Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Pendekar Elang Salju

Bab 35

Tubuh pemuda tambun itu dengan ringan menadahi datangnya setiap serangan Setan Nakal yang telah dilapisi dengan ‘Ilmu Sakti Api Neraka Biru’ tingkat ke tujuh.

“Mampus kau!”

Brakk! Desss!

Beberapa pukulan maut tepat mendarat di dada Joko Keling, murid tunggal si Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
Tapi pemuda itu tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri, kokoh bagai batu karang.

“Mampus apa'an? Aku masih sehat tuch!?” seru Joko Keling sambil membalas serangan lawan dengan 'Tinju Dewa Api' yang sedari tadi sudah siap digunakan, tepat mendarat di dada Setan Nakal lewat pukulan lurus ke depan.
Kali ini pemuda Pewaris Sang Air itu tidak menggunakan 'Ilmu Silat Pulau Kura-Kura' warisan gurunya, tapi langsung mengerahkan pukulan-pukulan sakti yang bisa membawa maut.

Dess! Derr ... !

Setan Nakal terjajar beberapa langkah ke belakang, tapi tidak keluar dari dalam kubah api yang telah terbentuk sejak awal pertarungan mereka berdua.

“Bagaimana? Enak tidak sentuhan lembut 'Tinju Dewa Api'-ku?” Ucap Joko Keling sambil berdiri berkacak pinggang, lalu tanpa menoleh ia pun berteriak lantang,
“Pewaris Sang Api! Cepat susul Ketua ke arah selatan.
Bantu ketua memburu si Topeng Tengkorak Emas! Biar manusia mungil ini aku yang menyelesaikan!”
Lalu tanpa menunggu jawaban dari si gadis berbaju merah, ia segera mengambil sikap untuk mengerahkan ‘Tapak-Tapak Dewa Api’.

“Lebih baik kau turuti apa permintaannya! Siapa tahu orang yang disebutnya ketua itu memang membutuhkan bantuanmu.” Usul Nawala, seolah tahu apa yang dipikirkan Ayu Parameswari, ia pun berkata.
“Biar mereka, aku yang menjaganya.”

“Baiklah kalau begitu.”

Segera saja murid Naga Bara Merah berkelebat ke jurusan selatan dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh 'Naga Melangkah Di Atas Awan'-nya dengan kecepatan tinggi.

Blass ... !

Sekejap saja, hanya terlihat sebentuk titik merah di kejauhan.

Sementara itu, busur pertarungan kini terentang kuat antara murid Kura-Kura Dewa Dari Selatan dengan Setan Nakal yang merupakan salah satu pemilik Rajah Penerus Iblis.

“Setan belang! Kura-kura dari mana kau?” tanya Setan Nakal sambil mengerahkan ilmu gabungan antara ‘Ilmu Sakti Api Neraka Biru’ tingkat ke tujuh dan 'Ilmu Sakti Jari Bayi'.

Kembali pancaran hawa panas bagai berada di tungku api yang kian membara semakin membuncah.
“Bocah keparat! Kita tentukan saja dalam satu kali serangan! Kau yang hidup atau aku yang mati!”

“He-he-he! Boleh ... boleh ... aku sendiri juga tidak mau bertele-tele bertukar jurus denganmu! Bikin sakit tulang-tulangku saja,” kata Arjuna Sasrabahu alias Joko Keling sambil terus meningkatkan kekuatan ‘Tapak-Tapak Dewa Api’ setingkat demi setingkat.

Jwoss ... Swoshh ... !!

Meski sama-sama memiliki tenaga dalam berhawa panas, akan tetapi mutu dari tenaga dalam mereka jelas beda jauh.
Jika Joko Keling memiliki tenaga sakti yang dipupuk sedari awal ia menjadi murid tunggal Pengawal Gerbang Selatan, lain halnya dengan Setan Nakal yang mendapat dukungan dari kekuatan gaib yang bersumber dari rajah yang ada di sepasang tangannya.

Sebentar saja, kobaran api membentuk bayangan kura-kura raksasa kuning kehijauan yang bergerak-gerak liar dengan mulut terbuka lebar memperdengarkan suara serak, memperlihatkan gigi-gigi tajam dan perlahan namun pasti, sosok kura-kura ap berjalan dengan lambat-lambat ke arah Setan Nakal yang juga telah siaga dengan rangkaian ‘Ilmu Sakti Api Neraka Biru’ tingkat ke tujuh dan 'Ilmu Sakti Jari Bayi', hingga menghasilkan bentuk bayangan roh-roh bayi kuning kebiruan yang berseliweran di seputar tubuhnya.
Roh-roh itu seakan berteriak-teriak kesakitan memohon pertolongan.

Jrashh ... Woshh ... Woshh ... !!

Terdengar suara desauan-desauan angin tajam dari balik tubuh pendek buntak tersebut.

“Hemm ... Roh-roh bayi yang malang.
Paman akan berusaha membebaskan kalian dari kungkungan ilmu sesat itu,” gumam Arjuna Sasrabahu sambil memandang nanar raga Setan Nakal.
“Kucoba saja dengan tingkat delapan.”

Begitu sampai pada tahap ke delapan, pemuda bercangkang kura-kura itu segera mengemposkan tenaga, lalu dikuti dengan jurus 'Kepala Kura-Kura Keluar Menampakkan Diri' yang berupa lontaran hawa sakti dari lima jari tangan terpentang lebar ke arah Setan Nakal dengan sebat.

Wutt ... Woshhh ... Wosshh ... !!

Setan Nakal yang melihat lawan sudah membuka serangan terlebih dahulu, segera membalas.
Tubuhnya Setan Nakal yang terselumuti paduan cahaya kuning dan biru cemerlang silih berganti melakukan gerakan menahan.
Tangan kiri berbentuk tapak rapat ‘Ilmu Sakti Api Neraka Biru’ tingkat ke tujuh memancarkan semakin cahaya biru cemerlang berusaha menyapu dari samping sedang telunjuk kanan yang berwarna kuning cerah berpendar-pendar melakukan gerak totokan beberapa kali ke dalam lingkaran hawa pelindung Arjuna Sasrabahu yang berbentuk kura-kura raksasa.

Wukk ... Cusss ... Srutt ... Srutt ... !!

Dharr!! Blegarr!! Jdarrr .. !!

Tubuh Arjuna Sasrabahu terseret ke belakang hingga enam tujuh tombak jauhnya disaat terjadi benturan dahsyat.

Totokan ‘Ilmu Sakti Jari Bayi’ memang berhasil menembus hawa sakti yang melingkupi tubuh pemuda berbadan bongsor itu, meski kekuatan perusaknya sudah berkurang setengahnya lebih dikarenakan tertahan efek pelindung dari ‘Tapak-Tapak Dewa Api’.
Tubuh pemuda itu sempat tersengat hawa panas, namun dengan adanya Perisai Kura-Kura Sakti yang mlekat ditubuhnya, hawa panas itu langsung buyar, terserap masuk ke dalam perisai pusaka itu.

“Dasar celeng tua! Tenaga apinya hebat juga,” umpat Arjuna Sasrabahu sambil menetralisir hawa yang sempat menembus dadanya,
“ ... mengapa tadi aku tidak kerahkan saja tingkat sembilan atau sepuluh sekalian? Bodoh benar aku ini.
Untung saja perisai warisan kakek selalu melekat ditubuhku.
Kalau tidak, wah bisa jadi kura-kura panggang nih!?”

Sementara itu, kondisi fisik Setan Nakal terlihat begitu mengenaskan.
Meski serangan jurus 'Kepala Kura-Kura Keluar Menampakkan Diri' yang dilambari dengan ilmu ‘Tapak-Tapak Dewa Api’ berhasil ditepis dengan sempurna, tapi ia lupa bahwa ilmu warisan dari Kura-Kura Dewa Dari Selatan merupakan gabungan unsur air dan unsur api.
Meski bisa ditolak dengan baik, tapi ibarat seerti orang memotong aliran air dan kobaran api dengan sebilah pisau tajam.
Akibatnya pun bisa dilihat.
Tubuh pendek buntak itu bagai diterjang lahar panas, dimana suara dentuman keras yang terdengar merupakan saat dimana ‘Ilmu Sakti Jari Bayi’ yang sarat dengan roh-roh bayi berhamburan keluar dari kungkungan Rajah Penerus Iblis karena didesak hawa murni panas membara.
Saat kubah api yang melingkupi pertarungan padam sempurna, terlihat tubuh Setan Nakal masih berdiri kukuh. Meski seluruh tubuhnya hangus terbakar, bahkan secuil baju yang menempelpun tidak ada sama sekali (kali ini tidak ada lagi yang namanya Setan Nakal, yang ada pastilah setan bugil)

“Kau ... memang ... tangguh!” Katanya dengan terbata-bata. “Siapa nam ... namamu?”

“Kau boleh sebut aku ... Jin Kura-Kura!” sahut Arjuna Sasrabahu dengan enteng.

“Jin Kura-Kura? Hi-hi-hik ... setan seper ... ti aku ini ter ... nyata kalah me ... ngenaskan di ta ... ngan jin sepertimu ... “ ucap Setan Nakal dengan napas terengah-engah. Lalu tangan kanan mengacungkan jempol meski dengan lemah.” Kau ... Hebat!”
Begitu kata 'hebat' selesai terucap, tubuh Setan Nakal tumbang!

Brukk! Bummm!!

Setelah itu diikuti dengan meledaknya raga Setan Nakal hancur berkeping-keping membentuk serpihan halus dengan bau gosong menyengat.

Jika serpihan halus itu dirangkai kembali pun sulit untuk membentuk tubuh Setan Nakal seperti aslinya.

“Akhirnya mampus juga dia! Kalau ketua muda tidak menahanku di atas sana, sudah aku kempesin dari tadi,” tutur Arjuna Sasrabahu sambil bersungut-sungut.

Lalu pemuda bongsor berjuluk Jin Kura-Kura segera menghampiri Nawala.
“Bagaimana keadaan mereka? Parahkah?”

“Entahlah ... jika dikatakan parah juga tidak, tapi jika dikatakan ringan juga salah ... yah ... sedang-sedang sajalah,” jawabnya dengan senyum tak senyum.

“Wah … payah juga kalau begitu.
Andaikata paman tabib ada disini, pasti sudah beres dari tadi,” sahut si pemuda bercangkang sambil merogohkan tangan kiri ke bagian kanan dalam cangkang, lalu mengeluarkan dua tiga butir bulatan kecil sebesar buah kelengkeng berbau harum semerbak dan saat tersentuh tangan terasa lengket seperti mengandung campuran gula aren agak sedikit kental.
Benda apalagi jika bukan Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka, pemberian dari Tabib Sakti Berjari Sebelas.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Nawala, heran.

“Ada deh ... “

Kemudian ia mengambil dua buah mangkuk kecil satunya berisi air, lalu memasukkan dua butir ramuan ke dalamnya.
Setelah berbuih sebentar dan larut dengan air, pemuda membagi dua larutan obat menjadi dua mangkuk sambil berkata,

“Minumkan pada mereka barang seteguk.”

Nawala hanya diam saja saat menerima mangkuk berisi ramuan obat tersebut, lalu mengikuti langkah yang dilakukan oleh pemuda bercangkang kura-kura yang tadi didengarnya berjuluk Jin Kura-Kura itu.

Sebentar saja, luka-luka yang diderita para tokoh yang saat itu ditidurkan berjajar, baik luka dalam mau pun luka ringan sembuh dan luka hilang tanpa meninggal bekas sama sekali.
Bahkan tubuh terasa lebih segar dari sebelumnya.
Rasa lelah akibat perkelahian yang baru saja dilakukan pun juga lenyap.
Termasuk tenaga dalam juga dirasakan semakin lancar mengalir dan terasa semakin membesar dari sebelumnya.
Kejadian ini persis dengan apa yang dialami oleh murid-murid Padepokan Singa Lodaya beberapa tahun silam.

Sepasang Raja Tua menggeliat nikmat bagai bangun dari tidur panjang.

Nawara seperti terbangun dari mimpi yang telah sekian lama meninabobokannya, sedang orang-orang dari Perguruan Perisai Sakti dan Perguruan Karang Patah pun merasakan hal yang sama, termasuk juga Bidadari Berhati Kejam, sebab ialah orang yang pertama kali merasakan pengaruh dari obat ajaib itu karena hanyalah nenek itu saja yang berada antara sadar dan tidak sadar.

Akan halnya Linggo Bhowo dan Kamalaya, tentu saja mereka berdua tidak dapat bangun lagi karena mana mungkin orang yang sudah menjadi mayat dapat bangun atau hidup kembali?

“Kalian sudah sehat?” tanya Arjuna Sasrabahu sembari menerima mangkuk kosong dari tangan Nawala, lalu memasukkan kembali ke dalam cangkang kura-kura yang ada di belakang punggungnya.
“Maaf, aku tidak bisa membantu dua orang yang disana,” katanya dengan jari tertuding ke kiri,
“ ... mereka berdua sudah tewas sebelum saya kemari.”

Semua maklum dengan apa yang dikatakan pemuda itu.
Memang yang namanya sebuah pertarungan antara hidup mati memang seperti berjudi dengan nasib, jika beruntung maka nyawa bisa tetap berada di dalam tubuh, tapi jika buntung, apa boleh buat, nyawa melayang pun tidak jadi soal!

Tentu saja yang paling merasa kehilangan adalah Mahesa Krudo dan Janapriya, bagaimana pun juga Linggo Bhowo dan Kamalaya adalah kawan karib seperguruan yang paling mereka sayangi seperti saudara kandung mereka sendiri.

“Anak muda, jika boleh kutahu, siapakah dirimu ini?” tanya Raja Pemalas, dengan ogah-ogahan.

“Saya bernama Arjuna Sasrabahu, sedang ke ... “

“Arjuna Sasrabahu? Kau seorang keturunan raja?” potong Wanengpati dengan cepat.

“Kenapa? Tidak boleh?” kata murid tunggal si Kura-Kura Dewa Dari Selatan dengan sedikit meninggi.
“Memang hanya keturunan keluarga kerajaan saja yang boleh memakai nama Arjuna Sasrabahu? Kau sirik ya?”

“Bukan begitu! Hanya sedikit aneh saja,” ucap Wanengpati dengan tatapan aneh, dalam hatinya masih melanjutkan sisa tanyanya,
“Siapa yang sirik? Nama seperti itu apa bagusnya?

“Ah ... sudahlah! Pepesan kosong tidak perlu diributkan!” sahut Raja Penidur, tentu saja masih dalam gaya tidurnya yang khas.

“Lebih baik kita pergi ke selatan, menyusul ketuaku mengejar si Topeng Tengkorak Emas.” sela Joko Keling alias Jin Kura-Kura dengan cepat.

“Topeng Tengkorak Emas? Siapa dia?” tanya heran Bidadari Berhati Kejam.

“Lho? Apa kalian tidak tahu kalau yang baru saja membuat pingsan segini banyak orang adalah si Topeng Tengkorak Emas?” tanya Pewaris Sang Air dengan mimik muka heran.
“Terus apa yang kalian kerjakan disini?”

“Yang kami tahu adalah disini tempat persembunyian orang-orang yang memiliki rajah sesat dan kami semua disini berniat menumpasnya,” jawab Wanengpati sambil membetulkan letak keris pusakanya.
“Selebihnya kami memang tidak tahu apa-apa, bahkan nama Topeng Tengkorak Emas baru saja kami dengar dari saudara Arjuna.”

“Ooo ... pantas kalau begitu,” kata Arjuna sambil manggut-manggut, lalu katanya,
“Baiklah! Tampaknya masalah ini harus diketahui semua orang persilatan.
Sambil menyusul ketua muda, ada baiknya saya ceritakan sedikit tentang masalah Rajah Penerus Iblis ini.”

Kemudian Arjuna Sasrabahu menghampiri harimau putih mulus. Mata tajamnya mengamati-amati seluruh tubuh si harimau.

Tiba-tiba saja ...

“Kang ... ! Harimauku jangan dipelototin begitu! Nanti dia terangsang lho ... !”

Sebuah suara kecil melengking terdengar menggema di seantero tempat itu.
Jelas sekali itu adalah suara bocah laki-laki usia sembilan sepuluh tahun.

“Hmmm ... dari mana datangnya suara itu?
Heran, kenapa akhir-akhir ini banyak sekali jago-jago muda bermunculan?” gumam si Bidadari Berhati Kejam.
“ ... bahkan suara dengusan napas yang aku yakini suara seorang bocah, kenapa sampai tidak tertangkap oleh indera pendengaranku!?”

Belum sampai gumaman nenek itu sirna, sesosok bocah berbaju hitam-hitam berjalan lenggang kangkung menuju ke arah mereka.

Tepat sesuai dugaan Bidadari Berhati Kejam, bocah itu berusia sepuluh tahun dengan baju rompi hitam dengan celana hitam setinggi lutut dimana pinggang kecilnya melilit sabuk kain warna hitam dengan garis-garis hijau.
Rambut anak itu dipotong pendek rapi.
Seraut wajah tampan menghiasi selebar wajah si bocah.
Tidak ada yang istimewa dari seluruh tubuh anak kecil itu, gerak-geriknya tak jauh beda dengan bocah sebaya dirinya, berlagak tengil dan sedikit menjengkelkan, kecuali pada matanya yang berwarna hijau menyala dengan sebuah garis melintang ditengah bola mata.
Mata harimau!

Belum lagi dengan sebilah senjata yang dari bentuknya dipastikan sebilah golok dengan gagang kepala harimau putih dengan sarung dari kulit harimau pula tampak terselip di pinggang kanan si bocah.
Yang cukup aneh adalah panjang golok itu, sekitar satu setengah kali panjang golok biasa.
Dan dilihat dari posisi terselipnya golok, anak itu pasti bertangan kidal.

Dengan enaknya ia menghampiri harimau itu, yang serentak duduk di tanah seperti berlutut.
Si bocah berbaju hitam berjongkok sambil sambil mengelus-elus leher binatang itu.

“Kau tidak apa-apa Maung Pethak?” tanya si bocah.

Tentu saja perbuatan bocah yang tidak dikenal itu membuat semua orang bergidik ngeri.

“Gila tuh anak! Kalau dicakar baru tahu rasa dia,” gumam Nawala, tanpa sadar.

“Ssstt, diam! Nampaknya harimau putih itu memang peliharaannya atau orang tuanya memang pawang harimau,” ucap Nawara yang ada disamping saudara kembarnya.

Harimau yang dipanggil Maung Pethak itu mengaum lirih sambil mendusalkan kepalanya ke dekat leher si bocah.
Manja!

“Ohh ... begitu ya? Jadi kakang gendut itu telah menyembuhkan lukamu,” kata si bocah berbaju hitam sambil jari telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arah Arjuna Sasrabahu.

“Edan! Harimau itu berlaku manja kayak anak perawan saja,” kata Raja Pemalas dengan mata melotot lebar.

“Ah … itu sih biasa-biasa saja. Namanya juga peliharaan ... tidak bakalan mengggigit kalau tidak kepepet,” gumam Raja Penidur, menimpali ucapan sahabatnya.

“Hei bocah! Apa maksud dari perkataanmu barusan?” bentak Arjuna Sasrabahu dengan mimik muka bertanya.

“Maksud kakang?”

“Apa maksud 'terangsang' yang tadi kau ucapkan?” gerutu si Jin Kura-Kura.
“Perlu kau tahu, tak bakalan aku naksir macan jelekmu itu?”

“Oh itu? He-he-he ... sebab dia ini ... “ ucap sepotong-sepotong si bocah sambil cengar-cengir.

“Ditanya baik-baik malah cengengesan ... “

“Dia ini ... harimau betina yang sedang panas-panasnya bikin anak!” kata si bocah sambil diikuti tawa berderai.

Muka Jin Kura-Kura merah matang, malu dia!
Tentu saja pemuda seperti tahu apa maksudnya 'bikin anak'!
 
Bab 35

Tubuh pemuda tambun itu dengan ringan menadahi datangnya setiap serangan Setan Nakal yang telah dilapisi dengan ‘Ilmu Sakti Api Neraka Biru’ tingkat ke tujuh.

“Mampus kau!”

Brakk! Desss!

Beberapa pukulan maut tepat mendarat di dada Joko Keling, murid tunggal si Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
Tapi pemuda itu tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri, kokoh bagai batu karang.

“Mampus apa'an? Aku masih sehat tuch!?” seru Joko Keling sambil membalas serangan lawan dengan 'Tinju Dewa Api' yang sedari tadi sudah siap digunakan, tepat mendarat di dada Setan Nakal lewat pukulan lurus ke depan.
Kali ini pemuda Pewaris Sang Air itu tidak menggunakan 'Ilmu Silat Pulau Kura-Kura' warisan gurunya, tapi langsung mengerahkan pukulan-pukulan sakti yang bisa membawa maut.

Dess! Derr ... !

Setan Nakal terjajar beberapa langkah ke belakang, tapi tidak keluar dari dalam kubah api yang telah terbentuk sejak awal pertarungan mereka berdua.

“Bagaimana? Enak tidak sentuhan lembut 'Tinju Dewa Api'-ku?” Ucap Joko Keling sambil berdiri berkacak pinggang, lalu tanpa menoleh ia pun berteriak lantang,
“Pewaris Sang Api! Cepat susul Ketua ke arah selatan.
Bantu ketua memburu si Topeng Tengkorak Emas! Biar manusia mungil ini aku yang menyelesaikan!”
Lalu tanpa menunggu jawaban dari si gadis berbaju merah, ia segera mengambil sikap untuk mengerahkan ‘Tapak-Tapak Dewa Api’.

“Lebih baik kau turuti apa permintaannya! Siapa tahu orang yang disebutnya ketua itu memang membutuhkan bantuanmu.” Usul Nawala, seolah tahu apa yang dipikirkan Ayu Parameswari, ia pun berkata.
“Biar mereka, aku yang menjaganya.”

“Baiklah kalau begitu.”

Segera saja murid Naga Bara Merah berkelebat ke jurusan selatan dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh 'Naga Melangkah Di Atas Awan'-nya dengan kecepatan tinggi.

Blass ... !

Sekejap saja, hanya terlihat sebentuk titik merah di kejauhan.

Sementara itu, busur pertarungan kini terentang kuat antara murid Kura-Kura Dewa Dari Selatan dengan Setan Nakal yang merupakan salah satu pemilik Rajah Penerus Iblis.

“Setan belang! Kura-kura dari mana kau?” tanya Setan Nakal sambil mengerahkan ilmu gabungan antara ‘Ilmu Sakti Api Neraka Biru’ tingkat ke tujuh dan 'Ilmu Sakti Jari Bayi'.

Kembali pancaran hawa panas bagai berada di tungku api yang kian membara semakin membuncah.
“Bocah keparat! Kita tentukan saja dalam satu kali serangan! Kau yang hidup atau aku yang mati!”

“He-he-he! Boleh ... boleh ... aku sendiri juga tidak mau bertele-tele bertukar jurus denganmu! Bikin sakit tulang-tulangku saja,” kata Arjuna Sasrabahu alias Joko Keling sambil terus meningkatkan kekuatan ‘Tapak-Tapak Dewa Api’ setingkat demi setingkat.

Jwoss ... Swoshh ... !!

Meski sama-sama memiliki tenaga dalam berhawa panas, akan tetapi mutu dari tenaga dalam mereka jelas beda jauh.
Jika Joko Keling memiliki tenaga sakti yang dipupuk sedari awal ia menjadi murid tunggal Pengawal Gerbang Selatan, lain halnya dengan Setan Nakal yang mendapat dukungan dari kekuatan gaib yang bersumber dari rajah yang ada di sepasang tangannya.

Sebentar saja, kobaran api membentuk bayangan kura-kura raksasa kuning kehijauan yang bergerak-gerak liar dengan mulut terbuka lebar memperdengarkan suara serak, memperlihatkan gigi-gigi tajam dan perlahan namun pasti, sosok kura-kura ap berjalan dengan lambat-lambat ke arah Setan Nakal yang juga telah siaga dengan rangkaian ‘Ilmu Sakti Api Neraka Biru’ tingkat ke tujuh dan 'Ilmu Sakti Jari Bayi', hingga menghasilkan bentuk bayangan roh-roh bayi kuning kebiruan yang berseliweran di seputar tubuhnya.
Roh-roh itu seakan berteriak-teriak kesakitan memohon pertolongan.

Jrashh ... Woshh ... Woshh ... !!

Terdengar suara desauan-desauan angin tajam dari balik tubuh pendek buntak tersebut.

“Hemm ... Roh-roh bayi yang malang.
Paman akan berusaha membebaskan kalian dari kungkungan ilmu sesat itu,” gumam Arjuna Sasrabahu sambil memandang nanar raga Setan Nakal.
“Kucoba saja dengan tingkat delapan.”

Begitu sampai pada tahap ke delapan, pemuda bercangkang kura-kura itu segera mengemposkan tenaga, lalu dikuti dengan jurus 'Kepala Kura-Kura Keluar Menampakkan Diri' yang berupa lontaran hawa sakti dari lima jari tangan terpentang lebar ke arah Setan Nakal dengan sebat.

Wutt ... Woshhh ... Wosshh ... !!

Setan Nakal yang melihat lawan sudah membuka serangan terlebih dahulu, segera membalas.
Tubuhnya Setan Nakal yang terselumuti paduan cahaya kuning dan biru cemerlang silih berganti melakukan gerakan menahan.
Tangan kiri berbentuk tapak rapat ‘Ilmu Sakti Api Neraka Biru’ tingkat ke tujuh memancarkan semakin cahaya biru cemerlang berusaha menyapu dari samping sedang telunjuk kanan yang berwarna kuning cerah berpendar-pendar melakukan gerak totokan beberapa kali ke dalam lingkaran hawa pelindung Arjuna Sasrabahu yang berbentuk kura-kura raksasa.

Wukk ... Cusss ... Srutt ... Srutt ... !!

Dharr!! Blegarr!! Jdarrr .. !!

Tubuh Arjuna Sasrabahu terseret ke belakang hingga enam tujuh tombak jauhnya disaat terjadi benturan dahsyat.

Totokan ‘Ilmu Sakti Jari Bayi’ memang berhasil menembus hawa sakti yang melingkupi tubuh pemuda berbadan bongsor itu, meski kekuatan perusaknya sudah berkurang setengahnya lebih dikarenakan tertahan efek pelindung dari ‘Tapak-Tapak Dewa Api’.
Tubuh pemuda itu sempat tersengat hawa panas, namun dengan adanya Perisai Kura-Kura Sakti yang mlekat ditubuhnya, hawa panas itu langsung buyar, terserap masuk ke dalam perisai pusaka itu.

“Dasar celeng tua! Tenaga apinya hebat juga,” umpat Arjuna Sasrabahu sambil menetralisir hawa yang sempat menembus dadanya,
“ ... mengapa tadi aku tidak kerahkan saja tingkat sembilan atau sepuluh sekalian? Bodoh benar aku ini.
Untung saja perisai warisan kakek selalu melekat ditubuhku.
Kalau tidak, wah bisa jadi kura-kura panggang nih!?”

Sementara itu, kondisi fisik Setan Nakal terlihat begitu mengenaskan.
Meski serangan jurus 'Kepala Kura-Kura Keluar Menampakkan Diri' yang dilambari dengan ilmu ‘Tapak-Tapak Dewa Api’ berhasil ditepis dengan sempurna, tapi ia lupa bahwa ilmu warisan dari Kura-Kura Dewa Dari Selatan merupakan gabungan unsur air dan unsur api.
Meski bisa ditolak dengan baik, tapi ibarat seerti orang memotong aliran air dan kobaran api dengan sebilah pisau tajam.
Akibatnya pun bisa dilihat.
Tubuh pendek buntak itu bagai diterjang lahar panas, dimana suara dentuman keras yang terdengar merupakan saat dimana ‘Ilmu Sakti Jari Bayi’ yang sarat dengan roh-roh bayi berhamburan keluar dari kungkungan Rajah Penerus Iblis karena didesak hawa murni panas membara.
Saat kubah api yang melingkupi pertarungan padam sempurna, terlihat tubuh Setan Nakal masih berdiri kukuh. Meski seluruh tubuhnya hangus terbakar, bahkan secuil baju yang menempelpun tidak ada sama sekali (kali ini tidak ada lagi yang namanya Setan Nakal, yang ada pastilah setan bugil)

“Kau ... memang ... tangguh!” Katanya dengan terbata-bata. “Siapa nam ... namamu?”

“Kau boleh sebut aku ... Jin Kura-Kura!” sahut Arjuna Sasrabahu dengan enteng.

“Jin Kura-Kura? Hi-hi-hik ... setan seper ... ti aku ini ter ... nyata kalah me ... ngenaskan di ta ... ngan jin sepertimu ... “ ucap Setan Nakal dengan napas terengah-engah. Lalu tangan kanan mengacungkan jempol meski dengan lemah.” Kau ... Hebat!”
Begitu kata 'hebat' selesai terucap, tubuh Setan Nakal tumbang!

Brukk! Bummm!!

Setelah itu diikuti dengan meledaknya raga Setan Nakal hancur berkeping-keping membentuk serpihan halus dengan bau gosong menyengat.

Jika serpihan halus itu dirangkai kembali pun sulit untuk membentuk tubuh Setan Nakal seperti aslinya.

“Akhirnya mampus juga dia! Kalau ketua muda tidak menahanku di atas sana, sudah aku kempesin dari tadi,” tutur Arjuna Sasrabahu sambil bersungut-sungut.

Lalu pemuda bongsor berjuluk Jin Kura-Kura segera menghampiri Nawala.
“Bagaimana keadaan mereka? Parahkah?”

“Entahlah ... jika dikatakan parah juga tidak, tapi jika dikatakan ringan juga salah ... yah ... sedang-sedang sajalah,” jawabnya dengan senyum tak senyum.

“Wah … payah juga kalau begitu.
Andaikata paman tabib ada disini, pasti sudah beres dari tadi,” sahut si pemuda bercangkang sambil merogohkan tangan kiri ke bagian kanan dalam cangkang, lalu mengeluarkan dua tiga butir bulatan kecil sebesar buah kelengkeng berbau harum semerbak dan saat tersentuh tangan terasa lengket seperti mengandung campuran gula aren agak sedikit kental.
Benda apalagi jika bukan Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka, pemberian dari Tabib Sakti Berjari Sebelas.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Nawala, heran.

“Ada deh ... “

Kemudian ia mengambil dua buah mangkuk kecil satunya berisi air, lalu memasukkan dua butir ramuan ke dalamnya.
Setelah berbuih sebentar dan larut dengan air, pemuda membagi dua larutan obat menjadi dua mangkuk sambil berkata,

“Minumkan pada mereka barang seteguk.”

Nawala hanya diam saja saat menerima mangkuk berisi ramuan obat tersebut, lalu mengikuti langkah yang dilakukan oleh pemuda bercangkang kura-kura yang tadi didengarnya berjuluk Jin Kura-Kura itu.

Sebentar saja, luka-luka yang diderita para tokoh yang saat itu ditidurkan berjajar, baik luka dalam mau pun luka ringan sembuh dan luka hilang tanpa meninggal bekas sama sekali.
Bahkan tubuh terasa lebih segar dari sebelumnya.
Rasa lelah akibat perkelahian yang baru saja dilakukan pun juga lenyap.
Termasuk tenaga dalam juga dirasakan semakin lancar mengalir dan terasa semakin membesar dari sebelumnya.
Kejadian ini persis dengan apa yang dialami oleh murid-murid Padepokan Singa Lodaya beberapa tahun silam.

Sepasang Raja Tua menggeliat nikmat bagai bangun dari tidur panjang.

Nawara seperti terbangun dari mimpi yang telah sekian lama meninabobokannya, sedang orang-orang dari Perguruan Perisai Sakti dan Perguruan Karang Patah pun merasakan hal yang sama, termasuk juga Bidadari Berhati Kejam, sebab ialah orang yang pertama kali merasakan pengaruh dari obat ajaib itu karena hanyalah nenek itu saja yang berada antara sadar dan tidak sadar.

Akan halnya Linggo Bhowo dan Kamalaya, tentu saja mereka berdua tidak dapat bangun lagi karena mana mungkin orang yang sudah menjadi mayat dapat bangun atau hidup kembali?

“Kalian sudah sehat?” tanya Arjuna Sasrabahu sembari menerima mangkuk kosong dari tangan Nawala, lalu memasukkan kembali ke dalam cangkang kura-kura yang ada di belakang punggungnya.
“Maaf, aku tidak bisa membantu dua orang yang disana,” katanya dengan jari tertuding ke kiri,
“ ... mereka berdua sudah tewas sebelum saya kemari.”

Semua maklum dengan apa yang dikatakan pemuda itu.
Memang yang namanya sebuah pertarungan antara hidup mati memang seperti berjudi dengan nasib, jika beruntung maka nyawa bisa tetap berada di dalam tubuh, tapi jika buntung, apa boleh buat, nyawa melayang pun tidak jadi soal!

Tentu saja yang paling merasa kehilangan adalah Mahesa Krudo dan Janapriya, bagaimana pun juga Linggo Bhowo dan Kamalaya adalah kawan karib seperguruan yang paling mereka sayangi seperti saudara kandung mereka sendiri.

“Anak muda, jika boleh kutahu, siapakah dirimu ini?” tanya Raja Pemalas, dengan ogah-ogahan.

“Saya bernama Arjuna Sasrabahu, sedang ke ... “

“Arjuna Sasrabahu? Kau seorang keturunan raja?” potong Wanengpati dengan cepat.

“Kenapa? Tidak boleh?” kata murid tunggal si Kura-Kura Dewa Dari Selatan dengan sedikit meninggi.
“Memang hanya keturunan keluarga kerajaan saja yang boleh memakai nama Arjuna Sasrabahu? Kau sirik ya?”

“Bukan begitu! Hanya sedikit aneh saja,” ucap Wanengpati dengan tatapan aneh, dalam hatinya masih melanjutkan sisa tanyanya,
“Siapa yang sirik? Nama seperti itu apa bagusnya?

“Ah ... sudahlah! Pepesan kosong tidak perlu diributkan!” sahut Raja Penidur, tentu saja masih dalam gaya tidurnya yang khas.

“Lebih baik kita pergi ke selatan, menyusul ketuaku mengejar si Topeng Tengkorak Emas.” sela Joko Keling alias Jin Kura-Kura dengan cepat.

“Topeng Tengkorak Emas? Siapa dia?” tanya heran Bidadari Berhati Kejam.

“Lho? Apa kalian tidak tahu kalau yang baru saja membuat pingsan segini banyak orang adalah si Topeng Tengkorak Emas?” tanya Pewaris Sang Air dengan mimik muka heran.
“Terus apa yang kalian kerjakan disini?”

“Yang kami tahu adalah disini tempat persembunyian orang-orang yang memiliki rajah sesat dan kami semua disini berniat menumpasnya,” jawab Wanengpati sambil membetulkan letak keris pusakanya.
“Selebihnya kami memang tidak tahu apa-apa, bahkan nama Topeng Tengkorak Emas baru saja kami dengar dari saudara Arjuna.”

“Ooo ... pantas kalau begitu,” kata Arjuna sambil manggut-manggut, lalu katanya,
“Baiklah! Tampaknya masalah ini harus diketahui semua orang persilatan.
Sambil menyusul ketua muda, ada baiknya saya ceritakan sedikit tentang masalah Rajah Penerus Iblis ini.”

Kemudian Arjuna Sasrabahu menghampiri harimau putih mulus. Mata tajamnya mengamati-amati seluruh tubuh si harimau.

Tiba-tiba saja ...

“Kang ... ! Harimauku jangan dipelototin begitu! Nanti dia terangsang lho ... !”

Sebuah suara kecil melengking terdengar menggema di seantero tempat itu.
Jelas sekali itu adalah suara bocah laki-laki usia sembilan sepuluh tahun.

“Hmmm ... dari mana datangnya suara itu?
Heran, kenapa akhir-akhir ini banyak sekali jago-jago muda bermunculan?” gumam si Bidadari Berhati Kejam.
“ ... bahkan suara dengusan napas yang aku yakini suara seorang bocah, kenapa sampai tidak tertangkap oleh indera pendengaranku!?”

Belum sampai gumaman nenek itu sirna, sesosok bocah berbaju hitam-hitam berjalan lenggang kangkung menuju ke arah mereka.

Tepat sesuai dugaan Bidadari Berhati Kejam, bocah itu berusia sepuluh tahun dengan baju rompi hitam dengan celana hitam setinggi lutut dimana pinggang kecilnya melilit sabuk kain warna hitam dengan garis-garis hijau.
Rambut anak itu dipotong pendek rapi.
Seraut wajah tampan menghiasi selebar wajah si bocah.
Tidak ada yang istimewa dari seluruh tubuh anak kecil itu, gerak-geriknya tak jauh beda dengan bocah sebaya dirinya, berlagak tengil dan sedikit menjengkelkan, kecuali pada matanya yang berwarna hijau menyala dengan sebuah garis melintang ditengah bola mata.
Mata harimau!

Belum lagi dengan sebilah senjata yang dari bentuknya dipastikan sebilah golok dengan gagang kepala harimau putih dengan sarung dari kulit harimau pula tampak terselip di pinggang kanan si bocah.
Yang cukup aneh adalah panjang golok itu, sekitar satu setengah kali panjang golok biasa.
Dan dilihat dari posisi terselipnya golok, anak itu pasti bertangan kidal.

Dengan enaknya ia menghampiri harimau itu, yang serentak duduk di tanah seperti berlutut.
Si bocah berbaju hitam berjongkok sambil sambil mengelus-elus leher binatang itu.

“Kau tidak apa-apa Maung Pethak?” tanya si bocah.

Tentu saja perbuatan bocah yang tidak dikenal itu membuat semua orang bergidik ngeri.

“Gila tuh anak! Kalau dicakar baru tahu rasa dia,” gumam Nawala, tanpa sadar.

“Ssstt, diam! Nampaknya harimau putih itu memang peliharaannya atau orang tuanya memang pawang harimau,” ucap Nawara yang ada disamping saudara kembarnya.

Harimau yang dipanggil Maung Pethak itu mengaum lirih sambil mendusalkan kepalanya ke dekat leher si bocah.
Manja!

“Ohh ... begitu ya? Jadi kakang gendut itu telah menyembuhkan lukamu,” kata si bocah berbaju hitam sambil jari telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arah Arjuna Sasrabahu.

“Edan! Harimau itu berlaku manja kayak anak perawan saja,” kata Raja Pemalas dengan mata melotot lebar.

“Ah … itu sih biasa-biasa saja. Namanya juga peliharaan ... tidak bakalan mengggigit kalau tidak kepepet,” gumam Raja Penidur, menimpali ucapan sahabatnya.

“Hei bocah! Apa maksud dari perkataanmu barusan?” bentak Arjuna Sasrabahu dengan mimik muka bertanya.

“Maksud kakang?”

“Apa maksud 'terangsang' yang tadi kau ucapkan?” gerutu si Jin Kura-Kura.
“Perlu kau tahu, tak bakalan aku naksir macan jelekmu itu?”

“Oh itu? He-he-he ... sebab dia ini ... “ ucap sepotong-sepotong si bocah sambil cengar-cengir.

“Ditanya baik-baik malah cengengesan ... “

“Dia ini ... harimau betina yang sedang panas-panasnya bikin anak!” kata si bocah sambil diikuti tawa berderai.

Muka Jin Kura-Kura merah matang, malu dia!
Tentu saja pemuda seperti tahu apa maksudnya 'bikin anak'!
Lancrootkan hu ijin gelar tikar
Bab 35

Tubuh pemuda tambun itu dengan ringan menadahi datangnya setiap serangan Setan Nakal yang telah dilapisi dengan ‘Ilmu Sakti Api Neraka Biru’ tingkat ke tujuh.

“Mampus kau!”

Brakk! Desss!

Beberapa pukulan maut tepat mendarat di dada Joko Keling, murid tunggal si Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
Tapi pemuda itu tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri, kokoh bagai batu karang.

“Mampus apa'an? Aku masih sehat tuch!?” seru Joko Keling sambil membalas serangan lawan dengan 'Tinju Dewa Api' yang sedari tadi sudah siap digunakan, tepat mendarat di dada Setan Nakal lewat pukulan lurus ke depan.
Kali ini pemuda Pewaris Sang Air itu tidak menggunakan 'Ilmu Silat Pulau Kura-Kura' warisan gurunya, tapi langsung mengerahkan pukulan-pukulan sakti yang bisa membawa maut.

Dess! Derr ... !

Setan Nakal terjajar beberapa langkah ke belakang, tapi tidak keluar dari dalam kubah api yang telah terbentuk sejak awal pertarungan mereka berdua.

“Bagaimana? Enak tidak sentuhan lembut 'Tinju Dewa Api'-ku?” Ucap Joko Keling sambil berdiri berkacak pinggang, lalu tanpa menoleh ia pun berteriak lantang,
“Pewaris Sang Api! Cepat susul Ketua ke arah selatan.
Bantu ketua memburu si Topeng Tengkorak Emas! Biar manusia mungil ini aku yang menyelesaikan!”
Lalu tanpa menunggu jawaban dari si gadis berbaju merah, ia segera mengambil sikap untuk mengerahkan ‘Tapak-Tapak Dewa Api’.

“Lebih baik kau turuti apa permintaannya! Siapa tahu orang yang disebutnya ketua itu memang membutuhkan bantuanmu.” Usul Nawala, seolah tahu apa yang dipikirkan Ayu Parameswari, ia pun berkata.
“Biar mereka, aku yang menjaganya.”

“Baiklah kalau begitu.”

Segera saja murid Naga Bara Merah berkelebat ke jurusan selatan dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh 'Naga Melangkah Di Atas Awan'-nya dengan kecepatan tinggi.

Blass ... !

Sekejap saja, hanya terlihat sebentuk titik merah di kejauhan.

Sementara itu, busur pertarungan kini terentang kuat antara murid Kura-Kura Dewa Dari Selatan dengan Setan Nakal yang merupakan salah satu pemilik Rajah Penerus Iblis.

“Setan belang! Kura-kura dari mana kau?” tanya Setan Nakal sambil mengerahkan ilmu gabungan antara ‘Ilmu Sakti Api Neraka Biru’ tingkat ke tujuh dan 'Ilmu Sakti Jari Bayi'.

Kembali pancaran hawa panas bagai berada di tungku api yang kian membara semakin membuncah.
“Bocah keparat! Kita tentukan saja dalam satu kali serangan! Kau yang hidup atau aku yang mati!”

“He-he-he! Boleh ... boleh ... aku sendiri juga tidak mau bertele-tele bertukar jurus denganmu! Bikin sakit tulang-tulangku saja,” kata Arjuna Sasrabahu alias Joko Keling sambil terus meningkatkan kekuatan ‘Tapak-Tapak Dewa Api’ setingkat demi setingkat.

Jwoss ... Swoshh ... !!

Meski sama-sama memiliki tenaga dalam berhawa panas, akan tetapi mutu dari tenaga dalam mereka jelas beda jauh.
Jika Joko Keling memiliki tenaga sakti yang dipupuk sedari awal ia menjadi murid tunggal Pengawal Gerbang Selatan, lain halnya dengan Setan Nakal yang mendapat dukungan dari kekuatan gaib yang bersumber dari rajah yang ada di sepasang tangannya.

Sebentar saja, kobaran api membentuk bayangan kura-kura raksasa kuning kehijauan yang bergerak-gerak liar dengan mulut terbuka lebar memperdengarkan suara serak, memperlihatkan gigi-gigi tajam dan perlahan namun pasti, sosok kura-kura ap berjalan dengan lambat-lambat ke arah Setan Nakal yang juga telah siaga dengan rangkaian ‘Ilmu Sakti Api Neraka Biru’ tingkat ke tujuh dan 'Ilmu Sakti Jari Bayi', hingga menghasilkan bentuk bayangan roh-roh bayi kuning kebiruan yang berseliweran di seputar tubuhnya.
Roh-roh itu seakan berteriak-teriak kesakitan memohon pertolongan.

Jrashh ... Woshh ... Woshh ... !!

Terdengar suara desauan-desauan angin tajam dari balik tubuh pendek buntak tersebut.

“Hemm ... Roh-roh bayi yang malang.
Paman akan berusaha membebaskan kalian dari kungkungan ilmu sesat itu,” gumam Arjuna Sasrabahu sambil memandang nanar raga Setan Nakal.
“Kucoba saja dengan tingkat delapan.”

Begitu sampai pada tahap ke delapan, pemuda bercangkang kura-kura itu segera mengemposkan tenaga, lalu dikuti dengan jurus 'Kepala Kura-Kura Keluar Menampakkan Diri' yang berupa lontaran hawa sakti dari lima jari tangan terpentang lebar ke arah Setan Nakal dengan sebat.

Wutt ... Woshhh ... Wosshh ... !!

Setan Nakal yang melihat lawan sudah membuka serangan terlebih dahulu, segera membalas.
Tubuhnya Setan Nakal yang terselumuti paduan cahaya kuning dan biru cemerlang silih berganti melakukan gerakan menahan.
Tangan kiri berbentuk tapak rapat ‘Ilmu Sakti Api Neraka Biru’ tingkat ke tujuh memancarkan semakin cahaya biru cemerlang berusaha menyapu dari samping sedang telunjuk kanan yang berwarna kuning cerah berpendar-pendar melakukan gerak totokan beberapa kali ke dalam lingkaran hawa pelindung Arjuna Sasrabahu yang berbentuk kura-kura raksasa.

Wukk ... Cusss ... Srutt ... Srutt ... !!

Dharr!! Blegarr!! Jdarrr .. !!

Tubuh Arjuna Sasrabahu terseret ke belakang hingga enam tujuh tombak jauhnya disaat terjadi benturan dahsyat.

Totokan ‘Ilmu Sakti Jari Bayi’ memang berhasil menembus hawa sakti yang melingkupi tubuh pemuda berbadan bongsor itu, meski kekuatan perusaknya sudah berkurang setengahnya lebih dikarenakan tertahan efek pelindung dari ‘Tapak-Tapak Dewa Api’.
Tubuh pemuda itu sempat tersengat hawa panas, namun dengan adanya Perisai Kura-Kura Sakti yang mlekat ditubuhnya, hawa panas itu langsung buyar, terserap masuk ke dalam perisai pusaka itu.

“Dasar celeng tua! Tenaga apinya hebat juga,” umpat Arjuna Sasrabahu sambil menetralisir hawa yang sempat menembus dadanya,
“ ... mengapa tadi aku tidak kerahkan saja tingkat sembilan atau sepuluh sekalian? Bodoh benar aku ini.
Untung saja perisai warisan kakek selalu melekat ditubuhku.
Kalau tidak, wah bisa jadi kura-kura panggang nih!?”

Sementara itu, kondisi fisik Setan Nakal terlihat begitu mengenaskan.
Meski serangan jurus 'Kepala Kura-Kura Keluar Menampakkan Diri' yang dilambari dengan ilmu ‘Tapak-Tapak Dewa Api’ berhasil ditepis dengan sempurna, tapi ia lupa bahwa ilmu warisan dari Kura-Kura Dewa Dari Selatan merupakan gabungan unsur air dan unsur api.
Meski bisa ditolak dengan baik, tapi ibarat seerti orang memotong aliran air dan kobaran api dengan sebilah pisau tajam.
Akibatnya pun bisa dilihat.
Tubuh pendek buntak itu bagai diterjang lahar panas, dimana suara dentuman keras yang terdengar merupakan saat dimana ‘Ilmu Sakti Jari Bayi’ yang sarat dengan roh-roh bayi berhamburan keluar dari kungkungan Rajah Penerus Iblis karena didesak hawa murni panas membara.
Saat kubah api yang melingkupi pertarungan padam sempurna, terlihat tubuh Setan Nakal masih berdiri kukuh. Meski seluruh tubuhnya hangus terbakar, bahkan secuil baju yang menempelpun tidak ada sama sekali (kali ini tidak ada lagi yang namanya Setan Nakal, yang ada pastilah setan bugil)

“Kau ... memang ... tangguh!” Katanya dengan terbata-bata. “Siapa nam ... namamu?”

“Kau boleh sebut aku ... Jin Kura-Kura!” sahut Arjuna Sasrabahu dengan enteng.

“Jin Kura-Kura? Hi-hi-hik ... setan seper ... ti aku ini ter ... nyata kalah me ... ngenaskan di ta ... ngan jin sepertimu ... “ ucap Setan Nakal dengan napas terengah-engah. Lalu tangan kanan mengacungkan jempol meski dengan lemah.” Kau ... Hebat!”
Begitu kata 'hebat' selesai terucap, tubuh Setan Nakal tumbang!

Brukk! Bummm!!

Setelah itu diikuti dengan meledaknya raga Setan Nakal hancur berkeping-keping membentuk serpihan halus dengan bau gosong menyengat.

Jika serpihan halus itu dirangkai kembali pun sulit untuk membentuk tubuh Setan Nakal seperti aslinya.

“Akhirnya mampus juga dia! Kalau ketua muda tidak menahanku di atas sana, sudah aku kempesin dari tadi,” tutur Arjuna Sasrabahu sambil bersungut-sungut.

Lalu pemuda bongsor berjuluk Jin Kura-Kura segera menghampiri Nawala.
“Bagaimana keadaan mereka? Parahkah?”

“Entahlah ... jika dikatakan parah juga tidak, tapi jika dikatakan ringan juga salah ... yah ... sedang-sedang sajalah,” jawabnya dengan senyum tak senyum.

“Wah … payah juga kalau begitu.
Andaikata paman tabib ada disini, pasti sudah beres dari tadi,” sahut si pemuda bercangkang sambil merogohkan tangan kiri ke bagian kanan dalam cangkang, lalu mengeluarkan dua tiga butir bulatan kecil sebesar buah kelengkeng berbau harum semerbak dan saat tersentuh tangan terasa lengket seperti mengandung campuran gula aren agak sedikit kental.
Benda apalagi jika bukan Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka, pemberian dari Tabib Sakti Berjari Sebelas.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Nawala, heran.

“Ada deh ... “

Kemudian ia mengambil dua buah mangkuk kecil satunya berisi air, lalu memasukkan dua butir ramuan ke dalamnya.
Setelah berbuih sebentar dan larut dengan air, pemuda membagi dua larutan obat menjadi dua mangkuk sambil berkata,

“Minumkan pada mereka barang seteguk.”

Nawala hanya diam saja saat menerima mangkuk berisi ramuan obat tersebut, lalu mengikuti langkah yang dilakukan oleh pemuda bercangkang kura-kura yang tadi didengarnya berjuluk Jin Kura-Kura itu.

Sebentar saja, luka-luka yang diderita para tokoh yang saat itu ditidurkan berjajar, baik luka dalam mau pun luka ringan sembuh dan luka hilang tanpa meninggal bekas sama sekali.
Bahkan tubuh terasa lebih segar dari sebelumnya.
Rasa lelah akibat perkelahian yang baru saja dilakukan pun juga lenyap.
Termasuk tenaga dalam juga dirasakan semakin lancar mengalir dan terasa semakin membesar dari sebelumnya.
Kejadian ini persis dengan apa yang dialami oleh murid-murid Padepokan Singa Lodaya beberapa tahun silam.

Sepasang Raja Tua menggeliat nikmat bagai bangun dari tidur panjang.

Nawara seperti terbangun dari mimpi yang telah sekian lama meninabobokannya, sedang orang-orang dari Perguruan Perisai Sakti dan Perguruan Karang Patah pun merasakan hal yang sama, termasuk juga Bidadari Berhati Kejam, sebab ialah orang yang pertama kali merasakan pengaruh dari obat ajaib itu karena hanyalah nenek itu saja yang berada antara sadar dan tidak sadar.

Akan halnya Linggo Bhowo dan Kamalaya, tentu saja mereka berdua tidak dapat bangun lagi karena mana mungkin orang yang sudah menjadi mayat dapat bangun atau hidup kembali?

“Kalian sudah sehat?” tanya Arjuna Sasrabahu sembari menerima mangkuk kosong dari tangan Nawala, lalu memasukkan kembali ke dalam cangkang kura-kura yang ada di belakang punggungnya.
“Maaf, aku tidak bisa membantu dua orang yang disana,” katanya dengan jari tertuding ke kiri,
“ ... mereka berdua sudah tewas sebelum saya kemari.”

Semua maklum dengan apa yang dikatakan pemuda itu.
Memang yang namanya sebuah pertarungan antara hidup mati memang seperti berjudi dengan nasib, jika beruntung maka nyawa bisa tetap berada di dalam tubuh, tapi jika buntung, apa boleh buat, nyawa melayang pun tidak jadi soal!

Tentu saja yang paling merasa kehilangan adalah Mahesa Krudo dan Janapriya, bagaimana pun juga Linggo Bhowo dan Kamalaya adalah kawan karib seperguruan yang paling mereka sayangi seperti saudara kandung mereka sendiri.

“Anak muda, jika boleh kutahu, siapakah dirimu ini?” tanya Raja Pemalas, dengan ogah-ogahan.

“Saya bernama Arjuna Sasrabahu, sedang ke ... “

“Arjuna Sasrabahu? Kau seorang keturunan raja?” potong Wanengpati dengan cepat.

“Kenapa? Tidak boleh?” kata murid tunggal si Kura-Kura Dewa Dari Selatan dengan sedikit meninggi.
“Memang hanya keturunan keluarga kerajaan saja yang boleh memakai nama Arjuna Sasrabahu? Kau sirik ya?”

“Bukan begitu! Hanya sedikit aneh saja,” ucap Wanengpati dengan tatapan aneh, dalam hatinya masih melanjutkan sisa tanyanya,
“Siapa yang sirik? Nama seperti itu apa bagusnya?

“Ah ... sudahlah! Pepesan kosong tidak perlu diributkan!” sahut Raja Penidur, tentu saja masih dalam gaya tidurnya yang khas.

“Lebih baik kita pergi ke selatan, menyusul ketuaku mengejar si Topeng Tengkorak Emas.” sela Joko Keling alias Jin Kura-Kura dengan cepat.

“Topeng Tengkorak Emas? Siapa dia?” tanya heran Bidadari Berhati Kejam.

“Lho? Apa kalian tidak tahu kalau yang baru saja membuat pingsan segini banyak orang adalah si Topeng Tengkorak Emas?” tanya Pewaris Sang Air dengan mimik muka heran.
“Terus apa yang kalian kerjakan disini?”

“Yang kami tahu adalah disini tempat persembunyian orang-orang yang memiliki rajah sesat dan kami semua disini berniat menumpasnya,” jawab Wanengpati sambil membetulkan letak keris pusakanya.
“Selebihnya kami memang tidak tahu apa-apa, bahkan nama Topeng Tengkorak Emas baru saja kami dengar dari saudara Arjuna.”

“Ooo ... pantas kalau begitu,” kata Arjuna sambil manggut-manggut, lalu katanya,
“Baiklah! Tampaknya masalah ini harus diketahui semua orang persilatan.
Sambil menyusul ketua muda, ada baiknya saya ceritakan sedikit tentang masalah Rajah Penerus Iblis ini.”

Kemudian Arjuna Sasrabahu menghampiri harimau putih mulus. Mata tajamnya mengamati-amati seluruh tubuh si harimau.

Tiba-tiba saja ...

“Kang ... ! Harimauku jangan dipelototin begitu! Nanti dia terangsang lho ... !”

Sebuah suara kecil melengking terdengar menggema di seantero tempat itu.
Jelas sekali itu adalah suara bocah laki-laki usia sembilan sepuluh tahun.

“Hmmm ... dari mana datangnya suara itu?
Heran, kenapa akhir-akhir ini banyak sekali jago-jago muda bermunculan?” gumam si Bidadari Berhati Kejam.
“ ... bahkan suara dengusan napas yang aku yakini suara seorang bocah, kenapa sampai tidak tertangkap oleh indera pendengaranku!?”

Belum sampai gumaman nenek itu sirna, sesosok bocah berbaju hitam-hitam berjalan lenggang kangkung menuju ke arah mereka.

Tepat sesuai dugaan Bidadari Berhati Kejam, bocah itu berusia sepuluh tahun dengan baju rompi hitam dengan celana hitam setinggi lutut dimana pinggang kecilnya melilit sabuk kain warna hitam dengan garis-garis hijau.
Rambut anak itu dipotong pendek rapi.
Seraut wajah tampan menghiasi selebar wajah si bocah.
Tidak ada yang istimewa dari seluruh tubuh anak kecil itu, gerak-geriknya tak jauh beda dengan bocah sebaya dirinya, berlagak tengil dan sedikit menjengkelkan, kecuali pada matanya yang berwarna hijau menyala dengan sebuah garis melintang ditengah bola mata.
Mata harimau!

Belum lagi dengan sebilah senjata yang dari bentuknya dipastikan sebilah golok dengan gagang kepala harimau putih dengan sarung dari kulit harimau pula tampak terselip di pinggang kanan si bocah.
Yang cukup aneh adalah panjang golok itu, sekitar satu setengah kali panjang golok biasa.
Dan dilihat dari posisi terselipnya golok, anak itu pasti bertangan kidal.

Dengan enaknya ia menghampiri harimau itu, yang serentak duduk di tanah seperti berlutut.
Si bocah berbaju hitam berjongkok sambil sambil mengelus-elus leher binatang itu.

“Kau tidak apa-apa Maung Pethak?” tanya si bocah.

Tentu saja perbuatan bocah yang tidak dikenal itu membuat semua orang bergidik ngeri.

“Gila tuh anak! Kalau dicakar baru tahu rasa dia,” gumam Nawala, tanpa sadar.

“Ssstt, diam! Nampaknya harimau putih itu memang peliharaannya atau orang tuanya memang pawang harimau,” ucap Nawara yang ada disamping saudara kembarnya.

Harimau yang dipanggil Maung Pethak itu mengaum lirih sambil mendusalkan kepalanya ke dekat leher si bocah.
Manja!

“Ohh ... begitu ya? Jadi kakang gendut itu telah menyembuhkan lukamu,” kata si bocah berbaju hitam sambil jari telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arah Arjuna Sasrabahu.

“Edan! Harimau itu berlaku manja kayak anak perawan saja,” kata Raja Pemalas dengan mata melotot lebar.

“Ah … itu sih biasa-biasa saja. Namanya juga peliharaan ... tidak bakalan mengggigit kalau tidak kepepet,” gumam Raja Penidur, menimpali ucapan sahabatnya.

“Hei bocah! Apa maksud dari perkataanmu barusan?” bentak Arjuna Sasrabahu dengan mimik muka bertanya.

“Maksud kakang?”

“Apa maksud 'terangsang' yang tadi kau ucapkan?” gerutu si Jin Kura-Kura.
“Perlu kau tahu, tak bakalan aku naksir macan jelekmu itu?”

“Oh itu? He-he-he ... sebab dia ini ... “ ucap sepotong-sepotong si bocah sambil cengar-cengir.

“Ditanya baik-baik malah cengengesan ... “

“Dia ini ... harimau betina yang sedang panas-panasnya bikin anak!” kata si bocah sambil diikuti tawa berderai.

Muka Jin Kura-Kura merah matang, malu dia!
Tentu saja pemuda seperti tahu apa maksudnya 'bikin anak'!
Lancrootkan hu, ditunggu updatenya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd