baungSANGE
Semprot Baru
- Daftar
- 25 May 2020
- Post
- 32
- Like diterima
- 130
Selamat menjelang libur panjang buat para senior. Setelah sekian lama cuma jadi tukang intip threadnya suhu-suhu di forum ini, ijinkan newbie nimbrung pada kesempatan ini.
Akhirnya dapat bahan cerita dari saudara teman yang punya pengalaman cukup asyik menurut saya. Seijin yang punya pengalaman, dengan tambahan sana-sini, akhirnya saya mencoba menuliskan ceritanya.
Mohon maaf apabila dalam penulisannya banyak terdapat kekurangan.
************
Meski usiaku sudah 43 tahun dan belum menikah, aku juga punya kenangan indah berhubungan seks dengan seorang wanita yang berusia hampir dua kali usiaku, ketika usiaku masih di bawah tiga puluh, tepat 23 tahun.
===
Dalam kungkungan rasa sakit hati aku pergi meninggalkan kota Banjarmasin menuju kota Jogja dengan menumpang kapal laut yang akan berlabuh di Surabaya. Di atas kapal milik perusahaan swasta yang bergerak perlahan meninggalkan pelabuhan tepat jam 20.00 ini, mataku memandang kosong barisan lampu di tepi sungai besar dan menerangi pinggiran kotaku. Dengan bertolaknya kapal ini aku berharap bisa meniggalkan rasa sakit hatiku bersamaan dengan kutinggalkan kota yang memberikan banyak hal kepadaku ini.
Waktu yang berlalu bagiku terasa sangat lambat walaupun di atas kapal ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengusir kejenuhanku yang masih terbawa oleh kegalauan hati itu. Tetapi gerakku enggan berbuat karena hati dan pikiranku masih ditarik oleh rasa sakit hati. Aku masih terpaku sendiri di sisi kapal sebelah kanan.
Ketika kapal sudah memasuki laut Djawa dan mulai keluar meningalkan sungai Barito aku dikejutkan oleh seorang wanita yang tidak kuketahui kedatangannya, tiba-tiba saja Ia sudah berada di sampingku.
“ Lagi asyik menikmati perjalanan, ya, sehingga beberapa kali aku menyapa tidak pernah ada jawaban?”
“ Maaf, Bu. Saya tadi tidak mendengar suara ibu karena keasikan memperhatikan kapal-kapal batubara.” Aku berbohong.
“Oh.” Suara wanita tersebut sambil melempar senyum.
Entah mengapa, di mataku senyuman itu seperti milik seseorang yang dahulu, jauh sebelum berpacaran dengan Lia, pernah mengisi hari-hariku. Dan aku merasa seperti ada angin sejuk berhembus di tengah kemarau hatiku. Aku merasa nyaman ketika senyum itu mengambang di depanku. Timbulah keinginan untuk mengajaknya berbicara. Ia-pun kelihatan senang.
Ternyata Ia adalah pemilik toko baju di Banjarmasin yang berusia 51 tahun. Suaminya meniggal dunia delapan tahun yang lalu. Sekarang Ia tinggal dengan anak bungsunya yang perempuan dan baru masuk kuliah. Ia pergi ke pulau Jawa untuk mecari barang-barang yang bisa dijual kembali di Banjarmasin dalam rangka mengembangkan usahanya.
Tanpa terasa kami sudah mengobrol selama satu jam lebih. Dengan adanya obrolan-obrolan kami tersebut akupun sudah mulai melupakan rasa sakit hatiku. Dan tanpa sengaja kulit kami sering bersentuhan jika dari obrolan kami itu menimbulkan kelucuan-kelucuan. Tanpa sengaja juga, kadang-kadang tangan kami saling pegang.
Karena angin terasa mulai menusuk kamipun memutuskan untuk menyudahi obrolan dan masuk ke kamar masing-masing. Kami berjalan berbarengan karena kamar kami terletak berseberangan di dek yang sama.
“Terimakasih, Dik Raihan mau ngobrol. Perasaan Ibu sangat senang ngobrol dengan Dik Raihan malam ini” katanya ketika kami sudah berada di depan pintu kamar masing-masing.
“Sama-sama, Bu. Saya juga demikian, perasaan saya juga senang sekali” jawabku sambil meberikan senyum dan menatap matanya.
Kemudian kami memasuki kamar kami masing-masing.
Ketika sudah berada di dalam kamar, aku langung naik ke tempat tidur untuk beristirahat. Sewaktu aku mencoba memejamkan mata terdengar bunyi pintuku diketuk. Dengan malas kulangkahkan kaki menuju pintu untuk mengetahui siapa yang sekarang berada di depan itu.
“Maaf, Dik Raihan. Bisa Ibu minta tolong? Tas pakaian Ibu tidak bisa dibuka!” kata Ibu Mariana ketika pintu sudah terbuka.
“Oh, bisa, Bu.”
Aku mengikuti Ibu Mariana dari belakang. Pandanganku tertuju pada pantatnya yang bergoyang sehingga gairahku kelelakianku mulai menggeliat. Kerongkonganku seperti menahan sesuatu ketika pantatnya lebih bergoyang. Aku berusaha meredam gejolak nafsu yang menggayuti, karena aku belum mengetahui bagaimana sifat seksual Ibu Mariana, agar kontrol diriku tidak hilang begitu saja.
“Bagaimana rasanya, ya?”dalam hatiku.
Setelah menutup pintu kamar, Ibu Mariana mendekati tas pakaiannya. Tanganku langsung berbuat agar tas pakaian tersebut bisa terbuka. Usahaku tidak sia-sia, tidak terlalu membuang waktu lama tas pakaian Ibu Mariana berhasil terbuka.
Karena sangat senang tas pakainnya sudah terbuka, tiba-tiba Ibu Mariana memegang tanganku. Ia menatapku dengan ceria.
“Terimakasih, Dik.”ucapnya sambil menggengam jemari tanganku.
Mata kami saling berpandang. Aku merasakan getaran yang berbeda pada genggaman dan tatapan mata Ibu Mariana. Sekujur tubuhku terasa seperti dialiri arus listrik bertegangan sangat rendah yang diiringi timbulnya gairah kejantananku. Aku remas jari dan telapak tangannya. Ia juga berbuat serupa denganku yang aku lakukan. Keinginanku untuk mencium bibirnya yang sensual itu semakin kuat. Secara perlahan Ia merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Tangannya dilingkarkan dipinggangku. Wajah kami menjadi teramat dekat. Matanya nampak sayu. Bibirnya merekah, semakin membuat membuat aku bergairah untuk melumatnya. Tiba-tiba saja Ia mengecup bibirku. Aku menyambutnya dengan kecupan yang lebih bergairah. Kulumat bibirnya sambil mempermainkan lidahku di dalam muluntnya. Ia membalasnya sambil mendesah.
Setelah sepuluh menit kami saling melumat bibir, secara perlahan tangan kananku memutari bukit kembar di tubuhnya yang masih ditutupi oleh baju dan BRAnya dari luar sambil terus mengulum bibirnya. Semantara tangannya meremes pantatku dengan kuat, tangan kiriku menganngkat bajunya kemudian menyelusup ke bagian dalam behanya. Ia mendesah ketika jariku memilin putting susu kanan-kirinya bergantian.
“Sshhh.. enak, sayang… remas yang kuat, sayang!” bisiknya penuh gairah.
Aku melepaskan pelukan. Kemudian kubuka bajunya secara perlahan. Behanya kuangkat sehingga mencuatlah kedua bukit putih yang sangat menantang. Tangan kananku mendapat giliran untuk meremas dan melakukan gerilya di bukit kembar tersebut. Tangan kiriku melepas pengait behanya yang masih masih melekat. Sementara itu mulutku ikut serta memberikan rangsangan pada bagian telinga dan lehernya yang putih dan jenjang mengairahkan tersebut. Ia juga tidak mau tinggal diam, dibarengi desahan yang kuat tangannya berusaha menarik celana trainingku secara kasar dan berusaha mencari batang kejantananku yang sedari tadi sudah mengeras. Di turunkannya celana dalamku kemudian diusapnya kontolku dengan lembut.
Mulutku turun ke bukit putih dengan puting yang sudah mengeras milik Ibu Mariana ini. Di tekannya kepala dengan tangan kirinya seolah enggan Ia berpisah denga jilatan lidah dan jepitan bibirku pada putting merah yang sudah tegak itu.
“Ohhh… Dik, Raihan. Kamu pintar memberikan rangsangan…. Auhhh…ssss. Ibu jadi sangat bergairah, sayang” rengeknya seperti orang yang sedang mabuk berat.
“Ibu juga pintar membangkitkan gairahku..”sahutku.
Akhirnya dapat bahan cerita dari saudara teman yang punya pengalaman cukup asyik menurut saya. Seijin yang punya pengalaman, dengan tambahan sana-sini, akhirnya saya mencoba menuliskan ceritanya.
Mohon maaf apabila dalam penulisannya banyak terdapat kekurangan.
************
Meski usiaku sudah 43 tahun dan belum menikah, aku juga punya kenangan indah berhubungan seks dengan seorang wanita yang berusia hampir dua kali usiaku, ketika usiaku masih di bawah tiga puluh, tepat 23 tahun.
===
Dalam kungkungan rasa sakit hati aku pergi meninggalkan kota Banjarmasin menuju kota Jogja dengan menumpang kapal laut yang akan berlabuh di Surabaya. Di atas kapal milik perusahaan swasta yang bergerak perlahan meninggalkan pelabuhan tepat jam 20.00 ini, mataku memandang kosong barisan lampu di tepi sungai besar dan menerangi pinggiran kotaku. Dengan bertolaknya kapal ini aku berharap bisa meniggalkan rasa sakit hatiku bersamaan dengan kutinggalkan kota yang memberikan banyak hal kepadaku ini.
Waktu yang berlalu bagiku terasa sangat lambat walaupun di atas kapal ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengusir kejenuhanku yang masih terbawa oleh kegalauan hati itu. Tetapi gerakku enggan berbuat karena hati dan pikiranku masih ditarik oleh rasa sakit hati. Aku masih terpaku sendiri di sisi kapal sebelah kanan.
Ketika kapal sudah memasuki laut Djawa dan mulai keluar meningalkan sungai Barito aku dikejutkan oleh seorang wanita yang tidak kuketahui kedatangannya, tiba-tiba saja Ia sudah berada di sampingku.
“ Lagi asyik menikmati perjalanan, ya, sehingga beberapa kali aku menyapa tidak pernah ada jawaban?”
“ Maaf, Bu. Saya tadi tidak mendengar suara ibu karena keasikan memperhatikan kapal-kapal batubara.” Aku berbohong.
“Oh.” Suara wanita tersebut sambil melempar senyum.
Entah mengapa, di mataku senyuman itu seperti milik seseorang yang dahulu, jauh sebelum berpacaran dengan Lia, pernah mengisi hari-hariku. Dan aku merasa seperti ada angin sejuk berhembus di tengah kemarau hatiku. Aku merasa nyaman ketika senyum itu mengambang di depanku. Timbulah keinginan untuk mengajaknya berbicara. Ia-pun kelihatan senang.
Ternyata Ia adalah pemilik toko baju di Banjarmasin yang berusia 51 tahun. Suaminya meniggal dunia delapan tahun yang lalu. Sekarang Ia tinggal dengan anak bungsunya yang perempuan dan baru masuk kuliah. Ia pergi ke pulau Jawa untuk mecari barang-barang yang bisa dijual kembali di Banjarmasin dalam rangka mengembangkan usahanya.
Tanpa terasa kami sudah mengobrol selama satu jam lebih. Dengan adanya obrolan-obrolan kami tersebut akupun sudah mulai melupakan rasa sakit hatiku. Dan tanpa sengaja kulit kami sering bersentuhan jika dari obrolan kami itu menimbulkan kelucuan-kelucuan. Tanpa sengaja juga, kadang-kadang tangan kami saling pegang.
Karena angin terasa mulai menusuk kamipun memutuskan untuk menyudahi obrolan dan masuk ke kamar masing-masing. Kami berjalan berbarengan karena kamar kami terletak berseberangan di dek yang sama.
“Terimakasih, Dik Raihan mau ngobrol. Perasaan Ibu sangat senang ngobrol dengan Dik Raihan malam ini” katanya ketika kami sudah berada di depan pintu kamar masing-masing.
“Sama-sama, Bu. Saya juga demikian, perasaan saya juga senang sekali” jawabku sambil meberikan senyum dan menatap matanya.
Kemudian kami memasuki kamar kami masing-masing.
Ketika sudah berada di dalam kamar, aku langung naik ke tempat tidur untuk beristirahat. Sewaktu aku mencoba memejamkan mata terdengar bunyi pintuku diketuk. Dengan malas kulangkahkan kaki menuju pintu untuk mengetahui siapa yang sekarang berada di depan itu.
“Maaf, Dik Raihan. Bisa Ibu minta tolong? Tas pakaian Ibu tidak bisa dibuka!” kata Ibu Mariana ketika pintu sudah terbuka.
“Oh, bisa, Bu.”
Aku mengikuti Ibu Mariana dari belakang. Pandanganku tertuju pada pantatnya yang bergoyang sehingga gairahku kelelakianku mulai menggeliat. Kerongkonganku seperti menahan sesuatu ketika pantatnya lebih bergoyang. Aku berusaha meredam gejolak nafsu yang menggayuti, karena aku belum mengetahui bagaimana sifat seksual Ibu Mariana, agar kontrol diriku tidak hilang begitu saja.
“Bagaimana rasanya, ya?”dalam hatiku.
Setelah menutup pintu kamar, Ibu Mariana mendekati tas pakaiannya. Tanganku langsung berbuat agar tas pakaian tersebut bisa terbuka. Usahaku tidak sia-sia, tidak terlalu membuang waktu lama tas pakaian Ibu Mariana berhasil terbuka.
Karena sangat senang tas pakainnya sudah terbuka, tiba-tiba Ibu Mariana memegang tanganku. Ia menatapku dengan ceria.
“Terimakasih, Dik.”ucapnya sambil menggengam jemari tanganku.
Mata kami saling berpandang. Aku merasakan getaran yang berbeda pada genggaman dan tatapan mata Ibu Mariana. Sekujur tubuhku terasa seperti dialiri arus listrik bertegangan sangat rendah yang diiringi timbulnya gairah kejantananku. Aku remas jari dan telapak tangannya. Ia juga berbuat serupa denganku yang aku lakukan. Keinginanku untuk mencium bibirnya yang sensual itu semakin kuat. Secara perlahan Ia merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Tangannya dilingkarkan dipinggangku. Wajah kami menjadi teramat dekat. Matanya nampak sayu. Bibirnya merekah, semakin membuat membuat aku bergairah untuk melumatnya. Tiba-tiba saja Ia mengecup bibirku. Aku menyambutnya dengan kecupan yang lebih bergairah. Kulumat bibirnya sambil mempermainkan lidahku di dalam muluntnya. Ia membalasnya sambil mendesah.
Setelah sepuluh menit kami saling melumat bibir, secara perlahan tangan kananku memutari bukit kembar di tubuhnya yang masih ditutupi oleh baju dan BRAnya dari luar sambil terus mengulum bibirnya. Semantara tangannya meremes pantatku dengan kuat, tangan kiriku menganngkat bajunya kemudian menyelusup ke bagian dalam behanya. Ia mendesah ketika jariku memilin putting susu kanan-kirinya bergantian.
“Sshhh.. enak, sayang… remas yang kuat, sayang!” bisiknya penuh gairah.
Aku melepaskan pelukan. Kemudian kubuka bajunya secara perlahan. Behanya kuangkat sehingga mencuatlah kedua bukit putih yang sangat menantang. Tangan kananku mendapat giliran untuk meremas dan melakukan gerilya di bukit kembar tersebut. Tangan kiriku melepas pengait behanya yang masih masih melekat. Sementara itu mulutku ikut serta memberikan rangsangan pada bagian telinga dan lehernya yang putih dan jenjang mengairahkan tersebut. Ia juga tidak mau tinggal diam, dibarengi desahan yang kuat tangannya berusaha menarik celana trainingku secara kasar dan berusaha mencari batang kejantananku yang sedari tadi sudah mengeras. Di turunkannya celana dalamku kemudian diusapnya kontolku dengan lembut.
Mulutku turun ke bukit putih dengan puting yang sudah mengeras milik Ibu Mariana ini. Di tekannya kepala dengan tangan kirinya seolah enggan Ia berpisah denga jilatan lidah dan jepitan bibirku pada putting merah yang sudah tegak itu.
“Ohhh… Dik, Raihan. Kamu pintar memberikan rangsangan…. Auhhh…ssss. Ibu jadi sangat bergairah, sayang” rengeknya seperti orang yang sedang mabuk berat.
“Ibu juga pintar membangkitkan gairahku..”sahutku.