Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Pelangi di Sudut Sumatera

Status
Please reply by conversation.
Mohon maaf kisanak semua atas tidak bertanggung jawabnya hamba.
Terimakasih untuk semua yg masih setia menunggu. Dan mohon maaf untuk semua yang merasa dikecewakan.

Update sedang dalam tahap penyelesaian sedikit lagi. Dan akan segera di update.

Terima kasih. Salam GR.
Siiip....di tunggu updatenya ya om :adek:

Tetep :semangat: ya om....
Semoga ada Jeny dan mala yaa di update ke depannya...:pandaketawa:
 
Tiiinn....tiiin.... Cciiiiitttt...!!!

Sedetik, dua detik, tiga detik. Aku masih memejamkan mata rapat-rapat tak berani membukanya. Mulutku sampai terbuka lebar dan tenggorokan yang terasa kering. Semua terasa hening, terasa sunyi. Aku berusaha mengatur nafasku yang tersengal. Aku lalu membuka mataku perlahan-lahan, sedikit demi sedikit dengan ragu mengintip kearah depan tempat Jenni tadi.

Fiuuhh... Aku langsung bernafas dengan lega, melihat Jenni berdiri disana tanpa kurang satu apapun. Jantungku serasa kembali berdetak dan aliran darahku terasa kembali hangat mengalir. Aku langsung terduduk lemas, merasakan kakiku yang masih gemetar tak kuasa menopang tubuhku.

"kenapa kak?" tanya seorang siswa yang duduk didekatku karena heran melihat tingkahku

"diem!" bentakku sambil melotot yang langsung membuatnya ketakutan. Pake nanya lagi! gak tau orang hampir jantungan!

Aku lalu kembali memandang kearah depan, aku melihat motor itu tampak berhenti tak jauh dari Jenni. Rupanya motor itu berhasil mengerem dan kemudian menghindari Jenni. Si pengemudi tampak shock dan pucat, dia lalu menoleh kebelakang untuk melihat keadaan Jenni. Sementara itu, Jenni sudah berdiri di pinggir jalan dengan mata melotot dan mulut mengoceh.

"Salah kamu Jeenn... Salah kamu... Kenapa malah kamu yang marah. Kenapa malah kamu yang melotot" gumamku masih lemas sambil menggelengkan kepala

"ngomong ama siapa kak?" tanyak anak tadi mendengar gumamanku

"cerewet!" bentakku

Aku lalu kembali melihat kedepan, melihat teman-teman Jenni yang berhasil menyebrang jalan dan langsung menghampiri Jenni untuk mencoba menenangkannya. Menahan Jenni yang tampak ingin melabrak si pengendara motor. Merasa menghadapi lawan yang berat dan tak sepadan, si pengendara motor memutuskan untuk segera pergi dari sana. Meninggalkan Jenni yang masih saja mengoceh dan meluapkan emosinya.

"iya mas, bener mas. Pergi aja mas. Yang waras ngalah" gumamku mengiringi kepergian si pengendara motor

Setelah pengendara itu pergi, Jenni dan teman-temannya berjalan kearah warung dimana aku sedang duduk. Jenni berjalan masih dengan raut marahnya. Sekujur tubuhnya laksana menebarkan aura jahat. Aura jahat yang siap memakan korban siapa saja.

"Jen..." dengan ragu dan takut-takut aku coba menyapa Jenni yang lewat disampingku. Mengumpulkan keberanian dan siap jika menjadi pelampiasan amarahnya. Tapi Jenni diam tidak menyahuti. Jangankan menyahut, menolehpun tidak. Dia seolah tidak mendengar dan menganggap aku tidak ada disana. Jenni tetap berlalu masuk kedalam warung. Meninggalkanku yang cuma bisa garuk-garuk kepala dan malu pada teman-temannya.

"hihihi... " siswa yang ku bentak tadi tampak menertawaiku yang dicuekin Jenni. Sial!

Bodo' amat! Bukan Gilang namanya jika aku harus mundur hanya karena di cuekin. Aku tak akan menyerah, aku akan menunggu Jenni keluar dari warung. Aku menunggu sambil sesekali melihat kedalam warung. Takut Jenni kabur lewat pintu belakang.

Tak lama kemudian Jenni keluar bersama teman-temannya sambil menenteng sebuah eskrim conello. Tampangnya masih jutek dan kesal. Bibirnya manyun, bisa di kuncit.

"Jeen.." panggilku lagi sambil berdiri dan menghadang jalannya. Tapi Jenni hanya diam dan terus berjalan, bahkan Jenni dengan sengaja menabrakkan pundaknya. Brugh!! Menurut aturan sepakbola yang berlaku, seharusnya dia mendapat kartu kuning karena dengan sengaja menabrakku, tapi ternyata dia lolos dari hukuman kartu kuning. Pasti wasitnya takut sama Jenni. Jenni dan teman-temannya lalu berjalan kesamping warung dan duduk disebuah bangku panjang di bawah pohon cerry.

"hihihi.." kembali siswa yang duduk didekatku menertawaiku melihat perlakuan Jenni kepadaku. Sompret bener! Dengan emosi aku melangkah cepat menghampiri mereka

Sreet! Dengan cepat aku merebut coklat beng-beng yang sedang dipegang anak itu. Membuka bungkusnya dan langsung sekaligus memasukan kedalam mulutku

"apa hah!?" bentakku sambil melotot kesal dengan mulut penuh coklat, mengunyahnya cepat dan menelannya sekaligus. Aku juga merampas teh gelas yang dipegang murid satunya. Meminumnya habis dan membanting bekasnya. Mereka hanya diam dan melongo melihat tingkahku.

"apa!? mau nangis!? Mau nangis!?" bentak ku lagi, aku lalu melirik kearah Chitato yang berada dipangkuan anak itu. Hmm chitato, pasti ada hadiah tazos didalamnya. Menyadari arah pandangan dan niat burukku, anak itu langsung memegang erat-erat Chitatonya dan langsung ngacir meninggalkan temannya yang sibuk memasukkan jajanannya kedalam tas.

"tunggu..." teriak anak itu sambil cepat-cepat pergi menyusul temannya yang sudah lebih dulu kabur.

Setelah dipastikan gagal mendapatkan rampasan chitato dan gagal menambah koleksi tazos-ku, aku lalu berjalan menghampiri Jenni dan teman-temannya. Pantang menyerah dan pantang malu pokoknya.

"Jen.. Gimana kabar kamu.." tanyaku berdiri didepannya. Tapi Jenni masih saja diam dan sibuk membuka eskrimnya. Sedikitpun aku tak di liriknya. Hanya teman-temannya saja yang melihat dan memperhatikanku.

"bisa kita ngobrol sebentar Jen" ucapku lagi. Jenni masih diam dan mulai menikmati eskrim dengan mulut mungilnya.

"emang enak dicuekin" celetuk Komarudin yang entah kapan ternyata sudah nyelip diantara mereka. Hmm bakalan nguras emosi ini.

"saya tau kamu marah Jen.. Tapi jangan diem aja dong" lanjutku tanpa memperdulikan Komarudin

"lagi sariawan!" celetuk Komarudin lagi

"makanya mandi pagi Jen, biar gak sariawan" ucapku yang membuat Jenni sepintas melotot kepadaku. Lalu kembali melanjutkan menikmati es krimnya

"eh eh, malah ngejek ya, malah ngejek ya" Komarudin makin memperkeruh keadaan

"Jen.." teman disampingnya menyentuh tangan Jenni, mencoba mengingatkannya. Mungkin dia kasihan pada cowok tampan yang di cuekin Jenni ini. Tapi Jenni tetap tak bergeming dan kembali melanjutkan makan eskrimnya

"biar saya jelasin dulu sama kamu Jen" ucapku pantang menyerah

"gak perlu! Untuk apa! Tadi enak-enakan berduaan sama cewek laen, gak usah sok ganteng deh!" malah Komarudin yang menyahut lagi. Ini manusia kenapa sih!? Kok malah galakkan dia!

"biar saya jelasin dulu Jen semuanya. Kalo kamu udah denger, kamu pasti ngertiin posisi saya" ucapku

"minta pengertian aja sama cewek yang tadi!" kembali Komarudin yang menyahut ketus. Ya Allah, habis sudah kesabaranku. Cukup sudah!

"dek dek, sini bentar dek" aku memanggil dua orang adik kelasku yang lewat dan kuketahui sebagai anak Rohis

"iya kak" mereka menghampiriku

"mau nanya ya dek. Dalam ajaran agama, kalo ngebunuh provokator itu dosa gak dek?!" tanyaku sambil melirik Komarudin yang juga melirikku kesal. Meliriknya sambil kedip-kedip karena dia kurang vitamin A.

"dosa dong kak, apapun alasannya, membunuh itu tidak dibenarkan dan berdosa besar" jawab anak Rohis itu bijak

"kalo ngerok alisnya pake pecahan beling, dosa gak?" tanyaku sambil melirik kesal Komarudin. Komarudin langsung menutupi alisnya mendengar pertanyaanku

"atau masukin bola pingpong ke lobang idungnya, dosa gak? Kalo enggak Kelereng deh kelereng, agak kecilan dikit" tanyaku lagi sambil melirik Komarudin yang sekarang memegangi hidungnya.

"dosa kak, gak boleh main kekerasan. Cukup di kutuk aja kak. Kutuk jadi batu" sahut anak itu sambil menahan tawa melihat Komarudin. Rupanya anak itu tahu jika aku sedang kesal pada Komarudin

"lumayan kak, kalo jadi batu. Bisa kita jadiin patung selamat datang didepan gerbang sekolah" sahut teman disebelahnya menambahi

"heh Yanto! Jangan ngomong yang enggak-enggak ya! Sini saya cakar muka kamu!" ancam Komarudin dengan cakarnya yang langsung membuat kedua anak itu kabur melarikan diri

"udah-udah, kita duduk sana aja yuk" ucap salah satu teman Jenni mengajak Komarudin dan teman lainnya duduk ketempat lain, memberikan aku waktu dan tempat untuk berduaan dengan Jenni. Teman yang pengertian. Makasih ya dek, sini kakak peluk.

Teman-teman Jenni lalu pergi menjauh sambil menyeret Komarudin yang menolak untuk meninggalkan Jenni. Komarudin bahkan sampai harus diapit dan didekap oleh mereka seperti melindungi copet yang ingin di massa. Hmm salah satu rejeki nomplok untuk orang seperti Komarudin.

"Jen, saya tau kamu marah sama saya. Tapi tolong dengerin penjelasan saya dulu" ucapku sambil duduk disampingnya

"saya ngaku salah Jen, saya minta maaf ya sama kamu" lanjutku lagi. Tapi Jenni masih tetap diam dan terus menikmati es krimnya.

"Kamu jangan diem aja Jen. Kalo kamu diem aja, saya jadi serba salah. Apa kamu beneran lagi sariawan? Makanya Jen, usahain mandi..." ucapanku terhenti karena Jenni mengangkat tangannya, memberi tanda agar aku diam.

"suasana hati saya lagi gak enak. Lagi bad mood. Saya makan eskrim ini untuk ngurangin rasa jengkel saya. Untuk balikin mood saya lagi. Jadi kamu jangan ganggu saya nikmatin ini" ucapnya tegas

"oh iya Jen, iya. Silahkan dilanjut. Mau nambah lagi? saya beliin lagi ya?" tanyaku yang dijawabnya dengan gelengan kepala dan melanjutkan menikmati es krimnya.

Aku lalu duduk dengan anteng dan hanya memperhatikan Jenni yang sedang menikmati es krimnya. Dia makan dengan begitu khusuk dan khidmat. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan memperhatikan untuk menentukan target mana lagi yang akan di gigitnya. Aku hanya memperhatikan sambil menelan ludah, berharap Jenni menawariku barang segigit. Atau sejilat deh. Tapi sama seperti es goyang tempo hari, Jenni tidak menawariku. Untuk urusan coklat dan eskrim, Jenni memang pelit.

Sambil menelan ludah dan sesekali membasahi bibir yang kering, aku melihat Jenni tampak ingin membuka tasnya dan mengambil sesuatu. Tapi karena tangannya sambil memegang eskrim, dia tampak kesulitan. Aku yang tanggap, dengan cekatan langsung berinisiatif membantu membuka tasnya. Rupanya Jenni ingin mengambil selembar tissu yang ada didalamnya. Jenni melanjutkan melahap eskrimnya dan sesekali menyeka bibirnya dengan tissu tersebut. Tanganku sempat ditepisnya begitu aku berinisiatif untuk membantu menyeka bibirnya. Ternyata tidak semua inisiatif itu benar.

Bibir mungilnya tak henti-henti mengunyah dan mengecap. Jenni tampak sangat menikmati eskrimnya, dia sedikit bersenandung sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya seperti anak kecil. Ternyata sebegitu hebatnya es krim itu memperbaiki suasana hatinya. Aku benar-benar berterima kasih kepada siapapun si penemu es krim.

Aku masih terus memperhatikan Jenni. Jenni yang lama tak ku jumpai. Jenni yang ternyata sangat ku rindukan. Aku merasa dengan duduk berdua seperti ini sudah cukup mengobati semua rasa rinduku padanya. Tapi masih ada banyak hal yang harus kusampaikan padanya. Banyak hal yang harus kudengar darinya. Dan banyak hal yang harus segera kami putuskan.

Dengan perlahan tanganku bergerak memegang pergelangan tangannya yang masih memegang es krim. Merasai halus kulitnya dan menggenggamnya lembut. Jenni langsung menatapku tajam karena merasa aktifitas makan es krimnya terganggu. Jenni sedikit berontak coba melepas genggamanku. Tapi aku bersikeras tetap menggenggam tak melepaskannya. Tatapan tajamnya kubalas dengan tatapan lembut, tatapan yang dalam seolah menembus relung hatinya.

Mendapat tatapan seperti itu dariku, Jenni menjadi diam tak berusaha berontak lagi. Hanya menatapku seolah menunggu apa yang akan kulakukan selanjutnya.

"Jen.." panggilku lembut sambil bergeser makin mendekat kearahnya

"hmm?" jawabnya sambil menatapku ragu

"emmh.. Sebenernya..." ucapku gugup sambil menarik tangannya mendekat kearah dadaku

"a.. apa..." tanyanya lembut dan sedikit gugup

"apa kamu tau, saya.." ucapku terputus

"iya?"

"em.. saya.... saya..." aku seperti kesulitan untuk menemukan kata-kata yang pas

"iya, kenapa.." ucap Jenni lembut.

"hmm.... Fiuuh..." aku memantapkan hati dengan menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian dan membulatkan tekad. Aku harus siap dengan segala resikonya. Apapun yang akan terjadi nanti, apapun reaksi dia nanti, aku harus siap.

Genggaman tanganku pada pergelangan tangannya makin ku pererat mantap. Masih dengan menatap Jenni yang tampak gugup menungguku. Aku secara perlahan membimbing tangannya, lalu membuka mulutku dan HAP!! Dengan cepat aku mengarahkan tangan Jenni yang memegang eskrim kearah mulutku dan memakan eskrimnya sekaligus.

Jenni tampak bengong dan seolah belum sadar dengan apa yang baru saja terjadi. Tampak alisnya yang berkerut dan mulutnya yang sedikit ternganga karena kaget. Sementara itu aku sudah menikmati setiap kunyahan ujung conello yang nikmat didalam mulutku.

Bugh!! Jenni langsung meninju lenganku begitu sadar akan apa yang telah terjadi. Saat kulihat, raut wajahnya sudah berubah. Mata tampak menyipit dan pipi menggembung menahan emosi. Nafasnya agak tersengal seolah siap meledakan gemuruh di dadanya. Awan yang tadi terlihat cerah langsung berubah menjadi mendung. Tampak kabut hitam pekat yang menyelimuti sekujur tubuhnya.

"enak!?" tanya Jenni dengan intonasi menahan emosi yang kujawab dengan anggukan dan mengangkat dua jempol.

"Enak!? Hah!? Enak gak!?" hardik Jenni sambil meninju-ninju lenganku dengan kesal

"kalo yang ini enak gak!?" hardiknya lagi sambil mencubit pinggangku. Pedes!

"aw..! aw..! Sakit Jen. Ampun Jen, ampun" rintihku menerima segala macam serangan darinya.

"udah tau saya lagi bad mood! Malah cari gara-gara!" ucap Jenni kesal sambil menggempur habis pinggangku

"iya iya Jen, ampun. Udah udah.." ucapku sambil meringis kesakitan. Yah, itulah yang kuucapkan di bibir. Tapi didalam hati, aku sangat teramat sangat menikmati semua ini. Menerima cubitan Jenni, melihat wajah kesalnya, dan mendengar semua ocehannya. Adalah hal-hal indah yang sangat ku nikmati. Hal-hal indah yang kurindukan. Hal-hal indah yang membahagiakan.

"kamu tau kan!? Ujung conello itu yang paling enak!? Yang paling banyak coklatnya! Yang paling di tunggu-tunggu!" ucapnya kesal, lalu membuang muka dan melipat kedua tangannya didada.

"iya, tau. Coklatnya paling tebel, manteb" jawabku cengengesan

"trus kenapa masih kamu makaaaann!" ucapnya sambil ingin mencubit perutku.

"saya sengaja" jawabku lembut sambil menangkap tangannya yang ingin mencubitku. Aku lalu melanjutkan,

"karna saya tau kamu paling suka eskrim sama coklat. Sampe kapanpun, saya rasa kamu bakal tetep suka dua hal itu. Iya kan? Tujuan saya begitu tadi sengaja. Supaya nanti, entah dimanapun kamu berada. Sejauh apapun kamu dari saya. Setiap kamu makan eskrim atau coklat, kamu bakal selalu inget sama saya. Bakal inget semua moment kita ini. Itu harapan saya" jelasku masih dengan memegang tangannya dan menatapnya lembut

Jenni langsung tertegun mendengar penjelasanku. Tampang galaknya pun berangsur menghilang. Jenni lalu menunduk tak berani membalas tatapanku. Jenni bahkan hanya diam ketika aku makin erat menggenggam tangannya, seolah tak ingin kulepas lagi. Tetap begitu sampai beberapa menit lamanya, aku dan Jenni tenggelam dengan pikiran kami masing-masing.

"huh.. Jahat.." gumam Jenni sambil tersenyum dan tetap menunduk

Lalu suasana kembali hening. Kembali kami diam dan larut dalam pikiran kami masing-masing. Aku masih tetap menggenggam tangan halusnya. Beberapa saat kemudian,

"hufft.." Jenni tampak menghela nafasnya lalu perlahan melepaskan genggaman tanganku pada tangannya.

"jadi kemana si mbak sekarang?" tanya Jenni kemudian

"hah? Mbak?" tanyaku bingung

"gak usah sok gak paham deh"

"ya jelas gak paham lah. Kita kan lagi ngebahas masalah eskrim. Kok lari ke mbak? Mbak mana?" tanyaku

"saya males ngebahas masalah eskrim. Intinya aja deh, kemana mbak kamu bawa kabur?"

"mbak mana sih Jen? Bawa kabur apa?" tanyaku makin bingung

"mbak mana lagi!? Mbak saya lah!"

"mbak kamu? Kamu kan anak tunggal.. "

"mbak yang dirumah!" potong Jenni

"oh si mbak.. Iya iya, kenapa si mbak?" ucapku yang mulai paham dengan mbak yang dimaksudnya

"pake nanya lagi! Saya yang nanya ke kamu, kemana mbak kamu bawa kabur?!"

"si mbak kabur?!" tanyaku kaget

"hmm malah acting dia. Gak usah sok histeris gitu deh. Jawab aja pertanyaan saya, kamu bawa kabur kemana si mbak"

"astagfirullah Jeeeenn.." aku hanya bisa menyebut. Aku tidak tahu harus bereaksi apa, entah harus marah, sedih atau justru senang. Marah karena di tuduh yang bukan-bukan. Sedih karena Jenni menilaiku serendah itu. Atau senang karena Jenni sudah kembali seperti Jenni yang biasanya. Jenni yang suka asal menuduh dengan logikanya yang ngawur. Jenni is back!

"jadi kamu gak mau ngaku!?" cecar Jenni

"astaga naga, Jennifer Natanegara..." aku mengelus dada, sambil celingukan kiri dan kanan mencari orang atau sesuatu untuk melampiaskan rasa kesal ku. Kemana ya anak yang bawa chitato tadi!

"kalo bukan kamu, trus siapa?!"

"mana saya tau Jen! Ngapain juga saya bawa kabur si mbak, mending kamu aja yang saya bawa kabur!" ucapku kesal

"biasa aja sih, jangan nyolot gitu. Kayak berani aja bawa kabur saya, jajan saya banyak lho"

"daritadi kamu yang nyolot Jen. Kamu udah nuduh saya yang enggak-enggak!"

"intonasinya biasa aja dong. kalo emang enggak, ya jangan marah-marah. Gak usah bentak-bentak juga kali"

"aaargghh.."

Kan kan.. Tetep aku kan yang salah. Dia yang asal tuduh, tapi ujung-ujungnya tetap aku yang salah. Dasar si mbak! Semua ini gara-gara dia. Kemana juga sih dia kabur. Ngapain juga pake acara kabur segala. Awas aja kalo sampe ketemu!

"si mbak kabur ada barang yang dibawa gak?" tanyaku kemudian setelah berhasil meredam emosiku

"ada lah, pakaian dia"

"maksud saya barang berharga lainnya. Misalnya barang Mama kamu atau Papa kamu gitu?"

"gak usah mikir yang enggak-enggak ya. Mbak itu gak begitu orangnya! Gak ada satupun barang dirumah yang ilang dibawa dia! Jelek bener pikiran kamu, maen nuduh orang aja" ucap Jenni kesal. Aku hanya diam dan melengos membuang muka. Perasaan kan dia ya yang suka punya pikiran jelek dan suka menuduh orang sembarangan.

"mamang mie tek-tek, iya mamang mie tek-tek Jen!" ucapku cepat tak lama kemudian

"hah?"

"iya, mamang mie tek-tek yang suka lewat depan rumah kamu! Saya sering tau si mbak suka bersemayam di bawah pohon mangga nungguin mamang mie tek-tek itu. Pasti mereka ada hubungan selama ini. Pasti mamang itu yang bawa kabur" jelasku. Jenni hanya mengernyitkan dahinya mendengar penjelasanku

"iya, saya yakin Jen. Pasti mamang itu yang bawa kabur" lanjutku

"huft.. Bener-bener kamu ini. Sembarangan aja maen tuduh. Mamang itu udah hampir kepala lima. Udah berkeluarga, punya anak istri. Kalo dia sering lewat depan rumah ya wajar aja, namanya aja jualan. Si mbak nungguin dia pun wajar, karena dia mau beli mie tek-tek. Logika kamu ini bener bener ngawur. Gak mungkinlah mamang itu" ucap Jenni.

Aku hanya diam dan dalam hati membenarkan apa yang di ucapkan oleh Jenni. Hmm kenapa juga aku bisa punya pikiran dan logika ngawur seperti itu ya. Apa karena ketularan Jenni. Apa sifat buruk Jenni sudah pindah kepadaku? Tapi tunggu dulu, kenapa Jenni bisa berfikir jernih dan sangat yakin bukan mamang mie tek-tek itu pelakunya? Tapi tadi dia bisa menuduhku sebagai pelakunya. Berarti.. Berarti... Dia lebih percaya pada mamang mie tek-tek itu daripada aku! Ah sial!

"Jen, kamu yakin bukan mamang itu?" tanyaku memancing

"iya, yakin"

"kamu bisa yakin sama mamang itu, percaya sama dia. Padahal kamu gak kenal sama dia. Saya nuduh dia, kamu marah-marah gak terima. Tapi sebelumnya tadi kamu udah nuduh saya sebagai pelakunya. Berarti, kamu lebih percaya mamang itu daripada saya Jen. Kamu lebih yakin kalo saya yang udah bawa kabur mbak kamu?! Kamu lebih percaya kalo saya pelakunya kan daripada mamang itu!? Serendah itu kamu nilai budi pekerti, toleransi, sopan santun, tata krama, gemah ripah loh jinawi saya Jen" ucapku berapi-api

"iya" jawabnya pendek, membuatku makin kesal dan jengkel

"aarrrghhh..." aku hanya berteriak tak tau harus berkata apa lagi sambil ingin merobek bajuku seperti hulk yang ingin berubah.

"saya jilat juga kamu Jen!" ucapku kesal

"kalo memang bukan kamu, kenapa tadi kamu minta maaf?" tanya Jenni

"hah? Itu.. Saya minta maaf karna saya... Ah udahlah! Percuma saya bilang juga. Tapi intinya saya minta maaf bukan karena bawa kabur mbak kamu ya" ucapku memutuskan untuk tidak menjelaskan maksud permintaan maafku tadi. Padahal maksudku meminta maaf padanya adalah mengenai kepergianku selama satu minggu yang tidak memberi kabar padanya. Mengenai aku yang membonceng Mala lewat didepannya. Dan mengenai panggilan telponnya saat aku sedang bercengkrama dengan Mala.

Entah Jenni yang tidak paham atau memang dia yang tidak ingin membahasnya, aku tidak tahu. Apakah dia tidak merindukanku selama ini? Dia bahkan tidak menanyakan mengenai hape tampanku yang sekarang entah dimana. Hah! Jenni memang aneh dan susah di tebak.

"hufft.." aku menghela nafas sambil berdiri dan beranjak pergi. Saat aku lewat didepannya, Jenni menangkap tanganku. Membuat langkahku jadi terhenti.

"kamu mau kemana?" tanya Jenni dengan tatapan lembut. Gak jutek lagi. Wajahnya agak mendongak karena dia masih dalam posisi duduk menatapku. Menampakkan sebuah pemandangan indah dari tempatku berdiri.

"kewarung, beli rokok. Rokok saya abis!" jawabku

"beliin coklat.." ucapnya manja masih dengan tatapan yang membuatku lemah

"gak ada duit! Ini aja mau cuma mau beli ketengan!" jawabku ketus karena masih jengkel

"tapi saya pengen coklat..." ucapnya makin manja dan menatapku lembut, membuatku menjadi lemah

"matanya biasa aja! Gak usah gitu! jadi gak bisa nolak saya" ucapku memprotes

"beliin yaa..." ucapnya kembali

"iya.. Iya"

"hehehe.. Makasih.." ucapnya sambil tersenyum memamerkan lesung pipinya

"haish mata itu, gak bisa bener saya nolaknya. Senyumnya juga, pake lesung pipi lagi. Bener-bener dah" gumamku sambil pergi berjalan kearah warung.

"jangan lama-lama ya" teriak Jenni dibelakang

"cerewet!"

Sekitar 5 menit kemudian, aku keluar dari warung sambil menghisap rokok ku dengan gagahnya. Sebatang kuhisap, sebatang lagi ku selipkan di telinga. Biar keliatan keren. Jenni masih setia menunggu sambil serius memainkan hapenya. Wajahnya tegang, alisnya berkerut. Hmm Paling juga maen space impact.

"sreet! Gantian!" ucapku merebut hape yang dipegangnya

"issh.. Maen rebut aja. Mana coklatnya? Dua kan" ucap Jenni menyodorkan telapak tangan yang terbuka

"satu lah, lagi bokek" jawabku sambil menyerahkan coklatnya

"kok ini!? Bukan silverqueen atau Delfi?" protes Jenni melihat coklat yang kubelikan adalah coklat dengan bungkus berwarna merah putih cap ayam jago.

"ini mah murahan" protesnya lagi

"sama aja lah. Sama-sama coklat"

"bedalah! Kalo ini kurang enak, lengket dimulut"

"namanya coklat ya lengket di mulut Jen. Kalo lengket di hati bukan coklat namanya, tapi kamu"

"issh.. Dasar" gumam Jenni sambil cemberut lalu tersenyum kecil

"mau gak? Kalo gak mau, saya ambil lagi neh" ancamku

"iya iya mau" jawabnya cepat

"nah gitu dong. Kalo gak dimakan, kasian nanti ayamnya nangis. Sekarang, memang cuma itu yang bisa saya kasih. Cuma coklat murahan. Tapi nanti, suatu saat nanti, saya janji, saya akan berusaha selalu kasih yang terbaik buat kamu" ucapku sambil berusaha mengepulkan asap rokok membentuk lingkaran. Tapi gagal.

"gak usah janji... Apalagi janji sesuatu yang belum tentu bisa kamu tepatin. Hidup kok kebanyakan janji"

"heh?" aku tertegun mendengar ucapan Jenni. Ucapan yang seolah menyadarkan aku. Menyadarkan bahwa aku sudah banyak membuat janji. Janji pada orang tua Jenni, tentang menjadi seseorang yang layak bagi Jenni kelak. Janji untuk mendapatkan rumahku kembali demi impian sederhana orang tuaku. Janji pada Mala tentang tidak akan pernah melupakannya. Dan sekarang janji tentang berusaha memberikan yang terbaik bagi Jenni. Huft entah berapa banyak lagi janji yang akan kuucapkan nantinya.

"sekarang buat buktiin kalo kamu gak salah, kamu harus temenin saya nyariin mbak" ucap Jenni sambil mengunyah coklat murahannya

"ya amplop Jen, masih aja kamu gak percaya sama saya. Masih nuduh saya aja"

"yaudah, makanya ayo temenin saya"

"nyari kemana lagi Jen? Kemaren-kemaren papa kamu gak nyariin? Paling juga si mbak pulang kampung. Susul aja ke kampungnya"

"udah, gak ada disana"

"trus mau cari kemana?"

"Rumah sodaranya. Dia dulu pernah cerita punya sodara di kota"

"jauh Jen, 2 jam lebih perjalanannya. Pergi sama papa kamu aja ya. Kan enak tuh naek mobil. Ya, mau ya" bujuk ku

"kemaren itu udah kesana. Tapi sodaranya bilang dia gak ada disana"

"yaudah dong, berarti memang gak ada disana. Ngapain lagi kamu mau kesana?"

"tapi feeling saya bilang dia ada disana. Makanya kita harus kesana lagi. Kita intai rumahnya" ucap Jenni

"masa' iya cuma berdasarkan feeling sih Jen. Gak bisa cuma mengandalkan feeling. Belum tentu feeling kamu bener"

"saya selalu yakin sama feeling saya" ucap Jenni mantab

"masa?" aku meremehkan keyakinan akan feeling nya

"iya, selalu yakin. Termasuk feeling saya tentang kamu" jawab Jenni yakin dan membuatku tertegun mendengarnya

"ehm.. Tapi males ah jauh. Mana musim culik" ucapku menghilangkan grogi akibat ucapannya tadi

"yaudah kalo kamu gak mau. Biar saya sendiri aja kesana. Sekarang jam 11, Perjalanan 2 jam-an, PP berarti 4 jam lebih. Belum disananya. Kemungkinan malem saya baru sampe rumah. Mudah-mudahan gak ada apa-apa dijalan" gumam Jenni seperti berbicara pada dirinya sendiri

"bodo' amat"

"paling yang ngeri kalo lewat jalan sepi, mana sekarang rawan lagi. Memang bahaya sih, apalagi buat cewek cantik kayak saya. Tapi gak papa deh nekad aja. Berdoa aja" lanjut Jenni

"gak peduli!"

"mana semalem denger berita ada cewek yang.. Hii.. Ngeri banget walaupun cuma ngebayangin aja" ucap Jenni sok merinding membayangkan sesuatu yang seram

"gak ngaruh!"

"minta temenin siapa ya? Yang pasti harus cowok, karena pulangnya malem. Akbar, Beni, Chandra, Dedi apa siapa ya? Tapi kalo malem-malem berduaan..."

"iya iya, saya temenin!" sahutku kemudian. Pinter bener neh cewek mengintimidasi. Dasar, bisa bener memaksakan kehendaknya. Lagian nama yang disebut kok ya sesuai alfabet gitu, kalo ampe Z ada berapa tuh.

"hehehe.. Gitu dong..." Jenni tersenyum senang karena tujuannya tercapai

"makanya, si mbak jangan kamu siksa! Gak betah kan dia. Gak kuat mental, batin dan psikologis. Untung aja gak bunuh diri"

"enak aja. Dia udah dianggep kayak keluarga sendiri ya. Ngapain juga kita susah-susah nyariin kalo gak peduli sama dia. Saya mah gak jahat orangnya. Jahatnya cuma sama kamu aja. Hehehe"

"huh cewek aneh" aku membuang muka

"tapi jangan sekarang, besok aja. Hari ini saya gak bisa" lanjutku

"sok sibuk, mau kemana sih?"

"ada urusan, penting"

"apaan?"

"pokoknya urusan penting"

"paling juga maen PS" tebak Jenni

"iya, saya udah lama neh gak.. eh kok kamu tau!?" ucapku kaget karena Jenni bisa menebak maksudku

"maen PS aja di bilang urusan penting" gerutunya

"hiburan Jen, hiburan.."

"yaudah, besok aja kita perginya. Besok saya tunggu disini ya. Jam 10 tepat. Awas kalo telat" ancam Jenni sambil meremas bungkus coklatnya yang sudah habis.

"besok kan masih ujian... Emang kamu gak ujian juga!?"

"setengah jam, kamu keluar. Jangan lama-lama. Ngapain juga lama-lama didalem"

"kamu enak cuma kenaikan kelas, kalo saya kan ujian akhir. Dapet apa saya cuma setengah jam. Baca soalnya aja belum selesai kalo segitu. Gimana kalo saya ampe gak lulus hah? Mau tanggungjawab?" ucapku

"saya yakin kamu pasti lulus. Saya aja yakin sama kamu, masa iya kamu sendiri gak yakin sama kemampuan kamu. Harus yakin, percaya diri ya" ucapnya sambil mengusap kepalaku

"woy Jen! Saya ini kakak kelas lho! Tuaan saya sama kamu! Maen pegang aja kepala orang" protesku

"huu sewot.." ledeknya

"kalo mau ngusap kepala saya gak papa. Tapi saya sambil tiduran di pangkuan kamu ya.." ucapku sambil memainkan alisku

"neh!" ucapnya sambil mengacungkan tinjunya

Kami lalu melanjutkan obrolan kami sambil diselingi dengan bersenda gurau, eh bukan senda gurau tapi lebih ke berdebat. Berdebat mengenai hal-hal sepele atau apa saja yang bisa di debatkan. Aku benar-benar menikmati saat-saat bersama Jenni seperti ini. Mendengarkan ocehannya. Melihat raut kesalnya. Menghirup aroma tubuhnya. Sedikitpun Jenni tak menyinggung mengenai Mala. Entah dia yang sudah lupa atau memang dia tidak ingin membahasnya saat ini.

Saat sedang asyik menghabiskan waktu bersama Jenni, aku melihat kearah depan gerbang sekolah. Disana aku melihat segerombolan anak yang ku ketahui bukan merupakan murid di sekolah kami. Berdandan layaknya anak motor, dengan motor yang penuh stiker. Jumlah mereka ada sekitar 12 orang dan membawa sekitar 7 motor. Aku melihat cowok Fitri berada diantara mereka. Cowok Fitri tampak berdiri dengan petantang petenteng sambil memperhatikan kearah dalam sekolah. Gayanya gelisah dan mondar-mandir sudah seperti suami yang menunggu kelahiran anak pertamanya.

Melihat gerombolan cowok Fitri didepan sekolahku dan gelagatnya yang tidak baik. Perasaanku menjadi tak enak. Aku menduga maksud kedatangan mereka bukan untuk menjemput Fitri, tapi untuk mencariku dan Bonar. Untuk menuntut balas atas kejadian kemarin. Beruntung mereka tidak melihat keberadaanku disini. Jika tidak Bisa-bisa sudah habis aku di keroyok oleh mereka.

Seperti biasa aku langsung mengukur kekuatan mereka, situasi dan juga kondisi. Hmm 12 orang. 12 yang berani mendatangi sebuah sekolah, sudah pasti adalah 12 orang yang sudah siap dengan segala macam kemungkinan terburuk. Mungkin saja mereka sudah mempersenjatai diri dengan senjata tajam. Senjata tumpul? Mereka pasti bawa!

Melawan 12 orang jika memakai taktik gerilya andalanku ala Jacky Chan, mungkin aku hanya akan bertahan selama 1 menit. 1 menit yang tidak cukup untuk mengharapkan bala bantuan dari teman-teman plus satpam sekolah. 1 menit itu aku pasti sudah babak belur dibuat mereka. Belum lagi jika urusan jadi panjang dan pasti mengganggu ujianku besok. Tapi yang paling ku cemaskan adalah Jenni. Tentang keselamatannya, dan tentang komentar dan anggapannya nanti.

Untuk keselamatannya, bisa saja Jenni ikut-ikut terbawa dan di ganggu mereka. Selain itu yang paling kutakutkan adalah jika Jenni melihatku di keroyok dan dipukuli oleh mereka. Apalagi jika aku sampai babak belur dan pingsan. Bisa malu aku seumur hidup padanya. Bisa dijadikannya bahan ejekan untukku selamanya. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mencari aman dan menghindari keributan. Aku harus cepat pergi dari sini sebelum mereka mengetahui keberadaanku.

Aku langsung celingukan mencari keberadaan Bonar. Jangan sampai Bonar masih ada didalam sekolah dan bertemu mereka. Bonar harus segera ku kabari agar segera menjauh dari sekolah. Tapi sebelum itu, aku harus menjauh dulu mencari tempat aman.

"kamu ngeliatin apa sih? Kenal sama mereka?" tanya Jenni yang ternyata menyadari kegelisahanku

"oh, bukan. Itu.. Mereka... Nanti aja saya cerita sama kamu ya. Sekarang kamu pulang aja" ucapku

"kamu mau kemana?" tanya Jenni

"saya mau pergi dulu. Kamu pulang ya"

"mereka siapa sih? Kok kayaknya kamu takut bener?" tanya Jenni kesal

"udahlah, nanti kamu saya ceritain. Sekarang bahaya kalo kamu sama saya. Saya pergi dulu ya" ucapku sambil mengusap kepalanya dan pergi menjauh. Tak kuhiraukan raut wajahnya yang sebal.

Tanpa menoleh kebelakang lagi, aku langsung pergi menjauh sambil mengendap-endap. Memanfaatkan keramaian siswa dan seragam sekolah yang sama untuk menyamarkanku. Menyelinap diantara kerumunan siswa yang berjalan. Dan sesekali bersembunyi dibalik pohon seperti di film kartun.

Aku berjalan sudah agak jauh dari sekolah ketika ada sebuah angkot yang lewat. Aku menghentikan laju angkot itu dan langsung masuk kedalamnya. Diikuti sesosok tubuh yang ikut masuk dan duduk disebelahku. Aku segera memperhatikan gerombolan cowok Fitri dari kaca belakang angkot yang mulai berjalan. Mereka masih disana dan tidak menyadari bahwa aku sudah didalam angkot dan pergi menjauh.

"huft..." aku menghela nafas lega dan merasa aman begitu duduk didalam angkot. Sekarang aku harus mencari cara bagaimana untuk mengabari Bonar. Saat sedang bingung mencari cara untuk mengabari Bonar, aku beradu pandang dengan orang yang duduk disampingku.

"astagfirullah Jen!" ucapku kaget melihat tampangnya yang cemberut sedang menatapku.

"dari kapan kamu disitu? Kapan kamu naeknya?" tanyaku heran. Jenni tak menjawab dan tetap cemberut

"ini beneran kamu?" tanyaku sambil mencolok-colok pipinya dengan ujung telunjuk ku agar lebih yakin.

"huh!" Jenni hanya melengos sebal

"ngapain kamu ngikutin saya. Kan udah saya bilang bahaya. Bukannya pulang, malah ngikutin saya" ucapku setelah yakin itu benar Jenni

"ngapain kamu ngikutin saya Jen?" tanyaku lagi. Sebuah pertanyaan yang semoga mendapatkan jawaban sesuai yang kuharapkan. Aku berharap Jenni menjawab bahwa dia masih ingin bersama ku. Atau dia menjawab bahwa dia masih merindukanku.

"kenapa kamu ngikutin saya Jen?" tanyaku lagi

"hape saya kamu bawa!" jawabnya kesal sambil menunjuk tanganku yang masih menggenggam hapenya

"hah? Astagfirullah, lupa! Hehehe" aku cengengesan. Kok bisanya aku tidak sadar jika daritadi masih menggenggam hape Jenni. Menyadari aku sedang memegang hape Jenni, aku langsung memutuskan untuk menghubungi Bonar. Aku langsung mengetik sms dan mengirimkannya

To : Kak Bonar
"coy, bahaya. Cowoknya Fitri bawa tentara langit, kayaknya mereka nyariin kita di sekolah. Gilang. Bls cpt"

Tak lama kemudian hape Jenni bergetar tanda ada sms masuk

From : Kak Bonar
"iya, rame bener, rombongan. Udah kayak orang mau ke pasar malem"

To : Kak Bonar
"gak usah di ladenin. Kita cari aman aja dulu. Kamu jangan deket-deket lingkungan sekolah, cepet pergi" balasku

From : Kak Bonar
"iya bener. Daripada panjang urusannya. Ini saya udah gak di sekolahan kok"

To : Kak Bonar
"kamu dimana sekarang?"

From : Kak Bonar
"depan"

To : Kak Bonar
"depan mana?"

From : Kak Bonar
"depan kamu!!!"

Hah! Aku kaget membaca sms jawaban dari Bonar. Makin kaget saat melihat Bonar yang cengengesan duduk didepanku. Rupanya dia sudah lebih dulu naik kedalam angkot ini dan tak kusadari. Aku lalu mengetik sms dan mengirimkannya,

To : Kak Bonar
"ok, sip"

Terkirim! Bonar membuka dan membaca sms yang ku kirimkan,

"ngapain masih di bales! Tinggal ngomong aja, pake sms segala" ucap Bonar setelah membaca sms dariku

"hehehe.. Tanggung" jawabku sambil tersenyum. Tapi senyumku seketika hilang ketika melihat Santi yang duduk disamping Bonar. Kacau, Bonar bersama Santi. Sedangkan aku bersama Jenni. Bagaimana ini? Bagaimana jika Santi membahas atau menyebut nama Mala disini. Atau Santi melihat setiap tingkah laku ku dan Jenni disini lalu menceritakan kepada Mala. Bagaimana juga jika Jenni tau Santi adalah tetangga Mala dan juga mengetahui kemarin aku main kerumah Mala.

Ini tidak bisa dibiarkan. Situasi berbahaya seperti ini harus segera diatasi. Sebelum semakin jauh, aku harus segera memisahkan Santi dan Jenni. Aku harus meminta Bonar untuk segera membawa Santi turun dari angkot. Tapi harus tanpa kata-kata agar tidak menimbulkan kecurigaan Santi dan Jenni. Tapi bagaimana? Tidak mungkin jika lewat sms hape Jenni karena akan rentan ketahuan.

Aku langsung mengatur aliran nafasku, mengumpulkan tenaga dalam dan kanuraganku memusatkan pikiran. Aku menatap Bonar dalam-dalam, berusaha mengajaknya berbicara melalui telepati. Mataku menyipit, kadang-kadang melebar berusaha menggambarkan situasi yang terjadi. Bonar membalas tatapanku, seakan dia paham bahwa aku mengajaknya berbicara lewat batin. Alis Bonar mengernyit, matanya ikut menyipit, bola matanya kadang berputar-putar.

Menggunakan bola mataku, aku kembali menekankan pesanku. Bola mata kiri kuarahkan menunjuk Jenni. Bola mata kanan kuarahkan menunjuk Santi, tujuannya agar Bonar segera paham akan permasalahan yang terjadi. Melihat petunjuk kedua bola mataku yang juling, berair dan memerah, Bonar segera memberikan respon dengan menggerakkan bulu mata dan memekarkan lubang hidungnya. Kedua daun telinganya bahkan ikut bergerak-gerak.

Mata kami saling memandang dan terus menyampaikan pesan selama beberapa saat. Kedua mata kami sudah sama-sama merah, berair dan belekan. Dengan intonasi dan logat bataknya, Bonar lalu berteriak

"kiri bang, kiri!" sambil menggedor gedor atap angkot, membuat penumpang lainnya kaget. Sopir angkot yang ikut kaget sampai menginjak rem dalam-dalam, membuat angkot berhenti mendadak dan para penumpang didalamnya porak poranda. Biasa aja Nar! Gak gitu juga kali!.

"kok turun disini?" tanya Santi sambil kembali duduk ke posisi semula. Rupanya dia terpelanting jatuh dari duduknya akibat gebrakan Bonar tadi.

"iya. Ada perlu sebentar. Turun yuk" jawab Bonar

Saat akan turun dari angkot, sepintas Bonar melirikku. Aku lalu menatapnya dengan tatapan rasa berterima kasih atas bantuan dan pengertiannya. Bonar membalas dengan tatapan yang kuartikan bahwa dia kesal karena harus turun ditengah perjalanannya.

"belakang bang" ucap Bonar pada sopir angkot dan menunjuk kearahku. Ah sial! Minta bayarin ongkos angkot dia. Gak mau rugi bener. Tapi gak papa, lebih baik aku yang membayari dia ongkos angkot. Ongkos angkot lebih kecil jika dibandingkan dengan resiko masalah yang akan muncul karena Jenni dan Santi.

***
 
Aku menikmati rokok terakhirku, berjalan menuju rental PS langgananku. Berjalan sambil menyandang sebuah tas sekolah warna merah di pundakku. Tas merah bermotif bunga milik seorang cewek keras kepala. Cewek yang tadi tidak mau turun dari angkot dan memaksa untuk ikut aku main PS. Dengan mengandalkan senjata andalan senyum dan lesung pipinya, dia kembali berhasil membuatku tak berdaya menolak.

"itu rental PS" tunjuk Jenni pada sebuah rental PS yang kami lewati

"Ke tempat langganan saya aja dibelakang sana" jawabku sambil terus berjalan

"masih jauh gak? capek tau jalan kakinya" keluh Jenni

"Bentar lagi. Salah sendiri kamu ikut. Mending dirumah aja"

"males dirumah sepi, bosen. Kamu milih-milih amat sih, disana tadi kan sama aja. Sama-sama rental PS. Malah milih yang jauh"

"bedalah. Disana tadi analog nya gak enak"

"emang analog apaan?" tanya Jenni

"yang di stick PS nya itu"

"pencetannya?"

"bukan. Yang tonjolan di kiri kanan" jawabku sambil memainkan alisku dan sepintas melirik dadanya

"isshh apaan sih, ngeres aja" sungut Jenni memukul lenganku

"kamu gak bawa jaket?" tanyaku sambil memeriksa tasnya yang kubawa

"enggak. Kenapa" tanya Jenni

"kalo bawa, kamu pake aja" ucapku

"emang kenapa? Kamu takut saya item ya? Takut saya berkurang kecantikannya? Iya? Tenang aja, kalo saya mah dasarnya cantik ya tetep cantik aja" ucap Jenni narsis. Aku hanya mengernyit mendengarnya

"bukan gitu. Saya cuma gak mau aja orang-orang tau nama kamu. Kalo pake jaket kan bisa nutupin papan nama kamu" jawabku

"emang kenapa kalo orang tau nama saya?"

"ya gitu lah. Mending gak tau nama kamu lah"

"hmm cemburu ya.. Over protektif ya.. Gak mau orang-orang disana nanti tau nama saya. Takut mereka sok kenal ama saya ya..." ucap Jenni masih narsis sambil mencolok-colok pinggangku menggodaku

"gimana ya kalo orang-orang disana terpukau dengan kecantikan saya. Selama ini pasti gak ada kan, cewek cantik yang maen PS disana. Mereka pasti heran, kagum plus penasaran, trus ngeliat papan nama saya. Trus ngeliat bagde sekolah saya, pengen tau saya sekolah dimana. Trus nyariin saya, kesekolah, kerumah saya..." cerocos Jenni yang akhirnya terhenti karena bibirnya ku comot agar diam.

"bawel amat sih. Kuncir neh bibir" ucapku. Tapi dalam hati aku membenarkan semua ucapannya. Memang benar dugaannya bahwa itu semua adalah ketakutanku.

"neh, pake jaket saya aja ya" ucapku sambil mengeluarkan jaketku dari dalam tas

"siap bos" ucapnya memberi hormat lalu menerima jaketku dan memakainya

"jangan kotor ya. Awas sobek. Awas bolong" ucapku mengingatkan

"iya iya.. Khawatir amat sih"

"jaket andalan tuh"

"jaket begini doang" gerutu Jenni

"yee jaket bukan sembarang jaket. Itu jaket di dunia ini cuma ada satu. Limited edition"

"masa?"

"iyalah. Itu jaket dari kakak saya. Khusus dipesenin buat saya. Bahannya emang levis kayak jaket biasa. Tapi itu strip coklat bahan kulit yang di lengan, itu khusus pesenan saya. Biar kayak ban kapten. Trus di dada kiri itu, dari bahan kulit juga ada inisial nama saya G. Keren kan. Gak ada gak yang punya jaket itu selain saya" jelasku semangat. Jaket itu memang jaket andalan dan kesayanganku. Selain karena pemberian dari kakak ku, jaket itu juga jaket yang dibuat sesuai dengan pesananku.

"bahan levis? Jeans kali" cibir Jenni

"iya iya jeans. Makanya hati-hati makenya ya"

"iya iya saya udah tau. Cerewet amat. Ini masih jauh gak sih? Kok gak sampe-sampe?" tanya Jenni

"sepeminuman teh lagi nisanak"

"iisshh.." sungut Jenni sambil berjalan menghentakkan kakinya

Setelah berjalan beberapa saat sambil di selingi dengan mendengarkan segala macam keluhan Jenni, yang panas lah, pegel lah, keringetan lah, takut item lah, takut jelek lah. kami akhirnya sampai juga di rental PS langgananku. Sebuah rental PS yang cukup besar dengan sekitar 20an unit PS. Tampak cukup ramai dengan beberapa pengunjung yang sedang bermain PS. Ada yang masih pakai seragam sekolah seperti kami. Ada anak kecil, bahkan ada juga beberapa orang dewasa.

"halo mbak ku... ada yang kosong mbak?" tanyaku ramah pada mbak Amy si penjaga rental. Pelanggan tetap coy, jadi kenal deket. Gak deket-deket amat sih, cuma sok deket aja biar ditambahin 10 menit settingan timernya.

"eh Gilang. ada. Tuh tempat biasa, dipojokan. Ciee bawa cewek sekarang" godanya sambil tersenyum manis melirik Jenni

"hehe.. bosen ama Bonar terus" jawabku

"duh, patah hati neh mbak Amy nya" canda mbak Amy

"hehe.. Jangan bunuh diri lho ya. Minta rokok mild nya mbak, setengah lusin"

"Bawa cewek tapi beli rokok kok cuma setengah" canda mbak Amy sambil memberikan rokok ku.

"hehe low profile mbak, bersahaja. Yuk Jen kesana" ajakku kemudian pada Jenni. Jenni yang ternyata sedang menatapku tajam dengan mulut menggerutu tak jelas. Kenapa sih ini anak?

Aku lalu berjalan dibelakang mbak Amy yang sudah berjalan menuju tempatku akan bermain. Sepintas aku melirik kebelakang melihat Jenni yang juga sudah berjalan mengikutiku. Masih dengan tatapan tajam dan wajah juteknya. Bodo' ah.

"maen berapa jam Lang?" tanya mbak Amy sambil memasangkan kaset Winning pada PS. Posisinya yang jongkok membuat celana dalam bagian belakangnya sedikit mengintip. Cuma sedikit, tapi cukup jelas untuk ku yang duduk dibelakangnya. Warnanya merah.

"dua dulu mbak, ntar gampang nambah lagi kalo kurang hehe.." jawabku cengengesan

"nanti kalo mau nambah, bilang aja ya" ucap mbak Amy sambil menyeting waktu lalu mengambil stick PS dan meletakkannya dihadapanku. Membuatnya menunduk dan memperlihatkan sepintas belahan dadanya dibalik kaos ketat dengan belahan sedikit rendah itu. Cuma sepintas, sumpah cuma sepintas. Warna BHnya merah juga, talinya nongol dikit disamping.

"makasih embaaak.." ucapku.

"kembali kasiiih.." jawab mbak Amy ramah sambil berlalu

Aku lalu mengambil kedua stick PS di depanku dan memberikannya satu kepada Jenni yang duduk disampingku.

"neh. Mau stick satu apa dua?" tanyaku.

Bukannya menjawab, Jenni malah menatapku tajam dengan raut wajah yang sebal. Ini anak daritadi kenapa sih?

"mau maen gak? Gak mau, yaudah" ucapku sambil meletakkan stick dua disamping Jenni dan mulai menyeting PS ku.

"waduh, lupa bawa memory lagi!" ucapku sambil menepuk jidat

"hah.. Maen apa ya? Masa' match sih" gumamku sambil melirik Jenni disampingku yang masih memasang wajah juteknya.

"kamu kenapa sih Jen? Kok cemberut aja? Bibirnya awas jatoh lho" ledek ku

"huh! Pantesan ngotot bener mau maen disini!"

"emang kenapa?" tanyaku heran

"nyari analog! Iya kan! Gede ya analognya!? Kalo yang disana tadi, gak gede analognya? Gak indah pemandangannya?" cecar Jenni yang membuatku tertegun senjenak mencerna ucapannya

"ya ampun Jen, bukan itu. Beneran analog, bukan analog yang laen" jawabku yang paham arah ucapan Jenni tentang analog. Pasti yang dimaksudnya adalah analog mbak Amy yang memang berukuran besar dan semakin menarik dengan balutan kaos ketat berbelahan dada sedikit rendah.

"mau mungkir.." sindirnya

"beneran. Ini neh yang namanya analog" jawabku sambil menunjukkan analog pada stick PS yang kupegang.

"halah, alasan. Saya baru tau kalo kamu ternyata kecentilan"

"kecentilan gimana?" tanyaku heran. Emangnya Komarudin!

"itu tadi. Sama mbak itu. Ganjen banget. Mana matanya jelalatan" sungutnya

"ee.."

"apa!? Mau mungkir? Mau alasan apa kamu. Emangnya saya gak liat mata kamu" ucapnya kembali sebelum aku sempat menjawab

"bukan..."

"ngaku aja, kamu ngeliat kan? Ngeliat kan?" cecarnya lagi

"bukan ngeliat, tapi keliat" jawabku

"sama aja"

"bedalah. Kalo ngeliat itu sengaja. Tapi kalo keliat, itu gak sengaja. Gak sengaja keliat" aku membela diri

"paling pinter cari alasan" gerutu Jenni.

Nah kan. Karena meladeni ocehan tak jelas Jenni, aku sampai lupa maen PS. Rugi ini, waktunya udah jalan daritadi. Karena lupa membawa MMC 64 MB andalanku, maka aku memutuskan untuk main mode match saja. Derby Milan. Jenni? Biarin aja cemberut disampingku.

Sudah dua pertandingan Derby yang dimenangkan oleh Inter dengan skor telak saat ini. Saat sedang menyusun formasi untuk match ketiga, Jenni mulai bersuara.

"laper" ucapnya singkat

"hah?"

"laper... Belum makan.." rengeknya

"trus gimana? Mau pulang?" tanyaku

"kejauhan. Keburu pingsan dijalan saya"

"trus gimana? Makan disini mau? Saya pesenin Indomie goreng sama mbak Amy ya" tanyaku basa basi. Yah basa basi, karena aku tau tipe seperti apa Jenni. Tidak mungkin dia mau makan Indomie goreng disebuah rental PS. Kondisi rental yang cenderung jorok, belum lagi asap rokok dan suara bising yang memenuhi ruangan. Aku yakin dia gak akan mau.

"yaudah gak papa. Daripada gak" jawab Jenni yang membuatku heran

"beneran mau?" tanyaku meyakinkan

"he-em" Jenni mengangguk

"embaak, mbak Amy.. Sini dong.." panggilku pada mbak Amy yang sedang merapikan PS didekat kami

"biasa aja, gak usah kecentilan. Gak perlu melambai-lambai juga kali" gumam Jenni mengingatkan, tapi lebih terdengar seperti ancaman bagiku

"ehem.. Minta mie goreng" ucapku datar pada mbak Amy yang datang menghampiri. Sedatar mungkin agar tidak terkesan centil dimata Jenni

"oke, dua ya? Mbak nya mau juga?" tanya mbak Amy ramah pada Jenni

"iya" Jawab Jenni, lalu melanjutkan

"telornya di dadar aja ya mbak, jangan asin. Mienya pake cabe rawit dikit aja, di iris tipis-tipis ya. Trus gak usah dikasih sayuran apa-apa. Sayurannya kasih ke Gilang aja. Sama tambahin kecap sedikit ya. Kecapnya kecap apa? ABC bukan? Kalo bukan ABC, gak usah aja deh. Oh iya, kasih bawang goreng ya mbak, sama kerupuk udang sekalian" cerocos Jenni membuat mbak Amy agak bengong.

"saya minumnya jus jeruk. Jeruk asli ya mbak, jangan sirup. Kamu mau minum apa Lang? Atau samain aja deh mbak. Sukanya jus jeruk dia mah. Jadi jus jeruknya dua ya. Trus es batunya aer mateng kan mbak?" lanjut Jenni yang ternyata belum selesai.

"kayak biasa aja mbak" ucapku seolah menyadarkan mbak Amy dari lamunannya. Mbak Amy lalu melangkah pergi sambil tersenyum melihat Jenni

"pake sumpit ya mbak, makasih" lanjut Jenni yang ternyata masih juga belum selesai

"hadeeh.." aku menggelengkan kepala

"kenapa?!" tanya Jenni melihatku

"kamu ini aneh aneh aja"

"aneh aneh gimana?" tanya Jenni

"ya aneh lah"

"biasa aja ah. Gak ada yang aneh. Apanya yang aneh!?" elak Jenni

"emang biasa aja kalo kamu pesennya di rumah makan atau restoran. Lah ini, di rental PS pesen ampe begitu"

"emang kenapa kalo di rental PS?" tanya Jenni

"huft disini itu cuma nyediain alakadarnya aja. Cuma untuk kondisi darurat kalo yang maen PS laper. Jadi mana ada cabe rawit, bawang goreng, kerupuk udang. Apalagi jus jeruk asli" jelasku

"beneran? trus gimana mie nya" tanya Jenni

"ya cuma di tiriskan trus diaduk sama bumbu"

"gitu aja?" tanya Jenni heran

"iya, gitu aja"

"gak pake apa-apa?"

"gak"

"telor? Sayuran?"

"gak ada"

"gak ada sumpit juga?"

"boro-boro sumpit, dikasih garpu aja gak"

"kecap?"

Aku hanya menggeleng lalu melanjutkan bermain PS. Formasi diamond 4-1-2-1-2 menjadi andalanku. Bertopang pada Alvaro Recoba sebagai penyerang lubang yang menyokong duet impian Vieri dan Ronaldo sang fenomena. Sangat sepadan dalam membongkar dinding pertahanan yang di komando oleh Maldini. Sementara Jenni sambil menunggu mie datang, hanya memperhatikanku dan heran sendiri melihat reaksi dan ekspresiku saat bermain. Sok seru katanya. Tapi kadang-kadang dia juga ikut histeris jika ada kemelut didepan gawang. Malah dia juga berkomentar sinis jika aku gagal memanfaatkan peluang gol. Sok pinter!

"maaf ya lama. Ini mie nya" ucap mbak Amy yang datang membawa dua piring indomie goreng ala rental PS

"makasih mbak" ucapku sambil menyambut kedua piring itu

"kembali kasih" ucap mbak Amy lalu berlalu pergi

"neh" aku menyodorkan satu piring kepada Jenni yang menerima sodoranku dan memperhatikan dengan seksama mie tersebut

"ntar ya" ucapku lalu cepat berlalu pergi menuju mbak Amy di depan. Ngambil aqua gelas.

"kok belum dimakan?" tanyaku sambil meletakkan aqua gelas disamping Jenni. Jenni masih terpaku menatap piring di pangkuannya.

"udah gak papa, makan aja. Lumayan untuk ganjel perut" lanjutku

Mungkin karena terlanjur lapar, dengan sedikit terpaksa Jenni mulai mencicipi mie gorengnya. Pake sendok, sumpitnya gak ada beneran. Garpu juga gak ada. Melihat itu akupun langsung lahap menyantap mie gorengku. Dan tidak butuh waktu lama bagiku untuk menghabiskannya. Mie begini doang, tiga kali suap juga udah abis.

"ngerokok ya?" aku meminta ijin pada Jenni yang sedang mengunyah makanannya. Biasa, ngunyahnya pelan banget.

"he-em" jawabnya sambil mengangguk dan tetap fokus pada kegiatan mengunyahnya. Apa iya harus 32 kali ya? Bodo' ah, Aku kemudian melanjutkan pertandingan derby ku yang tertunda. Ronaldo-ku harus mencetak hatrick!

"udah. Gak abis" ucap Jenni tak lama kemudian

"hmm? Dikit amat" ucapku sambil melirik piring di pangkuannya yang hanya berkurang sedikit, masih menyisakan cukup banyak mie. Aku lalu kembali fokus ke permainanku.

"agak aneh rasanya" ucap Jenni

"aneh gimana?" tanyaku yang tetap fokus pada layar tv

"agak gimana gitu. cobain neh" ucap Jenni yang ternyata sudah menyodorkan sesendok mie dekat mulutku. Karena penasaran, aku membuka mulut dan melahapnya

"iya kan? Agak aneh rasanya?" tanya Jenni

"gak ah. Sama aja, emang gini" jawabku sambil mengunyah dan tetap masih fokus menatap layar tv

"masa' sih. coba neh sekali lagi, agak banyakan biar kerasa" kembali Jenni menyuapkan sesendok mie goreng, kali ini lebih banyak. Sendoknya ampe penuh. Aku menyambut suapannya dengan mulut lebar.

"gak ada yang aneh, lidah kamu rusak kali" ucapku setelah coba menghayati rasa mie nya.

"iya tau. Tapi coba sekali lagi neh, aak aak.. Yang lebar buka mulutnya" ucap Jenni kembali menyuapiku

"aamm, pinter.." ucap Jenni melihatku membuka lebar mulut dan menyambut suapannya.

"dua kali lagi ya, udah itu abis" lanjutnya

"iya" jawabku dengan mulut penuh mie dan tetap fokus menatap layar tv

"udah kosong belum? Ini kapal terbangnya udah tinggi. Ngeeeng ngeeeng.. Buka buka.. Kapalnya udah mau mendarat di landasan. Ngeeng.. Mana.. Mana.. Aaakk.." ucap Jenni sambil menerbangkan sendok penuh mie seolah pesawat yang sedang terbang.

"aaaakkk" aku membuka lebar-lebar mulutku agar pesawat Jenni dapat mendarat dengan selamat

"emmm hebat, sekali lagi abis. Nanti kalo abis di beliin mainan ya. Mau?" tanya Jenni

"iya, dua ya"

"iya"

"Eh Jen! Baru sadar saya. Kayak nyuapain anak kecil aja sih!?" protesku yang baru menyadari bahwa Jenni menyuapiku seperti anak kecil

"udah diem. Sekali lagi neh. Aaak aaakk buka mulutnya" ucap Jenni

"ya gak usah di suapin kali. Pake gaya kayak nyuapin anak kecil lagi. Malu tau! Apa kata orang nanti" protesku sambil memperhatikan sekeliling

"bodo' amat. Sekarang tank baja. Tank bajanya mau masuk garasi. Ngeng ngeng aaakk... Buka garasi nya aaak.. aakk.." Jenni tak menggubrisku

"aaakk.. amm.. " aku langsung menelan tank baja tersebut

"emmm pinter, hebat, jagoan. Abis makannya" ucap Jenni sambil meletakkan piring kosongnya ke samping. Dan mengambil aqua gelasnya. Sementara aku sedikit cemas memperhatikan sekeliling, takut ada yang memperhatikan kami. Bisa jatuh reputasiku sebagai juara 3 winning taun lalu di rental ini.

"iiihh..susah..Lang cucukin..." rengek Jenni

"hah?"

"colokin.."

"colokin apa? Masa disini sih Jen?" tanyaku heran

"ini lho, pipet! Ngeres aja!" gerutu Jenni yang menunjukkan aqua gelasnya. Aku lalu mengambil pipet dan aqua gelas Jenni. Melihat kondisi pipetnya yang sudah bengkok sana-sini membuatku bangkit dan berjalan menuju mbak Amy, minta pipet baru.

"Lang, mau maen juga" ucap Jenni setelah menghabiskan setengah gelas minumnya

"emang bisa!?"

"alah gampang, tinggal pencet-pencet doang" ucap Jenni yakin

"yaudah, ayo maen dua. Kita satu tim aja ya" ucapku sambil memberikan stick dua padanya

"gak mau yang ini" ucap Jenni menolak sodoran stick dariku

"hah? Kenapa?" tanyaku heran

"jelek, saya maunya yang itu" tunjuk Jenni pada stick PS yang sedang dipakai orang yang agak jauh dari kami, berjarak 3 tv.

"sama ajalah, ini aja ya"

"gak mau. Maunya itu. Ini jelek, item. Yang itu bagus warna merah" rengek Jenni

"itu lagi pake maen Jen.. Masa' mau kamu pake" jawabku

"tuker. Pokoknya mau yang itu" rengek Jenni

"hadeeh.. Orangnya serem itu Jen. Mana botak, pake cincin akik gede segede pentol bakso. Belum lagi dagunya tatoan tuh. Tato dari getah biji jambu monyet. Ngeri ah" ucapku

"saya maunya yang itu. Kamu kesana ya, tuker sama yang ini. Ya ya ya.. Mau ya.. " rayu Jenni sambil memamerkan senyumnya dan menunjuk-nunjuk lesung pipinya. Kembali memanfaatkan senjatanya untuk membuatku lemah.

"Tapi Jen.." ucapanku terhenti saat dia mengedip-ngedipkan kedua matanya sok imut

"ah sial" ucapku sambil mencabut stick dua dan berjalan menuju si botak pemegang stick warna merah.

Baru setengah perjalanan, aku menoleh kebelakang melihat Jenni. Jenni lalu mengepalkan kedua tangannya dan berkata 'semangat'. Jenni juga kembali menunjuk-nunjuk lesung pipinya sambil memainkan alisnya. Hmm bisaan aja!!

"bang, hehehe.." ucapku cengengesan saat mereka melirikku yang tiba-tiba duduk disamping mereka. Dari penampilannya aku memperkirakan mereka orang pasar. Yang satu botak, pake cincin akik gede, perawakannya besar tinggi. Yang satu lagi kurus dengan cukuran rambut gondrong ala rocker 90an. Sambil mengumpulkan keberanian, aku lalu melihat kearah Jenni yang kembali memberiku semangat dari jauh.

"masuk!! Ehm cakep bener one-two nya bang. Keren keren" aku coba menjilat ketika si botak mencetak gol. Si botak senyum-senyum bangga sambil menyalakan rokok kreteknya. Sementara si gondrong cemberut kesal, entah karena kemasukan gol atau karena si botak yang tidak langsung memencet tombol start.

"coba reply bang gol nya. Keren banget tuh" ucapku masih menjilat.

"gol terbaik ini. Sudut sempit" ucap si botak sambil menuruti permintaanku, me-reply dari segala arah.

"ck ck ck.. bisa gitu ya. Pojoknya pojok itu bang. Supermen juga gak bakalan bisa nepis" ucapku berdecak kagum. Padahal gol nya biasa aja.

"udah ah, ayo. Cepetan" si gondrong protes, mulai tak sabar.

"Bentar dong, kalem coy" jawab si botak

"manteb emang si Batistuta ini" gumamku

"yoi, apalagi tendangannya, kayak gledek" si botak menyahut

"sundulannya juga bagus itu bang" tambahku

"iyalah. Apa aja bisa dia" si botak terpancing meladeniku

"save aja bang gol nya. Sayang tuh, keren" usulku

"ah gak usah, udah biasa gol gitu mah" si botak mulai jumawa. Sementara si gondrong makin asem mukanya

"wah pasti sering menang ya bang kalo maen" jilatku lagi

"ah biasa aja" jawabnya sok merendah, tapi dagunya makin naek. Masih terus me-reply golnya.

"tarohan ya bang?" tanyaku lagi

"heh boy! Lu siapa sih!? Daritadi cerewet bener. Dateng-dateng banyak tanya lu!" si gondrong mulai emosi

"galak amat bang, kalem dong. Saya cuma mau nonton aja, kayaknya seru sih"

"ah, jangan bohong lu. Kesini pasti ada maunya kan? Mau apa lu? Rokok? Ambil tuh sebatang trus pergi sana" ucapnya

"hehe bukan bang, sebenernya gini bang, sori. Ehmm saya mau ngajak tukeran stick bang, sama abang yang menangan ini" ucapku ragu melirik si botak. Takut ngamuk

"emang kenapa? Gak enak ya" tanya si botak

"gak, enak kok bang. Empuk pencetannya. Analognya juga lancar"

"trus kenapa?" tanya si botak lagi

"cewek saya bang. Suka warna merah. Dia pengen make stick ini yang warna merah. Kalo boleh bang, kalo gak boleh ya gak papa. Tapi kalo bisa sih, boleh ya bang" ucapku memelas.

Mereka berdua lagi kompak melihat kearah Jenni. Jenni yang diperhatikan mereka berdua langsung memasang wajah imut, kalem dan memelas seperti anak kucing yang menggemaskan. Wajah palsu!

"udah kasih kasih. Biar cepet pergi. Gak fokus gua, banyak gangguan" ucap si gondrong

"yaudah neh ambil. Kasian gua ama cewek lu. Paling gak tega gua ama cewek cakep" ucap si botak

"iya, gua juga kasian ama tuh cewek. Cakep-cakep cowoknya cuma begini" celetuk si gondrong

"jiah, cuma begini gimana maksudnya bang?" tanyaku protes

"udah.. Jadi gak mau tukeran?" tanya si botak

"jadi bang, jadi. Wah baek bener abang ini. Saya doain menang maennya bang" aku langsung dengan cekatan melepaskan stick PS nya dan memasangkan stick PS yang kubawa sebagai gantinya.

"makasih bang ya" ucapku sebelum pergi

"iya iya sana" jawab si gondrong

"maennya kalem aja bang, jangan ngebantai, kasian. Kasih aja satu gol biar seneng" ucapku pada si botak, memanasi si gondrong sambil berlalu pergi

"ngomong lagi melayang neh sendal jepit!" sahut si gondrong kesal sambil ingin mengambil sendal jepit dekilnya, membuatku langsung mempercepat langkah menuju Jenni.

"yeee.. Gilang hebat.. Berhasil" sorak Jenni melihatku datang membawa stick merah incarannya

"iyalah, Gilang gitu lho. Kalo mereka nolak tadi, saya sentil kuping mereka satu-satu" jawabku jumawa tapi agak pelan, takut kedengeran mereka.

"haha sok-sokan. Emangnya kamu bilang gimana tadi kok mereka mau tukeran" tanya Jenni

"heh! Sini tukeran stick! Kalo gak mau, saya tabok bolak-balik kalian! Gitu Jen, trus mereka ketakutan ampe gemeter"

"hahaha bohong. Beneran.. Kamu bilangnya gimana?" tanya Jenni penasaran

"saya bilang ke mereka, kalo kamu lagi ngidam. Pengen pake stick merah. Ya saya minta tolong ama mereka, karna saya takut nanti anak kita ngileran kalo ngidamnya gak keturutan" jelasku sambil memasangkan stick

"iih.. Gilang, kok bilangnya gitu sih" protes Jenni sambil memukul lenganku pelan. Tumben pelan.

"ya terpaksa, biar mereka mau tukeran" elak ku

"bukan itu. Jangan bilang kalo anak kita ngileran, nanti ngileran bener lho" ucap Jenni yang membuatku hanya melongo.

"hah? Itu.. Hmm.. Eh ini stick nya. Mau maen gak?" aku jadi gugup dan salah tingkah

"lap dulu, bekas orang itu tadi" ucap Jenni sambil mengambil selembar tissu basah dari dalam tas nya dan memberikannya kepadaku

"hmm.." aku mengambil tissu nya lalu mulai membersihkan stick itu dengan seksama. Setiap sisi dan sudut terkecilnya, sampai kinclong. Daripada nanti di bawelin kalo gak bersih.

"Lang.." Jenni memanggilku yang sedang fokus menggosok

"hmm"

"Gilang.." panggilnya lagi

"apa"

"pengen mangga muda..."

Gubraaakk!!!

Andrea Pirlo menahan bola dengan tenang, gerakannya sangat elegan saat berhasil melewati Emre Belozoglu dengan mudah. Pirlo lalu memberikan umpan datar pada Rui Costa. Meskipun dalam penjagaan ketat Clarence Seedorf, Rui Costa masih mampu menerima bola dan langsung meneruskan dengan umpan terobosan pada Shevchenko yang langsung berlari memotong baris pertahanan Inter.

Umpan manis terukur dari Rui Costa pada Shevchenko sangat berbahaya bagi gawang Inter yang di jaga Francesco Toldo. Hanya perlu satu sentuhan, hanya dengan satu sentuhan maka Shevchenko akan berhasil merobek jala gawang Toldo. Posisi Marco Materazzi sedikit terbuka karena terpancing oleh Filippo Inzaghi yang membuka ruang. Sementara Ivan Cordoba tidak berani melepaskan penjagaannya pada Fernando Redondo yang menusuk masuk ke tengah.

Shevchenko yang berlari kencang akan mulai memasuki area pinalti. Dia berlari sambil memantapkan posisi dengan arah bola dan gawang, siap melakukan eksekusi. Francesco Toldo bergerak maju dua langkah berusaha mempersempit ruang tembak Shevchenko. Shevchenko mengayunkan kaki kanannya melepaskan tembakan mematikannya. Bersamaan dengan itu, Javier Zanetti sang kapten muncul dari belakang dan melakukan sleeding tackle. Menahan dengan bersih bola yang ditendang Shevchenko. Brak!!

Shevchenko yang kaget dan tidak menyangka tackle bersih dari Zanetti jatuh bergulingan. Sementara Zanetti yang berhasil menahan bola langsung bangkit dan menggiring bola keluar dari zona pertahanan. Melihat hal tersebut Rui Costa langsung berusaha menahan lajunya, tapi Zanetti berhasil melewati dengan mengandalkan kecepatannya. Melihat rekan-rekannya dalam kawalan ketat dan tidak memungkinkan untuk mengalirkan bola. Zanetti memutuskan untuk terus membawa bola menyusuri sisi kanan lapangan.

Zanetti terus berlari dengan kecepatan tinggi. Saat ini dia sudah mencapai garis tengah lapangan. Setelah berhasil melewati sleding ganas dari Gattuso, Zanetti sudah ditunggu oleh Kakha Kaladze dan Massimo Ambrosini. Memanfaatkan lebar lapangan dan mengandalkan kecepatan larinya, Zanetti menerobos apitan kedua penghadangnya. Karena keuntungan sudah dalam posisi sprint, maka Zanetti berhasil meninggalkan mereka berdua yang sudah kalah start untuk beradu sprint.

Melihat posisi Zanetti yang menusuk pertahanan tanpa kawalan, Recoba langsung membuka ruang mengacaukan dan memecah fokus pemain bertahan Milan yang tersisa. Sementara itu Ronaldo sudah mencari posisi yang terbaik untuk menerima umpan dari Zanetti ataupun Recoba. Sedangkan Vieri tampak seperti orang bingung yang tidak tahu harus berbuat apa.

Gerakan Vieri keluar posisi. Terkadang maju, lalu mundur lagi. Padahal dia kosong tanpa ada pengawalan. Zanetti yang sudah sampai pada pinggir kotak pinalti langsung mengirimkan umpan lambung manis nan cantik kepada Vieri. Dia dapat langsung mengeksekusi dengan sundulan atau menahan dada dan langsung melepaskan tendangan geledeknya.

Bola sebentar lagi akan sampai padanya, tapi Vieri masih seperti orang bingung yang tak tahu harus berbuat apa.

"kotak Jen! Kotak!" aku berteriak memberitahu Jenni

"hah?" Jenni tampak bingung memperhatikan stick PS sebentar lalu melihat kearah TV. Begitu terus kebingungan.

"kotak!"

"yang mana??"

"kotaaaaakkk!!!" jeritku panik

Bola hanya mengenai pundak Vieri yang kebingungan dan bergulir kearah Abbiati yang dengan mudah memungutnya. Abbiati langsung menendang bola jauh ketengah menuju Rui Costa. Melakukan sebuah serangan balik yang cepat.

"pencet yang kotak Jen, jangan diem aja" ucapku

"yang mana sih" tanya Jenni

"ini neh" aku menunjuk tombol kotak di stick Jenni dengan kesal. Kesal karena hilang kesempatan untuk mencetak sebuah gol.

"oh yang ini, bilang dong" ucap Jenni santai sambil menekannya.

Priiiittt!!! Gresko melakukan sleeding dari belakang kepada Inzaghi didalam kotak pinalti. Membuatnya langsung dihadiahi kartu merah oleh sang wasit.

"jangan di pencet Jen! Pelanggaran kan! Kena pinalti tuh" ucapku kesal

"katanya tadi suruh pencet. Gimana sih!" jawab Jenni kesal

"ya tadi waktu nyerang. Jangan sekarang"

"bedanya apa"

"ya bedalah antara lagi nyerang sama bertahan"

"bodo' ah. Plin plan bener. Tadi suruh pencet. Udah di pencet katanya jangan. Malah marah. Gimana sih. Udah ah, gak mau maen lagi" ucap Jenni merajuk dan meletakkan stick PS nya.

"itukan.. Huft.. iya iya.. Yaudah gak papa. Yuk maen lagi" ucapku mengalah. Dijelasin juga susah kan.

"jangan marah lagi.."

"iya.."

"jangan plin plan lagi"

"iya"

"yaudah ayo maen lagi" ucap Jenni sambil mengambil kembali stick merahnya

"ini pinalti neh. Kamu apa saya yang jadi kipernya?" tanyaku menawarinya.

"gak mau maen bola. Susah. Ganti kaset aja Lang"

"kaset apa? Gak mau maen bola aja?"

"gak ah, susah. Ganti aja"

"ganti apa"

"yang berantem-berantem aja" ucapnya

"Tekken apa Bloody Roar?"

"Smackdown"

***

Ctek! Ctek! Ctek! Ctek! Ctek! Crak! Crak!
... K.O !!!

Brak!! Jenni menggebrak papan tombol mesin ding dong dengan kesal. Kesal karena lagi lagi Chun-Li andalannya berhasil dikalahkan Ryu milikku.

"huh!" Jenni mendengus kesal lalu mengambil sebuah koin dari bekas aqua gelasnya. Gelas itu berisi penuh dengan uang koin miliknya. Baru ini aku melihat orang maen ding dong bawa aqua gelas penuh dengan koin.

"sekali ini kamu pasti kalah" ucapnya yakin

"tadi juga bilang gitu" sindirku

K.O !!!

"ah kalah lagi!" seru Jenni

"hehehe.." aku cengengesan senang melihatnya kesal

"sekali lagi" ucapnya sambil mengambil koinnya

"haha ampe abis koin kamu juga gak bakalan menang kamu lawan saya Jen. Sekalian kamu pecahin celengan ayam kamu dirumah" ejek ku

"cerewet"

Sudah hampir separuh gelas koin Jenni yang habis. Tapi dia masih belum juga bisa mengalahkan ku. Hahaha mau macem-macem dia sama jagoan ding dong.

K.O..!!!

Brak!! Kembali Jenni menggebrak papan tombol mesin ding dong. Melampiaskan rasa frustasinya karena kalah untuk kesekian kalinya. Sementara itu aku hanya tertawa senang melihat tampang kesalnya. Jangan harap aku akan bermurah hati mengalah padanya. Dunia itu keras nona!

"ngalah kenapa sih kak" celetuk seseorang dibelakang kami. Saat aku menoleh ternyata sudah ramai orang berdiri dibelakang kami. Ternyata sudah banyak orang yang menonton permainan ding dong ku bersama Jenni. Ada beberapa anak SD dan SMP, SMA juga ada. Ah Ini semua pasti karena Jenni main ding dong nya reseh. Atau karena mereka tidak pernah melihat cewek cantik main ding dong.

"kan kasian mbak nya kalah terus daritadi" ucap suara itu lagi yang ternyata seorang anak kecil dengan seragam SD nya.

"iya, jahat amat jadi orang" celetuk kawannya

"tau tuh, gak ada belas kasihan sama sekali" ucap Jenni sambil memasang wajah polos, imut, sedih dan teraniaya. Wajah palsu!

"beraninya ama cewek" celetuk seorang anak berseragam SMP ikut-ikutan.

Lho lho kok aku di keroyok begini? Kok aku jadi seolah olah sangat bersalah. Seandainya saja mereka tau bahwa Jenni lah yang tadi menantang ku bermain ding dong. Jenni yang ngotot untuk pergi kesini. Jenni juga yang memintaku bermain sepenuh hati tanpa mengalah padanya.

"gak gentle" ucap anak SD tadi

"berisik lu! Masih SD juga. Bukannya pulang sekolah langsung pulang. Malah maen kesini. Di cariin mamak lu tuh" hardik ku kesal

"emangnya dulu kakak waktu SD gak pernah maen ding dong pake seragam sekolah" jawabnya

"ya.. Pernah. Tapi gak ingusan kayak lu" jawabku

"ayo kak, lawan saya" tantangnya

"nah, berani nantangin dia. Lawan anak kecil kayak lu mah cukup tangan kiri aja gua" ucapku jumawa

"berani gak tuh" celetuk si anak SMP tadi memanasi

"berani lah. apalagi lawan lu! Merem aja gua" ucapku

"yaudah ayo" ucap si anak SD ingusan

"tenang aja mbak, saya pasti menang. Saya balesin dendam mbak sama dia" lanjut si anak SD pada Jenni yang masih memasang wajah teraniaya

"balas dendam.. Kebanyakan nonton film Barry Prima lu" celetuk ku

"kalo kakak kalah, kakak harus minta maaf sama mbak ini" ucap anak itu sambil mengecup koinnya sebelum memasukkannya kedalam mesin ding dong.

"oke. Tapi kalo lu yang kalah, lu langsung pulang ya. Tidur siang!" balasku.

3..2..1.. FIGHT!!! Ctek! Ctek! Ctek! Ctek! Ctek! Crak! Crak!

... K.O..!!!

braakk!! Aku menggebrak papan tombol mesin ding dong. Sial anak SD ini. Boleh juga skill-nya. Dia berhasil mengalahkanku dengan telak, 2-0.

"yyeeeee menang..." sorak Jenni riang. Diikuti beberapa penonton lainnya yang senang melihat kekalahanku.

"huuu... Bla bla.. Bla.. Bla.. " tak kudengarkan ocehan para penonton yang menghina, mengejek dan mencemoohku. Aku hanya tertunduk diam menyesali kekalahanku. Pasti karna tangan kiriku agak kram.

"sekarang kakak minta maaf sama mbak" ucap anak SD itu menagih perjanjian kami

"iya iya" jawabku berat sambil berdiri menghampiri Jenni. Jenni yang kembali memasang wajah palsunya. Kalem, polos, tak berdosa. Matanya juga kedip-kedip sok malu. Dasar siluman rubah!

"maaf ya" ucapku pelan

"hah? Apa?" tanya Jenni sok gak denger

"maaf" ucapku lebih keras

"apa?" Jenni kembali berpura-pura tidak mendengar. Budek beneran baru tau dia.

"maaf!" ucapku keras setengah berteriak

"kan marah lagi, bentak-bentak..." ucapnya seolah ketakutan dan seperti ingin menangis

"ngomongnya yang bener dong, yang tulus.. Jangan bla bla bla" suara-suara kerumunan Jenni-Lover

"ayo ulang lagi, yang bener... Bla bla bla bla"

"Huft... Jen, saya minta maaf ya" ucapku lembut. Terpaksa lembut.

"iya. Tapi janji jangan galak lagi" jawabnya

"iya"

"jangan nakalin saya lagi"

"iya" jawabku males. Padahalkan dia yang suka nakalin aku

"janji?" ucapnya sambil menyodorkan jari kelingkingnya

"huufft.. Iya janji" jawabku menyambut jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku

"adek makasih ya, ini adek bagi sama temen-temen adek" ucap Jenni pada anak SD itu sambil menyerahkan aqua gelasnya yang berisi koin.

"iya, makasih mbak" jawab anak itu sambil menyedot ingusnya

"ayo ah pulang" ucapku sambil menarik tangan Jenni

"kakak jangan nakalin mbak nya lagi ya" seru anak itu

"cerewet" sahutku sambil berjalan pergi

"mbak, kalo kakak nya nakal, cari pacar laen aja" serunya lagi

"masih kecil ngomongin pacar, urusin tuh ingus!" teriakku kesal. Sementara Jenni hanya senyum-senyum.

"kita mau nyebrang jalan?" tanya Jenni saat kami sudah keluar dari tempat ding dong dan berdiri di pinggir jalan.

"gak, kenapa" tanyaku

"kok masih gandengan tangan. Kirain mau nyebrang jalan" ucap Jenni cengengesan.

"eh, lupa. Keenakan" jawabku sambil melepaskan pegangan tanganku pada tangannya.

"kemana lagi kita?" tanya Jenni

"pulang"

"kamu mau pulang?"

"kamu yang pulang! Udah siang ini, ntar kamu dicariin"

"kamu mau kemana?!" tanya Jenni

"belum tau" jawabku

"saya tau" ucap Jenni

"hmm?"

"kita cari makan dulu yang enak. Trus kita maen bilyard. Yuk" ucapnya sambil berjalan

"ayooo cepeet" ucapnya lagi sambil menarik tanganku.

Aku hanya pasrah saat Jenni menarikku. Tepatnya harus pasrah dan siap menghadapi apa yang akan dilakukannya padaku nanti. Ah entahlah, apakah semua kegiatan kami hari ini adalah sebuah kebahagiaan, siksaan, atau justru hukuman bagiku. Mungkin ini semua adalah hal-hal membahagiakan yang akan ku kenang nantinya. Atau momen-momen indah yang mengisi dan mewarnai hidupku. Tapi dalam hatiku, aku berpikir dan yakin bahwa ini semua adalah HUKUMAN dari Jenni.

***
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd