Masa tenang di dalam rumah kami itu berjalan terus sampai akhirnya aku lulus SMA. Dan untuk pertama kali sepanjang sejarah aku lulus dengan nilai sangat memuaskan. Belakangan, aku mulai dapat melihat pengorbanan yang dilakukan kakakku demi menunjang pendidikanku dan hal itu sangat memotivasi diriku untuk melakukan yang terbaik.
Setelah lulus, aku berhasil masuk ke universitas elit yang berafiliasi ke luar negeri dengan mutu pendidikan berstandar internasional. Meski biayanya tak murah, namun kakakku bersedia membayarnya dan berjanji untuk membiayai sepenuhnya sampai aku lulus.
Tak lama kemudian, giliran kakakku yang lulus dari kuliahnya. Ia mampu menyelesaikannya satu semester lebih awal yang kemudian dilanjutkannya dengan bekerja. Saat wisuda, ia baru melewatkan ulang tahunnya yang ke-22.
Prestasiku di kuliah juga tak terlalu buruk. Selama dua semester ini aku mendapat nilai sempurna.
Di sela-sela studiku aku terus memperdalam kemampuan terpendamku itu secara otodidak. Meski selama ini semuanya berjalan “aman tentram”.
Menjelang akhir semester dua, ada kejutan besar datang untukku. Bukan tentang kakakku. Tapi untuk diriku. Aku terpilih sebagai salah satu dari beberapa mahasiswa/i untuk mengikuti program musim panas di universitas di Australia. Satu hal yang tak kusangka-sangka karena umumnya program ini berlaku untuk mahasiswa yang lebih senior. Namun karena satu dan lain hal, pada akhirnya aku terpilih untuk berangkat.
Aku tinggal di negara kangguru selama 3 bulan. Mengikuti program-program disana yang selain dapat digunakan untuk menambah kredit kuliahku juga membuka wawasanku baik dalam hal pendidikan maupun hal-hal personal. Disana aku melihat dan mengalami banyak hal yang selama ini “tak terlihat” bahkan tak terpikir olehku. Aku ditempatkan di rumah pasangan Aussie yang telah berusia lanjut yang sangat ramah bahkan menganggapku seperti anak sendiri. Di sana aku membantu mereka dalam urusan rumah sehari-hari. Satu hal yang membuatku jadi mandiri dan lebih bertanggung jawab. Semua itu membuatku jadi lebih percaya diri dan positif dibanding sebelumnya.
Juga, dengan tinggal di lingkungan yang kosmopolitan dan multirasial yang dihuni berbagai macam ras dan etnis dari berbagai penjuru dunia, pandanganku terhadap perbedaan yang selama ini melekat dalam pikiranku menjadi lebih kecil dibanding sebelumnya, bahkan berubah cukup drastis. Perbedaan ras yang selama ini dianggap besar di negeriku terasa sangat kecil ketika dihadapkan dengan kenyataan dimana segala macam orang dari lima benua semua ada di kota tempatku tinggal saat ini.
Disisi lain, aku menyadari betapa berartinya kakakku setelah aku berpisah darinya. Terus terang, saat kecil dulu aku tak terlalu dekat dengannya. Sebaliknya, justru aku menganggapnya sebagai “musuh terselubung”. Kini aku menyadari hal itu sedikit banyak disebabkan karena aku jealous terhadapnya karena ia selalu menjadi pusat perhatian sementara aku lebih banyak diabaikan.
Hubungan kami mulai terbentuk ke arah yang berbeda saat tinggal bersama di ibukota. Saat itu mulai terbentuk perasaan senasib dan persaudaraan yang sebelumnya tak kurasakan, meski ini tak selalu terjadi. Apalagi setelah aku menyadari pengorbanan yang telah dilakukannya untuk membiayai pendidikanku.
Perubahan kebiasaan dan gaya hidupnya menjadi semacam blessing in disguise pada diriku. Karena dengan itu, aku seperti menemukan passion dalam diriku yang membuatku bersemangat untuk mendalami bahkan sampai tak tidur semalaman.
Tentu tak semua hubungan kami berjalan dengan indah. Satu hal nyeleneh yang dengan jujur kuakui, yaitu aku terkadang memendam rasa “itu” kepada kakakku. Entah apakah ini disebabkan karena saat itu aku melihat dirinya telanjang berkali-kali. Meski saat itu aku tak memikirkannya namun bisa jadi hal itu kemudian terbawa dan mulai bekerja ketika situasi mulai kondusif untuk itu. Atau mungkin karena di rumah sehari-hari ia suka berpakaian agak sembarangan. Mungkin dikiranya aku “hanyalah” adiknya padahal bagaimana pun aku seorang cowok normal juga.
Apapun bentuk hubungan kami, I miss you sis, meski di sisi lain aku sangat bersyukur bisa kesini dan sangat menikmati saat berada di sini. Sebaliknya, rupanya ia pun juga merasa kehilangan. Maklum, selama ini akulah satu-satunya temannya. Sehingga setiap minggu aku selalu FaceTime dengannya. Kadang bisa dua kali dalam seminggu.
Sampai akhirnya, tak terasa 3 bulan berlalu dan kini saatnya aku akan segera kembali ke negaraku...
“Jumat depan lu nyampe jam berapa?” tanya kakakku saat kita FaceTime untuk terakhir kalinya.
“Jadwal pesawatnya mendarat 8.55 pag,” jawabku.
“Ok, Jumat aku jemput di bandara,” katanya.
“Lho Jumat lu khan kerja Cie? Gapapa, aku balik pake online atau taksi aja.”
“Jangan, angkutan online lagi banyak bermasalah. Udah aku jemput aja. Nanti aku bisa minta cuti.”
“Oh, makasih Cie. Jadi tersanjung aku.” Aku berkata jujur.
“Udah lama ga ketemu juga sih. Hampir tiga bulan,” kata kakakku dengan senyum manisnya sambil memandangku.
“Cie-cie jadi kangen sama aku ya. Jadi makin tersanjung lagi aku, Cie. Hehehe.”
“Udah jangan banyak gaya lu. Titipannya nanti jangan lupa,” tukas kakakku sambil menggerakkan bahunya kirinya yang terbalut kaus biru tanpa lengan.
“Beres Cie. Kalo itu jangan kuatir. Pasti aku beliin semua. By the way, aku juga kangen sama lu Cie,” kataku sambil memandangnya cukup dalam. Aku tak berbohong akan hal ini.
“Tuh, lu yang kangen tapi nuduh orang lain. Sorry ye, Cie-cie lu ini ga kangen sama lu.”
“Eh, kali ini FaceTime-nya aku rekam lho. Supaya nanti kalo ketemu bisa aku tunjukin gimana wajah Cie-cie kalo berbohong. Meski ketauan banget bohongnya, tapi terlihat cantik. Hehehe.”
“Ngaco ah lu. Makin pinter ngomong aja disana. Udah ya, aku mau mandi dan makan dulu. Jumat depan jam 9 ya. Nanti aku tunggu di bandara.”
“OK, Cie. Sampe ketemu nanti. Byeee.”
“Byee,” kata kakakku dengan senyum manis di wajah cantiknya sebelum gambarnya akhirnya hilang.
Sebelum berangkat, aku membeli semua titipannya. Tak ada satupun terlewat. Juga, aku membeli oleh-oleh khusus untuknya. Harganya tak seberapa dibanding barang-barang titipannya. Namun itu seluruhnya berasal dari uang hasil kerjaku paruh waktu selama disini.
Hari Jumat depannya di bandara...
“Rico!” suara Cie Stefany memanggilku.
“Cie,” kataku saat menoleh kepadanya sambil tersenyum dan berjalan menuju ke arahnya.
Saat dekat, entah bagaimana tiba-tiba secara spontan kami berpelukan. Padahal saat kami berpisah 3 bulan lalu kami hanya saling melambaikan tangan. Kini kami tak hanya berpelukan ragu-ragu tapi berpelukan dengan erat. Seluruh tubuh bagian atasnya menempel pada tubuhku. Sementara kedua tanganku menempel di punggungnya. Mau tak mau kucium bau harum rambut dan tubuhnya. Juga kurasakan napasnya yang naik turun karena dadanya menempel rapat padaku.
“Glad to see you again, Cie,” kataku sambil tersenyum memandangnya lekat-lekat. Kedua tanganku memegang bahunya.
“Glad to see you too, Rico,” katanya dengan tatapan yang tak kalah hangatnya sambil tangannya juga memegang bahuku.
Setelah itu kami berjalan bersama untuk menuju ke tempat parkir.
“Sudah lama nunggunya, Cie?”
“Nggak juga, belum nyampe setengah jam,” katanya sambil ingin mengambil salah satu tas dari tanganku untuk didorongnya.
“Nggak usah Cie. Aku bisa dorong dua-duanya kok,” kataku.
Tiba-tiba Cie Stefany menyentuh tanganku dan ia berhenti berjalan. Membuatku seketika juga menghentikan langkahku. Ia memandangku dengan dalam lalu berkata,
”You look different, Rico,” sambil tangannya menyentuh pipiku. Membuatku agak salah tingkah. Terutama dengan tatapannya itu.
“Ah, masa sih Cie,” kataku menghindari tatapannya.
“Iya. You look different than before,” katanya sambil terus menatapku. Rupanya ia sungguh-sungguh serius. “What happened?”
“Ah masa sih. Memang apa bedanya?”
“Lu kelihatan...hmm, gimana jelasinnya ya.. Lebih dewasa! Ya, lu kelihatan lebih dewasa dibanding terakhir lu disini. Sebenarnya ini mulai kerasa sejak beberapa FaceTime terakhir. Lu jadi agak beda. Tapi waktu itu masih belum yakin, kirain cuma perasaanku aja. Tapi kini, you are absolutely different.”
“Memang kelihatan dewasa gimana sih Cie?”
“Terus terang ya, tapi jangan salah paham ya... now I see a man in you. You’re still my little brother but you’ve grown up. Kini “aura laki-laki mu” jadi kelihatan. Beda banget pokoknya dengan dulu. What happened to you, Rico? Lu ketemu cewek disana? Lu jatuh cinta sama cewek ya?”
“Ah, ada-ada aja lu Cie. Nggaklah, aku ga ketemu siapa-siapa kok. Mungkin karena disana aku terbiasa hidup mandiri dan disana semuanya serba accountable. Jadi itu semua membuat sebagian cara pemikiran dan sikapku berubah. Sebenarnya aku juga merasa sih.”
“Ya, bisa jadi,” kata kakakku berpikir sesaat sebelum kembali menatapku lagi. “Anyway, apapun itu yang pasti aku gembira dengan perubahan dirimu ini,” katanya sambil tersenyum manis dengan pandangan ceria.
“Sebaliknya, aku juga senang ngeliat lu sekarang, Cie. Lu keliatan beda juga.”
“Ah masa sih. Memang apa bedanya dibanding dulu?”
“Hmm. Terus terang ya, tapi jangan salah paham ya... you’re more beautiful than before, Cie,” kataku sambil menatapnya dengan sungguh-sungguh.
“Ah, ngaco ah lu Rico,” kata kakakku sambil mencubitku dengan agak tersipu.
“Beneran Cie. Aku serius,” kataku dengan memandang wajah cantiknya lekat-lekat. Membuat ia semakin salah tingkah.
Tapi aku tak berbohong. Saat itu ia terlihat begitu cantik dibanding dulu. Juga pakaiannya, meski sebenarnya simpel dengan baju atasan putih yang agak ketat dan celana jins biru, namun membuat penampilan dirinya secara keseluruhan jadi semakin “indah”. Terlihat sedikit sensual namun tak berlebihan apalagi menimbulkan kesan murahan. Tapi yang paling menarik dari dirinya saat itu adalah sikapnya... A bit flirty in the most innocent way.... (if that makes sense at all).
“Balik-balik kok jadi pinter ngerayu gini ya. Sampe-sampe Cie-cie nya pun juga dirayu,” katanya masih dengan sikap flirty innocent-nya.
“Ya bercanda-bercanda dikit boleh donk. Lagian memang Cie-cie cantik kok. Toh gimanapun Cie-cie ga akan salah paham,” kataku dengan polos. Sementara wajah Cie Stefany jadi memerah.
“Udah ah. Malu dilihat orang-orang. Nanti dikirain kita orang pacaran lagi. Yuk jalan,” katanya lalu berjalan meninggalkanku.
Hmm, seems like this time I got you, sis. And I got you BIG!
Tak lama kemudian mobil kami meninggalkan bandara menuju ke arah kota dengan kakakku menyetir dan aku duduk di sebelahnya. Awalnya kukira ia akan mengantarkanku pulang ke rumah kemudian ia ke tempat kerja. Namun dugaanku salah. Hari itu ia mengambil cuti sehari penuh. Sehingga dari bandara kami makan mie kepiting kesukaanku. Kemudian setelah menaruh tas dan istirahat sejenak, agak sorean acara dilanjutkan dengan pergi nonton lalu makan makan.
Malamnya sesampainya di rumah, kami masing-masing mandi dan ganti pakaian rumah lalu acara dilanjut dengan ngobrol sampai dini hari. Hal unik yang kurasakan dari kakakku malam itu, awalnya ia bersikap seperti menjaga jarak dan berhati-hati. Baik dari pilihan pakaiannya yang menurutku “agak terlalu sopan” dibanding biasanya, juga dari gerak-gerik dan sikapnya. Hanya setelah agak lama baru ia mulai bisa bersikap lebih santai dan luwes.
Anyway, hari itu dan esoknya adalah saat-saat kebersamaan kami yang tak terlupakan. Apalagi setelah tiga bulan lamanya tak bertemu.
Sementara, ada satu hal yang berubah di antara kami. Jelas bagiku. Dan kuyakin, sama jelasnya bagi kakakku.