Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

CHAPTER 7
ILMU DARI NICKO PART 2



BASTIAN POV

Ban motorku berputar di saat pagi ini. Aku baru saja keluar dari Kafe Loman hendak pulang ke rumah. Pagi ini, jalanan masih sepi dan udara sejuk memberikan kesan damai yang kontras dengan hiruk-pikuk kota saat siang tiba. Namun, keheningan itu terputus ketika dering smartphone-ku mulai berbunyi tanpa henti. Aku yang sedang melaju dengan motorku harus berhenti, memutuskan untuk menepi di bahu jalan yang tenang. Sesegera mungkin, aku mengambil alat komunikasiku dari dalam saku jaket. Layar ponsel menyala, dan nama Riska terpampang di sana. Tanpa ragu, aku menekan tombol untuk menerima panggilannya.

“Hallo cantik …” Sapaku sambil senyum di telepon.

“Oh Bas … Kamu berhasil menyingkirkan Alan. Kamu sungguh luar biasa, Bas. Aku bahagia sekali mendengarnya.” Ucap Riska dengan suara penuh kelegaan.

“Aku juga senang, Ris. Ternyata tidak perlu ada kekerasan. Oh ya, apakah Linda mengabarimu?” Tanyaku ingin tahu tentang respons Linda terhadap situasi tersebut.

“Ya, baru saja aku selesai bicara dengannya. Katanya, dia beruntung bisa mengenalmu.” Respon Riska mengonfirmasi bahwa Linda juga merasakan keberhasilan tersebut.

“Dia seksi, Ris. Ha ha ha …” Kataku sambil tertawa geli, mencoba menyemarakkan suasana.

“Hei … Seksian aku lagi … Hi hi hi …” Ucapnya sambil tertawa riang, menanggapi lelucon dengan keceriaan yang khas.

Aku dan Riska melanjutkan obrolan untuk beberapa saat. Suara hangatnya di seberang sana seolah-olah kami berada dalam satu ruangan meskipun terpisah oleh jarak. Topik obrolan kami merayap pada kejadian semalam di rumah Alan dan Linda, membahas bagaimana rencana yang kami rancang akhirnya berhasil, dan Alan tidak lagi menjadi ancaman bagi Linda. Tak lama kemudian, Riska merasa cukup dengan percakapan kami. Sambungan telepon terputus, meninggalkan keheningan di ujung sana.

Aku kembali melajukan motorku, membiarkan deru mesin menyatu dengan sejuknya udara pagi. Motorku bergerak pelan, seperti biasa, karena aku memang tak suka naik motor dengan cepat. Saat itu, jalanan lumayan sepi. Selain beberapa motor yang berpapasan tadi, melintas juga sebuah mobil sedan tua dan dua buah motor yang berjalan hampir beriringan denganku, tak ada yang lain. Perjalanan di pagi hari Sabtu ini cukup menyenangkan karena tidak ada kemacetan. Udara segar pagi memberikan semangat tersendiri, membuat perjalanan pulang dari Kafe Loman semakin nyaman.

Perjalanan pulang dari Kafe Loman berlangsung dengan tenang. Hingga tak terasa, aku sudah berada di wilayah tempat tinggalku. Saat aku melewati rumah Nicko, kulihat pemuda itu melambai-lambaikan tangannya. Senyum tipis terukir di wajahnya yang familiar. Segera saja, aku membelokkan motorku masuk halaman rumahnya. Motor berhenti dengan halus, dan aku turun sambil membalas senyuman Nicko yang sudah menanti di depan pintu.

Aku menanyakan pada Nicko, "Ada apa memberhentikan perjalananku, Nicko?" dengan rasa penasaran yang tak tertahankan di wajahku.

Nicko tersenyum misterius, seakan menyimpan rahasia yang ingin dia ungkapkan. "Ssebaiknya kamu masuk dahulu. Nanti juga akan tahu," jawabnya sambil mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya.

Tanpa ragu, aku mengikuti langkah Nicko masuk ke dalam rumahnya, menghirup harum aroma terapi yang menyambut di udara. Nicko membawaku ke ruang tengah rumahnya, tempat yang penuh kenangan saat pertama kali aku datang ke rumah ini. Saat memasuki ruang tengah, mataku terbelalak dan denyut darahku langsung meningkat. Di sofa, aku melihat Maya sudah hampir telanjang, yang tersisa hanyalah bra dan celana dalamnya yang berwarna serupa. Kejutan yang tak terduga itu membuatku berdecak kagum dan libidoku seakan terhentak begitu saja.

“Wow! Menakjubkan …” Kataku dengan mata menatap keindahan dan keseksian wanita cantik itu.

“Hai pejantanku …” Senyum manisnya semakin membuatku terlena.

“Sepertinya sudah siap nih.” Godaku sambil menghampiri wanita setengah telanjang itu.

“Aku selalu siap dengan dua pejantan tangguhku.” Godanya sambil menarik tanganku hingga aku terduduk di sampingnya.

“Saatnya praktek …!” Seru Nicko yang duduk di sebelah Maya sehingga wanita cantik dan seksi ini diapit oleh aku dan Nicko.

“Oh ya?” Mataku menatap Nicko.

“Sebaiknya kita di tempat tidur, supaya lebih nyaman.” Ajak Nicko sambil memberi kode padaku.

“Aww!!!” Maya memekik kaget saat aku menggendongnya dengan gaya bridal.

Aku membawa Maya ke kamar tidur yang ditunjuk Nicko. Meskipun suasana begitu berantakan, untung saja masih tercium wangi yang mengharumkan ruangan. Aku yakin ini bukan kamar tidur Maya, tetapi tanpa bertanya banyak, aku baringkan tubuh Maya di atas tempat tidur yang lumayan rapi. Tiba-tiba, Nicko dengan sigap menarik celana dalam Maya, dan si pemilik celana dalam tidak menolaknya, bahkan membantu Nicko dengan menaikkan sedikit pinggulnya. Pandangan aku dan Nicko bertemu, dan di mata kami terpancar kesepakatan yang aneh.

Sambil tersenyum, Nicko mulai melepas seluruh pakaiannya. Sementara itu aku membantu melepaskan bra yang dikenakan Maya. Sungguh, tubuh Maya sangat mengundang hasrat kelaki-lakianku. Begitu tubuhnya yang ramping berisi berada di hadapanku, tak bisa kuabaikan lagi keindahan yang terpancar dari setiap lekukannya. Dadanya dihiasi oleh sepasang buah dada yang indah dan besar, memikat pandanganku dengan keanggunan yang tak terbantahkan. Kulitnya putih dan mulus, seolah-olah diukir dengan teliti oleh sang seniman, tanpa cacat. Aku tak bosan menikmati kemolekan tubuh Maya, seakan-akan terhipnotis oleh kecantikan yang ada di depan mataku.

Nicko mendorong perlahan tubuh Maya dan mengatur posisinya hingga nyaman melakukan eksekusi. Kulihat kejantanannya yang besar dan panjang siap menembus bibir vaginanya yang lembut. Tak lama, batang penis Nicko mulai menelusup ke dalam liang nikmat itu diiringi oleh desahan pelan Maya pun matanya ikut terpejam rapat merasakan vaginanya penuh oleh milik Nicko yang besar. Nicko mulai menggerakan batang kerasnya, keluar-masuk dengan ritme sedang. Tak Lama, Maya pun mengangkat kakinya sampai melewati bahu Nicko dan menggantung kakinya di sana. Dengan begitu Nicko semakin leluasa menggerakan batang kejantanannya dan membenamkan dalam-dalam di liang vagina Maya. Perlahan batang ereksi Nicko diselimuti lendir putih tebal. Rupanya cairan nafsu Maya cukup banyak dan kental.

“Memek ini enak sekali, Bas. Aku tak akan bosan menggalinya.” Terdengar suara Nicko memuji kelezatan vagina Maya.

“Ya, terus gali Nick.” Kataku sambil melucuti pakaianku sendiri.

“Aaahh … Aaahh … Aaahh …” Maya hanya bisa mendesah-desah karena rojokan rudal Nicko.

Nicko terus mengenjotkan batang kemaluannya, sementara itu aku duduk bersila di sebelah Maya. Nicko pun menjelaskan letak titik urat seks padaku sambil terus bergerak. Aku perhatikan dengan seksama letak urat seks itu dan cara memijatnya. Nicko memberi tahuku jangan sampai salah memilih urat. Satu hal lagi, pemijitan dilakukan saat wanita pasangan sedang orgasme. Nicko terus menggenjot sambil mengajariku teknik bercintanya.

Gerakan batang kejantanan Nicko semakin cepat bergerak maju mundur dan keluar masuk di dalam jepitan liang vagina Maya, sampai terdengar suara becek seiring dengan suara benturan alat kelamin mereka. Sehingga tak lama kemudian, tubuh Maya kembali mengejang sambil memeluk erat pinggul Nicko.

“Aaaaaaahhhhhh… Aakkkuuuuu… Keluuuuaaaarrrr… Aaaaaaaahhhhh…..!!!” Teriak Maya mendapatkan orgasmenya.

Saat itulah aku fokus melihat pergerakan tangan Nicko yang memijat bagian pinggul Maya dengan kedua jempolnya sambil terus bergerak menusuk-nusukan kejantanannya. Alhasil, Maya terus menggelepar-gelepar kenikmatan, terus mengerang-erang, seakan tak henti dilanda kenikmatan. Berselang lima menit kemudian, Maya teriak lagi memberi tanda kalau dirinya orgasme lagi. Tubuhnya bergetar dan matanya tinggal putihnya saja.

“Sini, Bas … Gantiin aku … Pijat sini, pijat pinggulnya di sini. Rasakan urat-uratnya.” Kata Nicko sambil membawa tanganku ke pinggul Maya.

Setelah kedua jempolku tepat di tempatnya, Nicko langsung mencabut penisnya dari vagina Maya. Kini aku menggantikan posisi Nicko dan langsung saja aku tenggelamkan kejantananku di liang senggama Maya yang menganga, basah dan hangat tanpa hambatan. Aku mulai menyetubuhinya dengan gerakan lambat dan panjang sambil merasakan denyutan pelan urat seks di jempolku. Penisku langsung terlumuri lendir kenikmatan Maya hingga perjalananku begitu lancar, begitu licin. Sementara itu, Maya tidak henti-hentinya mengerang dan mengoceh atas rasa nikmat yang ia rasakan.

Setelah sekian lama, aku bisa melihat dan merasakan Maya mengalami orgasme demi orgasme yang jedanya tidak begitu panjang, atau yang sering disebut dengan multiple orgasme. Sekarang aku percaya dengan perkataan Nicko. Pada saat yang bersamaan aku sangat kagum dengan daya tahan Maya yang masih bisa mengimbangi permainanku walaupun entah sudah berapa kali dia merasakan puncak kenikmatannya. Sampai pada satu titik, aku harus mencabut batang penisku keluar dari lobang kewanitaannya. Spermaku menyembur seperti peluru yang ditembakkan hingga membasahi perut Maya.

“Hosshh … Hoosshh … Hoosshh …” Aku coba mengatur nafas sambil menikmati sisa-sisa kenikmatanku.

“Aaaaahhh … Enak sekali …” Maya berucap sambil terkulai lemas di atas ranjang.

“He he he … Gimana? Kamu sudah bisa?” Tanya Nicko sambil tertawa ringan.

“Ya …” Jawabku singkat karena masih mengatur laju pernapasanku.

“Kamu harus sering berlatih, Bas …” Ujar Nicko sambil mengusap-usap kening Maya yang sedang terpejam.

“Ya, pasti.” Jawabku sambil tersenyum.

Dan hari itu, kami bertiga melanjutkan permainan panas kami. Maya aku gilir dengan Nicko bergantian, namun kali ini hanya aku yang melakukan pijatan sakti pada Maya. Nicko tidak melakukannya karena jika itu dilakukan Maya akan pingsan. Hingga siang menjelang, kami menyudahi permainan ranjang kami. Membiarkan Maya tidur kelelahan oleh kenikmatan. Sementara aku dan Nicko membersihkan badan di kamar mandi, kemudian ngobrol di halaman belakang sambil menikmati segelas kopi panas.


#####



RISKA POV

Pagi ini, hampir saja teriakan kegirangan meluncur dari bibirku ketika Linda menelepon dan memberitahuku bahwa Bastian dan temannya yang bernama Nicko telah berhasil membebaskannya dari genggaman Alan. Dalam keceriaannya, Linda menceritakan detail kejadian semalam yang membuat Alan berjanji untuk melepaskan dirinya. Saat itulah, Linda mengungkapkan senjata rahasia yang membuat Alan tak berdaya yaitu ular. Kabar ini membuat dadaku berdesir sekaligus memunculkan senyum kemenangan di wajahku. Ular, hewan yang paling menakutkan bagi Alan, kini menjadi alat pembebas yang efektif. Pikiranku terus membayangkan bagaimana Alan, yang selama ini merasa kuat dan tanpa tanding, menjadi takut dan rentan karena kehadiran ular. Sungguh sebuah balas dendam yang cerdas dan tak terduga. Linda, yang sebelumnya berada dalam ancaman serius, kini membalikkan keadaan dengan senjata yang begitu sederhana namun mematikan.

Setelah Linda mengakhiri panggilan teleponnya, tanpa menunggu waktu lama, aku segera menelpon Bastian. Dengan jantung berdegup cepat, aku menunggu beberapa detik yang terasa begitu panjang hingga akhirnya panggilan teleponku dijawab. Suara Bastian terdengar di seberang sana, memberikan kelegaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

“Hallo cantik …” Sapa Bastian dengan nada yang penuh energi, membuatku merasa lebih tenang.

“Oh Bas … Kamu berhasil menyingkirkan Alan. Kamu sungguh luar biasa, Bas. Aku bahagia sekali mendengarnya.” Kataku sambil tersenyum sumringah, rasa lega terpancar dari suara dan kata-kataku.

“Aku juga senang, Ris. Ternyata tidak perlu ada kekerasan. Oh ya, apakah Linda mengabarimu?” Tanya Bastian dengan penuh antusias menantikan cerita lebih lanjut.

“Ya, baru saja aku selesai bicara dengannya. Katanya, dia beruntung bisa mengenalmu.” Aku merespons dengan suara yang penuh kehangatan.

“Dia seksi, Ris. Ha ha ha …” Mulai otak mesumnya menghiasi percakapan kami, disertai tawa ringan yang menggelitik suasana.

“Hei … Seksian aku lagi … Hi hi hi …” Kataku sambil tertawa ringan, merespons dengan nada jenaka yang mengisyaratkan pengakuan humor tentang diriku sendiri.

Lewat saluran suara yang jernih, kami menyusuri setiap detil peristiwa tersebut dengan cermat. Bastian memberikan sudut pandangnya, sementara aku berusaha merangkai potongan-potongan informasi itu menjadi gambaran yang lebih utuh. Saat obrolan mencapai puncaknya, aku merasa puas bahwa kami telah menggali setiap aspek kejadian dengan seksama. Dengan rasa lega, aku menyimpulkan perbincangan itu dan menutup teleponku dengan lembut. Suara "klik" kecil dari tombol mati menyudahi interaksi kami melalui saluran suara.

Saat mendengar kabar bahwa Linda telah berhasil membebaskan diri dari kekuasaan sewenang-wenang Alan, hatiku berbunga-bunga. Senang melihat bahwa teman baikku tidak lagi terbelenggu oleh kontrol yang tidak adil. Sama halnya, ketika kutahu Bastian juga terlepas dari ancaman Alan, kelegaan yang amat mendalam meliputi diriku. Bastian, pria yang memikat hatiku, akhirnya bebas dari bayang-bayang kejahatan yang merayap di sekitarnya.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, aku tak bisa menahan diri untuk tidak merenung tentang Bastian lebih dalam. Dia adalah pria yang menarik dan menggoda, namun sayangnya, dia adalah petualang yang tak pernah bisa diikat pada satu tempat. Memikirkan tentang Bastian, aku menyadari bahwa dia mungkin bukanlah tipe pria yang akan setia pada satu wanita. Meski hatiku cenderung padanya, namun kenyataannya membuatku berpikir.

Dalam pertimbanganku, aku menyimpulkan bahwa membiarkan Bastian menjalani hidupnya dengan kebebasan adalah langkah yang bijaksana. Meskipun ia menyentuh hatiku dengan cara yang unik, tetapi mengetahui sifat bebas dan petualangnya membuatku sadar bahwa mungkin lebih baik bagi kesejahteraan pikiranku untuk tidak terlalu terikat dengannya. Dalam renunganku, aku berjanji untuk fokus pada kebahagiaan dan kebebasanku sendiri, tanpa membiarkan bayang-bayang Bastian meresahkan pikiranku.

Dalam suasana tenang di rumah yang sepi, tanpa kehadiran Heri yang tengah asyik bermain golf dengan teman-temannya, aku duduk sendiri di ruang tamu, membenamkan diri dalam lamunan yang tak kunjung reda. Pikiranku melayang jauh, mencoba mencari jawaban bagaimana caranya melepaskan Bastian dari kenangan dan perasaan emosional yang masih menghantui. Meskipun tekadku kuat untuk menjauhkan diri dari Bastian, namun kenangan itu begitu melekat, sulit untuk dihapuskan. Aku tahu bahwa langkah ini bukanlah hal yang mudah, tetapi aku bertekad untuk mengembalikan ketenangan dalam hidupku.

Namun, ketenangan itu sirna dengan cepat ketika pintu rumah terbuka dengan keras, memecah sunyi yang melingkupi rumah ini. Dengan cepat aku menoleh, dan wajahku segera membuat ekspresi keterkejutan dan ketakutan yang mendalam. Seseorang berdiri di ambang pintu, dan detik berikutnya, kekagetanku semakin menjadi-jadi saat aku mengenali wajahnya. Wajah itu menyeringai, dan rasa merinding menghantam seluruh tubuhku. Pemilik wajah itu tak lain adalah teman Heri yang sangat tidak aku inginkan. Dia adalah sumber masalah dan hidup di dunia yang gelap. Ingatanku memanggil kenangan akan situasi-situasi sulit yang pernah melibatkan dirinya. Kini, kehadirannya di ambang pintu rumahku menyiratkan bahwa masalah baru kembali menghampiri, dan aku harus siap menghadapi badai yang akan datang.

"Sudah lama kita tidak bertemu, Riska." Ucap pria bertubuh tinggi besar itu dengan suaranya yang seakan merasuk ke dalam jiwa.

“Ma..mau apa kamu ke..kesini?” Tanyaku panik.

“Aku mencari suamimu. Dimana dia?” Pria itu menjawab sekaligus bertanya.

“Di..dia tidak sedang di ru.***mah. Kembalilah saat di..dia pulang.” Kataku terbata-bata karena ketakutan.

“Tidak baik mengusir tamu, Ris … Bukankah sebaiknya tamu itu diundang masuk dan ditawari minum.” Ucapnya santai.

Burhan adalah nama pria yang kini dengan santainya masuk ke dalam rumahku. Pandangan matanya yang tajam menyusuri wajah dan tubuhku. Aku, terperangah, sampai berdiri dan mencoba menghindarinya saat Burhan mencoba duduk di sebelahku. Sesuatu yang tidak biasa terasa dalam kehadirannya, dan aku merasakan kekhawatiran menyergap dalam diriku. Matanya memandangku tajam, seakan-akan membaca setiap pikiran yang mencoba terbentuk di benakku. Sungguh, kehadirannya membawa serta aura tekanan dan ancaman.

“Pergi dari rumahku! Sebelum aku panggil polisi.” Aku coba mengancam.

“He he he … Yang bicara seperti itu harusnya aku, karena rumahmu dan seisinya sekarang sudah menjadi milikku.” Ucap Burhan lalu mengeluarkan kertas yang digulung kemudian dia meletakkannya di atas meja. “Ambilah dan bacalah!” Ucap Burhan tenang, namun tatapannya penuh dengan ancaman yang menggumpal di udara.

Aku memandang kertas tersebut, jantungku berdegup cepat sebagai respons atas kebingungan yang meliputi pikiranku. Dengan ragu, aku mengambil kertas itu dan membacanya dengan gemetar. Isinya mengandung pernyataan bahwa Heri, suamiku, telah memberikan hak kepemilikan rumah ini sebagai jaminan hutang kepada Burhan. Rasa tak percaya dan kebingungan menyelimuti pikiranku. Jiwaku seakan tenggelam dalam lautan keputusasaan, dan perasaan terluka serta ditipu menyatu dalam gelombang yang melanda hatiku. Sambil mencoba meresapi setiap kata di atas kertas, aku merasakan dunia di sekitarku runtuh. Ini bukan hanya tentang kehilangan rumah, melainkan juga tentang kehilangan kepercayaan dan keamanan.

Heri melakukan lagi perbuatan yang telah aku ampuni. Dia mengulangi lagi kesalahan yang sama. Dulu, ketika rumah ini terancam, aku bisa menyelamatkannya dengan menjual warisanku, tetapi sekarang aku sudah tidak punya lagi apa-apa yang bisa kujual. Semua sudah terkuras untuk membayar hutang dan melunasi kerugian akibat perjudian Heri. Perlahan, amarahku merayap menjalar ke dada yang penuh sesak. Hingga air mataku keluar bersama takdir yang telah memperkenankan kepedihan. Rasa sayangku luntur karena kejadian berulang ini. Aku sudah memberikan kesempatan dan ampunan, tetapi Heri sepertinya tidak pernah belajar dari kesalahannya. Dengan kejadian ini, aku semakin sadar dengan keakhiranku. Semua yang aku miliki hancur, termakan oleh kebodohan dan keegoisan.

“Dengan sangat menyesal, segera kosongkan rumahmu ini, karena Heri sudah menunda pembayaran hutangnya selama satu bulan.” Ucap Burhan terdengar dingin.

“Apa?!” Pekikku sangat terkejut.

“Maaf Riska … Rumahmu ini sudah beralih padaku karena hutang suamimu, itu pun masih kurang dan aku akan menagihnya lain kali saja. Aku hanya ingin menyita rumahmu dulu baru nanti aku akan bicarakan sisanya dengan suamimu.” Burhan begitu dingin.

"Tidak... Ini rumahku..." kataku serak karena aku berusaha menahan air mata agar tidak lebih banyak keluar.

"Hhhmm... Bagaimana jika aku menawarkan sesuatu padamu agar rumahmu tidak jadi aku ambil?" ucapnya, dan tiba-tiba saja bulu kudukku merinding. Aku sangat tahu apa yang akan dia tawarkan.

“Ti..tidak … Aku tidak mau … Hiks … Hiks … Hiks …” Tangisku pun pecah.

“Kamu perlu tahu, Riska … Suamimu sekarang berada di rumahku. Dia aku tahan dan dia sudah memberikan tubuhmu untukku sebagai ganti hutang-hutangnya padaku. Suamimu sudah tidak peduli lagi padamu, Riska. Buat apa lagi kamu pertahankan suami seperti itu?” Burhan coba merayuku.

“A..aku akan mengusahakan membayarmu. Be..berikan aku waktu …” Pintaku memohon belas kasih.

“Percayalah … Kamu tidak akan bisa membayarnya. Hutang suamimu itu 25 milyar lebih. Dari mana kamu akan membayarnya?” Ucap Burhan sambil menatap tajam mataku.

Hatiku berdegup kencang ketika kabar mengenai hutang Heri mencapai 25 milyar pada Burhan mencapai telingaku. Sejenak, dunia terasa berhenti berputar, dan rasa keterkejutan menghantam diriku seperti gelombang ganas. Pandangan mataku melotot tidak percaya ke arahnya, angka tersebut adalah mimpi buruk. Namun, ketika realitas menghantamku dengan kekuatan penuh, aku merasa tubuhku lemah, dan kedua lututku mulai gemetar.

"25 milyar?" bisikku dengan suara yang hampir tak terdengar, coba mencerna angka yang begitu besar.

Aku berusaha berdiri tegak, tetapi kaki-kakiku terasa lemas. Tubuhku terasa berat, dan aku merasa pusing seperti terombang-ambing di lautan keterkejutan. Rasa tak percaya menciptakan kisah dramatis yang menyelimuti saat ini, dan aku merasakan diriku tenggelam dalam gelombang emosi yang tak terkendali. Tiba-tiba, kekuatan dalam diriku meredup, dunia seakan-akan memudar di hadapanku. Aku merosot ke lantai, dan seketika, kesadaran sirna. Pingsan menghampiri dengan cepat, membenamkanku ke dalam abu hitam kehilangan.


#####



BASTIAN POV

Aku meluncur dari rumah Nicko sekitar pukul 16.00 sore. Langsung aku putuskan untuk pulang ke rumah, tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang berharga. Begitu sampai, aku langsung menuju kamar mandi, membasuh badan untuk kedua kalinya karena tadi di rumah Nicko aku merasa belum puas membersihkan diri. Dengan cepat, aku berpakaian rapi, menyiapkan diri untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menunggu. Setelah itu, aku membuka laptop di kamar dan dengan semangat mengupload file kerjaanku. Pekerjaan itu harus segera diselesaikan dan dilaporkan kepada atasan esok pagi. Aku harus menyelesaikannya sebaik mungkin, dan aku tidak ingin mengecewakan ekspektasi yang sudah ditetapkan.

Aku mulai mengerjakan pekerjaanku dengan penuh konsentrasi, tenggelam dalam alur pikiran yang berusaha memecahkan setiap permasalahan yang ada. Saat itu, dunia di sekitarku hanyalah layar laptop dan catatan-catatan kerja yang tersebar di meja. Begitu mendalam keseriusanku, tiba-tiba, suasana tenang itu terusik. Smartphone di atas meja kerjaku berdering, memotong konsentrasi. Dengan cepat, aku mengambil ponselku dan melihat layar. Ternyata, itu adalah panggilan dari Linda yang berusaha menghubungiku.

“Hallo …” Sapaku seramah mungkin.

“Bas, aku neleponin Riska dari siang, kok gak nyambung-nyambung ya? Ponselnya mati. Apa Riska ada denganmu?” Tanya Linda di seberang sana.

“Gak ada tuh … Aku lagi di rumah sendirian.” Jawabku yang juga merasa heran, tidak biasanya Riska mematikan ponsel begitu lama.

“Oh ya sudah … Aku akan ke rumahnya saja.” Ucap Linda terdengar putus asa.

“Gitu lebih bagus. Mungkin ponselnya rusak.” Kataku.

“Ya, Bas … Makasih ya, Bas … Bye …”

“Bye …”

Aku merenung sejenak akan keanehan Riska yang alat komunikasinya tidak aktif dalam waktu yang lama. Berbagai pikiran negatif mencoba merayap ke benakku, menciptakan bayangan-bayangan buruk. Aku segera menepis prasangka buruk itu, meyakinkan diriku sendiri bahwa mungkin ponselnya rusak atau dia hanya lupa mencarger. Aku pun kembali fokus pada pekerjaanku, mencoba meresapi setiap kata dan angka yang terpampang di layar laptop. Rasanya seperti berada di tengah samudra ide-ide yang tak terbatas, memerlukan usaha ekstra untuk menjelajahinya. Pekerjaan kali ini mendorong batasan kemampuanku, tetapi aku tahu aku harus menyelesaikannya.

Sampai akhirnya, setelah waktu yang terasa seperti seabad berlalu, pekerjaanku selesai. Aku baru sadar bahwa hari sudah gelap, dan cahaya senja yang tadinya menyinari ruangan, kini digantikan oleh gemerlap lampu-lampu jalan yang menyala di luar jendela. Aku segera menyalakan lampu-lampu di rumah, membubuhkan sinar terang untuk melawan kegelapan malam yang merayap pelan. Ruangan pun segera dipenuhi cahaya. Setelahnya, aku pergi ke dapur lalu membuat segelas kopi, menikmati ritual yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitasku.

Rencananya, aku akan makan malam di luar setelah ngopi. Mungkin aku akan mengajak Maya dan Nicko menemaniku makan malam. Pemikiran itu membuat senyum mengembang di wajahku. Rasanya seperti ide yang sempurna untuk menghabiskan malam ini dengan mereka. Saat sedang menikmati kopiku, lagi-lagi smartphone-ku mengganggu ketenanganku. Dan lagi-lagi Linda yang menghubungiku. Aku meraih ponselku dengan sedikit keheranan, bertanya-tanya apa yang akan dia sampaikan kali ini.

“Hallo …” Sapaku lagi.

“Bas … Kok rumahnya kosong dan gelap. Aku jadi khawatir.” Ujar Linda membuatku terperanjat.

“Masa sih? Coba kamu periksa lagi!” Tiba-tiba saja hatiku merasa tidak enak.

“Ponselnya masih mati, dan rumahnya gelap Bas … Aku takut disangka maling.” Ungkap Linda terdengar panik.

“Kamu coba minta tolong sama tetangga untuk memeriksa rumahnya.” Aku coba memberinya saran.

“Aku malu, Bas … Lagi pula gak ada yang lewat satu orang pun.” Ujar Linda.

“Ya sudah … Kamu tunggu di mobilmu. Aku akan segera ke sana.” Kataku.

“Oke …” Sahut Linda dan sambungan telepon terputus.

Dengan cepat aku berlari ke garasi dan memburu motorku, si hitam yang selalu setia menunggu di setiap panggilan. Aku meraih helm dan menatap kendaraan kesayanganku itu, merasakan kebersamaan dan kepercayaan yang tak terucapkan. Tanpa ragu, aku memasang helm dan meloncat dengan lincah ke atas motor. Langsung kuajak motor melaju kencang menyusuri jalan-jalan yang seakan memanggil-manggil. Aku segera membesut motorku, merasakan getaran mesin yang membahana di antara paha. Aku memacu kecepatan di jalanan, angin malam yang sejuk membelai wajahku. Lampu-lampu kota melintas cepat di sisi, membentuk coretan cahaya yang berkelebatan. Rasa was-was membuat hatiku berdebar, seakan menyatu dengan dentuman mesin yang menggelegar.

Sekitar setengah jam perjalanan, akhirnya aku sampai di rumah Siska. Motorku berhenti persis di depan mobil Linda. Saat aku turun dari motor, aku melihat Linda turun dari mobilnya. Tatapan mata kami bertemu sejenak, menggambarkan kegelisahan dan ketidakpastian.

“Kita cek rumahnya.” Ajakku pada Linda yang dijawab dengan anggukan kepala.

Saat aku bergerak beberapa langkah, aku teringat Heri. Segera saja aku ambil smartphone-ku dari saku celana dan langsung saja aku menghubungi Heri. Rasa penasaran memenuhi diriku, berharap bisa mendapatkan jawaban yang membantu melegakan hati. Namun, sialnya, ponsel Heri pun mati, artinya Heri pun tak bisa dihubungi. Saking penasarannya, aku coba beberapa kali menelepon Heri, tetap saja nihil. Perasaanku semakin tak menentu. Suatu keanehan kedua ponsel mereka mati secara bersamaan. Apakah ini hanya kebetulan atau ada sesuatu yang lebih besar dan tak terduga sedang terjadi? Rasa gelisah pun semakin melilit diriku.

“Heri tak bisa dihubungi.” Kataku pada Linda.

“Aku juga sudah mencobaya. Ponselnya dia juga mati.” Sahut Linda dengan wajah cemas.

Aku dan Linda berjalan bersama-sama ke teras rumah Riska. Dengan langkah yang hati-hati, kami berjalan menuju pintu utama. Dengan penerangan dari ponsel, aku coba memeriksa pintu utama. Saat aku memutar gagang pintu, aku cukup kaget mengetahui pintu dalam keadaan tidak terkunci. Rasa aneh melintas di benakku, membuatku semakin waspada. Pintu pun terbuka, ruangan gelap dan sunyi, hanya lampu ponsel yang menerangi. Aroma keheningan menyelinap di antara kami. Dengan langkah berani, kami masuk ke dalam rumah, merasakan ketegangan yang semakin terasa. Aku mencari saklar lampu dan menghidupkan lampu bagian teras sekaligus ruang tamu. Cahaya terang seketika menyinari ruangan, mengungkapkan setiap sudut yang sebelumnya tersembunyi dalam kegelapan.

“Ris … Riska … Heri …” Tiba-tiba Linda berteriak memanggil yang si empunya rumah.

“Riska … Heri …” Aku pun ikut memanggil-manggil penghuni rumah ini.

Tak ada respon dari Riska dan Heri walaupun aku dan Linda memanggil-manggil mereka dengan keras. Suara panggilan kami terdengar seperti gema. Ketidakpastian mulai menggelayuti pikiran kami, menciptakan rasa khawatir yang semakin nyata. Kami melanjutkan pencarian ke setiap sudut rumah sambil menyalakan semua lampu. Namun, meski setiap sudut rumah terang benderang, tetap saja tak ada tanda-tanda keberadaan mereka. Kami terus memanggil dengan harapan mendengar jawaban, namun ruangan hanya memantulkan suara hampa. Setelah merasa semua tak ada yang terlewati, aku dan Linda berkesimpulan bahwa Riska dan Heri memang tidak berada di rumahnya. Kejadian ini menjadi semakin misterius, menyeret perasaan ke dalam kegelisahan.

“Apakah kamu merasakan keanehan?” Tanyaku pada Linda.

“Pastilah … Ini sangat aneh. Rumah seperti ditinggal begitu saja. Alat komunikasi mati dalam waktu yang lama. Ini pasti terjadi apa-apa pada mereka.” Jawab Linda dengan nada paniknya.

“Kita tak bisa melapor polisi sebelum dua puluh empat jam.” Kataku kebingungan sendiri.

“Jadi gimana dong?” Tanya Linda benar-benar khawatir.

Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan. Mereka tiba-tiba hilang. Rasa cemas dan kekhawatiran memenuhi diriku. Aku berjalan-jalan mengelilingi setiap sudut rumah sambil berpikir, mencoba mencari jejak atau petunjuk yang mungkin bisa membantu menjelaskan kejadian ini. Namun, setiap sudut rumah tetap sunyi tanpa keberadaan mereka. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ya, itulah cara paling efektif menurutku. Langsung saja aku menelepon Nicko. Nada sambung terdengar beberapa kali, namun tak diangkat. Aku terdiam dengan hati mengganjal. Sampai akhirnya nada sambungku terhenti. Aku coba menghubungi Nicko lagi, sialnya kejadian tadi terulang, Nicko tak mengangkat panggilanku.

“Kita lapor polisi saja.” Kata Linda sambil menghampiriku.

“Polisi tidak akan memproses kalau belum 24 jam.” Jawabku.

“Jadi gimana dong?” Tanya Linda cemas.

“Kamu pulang saja. Biar aku yang ngurus.” Kataku sambil menarik tangan Linda keluar rumah.

Sesampainya di luar rumah Riska, aku memberanikan diri mengetuk rumah tetangga sebelah. Seorang pria paruh baya membukakan pintu, dan langsung saja aku mengabarkan kalau Riska dan Heri tidak ada di rumahnya yang tidak terkunci. Aku juga mengatakan kalau ponsel mereka berdua mati sejak siang tadi. Rasa kekhawatiran tampak di wajah pria paruh baya itu, dan aku segera memberitahukan kecurigaanku bahwa Riska dan Heri mungkin tidak dalam keadaan baik-baik saja. Akhirnya, pria paruh baya itu menghubungi security kompleks, dan tak lama kemudian beberapa security datang. Sekali lagi aku menjelaskan kronologis kejadian pada petugas security. Mereka tampak serius dan bersedia menjaga rumah Riska dan Heri.

Setelah petugas security bersedia menjaga rumah Riska dan Heri, aku dan Linda pergi meninggalkan lokasi. Linda tentu saja pulang ke rumah orangtuanya, sementara aku melaju kencang ke rumah Nicko. Rasa cemas dan ketidakpastian semakin menghantui perasaanku, dan satu-satunya harapanku adalah menemukan jawaban di rumah Nicko.

BERSAMBUNG
 
Ini apa ada campuran kopi suhu @Kisanak87 dalam peracikan menunya

atau suhu @Kisanak87 terkontaminasi otak omes suhu @Nice4

Ane ikutan penasaran urat seks ada apa tidak

Mohon bantuan bimbibganx dalam mencari dan melakukan olah pijat ultimate orgasm
aku juga gak paham om.. mungkin Om Suhu @Nice4 yang bisa kasih kuliah 4 sks untuk masalah ini..:Peace:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd