Rencana kedatangan nenek ke rumahku membuat seluruh
keluargaku mempersiapkan segalanya. Maklum saja, sebagai
anak perempuan satu-satunya, ibuku yang merupakan orang
cukup terpandang di kampungku, merasa memiliki
tanggung jawab moral untuk merawat nenek setelah
meninggalnya kakekku.
Rumah yang kami huni hanya memiliki 4 kamar tidur.
Kamar utama ditempati ayah ibuku, satu kamar untukku,
satu lagi untuk adikku dan sebuah kamar yang
dialihfungsikan sebagai kamar semi gudang-lah. Akhirnya
ayah memutuskan untuk membangun satu kamar ukuran
3x3 meter di tanah kosong ukuran 3x8 meter di samping
rumah. Sisa tanah kosong dijadikan teras yang hanya bisa
diakses dari kamar tersebut. Dan sepertinya ayah
merencanakan ruangan tersebut untuk kamar saya, karena
dibangun juga pintu tembus ke halaman depan. Kamar ini
walaupun menyatu dengan rumah utama, namun terpisah
jauh dan tidak digunakan untuk lalu lintas orang. Dari
ruang keluarga, harus melalui ruang makan, kamar semi
gudang, gudang dan harus melalui lorong yang cukup
panjang. Sehingga otomatis kamar ini terasa sunyi dan â
senyapâ. Namun menyenangkan untuk sekedar
melepas lelah. Pasca kedatangan nenekku, situasi rumah
berjalan seperti biasanya. Aku mulai terbiasa dengan kamar
baruku, walaupun jarang sekali aku berlama-lama di kamar
tersebut.
Teras kamarku ini berbatasan langsung dengan rumah
tetanggaku yang berarsitektur lawas, Pakde Narto. Rumah
lawas tersebut berbentuk L dan teras kamarku mempunyai
akses ke halaman belakang rumah Pakde Narto yang
digunakan sebagai jemuran. Dari teras tersebut bisa melihat
jelas kamar pakde dan jalan kecil akses dari ruang utama ke
kamar mandi dan gudang. Pakde Narto berusia sekitar 56
tahun, tinggal bersama istrinya De Lilis, putra beliau mas
Edo, serta mbah Sir, ibu de Narto. Usia De Lilis menginjak
50 tahun dan mas Edo akan segera menikah di usianya yang
ke 25 tahun. Aku walaupun akrab dengan keluarga ini,
namun tidak begitu dekat, karena aktifitas sekolah dan
organisasiku dan beberapa aktifitas sosial kemasyarakatan di
kampungk yang lumayan padat.
Sebagai tetangga yang baik, pada saat pernikahan mas Edo,
aku membantu di rumah pakde Narto mulai sebulan
sebelum pesta pernikahan. Mulai dari mencari persewaan
sound sistem, alat-alat pesta, ijin keramaian hingga
menyebarkan undangan pernikahan. âNak Adit. Ibu
minta tolong nak Adit membuat undangan-nya Edo ya.
Masalahnya ini waktunya Cuma kurang 2 minggu. Bisa kan
nak Adit?â� ujar De Lilis suatu sore sewaktu aku
membantu mengecat rumahnya. âEeeeâ¦.iya de. Nanti
malam saya desainkan undangannya,â� jawab saya.
Malam itu, sekitar pukul setengah delapan malam, aku
konsentrasi di depan komputerku mendesain undangan milik
mas Edo. Setelah utak-atik sana sini, ada beberapa teks
penting yang tidak aku ketahui. Seperti Nama lengkap calon
istri dan calon mertua mas Edo. Akhirnya aku beranjak
keluar melalui pintu terasku menuju bagian belakang rumah
pakde Narto.
âTok..tokâ¦tok⦠Pakde Narto. Ini Adit pakdeâ¦â�
ucapku dari pintu belakang. âOoooo sebentar nak Aditâ
¦â�, jawab suara perempuan dari dalam. Pasti de Lilis,
pikirku. Setelah pintu terbuka, mataku disuguhi
pemandangan yang menyesakkan dadaku. De Lilis memakai
daster u can see batik dan terlihat tali beha hitamnya yang
menggairahkan. Tubuhnya terlihat menggemaskan di
temaram cahaya lampu. Ukuran payudaranya yang cukup
besar, seakan menyesaki daster itu dan ingin meloncat
keluar. Selama ini aku memang tidak begitu memperhatikan
tubuh tetanggaku yang seksi ***** Adikku sudah mulai
mengeras dan aku tetap terdiam menahan tanganku yang
ingin sekali meremas payudara yang sungguh
menggelorakan nafsu itu.
âLho nak Adit. Kok diam? Ada apa nak..?â�
pertanyaan yang akhirnya membuyarkan lamunanku. â
Oooooâ¦eeee ndak budhe. Cuma mau Tanya nama
lengkap calon istri dan calon mertuanya mas Edoâ¦â�
jawabku gelagapan. âO ya sebentar nak Adit ya. Saya
tuliskan dulu. Nak Adit membuat undangannya sekarang?â
� Tanya de Lilis. âIya budhe,â� jawabku singkat.
Aku masih terdiam di pintu menunggu de Lilis yang masuk
kamar dan akhirnya keluar membawa sesobek kertas. â
Ini nak Adit,â� ujar de Lilis. âMakasih de. Kok
sepi pada kemana?â� tanyaku. âPakdhe dan Edo lagi
ke rumahnya pak Rudi untuk dimintai tolong menjadi
pembawa acara pada resepsi nanti. Mungkin pulangnya
sekitar jam 1 malam, karena tadi mau sekalian mampir dan
ngobrol sama pak lurahâ� ujarnya.
Akhirnya aku pamit kembali ke kamarku, walaupun sangat
menyenangkan berdekatan dengan de Lilis yang sintal
***** Jujur saja, selama ini aku tidak memperhatikan tubuh
de Lilis. Dan walaupun pergaulanku luas di organisasi dan
di kampong, masalah sex aku nol. Aku tidak pernah
melakukan hubungan seksual dengan siapapun. Aku pacaran
dengan gaya konvensional, apel malam minggu, pegang
tangan dan sun pipi. Hanya itu , tak lebih. Apalagi ayahku
adalah seorang tokoh yang dihormati di kampungku,
sehingga aku tak bisa berbuat seenak udelku sendiri.
Aku akhirnya tak konsentrasi mendesain undangan, masih
terbayang-bayang bodi de Lilis yang aduhai itu. Tiba-tiba..â
� Tok..tokâ¦Nak Adit. Ini bude bikinkan kopi,â�
seperti suara de Lilis mengetuk pintu. Kubuka perlahan
pintu kamarku, tampak de Lilis yang masih menggunakan
daster u can see-nya membawa secangkir kopi panas. â
Biar gak ngantuk nakâ¦,â� . Aku hanya bisa
tersenyum. Karena masih menahan nafsuku, otakku berfikir
keras bagaimana caranya agar aku bisa berlama-lama
berdekatan dengan de Lilis. âO ya de, ini saya lagi
mendesain undangannya mas Edo. Mungkin bude bisa
melihat dulu desainnya nanti bila ada yang kurang sreg bisa
diubahâ¦â� ujarku.
Tanpa curiga bude Lilis mengiyakan permintaanku. Karena
komputerku di lantai, akhirnya aku dan bude duduk bersila
di lantai. Akupun memperlihatkan desain undangan
tersebut. Budhe melihatnya dengan cermat dan meneliti satu
persatu. âIni salah nak Adit. Tanggalnya bukan 16 tapi
15â¦.â� ujar budhe sambil menunjuk dan lebih mendekat
ke layar. Dengan sedikit lirikan, aku melihat buah dada
bude yang putih mulus nan menantang. Aku segera meraih
mouse dan tangan kiriku meraih keyboard. Tanpa sengaja
tangan kiriku menempel ke lengan budhe. Terasa serrr serr
serrr, jantungku dan adikku langsung saja tegak. Namun
budhe sepertinya merasakan itu sebagai hal biasa. Kulama-
lamakan sentuhan yang nikmat itu, apalagi aku hanya
mengenakan kaos singlet.
Perlahan-lahan kugesek-gesekkan lenganku ke lengan
budhe, dengan berbagai cara dan alasan. Apalagi saat itu
suasana yang cukup dingin dan sunyi, dan sepertinya
seluruh keluargaku sudah terlelap. âBegini gimana
budhe?â� tanyaku. âSepertinya kok kurang cerah ya
warna dasarnya,â� ujarnya. Akhirnya kubuka file contoh-
contoh warna dan desain undangan, dengan masih
menggesek-gesekkan lenganku ke lengan budhe, bahkan
dengan tubuhku sudah agak condong ke arahnya sembari
mengintip isi mangkuk bra-nya yang berukuran sekitar 38.
Setelah sekian lama melihat-lihat desain,â� Nah ini
bagus..â� ujar budhe, sembari mengarahkan tangan
kanannya menunjuk ke layar monitor. Dan aku yang sejak
tadi asyik melakukan aktifitas gesek-gesek, kaget dan segera
menarik tubuhku agak menjauh.
Namun yang terjadi setelahnya yang sungguh
menyenangkan aku. Budhe menarik lengannya dan
meletakkannya agak ke belakang, digunakan sebagai
sandaran. Sehingga payudaranya terlihat menantang, dan
aku menatapnya dengan hanya menelan ludah. Agar tidak
mengundang curiga berlebihan, aku ijin budhe menutup
pintu kamar, karena udara cukup dingin. Setelah kututup
dan kukunci perlahan agar budhe tidak curiga, akhirnya aku
duduk kembali di samping budhe, namun lebih mendekat.
Sembari mendesain permintaan budhe, kutempelkan lagi
lenganku ke arah lengan budhe. Sedikit-sedikit, dan
kumajukan lenganku perlahan dan akhirnya lenganku sudah
menempel daging empuk di dada budhe. Namun yang
terjadi, budhe terdiam dan masih memperhatikan layar
computer.
Seperti mendapatkan persetujuan, akhirnya kuberanikan diri
sedikit lebih menekan payudara sekal yang menantang itu.
Apalagi tali daster budhe sudah agak jatuh dari pundaknya.
Namun tali beha hitamnya masih mengikat kuat. Lama
kelamaan aku semakin asyik dengan aktifitas itu. Budhepun
hanya terdiam tanpa reaksi, dan tatapan matanya terus
tertuju ke monitor.
Tiba-tiba bude berdiri dan berkata, âDit, budhe sudah
ngantuk. Budhe tidur dulu ya. Kamu selesaikan itu dulu
nanti kalau sudah selesai budhe lihat lagiâ�. Kulirik jam
masih pukul delapan malam. Tak ingin kesempatan ini lari,
aku berkata ke budhe. âBudhe bubuk sini dulu saja, nanti
kira-kira jam sepuluh sudah selesai nanti budhe Adit
bangunkan,â� ujarku. Tampak buhde agak ragu-ragu
menjawab ajakanku. Tapi aku segera berkata,â� Mari,
ndak apa-apa kok budhe. Nanti budhe tidur di kasur dan
kalau sudah saya print budhe saya bangunkan,â� bujukku.
Akhirnya dengan sedikit kupaksa, dengan menarik tangan
budhe yang akan segera beranjak, budhe menuruti
ajakanku, dan segera kubimbing menuju tempat tidurku
yang hanya selembar kasur di lantai.
âLampunya Adit matiin saja ya budhe. Biar budhe cepet
istirahatnya..â� tanpa menunggu jawaban budhe, aku
segera mematikan lampu kamarku. Aku segera menuju
komputerku dan mengatur intensitas cahaya monitorku agak
tak terlampau terang. Setelah sekitar 15 menit di depan
komputer, kulirik budhe di atas kasurku. Tampak budhe
tidur terlentang dengan kedua tangan yang diletakkan
disamping kepalanya. Sepertinya budhe sudah
memejamkam matanya, nafasnya belum teratur, terlihat
buah dadanya yang naik-turun. Sepertinya budhe belum
tidur.
Akhirnya dengan keberanian yang kukuatkan, segera aku
cetak contoh undangan milik mas Edo. Setelah itu,
kumatikan komputerku dan menuju jendela, mengintip ke
rumah de Lilis, memastikan tidak ada suara tanda
kepulangan pakde Narto dan mas Edo. Setelah itu aku
menuju kasurku. Kupandangi tubuh indah nan montok di
depanku⦠Celana dalamku sepertinya sudah tak kuat
menahan sesak adikku yang berdiri menantang. Aku segera
mengambil posisi tidur di samping budhe. Kuambil selimut
dan kuselimutkan ke tubuhku dan tubuh budhe. Kulirik
kembali budhe, masih tetap terdiam dan belum tertidur
sepertinya.
Di dalam selimut berdua, membuat hasratku semakin tak
tertahankan. Aku menggeser tubuhku dan menempel di
tubuh budhe, kuturunkan sedikit tubuhku sehingga wajahku
tepat berada di bawah ketiak budhe yang ditumbuhi rambut
tipis. Kecium harum bau tubuh budhe. Aku miringkan
tubuhku, dan dengan jarak kurang dari 5 cm, sudah
terpamtang payudara yang siap dikenyot. Namun aku masih
berfikir, jangan-jangan budhe nanti terbangun dan marah-
marah kepadaku⦠wah bisa berabe urusannya. Akhirnya
tanpa piker panjang, kurangkul tubuh budhe di perutnya.
Aku deg-degan luar biasa. Baru pertama kurasakan
memeluk tubuh wanita di atas ranjangâ¦.
Menunggu beberapa saat, dan tidak ada reaksi dari budhe,
perlahan-lahan kubelai perut budhe yang sudah cukup
banyak ditumbuhi benjolan lemak, maklum wanita
berumur. Bergeser sedikit ke atas, dari luar daster kurasakan
jemariku sudah berada di pangkal payudara budhe yang
sekal. Kuelus perlahan-lahan kedua bukit kembar nan
menantang itu⦠Hingga akhirnya budhe berdehem lirih
dan menarik tangannya dari atas kepala dan meletakkannya
di samping tubuhnyaâ¦mengagetkanku⦠Kuangkat
tanganku beberapa saat. Namun karena sudah tidak kuat
lagi⦠Akhirnya perlahan kucium lengan budhe dan
menarik tali dasternya dengan tanganku⦠Setelah itu
kulepas pelahan tali beha hitamnya dan akhirnya tampaklah
payudara kiri budhe yang berisi namun sedikit kendur.
Kuremas perlahan dan akhirnya aku lepas kontrol⦠Kuraih
tali daster kanan budhe, kulepas perlahan bersamaan dengan
tali beha budheâ¦
Akhirnya tampaklah dua payudara menantang milik budheâ
¦. Karena baru pertama aku langsung memegang kedua
payudara itu dengan gemas dank keras⦠kurasakan dada
yang sekal nan menantang. Budhe yang kurasa belum tidur,
sepertinya kaget dan agak menarik tubuhnya ke atas.
Tak ingin menyakiti budhe, kupraktekkan cara yang kulihat
di film bf milik kawan-kawanku yang sering kutonton.
Kujilati perlahan pangkal payudara kiri budhe, setelah puas
menjilati pangkal payudaranya, kukulum puting susu budhe
yang berwarna kehitam-hitaman karena gelap, dan hanya
ada temaram lampu teras yang masuk menerobos masuk ke
kamarku melalui ventilasi udara.
Aku pindah ke payudara kanan budhe.. kuhisap dalam-
dalam dan kulihat budhe menahan nafas yang cukup berat.
Kuciumi dada leher dan dengan keberanian yang kuhimpun,
kicium bibir budhe sedikit tergesa-gesa. Kukulum mulut
mungil itu dan kumasukkan lidahku ke dalam mulutnya
menjilati apa yang ada di dalamnya. Reaksi budhe hanya
terdiam dan menahan nafasnya⦠Kuturunkan mulutku ke
arah perut budhe, kusingkap dasternya ke bawah pusarnya.
Aku menjitat-jitat pusarnya hingga penuh dengan ludahku.
Karena sudah tak tahan, kubuang selimut yang kukanekan
berdua dengan budhe. Kulepas kaos singlet dan celana
pendekku, sehingga aku hanya menggunakan celana dalam.
Kubelai paha mulus budhe, perlahan dan samar terlihat
celana dalam budhe berwarna merah. Kucolek-colek sedikit,
tampak rambut yang keluar dari pinggir celana dalamnya.
Perlahan-lahan kuangkat daster budhe ke atas dan kutarik
celana dalam merah itu, namun agak kesulitan karena harus
melewati pantat budhe yang cukup besar. Akhirnya dengan
segala kekuatanku, kuangkat perlaan tubuh budhe danâ¦
berhasil kutarik celana dalam merah berenda itu hingga ke
lutut budhe. Terlihat vagina budhe yang indah, kucium
harum baunya yang khas. Kukocok vagina itu perlahan
sembari memilin punting budhe dengan mulutku. Nafas
budhe mulai tidak teratur, dan vagina budhe mengeluarkan
air yang cukup banyak.
Tak ingin kehilangan momentum, mulutku kutunkan ke
vagina budhe, kujilati hingga lidahku terasa kelu. Pokoknya
menjilat, tak peduli enak atau tidak⦠Slruuuppppâ¦.
Slruuupppppâ¦. suara sedotanku di vagina budhe. Budhe
sedikit menggelinjang setiap kusedot vagina yang indah itu.
Mulut budhe mengejan perlahan â¦ehhh uuhhh ahhhhâ¦
menambah indah suasana malam ituâ¦
Selain mulutku kumainkan jemariku di sela-sela vagina
budhe⦠kujilat dan kukucek-kucek vagina yang semakin
basah itu. Setalah beberapa menit kulihat budhe mengejang
hebat disertai cairan yang deras keluar dari vaginanyaâ¦
dan mulut budhe terucap eluhan panjangâ¦.uuuhhhhhhhhhâ
¦. Akhirnya budhe terkulai lemas diatas kasurku.
Sepertinya budhe sudah mencapai klimaksnya.
Aku segera melepas celana dalamku yang sudah basah
karena besarnya dorongan hasrat, dan membuka perlahan
selakangan budhe. Aku segera naik di atas budhe. Namun
sebelum kulakukan hal itu, budhe tiba-tiba berucapâ¦â
�Ditâ¦!â�â¦.
Duaaaarrrrâ¦. AKu kaget bukan kepalang. Aku tak bisa
berkata-kata lagi. Diantara perasaan takut, cemas, gelisah
dan menahan konak, aku terdiam melihat wajah budhe. Di
kegelapan tidak jelas budhe marah, tersenyum atau pasrah.
Namunâ¦
âApa yang ingin Adit lakukanâ¦?â� tanya Budhe. â
Eh⦠anu budheâ¦Maaf budheâ� aku tak bisa
menjawab pertanyaan budhe, namun segera menarik selimut
yang tadi kulepas untuk kukenakan menutup tubuhku.
Hasratku langsung hilang berganti ketakutan yang sangat.
Takut budhe marah besar.
âAdit pingin begituan yaâ¦.?â� Tanyanya. â
Eeeeehh iya budheâ¦â�. Tiba-tiba budhe tersenyum
dan meneruskan perkataannya. âAdit sudah pernah
melakukaannya sebelum ini belum?â�tanyanya. â
Belum pernah budheâ¦.â�
âTapi kenapa Adit ingin melakukannya dengan budhe?â
�. Aku menjawab,â�Tadi Adit terangsang hebat
melihat budhe dengan pakaian budhe⦠jadi Adit tak tahan
melihatnyaâ�. Budhe perlahan berkata; â�Tapi kenapa
harus sama budhe. Budhe sudah tua dan sudah tidak seksi
dan cantik lagi. Coba lihat payudara budhe sudah kendor
khan?â� âEhhh tidak budhe, susu budhe masih
menantang kok⦠Malah Adit ingin ngemutsusu budhe
lagi,â� ujarku.
âBenar Adit masih mauâ¦?â� tanya budhe lagi. Tanpa
menjawab segera kuserbu susu budhe yang agak kendor
namun berisiâ¦â�Eh sabar Dit⦠pelan-pelan. Sini budhe
pegang punya kamuâ¦â�. Tangan budhe segera meraih
penisku yang sudah terkulai. Dielus-elus perlahan, dan
akhirnya penisku mulai tegak lagi. Kuserbu kembali susu
budhe. âSebentar Ditâ¦.,â� ujar Budhe. Kuhentikan
aktifitasku mengulum pentil susu budhe. âAdit pingin
lihat budhe telanjang tidakâ¦?â� tanyanya. âEmâ¦
budhe tidak apa-apa?â� ujarku.
Reaksinya, budhe bangkit dari tidurnya dan berdiri. â
Adit saja yang melepasnya budheâ¦â�ucapku.
Akhirnya, aku berdiri di hadapan budhe, Setelah itu,
kudekap tubuh budhe. Kurasakan tangan budhe juga
memelukku, kulihat payudara budhe yang besar menempel
di dadaku dan terhimpit tubuh kami. Seperti mencuat mau
keluar. Benar-benar sensasi wanita yang berumur yang
hangat. Dengan tetap pada posisi berdiri, kulepas daster
budhe yang masih terkumpul di sekitar perutnya. Kutarik ke
atas dan kubuang di lantai. Setelah itu kukenakan lagi beha
hitamnya yang berenda serta kukenakan kembali celana
dalamnya yang terlepas dan jatuh di kakinya. âLoh
katanya mau melihat tubuh budhe� Kok malah
dipakaikan lagi?â� tanya budhe.
Tanpa menjawab pertanyaaan budhe, kulihat budhe yang
hanya mengenakan beha hitam dan celana dalam merah.
Ah⦠betapa merangnyangnya. Akhirnya kupeluk tubuh
budhe, dan kuciumi mulut budheâ¦. Slruppppâ¦.
Ahhhhhh⦠Kuremas pantat budheâ¦. KUhujuani mulut
budhe dengan ciumankuâ¦. Dan kami saling berpagutan
saling meremas, hingga akhirnya terlepas cd dan beha
budheâ¦
Akhirnya, budhe tidur terlentang di kasurku, dan aku
perlahan membuka selakangan budhe. Tampak vagina
budhe sudah berlendir, tanda nafsunya mulai bangkit lagiâ¦
Kumasukkan penisku perlahan ke dalam vagina budhe⦠â
pelan-pelan Ditâ¦sakit,â� ujar budhe. Dengan
dibimbing budhe, penisku masuk perlahan-lahan ke liang
kenikmatan budheâ¦â�Blesssssâ¦..â�. Kuhunjamkan
seluruh penisku hingga pangkalnya ke vagina tetanggaku
yang kuhormati *****
âPlupâ¦plupâ¦clepâ¦clepppâ¦.â�suara bertemunya
penisku ke dalam vagina budhe. Diiringi desahanku dan
desahan budheâ¦ahâ¦ahâ¦ehâ¦uh⦠Kubenamkan
wajahku ke dalam susu budhe, sembari kujilati dan
kukulum dengan kasar. Kuremas-remas payudara itu satu
persatuâ¦Seteleh beberapa waktu, sepertinya penisku tidak
kuat lagi menahan derasnya air yang akan keluar. Jepitan
vagina budhe juga semakin kuat, dan vagina budhe
kurasakan basah yang sangatâ¦
âBudheâ¦Adit sudah gak kuatâ¦â� ujarku.
âSebentar Ditâ¦budhe juga mau keluarâ¦.â� Ujar
budhe. Akhirnya budhe mengeluh panjang dan mendekapku
dengan erat serta sedikit mencakar punggunggku. Budhe
kembali terkulai⦠Ku terus memompa penisku dan â¦.â
�aaaahhhhhhhhhh⦠Aku keluarâ� ujarku. Akhirnya
aku terkulai lemas dan ambruk diatas tubuh budhe.
Kulihat jam di sudah jam sepuluh seperempat⦠â
Terima kasih budheâ¦â� ujarku. Aku segera
mengambil tisu dan membersihkan penisku. Budhepun
sibuk membersihkan vaginanya. Setelah itu, kami segera
mengenakan pakaian kami masing-masing.
âBudhe pulang dulu ya Dit⦠Sudah malamâ�.
Kujawab dengan senyuman. Setelah membuka pintu, budhe
keluar kamarku, namun kupanggil kembali. âBudhe, ini
ketinggalanâ¦â� kataku. Budhe menoleh ke arahku.â
�Apa Dit..?â� Aku berlari mengambil gelas yang berisi
kopi yang dibuatkan budhe tadi. Budhe menerimanya dan
segera berbalik menuju belakang rumahnya. Namun
sebelum melangkah, kuremas pantat budhe⦠budhe hanya
tersenyum dan berkata;â� Sudah mulai nakal yaâ¦â�
uajrnya.
Akhirnya setiap ada kesempatan, budhe seringkali main ke
kamarku. Aku terkadang juga sering main ke tempat budhe.
Bahkan saking kebeletnya, pada suatu sore, sepulang
sekolah aku melihat budhe menuju ke kamar mandi hanya
menggunakan selendang yang dililitkan ke tubuhnya seperti
kemben. Kupanggil budhe, dan kutarik ke teras kamarku.
Ternyata budhe sudah tidak memaki celana dalam.
Kusingkap saja selendang itu dan terlihat vagina budhe.
Aku hanya membuka resleting celanaku dan kukeluarkan
penisku. Kumasukkan penisku dalam vagina budhe. â¦
Pada saat pakdhe Narto sedang menonton televisi di
rumahnya. Setelah keluar aku ejakulasi, budhe segera
berlari menuju kamar mandinyaâ¦.
keluargaku mempersiapkan segalanya. Maklum saja, sebagai
anak perempuan satu-satunya, ibuku yang merupakan orang
cukup terpandang di kampungku, merasa memiliki
tanggung jawab moral untuk merawat nenek setelah
meninggalnya kakekku.
Rumah yang kami huni hanya memiliki 4 kamar tidur.
Kamar utama ditempati ayah ibuku, satu kamar untukku,
satu lagi untuk adikku dan sebuah kamar yang
dialihfungsikan sebagai kamar semi gudang-lah. Akhirnya
ayah memutuskan untuk membangun satu kamar ukuran
3x3 meter di tanah kosong ukuran 3x8 meter di samping
rumah. Sisa tanah kosong dijadikan teras yang hanya bisa
diakses dari kamar tersebut. Dan sepertinya ayah
merencanakan ruangan tersebut untuk kamar saya, karena
dibangun juga pintu tembus ke halaman depan. Kamar ini
walaupun menyatu dengan rumah utama, namun terpisah
jauh dan tidak digunakan untuk lalu lintas orang. Dari
ruang keluarga, harus melalui ruang makan, kamar semi
gudang, gudang dan harus melalui lorong yang cukup
panjang. Sehingga otomatis kamar ini terasa sunyi dan â
senyapâ. Namun menyenangkan untuk sekedar
melepas lelah. Pasca kedatangan nenekku, situasi rumah
berjalan seperti biasanya. Aku mulai terbiasa dengan kamar
baruku, walaupun jarang sekali aku berlama-lama di kamar
tersebut.
Teras kamarku ini berbatasan langsung dengan rumah
tetanggaku yang berarsitektur lawas, Pakde Narto. Rumah
lawas tersebut berbentuk L dan teras kamarku mempunyai
akses ke halaman belakang rumah Pakde Narto yang
digunakan sebagai jemuran. Dari teras tersebut bisa melihat
jelas kamar pakde dan jalan kecil akses dari ruang utama ke
kamar mandi dan gudang. Pakde Narto berusia sekitar 56
tahun, tinggal bersama istrinya De Lilis, putra beliau mas
Edo, serta mbah Sir, ibu de Narto. Usia De Lilis menginjak
50 tahun dan mas Edo akan segera menikah di usianya yang
ke 25 tahun. Aku walaupun akrab dengan keluarga ini,
namun tidak begitu dekat, karena aktifitas sekolah dan
organisasiku dan beberapa aktifitas sosial kemasyarakatan di
kampungk yang lumayan padat.
Sebagai tetangga yang baik, pada saat pernikahan mas Edo,
aku membantu di rumah pakde Narto mulai sebulan
sebelum pesta pernikahan. Mulai dari mencari persewaan
sound sistem, alat-alat pesta, ijin keramaian hingga
menyebarkan undangan pernikahan. âNak Adit. Ibu
minta tolong nak Adit membuat undangan-nya Edo ya.
Masalahnya ini waktunya Cuma kurang 2 minggu. Bisa kan
nak Adit?â� ujar De Lilis suatu sore sewaktu aku
membantu mengecat rumahnya. âEeeeâ¦.iya de. Nanti
malam saya desainkan undangannya,â� jawab saya.
Malam itu, sekitar pukul setengah delapan malam, aku
konsentrasi di depan komputerku mendesain undangan milik
mas Edo. Setelah utak-atik sana sini, ada beberapa teks
penting yang tidak aku ketahui. Seperti Nama lengkap calon
istri dan calon mertua mas Edo. Akhirnya aku beranjak
keluar melalui pintu terasku menuju bagian belakang rumah
pakde Narto.
âTok..tokâ¦tok⦠Pakde Narto. Ini Adit pakdeâ¦â�
ucapku dari pintu belakang. âOoooo sebentar nak Aditâ
¦â�, jawab suara perempuan dari dalam. Pasti de Lilis,
pikirku. Setelah pintu terbuka, mataku disuguhi
pemandangan yang menyesakkan dadaku. De Lilis memakai
daster u can see batik dan terlihat tali beha hitamnya yang
menggairahkan. Tubuhnya terlihat menggemaskan di
temaram cahaya lampu. Ukuran payudaranya yang cukup
besar, seakan menyesaki daster itu dan ingin meloncat
keluar. Selama ini aku memang tidak begitu memperhatikan
tubuh tetanggaku yang seksi ***** Adikku sudah mulai
mengeras dan aku tetap terdiam menahan tanganku yang
ingin sekali meremas payudara yang sungguh
menggelorakan nafsu itu.
âLho nak Adit. Kok diam? Ada apa nak..?â�
pertanyaan yang akhirnya membuyarkan lamunanku. â
Oooooâ¦eeee ndak budhe. Cuma mau Tanya nama
lengkap calon istri dan calon mertuanya mas Edoâ¦â�
jawabku gelagapan. âO ya sebentar nak Adit ya. Saya
tuliskan dulu. Nak Adit membuat undangannya sekarang?â
� Tanya de Lilis. âIya budhe,â� jawabku singkat.
Aku masih terdiam di pintu menunggu de Lilis yang masuk
kamar dan akhirnya keluar membawa sesobek kertas. â
Ini nak Adit,â� ujar de Lilis. âMakasih de. Kok
sepi pada kemana?â� tanyaku. âPakdhe dan Edo lagi
ke rumahnya pak Rudi untuk dimintai tolong menjadi
pembawa acara pada resepsi nanti. Mungkin pulangnya
sekitar jam 1 malam, karena tadi mau sekalian mampir dan
ngobrol sama pak lurahâ� ujarnya.
Akhirnya aku pamit kembali ke kamarku, walaupun sangat
menyenangkan berdekatan dengan de Lilis yang sintal
***** Jujur saja, selama ini aku tidak memperhatikan tubuh
de Lilis. Dan walaupun pergaulanku luas di organisasi dan
di kampong, masalah sex aku nol. Aku tidak pernah
melakukan hubungan seksual dengan siapapun. Aku pacaran
dengan gaya konvensional, apel malam minggu, pegang
tangan dan sun pipi. Hanya itu , tak lebih. Apalagi ayahku
adalah seorang tokoh yang dihormati di kampungku,
sehingga aku tak bisa berbuat seenak udelku sendiri.
Aku akhirnya tak konsentrasi mendesain undangan, masih
terbayang-bayang bodi de Lilis yang aduhai itu. Tiba-tiba..â
� Tok..tokâ¦Nak Adit. Ini bude bikinkan kopi,â�
seperti suara de Lilis mengetuk pintu. Kubuka perlahan
pintu kamarku, tampak de Lilis yang masih menggunakan
daster u can see-nya membawa secangkir kopi panas. â
Biar gak ngantuk nakâ¦,â� . Aku hanya bisa
tersenyum. Karena masih menahan nafsuku, otakku berfikir
keras bagaimana caranya agar aku bisa berlama-lama
berdekatan dengan de Lilis. âO ya de, ini saya lagi
mendesain undangannya mas Edo. Mungkin bude bisa
melihat dulu desainnya nanti bila ada yang kurang sreg bisa
diubahâ¦â� ujarku.
Tanpa curiga bude Lilis mengiyakan permintaanku. Karena
komputerku di lantai, akhirnya aku dan bude duduk bersila
di lantai. Akupun memperlihatkan desain undangan
tersebut. Budhe melihatnya dengan cermat dan meneliti satu
persatu. âIni salah nak Adit. Tanggalnya bukan 16 tapi
15â¦.â� ujar budhe sambil menunjuk dan lebih mendekat
ke layar. Dengan sedikit lirikan, aku melihat buah dada
bude yang putih mulus nan menantang. Aku segera meraih
mouse dan tangan kiriku meraih keyboard. Tanpa sengaja
tangan kiriku menempel ke lengan budhe. Terasa serrr serr
serrr, jantungku dan adikku langsung saja tegak. Namun
budhe sepertinya merasakan itu sebagai hal biasa. Kulama-
lamakan sentuhan yang nikmat itu, apalagi aku hanya
mengenakan kaos singlet.
Perlahan-lahan kugesek-gesekkan lenganku ke lengan
budhe, dengan berbagai cara dan alasan. Apalagi saat itu
suasana yang cukup dingin dan sunyi, dan sepertinya
seluruh keluargaku sudah terlelap. âBegini gimana
budhe?â� tanyaku. âSepertinya kok kurang cerah ya
warna dasarnya,â� ujarnya. Akhirnya kubuka file contoh-
contoh warna dan desain undangan, dengan masih
menggesek-gesekkan lenganku ke lengan budhe, bahkan
dengan tubuhku sudah agak condong ke arahnya sembari
mengintip isi mangkuk bra-nya yang berukuran sekitar 38.
Setelah sekian lama melihat-lihat desain,â� Nah ini
bagus..â� ujar budhe, sembari mengarahkan tangan
kanannya menunjuk ke layar monitor. Dan aku yang sejak
tadi asyik melakukan aktifitas gesek-gesek, kaget dan segera
menarik tubuhku agak menjauh.
Namun yang terjadi setelahnya yang sungguh
menyenangkan aku. Budhe menarik lengannya dan
meletakkannya agak ke belakang, digunakan sebagai
sandaran. Sehingga payudaranya terlihat menantang, dan
aku menatapnya dengan hanya menelan ludah. Agar tidak
mengundang curiga berlebihan, aku ijin budhe menutup
pintu kamar, karena udara cukup dingin. Setelah kututup
dan kukunci perlahan agar budhe tidak curiga, akhirnya aku
duduk kembali di samping budhe, namun lebih mendekat.
Sembari mendesain permintaan budhe, kutempelkan lagi
lenganku ke arah lengan budhe. Sedikit-sedikit, dan
kumajukan lenganku perlahan dan akhirnya lenganku sudah
menempel daging empuk di dada budhe. Namun yang
terjadi, budhe terdiam dan masih memperhatikan layar
computer.
Seperti mendapatkan persetujuan, akhirnya kuberanikan diri
sedikit lebih menekan payudara sekal yang menantang itu.
Apalagi tali daster budhe sudah agak jatuh dari pundaknya.
Namun tali beha hitamnya masih mengikat kuat. Lama
kelamaan aku semakin asyik dengan aktifitas itu. Budhepun
hanya terdiam tanpa reaksi, dan tatapan matanya terus
tertuju ke monitor.
Tiba-tiba bude berdiri dan berkata, âDit, budhe sudah
ngantuk. Budhe tidur dulu ya. Kamu selesaikan itu dulu
nanti kalau sudah selesai budhe lihat lagiâ�. Kulirik jam
masih pukul delapan malam. Tak ingin kesempatan ini lari,
aku berkata ke budhe. âBudhe bubuk sini dulu saja, nanti
kira-kira jam sepuluh sudah selesai nanti budhe Adit
bangunkan,â� ujarku. Tampak buhde agak ragu-ragu
menjawab ajakanku. Tapi aku segera berkata,â� Mari,
ndak apa-apa kok budhe. Nanti budhe tidur di kasur dan
kalau sudah saya print budhe saya bangunkan,â� bujukku.
Akhirnya dengan sedikit kupaksa, dengan menarik tangan
budhe yang akan segera beranjak, budhe menuruti
ajakanku, dan segera kubimbing menuju tempat tidurku
yang hanya selembar kasur di lantai.
âLampunya Adit matiin saja ya budhe. Biar budhe cepet
istirahatnya..â� tanpa menunggu jawaban budhe, aku
segera mematikan lampu kamarku. Aku segera menuju
komputerku dan mengatur intensitas cahaya monitorku agak
tak terlampau terang. Setelah sekitar 15 menit di depan
komputer, kulirik budhe di atas kasurku. Tampak budhe
tidur terlentang dengan kedua tangan yang diletakkan
disamping kepalanya. Sepertinya budhe sudah
memejamkam matanya, nafasnya belum teratur, terlihat
buah dadanya yang naik-turun. Sepertinya budhe belum
tidur.
Akhirnya dengan keberanian yang kukuatkan, segera aku
cetak contoh undangan milik mas Edo. Setelah itu,
kumatikan komputerku dan menuju jendela, mengintip ke
rumah de Lilis, memastikan tidak ada suara tanda
kepulangan pakde Narto dan mas Edo. Setelah itu aku
menuju kasurku. Kupandangi tubuh indah nan montok di
depanku⦠Celana dalamku sepertinya sudah tak kuat
menahan sesak adikku yang berdiri menantang. Aku segera
mengambil posisi tidur di samping budhe. Kuambil selimut
dan kuselimutkan ke tubuhku dan tubuh budhe. Kulirik
kembali budhe, masih tetap terdiam dan belum tertidur
sepertinya.
Di dalam selimut berdua, membuat hasratku semakin tak
tertahankan. Aku menggeser tubuhku dan menempel di
tubuh budhe, kuturunkan sedikit tubuhku sehingga wajahku
tepat berada di bawah ketiak budhe yang ditumbuhi rambut
tipis. Kecium harum bau tubuh budhe. Aku miringkan
tubuhku, dan dengan jarak kurang dari 5 cm, sudah
terpamtang payudara yang siap dikenyot. Namun aku masih
berfikir, jangan-jangan budhe nanti terbangun dan marah-
marah kepadaku⦠wah bisa berabe urusannya. Akhirnya
tanpa piker panjang, kurangkul tubuh budhe di perutnya.
Aku deg-degan luar biasa. Baru pertama kurasakan
memeluk tubuh wanita di atas ranjangâ¦.
Menunggu beberapa saat, dan tidak ada reaksi dari budhe,
perlahan-lahan kubelai perut budhe yang sudah cukup
banyak ditumbuhi benjolan lemak, maklum wanita
berumur. Bergeser sedikit ke atas, dari luar daster kurasakan
jemariku sudah berada di pangkal payudara budhe yang
sekal. Kuelus perlahan-lahan kedua bukit kembar nan
menantang itu⦠Hingga akhirnya budhe berdehem lirih
dan menarik tangannya dari atas kepala dan meletakkannya
di samping tubuhnyaâ¦mengagetkanku⦠Kuangkat
tanganku beberapa saat. Namun karena sudah tidak kuat
lagi⦠Akhirnya perlahan kucium lengan budhe dan
menarik tali dasternya dengan tanganku⦠Setelah itu
kulepas pelahan tali beha hitamnya dan akhirnya tampaklah
payudara kiri budhe yang berisi namun sedikit kendur.
Kuremas perlahan dan akhirnya aku lepas kontrol⦠Kuraih
tali daster kanan budhe, kulepas perlahan bersamaan dengan
tali beha budheâ¦
Akhirnya tampaklah dua payudara menantang milik budheâ
¦. Karena baru pertama aku langsung memegang kedua
payudara itu dengan gemas dank keras⦠kurasakan dada
yang sekal nan menantang. Budhe yang kurasa belum tidur,
sepertinya kaget dan agak menarik tubuhnya ke atas.
Tak ingin menyakiti budhe, kupraktekkan cara yang kulihat
di film bf milik kawan-kawanku yang sering kutonton.
Kujilati perlahan pangkal payudara kiri budhe, setelah puas
menjilati pangkal payudaranya, kukulum puting susu budhe
yang berwarna kehitam-hitaman karena gelap, dan hanya
ada temaram lampu teras yang masuk menerobos masuk ke
kamarku melalui ventilasi udara.
Aku pindah ke payudara kanan budhe.. kuhisap dalam-
dalam dan kulihat budhe menahan nafas yang cukup berat.
Kuciumi dada leher dan dengan keberanian yang kuhimpun,
kicium bibir budhe sedikit tergesa-gesa. Kukulum mulut
mungil itu dan kumasukkan lidahku ke dalam mulutnya
menjilati apa yang ada di dalamnya. Reaksi budhe hanya
terdiam dan menahan nafasnya⦠Kuturunkan mulutku ke
arah perut budhe, kusingkap dasternya ke bawah pusarnya.
Aku menjitat-jitat pusarnya hingga penuh dengan ludahku.
Karena sudah tak tahan, kubuang selimut yang kukanekan
berdua dengan budhe. Kulepas kaos singlet dan celana
pendekku, sehingga aku hanya menggunakan celana dalam.
Kubelai paha mulus budhe, perlahan dan samar terlihat
celana dalam budhe berwarna merah. Kucolek-colek sedikit,
tampak rambut yang keluar dari pinggir celana dalamnya.
Perlahan-lahan kuangkat daster budhe ke atas dan kutarik
celana dalam merah itu, namun agak kesulitan karena harus
melewati pantat budhe yang cukup besar. Akhirnya dengan
segala kekuatanku, kuangkat perlaan tubuh budhe danâ¦
berhasil kutarik celana dalam merah berenda itu hingga ke
lutut budhe. Terlihat vagina budhe yang indah, kucium
harum baunya yang khas. Kukocok vagina itu perlahan
sembari memilin punting budhe dengan mulutku. Nafas
budhe mulai tidak teratur, dan vagina budhe mengeluarkan
air yang cukup banyak.
Tak ingin kehilangan momentum, mulutku kutunkan ke
vagina budhe, kujilati hingga lidahku terasa kelu. Pokoknya
menjilat, tak peduli enak atau tidak⦠Slruuuppppâ¦.
Slruuupppppâ¦. suara sedotanku di vagina budhe. Budhe
sedikit menggelinjang setiap kusedot vagina yang indah itu.
Mulut budhe mengejan perlahan â¦ehhh uuhhh ahhhhâ¦
menambah indah suasana malam ituâ¦
Selain mulutku kumainkan jemariku di sela-sela vagina
budhe⦠kujilat dan kukucek-kucek vagina yang semakin
basah itu. Setalah beberapa menit kulihat budhe mengejang
hebat disertai cairan yang deras keluar dari vaginanyaâ¦
dan mulut budhe terucap eluhan panjangâ¦.uuuhhhhhhhhhâ
¦. Akhirnya budhe terkulai lemas diatas kasurku.
Sepertinya budhe sudah mencapai klimaksnya.
Aku segera melepas celana dalamku yang sudah basah
karena besarnya dorongan hasrat, dan membuka perlahan
selakangan budhe. Aku segera naik di atas budhe. Namun
sebelum kulakukan hal itu, budhe tiba-tiba berucapâ¦â
�Ditâ¦!â�â¦.
Duaaaarrrrâ¦. AKu kaget bukan kepalang. Aku tak bisa
berkata-kata lagi. Diantara perasaan takut, cemas, gelisah
dan menahan konak, aku terdiam melihat wajah budhe. Di
kegelapan tidak jelas budhe marah, tersenyum atau pasrah.
Namunâ¦
âApa yang ingin Adit lakukanâ¦?â� tanya Budhe. â
Eh⦠anu budheâ¦Maaf budheâ� aku tak bisa
menjawab pertanyaan budhe, namun segera menarik selimut
yang tadi kulepas untuk kukenakan menutup tubuhku.
Hasratku langsung hilang berganti ketakutan yang sangat.
Takut budhe marah besar.
âAdit pingin begituan yaâ¦.?â� Tanyanya. â
Eeeeehh iya budheâ¦â�. Tiba-tiba budhe tersenyum
dan meneruskan perkataannya. âAdit sudah pernah
melakukaannya sebelum ini belum?â�tanyanya. â
Belum pernah budheâ¦.â�
âTapi kenapa Adit ingin melakukannya dengan budhe?â
�. Aku menjawab,â�Tadi Adit terangsang hebat
melihat budhe dengan pakaian budhe⦠jadi Adit tak tahan
melihatnyaâ�. Budhe perlahan berkata; â�Tapi kenapa
harus sama budhe. Budhe sudah tua dan sudah tidak seksi
dan cantik lagi. Coba lihat payudara budhe sudah kendor
khan?â� âEhhh tidak budhe, susu budhe masih
menantang kok⦠Malah Adit ingin ngemutsusu budhe
lagi,â� ujarku.
âBenar Adit masih mauâ¦?â� tanya budhe lagi. Tanpa
menjawab segera kuserbu susu budhe yang agak kendor
namun berisiâ¦â�Eh sabar Dit⦠pelan-pelan. Sini budhe
pegang punya kamuâ¦â�. Tangan budhe segera meraih
penisku yang sudah terkulai. Dielus-elus perlahan, dan
akhirnya penisku mulai tegak lagi. Kuserbu kembali susu
budhe. âSebentar Ditâ¦.,â� ujar Budhe. Kuhentikan
aktifitasku mengulum pentil susu budhe. âAdit pingin
lihat budhe telanjang tidakâ¦?â� tanyanya. âEmâ¦
budhe tidak apa-apa?â� ujarku.
Reaksinya, budhe bangkit dari tidurnya dan berdiri. â
Adit saja yang melepasnya budheâ¦â�ucapku.
Akhirnya, aku berdiri di hadapan budhe, Setelah itu,
kudekap tubuh budhe. Kurasakan tangan budhe juga
memelukku, kulihat payudara budhe yang besar menempel
di dadaku dan terhimpit tubuh kami. Seperti mencuat mau
keluar. Benar-benar sensasi wanita yang berumur yang
hangat. Dengan tetap pada posisi berdiri, kulepas daster
budhe yang masih terkumpul di sekitar perutnya. Kutarik ke
atas dan kubuang di lantai. Setelah itu kukenakan lagi beha
hitamnya yang berenda serta kukenakan kembali celana
dalamnya yang terlepas dan jatuh di kakinya. âLoh
katanya mau melihat tubuh budhe� Kok malah
dipakaikan lagi?â� tanya budhe.
Tanpa menjawab pertanyaaan budhe, kulihat budhe yang
hanya mengenakan beha hitam dan celana dalam merah.
Ah⦠betapa merangnyangnya. Akhirnya kupeluk tubuh
budhe, dan kuciumi mulut budheâ¦. Slruppppâ¦.
Ahhhhhh⦠Kuremas pantat budheâ¦. KUhujuani mulut
budhe dengan ciumankuâ¦. Dan kami saling berpagutan
saling meremas, hingga akhirnya terlepas cd dan beha
budheâ¦
Akhirnya, budhe tidur terlentang di kasurku, dan aku
perlahan membuka selakangan budhe. Tampak vagina
budhe sudah berlendir, tanda nafsunya mulai bangkit lagiâ¦
Kumasukkan penisku perlahan ke dalam vagina budhe⦠â
pelan-pelan Ditâ¦sakit,â� ujar budhe. Dengan
dibimbing budhe, penisku masuk perlahan-lahan ke liang
kenikmatan budheâ¦â�Blesssssâ¦..â�. Kuhunjamkan
seluruh penisku hingga pangkalnya ke vagina tetanggaku
yang kuhormati *****
âPlupâ¦plupâ¦clepâ¦clepppâ¦.â�suara bertemunya
penisku ke dalam vagina budhe. Diiringi desahanku dan
desahan budheâ¦ahâ¦ahâ¦ehâ¦uh⦠Kubenamkan
wajahku ke dalam susu budhe, sembari kujilati dan
kukulum dengan kasar. Kuremas-remas payudara itu satu
persatuâ¦Seteleh beberapa waktu, sepertinya penisku tidak
kuat lagi menahan derasnya air yang akan keluar. Jepitan
vagina budhe juga semakin kuat, dan vagina budhe
kurasakan basah yang sangatâ¦
âBudheâ¦Adit sudah gak kuatâ¦â� ujarku.
âSebentar Ditâ¦budhe juga mau keluarâ¦.â� Ujar
budhe. Akhirnya budhe mengeluh panjang dan mendekapku
dengan erat serta sedikit mencakar punggunggku. Budhe
kembali terkulai⦠Ku terus memompa penisku dan â¦.â
�aaaahhhhhhhhhh⦠Aku keluarâ� ujarku. Akhirnya
aku terkulai lemas dan ambruk diatas tubuh budhe.
Kulihat jam di sudah jam sepuluh seperempat⦠â
Terima kasih budheâ¦â� ujarku. Aku segera
mengambil tisu dan membersihkan penisku. Budhepun
sibuk membersihkan vaginanya. Setelah itu, kami segera
mengenakan pakaian kami masing-masing.
âBudhe pulang dulu ya Dit⦠Sudah malamâ�.
Kujawab dengan senyuman. Setelah membuka pintu, budhe
keluar kamarku, namun kupanggil kembali. âBudhe, ini
ketinggalanâ¦â� kataku. Budhe menoleh ke arahku.â
�Apa Dit..?â� Aku berlari mengambil gelas yang berisi
kopi yang dibuatkan budhe tadi. Budhe menerimanya dan
segera berbalik menuju belakang rumahnya. Namun
sebelum melangkah, kuremas pantat budhe⦠budhe hanya
tersenyum dan berkata;â� Sudah mulai nakal yaâ¦â�
uajrnya.
Akhirnya setiap ada kesempatan, budhe seringkali main ke
kamarku. Aku terkadang juga sering main ke tempat budhe.
Bahkan saking kebeletnya, pada suatu sore, sepulang
sekolah aku melihat budhe menuju ke kamar mandi hanya
menggunakan selendang yang dililitkan ke tubuhnya seperti
kemben. Kupanggil budhe, dan kutarik ke teras kamarku.
Ternyata budhe sudah tidak memaki celana dalam.
Kusingkap saja selendang itu dan terlihat vagina budhe.
Aku hanya membuka resleting celanaku dan kukeluarkan
penisku. Kumasukkan penisku dalam vagina budhe. â¦
Pada saat pakdhe Narto sedang menonton televisi di
rumahnya. Setelah keluar aku ejakulasi, budhe segera
berlari menuju kamar mandinyaâ¦.