Akhirnya kelar juga baca 4 chapter!
Jadi, ini cerita tentang seorang Kakak yang punya perasaan "tertentu" sama adiknya ya. Hehe... Jadi inget satu cerpan gue yang masih berkutat di laptop, topiknya mirip banget, tapi masih belum cukup "kuat" buat dirilis. Apes...
Aku memang pecundang...
Eh, lho? Kok jadi baper?
Oke, kembali ke laptop! Eh, cerita!
Sejauh yang ane lihat, cerita ini alirannya softcore, dan diramu dengan baik oleh penulisnya. Punya sentuhan unik dengan memasukkan unsur Jepang ke dalamnya. Tak hanya bahasa, namun pembawaan Shiro di dalam cerita ini bisa dibilang 100% Jepang, meski dia sudah 6 tahun tinggal di Indonesia. Tampaknya penulis udah lama tetanggaan sama Uzumaki Naruto.
Keunggulan cerita ini ada di beberapa aspek:
1. Alur yang nyaman, turun naik dengan fleksibel, sehingga membuat orang tidak bosan membaca meski setiap chapternya terbilang cukup panjang.
2. Seperti yang sudah saya katakan, karakter Shiro di dalam cerita ini "unik", karena dia tak punya karakter manja ala Indonesia, tapi manja ala Jepang. Sebagaimana kita tahu, budaya dari dua negara tersebut saja sudah berbeda, apalagi dari segi karakter, pasti punya ciri khas tersendiri.
3. Penulis memainkan peran Nara (Kakak yang baik) dengan sangat apik. Ini yang jarang ditemui di cerpan lain dengan tema yang serupa. (mungkin hanya cerita Rezzo yang bisa menyainginya nanti).
Nggak usah narsis lu Rezz!
4. Puas bacanya, karena chapternya cukup panjang dalam sekali update.
Namun, menurut saya, ada juga sedikit kekurangan, di antaranya:
1. Penggunaan nama tokoh.
Menurut saya nama Shiro kurang awam di benak orang Indonesia untuk mendeskripsikan karakternya di dalam cerita ini. Kalau saja penulis menggunakan nama lain yang lebih imut seperti: Ai, Nana, Momoko, Hima, dsb, mungkin akan terasa lebih baik. Saya sendiri saat pertama kali membaca cerita ini awalnya berpikir kalau Shiro itu laki-laki, karena teringat nama anjing jantannya si Crayon Shin-chan.
Begitu pula dengan Nara Purnama. Agak canggung dengan namanya. Apakah Nara itu nama keluarganya? Apakah dia turunan Jepang juga? Entahlah. Mungkin akan dijelaskan di apdet2 selanjutnya. Dan "Purnama" sih sebenarnya sah2 saja digunakan untuk laki-laki, tapi Purnama kebanyakan lebih melekat di diri seorang perempuan, seperti halnya Luna, Bulan, Selena, Wulan, dsb. (meskipun ada juga nama Purnama pada laki-laki, seperti nama gubernur Jakarta). Tapi, it's OK. Mungkin penulisnya ingin sesuatu yang (sekali lagi) terlihat "unik" di ceritanya.
2. Yang di prolog itu si Nara nangis kenapa? Apakah karena balonnya pecah? Bukankah dia sudah berumur 12 tahun saat itu? Kalau menurut saya agak absurd untuk anak laki-laki berumur 12 tahun menangis hanya karena balon pecah.
3. Saya sempat membaca deskripsi yang agak kurang tepat dalam cerita ini (agak lebay sedikit), tepatnya di chapter 3 kalau nggak salah. Dan kalimatnya kira-kira berbunyi seperti ini: "Pakaiannya begitu ketat, menunjukkan lekuk tubuh bak permaisuri kerajaan."
Sekilas, deskripsinya memang terlihat WAH. Tapi kalau dicermati, terlihat kejanggalannya. Bukankah permaisuri kerajaan dari seluruh belahan dunia tidak pernah memakai pakaian ketat? Apalagi menampakkan lekuk tubuhnya dengan bebas? Memang jika diibaratkan dengan seorang Kate Middleton, penampilan "sedikit" terbuka pernah dia lakukan, tapi umumnya (yang saya tahu) permaisuri itu sebagian besar selalu terlihat tertutup dengan gaun yang anggun. Dan jika ditilik lagi, alangkah baiknya jangan menggunakan permaisuri, atau ratu, atau tuan putri sebagai permisalan tubuh, karena belum tentu mereka itu punya tubuh yang bagus. Permaisuri itu bisa dibilang ratu, dan ratu itu tidak terbatas usianya. Contoh: Ratu Elisabeth II. Lihatlah penampilannya di tahun 2015, apakah ia terlihat menggiurkan? Hehe....
lain ceritanya jika pengandaiannya seperti: "lekuk tubuhnya seperti selir kerajaan yang selalu bisa memuaskan nafsu seorang raja sekalipun". lebih menggiurkan kedengarannya kan?
Sepertinya itu aja sih yang bisa saya sampaikan. Lebih dan kurangnya saya mohon maaf.