Sebelum masuk ke inti, salah satu pegangan ku adalah bahawa jilbab / hijab itu adalah budaya bukan urusan agama
Keluarga Yahudi
Biarawati Katolik
Suku Amish Yahudi
Asli Nusantara :
Rohana Kudus Pejuang Wanita Minang
laksmana Malahayati Pejuang Wanita Aceh
Siti Raham istri Alm. buya Hamka
Ibu Shinta Nuriyah, Istri Alm. Gus Dur
Sebagian kukutip dari Prof Sumanto Al Qurtuby :
Kenapa hanya sejak beberapa tahun terakhir ini saja di Indonesia yang bilang Jilbab itu kewajiban? Kenapa dulu-dulu orang tidak bicara kewajiban? Kenapa tokoh-tokoh Islam hebat kita dulu sepert Cut Nyak Dhien (Aceh) atau Rohana Qudus (Minang) tidak berjilbab?
“…Hanya belakangan saja orang-orang pada ramai hiruk-pikuk membahas soal “hijab syar’i” lah, “jilbab islami” lah. Saya amati hal ini terjadi setelah munculnya berbagai ustad karbitan yang “unyu-unyu”–para ustad yang hanya bermodal cekak satu-dua dalil dari Al-Qur’an atau Hadis tapi miskin wawasan kesejarahan dan perangkat ilmu-ilmu sosial. Para ustad yang hanya bisa menghafal sejumlah ayat, Hadis, dan “aqwal” (perkataan para ulama klasik) tetapi tidak menguasai metodologi keilmuan. Akibatnya, mereka hanya bisa mengartikan ayat, hadis, dan “aqwal” tentang “hijab” tadi secara leterlek dan tekstual sehingga kehilangan konteks, sejarah, spirit atau ruh tentang tradisi hijab tadi dalam sejarah keislaman, keagamaan, dan masyarakat Timur Tengah pada umumnya–baik masyarakat agama maupun masyarakat non-agama.”
Seri Tulisan Prof Sumanto Al Qurtuby, Professor Antropolog di Univ King Fadh tentang JILBAB itu adalah BUDAYA sebuah pemerkaya sudut pandang kita atas interprestasi tunggal bahwa Jilbab itu kewajiban.
semua jenis pakaian–tanpa kecuali–itu sekuler karena produk kebudayaan manusia. Manusialah yang membuatnya “religious”. Manusialah yang membuat pakaian itu “beragama”. Pakaian yang dikenakan kaum perempuan dari agama manapun juga sama: sekuler. Emang Tuhan yang membuat pakaian? Dalam Islam, tradisi berpakaian untuk perempuan, entah itu bernama hijab, niqab, burqa, chador (di Iran), khimar, faranji (di Asia Tengah), dlsb adalah “kebudayaan sekuler”.
Tradisi berbusana menutup aurat bagi perempuan atau katakanlah “tradisi berhijab” sudah dipraktekkan jauh sebelum Islam lahir pada abad ke-7 M. Sejarah berhijab itu misalnya sudah ditemukan pada abad ke-13 SM di sebuah teks hukum di Suriah. Memakai hijab pada waktu itu terbatas untuk perempuan elit (“bangsawati”) sekaligus untuk membedakan dengan “perempuan biasa”.
Kebudayaan Yunani kuno juga mempraktekkan tradisi hijab ini. Lihat saja dengan cermat, patung2 perempuan di zaman peradaban Helenisme Yunani juga kadang2 mengenakan penutup kepala dan bahkan wajah. Caroline Galt dan Lloyd Llewellyn-Jones, begitu pula Homer, sastrawan kuno kondang dari Yunani, penulis Odyssey, juga mengonfirmasi tentang penggunaan hijab ini di zaman Yunani kuno. Bedanya dengan “Suriah kuno” adalah di Yunani kuno, praktek berhijab bukan hanya untuk “kelas elit” tapi juga perempuan biasa.
Tradisi berhijab ini juga dipraktekkan dalam agama Yahudi dan Kristen. Simak saja ada sejumlah ayat dalam “Hebrew Bible” (Perjanjian Lama) dan Injil (misalnya di Kejadian, Keluaran, Korinthus, dll) yang mengisahkan tentang hijab ini. Itulah sebabnya mengapa sejumlah kelompok Yahudi Ortodoks dan Kristen ortodoks kontemporer (Katolik, Anabaptis, Gereja Kristen OrtodoksTimur, dlll) masih mengenakan hijab ini. Foto di atas ini hanyalah sekedar contoh saja dari sejumlah kelompok suster Katolik dan Kristen Amish yang mengenakan hijab.
Dalam sejarahnya, penggunaan hijab ini, baik dalam Yahudi maupun Kristen, adalah simbol kesederhanan dan kepantasan. Perintah penggunaan penutup kepala bagi perempuan itu seperti larangan mengenakan topi bagi laki-laki saat berada di dalam gereja
tradisi pemakaian hijab bukanlah bermula dari Islam. Pula, bukan dimulai dari “saudara tua” islam, yakni “kakak kesatu” Yahudi maupun “kakak kedua” Kristen. Praktek berhijab ini sudah ada dalam kebudayaan manusia jauh sebelum “agama-agama Semit” ini lahir di dunia.
Sejarah mencatat setidaknya sejak tahun 2,500 SM sudah ditemukan tradisi hijab ini, misalnya saja dalam kebudayaan Mesopotamia kuno atau Assyria dimana sang rezim sudah membuat peraturan atau undang-undang tata-cara berbusana bagi perempuan. Disitu jelas disebutkan bahwa hijab adalah sebagai mekanisme pembeda antara “perempuan elit” dengan “perempuan rendahan”, antara “perempuan terhormat” dengan “perempuan kurang terhormat”. Para budak perempuan, pekerja rendahan, dan perempuan tak berkasta dilarang memakai hijab. Bahkan dikenai hukuman berat jika ketahuan memakainya. Hanya perempuan dari “kelas elit” yang boleh mengenakan hijab.
Tradisi Mesopotamia (kini Irak) ini kemudian diteruskan oleh berbagai imperium kuno: Mesir, Yunani, Persia, Byzantium, Romawi yang sama-sama memandang pemakaian hijab itu sebagai “simbol kehormatan”, prestise, dan “high status”. Agama-agama Semit (Yahudi, Kristen, dan Islam) di Timur Tengah lahir dalam pengaruh peradaban2 besar ini, dan oleh karena itu tidak mengherankan jika ketiga agama “warisan” Ibrahim atau Abraham ini mengadopsi tradisi hijab. Berhijab bagi perempuan (seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci mereka) adalah lambang kesederhanaan dan kepantasan. Karena itu tidak heran jika kelompok perempuan Yahudi dan Kristen awal (sebagian berlanjut sampai sekarang) mengenakan hijab. Bahkan tidak hanya berhijab, perempuan Yahudi awal juga memakai niqab.
Sejarah juga menunjukkan, tradisi perempuan Arab tidak berhijab apalagi berniqab & berburqa. Emperium Byzantium-lah yang memperkenalkan tradisi hijab ini ke kawasan Arab. Pada waktu Islam lahir, dunia Arab dan Timur Tengah memang dikepung oleh emperium ini, sehingga masyarakat Kristen dan Yahudi mendominasi kawasan ini. Jadi, sangat “unyu” jika mendapatkan masyarakat Yahudi dan Kristen kontemporer yang anti-hijab sama “unyunya” dengan sejumlah kaum Muslim yang mengklaim hijab sebagai “properti Islam” saja.