Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Panggilnya Teteh Aja, Jangan Tante..

Bimabet
Terimakasih suhu atas updatenya. Saya juga setuju kalo pake bahasa daerah gini suhu. Penjiwaan karakter.a lebih kerasa. Lagian gk banyak juga. Cuma di bagian conversetionnya aja. Terus udah dikasih terjemahan nya juga. Sukses suhu. Jgn sampe mandeg di tengah jalan yaaa...
 
wah koq bisa keren gini update ceritanya suhu?
semangat terus suhu, walau ada wabah
 
makasih para SUhu komen2nya, segera dilanjut lagi, langsung ngetik lagi, mumpung lagi nganggur ga bisa nyari kerja. hehe.
Oke deh Hu, dicobain langsung pake bahasa nasional, kemaren takutnya ga kena karakternya, soalnya ujaran2 bahasa daerah suka laen kalo diartiin. hahaha. sok keren ane ya Hu?.

Doain agar situasi Indonesia cepat bebas dari wabah yang menakutkan ini, puyeng ane susah nyari duit nih sekarang.. hehe
Wah...ulah atuh...karakterna leungit..sebagai tea atuh..
Hidup AsBer..🤭🤭☕🤙
 
“Aduh cilaka..! (aduh celaka)”.

Muncullah wajah itu, wajah yang kukenal, yang sedari kecil sering ada dirumahku, dulu badannya penuh dengan tato, tapi kini telah dihapusnya walau bekas-bekasnya masih ada. Matanya yang mencorong ditutupi kacamata hitam, rambut yang dulu tak terawat kini dipapas rapi a la taun 80-an, sudah ada uban yang menghiasinya. Perawakannya sudah agak gemuk, tapi tetap tegak siap dengan segala macam bahaya. Ia masuk dengan wajah datar, banyak warga yang mencium tangannya. Ia menatapku, setidaknya menurutku begitu, karena ia memakai kacamata hitam. Aku berdiri menyambutnya.

“Oom Gio..!”, teriakku setengah rindu. Yang kupanggil langsung tertawa membahana. Melupakan wajah seramnya begitu melihatku. Aku mengambil tangannya untuk menciumnya, tapi ia memelukku kencang.

“Hahaha.. Geus sabaraha lila ieu teu panggih? Dua bulan mah aya nya? (udah berapa lama kita ga ketemu? Dua bulan sih ada ya)?”. Aku mengangguk.

Dibelakangnya ada suara-suara tertawa juga, begitu aku memanggil mang Gio, aku melihatnya, wajah-wajah yang kukenal semenjak kecil.

“Gi..?”, salah satunya memanggilku. “Udah lupa kali kalo sama saya mah ya? Sama Mamang yang ini mah udah lebih kali setahun kan gak ketemu?”, ia tertawa juga cengengesan. Akupun balas tertawa.

“Mang Jaya, mang Karta, mang Dani, mang Banon, kang Edi parkir hahaha.. sareng (sama) mang Maman…hehe..”, aku menyebutkan mereka satu persatu. Mereka semua tertawa begitu aku mengingat mereka. Aku menyalami mereka dengan mencium tangannya, tapi rata-rata dari mereka menolak kucium tangannya dan memilih memelukku kencang, dan ada pula yang mencium ubun-ubunku.

Mang Gio ini dulu orangnya hitam dekil, tapi kini sudah agak bersih kulitnya apalagi wajahnya, tubuhnya dulu agak pendek tapi seseg, keras dan padat, dan kini agak gemuk. Ia memakai kemeja putih yang dimasukan ke celana jeansnya. Ia lalu memilih duduk di kursi yang ditinggalkan pa Ustadz yang sudah berdiri. Ia duduk selonjoran disitu meluruskan kakinya. Tangannya membuka kacamata hitamnya, menaruhnya di meja, dan mengeluarkan sebungkus rokok lalu menyulutnya sebatang.

“Rek kamana ? (Mau kemana?)”, tanyanya pada pa Ustadz yang masih berdiri sambil lalu.

“Bade ka masigit deui.. (mau ke masjid lagi)”, jawab pa Ustadz sopan, lalu ia menjelaskan bahwa tadi sebenarnya ia sudah mau pergi dengan pak Endang begitu tahu aku anak dr. Budi, tapi di halang-halangi terus.

Om Gio mengangguk, “Enya alus atuh lah.. (Ya bagus kalo begitu lah)”, katanya. Pak Ustadz tergopoh-gopoh melenggang pergi.

“Kopi.. lah..!”, teriak om Gio kencang. Mamah Elis menyenggol Titi, dan yang disenggol langsung melesat ke dapur dengan cepat.

Selama itu diantara hadirin tidak ada yang bersuara. Apalagi pak Dedi, pak RT dan pak Husni, mereka menunduk kaku dengan wajah pucat. Anton sudah menghilang dari tadi. Mang Jaya mendekat ke arah pak Husni yang tersenyum ketakutan padanya. Tapi mang Jaya tidak balas tersenyum hanya memelototinya dan menegur,

“Naon siah sura seuri..?(apa kamu ketawa-tawa?)”. Senyum pak Husni langsung hilang, diganti dengan tangannya yang menutupi wajahnya dengan bergetar. Mang Jaya memang seram, banyak codet bekas luka ditampangnya itu.

Mang Karta mendekatiku, berbisik padaku, “Yang mana Gi yang gangguin lu..?”, ia menunjukkan tonjolan di bajunya padaku. Aku tahu itu golok, dari dulu ia selalu membawa-bawa itu. Mang Karta ini asli Sunda, cuma besar di Jakarta, baru 5 tahun lalu ia kembali ke kota kami, maka bila ia berbicara bahasa Sunda sering ditertawakan karena logatnya yang lucu, ia lalu memilih berbicara bahasa Jakarta. Aku cepat-cepat menggeleng padanya, takut ada yang terluka olehnya.

Kalau berbicara preman, memang paling cocok kalau melihat sosok mang Karta ini, kulitnya cerah penuh tato, tubuhnya tinggi kurus tapi tegap, rambutnya gondrong dan wajahnya tampan. Sorot matanya seperti bisa menembus perasaan. Dan kata mang Cahya, dia ini nekad orangnya. Dan aku pribadi pernah melihatnya beraksi, nanti kuceritakan di masa nanti.

Mang Banon supirnya Om Gio sekarang, mang Maman pamannya Esih, dan mang Edi warung lebih memilih berdiri dekat pintu. Mang Dani keluar lagi, jaga diluar mungkin.

Om Gio mengisap rokoknya dalam-dalam, diperhatikannya orang-orang yang duduk bertiga di sofa itu, sampai pada pak Husni keamanan yang sedang menutupi wajahnya dengan bergetar. Om Gio menepak tangan yang bergetar itu.

“Kaluar sia lah.. ! (keluar aja kamu lah!)“, katanya perlahan. Yang ditepak terlonjak dengan kaget, “Kunaon Abah..?”, tanyanya dengan ketakutan, suara Om Gio mungkin tak terdengar olehnya. Mang Jaya langsung menarik kerah bajunya, menarik keras sampai pak Husni tertarik jatuh.

“Kaluaaaar siah indit (pergi) kaluaaar..!”, teriak mang Jaya kesal padanya. Tubuh pak Husni terus ia seret sampai dekat ke kerumunan warga dan ia membanting pak Husni seperti membuangnya keluar pintu. Pak Husni jatuh keluar sambil mengaduh, lalu kemudian ia menghilang. Aku kasihan padanya.

Om Gio terkekeh padaku, ia tahu aku takkan tega dengan hal-hal seperti itu.

“Mamang oge (juga) baru sampe dirumah da Gi, pas banget, barusan banget inih bareng sama anak-anak. Si Maman ajah tadi ngalapor, awalnya sih ga percaya, eh tunggu-tunggu.. Mamang pikir-pikir ini masa si Eginya si kang Budi ada disini? Hehe, Eeeh.. taunya bener ada disini, hahaha”, katanya kemudian berbasa basi padaku.

“Udah kenal sama yang enak-enak barangkali Kang? hehe.”, mang Jaya yang sekarang berjongkok di sebelah om Gio menimpali.

“Iya.. hahaha..”. Om Gio tertawa. Akhirnya banyak yang ikut tertawa. Aku mengusap wajahku, mau tak mau aku nyengir juga walau agak malu. Aku melihat Esihpun tertawa menunduk.

Tim perempuan pendukungku kulihat semuanya tersenyum lebar, baik oleh lelucon om Gio maupun juga karena sudah mencium aroma kemenangan yang semakin dekat. Aku melirik si Teteh cantik yang berdiri tadi, dia tersenyum senang sambil memberikan tanda jempol padaku. Perasaanku melambung jadinya.

Om Gio memulai lagi.

“Esiiiih.. sudah atuuh Esiiih.. kasian para laki-laki, digoda terus sama janda Esiih..., Esih yang bohai ranum badannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.. kang Egi udah ga kuat..”, Om Gio bernyanyi ala dangdut dengan lirik ciptaannya sendiri.

Semua orang tertawa, ramai suaranya, wajahku terasa panas walaupun ikut tertawa. Esih merajuk mengomel-ngomel pada om Gio karena malu tapi masih dengan tetap senyum diwajahnya.

“Esih? Kamu bukannya kemaren sama si Cahya kamu? Hah? Bingung sayah.. kemaren sampe nyusul ke kota B ngejar-ngejar si Cahya, eeh sekarang dipeluk di sayang-sayang sama si Egi? Ah Hahaha.., gimana ini teh ceritanya ?”. Si Abah tetap mencecar teh Esih.

Teh Esih terperangah merah wajahnya, ia melirik kesana kesini salah tingkah, akhirnya menunduk gerah dan malu. Ia tak mampu menjawab.

Aku mengacungkan jariku, “Teh Esih sudah diwariskan ke keponakannya, Om.. hehe.. ke saya..”.

Hampir semua orang menoleh kepadaku, dan “Huhahahahahahahaha….”, Abah Umbed tergelak tertawa-tawa di korsinya, mang Jaya tertawa sampai jatuh terduduk, mang Karta meremas dan menepak-nepak pundakku, mang Maman menunjuk-nunjuk diriku dan kang Edi mengacungkan jempol. Akhirnya tawa itu mereda.

“Memangnya keris kali diwariskan..?”, mang Jaya nyengir.

“Keris buntung.. hahaha”, mang Gio menimpali dan tertawa lagi, tapi kali ini sendirian tertawanya, kurang lucu mungkin leluconnya.

“Haduuuuh.. Gusti..”. katanya menyudahi tawanya.

Tepat pada saat itu ringtone hapeku berbunyi, aku hafal, karena lagunya aku yang menyetel dan jarang orang yang tahu, lagu lama, ‘Testify’ dari RATM. Dering hape itu berasal dari ruang tivi, tak lama mendekat dan masuk ke ruang tamu, Anton yang membawa sambil merunduk berjalannya, hampir kelihatan seperti merangkak.

“A? ada telepon ini dari sini ..”, katanya padaku. Dari tadi dia berlaku kurang sopan padaku lalu meninju hidungku, kini ia berlagak sopan dan memanggilku Aa.

Aku mengambil hapenya, dan melihat mang Cahya yang menelepon.

“Halo..”, kataku.

“Gi? Ada siapa aja disana..?”. Aku melihat berkeliling. “Banyak atuh Mang..”.

“Si Dedinya masih ada?”. Aku melirik pa Dedi, “Iya ada..”, orang yang dimaksud segera memalingkan kepalanya menghindar.

“Sini.. Mamang mau ngomong sama dia..”, kata Mamangku. Aku menjulurkan hapeku pada pak Dedi. Tapi dia pura-pura tidak tahu, celingak celinguk sana sini. Aku tetap tak menurunkan tanganku.

Akhirnya dia menatapku, dan aku berbisik keras padanya, “Mang Cahya..”, sambil menaikkan alisku. Pak Dedi menaikkan tangannya hendak mengambil hapeku, tapi diturunkannya lagi ragu-ragu, wajah pucatnya merenyeng seperti mau menangis, ia mengangkat bahu, “Eh.. siapa eh.. ga tau ah..”, rengeknya.

Esih menepak bahunya, “Eeeeh.. angkat eta (itu) kang Cahya..”.

“Si Cahya bukan? Sini sini sini sini..”, Om Gio akhirnya meminta hapeku, ”Ga kan bener dia mah..”, gumamnya.

“Halow.. iya Dedi disinih..”, kata Om Gio berpura-pura, mang Jaya nyengir, lalu.. “Hahahaha.. iya inih Dedi disinih.. aaah sia mah teu percaya (kamu mah gak percaya).. enya gelo siah alo maneh (iya gila tuh ponakan lu).. Hahahahaa”. Ia tergelak tapi lalu mendadak jadi serius, “Iyah.. enya he-euh, enya ieu keur (ini lagi) dibereskeun.. he em.. iya.. iya.. okeh”, lalu ia menutup teleponnya. Ia memandang keras pada pak Dedi. Yang dipandang langsung gelisah panjang pendek, nafasnya jadi terburu-buru. Ia memandang mamah Elis meminta pertolongan, tapi mamah Elis cuma bisa merasa kasihan.

Tapi lagi-lagi tepat pada saat itu, Titi masuk membawa baki besar berisi gelas-gelas kopi. Jumlahnya pas serangkaian tepat seperti yang aku beli tadi di warung kang Edi.

“Banyak amat sih kopinya?”, mang Karta berkomentar. Titi menaruhnya dimeja sambil tersenyum manis pada mang Karta, yang disenyumin kelihatannya tak peduli. Ia berjongkok di depan meja membagi-bagi gelas ke orang-orang.

Tepat pada saat itu pak RT mau mengambil gelas jatahnya, ia mengulurkan tangannya sendiri, mungkin malu kalo sampai disuguhi oleh mang Karta, tapi mang Karta melotot marah, ia bereaksi dengan menampar keras tangan pak RT sampai tangan itu terbanting.

‘Plaak !!”. Semua orang terkejut, apalagi pak RT yang meringis.

“Enak aja lu maen ambil-ambil.. !!, lu mau ngopi ? hah? nih gua siramin langsung ke muka lu nih ..!!”, ancam mang Karta keras. Ia benar-benar memegang salah satu gelas kopi panas disitu, dengan posisi siap disiramkan.

Om Gio terkekeh, “Hehe.. enya sabar sabar sabar, kalem kalem kalem.. hehe”.

“Bukan gitu Bang, maap nih Bang.. nih ane cuma mao nanya, atu aja pertanyaan yang bikin nyelek nih.. dari tadi ni udah ane tahan-tahan nih Bang”.

Mang Gio mengangguk-angguk menyilakan, mang Karta menghadap pada kedua terdakwa.

“Nih si Egi nih..”, telunjuknya ditunjukkan pada wajahku, “Idungnya kenapa bisa ampe berdarah..?”, tanyanya dingin. Bergantian menatap pada kedua terdakwa.

Semua mata menoleh padaku, aku pun baru tahu kalau hidungku berdarah. Oooh iya, udah agak mengering sekarang, aku mengusap bagian yang perih didalam cupingku.. kulihat di jariku memang ada darah yang sudah agak mengering. “Aaah gapapa mang Karta..”, kataku mencoba meredakan suasana. Kulihat Om gio yang tersenyum bersimpati padaku. Dan kulirik Anton yang sedang berjongkok dekat kakiku, wajahnya pucat pasi tanpa darah, sedikit lagi mau pingsan kayaknya dia.

“JAWAAAB..!”, mang Karta berteriak. Bukan cuma kedua terdakwa yang terkejut melompat, tapi sampai mang Umbedpun terlonjak karena kaget. Tapi lalu dia terkekeh lagi.

“Hehe.. iya tenang sabar..!, jawab atuh sama siapa ituh.. hehehe..”.

Pak Dedi sudah melindungi wajahnya dengan kedua tangannya karena takut, ia menjawab sembarangan,

“Ga sengaja itu mah Bang.. tadi..”.

“Iye, ame siapee …?”, tangan mang Karta menjulur hendak meraih tangan pak Dedi. Tapi tiba-tiba terdengar raungan tangis dari dekat kakiku.

“Ampuuun Bang.. sama saya Bang.. ampuun, ga sengaja tadi.. ga tau saya A’, Huaaaaa… huhuhu”, Anton menjerit histeris ketakutan, ia kemudian memeluk lutut dan kakiku, “Hampuraaa abi Aaaaaaa.. (maafkan saya A..), hampuraaaaa…”.

Terdengar langkah kang Maman mendekati kami, ia tersenyum pada Abah, mang Karta dan aku, kemudian baru mendekati Anton.

“Ah udah udah udah jangan nangis atuh.. malu-maluin ah..”, ia membujuk Anton dan menarik lengannya agar menjauhi kami.

“Ponakannya..”, kata Om Umbed memberitahu kang Karta sambil menunjuk Anton, kang Karta melengak, lalu mengeluh pada Maman.

“Yaaaah lu lagi Man, kerjaan lu itu sih Man.. lu kasi tau daaah..”, ia mundur.

“Iya maaf Bang, biar urusan saya ini mah ..”, Ia mengangguk tersenyum pada mang Karta untuk berterimakasih, kemudian ia menyapaku dengan sopan, “A’ maafin ya A’?, hampura, masih belum bisa apa-apa dia mah, biar nanti Mamang yang ngajarin.. sakit ga A?”

“Ah ga apa-apa Mang, udah biarin.. laki-laki namanya juga, salah paham tadi mah, biasa..”.

“Ambilin elap atau apa gitu teh Indri, biar dibersihin ini lukanya..”, kata A Maman pada Teteh cantik yang berdiri di dekat rak, dan teh Indri pun pergi menghilang ke belakang. Oooooh namanya teh Indri, dalam hatiku sambil memandang bayangannya yang telah hilang.

Mang Maman masih memperhatikan hidungku yang luka dengan prihatin, aku jadi merasa terganggu olehnya, aku lebih kuatir akan mobilku kan belum kembali nih koncinya. Hidungku akan lebih dari ini kalo Mamahku tau aku pulang tanpa mobil.

“Udah gapapa Mang, bener saya mah udah biasa. Itu yang kasian mah teh Esih Mang.. kasian kan perempuan..”, padahal kata-kataku itu basa basi saja agar dia tak lagi memelototi hidungku, tapi justru itu yang memicu letikan di emosi kang Maman.

“Esih? Kenapa gitu dia A'?”, A Maman menoleh pada Esih, semua pun sama. Esih jadi terkejut diawasi oleh semua.

“Ah biasa A..”, tangannya menunjuk sedikit ke Anton, “Tapi gapapa juga kan udah ga sakit..”, ia tersenyum sambil memamerkan lokasi di wajah tempat ia dipukul, di pelipis dekat alis sebelah kiri.

“Ehhh siah biru itu Esiih..”, mamah Elis terkejut melihatnya. Esih pun sama, ia juga rupanya tidak tahu bahwa bekas pukulan itu menjadi lebam biru.

“Hah..?! Goblog SIAH…!! Gak tau diri ! dulu lu bisa sekolah sama siapa..?!”, mang Maman berteriak marah. Tendangannya melayang pada dada Anton.

‘Buk !’, “Heugh..”, Anton terguling menahan nyeri, dan Buk..!! tendangan lain mengenai dada di dekat leher. Anton memegang kedua letak sakit pada badannya itu sambil menyeringai, ia mulai menangis. “Hiuuuu aaaaaa….”. Erangnya seperti anak kecil.

Mamah Elis dan tim perempuan langsung menjerit-jerit, aku dan Asep melompat untuk menarik tubuh A Maman menjauhi Anton. Keras perlawanan dari kang Maman, dia tetap ngotot menghujani tubuh Anton dengan tendangan.

“Tolol siah..!! Wani ka awewe.. (berani ama perempuan)!! Jeung aing kadieu.. (sama gua sini)!!”, begitu teriak kang Maman. Aku dan Asep mulai kewalahan menahan badannya. Sampai hampir kalah oleh tarikan badannya.

“Nggeus (sudah) Man..!! Cukup..!!”, mang Gio berteriak.

Kang Maman berhenti melakukan perlawanan, tapi wajah dan tubuhnya masih terhiasi emosi tingkat tinggi. Ia melangkah ke pintu lagi sambil tetap dipenuhi kemarahan.

“Atuh udah dibilangin tadi kamu mah, jangan.. jangan, eh kekeuh wae (ngotot mulu), nurut geura (deh) sekali-sekali ke Mamah..”, Mamah Elis menghibur Anton yang masih terguling di lantai dan menarik tangannya mengajaknya pergi kedalam. Anton mengikuti mamahnya sambil mengerang manja.

“Naaaah begitulah kisah kasih percintaan Esih dan Egi.. hehehe”. Om Gio mencoba menenangkan lagi suasana, tapi wajahnya serius kini, tak ada lagi cengangas cengenges. Ia menatap Esih dan bertanya,

“Percintaan kamu teh udah sampei dimana Esih? Sama Egi? Kamu cinta sama Egi?”. Esih gelagapan ditanya seperti itu, akupun tak menyangka bisa begitu pertanyaannya.

“Yaaah baru suka aja Abah, belum sampai cinta..”, Esih menjawab lirih sambil melirik diriku.

“Tapi kok sudah minta dikawinkan? Bener gitu Esih?”. Abah mencorong matanya sekarang. Esih mendadak pucat. “Ngga Abaah, Esih mah ga minta dikawinkan.. bukan Esih..”.

“Bukan Om, bukan gitu..”, kataku mau membela Esih

“Diem dulu Gi..,”, potong Abah, ”Ini harus jelas dulu.., jadi bukan Esih ini yang minta ke bapak Dedi untuk dikawinkan dengan Egi..?”.

“Ngga Abaah..”, Esih mulai bergetar suaranya mau menangis, ia menjadi tertuduh sekarang. “Esih mah gak akan tega atuh Abah, kasian si A Egi mah anak baik-baik, dari keluarga baik-baik, masa kawin sama Esih? Udah ada umur, janda, dan belum tentu Esih diterima sama keluarganya, Esih mah tau diri Abah, Esih juga udah ada calon.. cuma ini mah memang salah Esih, Esihnya seneng gitu, suka sama si A Egi teh, bageur (baik) gitu, baik anak orang kaya teh ga sombong gitu, mau gaul sama cewe kayak Esih.. huuuu..”. Akhinya teh Esih mengucurkan airmatanya. Teteh Indri yang sudah datang kembali, duduk memeluk Esih, menghiburnya. Aku trenyuh mendengar kata-kata Esih, matakupun berkaca-kaca.

“Ooooh enya enya atuh, sudah ceup ceup, sudah jangan nangis.., iya saya juga udah tau sebenernya, si Cahya tadi di telp bilang Esih yang ngelapor sama dia, gitu? kalo Esih yang mau kawin mah, mungkin nyuruhnya si Aa nya yang ngelapor langsung ke orangtuanya. Gitu ? ya?. Cocok atuh. Ini mah cuma meyakinkan saja, ini mah nanya aja.. begitu ya Man? udah atuh jangan nangis terus..”

Mamah Elis masuk dan ikut memeluk Esih dari sebelah kiri, mereka bergeser.

“Betul sumuhun Abah..”, sahut A Maman, “Kalau Esih yang mau ngejebak mah, pasti ke saya dan ke Mamahnya .. ga akan ke si Dedi, kalaupun bilang ke saya, siapapun itu. Si Aa atau yang lain, pasti saya lapor dulu ke Abah atau ke kang Cahya atau ke siapa gitu lah yang penting sampai dulu ke Abah kabarnya, biar beres gitu Bah urusannya, ga kayak gini seenaknya aja..”.

“Enya..”, mamah Elis dan Abah berbarengan berkata iya.

Kini semua mata menoleh kepada pak Dedi, yang menunduk lebih dalam sekarang, lututnya bergoyang-goyang cepat tak jelas. Ia sepertinya berpikir keras, bagaimana agar bisa lolos dari situasi seperti ini. Suara isak tangis Esih sudah mereda.

“Eh si Bapak.. jangan diem aja atuh, kenapa ini teh bisa beginih? Ah.. si Bapak mah ngaku ajah atuh, naksir sama teh Esih bukan? Kenapa atuh digangguin terus?”. Titi memarahi Ayahnya, mungkin kecewa akan kelakuannya, ia kemudian melengos pergi, sebal dan tak tega mungkin melihat bapaknya hanya terus menunduk diam tanpa berkata sesuatu yang masuk logika.

“Eeh jangan begitu.. atuh”, mamah Elis menyela. Tapi Titi sudah menghilang ke pintu belakang, Asep ikut berdiri mengangguk sopan pada semua lalu menyusul pacarnya itu.

Aku pun kasihan sebenarnya pada pak Dedi dan pak RT, terbayang jika aku berada pada posisi mereka, atau malah di posisi Titi, yang malu dan kasihan melihat bapaknya duduk ketakutan seperti maling yang telah tertangkap. Tapi bagaimana mau membelanya ? darimana mulainya?. Dan bila dimaafkan, ada kemungkinan juga dia mengakaliku dengan cara lain?, untuk memerasku tentunya.

“Jadi maneh (lu) teh kunyuk Dedi siah can (belum) kapok?”, Om Gio bertanya dengan suara dalam. “Kemarin kan udah kena bogem sama si Cahya gara-gara si Esih juga?”. Pak Dedi melirik sedikit ke samping ke arah Abah lalu kembali menunduk. Mamah Elis berkerut keningnya, ia tak tahu mungkin kejadiannya. Ia berbisik-bisik bertanya pada Esih.

“Bener gitu? Gara-gara apa Ded digebugin si Cahya?”. Om Gio mencecar. Pak Dedi masih diam. “Jawab atuh..”, Om Gio menghisap rokoknya lagi dengan santai.

“Ngegodain Esih Bah..”, pak Dedi perlahan sekali suaranya.

“Apa?”, tanyaku. Mulai mual aku mendengarnya, bagaimana sih masa bapak godain anak? Kalo aku sama Budhe kan ga ada hubungan darah, cuma perkawinan yang menghubungkan kami, jadi masih ga terlalu serem lah.. hehe, kataku beralasan.

“Esih tuh anak tiri si Dedi Gi, dulu juga pernah waktu Esih masih sekolah si tolol nya ini merkosa Esih, belum tau Gi..? goblog sia mah kunyuk Dedi..”.

Darahku langsung mendidih ke ubun-ubun, kini aku yang ingin memukuli si Dedi sekarang.

“Abisnya sering soalnya Mah ngegodain Esih, lagi tidur juga suka diraba-raba, tuh tanya ke Titi, dia juga pernah tau kejadiannya“, Esih terdengar membela dirinya ke Mamahnya. “Waktu rumah kosong pernah dikonciin rumah teh terus langsung Esih teh dipeluk-peluk, diajak gituan. kan gila dia ih.. sinting.. untung si kang Cahya lagi deket disini Esih telp..”.

Mamah Elis melolong marah, ‘Plak’, tamparannya mengenai kepala Dedi keras, disusul segera tamparan-tamparan lainnya. ‘Plak plak plak plak’.

“Tolol.. siah, anying, ga bisa dikasianin, goblog sia, licik, curang..”. Terus makian itu berdatangan, tak ada yang memisahkan.

Pak Dedi melindungi kepalanya, tapi karena tamparan itu terus datang akhirnya ia melawan, ia mendorong mamah Elis sampai jatuh terduduk.

“Aduuh.. udah Mah..”, elaknya. Tapi dorongan itu malah membuat marah dua orang perempuan lainnya di sisi Elis, akhirnya ketiganya berlomba menyakiti pak Dedi, ada yang menjenggut, memukul, bahkan teh Indri menyerang dengan lutut. Makian-makian terus terucap. Pak Dedi tak tahan ia mau kabur ke pintu belakang.

“Mau kabur luh..?”. Mang Karta bergerak cepat dengan memukul wajah pak Dedi dengan telak, yang langsung jatuh tersungkur kebawah. Kang Karta menarik kerahnya dan menggusurnya ke hadapan si Abah.

“Sudah sudah sudah.., nanti dulu”, kata om Gio pada Ibu-ibu. Ia lalu menginjakkan kakinya di belakang leher pak Dedi kuat-kuat, yang tersungkur di lantai mengaduh kesakitan.

“Jadi belum kapok bukan Ded?”, tanya Abah sekali lagi, masih sambil merokok. Aku tak tahan melihatnya. Aku memalingkan wajah, tapi tak urung suara nafas kesakitan pak Dedi terdengar juga.

“Hoaahh.. hadduuh.. hampun Abah..”, dengan nafasnya yang berat pak Dedi meminta ampun. Aku sering melihat orang mengerang kesakitan karena kecelakaan kalau ikut sesekali orangtuaku bekerja, hobiku juga main game dan nonton film yang penuh dengan seks dan kekerasan. Tapi kalau melihat langsung begini orang disiksa, walau baru pembukaan, aku sadar tak tahan juga. Padahal ini belum apa-apa. Mendengar suara orang ketakutan yang amat sangat dan nafas yang kesakitan seperti itu, jatuh rasa ibaku. Aku sekilas jadi teringat film G/30S/PKI.

“Om? Udah Om? Kasian Om?”, tanyaku pada om Gio. Yang ditanya terbengong menatapku. Mang Karta menepak bahuku, “Yaah… ngapain lu Gi?”. Aku tak memedulikannya.

“Om pan (kan) mau Umroh minggu payun (minggu depan)?”, kataku menatap om Gio yang masih bengong. Ia terkejut mendengar kata-kataku, langsung menarik kakinya dari leher pak Dedi, duduk bersandar seolah menyadari sesuatu.

“Astagfirullah.. enya bener nya euy? Aing arek ka Mekkah (Gua mau ke Mekah?) ?”. ia bertanya sekeliling menatapi anakbuahnya. “Aduh.. poho aing (lupa gua)”.

“Yah nggeus-nggeus atuh (sudah-sudah), bangun-bangun, diuk-diuk (duduk-duduk)”, om Gio memerintah pada pak Dedi. Mang Karta menyuruh Dedi bangun dengan kakinya, yang diperintah segera bangun dengan wajah kusut semrawut.

“Didinya tah (Disitu tuh) ..”, perintah Om Gio menyuruh pak Dedi duduk di sofa panjang dekat dengan dirinya. Mang Karta memandang benci padanya dan berbisik padaku, “Kalo ada Om lu, abis itu Gi..”

“Enya.. keun weh, sina beak ku si Cahya, aing mah arek ka Mekah Karta, sieun kukumaha aing diditu. ( Iya biar aja abis sama si Cahya, gua mau ke Mekah Karta, takut kenapa-kenapa gua disana)”, kata om Gio pada mang Karta, diapun mengangguk.

Pak Dedi duduk menunduk. Nafasnya masih terburu-buru.

“Balik lagi aja ke cerita sebelumnya.. Ded? Si Egi kenapa lu tangkep ?”. Om Gio bertanya pada pak Dedi yang mengangguk-angguk, ia mengumpulkan nafasnya menjawab,

“Iya salah saya Abah.. salah orang.. kirain si Teddy pacar si Esih..”.

“Salah orang??”.

“Bohong dia mah Abah, awalnya mah bener salah orang.. tapi sama Esih sama Mamah juga udah dikasi tau ini teh keponakannya kang Cahya, tapi tetep weh si goblog anjing teh ga mau denger..”, teh Esih menyela dengan panas.

“Abisnya da bilangnya ga kenal sama Abah katanya, ini si Aa nya ngakunya ga kenal sama Abah Umbed..?”, pak Dedi membela diri. Om Gio mendengus tertawa.

“Kalo dia bilang kenal ma Abah sih, kita gak akan terusin Bah..”, tambah pak RT.

“Gak jadi Abah, dikawininnya juga, ngerti atuh kita mah Abah teh gimana sama keluarga kang Egi, ga tau sih awalnya, ga bilang sih..”, pak Dedi beralasan sambil menunjukku.

Keduanya kini memandangku seolah semua adalah kesalahanku hingga semua ini terjadi. Aku diam saja, hanya balik melotot.

“Ya memang ga akan kenal atuh..”, Abah menyela, ”Gi ? ini siapa?”, tanyanya lagi padaku menunjuk dirinya.

“Om Gio.. Om Giovanni..”, jawabku cepat. Om Gio dan anakbuahnya berpandangan dan kemudian tertawa terbahak-bahak. Aku dan sisa yang lainnya terbengong-bengong tak mengerti.

“Tau ga Gi ceritanya..? nama asli Mamang mah Umbed, memang Umbed memang bener.. cuma itu si teh Linda, mamah kamu, yang ngarang nama Gio teh, hahah, waktu baru nikah sama Bapa kamu, nama kamu jelek amat sih Umbed? Kata si Mamah teh.. ganti aja ah jadi Gio, Giovanni.. huhahaha”. Om Umbed memandang berkeliling bercerita.

Mang Jaya menambahkan, “Giovanni, penyanyi cilik tea Gi..”

“Hahaha, si Mamah mah memang tukang bercanda orangnya Gi, tiap ada orang yang nyebut nama Umbed dirumah.. ya dirumah kamu, dimarahin itu orangnya, namanya Gio katanya bukan Umbed… hehe, tukang bercanda Gi Mamah kamu mah”.

Aku terbelalak, ooooh ternyata gitu ceritanya.

“Makanya semua anak-anak si kang Budi mah, semuah lah sama pembantu sama pegawai klinik nyebut ka aing (ke gua) teh Gio..”, kata om Umbed mengakhiri ceritanya. Masih tersisa kekeh darinya. Tapi tiba-tiba tubuhnya maju kedepan. Ia teringat sesuatu. Celingukan menatap anakbuahnya.

“Eeeeh iya lupa. Ya sudah atuh lah.. ai (kalau) udah selesai mah, beres kan ini? Egi ga ada dendam kan? Ga jadi kawinnya kan Gi..?”, om Gio membereskan rokok dan kacamata hitamnya ke saku. Menghabiskan sisa kopi di gelasnya. Anakbuahnya melakukan hal yang sama.

“Hampura (maafin) Gi, Mamang buru-buru inih, ga ngondang dulu main ke rumah.. mau berangkat lagih.. dipanggil sama pak Bupati, hayuh atuh ah.. Lis nuhun yeuh tos ngarepotkeun.. (makasih nih udah ngerepotin)”. Mamah Elis mengucapkan terimakasih juga dan menawarkan makan dirumahnya. Om Gio tertawa dan mereka berbasa-basi.

Pak Dedi dan pak RT senyam senyum, wajah mereka sudah tidak pucat lagi, sudah bernafas dengan lega.

Aku mengangguk mengiyakan, tapi ada yang masih mengganjalku.

“Itu Mang.. tunggu, pak Dedi itu, maaf.. konci mobil Mamah sayah..”, kataku meminta.

“Oh.. iya”, pak Dedi merogoh saku belakangnya dan mengambil konci mobilku. “Ini A..”, katanya mengulurkannya padaku.

Tapi di tengah uluran itu kami berhenti, om Gio menyela terlebih dahulu,

“Konci mobil..?”, tanyanya setengah tak percaya, “Engke heula siah (Bentar dulu lu)..”. Ia mengambil konci mobil itu dari tangan pak Dedi, duduk kembali, sambil berusaha mengatur nafas. Ia menatap pak Dedi lekat-lekat.

“Konci mobil? Yang punya Mamah kamu kan ini mobil, Egi? Bener ?”, om Gio mulai emosi. “Iya Om..”, jawabku tak mengerti.

“Kenapa bisa ada di lu anying..?”, om Gio sekarang mencengkram kerah pak Dedi. Mengguncang-guncang tubuh pak Dedi yang merengek ketakutan. “Wani amat sia? (berani amat lu) ”.

“Rek (mau) dijual? Hah? Digadai.. !?”, tangan Abah satunya lalu menampar wajah pak Dedi dengan konci masih ditangannya. ‘Prek..!’, suara gemerincing konci beradu dengan kulit wajah pak Dedi.

“Haduuh sakit Abah..”.

“Itu teh Abah, konci diambil pas udah tau A Egi keponakan kang Cahya..”, kata teh Indri penuh kebencian. “Buat jaminan biar ga zinah lagi katanya, Eh jelema calutak (orang yang ga tau diri)”, teh Indri berpura-pura meludah kesamping.
“Sama handphonenya..”, teh Esih memperuncing suasana.

“Hahh..??!, GOBLOG SIAA..!!”. Abah berteriak marah sambil berdiri, ia mengangkat tubuh pak Dedi dengan tangan kirinya, tangan kanannya mengepal siap meninju sekuat tenaga.

“Abah.. Mekaah.. !”, teriakku mencegah. Tinju kanan om Gio berhenti di udara. Tapi tak urung nafsu amarahnya ia salurkan dengan membanting pak Dedi ke atas meja.

‘Belentraaaang..!’, suara gelas-gelas amburadul berpecahan, pak Dedi terbanting dari atas meja terguling jatuh ke kaki pak RT yang mengangkat kakinya ketakutan. Kaum perempuan menjerit-jerit berdiri. Warga diluar tak ada yang berani bernafas. Abah tidak berhenti, ia menjenggut rambut dan baju pak Dedi, menariknya untuk duduk kembali. Tubuh pak Dedi terdiam pasrah dicengkram si Abah yang sedang murka. Kini wajahnya ia dekatkan dengan wajah pak Dedi yang terpejam kesakitan. Yang kiri mencengram baju pak Dedi, sementara tangan yang kanan mendorong-dorong wajah itu dengan buku jarinya.

“Geus wani nyokot mobil indungna si Egi siah.. (Udah berani lu ngambil mobil mamahnya si Egi)?!”, tanyanya kejam.”Aing oge teu wani .. (Gua aja ga berani)”.

“Bah.. sabar Bah..”, kataku mencoba menengahi.

Mang Karta menepak bahuku lagi. “Udah Gi diem aja deh lu ah..”, katanya seolah menyesali kata-kataku.

Om Gio mundur, tapi tangannya masih mencengkram baju pak Dedi.

“Ngga Gi, tenang aja.. ngga akan di apa-apain ..”, sahutnya padaku disela kemarahannya. Ia dekatkan sekali lagi wajahnya ke muka pak Dedi, kali ini ia tekankan dagu miliknya ke wajah pak Dedi, berkali-kali. Mungkin saking kesalnya Om Gio mencoba menyakiti pak Dedi dengan dagunya. Aku baru melihat seumur hidupku ada orang yang kemarahannya dilampiaskan dengan begitu. Gemes atau gimana sih?, sakit juga kan itu?.

“Ayeuna salamet siah aya alo aing lalajo, (sekarang lu selamet ada ponakan gua lagi nyaksiin)..”, kepalan tangannya ia tekan ke alis pak Dedi. “Era aing majarkeun aing nyontohan kekerasan (malu gua, takutnya gua disangka ngajarin kekerasan)..”. Dan ia menyudahi dengan menampar wajah pak Dedi memakai kepalan tangannya keras. Yang ditampar terdiam menahan sakit, pipinya menonjol-nonjlol, lidah nya mungkin menyisiri dinding mulut karena perih.

Om Gio mengucap istigfar sambil melirikku. Ia mengeluarkan rokoknya dan membakarnya. Terbayang di wajahnya masih menyimpan kemarahan. Ia menyender melamun sambil menikmati rokoknya.

“Gi..”, panggilnya padaku, ia menunjuk bekas-bekas tato di kedua tangannya. “Ini bekas tato.. Egi inget ini dulu ini penuh?”, aku mengangguk. Ia mengangkat lengan bajunya memperlihatkan luka-luka bekas terbakar penghapusan tatonya yang telah sembuh.

“Mamang hapus semua.. menurut Egi coba, siapa yang nyuruh Mamang ngehapus tato?”.

Aku menebak-nebak, “Bibi Lia..?”, kataku menyebutkan nama istrinya.

Om Gio menggeleng sambil menyeringai terkekeh, “Dia mah mana mau Mamang dengerin.. bukan Gi, si Erika yang nyuruh.. anak Mamang”.

“Oooh..”, aku mengangguk, Erika anak sulungnya yang perempuan, sedang pesantren bareng dengan adikku, Tika, mereka satu angkatan. Oh iya aku belum cerita ya aku punya adik perempuan, nanti deh.

“Mamang Gio orangnya keras gini, tapi kalau sama anak mah kalah..”. Ia membenarkan dulu lengan bajunya yang tadi ia lipat. “Pulang dari pesantren taun kemaren dia nyuruh Mamang..”, lanjutnya lagi, ia menatapku sekarang, ”Ya langsung dihapus sama Mamang, takut ngecewain Mamang mah Gi.. takutnya si Erika malu diledek sama temen-temennya di Pesantren, Bapanya preman. Sama kayak ke Egi, Egi teh anak Mamang juga Gi, jangan lupa.. ”. Aku menunduk berterimakasih ke dia.

“Nah kalau sama orang yang gini mah jangan takut..”, mang Gio melayangkan lagi tangannya ke wajah pak Dedi. Dua kali. “Lawan aja Gi, lain kali mah langsung gebug..”.

Mang Karta bergumam di sebelahku membenarkan.

“Ai sia nyaho teu ieu saha.. (Lu tau ga ini siapa)?!”, tanya om gio lagi pada pak Dedi menunjuk diriku. Sebelum dijawab, Abah sudah meneruskan lagi.

“Aing ti leleutik diurus ku Aki Ninina.. Disakolakeun.. Aing loba hutang budi, mun eweuh maranehna, geus paeh mereun aing dibunuh ku batur.. (Gua tuh dari kecil diurus sama Kakek Neneknya.. disekolahin.. banyak utang budi gua.. kalo ga ada keluarga dia, gua udah mati kali sekarang, dibunuh orang..)”.

Kali ini tumit Abah yang dihunjamkan ke paha pak Dedi. Kemudian ia menyender di sofanya sambil melirik sedikit padaku.

“Ampuuun Abaah.. saya ngak tauuuu..”, pak Dedi meraung-raung. Menangis dia sekarang.

“Ded..? kunyuk ?”, panggil Abah, “Mun si Egi sare deui jeung si Esih didieu, bakal dikumaha? (Kalo si Egi tidur lagi sama si Esih disini, mau diapain?), Jawab siah tolol..!!”.

“Moal Abah.. moal dinanaonkeun.. (Ngga Abah, ga bakal diapa-apain)”.

“Mun sare jeung pamajikan sia, kumaha? (kalo tidur sama istri lu, gimana?)”.

Pak Dedi terdiam. “Astagfirullah Abah..”, mamah Elis bersuara memprotes.

“Ini mah ibaratnya.. contoh hungkul (doang) Eliis”, sahut Abah kesal. Terdengar suara Esih dan Indri yang terkekeh.

“Sia datang ka aing.. lain ditewak lain diurus ku sia, diurusna ieu budak ku aing.. (lu datang ke gua, bukan ditangkep bukan diurus sama lu, anak ini urusan gua)”. Abah menepak dadanya. Mang Jaya nyengir ke arah Ibu-ibu.

“Kadenge teu ku sia?? Hah?? Ngarti teu..?? (kedengeran ga sama lu? Hah? Ngerti ga?)”, Om meraup muka pak Dedi dan mencubitnya keras. Lalu bersandar lagi memandang berkeliling. “Keheul atuda aing.. duh mun eweuh si Egi.. (Kesel abisnya gua, duh coba kalau ga ada si Egi)”, kata om Gio melirik ke arah mang Jaya, lalu memandang pak Dedi.

“Atuh ku sayah weh Kang..? (Atuh sama saya aja Kang?)”, mang Jaya mengacung berharap. Kang Karta juga maju. Mang Umbed memandang pada keduanya.

“Atuh sarua wae mun ku maraneh mah atuh, goblog.. (Atuh sama aja kalo sama lu lu juga sih bego) aing-aing oge anu disalahkeun (Gua-gua juga yang disalahin)”, Om Gio akhirnya tertawa.

“Oh pak RT, orang baru ya? Udah berapa lama disini? Belum setahun kan? Belum ya? Belum kenal saya berarti.. sini-sini saya bisikin sebentar..”. Om Gio berbasa-basi pada pak RT. Yang dituju bingung dan takut, ia ragu-ragu untuk mendekat.

“Sinih.. ayo cepet.. ! mau saya bisikin..”. Bentak Om Gio. Pak RT akhirnya mendekatkan wajahnya ke Om Gio. Dan akhirnya, Om Gio melayangkan tinju cepat dan mantapnya ke pelipis pak RT, sehingga bapak itu otomatis roboh ke samping di tempat sofa yang kosong. Jatuhnya mirip seperti pin bowling, lalu kemudian mengeluarkan suara, ‘Krrrrrrr.. krrrrrr.. hoookhh ahh’ dari mulutnya.

“Aaaaauw..!”, cewek-cewek menjerit dan melompat jauh dari situ.

Om Gio nyengir, “hadiah hiburan itu mah.. hahah salam perkenalan..”. Ia langsung berdiri, “Udah ah yuk, pa Bupati geus nungguan yeuh.. hayu.. !”. Anakbuahnya ada yang tertawa. Tapi segera rombongan itu bersiap untuk bubar.

“Gi.. jangan bilang-bilang ke si Bapak ke si Mamah..”, kata om Gio sambil menaruh kunci mobil di pangkuanku. “Hayu ah..”. Rombongan lainnya berpamitan dengan cepat padaku dan tuan rumah. Suara-suara mereka akhirnya berlalu. Rombongan warga yang tinggal sedikit juga membubarkan diri.
Meninggalkanku yang masih bengong menatap nasib pak RT. Menatap kosong ke arah pak Dedi, yang sedang memandang ke arah mamah Elis sambil memegang wajahnya.

“Indit siah.. ! (pergi lu!), indit siah ti imah aing (dari rumah gua).. !”, mamah Elis berteriak mengusir suaminya pergi dari rumah. “Nyingkaaaaaaah…! (pergiiiiiiii..!).

Mamah Elis marah seperti kerasukan. Pak Dedi melompat ke arah pintu, tapi kembali ke arah kamar, ia berhadapan kembali dengan mamah Elis yang bersiap dengan sekuat tenaganya untuk memaki.

“Ambil barang aja Mah..?”, pak Dedi memohon.

“Dasar lalaki anying teu boga tulang tonggong.. panyakit.. parasit.. teu bisa ningali awewe.. dosa aing ka budak .. (Dasar lelaki anjing ga punya tulang punggung, penyakit, parasit, ga bisa liat perempuan, dosa aku sama anakku..)”, lalu mamah Esih menangis meraung-raung meraih memeluk Esih. “Hampuraa.. maafin Mamah Esiih.. salah Mamah ..”, Esih pun menangis balas memeluk. Teh Indri ikut memeluk mereka bertiga menangis tersedu-sedu.

Aku menyepak betis pak Dedi yang malah terbengong melihat mereka bertiga.

“Indit siah..! (pergi lu!)”, kataku sambil berdiri.

“Barang saya A’?”.

“Barang naon? (apa?)”, aku mengangkat kepalan tanganku. Siap memukul untuk mengusirnya. Kepalang deh, kataku dalam hati.

Pak Dedi merundukkan wajahnya dengan takut, lalu meloncat pergi keluar keluar.

Aku membangunkan pak RT, dan mendudukannya di kursi. Meminumkan sedikit kopi yang masih tersisa disitu. Ia meminum sedikit, bersendawa dan memandang berkeliling seperti orang yang baru bangun dari tidur yang lama.

Kaum perempuan masih menangis bertiga berpelukan. Aku duduk kembali menunggu mereka sambil memperhatikan.

Malam semakin larut, entah jam berapa aku bisa pamit pulang. Orangtuaku pasti kehilanganku pada saat jam makan malam. Aku hanya mengeluh mendesah, memandang ke kegelapan malam diluar dengan hati yang gelisah tak tentu.

Makasih, semoga berkenan hati para Suhu. Belom bisa apdet lagi secepatnya. Ane ada urusan minggu ini, mudah-mudahan cepet kelar. Doain beres ya para Suhu.. Aamiin hatur nuhun..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd