KELAS ENAM - KAMPUNG
Kami sampai di kampung jam 12 siang. Mbak Ela sedang bermain dengan teman sebayanya entah kemana. Ibu dan aku beres-beres. Aku dapat satu kamar lagi dengan Mbak Ela, tetapi ibu mewanti-wanti lagi agar aku tidak melakukannya di rumah. Takut ketahuan. Setelah itu aku menunggu Mbak Ela di teras rumah nenek.
Sekitar jam tiga, Mbak Ela baru pulang dengan menggowes sepeda. Sebelum masuk ke karangan rumah, Mbak Ela turun dari sepeda dan hendak membuka pagar, namun aku berlari mencegah dia masuk. Mbak Ela terlihat senang melihatku, namun kaget juga ketika aku bilang aku minta dibonceng. Maka Mbak Ela memboncengku juga. Ibu tertawa melihat tingkahku yang sebenarnya karena horny, karena aku yang terbiasa ngentot berkali-kali tiap harinya, harus menahan diri sepanjang perjalanan ke kampung.
"Ke mana Ndra?"
"Biasa... Sungai...."
Kak Ela terkejut, katanya, "Ndra.... Mbak Ela bau, dari pagi main ke rumah temen di kampung sebelah. Mbak Ela mending mandi dulu di rumah...."
Aku yang memeluk pinggangnya menempelkan hidung di punggung Mbak Ela yang masih berbalut kaos begitu aku diboncengnya, dan Mbak Ela memang mengeluarkan bau tubuh, namun bagiku bau tubuh Mbak Ela enak dicium. Bau tubuh gadis remaja yang mengeluarkan keringat karena panasnya sinar matahari. Bau ini berbeda dengan bau tubuh perempuan matang seperti ibuku, namun tidaklah dalam arti yang buruk. Walaupun bau tubuh Mbak Ela berbeda dengan bau tubuh ibu, tetapi keduanya meninggalkan kesan yang indah. Mungkin analoginya adalah membedakan antara rasa strawberry dan anggur. Keduanya mempunyai rasa yang berbeda, tetapi kedua-duanya sama-sama enak dimakan.
"Harum...... Udah Mbak Ela nurut aja. Nanti aja mandinya."
Akhirnya kami sampai di tempat kami yang biasa. Sepeda sudah tersembunyi di semak belukar di belakang pohon, dan posisi kami lebih tersembunyi lagi karena dikelilingi batu besar dan di tutupi pohon dan semak. Tahun ini semak-semaknya bertambah rimbun dan tinggi sehingga lebih tersembunyi dibanding tahun lalu. Memang tampaknya semua ini sudah ditakdirkan.
Kami duduk di batu yang datar yang di apiti beberapa batu besar membelakangi pohon dan semak setelah menanggalkan sendal kami. Aku bergegas buka baju sementara Mbak Ela nyengir jail.
"Ga sabaran banget kamu, Ndra.... Kebelet ya?" kata Mbak Ela mengolok-olokku yang sedang tegangan tinggi.
Saat itu aku sedang menanggalkan celana panjangku. Kataku singkat, "Kalau Mbak Ela ga telanjang, Hendra akan robek-robek bajunya sampai bugil."
"Ih galak bener....." kata Mbak Ela tapi ia mulai menanggalkan pakaiannya.
Ketika aku sudah telanjang bulat, Mbak Ela sedang melorotkan roknya, sementara kaosnya sudah rapi di pinggir batu. Saat itu aku keluarkan kondom yang dibelikan ibuku yang kutaruh di salah satu saku celanaku. Bagian tubuh atas Mbak Ela kini hanya berbalutkan BH berwarna coklat muda. Setelah roknya lepas, Mbak Ela melipat roknya dan menaruhnya di samping bajunya. Gerakan Mbak Ela sebenarnya tidak terlalu pelan, tapi karena aku sedang horny, maka aku tak sabar lagi.
Aku berdiri di belakang Mbak Ela yang baru saja berdiri tegak setelah nungging menaruh roknya, dan ia sedang membuka kaitan BH di punggungnya, aku langsung menarik celana dalamnya dengan cepat sehingga ketika Mbak Ela sudah melepaskan bra, celana dalamnya sudah di pergelangan kaki. Satu-satu Mbak Ela mengangkat kakinya hingga celana dalam itu dapat kulepas. Sedetik ketika bh dan celana dalam itu kami taruh, aku langsung memeluk Mbak Ela dan mencium bibirnya. Perlahan tubuh telanjangku memepet tubuh Mbak Ela sehingga bibiku itu kini menyender di salah satu batu besar yang melindungi kami dari pandangan orang lain.
Walaupun tadi Mbak Ela mengejekku, tapi tampaknya dia juga sedang horny. Karena Mbak Ela membalas pagutan bibirku dengan tak kalah hebohnya. Lidah kami saling menyerang dengan semangat, menjadikan ludah kami saling bertukar dengan tanpa dapat ditahan lagi. Bau tubuh Mbak Ela yang berkeringat ditambah bau mulutnya yang basah menambah suasana erotis apalagi kulitku dapat merasakan kulit halus Mbak Ela yang menempel yang basah oleh keringat kami berdua.
Setelah beberapa saat aku melepaskan ciumanku dan menatap bidadari kedua dalam hidupku. Tubuh Mbak Ela makin seksi. Payudaranya yang sebelumnya bagai bakpao, kini makin membulat, walaupun tidak sebesar payudara ibu yang menyebabkan belahan dada Mbak Ela lebih lebar terlihat, tetapi bentuk bulatan buah dada Mbak Ela lebih tegak dan padat berbeda dengan ibu yang sedikit agak turun. Apalagi letak kedua pentil tetek Mbak Ela lebih ke tengah payudaranya berbeda dengan puting ibu yang letaknya agak ke bawah sedikit. Pentil tetek Mbak Ela yang tahun lalu agak rata dengan areolanya, kini sudah sedikit menyembul malu-malu. Di payudara kiri Mbak Ela, agak ke tengah dada dan di bulatan bagian atas, ada satu tahi lalat yang menambah keindahan dua buah bukit ranum yang Mbak ela miliki.
"Kok diam?" tanya Mbak Ela dengan perlahan.
"Hendra lagi menikmati indahnya keajaiban dunia di hadapan Hendra."
"Gombal!" rajuk Mbak Ela sambil merangkulku dan menciumku lagi. Kami kembali berciuman dengan penuh libido remaja. Bibir tipisnya menawarkan manisnya madu, tubuhnya menawarkan kehangatan dan kedua tangannya menawarkan hiburan sensual dengan mengelus punggungku dan sesekali meremas rambutku. Lalu lidahku mencari-cari kenikmatan di atas tubuhnya. Indera pengecapku itu menari-nari dan mencari-cari sepanjang lehernya yang jenjang, menyelusuri lembah pemisah dua buah bukit yang indah, mendaki kedua buah dada itu secara teliti, tak meninggalkan satu sentipun. Aku ingin merasakan tiap jengkal keindahan tubuhnya. Ketika lidahku mencapai puncak bukit, maka mulutku mengatup dan menyedot ujung payudaranya itu dengan gemas sehingga Mbak Ela menjawab dengan erangan kecil tanda dirinya mulai dikuasai kenikmatan birahi. Mbak Ela membaringkan diri di batu yang landai itu, sementara aku belum menindihnya, melainkan terus mencium dan menyedot dadanya dengan tubuh di samping tubuh bibiku itu.
Setelah mulut dan lidahku puas menyapu sekujur dada adik kandung ibuku itu sehingga hampir semuanya tertutup tanda cupangan, maka kembalilah lidahku berpetualangan dengan menjelajahi bagian tubuh Mbak Ela sebelah bawahnya lagi. Lidahku menjilati perut ramping bibiku itu, dan selama beberapa menit aku menyedoti pusarnya yang begitu indah yang terlihat bagaikan sebuah gua kecil ditengah perutnya, untuk kemudian secara enggan bergerak lagi ke bawah.
Sebelum mulutku menyentuh bulu kemaluan bibi kandungku itu, aku menatap daerah kehormatannya dengan gemas. Bulu jembut bibiku itu belum lebat. Bulunya yang keriting itu hanya segerombolan kecil menghiasi bagian atas vaginanya yang terlihat begitu rapat dan mengeluarkan bau tubuh yang kuat. Dengan kedua jempolku aku menyibak bibir luar memek bibiku itu, dan melihat bagian dalamnya yang berwarna merah muda dengan kelentit kecil di atas dan lubang yang kecil di bagian bawah. Hampir dapat dipastikan bibiku itu masih perawan.
Kubenamkan hidungku di vagina Mbak Ela. Mbak Ela menjepit kepalaku dengan kedua kakinya dan menekan pantatnya ke wajahku sambil mendekap kepalaku dari belakang.
"Geli Ndra..... Enak....."
Bau tubuh Mbak Ela memenuhi hidungku sementara aku menjadi susah bernafas. Kudorong kedua paha bibiku itu sehingga ia mengangkang lalu dengan sekuat tenaga aku menarik kepalaku ke atas sambil menjulurkan lidah sehingga akhirnya lidahku mulai menjilati memek adik ibuku itu. Memek Mbak Ela mulai terasa basah dan hangat karena cairan cinta yang keluar dari dalam kemaluan bibiku itu ditambah dengan air ludahku. Mbak Ela kini tidak berbicara melainkan mengerang-ngerang kenikmatan. Aku asyik saja menikmati air memek bibiku itu karena memang baru pertama kali merasakan nikmatnya rasa memek bibiku itu di lidahku. Selain bau tubuh yang berbeda dengan ibu, Mbak Ela juga memiliki rasa memek yang berbeda. Sama-sama gurih, namun ada perbedaan dalam aroma dan rasa.
Entah berapa lama aku menjilati memek Mbak Ela yang sudah banjir itu, ketika aku mulai menyedot-nyedot kelentit bibiku yang masih perawan itu. Mbak Ela mulai menggila dan sedikit berteriak-teriak,
"aaahhhh.... Aaaahhhhhhh..... Ahhhhhhhh........ Yaaaahhhhhhh......... Ahhhhhhhhhhh..... Terusss....... Sedooootttt.......... Sedot itil Mbaaaakkkk......"
Kemudian ia menekan memeknya kuat-kuat di wajahku sambil berteriak karena kenikmatan yang sudah klimaks. Kurasakan memeknya mengeluarkan banyak cairan hangat yang kuhisap dan kutelan, hingga akhirnya tubuh bibiku itu melemas terlentang di atas batu dengan mata terpejam. Perlahan aku bersimpuh di depan selangkangannya, lalu kontolku dengan cepat taruh di depan lubang memek bibiku yang kecil itu, kubuat sehingga palkonku menancap ujungnya, lalu perlahan aku mulai menindih bibiku itu. Karena begitu nafsunya aku, aku melupakan kondom yang sudah kusiapkan di pinggiran batu dekat pakaianku. Kedua tanganku menekan pinggul belakang Mbak Ela, lalu setelah aku merasa siap, aku hujamkan kontolku dalam-dalam. Dalam satu gerakan yang cepat kontolku menginvasi liang kencing bibiku yang masih perawan. Dapat kurasakan aku merobek selaput dara bibi kandungku itu, namun karena tusukkanku begitu kuat, kontolku menerobos lobang vagina bibiku dengan kencang sehingga akhirnya seluruh batangku amblas di dalam liang surgawi bibiku.
Bibiku berteriak kesakitan dan tubuhnya menjadi kaku bagaikan patung sementara kedua tangannya berusaha mendorong pinggulku.
"Aduuuuhhh.... Sakiiiitttt Ndraaaaa..........."
Namun Mbak Ela tak berhasil mendorong tubuhku, karena ketika kontolku terbenam di memeknya, aku segera menindih bibiku itu sambil memeluknya erat-erat.
"jangan didorong, Mbak. Diemin dulu. Tar enak deh....."
Mbak Ela tidak bergerak. Kulihat matanya terpejam dan dua butir airmata terjatuh dari kedua matanya. Aku menciumi leher Mbak Ela dan lama-lama kujilati dan kusedot-sedot lehernya. Akhirnya setelah tiga menitan, badan Mbak Ela sudah tidak kaku lagi dan kedua tangannya kini ditaruh di leherku. Nafas Mbak Ela mulai berat lagi. Aku belum mengentoti dia, aku ciumi dulu dadanya. Dan setelah aku cukup lama menyedoti buah dada dan putingnya, barulah aku mengocok kontolku di dalam memek bibiku itu.
Kembali Mbak Ela mengerang-ngerang karena merasakan nikmatnya ketika batang kontolku menggeseki sekujur dinding memeknya. Kini kedua tangan bibiku itu mulai mencengkram pantatku, dan ia menggoyangkan pantatnya sesuai irama pantatku. Hingga lama kelamaan suara selangkangan kami berbenturan mulai terdengar. Pada mulanya lirih, lama kelamaan bagaikan suara orang sedang tepuk tangan.
Entah berapa lama aku menyetubuhi bibi kandungku, adik dari ibuku itu. Namun irama persenggamaan kami makin lama makin cepat. Dalam balutan nafsu birahi kami berdua bersetubuh. Tubuh Mbak Ela dan aku menjadi satu. Kedua kelamin kami yang saling melengkapi kini sedang tersambung dan menjadi satu organ. Organ reproduksi yang sedang dalam bentuknya yang paling sempurna.
Sampai akhirnya aku rasakan memek sempit Mbak Ela menjepit kontolku dengan keras dibarengi suara Mbak Ela yang berteriak,
"Enaaaaaaknyaaaaaaaaaaaa..........."
Memek Mbak Ela begitu panas dan sempit, apalagi menjepit seperti ini membuat kontolku tak kuasa membendung dan menahan lahar panasnya. Kusemproti rahim perawan bibi kandungku itu dengan seluruh air mani yang ada di kantong menyanku, sayup-sayup kudengar seorang perempuan berkata, "Jangaaaaan!" namun aku tak begitu memperhatikan karena seluruh spermaku telah tumpah di dalam rahim bibiku dan aku menindih bibiku itu dengan lemas.
Tahu-tahu tubuhku ditarik dari Mbak Ela dan kulihat ternyata ibuku yang melakukannya. Kami kaget. Saat itu ibu berkata dengan marah,
"Kok ngecrotin peju di dalam bibi kamu? Kan ibu bilang harus pakai kondom?"
Mbak Ela dengan takut melepaskan diri dariku dan bergegas mengambil pakaianku. Namun aku tak menghiraukannya, karena ternyata kontolku yang tadi sedikit melunak kini melihat ibuku yang tersengal-sengal karena berlari dan tubuhnya berkeringat mengeluarkan bau tubuh yang sudah aku hapal, membuat kontolku tegang lagi. Ibu memakai baju terusan tanpa lengan dengan rok selutut dan dua tali bahu. Tadinya dia memakai blazer untuk menutup bagian atas, tapi karena tadi berlari mengejar kami untuk mengingatkan memakai kondom (yang tidak berhasil), blazer itu diikat di pinggang.
Aku menubruk ibu sehingga ia terlentang di atas batu yang datar itu. Dengan cepat bagian roknya telah tersingkap dan tangan kananku menarik bagian selangkangan celana dalam ibu dan menarik ke samping sementara kontolku dengan cepat aku taruh di memek ibu. Sudah ratusan kali aku mengentot ibu sehingga aku sudah hapal letak lubang vaginanya. Tak sampai sepuluh detik, aku sudah membenamkan kontolku dalam vagina ibu yang ternyata sudah basah. Pasti tadi dia sempat melihat aku mengentoti adiknya hingga ibu menjadi horny juga.
Mbak Ela yang baru saja memegang celana dalamnya tidak jadi memakaikan celana dalam itu demi melihat aku sudah menindih kakaknya dengan kontol terbenam. Sambil mengentoti ibuku, tanganku menarik tali bahu gaun ibu satu demi satu sehingga kini gaun ibu berjumbel di pinggang karena kutarik ke bawah. Sementara ibu melepaskan bhnya. Kurebut BH itu lalu kulempar ke Mbak Ela. Mbak Ela yang sedang terkejut hanya menerima BH itu dan terus menonton kami.
Ibu kemudian memegang kepalaku dan mencium bibirku dengan penuh nafsu. Di lain pihak, selangkangan kami berbenturan keras sekali, bahkan lebih keras dibanding ketika aku sedang merebut mahkota bibiku. Sambil saling melumat bibir satu sama lain dan juga saling mengentot kelamin kami masing-masing, kami berdua mengeluarkan erangan atau geraman bagaikan dua binatang yang sedang birahi.
Kemudian aku menyedoti seluruh dada ibu dan ibu menyemangatiku,
"Ayo Ndra..... Entot ibumu keras-keras..... Isepin tetek ibu....... Jadikan ibu pelampiasanmu...... Gagahi ibu........setubuhi ibu...... Jadikan ibu isterimu..... Karena ibu sudah mengandung anakmu......"
Aku terkejut, namun anehnya aku jadi tambah horny. Maka aku pegang pinggul ibu dan aku sodok-sodok memeknya sekuat tenaga,
"Yessss..... Akhirnya ibu jadi betinanya Hendra! Akhirnya Hendra berhasil buntingin ibu! Ibu jadi milik Hendra! Hendra berhasil menghamili ibu! Ini.... Biar Hendra tambahin sperma ke dalam perut ibu yang mengandung anak dan adik Hendra!"
Nafsu birahi ibupun tampaknya sudah memuncak, karena ia juga membalas kocokan kontolku dengan dorongan pantatnya dan ibu juga terus meracau,
"sirami terus rahim ibu dengan sperma kamu....... Entotin ibu tiap hari..... Ibu ga bisa hidup tanpa entotan kamu, Ndra....."
Nafsu kami berdua begitu hebatnya sehingga belum terlalu lama kami bersetubuh, kami berdua sudah orgasme. Detik pertama memek ibu menjepitku dengan keras, kontolku kubenam dalam-dalam dan menyemproti rahim ibu entah keberapa kalinya sebulan ini, rahim yang sudah terisi janin dariku. Setelah badai orgasme yang dahsyat, aku mengeluarkan kontol dari memek ibuku, lalu menghampir Mbak Ela yang masih memegang BH kakaknya. Kutarik Mbak Ela sehingga akhirnya aku tiduran di batu datar itu dengan dua perempuan paling cantik yang aku kenal di dunia ini.
Aku ciumi bibir Mbak Ela dan ia membalas. Lalu aku ciumi ibuku dan ibuku membalas. Untuk beberapa lama aku gantian mencium kanan kiri. Aku merasa sedang disurga. Kusuruh mereka berdua tiduran bersebelahan dan aku menindih mereka tepat ditengah. Kemudian melanjutkan cium kanan cium kiri. Tak lama aku mencium dan menjilati tubuh mereka dari kepala sampai memek secara bergantian. Pun ketika aku jilati memek mereka, aku gantian.
Setelah setengah jam, kontolku keras lagi dan aku suruh mereka posisi doggy style lalu aku setubuhi mereka dari belakang bergantian pula. Kuentoti ibu selama sepuluh tusukan, lalu aku entoti Mbak Ela sepuluh tusukan. Benar-benar surga dunia. Entah berapa lama aku mengentoti mereka bergiliran ketika kurasakan mereka berdua sudah hampir sampai karena mereka mengerang dan menggoyangkan tubuh lebih cepat dan keras. Tahu-tahu ibu mencium bibir Mbak Ela dan mereka French Kiss membuatku mengocoki memek adik ibuku itu dengan keras karena sudah tak bisa menahan diri. Aku tak mampu pindah, sehingga aku hanya mengentoti Mbak Ela saja. Untung saja sekitar semenit bibiku itu mencapai orgasmenya. Kemudian aku pindah dan menggenjoti memek ibuku yang masih belum sampai. Kali ini ibuku lebih lama dari ibu. Dan ketika rahimnya yang sudah kubuahi kembali aku semprot dengan air maniku, barulah ibu mencapai orgasmenya berbarengan denganku.
Beberapa menit kemudian, Ibu tahu tahu duduk di depan Mbak Ela dan melebarkan kakinya hingga selangkangannya tepat di depan wajah Mbak Ela. Memek ibu mulai mengeluarkan air maniku yang sudah dua kali aku tanam di perut ibu.
"bersihin peju anakku di memekku, nduk..."
Mbak Ela lalu menjilati memek kakaknya dan menelan semua sperma yang keluar dari memek ibuku itu. Ibu mulai memegang kepala Mbak Ela dan mulai menggeseki memeknya di muka adiknya itu. Akhirnya kusuruh Mbak Ela ganti posisi telentang. Kembali kontolku kubenamkan di memek Mbak Ela sementara ibu menduduki wajah Mbak Ela dengan memeknya. Kulihat spermaku mulai keluar lagi dari memek ibu dan Mbak Ela tampaknya lahap menelan semua cairan pejuku.
Tahu-tahu ibu merebahkan diri, lalu menjilati selangkanganku dan selangkangan Mbak Ela. Ibu menjilati persenggamaan anak dan adiknya. Tepat di perpaduan kontol dan memek aku dan Mbak Ela ibu menjilati dengan lahap. Aku merebahkan diri dan mulai mengenyot-ngenyot punggung ibu yang penuh dengan keringat. Dan tak lama aku menyemprotkan spermaku lagi di dalam rahim Mbak Ela, sementara Mbak Ela menekan pantatku karena ia juga orgasme, di lain pihak ibu menekan memeknya di wajah Mbak Ela karena ia juga sedang orgasme. Akhirnya kami dengan lemas saling berangkulan dengan aku di tengah.
Setelah setengah jam setelah itu, aku mengentoti ibu sementara Mbak Ela tertidur. Kami mengentot dengan posisi standard missionary karena kami hanya perlu menuntaskan nafsu saja. Setelah itu aku mengentoti Mbak Ela yang terbangun karena merasakan memeknya dikocok lagi olehku. Ibu hanya menonton saja. Setelah aku mengisi perut Mbak Ela lagi dengan pejuku, ibu memutuskan agar kami semua kembali ke rumah. Kami sampai di rumah dengan bau kelamin. Nenek menatap kami dengan pandangan aneh saat itu.
Sepanjang liburan aku, ibuku dan bibiku selalu pesta seks di pinggir sungai. Pada akhir kunjungan kami, ibu mulai muntah-muntah. Ibu berkata mungkin ia sudah hamil olehku. Aku bahagia sekali. Ibu berpikiran untuk menggugurkan namun aku menolak dan membujuk ibu untuk mengundang ayah ke rumah dan menyetubuhi ibu sekali, agar nantinya ayah mengira ibu hamil oleh karena ayah.
Berhubung Mbak Ela sudah lulus SMA, maka ia berniat untuk tinggal di rumah kami di Jakarta. Tapi nenek tidak setuju, dan walaupun sudah dibujuk oleh ibu dan Mbak Ela, nenek tidak bergeming. Jadi akhirnya kami hanya berdua kembali ke Jakarta. Di Jakarta ibu membeli beberapa test pack dan mengetes urinnya. Semuanya menunjukkan bahwa ibu sudah positif hamil.
EPILOGUE - KELAS SATU SMP
Ketika kami sampai di Terminal Bus antar kota di Jakarta, ayah menjemput kami, dan atas bujukan ibu dan aku, kami meminta ayah menginap di rumah kami agar rencana kami untuk menjebak ayah berhubungan seks dengan ibu sehingga ayah tidak tahu bahwa benih di rahim ibu bukan anak kandung ayah, melainkan cucunya. Ketika ayah berkunjung ke rumah kami, aku menginap di rumah temanku. Esoknya, setelah ayah kembali meninggalkan kami, ibu menyampaikan bahwa ayah sudah menyetubuhinya bahkan sampai tiga kali.
Aku sedikit cemburu, tetapi toh ibu sudah hamil anak dariku, sehingga sperma ayah tidak berdampak apa-apa bagi kami. Namun, rasa cemburu itu membuat aku menyetubuhi ibu hari itu berkali-kali, aku ingin memperlihatkan bahwa aku lebih jantan dan lebih memuaskan ibu dibanding ayahku. Ibu sepanjang hari tersenyum simpul tanda bahwa ia bahagia melihat aku begitu mencemburui ibu sehingga aku tidak meninggalkan tubuh seksi dan bugil ibu sedetikpun. Bahkan ketika salah satu dari kami perlu ke toilet, aku tetap merangkul dan menciumi ibu.
Sebulan kemudian ketika aku sudah bersekolah di SMP yang baru, ibu mendapat panggilan dari nenek untuk segera pulang. Beirhubung aku sekolah, maka aku diminta tetap di rumah. Ayahku selama tiga hari menemaniku di rumah. Hari ketiga, ibu datang dengan nenek, kakek, sepupu laki-laki kakek dan bibiku Mbak Ela. Ibu menyuruh aku dan Mbak Ela untuk keluar rumah dan jalan-jalan ke Mall karena ada hal penting yang ingin disampaikan kepada ayah, kakek akan mendampingi kami.
Ketika makan di Mall kakek berkata bahwa ia mengetahui bahwa aku menghamili anaknya, yaitu bibiku sendiri. Aku gelagapan, tetapi kata kakek aku tidak usah takut, karena semuanya sudah beres. Berhubung ayahku tidak pernah datang ke kampung, maka ia sudah pangling dengan Mbak Ela, karena dulu ketika menikah dengan ibu, Mbak Ela masih kecil. Oleh karena itu diputuskan dalam rapat keluarga bahwa Mbak Ela akan diaku anak oleh sepupu kakek itu, lalu kami akan dinikahkan di Jakarta, di mana tidak ada orang yang tahu bahwa Mbak Ela itu bibiku.
Walaupun rencana sudah matang, tapi aku masih memiliki rasa takut. Aku takut ayahku akan marah, karena aku yang baru masuk SMP, sudah menghamili anak gadis orang. Tapi kakekku meyakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ketika aku pulang, ternyata kekhawatiranku itu tidak berguna. Ayah menarikku ke tempat tidur dan memberikan selamat kepadaku. Kata ayahku, aku adalah benar-benar anak yang mirip dengannya, bahkan melebihi dia, karena aku menghamili perempuan ketika aku masih SD. Aku adalah playboy kecil seperti bapaknya, kata ayahku. Aku menjadi lega, namun kekuatiranku bertambah, karena dari omongan ayahku bahwa ia playboy, berarti banyak perempuan yang tidur dengannya. Tapi untuk sementara, aku menjauhkan pikiranku mengenai itu, karena aku ingin fokus dulu dengan masalah yang ada di hadapan kami itu.
Akhirnya setelah sebulan, keputusan besar diambil oleh keluarga besar kami. Aku harus meninggalkan Jakarta untuk tinggal di kampung. Tetapi, bukan kampung nenekku, melainkan kampung tempat tinggal dari sepupu kakekku yang ternyata jauh dari kampung nenekku, dan tempatnya lebih terpencil. Ibu tentunya akan tetap bersamaku, tapi ayah pada mulanya menolak ide ini, apalagi karena ayah baru tahu bahwa ibu sedang hamil. Akhirnya ayah ibu sepakat untuk bercerai setelah anak yang ibu kandung telah lahir. Apalagi karena memang sudah tidak ada cinta lagi di antara mereka.
Maka dimulailah kehidupan baruku bersama ibu dan bibiku.
TAMAT
Ditulis dari Lereng Gunung Kembar, 2015.