oyeckpunkerz
Semprot Addict
- Daftar
- 6 Dec 2010
- Post
- 426
- Like diterima
- 2.383
Bab 52
“Syukurlah, kakang! Kita selamat!” ucap Rintani.
“Benar!
Untung aku tadi menggunakan tingkat sepuluh, pada mulanya aku ragu-ragu bisa menuntaskan mereka.” ujar Seto Kumolo, lalu sambungnya,
“Bayangkan saja ... kita berkelahi dengan mahkluk halus yang umumnya hanya bisa dilihat dengan menggunakan ilmu-ilmu gaib.”
“Aku sendiri juga heran, kakang!
Kenapa kita bisa melihat mereka seperti melihat orang biasa, padahal biasanya merekalah yang bisa melihat kita, tapi kita sendiri tidak tahu bagaimana wujud aslinya.”
“Sebab saat ini sedang terjadi Gerhana Matahari Kegelapan, maka mereka bisa terlihat jelas,” sahut seseorang dari arah belakang.
Siapa lagi jika bukan Raja Pemalas!
Berturut-turut pula Raja Penidur, utusan Partai Ikan Terbang, orang-orang Perguruan Perisai Sakti bersama Perisai Baja Bermata Sembilan, di belakangnya menyusul kemudian Tiga Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang Patah, sedang Bidadari Berhati Kejam, Juragan Padmanaba dan Nawala yang bersenjatakan Tombak Ekor Naga datang belakangan setelah membereskan dua sundel bolong dan satu kuntilanak yang tersisa.
Tentu saja sisa penghuni alam gaib yang tersisa sudah tidak bisa melanjutkan pertarungan karena kehilangan semangat akibat teman-teman mereka sudah mengasap di telan kegelapan malam.
Dan yang pasti, dengan adanya gerhana matahari kegelapan justru membuat kekuatan para bangsa siluman itu mengalami penurunan yang cukup berarti.
Hal inilah yang tidak disadari oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Beberapa orang diantara mereka mengalami luka luar dan dalam yang cukup serius.
Salah satu dari Tiga Golok langsung mendapat pengobatan seperlunya untuk menghentikan pendarahan.
Wiratsoko sendiri mengalami patah tulang kaki saat berusaha menghindari sergapan dari delapan tuyul besar yang mengeroyoknya, termasuk pula Perisai Baja Bermata Sembilan harus menderita cakaran di bagian punggung saat berusaha menolong sang murid.
Yang paling parah justru salah seorang dari utusan Partai Ikan Terbang yang bernama Pancasaka karena harus kehilangan sepasang kaki.
Hal ini terjadi tatkala Pancasaka diserang dari atas bawah oleh empat Siluman Kelelawar Penghisap Darah, meski bisa menghabisi semuanya, tapi ia harus merelakan sepasang kaki sebagai tumbal pengganti nyawa.
Akan halnya Wanengpati dan Kakek Pemikul Gunung masih dalam posisi semula, berada di atas pucuk pohon.
Memang sudah direncanakan sebelumnya, bahwa apa pun yang terjadi di tempat itu, pasangan dalang ayah anak itu harus tetap di posisi semula mengawasi keadaan.
“Ayah, sebenarnya apa yang kita tunggu disini?” tanya Wanengpati sambil mengelus-elus gagang Keris Kiai Wisa Geni yang kini ada di depan tubuhnya, diselipkan melintang dalam posisi siap tarung.
“Entahlah, Ayah sendiri juga tidak tahu,” desah Kakek Pemikul Gunung,
“ ... hanya saja Paksi berpesan bahwa kita merupakan ujung tombak dari menang tidaknya pertarungan yang mustahil terjadi di rimba persilatan saat ini.”
“Coba ayah lihat, bukankah sudah banyak dari para penghuni alam gaib yang tewas ... “ kata Wanengpati dalam keresahan,
“Apalagi yang kita tunggu?”
Kakek Pemikul Gunung hanya terdiam tanpa kata.
Tiba-tiba saja, bulu kuduknya sedikit meremang.
“Hemmm ... Aji ‘Pameling Inti Rasa’-ku menangkap sinyal gaib yang lebih besar lagi sedang menuju ke tempat ini,” batin si Kakek Pemikul Gunung, lalu ia berkata,
“Anakku! Lebih baik kau bersabar sedikit,” setelah berhenti sebentar, ia kembali melanjutkan,
“ ... sebab aku yakin sekali bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu luar biasa di tempat ini.”
“Dengan dasar apa ayah bisa berkata seperti itu?”
“Gunakan saja Aji ‘Pameling Inti Rasa’-mu.”
Tanpa menunggu tempo lama, Wanengpati segera merapal Aji ‘Pameling Inti Rasa’, sehingga dalam benaknya terdapat kilasan-kilasan kejadian yang kemungkinan besar akan terjadi di tempat ini.
Bahaya besar yang datangnya dari alam gaib!
“Kita harus bersip-siap, Ayah!”
Pada saat yang bersamaan pula, Pasukan Manusia Rawa yang semula berjumlah puluhan orang, kini membengkak jumlahnya hingga ratusan sosok manusia berlendir dengan tempurung kura-kura di punggungnya.
Memang ada satu kelebihan dari pasukan lendir yang dimiliki oleh Jin Kura-Kura, sebab setiap luka tubuh atau potongan tubuh mereka akan berubah wujud menjadi sosok yang sama rupa dan sama bentuk serta dengan kemampuan yang sama pula dengan asalnya.
Jika salah satu Manusia Rawa tewas akan muncul empat Manusia Rawa baru, namun jika satu siluman kalajengking tewas akan langsung tewas mengasap.
“Huaa ... !”
Kala Hijau dan Kala Kuning pun harus merelakan nyawa siluman mereka lenyap di tangan puluhan Manusia Rawa yang mengerubutinya dari segala arah.
Sehebat-hebatnya siluman, tentu masih ada batas kemampuan tertinggi yang mereka miliki.
Blushh .. blusshh ... !
Begitu Kala Hijau dan Kala Kuning tewas, sasaran Manusia Rawa beralih ke Kala Biru.
“Huaghh ... arrghh ... !”
Suara serak para Manusia Rawa terdengar nyaring, seakan berusaha merontokkan nyali Kala Biru, sedang yang dikerubuti berusaha sebisa mungkin mempertahan diri.
Terlihat dengan jelas bagaimana Kala Biru membagi-bagi serangan dengan sengatnya yang berwarna biru kehitaman.
Crass, cras, jrebb!!
Dua Manusia Rawa langsung tewas tersentuh sengat berbisa itu, namun dengan aneh pula, dari tubuh Manusia Rawa yang telah tewas tiba-tiba saja mengepulkan asap hijau bergulung-gulung.
Blabb!
Begitu asap hijau menghilang, terlihat delapan Manusia Rawa sudah berdiri sambil menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi runcing mereka.
Dan tanpa dikomando, langsung menyerang Kala Biru yang saat itu sedang sibuk melayani empat Manusia Rawa.
“Krakhhh ... !”
Dengan masuknya delapan lawan baru, Kala Biru semakin sulit dalam menghadapi lawan.
Dan pada akhirnya, siluman kalajengking berkepala manusia pun harus menyusul saudara-saudaranya menghadap Sang Pencipta.
“Aaaakh ... !”
Jerit lengking kesakitan terdengar saat salah satu dari Manusia Rawa menyarangkan kuku-kuku jari mereka yang berlendir ke dalam dada tepat di ulu hati, dan begitu ditarik keluar ...
Slapp!
Sebuah benda merah tua tergenggam di tangan, lalu dibanting ke tanah dengan keras.
Blarrr! Blushhh ... !
Tubuh Kala Biru langsung mengasap menimbulkan bau menyengat seperti daging yang terbakar.
Kala Biru pun tewas!
Melihat lawan tarung sudah berkurang banyak, para Manusia Rawa mengalihkan sasaran.
Dan kali ini Pasukan Kuda Iblis menjadi target berikutnya.
Benar-benar pasukan yang mengerikan!
“Manusia berlendir itu benar-benar mengerikan!” desis Juragan Padmanaba.
“Aku sendiri sampai merinding melihat kekejaman mereka.”
“Untunglah mereka ada di pihak kita,” sahut Nawala, “ ... jika tidak, mungkin kita tidak bisa mengatasi mereka.”
“Aku sendiri juga takjub dengan kekuatan Manusia Rawa itu,” kata Perisai Baja Bermata Sembilan, Ketua Perguruan Perisai Sakti,
“Karena baru kali ini aku saksikan petarung sejenis ini yang kalau mati bisa hidup kembali, bahkan jumlahnya menjadi empat kali lipat banyaknya.”
Beberapa diantara Pasukan Manusia Rawa langsung berjibaku sebagian Pasukan Kuda Iblis yang sedang bertarung sengit dengan Ayu Parameswari dan Nawara.
Tentu saja dua dara cantik itu pada mulanya kaget mengetahui ada pihak lain yang masuk ke kancah pertarungan mereka berdua.
Tapi begitu melihat bahwa pihak tersebut justru menyerang para siluman kuda berkepala manusia dan membantu mereka, membuat dua dara itu tersenyum lega.
Nawara langsung meninggalkan para siluman kuda dan menerjang ke arah Senopati Jaran Panoleh yang beradu keras dengan murid tunggal Nini Naga Bara Merah. Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib di tangan kanan berkelebat kesana kemari mengurung lawan dari atas ketinggian lewat jurus 'Pedang Menari Diantara Kumpulan Rajawali'!
Syutt! Sratt!
Hawa pedang segera mengepung ruang gerak Senopati Jaran Panoleh yang saat itu sedang menghindari terjangan hawa naga merah yang meluncur dari tendangan 'Naga Bayangan Membuka Pintu' yang dilancarkan Ayu Parameswari dari depan yang mengarah ke ulu hati.
“Brengsek!
Pedang sialan itu ternyata mengarah padaku!” batin Senopati Jaran Panoleh.
“Menghindar pun sudah tidak bisa.”
Tanpa tempo lama, senopati bermuka kuda yang langsung mengerahkan tenaga gabungan ‘Ilmu Baju Besi Iblis’ tingkat emas dan 'Tenaga Gaib Siluman Kuda' tingkat puncak.
“Hieghh ... !!”
Bayangan kuda raksasa keemasan terbentuk sempurna disertai ringkikan keras dengan dua tangan terkepal di samping, Senopati Jaran Panoleh dengan berani menahan sengatan hawa naga yang dikerahkan lawan.
Dhess ... !
Hawa naga melenceng ke samping saat membentuk dinding pelapis tubuh berbentuk bayangan kuda raksasa keemasan yang dibangun oleh Senopati Jaran Panoleh.
Wess ... ! Dhuarrr ... !
Justru pantulan hawa naga mengenai salah seorang dari Pasukan Kuda Iblis yang langsung tewas seketika.
Siing! Swiing! Triing! Triing!
Bersamaan dengan itu pula, hawa pedang segera mengepung rapat ruang gerak lawan sehingga terdengar dentingan nyaring disertai percikan api saat terjadi benturan dengan dinding pelapis kuning keemasan.
Melihat serangan hawa pedang kandas, dara murid Rajawali Alis Merah langsung melanjutkan dengan lontaran ‘Pukulan Paruh Rajawali’ dari tangan kiri.
Wutt! Bleggarrr ... !
Larikan sinar merah patah-patah langsung menghantam dinding pelapis yang dibangun Senopati Jaran Panoleh.
Dinding pelapis pun hancur berkeping-keping.
“Hebat sekali pukulan gadis berpedang itu,” pikir senopati yang bermuka kuda dengan rumbai hitam di belakang kepala.
“Dinding pelindung tenaga gabungan pun bisa dirontokkannya!”
Melihat gadis bersulam rajawali terpental, pimpinan siluman kuda itu tanpa mengatur napas kembali segera mengejar lawan dengan sepasang kaki melancarkan jurus tendangan 'Kuda Putih Membumihanguskan Daratan' ke arah Nawara yang sedang dalam posisi tidak menguntungkan.
Bukk! Buk! Bukk!!
Bayangan kaki kuda langsung menghujani sekujur tubuh dara cantik berbaju putih-putih dengan sulaman rajawali.
Puluhan bahkan mungkin ratusan tendangan bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Kuda Putih Membumihanguskan Daratan' mengenai tubuh Nawara dengan telak.
Tidak ada kesempatan bagi gadis itu untuk melindungi diri dari serangan dadakan lawan.
Seluruh tubuh gadis itu rasanya seperti dihantam dengan palu ribuan kali.
Saat antara sadar dan tidak sadar akibat rapatnya tendangan lawan, tiba-tiba saja, terjadi suatu keajaiban!
Dari tubuh Nawara keluar cahaya terang hijau kekuning-kuningan membentuk bayangan rajawali raksasa dan bersamaan pula dengan Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib yang ada di tangan kanan ikut serta memancarkan cahaya hijau kekuning-kuningan yang berpencar ke segala arah.
Swoshh! Sriiing ... !
Tanpa disadari sendiri oleh Nawara, bahwa dirinya telah dikendalikan oleh sebentuk kekuatan roh gaib yang berasal dari Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib milik Dewa Rajawali Sakti.
Namun kekuatan yang merasuk ke dalam dirinya bukanlah sesuatu yang jahat atau pun sesat, tapi sebuah kekuatan lurus yang pada jaman dahulu pernah dimiliki pendekar sakti mandraguna yang berjuluj Dewa Rajawali Sakti, dimana pada saat menjelang tidur abadinya, telah memasukkan semua ilmu kesaktian yang dimilikinya ke dalam pedang pusaka yang menjadi senjata pamungkasnya.
Pedang yang kini berada di tangan gadis dari Benteng Dua Belas Rajawali!
Senopati Jaran Panoleh yang sudah merasakan tarian kemenangan sudah berada di depan mata, langsung buyar seketika saat mengetahui bahwa tendangan kakinya seperti menyentuh kumpulan kapas yang empuk dan lunak.
“Tenaga Inti Sukma Rajawali!” serunya sambil berusaha menarik mundur sepasang kakinya.
“Mustahil!”
Saat siluman bermuka kuda itu baru menarik satu kaki kanan, mendadak pedang di tangan gadis itu dilemparkan ke atas.
Syutt!
Pedang melayang-layang berputaran beberapa kali bagai seekor rajawali betina yang melindungi sarangnya dari ancaman lawan.
Diikuti suara pekikan rajawali membahana, pedang yang memancarkan cahaya aneh itu segera meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi.
Itulah yang dinamakan jurus 'Rajawali Liar Melindungi Sarang'!
Wuss ... !
Sratt! Sratt!
Kaki kanan Senopati Jaran Panoleh langsung terpotong putus menjadi dua bagian, dimana pada bekas sayatan pedang masih terdapat pendaran cahaya hijau kekuningan.
Blukk! Blushh ... !
“Huaghh ... hieghhh ... tobbaaattt ... !”
Nawara tampak melayang di udara dengan tangan terentang lurus ke kiri kanan.
“Kuda Randana!
Ternyata kau telah ingkar janji!”
“Syukurlah, kakang! Kita selamat!” ucap Rintani.
“Benar!
Untung aku tadi menggunakan tingkat sepuluh, pada mulanya aku ragu-ragu bisa menuntaskan mereka.” ujar Seto Kumolo, lalu sambungnya,
“Bayangkan saja ... kita berkelahi dengan mahkluk halus yang umumnya hanya bisa dilihat dengan menggunakan ilmu-ilmu gaib.”
“Aku sendiri juga heran, kakang!
Kenapa kita bisa melihat mereka seperti melihat orang biasa, padahal biasanya merekalah yang bisa melihat kita, tapi kita sendiri tidak tahu bagaimana wujud aslinya.”
“Sebab saat ini sedang terjadi Gerhana Matahari Kegelapan, maka mereka bisa terlihat jelas,” sahut seseorang dari arah belakang.
Siapa lagi jika bukan Raja Pemalas!
Berturut-turut pula Raja Penidur, utusan Partai Ikan Terbang, orang-orang Perguruan Perisai Sakti bersama Perisai Baja Bermata Sembilan, di belakangnya menyusul kemudian Tiga Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang Patah, sedang Bidadari Berhati Kejam, Juragan Padmanaba dan Nawala yang bersenjatakan Tombak Ekor Naga datang belakangan setelah membereskan dua sundel bolong dan satu kuntilanak yang tersisa.
Tentu saja sisa penghuni alam gaib yang tersisa sudah tidak bisa melanjutkan pertarungan karena kehilangan semangat akibat teman-teman mereka sudah mengasap di telan kegelapan malam.
Dan yang pasti, dengan adanya gerhana matahari kegelapan justru membuat kekuatan para bangsa siluman itu mengalami penurunan yang cukup berarti.
Hal inilah yang tidak disadari oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Beberapa orang diantara mereka mengalami luka luar dan dalam yang cukup serius.
Salah satu dari Tiga Golok langsung mendapat pengobatan seperlunya untuk menghentikan pendarahan.
Wiratsoko sendiri mengalami patah tulang kaki saat berusaha menghindari sergapan dari delapan tuyul besar yang mengeroyoknya, termasuk pula Perisai Baja Bermata Sembilan harus menderita cakaran di bagian punggung saat berusaha menolong sang murid.
Yang paling parah justru salah seorang dari utusan Partai Ikan Terbang yang bernama Pancasaka karena harus kehilangan sepasang kaki.
Hal ini terjadi tatkala Pancasaka diserang dari atas bawah oleh empat Siluman Kelelawar Penghisap Darah, meski bisa menghabisi semuanya, tapi ia harus merelakan sepasang kaki sebagai tumbal pengganti nyawa.
Akan halnya Wanengpati dan Kakek Pemikul Gunung masih dalam posisi semula, berada di atas pucuk pohon.
Memang sudah direncanakan sebelumnya, bahwa apa pun yang terjadi di tempat itu, pasangan dalang ayah anak itu harus tetap di posisi semula mengawasi keadaan.
“Ayah, sebenarnya apa yang kita tunggu disini?” tanya Wanengpati sambil mengelus-elus gagang Keris Kiai Wisa Geni yang kini ada di depan tubuhnya, diselipkan melintang dalam posisi siap tarung.
“Entahlah, Ayah sendiri juga tidak tahu,” desah Kakek Pemikul Gunung,
“ ... hanya saja Paksi berpesan bahwa kita merupakan ujung tombak dari menang tidaknya pertarungan yang mustahil terjadi di rimba persilatan saat ini.”
“Coba ayah lihat, bukankah sudah banyak dari para penghuni alam gaib yang tewas ... “ kata Wanengpati dalam keresahan,
“Apalagi yang kita tunggu?”
Kakek Pemikul Gunung hanya terdiam tanpa kata.
Tiba-tiba saja, bulu kuduknya sedikit meremang.
“Hemmm ... Aji ‘Pameling Inti Rasa’-ku menangkap sinyal gaib yang lebih besar lagi sedang menuju ke tempat ini,” batin si Kakek Pemikul Gunung, lalu ia berkata,
“Anakku! Lebih baik kau bersabar sedikit,” setelah berhenti sebentar, ia kembali melanjutkan,
“ ... sebab aku yakin sekali bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu luar biasa di tempat ini.”
“Dengan dasar apa ayah bisa berkata seperti itu?”
“Gunakan saja Aji ‘Pameling Inti Rasa’-mu.”
Tanpa menunggu tempo lama, Wanengpati segera merapal Aji ‘Pameling Inti Rasa’, sehingga dalam benaknya terdapat kilasan-kilasan kejadian yang kemungkinan besar akan terjadi di tempat ini.
Bahaya besar yang datangnya dari alam gaib!
“Kita harus bersip-siap, Ayah!”
Pada saat yang bersamaan pula, Pasukan Manusia Rawa yang semula berjumlah puluhan orang, kini membengkak jumlahnya hingga ratusan sosok manusia berlendir dengan tempurung kura-kura di punggungnya.
Memang ada satu kelebihan dari pasukan lendir yang dimiliki oleh Jin Kura-Kura, sebab setiap luka tubuh atau potongan tubuh mereka akan berubah wujud menjadi sosok yang sama rupa dan sama bentuk serta dengan kemampuan yang sama pula dengan asalnya.
Jika salah satu Manusia Rawa tewas akan muncul empat Manusia Rawa baru, namun jika satu siluman kalajengking tewas akan langsung tewas mengasap.
“Huaa ... !”
Kala Hijau dan Kala Kuning pun harus merelakan nyawa siluman mereka lenyap di tangan puluhan Manusia Rawa yang mengerubutinya dari segala arah.
Sehebat-hebatnya siluman, tentu masih ada batas kemampuan tertinggi yang mereka miliki.
Blushh .. blusshh ... !
Begitu Kala Hijau dan Kala Kuning tewas, sasaran Manusia Rawa beralih ke Kala Biru.
“Huaghh ... arrghh ... !”
Suara serak para Manusia Rawa terdengar nyaring, seakan berusaha merontokkan nyali Kala Biru, sedang yang dikerubuti berusaha sebisa mungkin mempertahan diri.
Terlihat dengan jelas bagaimana Kala Biru membagi-bagi serangan dengan sengatnya yang berwarna biru kehitaman.
Crass, cras, jrebb!!
Dua Manusia Rawa langsung tewas tersentuh sengat berbisa itu, namun dengan aneh pula, dari tubuh Manusia Rawa yang telah tewas tiba-tiba saja mengepulkan asap hijau bergulung-gulung.
Blabb!
Begitu asap hijau menghilang, terlihat delapan Manusia Rawa sudah berdiri sambil menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi runcing mereka.
Dan tanpa dikomando, langsung menyerang Kala Biru yang saat itu sedang sibuk melayani empat Manusia Rawa.
“Krakhhh ... !”
Dengan masuknya delapan lawan baru, Kala Biru semakin sulit dalam menghadapi lawan.
Dan pada akhirnya, siluman kalajengking berkepala manusia pun harus menyusul saudara-saudaranya menghadap Sang Pencipta.
“Aaaakh ... !”
Jerit lengking kesakitan terdengar saat salah satu dari Manusia Rawa menyarangkan kuku-kuku jari mereka yang berlendir ke dalam dada tepat di ulu hati, dan begitu ditarik keluar ...
Slapp!
Sebuah benda merah tua tergenggam di tangan, lalu dibanting ke tanah dengan keras.
Blarrr! Blushhh ... !
Tubuh Kala Biru langsung mengasap menimbulkan bau menyengat seperti daging yang terbakar.
Kala Biru pun tewas!
Melihat lawan tarung sudah berkurang banyak, para Manusia Rawa mengalihkan sasaran.
Dan kali ini Pasukan Kuda Iblis menjadi target berikutnya.
Benar-benar pasukan yang mengerikan!
“Manusia berlendir itu benar-benar mengerikan!” desis Juragan Padmanaba.
“Aku sendiri sampai merinding melihat kekejaman mereka.”
“Untunglah mereka ada di pihak kita,” sahut Nawala, “ ... jika tidak, mungkin kita tidak bisa mengatasi mereka.”
“Aku sendiri juga takjub dengan kekuatan Manusia Rawa itu,” kata Perisai Baja Bermata Sembilan, Ketua Perguruan Perisai Sakti,
“Karena baru kali ini aku saksikan petarung sejenis ini yang kalau mati bisa hidup kembali, bahkan jumlahnya menjadi empat kali lipat banyaknya.”
Beberapa diantara Pasukan Manusia Rawa langsung berjibaku sebagian Pasukan Kuda Iblis yang sedang bertarung sengit dengan Ayu Parameswari dan Nawara.
Tentu saja dua dara cantik itu pada mulanya kaget mengetahui ada pihak lain yang masuk ke kancah pertarungan mereka berdua.
Tapi begitu melihat bahwa pihak tersebut justru menyerang para siluman kuda berkepala manusia dan membantu mereka, membuat dua dara itu tersenyum lega.
Nawara langsung meninggalkan para siluman kuda dan menerjang ke arah Senopati Jaran Panoleh yang beradu keras dengan murid tunggal Nini Naga Bara Merah. Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib di tangan kanan berkelebat kesana kemari mengurung lawan dari atas ketinggian lewat jurus 'Pedang Menari Diantara Kumpulan Rajawali'!
Syutt! Sratt!
Hawa pedang segera mengepung ruang gerak Senopati Jaran Panoleh yang saat itu sedang menghindari terjangan hawa naga merah yang meluncur dari tendangan 'Naga Bayangan Membuka Pintu' yang dilancarkan Ayu Parameswari dari depan yang mengarah ke ulu hati.
“Brengsek!
Pedang sialan itu ternyata mengarah padaku!” batin Senopati Jaran Panoleh.
“Menghindar pun sudah tidak bisa.”
Tanpa tempo lama, senopati bermuka kuda yang langsung mengerahkan tenaga gabungan ‘Ilmu Baju Besi Iblis’ tingkat emas dan 'Tenaga Gaib Siluman Kuda' tingkat puncak.
“Hieghh ... !!”
Bayangan kuda raksasa keemasan terbentuk sempurna disertai ringkikan keras dengan dua tangan terkepal di samping, Senopati Jaran Panoleh dengan berani menahan sengatan hawa naga yang dikerahkan lawan.
Dhess ... !
Hawa naga melenceng ke samping saat membentuk dinding pelapis tubuh berbentuk bayangan kuda raksasa keemasan yang dibangun oleh Senopati Jaran Panoleh.
Wess ... ! Dhuarrr ... !
Justru pantulan hawa naga mengenai salah seorang dari Pasukan Kuda Iblis yang langsung tewas seketika.
Siing! Swiing! Triing! Triing!
Bersamaan dengan itu pula, hawa pedang segera mengepung rapat ruang gerak lawan sehingga terdengar dentingan nyaring disertai percikan api saat terjadi benturan dengan dinding pelapis kuning keemasan.
Melihat serangan hawa pedang kandas, dara murid Rajawali Alis Merah langsung melanjutkan dengan lontaran ‘Pukulan Paruh Rajawali’ dari tangan kiri.
Wutt! Bleggarrr ... !
Larikan sinar merah patah-patah langsung menghantam dinding pelapis yang dibangun Senopati Jaran Panoleh.
Dinding pelapis pun hancur berkeping-keping.
“Hebat sekali pukulan gadis berpedang itu,” pikir senopati yang bermuka kuda dengan rumbai hitam di belakang kepala.
“Dinding pelindung tenaga gabungan pun bisa dirontokkannya!”
Melihat gadis bersulam rajawali terpental, pimpinan siluman kuda itu tanpa mengatur napas kembali segera mengejar lawan dengan sepasang kaki melancarkan jurus tendangan 'Kuda Putih Membumihanguskan Daratan' ke arah Nawara yang sedang dalam posisi tidak menguntungkan.
Bukk! Buk! Bukk!!
Bayangan kaki kuda langsung menghujani sekujur tubuh dara cantik berbaju putih-putih dengan sulaman rajawali.
Puluhan bahkan mungkin ratusan tendangan bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Kuda Putih Membumihanguskan Daratan' mengenai tubuh Nawara dengan telak.
Tidak ada kesempatan bagi gadis itu untuk melindungi diri dari serangan dadakan lawan.
Seluruh tubuh gadis itu rasanya seperti dihantam dengan palu ribuan kali.
Saat antara sadar dan tidak sadar akibat rapatnya tendangan lawan, tiba-tiba saja, terjadi suatu keajaiban!
Dari tubuh Nawara keluar cahaya terang hijau kekuning-kuningan membentuk bayangan rajawali raksasa dan bersamaan pula dengan Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib yang ada di tangan kanan ikut serta memancarkan cahaya hijau kekuning-kuningan yang berpencar ke segala arah.
Swoshh! Sriiing ... !
Tanpa disadari sendiri oleh Nawara, bahwa dirinya telah dikendalikan oleh sebentuk kekuatan roh gaib yang berasal dari Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib milik Dewa Rajawali Sakti.
Namun kekuatan yang merasuk ke dalam dirinya bukanlah sesuatu yang jahat atau pun sesat, tapi sebuah kekuatan lurus yang pada jaman dahulu pernah dimiliki pendekar sakti mandraguna yang berjuluj Dewa Rajawali Sakti, dimana pada saat menjelang tidur abadinya, telah memasukkan semua ilmu kesaktian yang dimilikinya ke dalam pedang pusaka yang menjadi senjata pamungkasnya.
Pedang yang kini berada di tangan gadis dari Benteng Dua Belas Rajawali!
Senopati Jaran Panoleh yang sudah merasakan tarian kemenangan sudah berada di depan mata, langsung buyar seketika saat mengetahui bahwa tendangan kakinya seperti menyentuh kumpulan kapas yang empuk dan lunak.
“Tenaga Inti Sukma Rajawali!” serunya sambil berusaha menarik mundur sepasang kakinya.
“Mustahil!”
Saat siluman bermuka kuda itu baru menarik satu kaki kanan, mendadak pedang di tangan gadis itu dilemparkan ke atas.
Syutt!
Pedang melayang-layang berputaran beberapa kali bagai seekor rajawali betina yang melindungi sarangnya dari ancaman lawan.
Diikuti suara pekikan rajawali membahana, pedang yang memancarkan cahaya aneh itu segera meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi.
Itulah yang dinamakan jurus 'Rajawali Liar Melindungi Sarang'!
Wuss ... !
Sratt! Sratt!
Kaki kanan Senopati Jaran Panoleh langsung terpotong putus menjadi dua bagian, dimana pada bekas sayatan pedang masih terdapat pendaran cahaya hijau kekuningan.
Blukk! Blushh ... !
“Huaghh ... hieghhh ... tobbaaattt ... !”
Nawara tampak melayang di udara dengan tangan terentang lurus ke kiri kanan.
“Kuda Randana!
Ternyata kau telah ingkar janji!”