahiku yang tadi sempat melonjak itu termanifestasi dalam bentuk seorang laki-laki. Figur dalam mimpiku ini wajahnya familiar, tapi benakku (yang di dalam mimpi) tidak mampu mengenalinya.

Aku tidak berusaha memastikan identitasnya. Ngapain juga? Namanya aja mimpi.

Laki-laki itu mencumbuku dengan sangat lembut. Dibelainya seluruh permukaan wajahku, lalu dikecup keningku. Kemudian dia mengecup kedua pipiku bergantian. Anehnya, dia tidak mengecup bibir. Setelah itu dia memelukku, mendekapku sambil menindih. Anehnya, tak terasa berat di badanku. Ya, mungkin karena ini mimpi. Lama dia memelukku sambil wajahnya terbenam di dadaku. Terasa hangat napasnya. Aku sudah sangat horny tapi tak pegang kendali.

Kemudian dia mengangkat wajahnya untuk menatapku. Jelas sekali terlihat, tidak tersamarkan sedikit pun, detail, tapi benakku dalam mimpi itu tetap tak bisa mengenali siapa dirinya. Ketika dia tersenyum, tahu-tahu selangkangannya sudah menekan-nekan ke selangkanganku. Tanpa kutahu kapan penetrasinya, tahu-tahu kami sudah bersetubuh. Dia memompaku pelan sambil terus memandangiku.

Aku tahu memang terkadang mimpi terasa nyata, tapi kali ini benar-benar seperti ada yang memompa bagian tertentu tubuhku. Rasanya terlalu nyata kalau ini masih mimpi. Semakin lama pompaannya semakin keras.

Antara sadar dan tidak sadar, aku merasakan badanku betul-betul sedang diguncang. Guncangan itu semakin kencang hingga akhirnya aku terbangun. Dengan mata yang masih belum bisa melihat sepenuhnya (karena memang lampu kamar dimatikan), bisa kupastikan ada seseorang yang sedang mendorong-dorong tubuhku. Siapa lagi kalau bukan Obi?

Butuh beberapa saat sampai aku sadar penuh bahwa aku sudah bangun. Memang begitu kalau terbangun dari tidur di tengah sebuah mimpi. Ada semacam dimension lag.

Aku tidur menyamping menghadap kiri, lututku ditekuk. Biasanya Obi ketika mulai tidur menghadap ke arahku, tapi nantinya dia akan tidur terlentang atau malah tengkurap. Tapi saat itu Obi tidak dalam posisi tidur apapun. Dia menaiki pahaku, berusaha duduk di atasnya. Tangannya memegang pantatku sambil menjaga keseimbangan. Yang bikin aku kaget adalah, ternyata tidak hanya duduk, Obi menggerak-gerakkan pinggulnya.

“Obi kenapa, sayang? Obi pengen apa?”

Aku hendak bangkit tapi ternyata tubuh Obi lumayan berat, apalagi yang diduduki adalah pahaku dalam posisi menyamping.

Obi kemudian menurunkan tubuhnya. Posisinya menindihku sekarang, tapi dengan tubuhku yang masih menyamping. Tangan Obi bertumpu pada kasur.

Ada sesuatu yang sebelumnya tidak kusadari, kini terasa dengan jelas. Sesuatu yang keras dan tegang menempel di pahaku. Obi berusaha menggesek-gesekkan penisnya yang ereksi ke pahaku. Aku mendengar dia sedikit mengerang. Entah mengerang kesakitan atau kesal. Erangan kecil dan pendek.

“Obi kenapa? Obi mau apa?”

Aku berusaha mengangkat tubuh Obi, tapi dia seperti pakai tenaga untuk menindihku. Berat sekali rasanya.

Obi semakin keras mendorong-dorong penisnya di pahaku. Lalu wajahnya mendusel di lengan atasku di sekitar ketiak.

Karena tak bisa mendorong tubuhnya menjauh, kuputuskan untuk mengubah posisi tubuhku biar lebih nyaman bagi kami berdua. Kuputar badanku ke kanan, kini posisiku terlentang. Tepat saat aku selesai memutar badan, penis tegang Obi yang tadinya menggesek pahaku, kini terjatuh tepat di atas selangkanganku.

Obi menghentikan hentakannya. Mungkin dia tidak menyangka bahwa aku memberi respon gerakan. Obi mengangkat wajahnya, lalu menatapku, kuperhatikan dia seperti hendak menangis. Anak ini benar-benar di ambang menangis.

Kuusap wajahnya.

“Hei, kenapa sayang? Ada yang sakit?”

Obi mengangguk pelan. Respon pertama yang dia berikan sejak kejadian sebelumnya.

“Apanya yang sakit?”

Obi kemudian memegang selangkangannya.

Aku terkesiap.

“Ininya sakit?” Aku memastikan sambil ikut memegang bagian itu.

Obi mengangguk.

“Coba sini, Bunda pegang.”

Kusisihkan tangan Obi supaya bisa memegang penisnya secara langsung.

Tanganku terkejut memegang benda keras itu lagi setelah sekian lama. Darahku langsung berdesir. Tiba-tiba saja otot perutku terasa pegal. Tubuhku mengalami perubahan komposisi hormonal yang sangat drastis dalam waktu singkat.

“Bunda obatin, ya.”

Dengan tetap di posisi, yakni aku di bawah, dan Obi hendak menindihku dari atas, kupelorotkan celana tidur Obi. Kuusap-usap penis Obi dari luar celana dalamnya. Obi merespon dengan ikut menggesekkan penis itu di tanganku.

Panas penisnya menyapu hamparan saraf di telapak tanganku. Tubuhku merespon semakin gila.

Segera kubuka juga celana dalamnya. Kini penis Obi bebas mengacung di atas selangkanganku. Kuludahi telapak tanganku beberapa kali sebelum kembali mengusap-usap penis Obi. Gerakan Obi semakin ganas bahkan melebihi usapan tanganku. Refleks tanganku pun menggenggam penis itu supaya lebih terarah gesekannya. Kini aku sedang mengocok penis anakku sendiri.

Wajah Obi dari yang tadinya mau menangis berubah jadi menunjukkan ekspresi kenikmatan. Ini pertama kalinya Obi menunjukkan wajah seperti itu dan aku terpesona. Betapa senangnya aku menyaksikan ekspresi wajah Obi yang begitu.

Kocokan tangan kupercepat, Obi pun semakin liar menggerakkan pinggulnya. Tak berapa lama Obi mulai memejamkan matanya. Sepertinya dia mau mencapai klimaks. Sambil kukocok, kuremas juga penis tegang itu secara dinamis. Terang saja Obi keenakan dan mengerang.

Ahhh… Bunda…”

“Iya, kenapa sayang? Dah mau keluar? Ayo, keluarin.”

Gerakan Obi jadi tak karuan dan sporadis. Kuhentikan kocokanku. Di momen puncaknya, biar Obi yang memegang kendali penuh.

Aku sungguh tidak menyangka bahwa saat itu lewat tanganku sendiri Obi mengalami orgasme pertamanya.

Air maninya berceceran di baju tidurku. Obi langsung ambruk. Terdengar napasnya seperti kelelahan. Aku mengusap-usap belakang kepalanya.

“Udah nggak sakit kan sekarang?”

Obi mengangguk di pundakku.

Tanpa memakaikan kembali celananya, kuselimuti Obi, lalu kutepuk-tepuk lagi punggungnya. Aku sendiri tak mungkin untuk tertidur lagi. Ada terlalu banyak hal kupikirkan dan kurasakan.

Setelah memastikan Obi sudah tertidur lelap, tanganku mulai menyusup ke dalam calanaku sendiri.

***​

Kejadian malam itu tentu saja berulang—sesuai wajarnya skenario. Aku jadi reguler mengocok penis Obi ketika dia mengeluhkan ereksi. Kadang kulakukan sebelum dia mandi pagi. Atau langsung setelah Obi bangun tidur. Atau menjelang tidur. Tiga waktu itu biasanya yang jadi waktu utama aku memasturbasi anakku sendiri.

Selesai mengocok Obi, kalau sempat, biasanya aku lanjutkan dengan masturbasi untuk diriku sendiri. Tanganku yang bekas menyentuh penis Obi tak kucuci dulu supaya bisa kucium dan kuhirup aroma penis yang khas.

Masalah terjadi ketika semakin lama kocokanku semakin tidak mempan untuk menenangkan penis Obi. Waktu ejakulasinya semakin lama. Kadang sampai 20 menit baru keluar. Pegal juga tanganku mengocok selama itu.

Berdasarkan pemikiranku yang sudah dewasa, maka solusi yang tepat adalah meningkatkan rangsangannya. Maka aku pun beralih dari mengocok menjadi mengulum. Awalnya Obi terheran-heran dan sedikit ketakutan karena mengira aku akan memakan penisnya. Cukup lucu juga kalau diceritakan, tapi sepertinya tak perlu. Dengan berbagai rayuan dan penjelasan, juga mungkin sebab Obi sendiri sadar bahwa penisnya semakin tangguh, akhirnya dia mau kusepong. Dan benar saja penisnya langsung jadi sensitif lagi terhadap mulutku.

Akhirnya mulutku kembali merasakan rasa air mani setelah sekian lama. Semakin ganas saja aktifitas merancapku setelahnya.

Terkadang Obi bahkan belum bangun di pagi hari, tapi sudah kusedot penis tegangnya sampai dia bangun. Obi sudah tidak takut lagi. Ia sudah paham aku tidak akan memakan penisnya.

Sebagaimana lazimnya, penis Obi pun akhirnya semakin kebal terhadap sepongan mulutku.

Malam itu sudah hampir 20 menit kepalaku turun naik mengenyot penis Obi. Meskipun Obi tetap merasa enak, tapi dia tidak bisa mencapai puncak. Aku sangat prihatin. Maka sebagai ibu yang baik, aku harus segera menemukan solusi.

“Obi, tititnya Bunda masukin ke memek Bunda aja ya?”

Obi tidak menjawab. Dia tidak mengerti apa itu ‘memek’. Lagi pula, aku bertanya bukan karena benar-benar ingin meminta izin padanya.

Obi bengong saja melihatku melepaskan celana tidurku dan sekaligus celana dalam. Ketika aku mengangkanginya, barulah Obi berbicara.

“Bunda mau apa?”

Ini Obi, dimasukin ke ini Bunda. Nanti enak deh.” Jelasku sambil menunjuk kedua kelamin kami.

Obi akhirnya mengangguk setuju.

Ahhhh… Bunda… geli…” Obi meracau ketika kepala penisnya yang sedang sangat sensitif memasuki dinding vaginaku yang juga sama sensitifnya.

Begitu batang itu masuk seluruhnya, seperti sebuah golok masuk wadahnya, Obi tiba-tiba memeluk punggungku. Lalu dia mulai menggenjot dari bawah secara impulsif. Sepertinya ini berasal dari naluri. Penis Obi secara alamiah menyodok-nyodok vaginaku yang memang sudah seharusnya begitu kalau penis masuk ke dalam vagina.

Meskipun gerakannya kacau dan tidak berirama, aku tetap bisa menikmatinya sebab sudah sekian lama vaginaku tidak dimasuki penis laki-laki. Dinding vaginaku menyambut si batang dengan gagap gempita.

Kuputuskan untuk mengubah posisi supaya Obi lebih leluasa menggenjotku. Kuminta Obi berhenti sejenak.

“Sebantar, sayang. Gantian Bunda yang di bawah Obi yang di atas, ya.”

Tanpa melepaskan penisnya, aku membalik badan kami. Obi dengan sabar mengikuti gerakanku. Setelah posisi berubah, Obi langsung tancap gas menggenjotku dari atas. Wajahnya tampak sangat sumringah.

“Enak sayang?”

“Enak, Bunda.”

“Ini kita namanya lagi ngentot.”

“Etot?”

“Iya. Ngentot. Obi lagi ngentot sama Bunda.”

“Obi etot Bunda. Hehehehehe…” Obi tertawa senang.

Tak lama Obi pun menumpahkan air maninya di vaginaku.

EUGH! EUGH! EUGH!” Selangkangannya menghentak-hentak dengan kencang.

“Hehehehe… Obi udah keluar ya?”

“Teluar. Hehehehe… Obi teluar…”

Aku tiba-tiba teringat wejangan itu. Inikah maksudnya aku menyayangi Obi dengan seluruh jiwa-ragaku?

***​

Tentu saja berulang. Obi mengentotku sudah menjadi kegiatan rutin. Biasanya setiap sebelum tidur Obi menggenjot vaginaku sampai ejakulasi di dalam. Masalah muncul ketika aku mens. Cukup sulit untuk Obi memahami bahwa tubuh perempuan punya siklus biologis bulanan yang tak dapat dihindari. Kutunjukkan saja langsung bahwa vaginaku sedang mengeluarkan darah. Baru akhirnya Obi pun membuat pemahamanannya sendiri bahwa pada saat itu aku sedang sakit.

Rutinnya setiap menjelang tidur, tapi di siang hari pun Obi kerap meminta ngentot. Utamanya kalau dia tidak sengaja menyaksikan si pelakor yang memang badannya seksi itu. Obi biasanya langsung bilang.

“Bunda. Etot.”

Aku kemudian sadar bahwa hal ini bisa berbahaya kalau terdengar orang. Oleh karena itu kuajarkan dia membuat isyarat dengan tangannya. Sebelumnya sudah kuajarkan juga Obi membuat isyarat kalau dia hendak buang air.

Kalau sudah begitu, langsung kubawa Obi masuk ke dalam kamar. Tak lupa kukunci pintu. Posisi favorit Obi mengentotku sambil aku duduk di tepi ranjang dan dia berdiri.

Aku langsung memelorotkan celana dalam, menyingkapkan rok. Obi pun sudah inisiatif untuk membuka celananya sendiri. Biasanya kukocok-kocok dulu sebentar pakai tanganku yang sudah diludahi.

Obi mengentotku sambil memeluk. Jarang sekali dia berani menatap wajahku. Padahal kan aku kepingin lihat.

***​

Setelah sering dientot, aku jadi samkin-makin-makin-makin sayang kepada anakku itu. Aku sering mengajak Obi jalan-jalan ke tempat-tempat menarik. Paling senang kalau kuajak dia ke kebun binatang. Namun, risiko berada di tempat-tempat umum adalah kalau Obi tidak sengaja melihat perempuan berpakaian seksi. Dia pasti langsung minta ngentot.

Pertama kali kami melakukan di luar rumah adalah di toilet sebuah restoran. Kebetulan juga ketika itu Obi sudah hampir tiga hari tidak minta jatah karena sibuk mengerjakan puzzle besar yang baru kubelikan untuknya.

Saat Obi sedang menyuap sphagetti ke mulutnya, tiba-tiba lewat seorang perempuan muda dengan pakaian kantor. Tubuhnya sangat menonjol pakaian itu tidak kuasa menutupi gundukan payudaranya. Perempuan itu juga memakai rok yang lumayan pendek di atas lutut. Obi langsung melihat ke arahku dan memberikan sinyal. Kondisi restoran sedang cukup ramai. Aku tidak tahu apa yang akan Obi lakukan kalau aku menolaknya waktu itu. Sebab, sudah tiga hari dia tidak ngentot.

Gedung restoran berada di sebuah lobi perkantoran. Aku terpikir untuk menggunakan toilet di lantai atas yang sepertinya lebih sepi. Kutuntun Obi keluar dari restoran menaiki lift menuju lantai dua. Di dalam lift hanya ada kami berdua. Obi sudah tidak sabaran dan menggesek-gesekkan penisnya ke pahaku. Aku hanya tersenyum.

“Bentar ya, sayang. Kita cari toilet yang kosong.”

Syukurlah kondisi di lantai dua sepi. Lantai dua ini memang berfungsi sebagai semacam teras saja. Tidak ada ruangan yang dipakai untuk kantor. Kami langsung menuju toilet. Keberuntungan selanjutnya, ternyata ada toilet khusus difabel yang lebih lega.

Langsung saja kami masuk ke situ. Mengunci pintu. Obi cepat-cepat membuka celananya. Benar-benar birahi dia. Aku baru selesai melepaskan celanaku Obi sudah menerjang saja. Penis tegangnya menusuk-nusuk selangkanganku, berusaha segera masuk ke sarangnya.

“Sayang, pake kondom dulu ya. Hari ini Bunda lagi subur.”

“Bunda. Etot. ETOTTT…!!!”

Duh, sudah sangat konak anakku sayang. Tapi walau bagaimanapun, tindakan pencegahan harus diutamakan. Setelah kurayu sehalus mungkin, Obi pun akhirnya mau menunda penetrasi untuk memakai kondom terlebih dulu.

Selesai kupasangkan kondomnya, aku pun menungging. Obi segera menyergap pantatku dengan penis tegangnya yang kini sudah berpelindung. Karena tidak sabaran, penis itu jadi susah masuk ke dalam vaginaku. Aku akhirnya membantu mengarahkan pakai tanganku. Kubimbing supaya sodokannya tepat mengenai sasaran.

Begitu masuk, Obi langsung saja menggenjot dengan liar. Tangannya memegang pundakku sebagai tumpuan.

“Pelan-pelan aja, sayang, ngentotnya. Bunda nggak kenama-mana kok.”

Ah! Ah! Ah! Bunda… Obi etot Bunda…”

“Hehehehe… iya, Obi lagi ngentot Bunda ya. Kangen ya Obi sama memek Bunda?”

“Memek Bunda… Obi etot…”

Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan desahan. Tidak kusangka bukan cuma Obi yang sedang sangat horny, ternyata aku juga.

***​

Pengeluaran bulananku semakin besar sebab aku semakin memanjakan anakku. Hal ini pada akhirnya terendus oleh mertua. Dan dia sepertinya sudah mencapai batas kesabaran. Suatu hari dia membentak suami, menyuruhnya untuk menceraikanku. Dia tidak hirau bahwa aku sedang ada di rumah meskipun tak terlihat olehnya.

“KAMU LAKI-LAKI HARUS BISA TEGAS! MEREKA ITU BEBAN BUAT KELUARGA KITA, MAU SAMPE MISKIN KAMU DIPOROTIN SAMA SI TIAR?! MAU KAMU, NGURUSIN ANAK IDIOTNYA ITU SAMPAI TUA?”

Suami kali ini diam saja. Tidak berusaha membantah.

Sebetulnya memang sudah lama aku juga berpikir untuk minggat dari rumah sialan ini. Tabungan pribadiku sudah ada cukup untuk hidup aku dan Obi berdua. Nanti aku pasti bisa cari kerja apa saja yang santai, yang penting sudah ada tempat tinggal. Zaman sekarang cuma modal koneksi internet saja bisa cuan.

Pada hari itu otakku mencetuskan suatu rencana gila. Kuputuskan untuk menyerang duluan sebelum benar-benar aku diceraikan.

Seperti biasa malam hari memang waktunya Obi kuberi jatah. Namun kali ini aku merencanakan sesuatu yang lain. Kuajak Obi untuk berbuat zina di ruang tengah. Selain itu, akan kuajari Obi supaya dia memberikan permainan yang panas.

Pukul 11 malam kondisi rumah sudah gelap. Aku dan Obi keluar dari kamar dan duduk di sofa ruang tengah.

“Obi, mau nggak cium Bunda?”

“Tium Bunda?”

“Iya. Cium Bunda. Sini.”

Obi memajukan wajahnya kemudian mengecup pipiku.

“Bukan di situ sayang. Di sini.”

Gantian wajahku yang maju kemudian mencium bibirnya. Awalnya Obi agak kaget tapi kemudian dia langsung bisa mengimbangi ciumanku. Tanganku kulingkarkan di pundaknya supaya suasananya jadi lebih romantis. Obi pun membalas dengan memelukku, merapatkan tubuh kami sehingga payudaraku menempel di dadanya.

Lama-lama posisi kami berubah. Aku semakin mendorong tubuh Obi sampai akhirnya dia pun rebahan di atas sofa dengan aku di atasnya. Supaya tidak berat membebani Obi, satu kakiku menjejak ke lantai.

Ciuman kami tidak terputus. Obi selalu bisa menirukan setiap gerakan bibir dan lidah yang kuajarkan. Suara lenguhan kami berdua mulai terdengar, ditambah suara kecipak adu bibir yang semakin membasah.

Mmmhhh… Mmmm…

Ck… Ckkk…

Hmmmm…

Cpp… Cpp…


Kejeda ciuman sejenak untuk melepas pakaianku, tapi hanya baju. Saat kembali berciuman, kuarahkan tangan Obi supaya meremas susuku yang kini hanya terbungkus BH. Aku mulai mengerang dengan terkontrol.

Posisi percumbuan kami di sofa adalah membelakangi tangga menuju lantai dua. Persis kebalikan dengan posisi yang kupergoki dulu.

“Obi, bajunya dibuka yuk, sayang.”

Obi menurut dan membuka kaos yang dipakainya. Kami lalu berganti posisi. Aku rebahan di sofa. Obi langsung menindihku dan kami lanjut berciuman lagi. Aku bisa merasakan penis tegang Obi menonjol dari celananya.

“Obi, mau nenen lagi ga, kayak dulu?”

“Nenen?”

“Iya, nenen.”

Aku segera membuka BH, maka terpampanglah dengan jelas kedua bukit kembarku yang—aku bangga—masih cukup kencang. Obi tak berkedip menatap dua gundukan toketku. Sebetulnya bukan pertama kali Obi melihat payudaraku, kalau kami mandi bareng, dia sudah sering lihat, tapi kalau dalam konteks aktifitas seks, biasanya kalau ngentot aku tak sambil membuka baju.

Obi seperti tersihir melihat dadaku, dan aku merasa senang bukan main.

“Ayo, dicium.”

“Tium?”

“Iya. Cium boleh. Jilat boleh. Sedot juga boleh.”

Dengan tatapan yang tetap terpesona, Obi mendekatkan wajahnya ke payudaraku. Sebelum menempatkan mulutnya di atas salah satu puting, Obi malah dusel-dusel dulu di antara keduanya. Hembusan napasnya yang hangat menyerbu permukaan kulitku yang sudah sedikit berkeringat. Sensasi ini, aku tiba-tiba jadi teringat sebuah mimpi.

Setelah puas mendusel, Obi kemudian menciumi sekujur lekukan payudaraku. Dikecupi semua area pegunungan itu, terlihat seperti anak ayam sedang mematuki beras di atas tanah. Aku tersenyum saja melihat aksi lucunya. Lalu, sesuai ujaranku, Obi kemudian menjilat. Ketika sampai bagian puting, uh, tiba-tiba saja vaginaku langsung berkedut. Mungkin aku sendiri juga sangat menantikan aktifitas ini.

Satu tangan Obi meremas satu payudaraku sementara mulutnya mengenyot yang lain. Sambil merintih menahan kenikmatan, kuusap-usap kepalanya.

“Duh, mhhh… anak Bunda pinter banget sih nenennya.”

Obi mendongak melihatku.

“Bunda, kok nda ada cucunya?”

“Iya, sayang. Kan Obi udah gede.”

“Udah gede?”

“Iya. Kan Obi sudah gede, jadi ga butuh susu Bunda lagi.”

Obi tampak berpikir.

“Masih mau nenen?”

Obi tidak merespon. Entah dia sudah tidak minat, atau bisa masih berusaha memahami kata-kataku.

Aku berdiri untuk membuka celana sekaligus celana dalamku. Kini aku sudah telanjang bulat. Vaginaku terpampang sangat jelas di hadapan anakku sendiri.

Obi yang sebelumnya seperti linglung akhirnya kembali memusatkan perhatiannya padaku. Lagi-lagi dia terkesima dengan apa yang dilihatnya meskipun bukan kali pertama dia melihat vaginaku.

“Obi juga buka ya celananya.”

Obi membuka celananya meskipun matanya masih tetap melekat memandangi vaginaku.

Kami berdua akhirnya sama-sama telanjang. Ini pertama kali kami akan mengentot dalam kondisi kami berdua sama-sama telanjang.

Aku duduk di sofa dan membuka selangkanganku lebar-lebar.

“Ini namanya apa, sayang?”

“Memek Bunda.”

“Pinter. Kalau ini?”

“Nenen Bunda.”

“Toket.”

“Toket?”

“Iya. Ini bisa juga disebut toket. Mulai sekarang Obi bilangnya toket aja ya. Apa?”

“Toket.”

“Sip. Pinter.”

“Kalau ini apa?” Aku menunjuk penis Obi.

“Titit.”

“Kon-tol. Ini bisa juga disebut kontol. Oke?”

“Tontol?”

“Iya. Kontol. Mulai sekarang Obi bilangnya kontol ya.”

Obi mengangguk.

“Hmmm. Memek Bunda ini buat apa, sayang?”

“Buat dimasukin.”

“Apa yang dimasukin?”

“Tit—eh, ton… tol.”

“Kontol siapa yang dimasukin?”

“Tontol Obi…”

“Pinter…”

“Bunda mau etot. Tondom.”

“Obi mau ngentot sekarang? Nanti dulu ya.”

“Tenapa?”

“Obi mau ga jilatin memek Bunda dulu. Biar enak.”

“Iya. Biar enak. Mau?”

Obi mengangguk.

“Ya udah sini.” Kuarahkan kepala Obi ke selangkanganku. Awalnya dia ragu-ragu. Tapi mungkin ada rasa penasaran juga, akhirnya dia julurkan lidahnya itu menuju lipatan vaginaku yang sudah agak lembap.

“Bunda. Aciinn…”

Aku hampir terkekeh mendengar reaksinya.

“Iya. Memang asin. Kontol Obi juga sama rasanya asin. Ayo jilat lagi. Nanti lama-lama enak kok.”

Obi tampak lebih ragu-ragu lagi.

“Nanti habis Obi jilatin memek Bunda, gantian kontol Obi yang Bunda isep. Gimana?”

Meskipun tampak masih enggan, tapi akhirnya Obi menurut untuk menjilati belahan vaginaku. Kembali kuusap-usap kepalanya biar dia merasa nyaman dan diapresiasi.

Aku baru tersadar bahwa inilah jilmek pertamaku. Sebelumnya ternyata belum pernah. Aku sungguh bahagia bahwa yang memberiku kenikmatan luar biasa ini adalah kesayanganku sendiri yang tidak akan pernah meninggalkanku.

Lama-lama Obi pun terbawa tuntunan tubuhnya sendiri. Selain menjilat, Obi juga menyesap dan memasukkan lidahnya ke belahan vaginaku. Saking nikmatnya aku pun mencapai orgasme pertamaku malam itu.

Aku mengerang sedikit lebih keras. Tujuanku jelas.

“Ahhhhh… Bunda sampe sayang. Makasih ya.”

Obi tersenyum.

“Sini kontolnya Bunda isep.”

Tak berapa lama ketika aku menyepong Obi, sesuatu yang sudah kuprediksi—dan bahkan kuharapkan—terjadi. Seseorang menuruni tangga dari lantai dua, tapi kemudian langsung mengentikan langkahnya. Dan aku tahu siapa itu.

Hatiku bersorak penuh kemenangan.

Inilah hadiah perpisahan dariku. Selamat menikmati.

“Sip. Kontol Obi udah siap sekarang. Yuk kita ngentot.” Aku berbicara sedikit lebih keras. Tujuanku jelas.

“Yee… etot… etot Bunda…”

“Hehehe… Obi suka banget ya ngentotin Bunda?”

“Suka.”

“Kalau cium Bunda, suka ga?”

“Hmmmm… suka.”

“Kalau nenen?”

“Nenen.”

“Iya. Kalau nenen toket Bunda, suka ga?”

“Suka.”

“Kalau jilatin memek Bunda, suka ga?”

Obi menggeleng. Aku pun tertawa disengaja.

“Kenapa? Asin ya?”

Obi mengangguk.

“Ya udah, nggak apa-apa. Kalau gitu sekarang kita ngentot sambil cium ya.”

“Yeee…”

“Obi yang genjot Bunda dari atas ya.”

Obi sungguh bersemangat. Begitu juga aku.

Kedua mata yang tadi memergoki tak bisa melepaskan pandangannya dari alat kelamin Obi yang keluar-masuk vaginaku. Dia bahkan mungkin tak sadar bahwa sedari tadi aku beberapa kali melihat ke arahnya.

“AHHHHH…! TERUS SAYANG…! ANAKKU SAYANG, ENTOTIN BUNDA YANG DALEM YA. AHHHH!!! ENAK…! MMMHHH!!! NIKMAT…!! ANAK BUNDA EMANG PINTER BANGET. HHHMMHH…! SINI CIUM BUNDA. MMMMHHHH…! LIDAHNYA KELUARIN SAYANG.”

Si orang yang memergoki mulai merogoh barangnya sendiri.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd