Ada kalanya kita tak perlu memamerkan kelebihan kita apabila tak betul-betul perlu. Sehingga kita bisa lebih bebas menggunakan kelebihan itu tanpa membangkitkan kecurigaan / kewaspadaan orang lain. Demikianlah yang terjadi Sabtu siang itu.
Sekitar pukul 10.30 pagi, Angga datang ke rumah. Seperti biasa mereka berdua masuk ke dalam kamar dan baru keluar saat waktunya makan siang. Kali ini Angga tak terlalu lama disini. Begitu selesai makan, ia pergi.
Ya kalau bahasa sarkasnya sih kira-kira begini, pagi-pagi ia dapat “serangan pagi pengin melakukan itu”. Lalu ia ke tempat ceweknya dan main satu ronde untuk melampiaskan hasrat itu. Setelah itu ia makan karena perutnya lapar. Begitu semua dorongannya terpenuhi, ia pulang. Oh ya satu lagi, ia juga memakai Wifi di rumahku.
Dan disitulah ia melakukan satu kesalahan. Tak seharusnya ia (atau siapapun juga) menggunakan Wifi orang lain untuk sesuatu yang bersifat pribadi dan rahasia. Apalagi kalau tak yakin benar pemiliknya bukan orang yang mengerti cukup mendalam tentang hacking dan interception.
Sejak aku melihat beberapa keanehan pada diri Angga beberapa waktu lalu, aku selalu mengaktifkan “full packet capture” untuk trafik Wifi yang digunakannya saat ia berada rumah. Meski aplikasi yang digunakannya sebenarnya telah menggunakan enkripsi, namun selalu ada jalan untuk mendekripsinya, meski mungkin hal itu membutuhkan sedikit waktu.
Justru yang lebih susah adalah untuk mengerti apa maksud pesan yang sebenarnya. Karena seringnya ia menggunakan bahasa kode yang tak terlalu jelas maksudnya. Namun lambat laun aku mulai dapat mengira-ngiranya.
Angga adalah seperti makhluk amfibi yang hidup di dua dunia. Tak hanya ia menjalin hubungan gelap dengan kakakku sementara ia telah mempunyai anak istri. Hal itu kurang lebih telah kuketahui sebelumnya. Namun sepertinya ia punya kegiatan sampingan di luar pekerjaan resminya. Dan kegiatan sampingannya itu sepertinya ilegal bahkan melanggar hukum.
Hasil decoding-ku hampir seharian atas komunikasi yang dilakukannya saat itu membuktikan dugaanku. Apalagi hari ini ia menggunakan kata-kata yang lebih jelas dari biasanya. Ia terlibat dalam organisasi mafia yang menyelundupkan masuk obat-obatan terlarang. Namun tak cuma itu. Ada hal lain yang membuatku terkejut dan marah yang mendorongku untuk bertindak saat itu juga.
---&&&&&&---
Minggu siang...
“Cie, aku mau bicara sesuatu.”
“Masalah apa?”
“Tentang Angga.”
“Ada apa dengan dia?”
“Terus terang aja, he’s more than what he seems to be. Ada beberapa hal yang dilakukannya diluar apa yang selama ini ditunjukkan. Aku yakin kalau ia sebenarnya sudah punya istri bahkan anak. Satu hal yang sepertinya lu juga sudah tahu. Tapi saat ini aku bukan mau ngomongin itu, meski aku harap hal itu bisa segera diselesaikan dengan baik. Perlu diingat, di keluarga kita gak ada yang menjalin hubungan gelap dengan istri / suami orang.”
“Ada yang lebih parah dari itu dan sangat mendesak untuk aku sampaikan. Ia terlibat dengan aksi penyelundupan obat-obatan terlarang. Belakangan ini ia berbuat kesalahan cukup fatal di organisasinya yang membuat boss-nya mengancam dirinya. Aku tak tahu apa kongkritnya, tapi di organisasi seperti itu sepertinya bukan sesuatu yang bisa dianggap main-main. Untuk mengambil hati boss-nya, ia berniat mengumpankan diri lu kepada boss-nya. Bahkan ia telah mengirim foto lu kepadanya. Sebaiknya mulai sekarang lu jangan terlalu dekat dengannya atau lebih baik jangan berhubungan dengannya lagi,” kataku langsung tanpa tedeng aling-aling.
“Karena semua ini dampaknya bisa sangat fatal. Apalagi dengan orang-orang seperti mereka.”
“Oh! Dari mana lu tahu itu?” tanya kakakku dengan terkejut.
Lalu kutunjukkan hasil decoding-ku itu kepadanya. “Selain ini, aku bisa menjelaskan beberapa petunjuk, kalau tak ingin disebut bukti, bahwa ia telah punya anak istri,” tambahku.
“Hmm... kau salah besar Rico. Pertama, siapa bilang Mas Angga telah berkeluarga dan siapa bilang aku tahu tentang itu. Kedua, “bukti” yang lu tunjukkan ini tidak dengan jelas gamblang menunjukkan apa yang lu tuduhkan ke dia,” sanggah kakakku. “Dan ketiga, ia tak mungkin melakukan itu kepadaku. Semua itu hanya imajinasi liar lu aja.”
“Tentu dia nggak menyebut semuanya dengan gamblang, Cie. Tapi coba baca bagian ini,
-- Sebagai penggantinya, akan kuperkenalkan teman wanitaku. Namanya Stefany. Ia punya keahlian khusus yang aku yakin Boss akan puas dengannya. Dan ini fotonya. Detil pertemuannya nanti bisa diatur belakangan --
bukankah indikasi cukup kuat mengarah kesana? Dia menyebut nama lu. Trus dia jelas bilang ngirim foto lu. Mana ada cowok yang ujug-ujug ngirim foto ceweknya ke orang lain, apalagi bossnya.”
“Bisa aja dia kasih referensi ke orang itu untuk pekerjaan dan posisi yang lebih bagus buatku. Niat dia menolongku. Kalo ada kerjaan yang lebih baik dan gaji lebih bagus, kenapa tidak. Selama ini Mas Angga tahu hasil kerjaku di kantor. Lebih tahu dia dibanding lu,” kata Cie Stefany dengan tajam. “Lagipula, di dunia kerja orang ngasih foto adalah hal yang lumrah. Lu kuliah aja masih belum selesai tahu apa tentang hal itu. Trus, lu bilang dia ngirim fotoku, memang fotoku seperti apa sih yang dikirim?”
“Ehmm.. tentang fotonya gambar kongkritnya gimana aku ga bisa decode. Karena bukan teks. Tapi ini jelas dia nyebut nama lu disini.”
“Heh! Gaya lu sok bicara bukti dan data. Begitu ditanya kongkritnya langsung ngeles. Lu pernah denger ga istilah “no pic = hoax”?” ejeknya. “Kalo ga ada bukti nyata jangan main tuduh orang. Lagipula, katakanlah yang lu bilang itu betul semua, memangnya orang yang namanya Stefany di dunia ini cuma aku doang?”
“Halah, semuanya udah cukup jelas begini, Cie,” kataku. “Kayaknya lu udah mata gelap kalo menyangkut Angga. Di mata lu, semua tentang dia selalu betul. Sementara lu ga peduli dengan hal-hal lain.”
“Bilang aja kalo sebenarnya lu ga suka hubunganku dengan Angga. Iya kan? Udah ga usah munafik deh. Pura-pura mendukung padahal sebenarnya ga suka. Lu bilang Angga begini begitu. Ok, aku tanya balik ke lu sekarang... “Bukti” yang lu tunjukin ini, bisa ga lu buktiin kalo itu bukan rekayasa lu aja.”
“Hah?! Ngapain juga aku ngarang-ngarang kayak gitu, Cie. Memangnya gampang apa merekayasa hal-hal seperti ini.”
“Udah jangan banyak omong. Bisa ga lu buktiin. Mana buktinya kalo itu betul-betul asli. Kalo ga bisa buktiin, mending diem deh. Kecuali kalo lu memang ga suka aku pacaran sama Mas Angga karena sebenarnya lu rasis! Udahlah ga usah pura-pura lagi.”
“Cie! Ini kaga ada hubungannya sama rasis apa bukan. Kalo aku memang betul gitu, ngapain juga pura-pura ngedukung. Sementara selama ini mesti ngeliat kelakuan lu sama Angga yang seenaknya sendiri tanpa mikirin perasaan orang lain! Jujur aja kukatakan ya, kelakuan lu selama ini amat sangat menyebalkan! Ngerasa ga sih lu, Cie?”
“Rico! Satu hal yang perlu lu ingat dan lu camkan baik-baik ya...Sampai detik ini lu bisa makan bisa sekolah karena AKU! Jadi urusanku dengan Angga atau siapapun juga, lu ga berhak ikut campur. Kedua, lu kalo mau sok jago, mau sok nantang...harap otak lu itu dipake supaya ga malu-maluin! Ngerti ga?” kata kakakku dengan wajah merah padam. Rasanya baru kali ini aku melihat ia semarah ini. Namun aku tak gentar.
“Ya, aku tahu selama ini lu yang biayai semua keperluanku, Cie. Tapi hal itu bukan berarti aku ga bisa ngomong tentang sesuatu yang aku anggap benar. Apalagi yang sekiranya bakal membahayakan diri lu. Mungkin barusan ada kata-kata atau nada bicaraku yang terlalu keras, aku minta maaf untuk itu. Tapi kalo aku melakukan hal yang menurutku benar dan terbaik buat lu tapi kemudian lu ga suka, marah, bahkan menyetop membiayaiku, biarlah aku hadapi semua resikonya. Mungkin habis ini lu juga akan mengusirku dari rumah ini? Aku juga sadar selama ini lu yang bayar semuanya sementara disini aku hanya numpang. Tapi aku akan tetap melakukan apa yang menurutku benar!” kataku dengan suara lebih tenang namun tegas.
“Hmm... Rico, aku ga ada niat sama sekali untuk menyetop membiayaimu apalagi mengusirmu. Lu jangan salah sangka. Tapi lu juga jangan terlalu menyampuri urusan pribadiku dengan Angga. Aku tahu lebih banyak tentang dia dibanding lu. Dia bukan orang yang seperti lu katakan itu. Ok?” kata kakakku dengan nada yang terdengar lebih lunak dibanding sebelumnya.
“Ya, aku ngerti dengan keadaan lu, Cie. Aku tahu saat ini lu betul-betul jatuh cinta dengannya. I’m fine with that. Tapi disisi lain, aku melihat sesuatu yang lain dari dia. Hal yang berbeda dengan apa yang lu lihat tentang dia. Dan aku kuatir hal itu nanti akan membuat lu menderita. Itu sebabnya kenapa saat ini aku ngomong blak-blakan. Heh... memang lu kira gampang ngomong gini sama lu, Cie,” kataku sambil tertawa kecil. “Sekali lagi, ini bukan karena aku ga suka hubungan lu dengan dia. Apalagi menuduh rasis segala. Jujur aja kalo dulu mungkin iya faktor seperti itu ada. Tapi sekarang semua itu sudah aku buang jauh-jauh. Apalagi sejak aku ke Aussie. Semua ini demi kebaikan lu, Cie.”
“Ok. Aku hargai niat baik lu, Rico, and thanks for that. Tapi sekali lagi, aku tahu tentang dia lebih banyak dari lu. Dan pada akhirnya, this is my life dan aku yang memutuskan segala sesuatunya bukan orang lain. Aku harap lu mengerti tentang hal itu.”
“Ya, aku ngerti, Cie. Tapi gini aja... kenapa ga lu ajak dia kesini lalu kita tanya sama-sama. Mungkin aku salah. Tapi bisa saja aku benar, bukan? Nah, kalau setelah itu lu tetap memutuskan untuk terus sama dia, it’s your choice. Aku ga akan ikut campur lagi. Atau, kalo lu ga mau aku ikut-ikutan, lu mau tanya ke dia sendiri, terserah. Tapi tolong jangan abaikan apa yang aku bilang barusan sebelum lu mengecek kebenarannya atau kesalahannya. Ok?”
“Hmm... sounds good. Ok. I’ll do that. Percayalah Rico, aku juga nggak akan melakukan tindakan yang membuat diri sendiri menderita,” kata Cie Stefany sambil tersenyum.
Pada akhirnya, siang itu kami berpisah dengan hubungan baik dan sebuah kesepakatan.
---&&&&&&---
Malamnya...
Saat itu tiba-tiba ada pesan masuk di iPhone-ku. Dari Cie Stefany.
“Rico, aku lupa bilang.. Malam ini aku ada tugas kantor ke Bali bertiga sama teman kerjaku, Mira dan Dewi. Baliknya besok malam atau Selasa. Aku message lagi besok untuk kepastiannya ya. Byee”
What a fool!!! Umpatku kesal ketika membacanya. Aku tahu ia bohong. Aku tahu ia bertemu siapa. Dan aku kini sadar kalau ia telah membohongiku. Ia telah membohongiku sejak siang tadi.
Hmm...Memang susah membantu orang yang tak ingin dibantu, batinku sambil menghela napas.