Tiiinn....tiiin.... Cciiiiitttt...!!!
Sedetik, dua detik, tiga detik. Aku masih memejamkan mata rapat-rapat tak berani membukanya. Mulutku sampai terbuka lebar dan tenggorokan yang terasa kering. Semua terasa hening, terasa sunyi. Aku berusaha mengatur nafasku yang tersengal. Aku lalu membuka mataku perlahan-lahan, sedikit demi sedikit dengan ragu mengintip kearah depan tempat Jenni tadi.
Fiuuhh... Aku langsung bernafas dengan lega, melihat Jenni berdiri disana tanpa kurang satu apapun. Jantungku serasa kembali berdetak dan aliran darahku terasa kembali hangat mengalir. Aku langsung terduduk lemas, merasakan kakiku yang masih gemetar tak kuasa menopang tubuhku.
"kenapa kak?" tanya seorang siswa yang duduk didekatku karena heran melihat tingkahku
"diem!" bentakku sambil melotot yang langsung membuatnya ketakutan. Pake nanya lagi! gak tau orang hampir jantungan!
Aku lalu kembali memandang kearah depan, aku melihat motor itu tampak berhenti tak jauh dari Jenni. Rupanya motor itu berhasil mengerem dan kemudian menghindari Jenni. Si pengemudi tampak shock dan pucat, dia lalu menoleh kebelakang untuk melihat keadaan Jenni. Sementara itu, Jenni sudah berdiri di pinggir jalan dengan mata melotot dan mulut mengoceh.
"Salah kamu Jeenn... Salah kamu... Kenapa malah kamu yang marah. Kenapa malah kamu yang melotot" gumamku masih lemas sambil menggelengkan kepala
"ngomong ama siapa kak?" tanyak anak tadi mendengar gumamanku
"cerewet!" bentakku
Aku lalu kembali melihat kedepan, melihat teman-teman Jenni yang berhasil menyebrang jalan dan langsung menghampiri Jenni untuk mencoba menenangkannya. Menahan Jenni yang tampak ingin melabrak si pengendara motor. Merasa menghadapi lawan yang berat dan tak sepadan, si pengendara motor memutuskan untuk segera pergi dari sana. Meninggalkan Jenni yang masih saja mengoceh dan meluapkan emosinya.
"iya mas, bener mas. Pergi aja mas. Yang waras ngalah" gumamku mengiringi kepergian si pengendara motor
Setelah pengendara itu pergi, Jenni dan teman-temannya berjalan kearah warung dimana aku sedang duduk. Jenni berjalan masih dengan raut marahnya. Sekujur tubuhnya laksana menebarkan aura jahat. Aura jahat yang siap memakan korban siapa saja.
"Jen..." dengan ragu dan takut-takut aku coba menyapa Jenni yang lewat disampingku. Mengumpulkan keberanian dan siap jika menjadi pelampiasan amarahnya. Tapi Jenni diam tidak menyahuti. Jangankan menyahut, menolehpun tidak. Dia seolah tidak mendengar dan menganggap aku tidak ada disana. Jenni tetap berlalu masuk kedalam warung. Meninggalkanku yang cuma bisa garuk-garuk kepala dan malu pada teman-temannya.
"hihihi... " siswa yang ku bentak tadi tampak menertawaiku yang dicuekin Jenni. Sial!
Bodo' amat! Bukan Gilang namanya jika aku harus mundur hanya karena di cuekin. Aku tak akan menyerah, aku akan menunggu Jenni keluar dari warung. Aku menunggu sambil sesekali melihat kedalam warung. Takut Jenni kabur lewat pintu belakang.
Tak lama kemudian Jenni keluar bersama teman-temannya sambil menenteng sebuah eskrim conello. Tampangnya masih jutek dan kesal. Bibirnya manyun, bisa di kuncit.
"Jeen.." panggilku lagi sambil berdiri dan menghadang jalannya. Tapi Jenni hanya diam dan terus berjalan, bahkan Jenni dengan sengaja menabrakkan pundaknya. Brugh!! Menurut aturan sepakbola yang berlaku, seharusnya dia mendapat kartu kuning karena dengan sengaja menabrakku, tapi ternyata dia lolos dari hukuman kartu kuning. Pasti wasitnya takut sama Jenni. Jenni dan teman-temannya lalu berjalan kesamping warung dan duduk disebuah bangku panjang di bawah pohon cerry.
"hihihi.." kembali siswa yang duduk didekatku menertawaiku melihat perlakuan Jenni kepadaku. Sompret bener! Dengan emosi aku melangkah cepat menghampiri mereka
Sreet! Dengan cepat aku merebut coklat beng-beng yang sedang dipegang anak itu. Membuka bungkusnya dan langsung sekaligus memasukan kedalam mulutku
"apa hah!?" bentakku sambil melotot kesal dengan mulut penuh coklat, mengunyahnya cepat dan menelannya sekaligus. Aku juga merampas teh gelas yang dipegang murid satunya. Meminumnya habis dan membanting bekasnya. Mereka hanya diam dan melongo melihat tingkahku.
"apa!? mau nangis!? Mau nangis!?" bentak ku lagi, aku lalu melirik kearah Chitato yang berada dipangkuan anak itu. Hmm chitato, pasti ada hadiah tazos didalamnya. Menyadari arah pandangan dan niat burukku, anak itu langsung memegang erat-erat Chitatonya dan langsung ngacir meninggalkan temannya yang sibuk memasukkan jajanannya kedalam tas.
"tunggu..." teriak anak itu sambil cepat-cepat pergi menyusul temannya yang sudah lebih dulu kabur.
Setelah dipastikan gagal mendapatkan rampasan chitato dan gagal menambah koleksi tazos-ku, aku lalu berjalan menghampiri Jenni dan teman-temannya. Pantang menyerah dan pantang malu pokoknya.
"Jen.. Gimana kabar kamu.." tanyaku berdiri didepannya. Tapi Jenni masih saja diam dan sibuk membuka eskrimnya. Sedikitpun aku tak di liriknya. Hanya teman-temannya saja yang melihat dan memperhatikanku.
"bisa kita ngobrol sebentar Jen" ucapku lagi. Jenni masih diam dan mulai menikmati eskrim dengan mulut mungilnya.
"emang enak dicuekin" celetuk Komarudin yang entah kapan ternyata sudah nyelip diantara mereka. Hmm bakalan nguras emosi ini.
"saya tau kamu marah Jen.. Tapi jangan diem aja dong" lanjutku tanpa memperdulikan Komarudin
"lagi sariawan!" celetuk Komarudin lagi
"makanya mandi pagi Jen, biar gak sariawan" ucapku yang membuat Jenni sepintas melotot kepadaku. Lalu kembali melanjutkan menikmati es krimnya
"eh eh, malah ngejek ya, malah ngejek ya" Komarudin makin memperkeruh keadaan
"Jen.." teman disampingnya menyentuh tangan Jenni, mencoba mengingatkannya. Mungkin dia kasihan pada cowok tampan yang di cuekin Jenni ini. Tapi Jenni tetap tak bergeming dan kembali melanjutkan makan eskrimnya
"biar saya jelasin dulu sama kamu Jen" ucapku pantang menyerah
"gak perlu! Untuk apa! Tadi enak-enakan berduaan sama cewek laen, gak usah sok ganteng deh!" malah Komarudin yang menyahut lagi. Ini manusia kenapa sih!? Kok malah galakkan dia!
"biar saya jelasin dulu Jen semuanya. Kalo kamu udah denger, kamu pasti ngertiin posisi saya" ucapku
"minta pengertian aja sama cewek yang tadi!" kembali Komarudin yang menyahut ketus. Ya Allah, habis sudah kesabaranku. Cukup sudah!
"dek dek, sini bentar dek" aku memanggil dua orang adik kelasku yang lewat dan kuketahui sebagai anak Rohis
"iya kak" mereka menghampiriku
"mau nanya ya dek. Dalam ajaran agama, kalo ngebunuh provokator itu dosa gak dek?!" tanyaku sambil melirik Komarudin yang juga melirikku kesal. Meliriknya sambil kedip-kedip karena dia kurang vitamin A.
"dosa dong kak, apapun alasannya, membunuh itu tidak dibenarkan dan berdosa besar" jawab anak Rohis itu bijak
"kalo ngerok alisnya pake pecahan beling, dosa gak?" tanyaku sambil melirik kesal Komarudin. Komarudin langsung menutupi alisnya mendengar pertanyaanku
"atau masukin bola pingpong ke lobang idungnya, dosa gak? Kalo enggak Kelereng deh kelereng, agak kecilan dikit" tanyaku lagi sambil melirik Komarudin yang sekarang memegangi hidungnya.
"dosa kak, gak boleh main kekerasan. Cukup di kutuk aja kak. Kutuk jadi batu" sahut anak itu sambil menahan tawa melihat Komarudin. Rupanya anak itu tahu jika aku sedang kesal pada Komarudin
"lumayan kak, kalo jadi batu. Bisa kita jadiin patung selamat datang didepan gerbang sekolah" sahut teman disebelahnya menambahi
"heh Yanto! Jangan ngomong yang enggak-enggak ya! Sini saya cakar muka kamu!" ancam Komarudin dengan cakarnya yang langsung membuat kedua anak itu kabur melarikan diri
"udah-udah, kita duduk sana aja yuk" ucap salah satu teman Jenni mengajak Komarudin dan teman lainnya duduk ketempat lain, memberikan aku waktu dan tempat untuk berduaan dengan Jenni. Teman yang pengertian. Makasih ya dek, sini kakak peluk.
Teman-teman Jenni lalu pergi menjauh sambil menyeret Komarudin yang menolak untuk meninggalkan Jenni. Komarudin bahkan sampai harus diapit dan didekap oleh mereka seperti melindungi copet yang ingin di massa. Hmm salah satu rejeki nomplok untuk orang seperti Komarudin.
"Jen, saya tau kamu marah sama saya. Tapi tolong dengerin penjelasan saya dulu" ucapku sambil duduk disampingnya
"saya ngaku salah Jen, saya minta maaf ya sama kamu" lanjutku lagi. Tapi Jenni masih tetap diam dan terus menikmati es krimnya.
"Kamu jangan diem aja Jen. Kalo kamu diem aja, saya jadi serba salah. Apa kamu beneran lagi sariawan? Makanya Jen, usahain mandi..." ucapanku terhenti karena Jenni mengangkat tangannya, memberi tanda agar aku diam.
"suasana hati saya lagi gak enak. Lagi bad mood. Saya makan eskrim ini untuk ngurangin rasa jengkel saya. Untuk balikin mood saya lagi. Jadi kamu jangan ganggu saya nikmatin ini" ucapnya tegas
"oh iya Jen, iya. Silahkan dilanjut. Mau nambah lagi? saya beliin lagi ya?" tanyaku yang dijawabnya dengan gelengan kepala dan melanjutkan menikmati es krimnya.
Aku lalu duduk dengan anteng dan hanya memperhatikan Jenni yang sedang menikmati es krimnya. Dia makan dengan begitu khusuk dan khidmat. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan memperhatikan untuk menentukan target mana lagi yang akan di gigitnya. Aku hanya memperhatikan sambil menelan ludah, berharap Jenni menawariku barang segigit. Atau sejilat deh. Tapi sama seperti es goyang tempo hari, Jenni tidak menawariku. Untuk urusan coklat dan eskrim, Jenni memang pelit.
Sambil menelan ludah dan sesekali membasahi bibir yang kering, aku melihat Jenni tampak ingin membuka tasnya dan mengambil sesuatu. Tapi karena tangannya sambil memegang eskrim, dia tampak kesulitan. Aku yang tanggap, dengan cekatan langsung berinisiatif membantu membuka tasnya. Rupanya Jenni ingin mengambil selembar tissu yang ada didalamnya. Jenni melanjutkan melahap eskrimnya dan sesekali menyeka bibirnya dengan tissu tersebut. Tanganku sempat ditepisnya begitu aku berinisiatif untuk membantu menyeka bibirnya. Ternyata tidak semua inisiatif itu benar.
Bibir mungilnya tak henti-henti mengunyah dan mengecap. Jenni tampak sangat menikmati eskrimnya, dia sedikit bersenandung sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya seperti anak kecil. Ternyata sebegitu hebatnya es krim itu memperbaiki suasana hatinya. Aku benar-benar berterima kasih kepada siapapun si penemu es krim.
Aku masih terus memperhatikan Jenni. Jenni yang lama tak ku jumpai. Jenni yang ternyata sangat ku rindukan. Aku merasa dengan duduk berdua seperti ini sudah cukup mengobati semua rasa rinduku padanya. Tapi masih ada banyak hal yang harus kusampaikan padanya. Banyak hal yang harus kudengar darinya. Dan banyak hal yang harus segera kami putuskan.
Dengan perlahan tanganku bergerak memegang pergelangan tangannya yang masih memegang es krim. Merasai halus kulitnya dan menggenggamnya lembut. Jenni langsung menatapku tajam karena merasa aktifitas makan es krimnya terganggu. Jenni sedikit berontak coba melepas genggamanku. Tapi aku bersikeras tetap menggenggam tak melepaskannya. Tatapan tajamnya kubalas dengan tatapan lembut, tatapan yang dalam seolah menembus relung hatinya.
Mendapat tatapan seperti itu dariku, Jenni menjadi diam tak berusaha berontak lagi. Hanya menatapku seolah menunggu apa yang akan kulakukan selanjutnya.
"Jen.." panggilku lembut sambil bergeser makin mendekat kearahnya
"hmm?" jawabnya sambil menatapku ragu
"emmh.. Sebenernya..." ucapku gugup sambil menarik tangannya mendekat kearah dadaku
"a.. apa..." tanyanya lembut dan sedikit gugup
"apa kamu tau, saya.." ucapku terputus
"iya?"
"em.. saya.... saya..." aku seperti kesulitan untuk menemukan kata-kata yang pas
"iya, kenapa.." ucap Jenni lembut.
"hmm.... Fiuuh..." aku memantapkan hati dengan menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian dan membulatkan tekad. Aku harus siap dengan segala resikonya. Apapun yang akan terjadi nanti, apapun reaksi dia nanti, aku harus siap.
Genggaman tanganku pada pergelangan tangannya makin ku pererat mantap. Masih dengan menatap Jenni yang tampak gugup menungguku. Aku secara perlahan membimbing tangannya, lalu membuka mulutku dan HAP!! Dengan cepat aku mengarahkan tangan Jenni yang memegang eskrim kearah mulutku dan memakan eskrimnya sekaligus.
Jenni tampak bengong dan seolah belum sadar dengan apa yang baru saja terjadi. Tampak alisnya yang berkerut dan mulutnya yang sedikit ternganga karena kaget. Sementara itu aku sudah menikmati setiap kunyahan ujung conello yang nikmat didalam mulutku.
Bugh!! Jenni langsung meninju lenganku begitu sadar akan apa yang telah terjadi. Saat kulihat, raut wajahnya sudah berubah. Mata tampak menyipit dan pipi menggembung menahan emosi. Nafasnya agak tersengal seolah siap meledakan gemuruh di dadanya. Awan yang tadi terlihat cerah langsung berubah menjadi mendung. Tampak kabut hitam pekat yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
"enak!?" tanya Jenni dengan intonasi menahan emosi yang kujawab dengan anggukan dan mengangkat dua jempol.
"Enak!? Hah!? Enak gak!?" hardik Jenni sambil meninju-ninju lenganku dengan kesal
"kalo yang ini enak gak!?" hardiknya lagi sambil mencubit pinggangku. Pedes!
"aw..! aw..! Sakit Jen. Ampun Jen, ampun" rintihku menerima segala macam serangan darinya.
"udah tau saya lagi bad mood! Malah cari gara-gara!" ucap Jenni kesal sambil menggempur habis pinggangku
"iya iya Jen, ampun. Udah udah.." ucapku sambil meringis kesakitan. Yah, itulah yang kuucapkan di bibir. Tapi didalam hati, aku sangat teramat sangat menikmati semua ini. Menerima cubitan Jenni, melihat wajah kesalnya, dan mendengar semua ocehannya. Adalah hal-hal indah yang sangat ku nikmati. Hal-hal indah yang kurindukan. Hal-hal indah yang membahagiakan.
"kamu tau kan!? Ujung conello itu yang paling enak!? Yang paling banyak coklatnya! Yang paling di tunggu-tunggu!" ucapnya kesal, lalu membuang muka dan melipat kedua tangannya didada.
"iya, tau. Coklatnya paling tebel, manteb" jawabku cengengesan
"trus kenapa masih kamu makaaaann!" ucapnya sambil ingin mencubit perutku.
"saya sengaja" jawabku lembut sambil menangkap tangannya yang ingin mencubitku. Aku lalu melanjutkan,
"karna saya tau kamu paling suka eskrim sama coklat. Sampe kapanpun, saya rasa kamu bakal tetep suka dua hal itu. Iya kan? Tujuan saya begitu tadi sengaja. Supaya nanti, entah dimanapun kamu berada. Sejauh apapun kamu dari saya. Setiap kamu makan eskrim atau coklat, kamu bakal selalu inget sama saya. Bakal inget semua moment kita ini. Itu harapan saya" jelasku masih dengan memegang tangannya dan menatapnya lembut
Jenni langsung tertegun mendengar penjelasanku. Tampang galaknya pun berangsur menghilang. Jenni lalu menunduk tak berani membalas tatapanku. Jenni bahkan hanya diam ketika aku makin erat menggenggam tangannya, seolah tak ingin kulepas lagi. Tetap begitu sampai beberapa menit lamanya, aku dan Jenni tenggelam dengan pikiran kami masing-masing.
"huh.. Jahat.." gumam Jenni sambil tersenyum dan tetap menunduk
Lalu suasana kembali hening. Kembali kami diam dan larut dalam pikiran kami masing-masing. Aku masih tetap menggenggam tangan halusnya. Beberapa saat kemudian,
"hufft.." Jenni tampak menghela nafasnya lalu perlahan melepaskan genggaman tanganku pada tangannya.
"jadi kemana si mbak sekarang?" tanya Jenni kemudian
"hah? Mbak?" tanyaku bingung
"gak usah sok gak paham deh"
"ya jelas gak paham lah. Kita kan lagi ngebahas masalah eskrim. Kok lari ke mbak? Mbak mana?" tanyaku
"saya males ngebahas masalah eskrim. Intinya aja deh, kemana mbak kamu bawa kabur?"
"mbak mana sih Jen? Bawa kabur apa?" tanyaku makin bingung
"mbak mana lagi!? Mbak saya lah!"
"mbak kamu? Kamu kan anak tunggal.. "
"mbak yang dirumah!" potong Jenni
"oh si mbak.. Iya iya, kenapa si mbak?" ucapku yang mulai paham dengan mbak yang dimaksudnya
"pake nanya lagi! Saya yang nanya ke kamu, kemana mbak kamu bawa kabur?!"
"si mbak kabur?!" tanyaku kaget
"hmm malah acting dia. Gak usah sok histeris gitu deh. Jawab aja pertanyaan saya, kamu bawa kabur kemana si mbak"
"astagfirullah Jeeeenn.." aku hanya bisa menyebut. Aku tidak tahu harus bereaksi apa, entah harus marah, sedih atau justru senang. Marah karena di tuduh yang bukan-bukan. Sedih karena Jenni menilaiku serendah itu. Atau senang karena Jenni sudah kembali seperti Jenni yang biasanya. Jenni yang suka asal menuduh dengan logikanya yang ngawur. Jenni is back!
"jadi kamu gak mau ngaku!?" cecar Jenni
"astaga naga, Jennifer Natanegara..." aku mengelus dada, sambil celingukan kiri dan kanan mencari orang atau sesuatu untuk melampiaskan rasa kesal ku. Kemana ya anak yang bawa chitato tadi!
"kalo bukan kamu, trus siapa?!"
"mana saya tau Jen! Ngapain juga saya bawa kabur si mbak, mending kamu aja yang saya bawa kabur!" ucapku kesal
"biasa aja sih, jangan nyolot gitu. Kayak berani aja bawa kabur saya, jajan saya banyak lho"
"daritadi kamu yang nyolot Jen. Kamu udah nuduh saya yang enggak-enggak!"
"intonasinya biasa aja dong. kalo emang enggak, ya jangan marah-marah. Gak usah bentak-bentak juga kali"
"aaargghh.."
Kan kan.. Tetep aku kan yang salah. Dia yang asal tuduh, tapi ujung-ujungnya tetap aku yang salah. Dasar si mbak! Semua ini gara-gara dia. Kemana juga sih dia kabur. Ngapain juga pake acara kabur segala. Awas aja kalo sampe ketemu!
"si mbak kabur ada barang yang dibawa gak?" tanyaku kemudian setelah berhasil meredam emosiku
"ada lah, pakaian dia"
"maksud saya barang berharga lainnya. Misalnya barang Mama kamu atau Papa kamu gitu?"
"gak usah mikir yang enggak-enggak ya. Mbak itu gak begitu orangnya! Gak ada satupun barang dirumah yang ilang dibawa dia! Jelek bener pikiran kamu, maen nuduh orang aja" ucap Jenni kesal. Aku hanya diam dan melengos membuang muka. Perasaan kan dia ya yang suka punya pikiran jelek dan suka menuduh orang sembarangan.
"mamang mie tek-tek, iya mamang mie tek-tek Jen!" ucapku cepat tak lama kemudian
"hah?"
"iya, mamang mie tek-tek yang suka lewat depan rumah kamu! Saya sering tau si mbak suka bersemayam di bawah pohon mangga nungguin mamang mie tek-tek itu. Pasti mereka ada hubungan selama ini. Pasti mamang itu yang bawa kabur" jelasku. Jenni hanya mengernyitkan dahinya mendengar penjelasanku
"iya, saya yakin Jen. Pasti mamang itu yang bawa kabur" lanjutku
"huft.. Bener-bener kamu ini. Sembarangan aja maen tuduh. Mamang itu udah hampir kepala lima. Udah berkeluarga, punya anak istri. Kalo dia sering lewat depan rumah ya wajar aja, namanya aja jualan. Si mbak nungguin dia pun wajar, karena dia mau beli mie tek-tek. Logika kamu ini bener bener ngawur. Gak mungkinlah mamang itu" ucap Jenni.
Aku hanya diam dan dalam hati membenarkan apa yang di ucapkan oleh Jenni. Hmm kenapa juga aku bisa punya pikiran dan logika ngawur seperti itu ya. Apa karena ketularan Jenni. Apa sifat buruk Jenni sudah pindah kepadaku? Tapi tunggu dulu, kenapa Jenni bisa berfikir jernih dan sangat yakin bukan mamang mie tek-tek itu pelakunya? Tapi tadi dia bisa menuduhku sebagai pelakunya. Berarti.. Berarti... Dia lebih percaya pada mamang mie tek-tek itu daripada aku! Ah sial!
"Jen, kamu yakin bukan mamang itu?" tanyaku memancing
"iya, yakin"
"kamu bisa yakin sama mamang itu, percaya sama dia. Padahal kamu gak kenal sama dia. Saya nuduh dia, kamu marah-marah gak terima. Tapi sebelumnya tadi kamu udah nuduh saya sebagai pelakunya. Berarti, kamu lebih percaya mamang itu daripada saya Jen. Kamu lebih yakin kalo saya yang udah bawa kabur mbak kamu?! Kamu lebih percaya kalo saya pelakunya kan daripada mamang itu!? Serendah itu kamu nilai budi pekerti, toleransi, sopan santun, tata krama, gemah ripah loh jinawi saya Jen" ucapku berapi-api
"iya" jawabnya pendek, membuatku makin kesal dan jengkel
"aarrrghhh..." aku hanya berteriak tak tau harus berkata apa lagi sambil ingin merobek bajuku seperti hulk yang ingin berubah.
"saya jilat juga kamu Jen!" ucapku kesal
"kalo memang bukan kamu, kenapa tadi kamu minta maaf?" tanya Jenni
"hah? Itu.. Saya minta maaf karna saya... Ah udahlah! Percuma saya bilang juga. Tapi intinya saya minta maaf bukan karena bawa kabur mbak kamu ya" ucapku memutuskan untuk tidak menjelaskan maksud permintaan maafku tadi. Padahal maksudku meminta maaf padanya adalah mengenai kepergianku selama satu minggu yang tidak memberi kabar padanya. Mengenai aku yang membonceng Mala lewat didepannya. Dan mengenai panggilan telponnya saat aku sedang bercengkrama dengan Mala.
Entah Jenni yang tidak paham atau memang dia yang tidak ingin membahasnya, aku tidak tahu. Apakah dia tidak merindukanku selama ini? Dia bahkan tidak menanyakan mengenai hape tampanku yang sekarang entah dimana. Hah! Jenni memang aneh dan susah di tebak.
"hufft.." aku menghela nafas sambil berdiri dan beranjak pergi. Saat aku lewat didepannya, Jenni menangkap tanganku. Membuat langkahku jadi terhenti.
"kamu mau kemana?" tanya Jenni dengan tatapan lembut. Gak jutek lagi. Wajahnya agak mendongak karena dia masih dalam posisi duduk menatapku. Menampakkan sebuah pemandangan indah dari tempatku berdiri.
"kewarung, beli rokok. Rokok saya abis!" jawabku
"beliin coklat.." ucapnya manja masih dengan tatapan yang membuatku lemah
"gak ada duit! Ini aja mau cuma mau beli ketengan!" jawabku ketus karena masih jengkel
"tapi saya pengen coklat..." ucapnya makin manja dan menatapku lembut, membuatku menjadi lemah
"matanya biasa aja! Gak usah gitu! jadi gak bisa nolak saya" ucapku memprotes
"beliin yaa..." ucapnya kembali
"iya.. Iya"
"hehehe.. Makasih.." ucapnya sambil tersenyum memamerkan lesung pipinya
"haish mata itu, gak bisa bener saya nolaknya. Senyumnya juga, pake lesung pipi lagi. Bener-bener dah" gumamku sambil pergi berjalan kearah warung.
"jangan lama-lama ya" teriak Jenni dibelakang
"cerewet!"
Sekitar 5 menit kemudian, aku keluar dari warung sambil menghisap rokok ku dengan gagahnya. Sebatang kuhisap, sebatang lagi ku selipkan di telinga. Biar keliatan keren. Jenni masih setia menunggu sambil serius memainkan hapenya. Wajahnya tegang, alisnya berkerut. Hmm Paling juga maen space impact.
"sreet! Gantian!" ucapku merebut hape yang dipegangnya
"issh.. Maen rebut aja. Mana coklatnya? Dua kan" ucap Jenni menyodorkan telapak tangan yang terbuka
"satu lah, lagi bokek" jawabku sambil menyerahkan coklatnya
"kok ini!? Bukan silverqueen atau Delfi?" protes Jenni melihat coklat yang kubelikan adalah coklat dengan bungkus berwarna merah putih cap ayam jago.
"ini mah murahan" protesnya lagi
"sama aja lah. Sama-sama coklat"
"bedalah! Kalo ini kurang enak, lengket dimulut"
"namanya coklat ya lengket di mulut Jen. Kalo lengket di hati bukan coklat namanya, tapi kamu"
"issh.. Dasar" gumam Jenni sambil cemberut lalu tersenyum kecil
"mau gak? Kalo gak mau, saya ambil lagi neh" ancamku
"iya iya mau" jawabnya cepat
"nah gitu dong. Kalo gak dimakan, kasian nanti ayamnya nangis. Sekarang, memang cuma itu yang bisa saya kasih. Cuma coklat murahan. Tapi nanti, suatu saat nanti, saya janji, saya akan berusaha selalu kasih yang terbaik buat kamu" ucapku sambil berusaha mengepulkan asap rokok membentuk lingkaran. Tapi gagal.
"gak usah janji... Apalagi janji sesuatu yang belum tentu bisa kamu tepatin. Hidup kok kebanyakan janji"
"heh?" aku tertegun mendengar ucapan Jenni. Ucapan yang seolah menyadarkan aku. Menyadarkan bahwa aku sudah banyak membuat janji. Janji pada orang tua Jenni, tentang menjadi seseorang yang layak bagi Jenni kelak. Janji untuk mendapatkan rumahku kembali demi impian sederhana orang tuaku. Janji pada Mala tentang tidak akan pernah melupakannya. Dan sekarang janji tentang berusaha memberikan yang terbaik bagi Jenni. Huft entah berapa banyak lagi janji yang akan kuucapkan nantinya.
"sekarang buat buktiin kalo kamu gak salah, kamu harus temenin saya nyariin mbak" ucap Jenni sambil mengunyah coklat murahannya
"ya amplop Jen, masih aja kamu gak percaya sama saya. Masih nuduh saya aja"
"yaudah, makanya ayo temenin saya"
"nyari kemana lagi Jen? Kemaren-kemaren papa kamu gak nyariin? Paling juga si mbak pulang kampung. Susul aja ke kampungnya"
"udah, gak ada disana"
"trus mau cari kemana?"
"Rumah sodaranya. Dia dulu pernah cerita punya sodara di kota"
"jauh Jen, 2 jam lebih perjalanannya. Pergi sama papa kamu aja ya. Kan enak tuh naek mobil. Ya, mau ya" bujuk ku
"kemaren itu udah kesana. Tapi sodaranya bilang dia gak ada disana"
"yaudah dong, berarti memang gak ada disana. Ngapain lagi kamu mau kesana?"
"tapi feeling saya bilang dia ada disana. Makanya kita harus kesana lagi. Kita intai rumahnya" ucap Jenni
"masa' iya cuma berdasarkan feeling sih Jen. Gak bisa cuma mengandalkan feeling. Belum tentu feeling kamu bener"
"saya selalu yakin sama feeling saya" ucap Jenni mantab
"masa?" aku meremehkan keyakinan akan feeling nya
"iya, selalu yakin. Termasuk feeling saya tentang kamu" jawab Jenni yakin dan membuatku tertegun mendengarnya
"ehm.. Tapi males ah jauh. Mana musim culik" ucapku menghilangkan grogi akibat ucapannya tadi
"yaudah kalo kamu gak mau. Biar saya sendiri aja kesana. Sekarang jam 11, Perjalanan 2 jam-an, PP berarti 4 jam lebih. Belum disananya. Kemungkinan malem saya baru sampe rumah. Mudah-mudahan gak ada apa-apa dijalan" gumam Jenni seperti berbicara pada dirinya sendiri
"bodo' amat"
"paling yang ngeri kalo lewat jalan sepi, mana sekarang rawan lagi. Memang bahaya sih, apalagi buat cewek cantik kayak saya. Tapi gak papa deh nekad aja. Berdoa aja" lanjut Jenni
"gak peduli!"
"mana semalem denger berita ada cewek yang.. Hii.. Ngeri banget walaupun cuma ngebayangin aja" ucap Jenni sok merinding membayangkan sesuatu yang seram
"gak ngaruh!"
"minta temenin siapa ya? Yang pasti harus cowok, karena pulangnya malem. Akbar, Beni, Chandra, Dedi apa siapa ya? Tapi kalo malem-malem berduaan..."
"iya iya, saya temenin!" sahutku kemudian. Pinter bener neh cewek mengintimidasi. Dasar, bisa bener memaksakan kehendaknya. Lagian nama yang disebut kok ya sesuai alfabet gitu, kalo ampe Z ada berapa tuh.
"hehehe.. Gitu dong..." Jenni tersenyum senang karena tujuannya tercapai
"makanya, si mbak jangan kamu siksa! Gak betah kan dia. Gak kuat mental, batin dan psikologis. Untung aja gak bunuh diri"
"enak aja. Dia udah dianggep kayak keluarga sendiri ya. Ngapain juga kita susah-susah nyariin kalo gak peduli sama dia. Saya mah gak jahat orangnya. Jahatnya cuma sama kamu aja. Hehehe"
"huh cewek aneh" aku membuang muka
"tapi jangan sekarang, besok aja. Hari ini saya gak bisa" lanjutku
"sok sibuk, mau kemana sih?"
"ada urusan, penting"
"apaan?"
"pokoknya urusan penting"
"paling juga maen PS" tebak Jenni
"iya, saya udah lama neh gak.. eh kok kamu tau!?" ucapku kaget karena Jenni bisa menebak maksudku
"maen PS aja di bilang urusan penting" gerutunya
"hiburan Jen, hiburan.."
"yaudah, besok aja kita perginya. Besok saya tunggu disini ya. Jam 10 tepat. Awas kalo telat" ancam Jenni sambil meremas bungkus coklatnya yang sudah habis.
"besok kan masih ujian... Emang kamu gak ujian juga!?"
"setengah jam, kamu keluar. Jangan lama-lama. Ngapain juga lama-lama didalem"
"kamu enak cuma kenaikan kelas, kalo saya kan ujian akhir. Dapet apa saya cuma setengah jam. Baca soalnya aja belum selesai kalo segitu. Gimana kalo saya ampe gak lulus hah? Mau tanggungjawab?" ucapku
"saya yakin kamu pasti lulus. Saya aja yakin sama kamu, masa iya kamu sendiri gak yakin sama kemampuan kamu. Harus yakin, percaya diri ya" ucapnya sambil mengusap kepalaku
"woy Jen! Saya ini kakak kelas lho! Tuaan saya sama kamu! Maen pegang aja kepala orang" protesku
"huu sewot.." ledeknya
"kalo mau ngusap kepala saya gak papa. Tapi saya sambil tiduran di pangkuan kamu ya.." ucapku sambil memainkan alisku
"neh!" ucapnya sambil mengacungkan tinjunya
Kami lalu melanjutkan obrolan kami sambil diselingi dengan bersenda gurau, eh bukan senda gurau tapi lebih ke berdebat. Berdebat mengenai hal-hal sepele atau apa saja yang bisa di debatkan. Aku benar-benar menikmati saat-saat bersama Jenni seperti ini. Mendengarkan ocehannya. Melihat raut kesalnya. Menghirup aroma tubuhnya. Sedikitpun Jenni tak menyinggung mengenai Mala. Entah dia yang sudah lupa atau memang dia tidak ingin membahasnya saat ini.
Saat sedang asyik menghabiskan waktu bersama Jenni, aku melihat kearah depan gerbang sekolah. Disana aku melihat segerombolan anak yang ku ketahui bukan merupakan murid di sekolah kami. Berdandan layaknya anak motor, dengan motor yang penuh stiker. Jumlah mereka ada sekitar 12 orang dan membawa sekitar 7 motor. Aku melihat cowok Fitri berada diantara mereka. Cowok Fitri tampak berdiri dengan petantang petenteng sambil memperhatikan kearah dalam sekolah. Gayanya gelisah dan mondar-mandir sudah seperti suami yang menunggu kelahiran anak pertamanya.
Melihat gerombolan cowok Fitri didepan sekolahku dan gelagatnya yang tidak baik. Perasaanku menjadi tak enak. Aku menduga maksud kedatangan mereka bukan untuk menjemput Fitri, tapi untuk mencariku dan Bonar. Untuk menuntut balas atas kejadian kemarin. Beruntung mereka tidak melihat keberadaanku disini. Jika tidak Bisa-bisa sudah habis aku di keroyok oleh mereka.
Seperti biasa aku langsung mengukur kekuatan mereka, situasi dan juga kondisi. Hmm 12 orang. 12 yang berani mendatangi sebuah sekolah, sudah pasti adalah 12 orang yang sudah siap dengan segala macam kemungkinan terburuk. Mungkin saja mereka sudah mempersenjatai diri dengan senjata tajam. Senjata tumpul? Mereka pasti bawa!
Melawan 12 orang jika memakai taktik gerilya andalanku ala Jacky Chan, mungkin aku hanya akan bertahan selama 1 menit. 1 menit yang tidak cukup untuk mengharapkan bala bantuan dari teman-teman plus satpam sekolah. 1 menit itu aku pasti sudah babak belur dibuat mereka. Belum lagi jika urusan jadi panjang dan pasti mengganggu ujianku besok. Tapi yang paling ku cemaskan adalah Jenni. Tentang keselamatannya, dan tentang komentar dan anggapannya nanti.
Untuk keselamatannya, bisa saja Jenni ikut-ikut terbawa dan di ganggu mereka. Selain itu yang paling kutakutkan adalah jika Jenni melihatku di keroyok dan dipukuli oleh mereka. Apalagi jika aku sampai babak belur dan pingsan. Bisa malu aku seumur hidup padanya. Bisa dijadikannya bahan ejekan untukku selamanya. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mencari aman dan menghindari keributan. Aku harus cepat pergi dari sini sebelum mereka mengetahui keberadaanku.
Aku langsung celingukan mencari keberadaan Bonar. Jangan sampai Bonar masih ada didalam sekolah dan bertemu mereka. Bonar harus segera ku kabari agar segera menjauh dari sekolah. Tapi sebelum itu, aku harus menjauh dulu mencari tempat aman.
"kamu ngeliatin apa sih? Kenal sama mereka?" tanya Jenni yang ternyata menyadari kegelisahanku
"oh, bukan. Itu.. Mereka... Nanti aja saya cerita sama kamu ya. Sekarang kamu pulang aja" ucapku
"kamu mau kemana?" tanya Jenni
"saya mau pergi dulu. Kamu pulang ya"
"mereka siapa sih? Kok kayaknya kamu takut bener?" tanya Jenni kesal
"udahlah, nanti kamu saya ceritain. Sekarang bahaya kalo kamu sama saya. Saya pergi dulu ya" ucapku sambil mengusap kepalanya dan pergi menjauh. Tak kuhiraukan raut wajahnya yang sebal.
Tanpa menoleh kebelakang lagi, aku langsung pergi menjauh sambil mengendap-endap. Memanfaatkan keramaian siswa dan seragam sekolah yang sama untuk menyamarkanku. Menyelinap diantara kerumunan siswa yang berjalan. Dan sesekali bersembunyi dibalik pohon seperti di film kartun.
Aku berjalan sudah agak jauh dari sekolah ketika ada sebuah angkot yang lewat. Aku menghentikan laju angkot itu dan langsung masuk kedalamnya. Diikuti sesosok tubuh yang ikut masuk dan duduk disebelahku. Aku segera memperhatikan gerombolan cowok Fitri dari kaca belakang angkot yang mulai berjalan. Mereka masih disana dan tidak menyadari bahwa aku sudah didalam angkot dan pergi menjauh.
"huft..." aku menghela nafas lega dan merasa aman begitu duduk didalam angkot. Sekarang aku harus mencari cara bagaimana untuk mengabari Bonar. Saat sedang bingung mencari cara untuk mengabari Bonar, aku beradu pandang dengan orang yang duduk disampingku.
"astagfirullah Jen!" ucapku kaget melihat tampangnya yang cemberut sedang menatapku.
"dari kapan kamu disitu? Kapan kamu naeknya?" tanyaku heran. Jenni tak menjawab dan tetap cemberut
"ini beneran kamu?" tanyaku sambil mencolok-colok pipinya dengan ujung telunjuk ku agar lebih yakin.
"huh!" Jenni hanya melengos sebal
"ngapain kamu ngikutin saya. Kan udah saya bilang bahaya. Bukannya pulang, malah ngikutin saya" ucapku setelah yakin itu benar Jenni
"ngapain kamu ngikutin saya Jen?" tanyaku lagi. Sebuah pertanyaan yang semoga mendapatkan jawaban sesuai yang kuharapkan. Aku berharap Jenni menjawab bahwa dia masih ingin bersama ku. Atau dia menjawab bahwa dia masih merindukanku.
"kenapa kamu ngikutin saya Jen?" tanyaku lagi
"hape saya kamu bawa!" jawabnya kesal sambil menunjuk tanganku yang masih menggenggam hapenya
"hah? Astagfirullah, lupa! Hehehe" aku cengengesan. Kok bisanya aku tidak sadar jika daritadi masih menggenggam hape Jenni. Menyadari aku sedang memegang hape Jenni, aku langsung memutuskan untuk menghubungi Bonar. Aku langsung mengetik sms dan mengirimkannya
To : Kak Bonar
"coy, bahaya. Cowoknya Fitri bawa tentara langit, kayaknya mereka nyariin kita di sekolah. Gilang. Bls cpt"
Tak lama kemudian hape Jenni bergetar tanda ada sms masuk
From : Kak Bonar
"iya, rame bener, rombongan. Udah kayak orang mau ke pasar malem"
To : Kak Bonar
"gak usah di ladenin. Kita cari aman aja dulu. Kamu jangan deket-deket lingkungan sekolah, cepet pergi" balasku
From : Kak Bonar
"iya bener. Daripada panjang urusannya. Ini saya udah gak di sekolahan kok"
To : Kak Bonar
"kamu dimana sekarang?"
From : Kak Bonar
"depan"
To : Kak Bonar
"depan mana?"
From : Kak Bonar
"depan kamu!!!"
Hah! Aku kaget membaca sms jawaban dari Bonar. Makin kaget saat melihat Bonar yang cengengesan duduk didepanku. Rupanya dia sudah lebih dulu naik kedalam angkot ini dan tak kusadari. Aku lalu mengetik sms dan mengirimkannya,
To : Kak Bonar
"ok, sip"
Terkirim! Bonar membuka dan membaca sms yang ku kirimkan,
"ngapain masih di bales! Tinggal ngomong aja, pake sms segala" ucap Bonar setelah membaca sms dariku
"hehehe.. Tanggung" jawabku sambil tersenyum. Tapi senyumku seketika hilang ketika melihat Santi yang duduk disamping Bonar. Kacau, Bonar bersama Santi. Sedangkan aku bersama Jenni. Bagaimana ini? Bagaimana jika Santi membahas atau menyebut nama Mala disini. Atau Santi melihat setiap tingkah laku ku dan Jenni disini lalu menceritakan kepada Mala. Bagaimana juga jika Jenni tau Santi adalah tetangga Mala dan juga mengetahui kemarin aku main kerumah Mala.
Ini tidak bisa dibiarkan. Situasi berbahaya seperti ini harus segera diatasi. Sebelum semakin jauh, aku harus segera memisahkan Santi dan Jenni. Aku harus meminta Bonar untuk segera membawa Santi turun dari angkot. Tapi harus tanpa kata-kata agar tidak menimbulkan kecurigaan Santi dan Jenni. Tapi bagaimana? Tidak mungkin jika lewat sms hape Jenni karena akan rentan ketahuan.
Aku langsung mengatur aliran nafasku, mengumpulkan tenaga dalam dan kanuraganku memusatkan pikiran. Aku menatap Bonar dalam-dalam, berusaha mengajaknya berbicara melalui telepati. Mataku menyipit, kadang-kadang melebar berusaha menggambarkan situasi yang terjadi. Bonar membalas tatapanku, seakan dia paham bahwa aku mengajaknya berbicara lewat batin. Alis Bonar mengernyit, matanya ikut menyipit, bola matanya kadang berputar-putar.
Menggunakan bola mataku, aku kembali menekankan pesanku. Bola mata kiri kuarahkan menunjuk Jenni. Bola mata kanan kuarahkan menunjuk Santi, tujuannya agar Bonar segera paham akan permasalahan yang terjadi. Melihat petunjuk kedua bola mataku yang juling, berair dan memerah, Bonar segera memberikan respon dengan menggerakkan bulu mata dan memekarkan lubang hidungnya. Kedua daun telinganya bahkan ikut bergerak-gerak.
Mata kami saling memandang dan terus menyampaikan pesan selama beberapa saat. Kedua mata kami sudah sama-sama merah, berair dan belekan. Dengan intonasi dan logat bataknya, Bonar lalu berteriak
"kiri bang, kiri!" sambil menggedor gedor atap angkot, membuat penumpang lainnya kaget. Sopir angkot yang ikut kaget sampai menginjak rem dalam-dalam, membuat angkot berhenti mendadak dan para penumpang didalamnya porak poranda. Biasa aja Nar! Gak gitu juga kali!.
"kok turun disini?" tanya Santi sambil kembali duduk ke posisi semula. Rupanya dia terpelanting jatuh dari duduknya akibat gebrakan Bonar tadi.
"iya. Ada perlu sebentar. Turun yuk" jawab Bonar
Saat akan turun dari angkot, sepintas Bonar melirikku. Aku lalu menatapnya dengan tatapan rasa berterima kasih atas bantuan dan pengertiannya. Bonar membalas dengan tatapan yang kuartikan bahwa dia kesal karena harus turun ditengah perjalanannya.
"belakang bang" ucap Bonar pada sopir angkot dan menunjuk kearahku. Ah sial! Minta bayarin ongkos angkot dia. Gak mau rugi bener. Tapi gak papa, lebih baik aku yang membayari dia ongkos angkot. Ongkos angkot lebih kecil jika dibandingkan dengan resiko masalah yang akan muncul karena Jenni dan Santi.
***