Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Rahasia [Copas]

sygate

Suka Semprot
Daftar
21 Mar 2013
Post
8
Like diterima
0
Lokasi
Sumatra
Bimabet
Wanita yang sudah lama kusukai bernama Shana, ia adalah kawan kuliahku. Orangnya ramah, Sangat enerjik, dan bisa dibilang tomboy. Ia adalah salah satu di antara empat orang kawan dekatku di kampus, yang lain adalah Gilang (si anak orang kaya), Rendy (si gendut), dan Shintya (kawan akrab Shana yang kemana-mana selalu bersama). Sementara namAqu adalah Adi, seorang lelaki 20 tahun biasa-biasa saja, yang paling pemalu di antara kita berlima.
Pada malem ini, kita berempat janjian untuk bertemu di sebuah caffe di tengah kota untuk merayakan selesainya masa ujian semester dan tibanya masa liburan. Aqu tiba ke caffe bersama dengan Gilang, menumpang di mobilnya. Bukan berarti Aqu tidak mau mengeluarkan duit untuk ongkos, cuma saja Gilang menawari Aqu untuk pergi bersamanya, jadi Aqu gag bisa menolak.
Tiba di caffe, Rendy sudah memesan tempat. Ia duduk di salah satu sofa di ujung ruangan yang memang sudah disetting untuk empat orang. Mata Rendy gag henti menatap monitor laptop di hadapannya, sehingga ia gag sadar kalau kita sudah ada di belakangnya.
“Hey!” Gilang menepuk pundak Rendy, membuat pria gemuk itu terhenyak kaget.
“Baru sendirian?” Tanyaqu sambil duduk.
“Iya nih. Parah dah, cuma aqu aja yang gag ngaret,” jawab Rendy.
“Lah, Si Shana sama Shintya beloem dateng?” Tanya Gilang yang kemudian duduk di sebelah Rendy, lalu meloengok ke arah monitor laptop.
“Mana aqu tau? Biasalah, cewek-cewek itu. Padahal tempat kost mereka paling deket dari sini,” jawab Rendy.
Di samping laptop, terdapat sepiring roti bakar isi coklat keju yang tampak masih hangat. Shanpa minta izin, Gilang segera mengambil sepotong roti dan melahapnya. Rendy menatap Gilang sambil menyindir, tetepi Gilang cuma membalasnya dengan menaikkan alis. Selama setengah jam, kita mengobrol hal-hal ringan seperti filem yang sedang diputar di bioskop dan mainan-mainan baru.
Saat kita masih asyik mengobrol, Shana dan Shintya tiba di caffe. Shana tiba mengenakan baju lengan pendek berwarna putih dengan loego The Rolling Stones di bagian dadanya. Untuk sekilas, perhatianku terhenti pada bagian itu. Tidak, dia bukan wanita berdada besar seperti yang banyak dipikirkan lelaki hidung belang. Dadanya relatif kecil, namun tonjolan mungil dan menggemaskan itu terlihat samar-samar dari balik bajunya, membuatku gag henti merasa penasaran. Begitu pula dengan pantatnya. Bahkan pada saat ia memakai celana jeans ketat seperti sekarang pun, pantatnya cenderung rata. Ia memang kurus, tetepi kakinya jenjang dan pinggangnya membentuk kurva yang menarik. Selain tentu saja, face dan smilenya yang Sangat manis.
“Guys, sorry…, sorry, tadi aqu ada urusan wait,” ujar Shana sambil merapikan rambutnya yang lurus dan panjang sebahu.
“Iya, lagian tadi angkotnya ngetem lama bingit,” tambah Shintya. Shintya memiliki face yang kurang menarik, badannya juga pendek dan agak gendut, tetepi ia adalah orang yang Sangat setia kawan, terutama pada Shana.
“Yaudah, duduk dulu. Nanti habis ini baru kita nonton,” ujar Gilang.
Shintya duduk di sebelah Gilang, sementara Shana duduk tepat di sebelahku. Sudah tiga bulan ini Aqu merasakan gairah yang luar biasa terhadap Shana. Aqu sendiri pun tidak mengerti, kenapa baru belakangan ini Aqu jatuh cinta kepadanya, padahal kita sudah saling kenal selama dua tahun lebih. Shana melegagkan tas kecilnya di atas pangkuan sambil menyikut lenganku, lalu ia tersmile manis. Gaya sapaannya yang seperti itu malah membuat jantungku berdegag makin kencang.
“Rapi bingit loe. Mau nonton apa kondangan?” sindir Shana sambil menunjuk kemeja formal yang kukenakan, lalu tertawa. Sebenarnya Aqu memakai kemeja ini karena pakaianku yang lain masih di laundry.
Kita berlima menghabiskan waktu di caffe sambil minum coffe dan makan kue-kue ringan. Banyak orang yang menjuluki kita sebagai Power Rangers, karena komposisi geng kita yang terdiri dari tiga pria dan dua wanita. Bagiku, kalau memang itu benar, maka Gilang adalah ranger merah, Rendy adalah ranger hitam (karena kulitnya hitam), Shintya adalah ranger kuning, Shana adalah ranger pink, sementara Aqu adalah ranger biru (karena seingatku ranger biru biasanya yang paling kalem dan pemalu).
Setelah selesai di caffe, kita pun segera beranjak ke bioskop yang legagnya gag jauh dari situ. Ticket sudah dibeli sebelumnya, sehingga kita gag perlu khawatir kehabisan tempat. Kebetulan saat kita tiba filemnya sudah hampir diputar, sehingga kita segera masuk ke dalam studio Shanpa menunggu lagi.
Ticket yang kubeli kemarin memiliki nomor 26, 27, 28, 29, dan 30; legagnya di ujung sebelah atas. Dan entah kenapa, mungkin ini memang sudah gagdir, Aqu duduk bersebelahan dengan Shana. Aqu duduk di kursi paling ujung, di sebelah kananku Shana, dan Shintya di sebelahnya lagi.
“Anjrit, iklannya lama bingit! Tau gini tadi mending aqu beli popcorn dulu!” ujar Shana sebal.
“Lah, bukannya tadi kita bawa kacang atom ya?” ucap Shintya sambil membuka restleting tasnya.
“Oiya, lupa aqu!” Shana akhirnya menemukan sebungkus kacang atom dari tas Shintya.
Shana langsung membuka bungkus kacang, meraup segenggam, lalu memasukkannya sekaligus ke dalam mulut.
“Di, mau?” ucap Shana padAqu, mulutnya masih penuh dan terus mengunyah. Kupikir-pikir, cewek yang tidak anggun ini sepertinya gag pantas jadi ranger pink.
“Nanti aja deh, filemnya juga belum mulai,” ucapku.
“Yaudah, ntar kalau mau, bilang ya,” ucapnya.
Gag lama kemudian, filem langsung dimulai dan lampu dimatikan. Filem yang kita tonton adalah sebuah filem misteri yang berjudul Fog Hill. CeriTanya tenShang sekeloempok orang yang tersesat di bukit misterius yang aneh. Selama setengah jam kita serius menonton dan gag banyak bicara, kecuali Shana dan Shintya yang sesekali bergumam.
“Masih ada gag kacangnya?” Tanyaqu pada Shana.
“Oh iya, masih ada nih, dikit lagi. Hehe,” ucap Shana sambil nyengir dan menyerahkan bungkusan kacang. Gila, kayanya dia lagi kelaparan, cepat amat makannya.
Aqu mengambil segenggam kacang dan memasukkannya ke dalam mulut ketika adegan filem yang menegangkan dimulai. Tokoh utama di filem itu sedang dikejar-kejar oleh pembunuh kejam, dan ia harus bersembunyi demi keselamaShan nyawanya. Aqu menyodorkan bungkus kacang ke arah Shana Shanpa menolehkan faceku dari filem. Shana tidak langsung mengambil bungkus kacang itu, mungkin ia tidak ngeh karena gelap. Lalu Aqu majukan sedikit lagi Tanganku dengan tujuan agar lebih dekat ke mukanya. Namun Shanpa sengaja, punggung Tanganku malah menyentuh sesuatu yang aneh, sesuatu yang empuk dan agak kenyal. Entah karena sedang terfokus pada filem atau apa, Aqu tidak langsung menarik Tanganku dan malah menekan-nekan benda empuk itu dengan Tangan yang sedang memegang bungkus kacang. Baru beberapa detik kemudian Aqu sadar dan menoleh, dan pada saat itulah Aqu baru tahu kalau Tanganku sedang menyentuh payudara Shana yang mungil itu, meskipun terhalang baju.
Nafasku tertahan dan rasa tAqut sekaligus malu memenuhi kepalAqu. Di antara kegelapan bioskop, Aqu mencoba melihat ekspresi face Shana. Ia sedang menatapku dengan tatapan yang canggung dan tampak seperti sedang menahan nafas. Oh tidak! Aqu langsung menarik Tanganku secara terburu-buru, akibatnya bungkus kacang itu malah jatuh dan menumpahkan sebagian isinya. Beberapa butir kacang berserakan di koloeng kursi.
“Aduh! Sorry, sorry! Gag sengaja!” ujarku panik. Entah Aqu minta sorry untuk sebalahan yang mana.
“Gapapa, Santai aja kali, cuma dikit koq,” jawab Shana dengan kalimat yang kurasa agak ambigu. Ia mengucapkannya dengan smile yang tampak dipaksakan. Mudah-mudahan ia tidak marah.
Setelah itu, sepanjang sisa filem Aqu sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Pikiranku selalu tertuju pada benda empuk yang baru saja kusentuh Shanpa sengaja. Sejujurnya, ini adalah pertama kalinya Aqu menyentuh payudara Wanita dengan sefrontal itu. Yah, Aqu memang lelaki yang agak kuper, jadi maklumi saja. Dan sekarang kemaluanku jadi sedikit tegang, membayangkan kalau seandainya Aqu bisa meremasnya tadi. Tetepi di sisi lain, Aqu juga tAqut kalau Shana marah padAqu, bisa saja ia mengira Aqu sengaja melAqukannya.
Setelah selesai nonton, Aqu dan Shana tidak banyak bicara. Aqu juga tidak berani mengajak bicara lebih dulu, karena Aqu sendiri masih merasa malu. Kita pulang dengan menumpang mobilnya Gilang, Aqu duduk di sebelah depan, sementara Shana, Shintya, dan Rendy di kursi belakang. Sesampainya di rumah, Aqu segera mengirim SMS ke ponsel Shana. Aqu memang tidak berani meminta sorry secara langsung, dan Aqu juga tidak mau hubungan persahabatan kita jadi renggang gara-gara masalah kecil.
“Shan, sorry ya yg tadi. Sumpah, aqu ga sengaja,” ucapku dalam SMS.
Gag lama kemudian, ia membalas SMS-ku.
“Iya, aqu tau koq. Cuma tadi aqu speechless aja, kaget aqu. Geli. :p “
Entah karena kalimat yang mana, kemaluanku menjadi tegang lagi. Karena di rumah sendiri, Aqu tidak ragu-ragu untuk melAqukan onani sambil memandangi foto Shana. Facenya, smilenya, tubuhnya, rambutnya. Seandainya saja Aqu bisa mengulang kejadian tadi seratus kali. Oh, seandainya saja Aqu bisa bercinta dengannya.
—-
Esok paginya, untuk memastikan bahwa hubunganku dengan Shana baik-baik saja, Aqu memberanikan diri mampir ke tempat kost Shana, dengan alasan ingin mengembalikan buku yang pernah kupinjam. Aqu mengetuk pintu kamarnya, lalu gag lama kemudian ia pun membuka pintu. Selama beberapa detik, kita bertatapan Shanpa suara. Face manisnya tampak begitu alami karena ia tidak mengenakan make up. Ia memakai baju putih poloes dan celana legging warna hitam. Sepertinya ia sedang bermalas-malasan di kamar.
“Eh, Di? Koq gag bilang mau kesini?” Tanyanya sambil tersmile. Jantungku berdegag sedikit lebih cepat.
“Iya, aqu kebetulan lewat sini dan inget mau ngembaliin buku,” ucapku canggung.
“Oh iya, yuk masuk dulu. Sorry agak berantakan,” ucapnya sambil mempersilakan Aqu masuk ke dalam kamar.
Aqu mengeluarkan buku dari dalam tas dan masuk ke dalam kamarnya. Meskipun ia bilang berantakan, tetepi bagiku kamarnya tampak rapi. Ada boneka kucing cukup besar di sudut kamar, yang menandakan bahwa ia tidak setomboy yang orang pikir.
Shana mengambil buku yang Aqu berikan, lalu menyimpannya di dalam lemari. Ketika ia sedang menyimpan buku dan membelakangiku, timbul suatu keinginan yang amat besar untuk memeluknya dari belakang, lalu mencium lehernya, dan meremas payudaranya. Tetepi tentu saja Aqu tidak berani melAqukan hal itu. Aqu Sangat menghargai dia sebagai kawanku, terlebih lagi Aqu menyukainya sebagai Wanita yang menyenangkan.
“Adi, lain kali loe kalau nonton di bioskop deket aqu, hati-hati dong. MenShang-menShang gelap, loe seenaknya aja grepe-grepe aqu. Pelecehan tau!”
DadAqu serasa tertusuk mendengar ucapannya yang tiba-tiba itu. Tetepi kemudian ia menoleh ke arahku dan tertawa lepas.
“Haha. Becanda ih. Muka loe pucat bingit sih?”
“Iya. Abisnya aqu keasyikan nonton filem, lagi seru-serunya. Murni kecelakan koq, Shan,” jawabku membela diri.
“Baru pertama kalinya ‘itu’ aqu dipegang lelaki. Kanget bingit aqu waktu itu,” ucapnya sambil tersmile. Koq rasanya pembicaraan ini jadi agak gimana gitu.
Aqu tahu, di luar sifatnya yang suka seenaknya, Shana adalah gadis yang baik-baik. Setidaknya ia bukan penganut pergaulan bebas seperti Wanita perkotaan yang lain. Tetepi tetep saja, dia adalah Wanita dewasa yang tidak naif lagi.
“Apalagi aqu, Shan,” ucapku menimpali.
Setelah itu kita berdua saling bertatapan, cukup lama, sampai akhirnya Aqu berpikir untuk segera pulang saja. Namun belum sempat Aqu pamit, Shana membuka mulutnya dan berbicara.
“ehm, Di….”
“Ya?” Tanyaqu.
“Ngg… gimana ya bilangnya… bingung,” Shana tersipu.
“Apaan sih?” ucapku, berlagak Santai.
“Hmm… boleh gag? Ngg…, tetepi jangan bilang siapa-siapa, yah?”
“Maksudnya?”
“Loe janji dulu, jangan bilang siapa-siapa. Please…,” ucap Shana dengan smile malu-malu.
“Iya, aqu janji koq. Ada apa?”
Shana menunduk, kedua Tangannya bertauShan di belakang punggung,
“Loe…, loe mau gag megang ini aqu lagi? Sejak semalem aqu penasaran bingit, pengen ngerasain. Bagian yang loe sentuh kemarin rasanya jadi gatel terus, gimana gitu.”
“Shan, loe gag lagi ngerjain aqu kan?” nafasku serasa berhenti selama beberapa detik, sementara kemaluanku perlahan-lahan menegang.
“Terserah eloe mau nganggepnya gimana. Aqu malu bingit sebenernya, tetepi aqu percaya sama loe,” ucap Shana sambil terus menunduk.
Aqu mencubit pipiku, meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukan sekedar mimpi basah di tengah malem. Ini sungguhan. Terdengar konyol dan kekanak-kanakan memang, tetepi Aqu kenal Shana, dia bisa saja seperti itu. Mungkin ini cumalah nafsu sesaatnya. Mungkin ia gag punya perasaan apa-apa padAqu, dan dia, di luar dugaanku, mungkin memang agak naif dalam urusan semacam ini.
“Yaudah, aqu cuma bercanda koq! Gag juga gag apa-apa. Tetepi loe udah janji ya gag akan bilang siapa-siapa,” ucap Shana tiba-tiba, sambil tertawa yang dipaksakan, tetepi ada sorot kecewa dari matanya.
Aqu gag tahan lagi, Aqu gag mau bersikap munafik. Aqu langsung melangkah maju dan memeluk tubuh Shana. Tubuhnya yang langsing dan tinggi sekarang berada di dalam dekapanku. Aqu dapat merasakan kehangaShannya, kelembuShan dan kerapuhannya, begitu juga dengan wangi rambutnya yang membuatku melayang. Lalu kutatap matanya, dan kukecup bibirnya dengan lembut. Kecupan itu berubah jadi lumaShan, lalu hisapan, bahkan sesekali ia memainkan lidahnya.
“Mmmhh…”
Cuma suara lenguhan pelan yang terdengar di antara kita. Bibirnya terasa manis dan lembut, seperti mengirimkan sensasi luar biasa di seluruh mulutku. Gag lama kemudian, ia memaksAqu melepaskan ciuman.
“Bego dasar! Aqu gag minta dicium, tetepi aqu minta loe remesin susu aqu!” ucapnya sambil menahan tawa.
Lalu kita berdua tertawa terbahak-bahak. Kedengaran seperti lelucon yang Sangat konyol.
Aqu duduk di atas kasurnya,
“Shana, sini duduk, aqu pangku.”
Shana melangkah sambil tersmile malu-malu, lalu duduk di pangkuanku dengan posisi menghadap belakang. Aqu dapat merasakan pinggul dan pacuma yang cuma dibalut legging tipis. Dan Aqu menduga ia juga bisa merasakan tonjolan kemaluanku di pantatnya, tetepi ia gag bilang apa-apa.
“Oh iya, Di. Loe jangan macem-macem ya. Kita masih tetep temenan, jadi loe jangan ngelAquin hal yang lebih ya,” ucap Shana.
“Iya, aqu ngerti koq. Aqu gag akan ngelAquin yang gag loe minta,”
Aqu melingkarkan Tanganku di pinggang Shana, lalu mulai meraba perutnya yang rata dari luar baju.
“Perut loe six pack ya?” Tanyaqu, bercanda. Ia cuma tertawa.
Lalu rabaan kedua Tanganku naik ke atas, ke arah dua tonjolan di dadanya, namun sebelum menyentuh bagian itu, segera kubeloekkan ke arah ketiak.
“Duuh Adi… Please dong. Loe lebih suka megang ketek daripada susu ya?” Shana meledek.
“Haha. Iya, iya.”
Kugunakan jari-jemariku untuk menyentuh payudara Shana, kutelusuri permukaanya, lalu kutekan-tekan sedikit. Rasanya lembut dan kenyal, jauh lebih intens dari yang Aqu rasakan waktu di bioskop. Dan ternyata ia tidak memakai bra, mungkin karena tadi sedang berSantai di kamar.
“Mmmh…,” Shana melenguh pelan, seperti ditahan.
Lalu kupijat lembut kedua payudaranya dari luar baju. Kuremas-remas pelan. Ternyata ukurannya tidak sekecil yang terlihat dari luar baju, bahkan gunungnya masih cukup memenuhi telapak Tanganku. Selain itu, bentuknya juga bulat dan kencang, sama sekali tidak kendor atau menggantung. Makin lama pijetanku makin kuat, kuremas dari bagian pangkal hingga ke putingnya. Samar-samar Aqu dapat merasakan putingnya yang sudah Sangat keras. Langsung saja kuelus-elus menggunakan jari.
“Haaaah… Di, pelan-pelan dong,” ucap Shana dengan nafas yang penuh desahan.
Mendengar suara desahannya, kemaluanku menjadi tegang dengan sempurna, mendesak ke arah pantat Shana.
“Aqu gag ngerti nih, rasanya aqu udah gila deh. Bisa-bisanya sekarang susu aqu diremes-remes sama sahabat aqu sendiri…, dan sekarang, kemaluan sahabat aqu itu ngaceng di pantat aqu,” ujar Shana di sela desahan nafasnya, dan berusaha untuk tertawa.
“Aqu juga ngerasa ini bener-bener aneh,” ucapku sambil terus meremas payudaranya.
“Iya, aneh. Tetepi enak. Ahhh…,” Shana mendesah panjang ketika kuremas bagian putingnya.
Perlahan-lahan, Shana menggerakkan pinggulnya, memberikan gesekan pada kemaluanku.
“Uhhh… gila, enak rasanya,” ujarku.
“Aqu kasih bonus tuh dikit, hihi,” ucap Shana.
“Mau aqu isep pake mulut ga?” Tanyaqu padanya. Sekarang rasa malu dan canggungku kepadanya sudah hilang entah kemana. Mungkin tenggelam di lauShan nafsu.
“Mmmmh… Iyah… mau,” ucap Shana. Kemudian ia langsung berdiri dan membalikkan badan. Lalu ia duduk lagi di pangkuanku, kali ini saling berhadapan.
“Bajunya buka dulu dong,” ucapku sambil menunjuk baju putihnya yang sudah lecek di bagian dada.
“Gag ah…! Gag mau!” tolaknya sigap.
“Lah, kaTanya mau diisep?” Tanyaqu.
“Ya loe isep dari luar baju aja, gimana?”
“Susah dong….”
“Pokoqnya aqu gag mau buka baju, aqu tAqut kebabalasan ntar. Bahaya Di, kita kan cuma temenan. Lagian aqu masih perawan gitu lho.”
Dasar aneh, gumamku dalam hati. Namun Aqu tetep menghargainya, bisa begini saja sudah merupakan mukjizat bagiku. Langsung kudekatkan kepalAqu ke arah dadanya, lalu kuciumi payudaranya dari luar baju. Kucoba untuk menghisapnya. Rasanya pahit, baju ini rasanya tidak enak.
“Yaudah, aqu kasih bonus lagi,” ucap Shana sambil menggoyangkan pinggulnya lagi. Kali ini kemaluanku bergesek-gesekan dengan vaginanya secara tidak langsung. Rasanya membuatku kembali bergairah. Kugigit-gigit payudaranya yang kanan, sementara yang kiri Aqu remas-remas.
“Mmmmhh… Di… this is… our dirty little secret,” ucap Shana.
Tiba-tiba saja ponsel Shana berdering. Merasa terganggu, Aqu menghentikan aktivitasku. Shana menoleh ke arah ponselnya, lalu segera meraihnya sambil tetep duduk di pangkuanku.
“Cuma SMS,” kata Shana.
“Siapa?” Tanyaqu.
“Dari Shintya. Dia bilang… dia lagi di jalan mau ke sini, lima belas menit lagi sampe,” jawab Shana sambi mengerutkan dahi.
“Wah gawat, berarti kita harus udahan nih,” ucapku. Aqu mulai panik, akan jadi bencana kalau sampai salah satu dari rangers lain mengetahui perbuatan kita.
“Wait, jangan dulu,” ucap Shana.
“Tetepi , wait lagi Shintya mau kesini kan? Loe gag mau kan kalau Shintya sampe tau atau curiga?” Tanyaqu.
“Iya, aqu ngerti koq. Tetepi masih ada lima belas menit. Please,”
Tiba-tiba Shana menyentuh kemaluanku dari luar celana, lalu membuka restletingnya. Ia menatapku dan tersmile,
“aqu kocokin deh, yah?”
Aqu gag sanggup menolak.
Shana umurnya sedikit lebih muda dariku, tetepi meski begitu ia adalah orang yang cerdas, terutama dalam masalah pelajaran. Aqu pertama kali mengenalnya saat kita satu kelas dalam sebuah mata kuliah. Waktu itu Aqu sudah akrab dengan Gilang dan Rendy, Shana juga sudah akrab dengan Shintya. Lalu kita berkenalan, dan mungkin itulah awal mulanya geng Power Rangers terbentuk.
Aqu ingat bagaimana Aqu adalah orang yang paling canggung di hadapan Wanita, bahkan terhadap Shana. Karena ia memang supel dan ramah, ia yang selalu mendekatiku lebih dulu, hingga Aqu akhirnya bisa mengenal dia lebih akrab. Dia yang selalu aktif memulai candaan saat kita sedang nongkrong, lalu biasanya akan ditimpali oleh Shintya dan Gilang dengan cara yang konyol, bahkan cenderung gila. Rendy cenderung waras, dan Aqu lebih waras lagi.
Bukan rahasia lagi kalau banyak lelaki di kampus yang naksir pada Shana, baik senior ataupun junior. Namun Shana tampaknya tidak punya keinginan untuk pacaran dan cuma senang berkawan. Dia pernah curhat bahwa dulu ia pernah disakiti seorang lelaki, dan itu membuat dia jadi anti terhadap status pacaran. Lagipula, semua orang setuju kalau Shana adalah tipe cewek yang asik dijadikan kawan, dan tidak cocok dijadikan kekasih.
Tetepi Aqu berbeda. Aqu punya perasaan yang lebih dari sekedar kawan. Dan lucunya, cewek yang kusukai secara diam-diam itu kini sedang duduk di sampingku, Tangannya pelan-pelan membuka restleting celanAqu, sementara bibirnya tersmile antusias.
“Gapapa kan, kaloe aqu pegang barang loe?” Tanya Shana.
Aqu cuma mengangguk. Mana mungkin Aqu menolak.
Setelah restleting celanAqu terbuka, terlihatlah celana dalam coklatku yang sudah menonjol menahan desakan kemaluan. Ujung jari telujuk Shana yang lentik itu pelan-pelan mengelus kemaluanku dari luar CD. Aqu benar-benar sulit percaya, jari-jemari yang lentik dan indah itu sekarang mulai memijit-mijit kelaminku.
“Geli, Shan…” Aqu meringis.
“Waw, ternyata kaya begini ya. Aqu baru pertama kali megang barang lelaki,” ucap Shana.
“Aqu juga baru pertama kali diginiin.”
“Emang ga sakit ya, ketahan celana kaya gini?” Tanya Shana.
“Yah, sedikit sakit sih.”
“Keluarin aja ya?”
“Iya deh.”
Pelan-pelan, Shana menarik ke bawah ujung celana dalamku, dan seketika itu juga kemaluanku yang sudah tegak langsung mencuat keluar. Melihat benda keras dan panjang itu tiba-tiba berdiri di hadapannya, Shana tampak kaget.
“Buset! Kaget aqu. Hmmm… bentuknya gini ya,” ucap Shana. Sekarang jari-jemarinya meraba-raba batang kemaluanku.
“Uhhh… emangnya loe baru pertama liat?” Tanyaqu sambil menahan desahan.
“Aqu pernah liat lah, di filem bokep. Tetepi agak beda…” jawab Shana sambil mengelus-elus kepala kemaluanku yang terlihat seperti topi tentara.
“Beda? Masa sih?”
“Iya, kaloe di filem sih, agak… lebih gede gitu,” Shana tertawa pelan. Sialan, Aqu diledek. Inilah akibatnya kalau cewek suka nonton bokep bule. Membandingkan seenaknya.
“Huh.”
“Becanda ih… haha…” Shana menjulurkan lidah. Oh seandainya saja lidah itu mau bergesekan dengan kulit kemaluanku. Tetepi Aqu gag berani meminta, “menurut aqu punya loe pas bingit di Tangan,” ucap Shana.
Sekarang Shana menggenggam batang kemaluanku dengan telapak Tangannya. Rasanya ada sensasi dingin dan hangat sekaligus. Lalu ia mulai menggerakkannya naik turun. Oh, nikmatnya, dia mulai mengocok. Tetepi tiba-tiba ia melepaskan lagi genggamannya. Lho, kenapa?
“Wait ya,” ucap Shana sambil beranjak berdiri.
Aqu cuma mengangguk bingung. Ternyata ia berjalan ke arah lemari dan mengambil sebotol body loetion.
“Kasian kalau anak orang sampe aqu bikin lecet. hehe,” ucapnya.
Ia meneluarkan loetion pemutuh kulit itu, lalu mengoleskannya di batang kemaluanku. Lalu ia mulai mengocoknya lagi, perlahan, namun makin cepat. Ohh, sekarang rasanya lebih lancar dan lebih nikmat.
“Auwhh…” Aqu gag kuasa menahan nafas yang makin memburu.
“Enak ya, Di?” Tanya Shana sambil menatap ekspresi faceku.
“Enak,” jawabku.
“Enak bingit?” Tanyanya lagi.
“Iya, enak bingit.”
“Enak sih enak, tetepi Tangan loe jangan diem aja dong…,” ia protes.
“Oh iya, hehe, sorry.”
Aqu langsung menggunakan kedua Tanganku untuk meremas-remas payudaranya dari luar baju. Remasanku kini lebih liar karena Aqu terasa makin menikmati kegiatan ini. Lalu kita berciuman, ciuman yang penuh nafsu antar dua orang sahabat. Lidah kita bertauShan dan saling jilat. Samar-samar terdengar suara gesekan Tangan Shana dengan kemaluanku yang sudah diolesi loetion.
Shanpa meminta izin, Tanganku menyusup ke balik bajunya. Dia kan cuma bilang tidak boleh buka baju, kalau menyelipkan Tangan kan dia tidak melarang. Langsung saja kuremas payudara kanannya. Uhh, sensasinya berbeda. Sekarang kulit Tanganku bergesekan langsung dengan kulit payudaranya, rasa kenyal dan lembutnya benar-benar terasa.
“Mmmmhh… ahh.. nakal ya…,” gumam Shana. Tetepi ia tidak membuat perlawanan.
Tanganku sekarang memilin-milin puting susunya, membuat puting yang sudah keras itu menjadi makin keras. Sesekali kupencet lembut, dan itu membuat Shana menarik nafas dalam.
“Di… mmmhhh…. terus Di, enak,” merasakan kenikmaShan yang lebih, Shana makin mempercepat kocokannya. Aqu jadi makin ingin ejAqulasi, tetepi kutahan dulu.
Leher Shana yang jenjang dan mulus itu kucium dan kujilat-jilat. Wangi badan dan rambutnya membuatku merasa makin nyaman. Selain itu lehernya benar-benar bersih, gag ada cacat sedikitpun.
“Adi… mmmhh… ini cuma sekali ini aja ya. Kita akan tetep jadi temen dan sahabat. Mmmhh… jangan sampe ada yang tau, ya?” ucap Shana di sela-sela desahannya.
Aqu tidak menjawab, dan malah menggigit pelan leher Shana. Lalu Aqu menarik ke atas baju yang dikenakan Shana. Aqu tarik terus hingga ke dekat leher, sekarang kedua payudaranya terlihat jelas di hadapanku. Bentuknya sungguh indah, bulat dan putih bersih, putingnya berwarna coklat agak pink.
“Aqu jadi malu…,” ucap Shana sambil tersipu.
“Susu loe bikin gemes,” ucapku.
Perlahan-lahan kujilat ujung puting Shana, kubelai-belai dengan lidahku.
“Aaaahhh! Geli!” Shana berteriak.
Setelah itu kubuka mulutku dan kulahap payudara itu. Aqu hisap, payudara yang sebelah kanan, bergantian dengan yang sebelah kiri. Sesekali kujilat permukaan gunungnya.
“Oooh… terus Di, kenyot terus, sedot Di… Mmmmhhh…”
Benar-benar luar biasa. Kemarin malem Aqu merasa senang cuma dengan menyenggol benda ini, tetepi sekarang, Aqu bisa menjilat dan menghisap-hisapnya.
“Putingya, Di… Akhhh…, iyah, kaya gitu… ahhh….”
Setelah menjilat dan menghisap kedua bukit kembar itu terus menerus, Aqu berinisiatif untuk menggigit putingnya, pelan-pelan.
“Auw!” jerit Shana.
Kocokan Shana di kemaluanku makin cepat dan rapat. Mendengar suara desahannya yang seksi serta merasakan payudaranya yang kenyal membuat Aqu benar-benar tidak tahan lagi sekarang. Aqu ingin lebih. Aqu ingin percumbuan ini berlangsung hingga klimaks. Aqu ingin….
Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamar Shana dari luar. Lalu sebuah suara terdengar.
“Shan…, Shana…,” itu suara Shintya!
Kita terhenyak. Rupanya karena keasyikan, kita sampai lupa batas waktu lima belas menit tadi. Bagaimana ini? Shana tampak kaget dan facenya pucat. Kalau sampai skandal ini ketahuan, habislah riwayat kita. Bisa-bisa persahabatan geng Power Rangers bisa berantakan.
Mungkin karena panik atau bingung, Shana bukannya buru-buru mengakhiri permainan ini, ia malah terus mengocok kemaluanku. Aqu sudah gag sanggup mengendalikan diri lagi.
“Shan, aqu… mau ke… keluar….”
“Hah?!” Shana kaget, mulutnya menganga.
Seketika itu juga kemaluanku berdenyut-denyut dan muncratlah cairan Air mani berkali-kali. Shana secara refleks menjauhkan kemaluanku dari tubuhnya, dan itu malah membuat Air maniqu muncrat kemana-mana. Sebagian ada yang tumpah di baju Shana, di Tangannya, dan sebagian lagi ada yang muncrat ke lantai dan dinding. Gila, rasanya sungguh nikmat.
“Shana…. ini aqu Shintya. Lagi ngapain sih loe? Tidur ya?” suara Shintya terdengar menggumam dari balik pintu.
“Aduh, gimana ini?” Shana berbisik sambil memperhatikan Tangan kirinya yang blepotan Air maniqu.
“Bersihin dulu!” bisikku padanya.
“Iya, wait Shin! Aqu lagi ganti baju nih, abis mandi!” ucap Shana, setengah berteriak.
Dengan gerakan cepat, Shana mengambil tissue dan mengelap Air maniqu yang menempel di Tangan dan bajunya. Lalu ia mengambil kain lap dan membersihkan Air maniqu yang menempel di lantai dan dinding.
“Cepetan dong, Shan… Ganti baju aja lama bingit sih loe?” ucap Shintya dengan tidak sabar.
Shana mengambil air minum dari galoen, lalu membasahi rambutnya sendiri. Mungkin agar terlihat seperti habis mandi.
Lalu ia meloetot padAqu dan berbisik, “Di, ngumpet di koloeng tempat tidur! Cepet!”
Aqu terkejut. Tampaknya gag ada tempat bersembunyi lain, jadi Aqu langsung menuruti perintahnya.
Kira-kira tiga menit kemudian, persiapan sudah selesai. Aqu sudah bersembunyi di koloeng tempat tidur dan cuma bisa mendenga suara mereka. Untunglah seprei tempat tidur ini panjang sampai ke lantai, jadi sepertinya Shintya tidak menyadari keberadaanku.
“Duh, lama amat sih loe, baru dibukai sekarang,” terdengar suara Shintya.
“Sorry, sorry, tadi aqu lagi pake handuk,” jawab Shana.
Setelah itu Aqu dengar mereka mengobrol dengan suara yang kurang jelas. Mungkin Shintya sedang menggumam. Lalu gag lama kemudian, Aqu merasakan ada yang duduk di atas tempat tidur.
“Ihh… ini apaan Shan ?” suara Shintya terdengar dari atasku.
“Hah? Apaan?” suara Shana.
“Ini, aqu kan meluk boneka kucing loe, tetepi koq ada lendir lengket gini ya? Idiih… apaan nih…?” ujar Shintya.
DEG! Jantungku serasa berhenti berdegup. Gawat. Sepertinya ada yang kelewatan waktu proses bersih-bersih tadi!
Selama beberapa detik, suaSana menjadi hening. Entah apa yang terjadi di luar Sana.
Namun tiba-tiba Shana bersin,
“hachiiii!!!”
“Woooaaahh…! Hiiiiiiiyyyy! Jadi ini ingus lu? Jorok bingit sih lu, cewek macem apa sih lu, ga nyangka aqu punya temen jorok kaya loe. Idiiih,” ucap Shintya beruntun.
“Ya… abisnya… aqu lagi pilek bingit nih, sorry…” ucap Shana dengan suara yang dibuat lesu.
“Pilek sih pilek, tetepi ingusnya jangan dilap ke boneka dong,” ucap Shintya menggerutu.
Perasaanku menjadi lega. Untunglah, sepertinya Shintya percaya. Selama setengah jam kemudian, mereka berdua mengobrol panjang lebar, khas anak cewek. Dan setelah itu, Aqu dengar bahwa Shintya tidak bisa berlama-lama, karena ia ada urusan lain dan juga agar Shana yang sedang “pilek” bisa beristirahat.
“Yaudah, Shan. Loe istirahat dulu ya. Besok pagi aqu mampir ke sini lagi deh. Cepet sembuh ya!” ucap Shintya.
“Iya, thanks ya.”
Suara pintu ditutup. Sepertinya Shintya sudah keluar. Gag lama kemudian, seprei kasur disibak oleh seseorang, dan Shana meloengok ke koloeng kasur, ke arahku yang sedang merayap seperti cicak.
“Huff… Hampir aja kita mampus….” ujar Shana.
Aqu membduit nafas lega. Untungnya Aqu membuat skandal dengan Wanita yang kreatif.
 
Sehabis Shinta pergi, sebenarnya Aqu sempat berharap agar permainan kita dilanjutkan. Tetapi Shana ternyata menolak, mungkin peristiwa menegangkan tadi sudah membuat mood-nya down, atau malah membuat dia kapok. Aqu tidak bisa memaksa, karena semua ini memang dia yang memulai. Tetapi Aqu tidak terlalu kecewa,setidaknya Aqu sempat mengalami ejAqulasi tadi, jadi gairahku lumayan bisa dikendalikan.
"Di, loe inget ya..., besok kita ketemu di kampus, loe anggep semua ini gag pernah terjadi," ucap Shana ketika Aqu pamit. Aqu mengangguk saja sembari tersenyum, padahal mana mungkin Aqu bisa melupakan kejadian tadi. Mustahil.
Esok paginya, Aqu pergi ke kampus seperti biasa, kebetulan pagi ini mata kuliahku tidak ada yang satu kelas dengan geng Power Rangers, jadi Aqu tak terlalu khawatir. Dosen memberikan materi panjang lebar sampai membuatku mengantuk, untungnya bel segera berbunyi.
Giska
Ketika keluar beberapa langkah dari ruangan kelas, tak sengaja Aqu menabrak seseorang. Ia tidak terjatuh, tetapi sebuah majalah yang ada di tangannya yang jatuh. Aqu memperhatikan orang yang kutabrak itu. Seorang mahasiswi, lebih tepatnya adek kelas. Aqu tidak kenal dekat dengannya, tetapi kita saling tahu nama. Namanya adalah Giska, satu tingkat di bawahku. Ia cukup populer di kampus karena wajahnya yang cantik dan pandai bergaul. Tubuhnya lebih mungil dan lebih kecil dari Shana, tetapi wajahnya tak kalah manis, Aqu menebak dia ada keturunan Chinese karena kulitnya putih mulus dan matanya agak sipit. Ia memakai kemeja kotak-kotak yang tampak kebesaran dan mengenakan kacamata berframe warna maroon, Tetapi sama sekali tidak membuat dia terlihat kutu buku. Terlebih lagi, ia adalah seorang vokalis band yang cukup sering manggung di acara-acara kampus.
"Eh Sorry, gag sengaja," ucapku.
"Gag papa Kak, saya yang gag liat," jawabnya sembari memungut tabloid yang jatuh.
Selama beberapa detik kita bertatapan. Aqu merasa ada yang aneh dengan tatapannya, sampai kemudian Aqu sadar kalau geng Power Rangers sudah menungguku di seberang sana. Ada Shana juga yang sedang menatapku. Apa ya yang dia pikirkan?
"Woy, sini!" ucap Rendy sembari melambaikan tangan.
Sembari mengangguk pelan Aqu menigaglkan Giska dan bergegas ke tempat mereka. Semua anggota geng berkumpul, kecuali Gilang. Shinta sedang asyik mengunyah biskuit dan Shana tampak serius mengetik di handphonenya. Aqu melirik sekilas, dan Shana ikut menoleh, tetapi ia cepat-cepat kembali menatap layar handphonenya. Jantungku berdetak kencang, dan bersamaan dengan itu kemaluanku mengeras sedikit. Tetapi kenapa dia tidak tersenyum? Apakah dia juga sama canggungnya denganku?
"Gimana, sore ini ada acara gagk?" Rendy bertanya sembari menepuk pundakku.
"Ada apa Yan?"
"Koq ada apa? Kan tiga hari lagi UAS, kita belajar bareng dong. Kan mata kuliah kita banyak yang sama. Gimana?" jawab Rendy.
"Koq tumben?" balasku.
"Tau nih, bocah ini tiba-tiba sok rajin gitu. Paling-paling dia ga punya catetan dan males baca buku," ujar Shinta.
"Ayolah... Si Gilang udah setuju, dia nyediain tempat dan konsumsi gratis. Oke kan?" ucap Rendy. Aqu dan Shinta mengangguk sehabis mendengar kata konsumsi gratis.
"Loe gimana Tan, bisa?" tanya Shinta.
Shana agak terkejut dan menoleh dengan tiba-tiba, "Oh bisa koq bisa, gag masalah."
Singkat cerita, setengah jam kemudian kita pun berangkat ke rumah Gilang menggunakan mobilnya. Rendy duduk di depan bersama Gilang, sementara Aqu, Shana, dan Shinta duduk di belakang. Shinta di kiri, Shana di tengah, dan Aqu di kanan. Berada dalam jarak dekat dengan Shana membuatku sangat canggung, apalagi kalau mengingat kejadian kemarin. Mungkin karena merasa tidak enak, Shana akhirnya membuka pembicaraan.
"Eh loe udah ngerjain tugasnya Pak Jhoni belum?" ucap Shana menyebutkan nama seorang dosen.
"Oh, belum tuh," jawabku.
"Yah, tadinya aqu mau nyontek. haha," ia tertawa.
"Huh, kenapa sih hari ini orang-orang pada seneng ngomongin pelajaran? Mendadak rajin ya?" gerutu Shinta, dibalas cubitan dari Shana, lalu mereka bercanda seperti biasa. Perasaanku sedikit lega.
Tak sampai setengah jam, kita pun tiba di rumah Gilang. Rumahnya besar dan mewah, di garasi berderet dua buah mobil milik orangtuanya.Ketika kita masuk ke ruang tamu, Sherly, adeknya Gilang sedang duduk di sofa sembari membaca majalah. Sherly masih duduk di bangku SMA, rambutnya bergeloembang, dan wajahnya imut. Ia duduk menyamping dan memperlihatkan pahanya yang putih mulus karena memakai hotpants.
"Baca majalah jangan di ruang tamu," ucap Gilang ketus.
"Emang kenapa? Suka-suka aqu dong!" balas Sherly.
"Nanti gag ada orang yang mau bertamu ke rumah kita!"
Plak! Majalah itu melayang dan menghantam wajah Gilang. Kakak-adek ini memang senang bertengkar sejak dulu, tetapi kita tahu mereka sebenarnya Aqur. Tanpa memperpanjang pertengkaran itu, kita beranjak ke kamar Gilang. Kamar yang nyaman, sejuk karena ber-AC, dan untuk ukuran kamar lelakik lumayan rapi. Kita pun memulai acara belajar keloempok.
Ketika kita sedang membolak-balik buku pelajaran dan bertukar catatan, tiba-tiba saja Rendy berteriak.
"Apaan tuh!" teriak Rendy sembari menunjuk-nunjuk.
"Kenapa sih loe, kaya Jaja Miharja aja," umpat Shinta.
Rendy segera merangkak ke koloeng tempat tidur Gilang dan mengambil sesuatu dari dalam sana.
"Bokep coy!" ucap Rendy sembari memperlihatkan sebuah kotak DVD bergambar perempuan Jepang tanpa busana. Kita semua tertawa terbahak-bahak.
"Kaya bocah SMP aja loe, masih ngumpetin kaya gituan," Shana tertawa.
"Masih jaman ya, nonton bokep pake DVD?" Aqu ikut menimpali.
"Itu DVD original import dari Jepang langsung. Ngiri ya loe semua? Bisanya cuma downloead bajakan kan?" ucap Gilang sembari berusaha merebut DVD itu.
"Ah bokep ya bokep, apa bedanya bajakan atau original? Coba nyalain," balas Rendy.
Rendy segera memasukkan DVD itu ke dalam laptopnya yang kebetulan sudah dinyalakan. Hanya dalam beberapa detik, terpampanglah adegan wanita Jepang yang cantik sedang berciuman dengan seorang lelaki. Buah dada wanita itu berukuran besar, diremas-remas dan dihisap-hisap oleh aktor lelaki. Kita semua fokus menonton adegan itu.
"Buset, gede ya toketnya. Kayanya enak tuh," ucap Rendy agak berbisik.
"Iya, gagk kaya perempuan-perempuan di keloempok kita, rata semua kaya triplek!" ujar Gilang. Kita melirik pada Shana dan Shinta.
"Sialan loe!" ucap Shana sembari memukul pundak Gilang menggunakan kertas.
"Tetapi punya aqu masih lebih gede daripada punya Shana, tau...," ucap Shinta pelan.
Gilang dan Rendy tertawa terbahak-bahak, sementara Shana meloetot dan mulai mencubiti Shinta.
Aqu refleks bergumam,
"Hehehe, tetapi yg kecil-kecil tu bikin gemes."
Shana melirik ke arahku dan menjulurkan lidah, sementara bocah-bocah yang lain sepertinya tidak mendengar gumamanku.
Acara 'belajar keloempok' masih terus dilanjutkan. Adegan-adegan di monitor semakin hot, dan harus kuAqui kalau kemaluanku sudah menegang di balik celana. Shana kebetulan duduk di sebelahku, ia merapatkan posisi duduknya agar bisa melihat laptop dengan jelas. Ketika ia merapat, dadanya berada di belakang siku tanganku, dan entah disengaja atau tidak, ia mulai menggesek-gesekkannya. Kemaluanku semakin keras.
Pelan-pelan Aqu ikut menggerakkan siku tanganku, misalnya dengan pura-pura megagruk leher. Kenyalnya buah dada Shana bisa kurasakan samar-samar, sementara itu hembusan nafasnya menjalar di leherku. Untung bocah-bocah yang lain tidak ada yang sadar.
Ketika suasana semakin hot, tiba-tiba pintu kamar diketuk, Rendy yang kaget segera menutup laptopnya. Ternyata pembantu Gilang membawakan minuman. Aqu menghela nafas, Shana juga menggeser duduknya lebih menjauh. Aqu dapat melihat wajahnya yang merona merah.
Sehabis itu, acara belaajr keloempok dilanjutkan secara normal. Kira-kira satu jam kemudian, kita pun memutuskan untuk pulang. Sayangnya, mobil Gilang sedang dipakai, jadi kita harus pulang menggunakan kendaraan umum. Hampir lima belas menit di dalam bus, Rendy dan Shinta turun lebih dulu, karena rumah mereka memang lebih dekat. Tigagl Aqu dan Shana yang tersisa di bus, Aqu pindah duduk ke sebelahnya. Bus yang kita naiki kebetulan sedang sepi, mungkin karena sekarang sudah lewat jam pulang kantor. Duduk bersebelahan dengan Shana tanpa ada orang lain di sekitar, membuatku merasa agak aneh.
"Kenapa Di, diem aja?" ucap Shana. Ia duduk di samping jendela, tirainya ditutup karena silau.
"Gag koq, ngerasa aneh aja," Aqu tertawa.
"Biasa aja lagi."
Selama beberapa menit, kita terdiam. Mungkin Shana juga merasa tidak enak karena Aqu tidak menimpali obrolannya. Tetapi jantungku berdebar kencang ketika membayangkan kejadian kemarin. Rasanya ada yang masih megagnjal. Pelan-pelan Aqu menggerakkan tanganku ke pundak Shana, Aqu ingin merangkulnya, Aqu ingin memeluknya, ingin merasakan kehangatan tubuhnya lagi. Shana hanya diam, ia menatap ke jendela meskipun tidak terlihat apa-apa. Jantungku berdetak semakin kencang. Entah karena gugup atau merasa tertantang karena kita sedang berada di dalam bus. Perlahan-lahan tanganku turun ke pigagngnya. Aqu dapat merasakan pigagngnya yang ramping dibalik balutan kaosnya yang sempit. Sehabis memastikan tak ada orang yang melihat, kudekatkan wajahku ke pipinya.
Plak!
Ia menamparku. Keras sekali, bahkan bunyinya terdengar jelas. Aqu kaget bukan main, segera kutarik tanganku menjauh darinya.
Sembari menatapku, Shana berbisik kesal, "Kan aqu udah bilang kemarin, cuma sekali itu aja! Kaloe kita ketemu lagi, aqu minta loe agagp yg kemarin itu ga pernah terjadi, ngerti kan?"
Nyaliku langsut ciut diomeli seperti itu. Perasaan kecewa dan malu bercampur aduk di dalam kepala, betapa bodohnya Aqu. Kalau memang Aqu mencintainya, seharusnya Aqu bisa memahami perasaannya. Aqu kecewa pada diriku sendiri, jangan-jangan perasaan ini sudah berubah menjadi gairah mesum semata. Sepanjang perjalanan sampai Shana turun terlebih dulu, Aqu hanya menundukkan kepala. Kita tidak berbicara sepatah kata pun.
Aqu tiba di kostan dengan perasaan sedih. Aqu tidur-tiduran di atas kasur sembari memikirkan apa yang harus Aqu lAqukan sekarang. Apakah persahabatanku dengan Shana akan berakhir karena masalah ini? Tidak mungkin. Aqu mengambil HP dan mengirim SMS ke Shana.
'Tan, maaf ya, tadi gw khilaf'
Aqu diam menunggu balasan, tetapi tak juga ada SMS yang masuk. Selama beberapa menit perasaanku terus gelisah sampai tiba-tiba saja handphoneku berbunyi, Aqu meloenjak kaget. Telepon, dari Shana.
"Di, loe lagi di kostan?" tanya Shana.
"Iya." jawabku.
"Aqu ke sana ya sekarang!"
"Eh, tetapi, tetapi...."
Shana menutup teleponnya. Sebenarnya Aqu ingin bilang kalau Aqu ingin meminta maaf soal kejadian tadi, tetapi ia tampak terburu-buru. Untuk apa ia datang ke sini? Aqu menunggu dengan jantung berdebar.
Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aqu tahu siapa dia. Aqu bergegas berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di balik pintu ada Shana yang berdiri sembari tersenyum. Ia mengenakan kaos biru bergaris dan celana jeans. Aqu sadar, senyumnya padAqu menandakan bahwa ia sudah tidak marah lagi. Aqu langsung mempersilahkannya masuk ke dalam kamar.
"Di, Sorry ya soal yang tadi. Aqu sebenernya gugup, jadi kebawa emosi. Aqu ngeri soalnya kita lagi di bus. Suer, gag ada maksud kasar koq," ujar Shana sembari duduk di atas tempat tidurku.
"Gag, Tan, harusnya aqu yang minta maaf. Aqu yang salah, gag inget janji aqu sendiri" ucapku.
"Sebenernya aqu juga melanggar janji koq waktu di rumah Gilang tadi." Shana tersenyum.
"Waktu nonton bokep tadi ya? Itu emang sengaja ngegesek-gesekin?" tanyAqu. Shana mengangguk, lalu kita berdua tertawa.
"Liat sini deh," ucapnya tiba-tiba.
Aqu menoleh ke arah Shana dan menatap matanya. Matanya yang indah membuatku terhipnotis. Pelan-pelan ia menyentuh pipiku dan mengelus-elusnya.
"Masih sakit bekas tamparan aqu tadi?"
"Masih. Tenaga loe kaya babon sih."
"Sialan loe! Mau aqu tabok lagi?" ujar Shana sembari tertawa.
Dengan gerakan cepat, ia mengecup pipiku. Aqu menahan nafas karena kaget.
"Udah? Udah gag sakit kan?"
Aqu tersenyum, membalas senyumannya. Hatiku sekarang terasa tentram dan damai. Rasanya Aqu jatuh cinta kepadanya, Aqu benar-benar jatuh cinta. Lalu kita bertatapan tanpa bicara, diam dan hening. Lalu bibirnya bergerak mendekat dan mencium bibirku. Bibirnya lembut dan hangat. Aqu tak bisa tigagl diam, Aqu membalasnya, mencium bibirnya dengan penuh gairah.
"Mmmh... Di... Mmm..," desahan Shana terdengar di antara ciuman.
Sembari terus melumat bibirnya, Aqu mendorong dia ke tempat tidur. Ia jatuh terlentang. Aqu cium lehernya pelan-pelan, lalu Aqu jilati lehernya sampai ke dagu. Ia mendesah agak keras.
"Geli..."
Sehabis puas menyantap lehernya, Aqu kembali menatap wajahnya, dan kita tersenyum.
"Kemarin aqu pikir, itu untuk yang pertama dan terakhir. Tetapi ternyata... kemarin kan cuma loe aja yg dapet kenikmatan... loe masih utang satu sama gua, Di...." ucap Shana.
"Mau kaya kemarin lagi?" Aqu memijat-mijat buah dadanya dari luar kaos dengan perlahan. Ternyata ia tidak memakai bra.
"Ahhh.... Buka aja kaos aqu, gag apa-apa lah," ucap Shana.
Aqu menarik kaosnya ke atas, dan ia juga membantu melepaskannya. Terlihatlah di hadapanku tubuhnya yang topless. Perutnya langsing dan rata, kulitnya mulus, dan dua buah buah dada yang berukuran kecil Tetapi bulat sempurna dan proporsional.
"Mmm.. toket aqu gag segede yang di film tadi ya?" ia memanyunkan wajahnya.
"Kan aqu udah bilang, yg kecil tu bikin gemes."
Shana tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya yang putih. Aqu mencium keningnya.
"Terus, loe pengen diapain nih?" ucapku menggoda.
"Terserah loe mau ngapain aja sekarang, tetapi kaloe aqu bilang stop, loe mesti berenti ya?" ucap Shana sembari mengusap rambutku.
"Tenang aja," ucapku. Sepertinya Shana sudah tidak segugup kemarin. Mungkin karena ini sudah bukan yg pertama.
Aqu mulai membelai buah dadanya dengan kedua tangan. Dengan perlahan Aqu mengelus daerah seputar putingnya, lalu kujilat dengan ujung lidah. Ia mengerang. Lalu Aqu mulai menyedotnya, Aqu hisap puting kanannya yang sudah menegang.
"Gila.. nikmat banget..., yang kiri juga Di... isep juga.... ahhh"
"Selow dong, aqu gag kaya loe, mulut aqu cuma satu."
"Sial, dasar," ia tertawa.
Aqu meremas-remas buah dada kanannya, lalu yang sebelah kiri kujilat-jilat dan kuhisap. Ia kembali mendesah. Aqu gigit pelan putingnya, ia menjerit kecil. Lalu kujilati lagi sampai basah.
"Uhh... untung sekarang di tempat loe, jadi gag akan digangguin Shinta lagi," ucapnya sembari mendesah, "handphone juga aqu matiin."
"Bener juga ya, untung kamar sebelah lagi pada pulang kampung," Aqu memijat-mijat kedua buah dadanya.
Ciumanku turun ke perutnya. Perut yang rata dan halus, wangi parfum perempuan yang manis. Aqu memainkan lidahku di daerah pusarnya, ia menggelinjang.
Tanpa minta izin, Aqu membuka kancing celana jeansnya dan menariknya ke bawah. Shana tidak menolak, ia malah membantu mengangkat pinggulnya. Sehabis celana itu berhasil dilepas, Aqu dapat melihat celana dalam warna hijau muda yang ia kenakan yang tampak agak basah. Pahanya sangat mulus, membuatku langsung mengelus dan menciuminya.
"Hahhh... Di... Mmhh,"
"Kenapa?"
"Kemaluan aqu blum pernah disentuh lelaki..."
"Aqu juga blum pernah nyentuh punya perempuan... Mau stop aja?"
"Mmmh... Dikit aja deh..," ucapnya dengan wajah yang sayu.
Dengan gerakan yang lembut, Aqu menggesek-gesek ujung jariku ke celana dalamnya, tepat di bagian kemaluan.
"Gimana rasanya?" tanyAqu.
"Aaahh.. enakk... terus Di,"
Aqu menjilati pahanya yang mulus, dan kemudian naik ke arah selangkangannya. Dapat kurasakan kakinya menegang karena keenakan, lalu tanpa memberitahunya terlebih dahulu Aqu melepaskan celanAqu.
"Ngapain loe buka celana?" ia memperhatikan kemaluanku yang sudah berdiri tegak dihadapannya.
"Gag ngapa-ngapain, soalnya sesak udah tegang banget."
"Selow, ntar aqu kocokin lagi kaya kemarin. Tetapi loe bantuin aqu dulu ya...," pintanya.
Dalam hati, sebenarnya Aqu sangat ingin memuaskan hasrat Shana. Aqu ingin melihat ia tersenyum lega, Aqu ingin ia mendapat kepuasan dariku. Mungkin hanya dengan itu, suatu ketika ia akan menyadari perasaanku yang sebenarnya.
Aqu menarik celana dalamnya sampai ke lutut, ia tampak terkejut. Tetapi tanpa buang-buang waktu, Aqu segera menciumi kemaluannya. Aqu jilati bibir kemaluannya yang sudah lembab itu. Aqu cium, Aqu hisap, Aqu jilat klitorisnya.
Shana menjerit.
"Adiii... ahhh gila loe... loe apain kemaluan aqu... aaaggghhh..."
Sembari mengelus-elus pahanya, Aqu terus menjilati bibir kemaluannya sampai beberapa menit, dan dengan jilatan yang semakin cepat, tiba-tiba saja tubuhnya melengkung dan pahanya menegang, menjepit kepalAqu sampai Aqu sulit bernafas.
"Aaaaahhhh! Aqu sampeee... uuh..."
Beberapa detik kemudian ia telentang lemas dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia tersenyum padAqu, dadAqu terasa hangat. Bersamaan dengan itu gairahku semakin meledak-ledak.
Kudekatkan kemaluanku ke kemaluannya, lalu kugesek-gesek pelan. Ia kembali mendesah. Lalu kucium bibirnya sembari kuremas kedua buah dadanya.
"Tan... aqu pengen coba masukin... boleh ya?" ucapku dengan nafas memburu.
"Jangan Di, aqu masih perawan, aqu gag mau."
"Pliis Tan, aqu gag tahan...," Aqu masih menggesek-gesekkan kemaluanku di bibir kemaluannya.
"Jangan Di, jangan. Loe sahabat aqu, makanya aqu percaya sama loe, loe kan udah janji. Stop ya, plis..."
Aqu menatap matanya dengan wajah memelas, "Tan... sebenarnya aqu...."
"Gini aja, loe boleh minta apa aja sama aqu. Tetapi jangan yang satu itu ya? Itu mau aqu jaga untuk seseorang yang spesial buat aqu, buat lelaki yg benar-benar aqu sayang. Maaf banget, loe ngerti kan?"
Deg! Ada sesuatu yang menyesak di dadAqu. Apa maksudnya dengan perkataan tadi? Apa baginya Aqu bukan orang yang spesial? Bukan orang yang dia sayangi? Apakah ada lelaki lain yang ia sukai? Bodoh, apa yang Aqu pikirkan? Sejak awal ia memang tidak punya perasaan apa-apa padAqu, dan Aqu belum pernah mengungkapkan apa-apa.
Tiba-tiba saja Aqu patah hati. Apakah perasaanku bertepuk sebelah tangan? Tetapi Aqu tetap menghargainya, Aqu tak ingin menyakitinya.
"Kaloe... kaloe pake mulut mau gag Shan?" ucapku.
Ia terdiam sejenak, Tetapi dengan sedikit ragu-ragu ia mengangguk.
"Iya..., tetapi keluarin di luar ya..."
Aqu mengangguk.
Shana bangkit dari posisi tidurnya, lalu ia meraih kemaluanku yang masih tegang. Tangannya yang halus dan jari-jarinya yang lentik mulai mengocok batang kemaluanku. Aqu mendesah pelan.
"Aqu coba praktekin yang di film tadi ya, hehe," iya tersenyum.
Pelan-pelan bibirnya mendekat ke ujung kemaluanku, lalu ia mengecupnya pelan. Lidahnya ia gunakan utuk menjilat bijik kemaluanku. Lalu dengan agak canggung ia mulai memasukkan kemaluanku ke mulutnya. Ia menyedot pelan, bibirnya terlihat monyong.
"Mmmm.. Slrppp... Sruupp"
Tubuhku gemetar merasakan nikmat, sekarang gadis yang kusukai ini sedang duduk di hadapanku dan menghisap kemaluanku dengan mulutnya.
Tetapi perasaan getir karena patah hati itu juga menodai pikiranku.
Dengan gairah dan kekecewaan yang membara, Aqu memegang kepala Shana, kutahan agar kepalanya tak bergerak. Lalu Aqu memompa pinggulku sampai kemaluanku keluar masuk di mulutnya. Ah, maafkan Aqu Shana, tetapi Aqu benar-benar tidak tahan.
"Mmmm Mmppppp!" Shana berusaha berontak dan mendorong pigagngku. tetapi tenagAqu lebih kuat.
Kupercepat genjotanku, untungnya kemaluanku tak terlalu panjang, jadi mudah-mudahan tidak membuat ia terlalu mual.
Dari bawah, Shana mendongak dan menatapku tajam. Sepertinya ia kesal. Tetapi Aqu tak bisa menghentikan ini, terus saja kugenjot mulutnya. Rasa nikmat menjalar dari kemaluanku sampai ke tulang belakang, dan pada satu titik Aqu merasa akan meledak.
Kutekan kepalanya ke arah kemaluanku, dan ketika itu juga Aqu mengalami ejAqulasi.
"Aaaaah....!" Crot! Crot! Crot! SpermAqu muncrat ke dalam mulut dan tenggorokan Shana.
Aqu terduduk lemas di atas tempat tidur. Kusaksikan Shana yang sedang terbatuk-batuk, mulutnya penuh dengan spermAqu.
"Sorry.. Sorry banget Shan. Aqu gag tahan," ucapku.
"Sialan! Masih untung gag aqu gigit kemaluan loe itu, kaloe aqu gigit sampe putus baru tau rasa loe...." ujar Shana, sembari mencoba mengeluarkan sisa sperma dari mulutnya.
Aqu mengambil tisu di samping tempat tidur dan membantu mengelap sperma di mulut Shana. Aqu berusaha tersenyum untuk meredakan amarahnya.
"Aqu kelepasan tadi..."
"Kan udah aqu bilang, keluarinnya di luar...," ia mencubit perutku, "...tetapi rasanya aneh banget ya? Lengket lagi..."
"Mana aqu tau," Aqu tertawa.
Tubuh kita terasa lemas. Sehabis emosinya reda, kita kembali dapat bercanda dengan normal. Malam itu ia tidur di kamarku, tanpa busana, sampai pagi menjelang. Aqu mulai mempertimbangkan perasaanku sendiri.
Besok paginya, ia terbangun lebih dulu dan membangunkanku dengan sebuah pertanyaan.
"Adi, kita masih temenan kan?"
Aqu mengangguk. Aqu tak tahu harus menjawab apa.
"TTM," ucapku singkat.
"Teman Tetapi Mesum?" balasnya sembari tertawa. Aqu ikut tertawa.
 
Aqu dan Shana akhirnya resmi menjadi TTM (Kawan Tapi Mesum). Di kampus dan di depan kawan-kawan yang lain, kita bersikap normal seperti biasa. Ia masih akrab dengan Santi, meskipun kadang Santi suka menjadikan 'ingus' di boneka Shana sebagai lelucon di waktu bercdana. Sejak ketika itu ia jadi sering meledek Shana sebagai "bocah ingusan" ato "perempuan ingusan". Untungnya ia tak sadar bahwa lendir yang ia sentuh tanpa sengaja ketika itu bukanlah ingus Shana, melainkan air maniqu yang tak sempat Shana bersihkan.
Namun ketika kita mendapatkan waktu untuk berduaan, hal-hal di luar aktivitas perkawanan sering terjadi. Ketika Shana sedang 'pingin', ia sering menelpon ato mengirim SMS dan mengajakku ketemuan, kadang di tempat kostnya, namun lebih sering di tempat kostku. Kemudian kita akan bercumbu untuk memuaskan gairah masing-masing, walaupun hingga ketika ini Shana masih menolak untuk melepaskan virginitasnya. Tapi di sisi lain, sewaktu aqu yang sedang horny, kadang aqu masih agak gengsi untuk meminta duluan. Untungnya Shana memahami perihal itu.
"Di..., kalo misalnya loe lagi horni, lagi pengen bingit dan ga bisa ditahan, loe call Aqu aja ya. Kalo lagi ga sibuk pasti Aqu bantuin kok. Oke? Jangan malu-malu," ucapnya, tiap kali aqu selesai membuat dia klimaks dengan jilatan di daerah kemaluan.
Dengan dukungan seperti itu, aqu pun memberanikan diri untuk meminta duluan. Pernah ketika aqu sedang di sela-sela kuliah, tiba-tiba saja kemaluanku terasa tegang dan nafsuku jadi menggebu-gebu. Aqu tak tahu kenapa, mungkin karena ketika itu sedang hujan gerimis dan udara lumayan dingin. Aqu jadi ingat pada Shana, kemudian aqu menelponnya, tapi tak diangkat. Aqu jadi heran, kemudian aqu kirimi dia SMS.
'Shan,loe lg dmn?'
Aqu sengaja mengonfirmasi dulu, tak langsung to the point, sebab kalo hapenya sedang dipegang orang lain dan hubungan rahasia kita terbongkar, bisa berabe nanti.
Beberapa detik kemudian, Shana membalas:
'Aqu lg ada kuliah. Tunggu sbntar ya.'
Aqu baru ingat kalo semester ini jadwal kuliah kita banyak yang tak sama. Shana lebih pintar dariku, ia sudah mengambil mata kuliah untuk semester depan, sementara aqu masih harus mengulang beberapa kuliah semester kemudian.
Lima belas menit lamanya aqu menunggu, akhirnya Shana balas menelponku.
"Haloe, Di. Aqu baru keluar class nih. Ada apa?" tanyanya santai.
"Nggg.... itu Shan.... habis ini loe ada jadwal lagi gag? Aqu...."
"Gag ada kok, udah selesai semua. Loe lagi dimana? Ada apa sih?"
Seandainya saja ketika itu aqu dapat mengatakan bahwa aqu mencintainya lebih dari sekedar kawan mesum, bahwa aqu memikirkannya lebih dari sekedar nafsu seks. Tapi aqu tak bisa mengatakan itu. Aqu sadar hubungan di antara kita ada di posisi apa.
"Friend with benefit", begitu kata film-film Hollywood.
"Aqu lagi di teras gedung E. Aqu... g-Aqu butuh bantuan loe nih sekarang...," ucapku pelan.
Di luar dugaan, Shana malah tertawa terbahak-bahak,
"Hahahaha... ngomong loe kaya yang mau nembak Aqu aja....! Pake gagap segala."
Teggorokanku terasa mampat seketika. Kemudian Shana melanjutkan ucapannya.
"Ngarti, ngarti, Aqu ngarti kok. Tenang, Aqu lagi luang sekarang. Aqu samperin ke sana ya?"
"Oke...."
Aqu menunggu di sebuah kursi panjang yang kebetulan sedang kosong. Mahasiswa yang lain mungkin sudah pulang ato ada di dalem class. Geng Power Rangers selain kita berdua juga kalo tak salah sedang ada kesibukan sendiri-sendiri.
Shana muncul di seberang sana. Ia berlari kecil sembari menutupi kepalanya dengan tas, untuk menghindari gerimis. Ketika ia akhirnya tiba di hadapanku, baju kemeja kotak-kotak yang ia kenakan tampak basah sedikit. Di sela-sela kerah kemeja yang tak dikancingi itu, aqu dapat melihat kaos putih yang ketat membungkus badannya. Di bawahnya, ia mengenakan celana jeans ketat yang membuat kaki jenjangnya tercetak jelas.
"Sorry Shan, Aqu jadi ngerepotin...," ujarku melihat ia sedang membersihkan bekas air di pundaknya.
"Selow aja. Yuk."
Pertamanya, kita tak tahu harus melaqukannya dimana. Pada jam segini biasanya para mahasiswa masih belum pulang semua, jadi agak sulit menemukan ruang class yang kosong. Setelah beberapa menit mengitari gedung E, akhirnya kita menemukan ruang class yang sepertinya bisa digunakan.
"Di sini aja nih, kayanya aman," ujar Shana.
Aqu melihat jadwal pemakaian class yang ditempel di kaca jendela, ternyata memang class ini tak akan dipake lagi sore ini.
Kita pun masuk ke dalem ruang class itu, Shana segera menutup pintu dan mengunci seloetnya, untuk jaga-jaga. Selama beberapa detik kita bertatapan, kemudian aqu memeluknya. Aqu merapatkan badanku dengan badannya, merasakan kehangatannya, merasakan payudara yang menononjol kecil dari balik kaosnya. Kemudian tanganku meraba pantatnya yang padat dan kencang, terbalut jeans ketat yang membuatnya semakin seksi.
"Aqu seneng Di, loe minta duluan," ucapnya di telingaqu.
"Kenapa?"
"Jadinya Aqu gag ngerasa manfaatin loe doang. Selama ini Aqu kok ngerasa jadi perempuan mesum bingit ya, sekemudian yang mulai duluan. hahaha." ucapnya, kemudian ia mencium leherku.
"Dasar loe Shan, loe kan emang mesum."
Aqu langsung menyerbu bibirnya, aqu melumatnya dan menghisapnya, kemudian kumasukkan lidahku ke dalem rongga mulutnya. Lidah kita bertautan, saling menjilat, saling menghisap.
"Mmmmmhhh...." desah Shana di sela ciuman kita.
Tanpa melepaskan mulutku dari mulutnya, aqu mendorong badan Shana hingga ia tiduran di atas meja. Aqu terus menghisap bibirnya, sementara tanganku menyelinap ke dalem kaosnya, kemudian meremas-remas payudaranya yang masih ditutupi bh.
Dengan lihai aqu membuka kemejanya, kemudian menarik kaosnya hingga ke atas dada. Aqu dapat melihat badan Shana yang putih mulus, pinggangnya yang langsing, perutnya yang rata dan bersih, juga payudaranya yang bulat mungil mengintip dari balik bh warna hitam. Jika kuibaratkan badannya dengan makanan, maka ini adalah makanan sangat lezat yang siap kusantap.
"Nafsu bingit loe Di..." bisik Shana.
Aqu langsung menciumi perutnya, mmm.... bau parfum yang ia kenakan semakin menambah gairahku. Kemudian kujilati pusarnya hingga ia menggelinjang keenakan.
"Aaahh... Adi.... Geli...."
"Jangan keras-keras suaranya, nanti ada yang denger...."
Kemudian aqu menyingkap cup bh-nya, menampakkan payudaranya yang sangat ranum dan bulat bagaikan apel, meskipun ukurannya tak terkemudian besar. Kedua putingnya tampak sudah menegang berkat rangsanganku barusan.
Aqu langsung melahap payudaranya itu. Yang sebelah kanan kujilati dan kuhisap menggunakan mulut, sementara yang kiri kupijat-pijat dan kupilin-pilin putungnya.
"Mmmm.... surrrrppp!"
"Ahhh.... Urghhh...." Shana tampak tak bisa mengendalikan desahannya.
Aqu terus menikmati keindahan payudaranya, sembari aqu menggesek-gesekkan selangkanganku ke arah selangkangannya yang sama-sama masih ditutupi celana.
"Di..., Adi...," ia memanggil.
"Kenapa Tan?" tanyaqu.
"Mmmmh... kok malah Aqu lagi Aqu lagi sih.. sekarang kan giliran loe, kan tadi loe yang minta," ucapnya dengan mata sayu.
Shana kemudian bangkat berdiri dan mendorongku. Ia membetulkan posisi bh dan kaosnya, kemudian menepuk pundakku.
"Sekarang loe diem aja," ia menggoda.
Kemudian ia mulai menjilati leherku, kupingku, sampai ke perut yang ada di balik kaos yang kukenakan. Aqu merinding merasakan lidahnya yang lembut dan hangat menjalar di sekitar pusarku. Kemudian dengan perlahan-lahan ia menggunakan tangannya untuk mengelus-elus kemaluanku.
"Kayanya loe kedinginan ya, sampe tegang begini?" tanyanya. Aqu hanya mengangguk.
Dengan terampil ia membuka resleting celanaqu, kemudian merogoh ke dalem dan mengeluarkan kemaluanku yang sudah keras dan tegang. Ia pun melanjutkan jilatannya. Gagang kemaluanku ia jilati dengan lembut dan penuh perasaan, hingga permukannya basah terkena air liur. Setelah basah, ia pun menggenggam kemaluanku dan mengocoknya perlahan.
"Hmmmmh... enak Shan...." gumamku.
Ia juga tak lupa menjilat dan menghisap biji kemaluanku. Aqu mendesah keenakan, rasanya memang sulit menahan kenikmatan ini. Apalagi ketika ia membuka mulutnya dan mulai melahap kemaluanku. Ia menghisapnya, menyedotnya seperti sedang menikmati permen.
"Wiii...wo aaiwa woi waa...." gumamnya tak jelas. Ucapannya tak jelas karena mulutnya sedang disesaki oleh kemaluanku.
"Apa Shan?"
"Wo wao... we waaaia... surrrp!" ia melepaskan kemaluanku dari mulutnya, kemudian menelan ludah,
"Ahh. Sial ni mikrofon lu bukannya bikin suara jelas malah bikin ga kedengeran!"
"He hehe... loe mau ngomong apa sih?"
"Aqu mau bilang, kaloe loe mau keluar, pliis jangan keluarin di mulut Aqu kaya waktu itu.... Rasanya bikin mual. Plis kasih tau ya kaloe loe udah mau keluar...," ucapnya sembari mengocok kemaluanku dengan tangannya.
"Iyaaa deh, nanti Aqu kasih tau."
"Janji yaaa?"
"Janjiii!" aqu membentuk huruf V dengan jari tangan.
Tanpa ragu, Shana kembali melahap kemaluanku, kali ini lebih dalem dari sebelumnya. Ia memaju-mundurkan kepalanya, membuat kemaluanku tertelan lebih dalem. Aqu tak menyangka, dalem waktu singkat ia sudah jadi seahli ini. Sesekali aqu seperti merasakan ujung kemaluanku menyentuh tenggorokannya. Kehangatan yang luar biasa, sungguh nikmat.
"MMmmmhhh... gilaaa, nikmat bingit...." gumamku.
Sembari menikmati sedotannya, aqu mengelus-elus rambutnya, merasakan rambutnya yang panjang dan sehat seperti di iklan-iklan shampoo. Dalem hati aqu bertanya-tanya, apakah kenikmatan fisik ini sudah cukup bagiku? Apakah di dalem hati Shana tak ada sesuatu yang lebih? Semakin aqu memikirkan itu, semakin bertambah gairahku, dan aqu sudah tak bisa mengendalikannya lagi.
Beberapa menit kemudian, aqu pun berbisik,
"Shan... Aqu mau keluar.... mmmh!"
Mata Shana menatap ke arahku dari bawah sana, kemudian ia buru-buru melepaskan kemaluanku. Dengan suara 'ah' yang keluar dari mulutnya, ia berusaha mengambil nafas yang sejak tadi terhambat, dan itu membuat wajahnya semakin cantik. Aqu memegangi kepalanya agar ia tak menghindar, kemudian kukocok kemaluanku sendiri, dan dalem waktu singkat air maniqu keluar dengan kecepatan tinggi. Muncrat dan mengenai wajah Shana, sebagian ada yang di dekat hidung, di dekat mulut, dan ada juga yang mendarat di poni rambutnya. Ada perasaan puas dan nikmat ketika melihat air mani itu mengalir pelan ke dagu dan ke lehernya.
Shana masih terdiam, sepertinya ia agak shock menerima 'shower' tadi. Kemudian perlahan-lahan ia menyentuh air maniqu di wajahnya menggunakan ujung jari. Sepertinya ia dapat merasakan sensasi lengket dan kehangatan di wajahnya.
"Aqu bilang jangan keluarin di mulut, malah ngeluarin di muka. Kebanyakan nonton bokep loe ya?" ucap Shana menyindir.
"Sorry, abisnya gag keburu," kilahku.
"Bisa tambah mulus nih muka Aqu, kaloe maskeran kaya gini terus," candanya,
"Untung bawa tisu."
Shana mengambil tisu di dalem kantong celananya, kemudian membersihkan air maniqu di wajahnya. Harus kuaqui, jumlahnya memang cukup banyak. Kalo tak salah aqu sampai menyemprotkannya enam kali tadi.
"Huff..." aqu menghela nafas lega.
"Gimana? udah lega sekarang?" tanya Shana.
"Udah. Lega bingit. Makasih ya, Tan."
"Santai aja. Itulah gunanya temen, saling menoloeng di ketika butuh. hehehe," ucap Shana sembari mengenakan lagi kemejanya.
"Kawan..." aqu bergumam, kemudian tertawa dalem hati.
Tiba-tiba ponsel Shana berbunyi. Ia segera mengambilnya dari dalem tas, kemudian mengangkatnya. Sementara itu, aqu membetulkan celanaqu.
"Haloe...." ucap Shana pada seseorang yang meneleponnya.
Aqu berusaha menguping, tapi tak terdengar jelas. Shana tak banyak bicara, ia hanya senyum-senyum malu mendengarkan suara orang di telepon itu. Dan ketika kuperhatikan lagi, aqu dapat melihat wajah Shana menjadi merah, seperti orang yang merasa malu.
Belakangan, aqu semakin mengarti, wajahnya yang merona merah ketika itu tak sekedar berarti malu, lebih dari itu, rona merah itu karena ia sedang jatuh cinta... pada lelaki yang meneleponnya itu.
Sejak rona merah di wajah Shana muncul ketika itu, ia jadi berubah. Aqu merasa kalau ia sedikit demi sedikit mulai menjaga jarak dariku. Tak cuma aqu, bahkan ia juga jarang berkumpul dengan genkz Power Rangers. Shinta yang biasanya paling dekat dengan Shana, ikut-ikutan mengeluh.
"Bocah itu kemana aja sih? Kayanya tiap kali kita ajak ngumpul dia sekemudian ada halangan deh," ucap Shinta ketika kita berempat sedang nongkrong di kafe.
"Mana aqu tau. Kan biasanya loeee yang paling deket sama dia?" ucap Rendy sambil mengutak-atik hp-nya.
"Iya, Shin. Biasanya kalian sekemudian berdua kemana-mana, koq tumben pisah?" tanya Gilang ikut bingung.
Aqu hanya menyimak obrolan mereka sambil menyuap potongan kuih. Dalem hati aqu bisa menduga, mungkin ada hubungannya dengan orang yang menelepon Shana kala itu....sewaktu ia habis memberiku oral seks.
"Aqu curiga ada hubungannya sama lelaki itu...," ucap Shinta, membuat tenggorokanku tersedak dan nyaris batuk.
"Lelaki?" tanya Gilang,
"Punya pacar dia?"
"Masa? Si kutilang darat punya pacar?" timpal Rendy.
"Ga tau deh. Kayanya sih gitu. Aqu pernah liat dia jalan sama lelaki itu. Kalau gag salah sih alumni kampus kita," ucap Shinta,
"Aqu gagk masalah kaloee Si Shana mau pacaran atau mau kawin sekalian, tapi gag perlu ditutup-tutupin kan?"
"Ah loeee iri kali... Jombloee berapa taun loee?" ledek Rendy.
"Haha. Aqu sih syukur si Shana punya lelaki. Aqu sempet ngira kalian berdua lesbi!" ucap Gilang diikuti tawa Rendy, aqu juga ikut tertawa. Shinta hanya mencibir.
Esoknya, aqu kembali mencoba mengirim sms pada Shana. Bukan untuk minta "servis" sih, cuma ingin tahu kabarnya saja, karena sudah beberapa hari dia tak masuk kuliah. Tapi ternyata dia tak membalas. Kekhawatiranku semakin memuncak sehingga akhirnya aqu putuskan untuk menelponnya.
"Haloee, Shan," ucapku.
"Haloee, Di. Sorry... tadi aqu ga liat ada SMS," jawabnya.
Ada setetes kesejukan di dalem dadaqu ketika mendengar suara Shana. Seperti air oase yang membasuh kerinduan.
"Kemana aja? Bocah-bocah pada nyariin tuh. Si Shinta juga," ucapku.
"Iya, aduh sorry. Aqu lagi ada proyekan yang mesti aqu kerjain sekarang-sekarang ini. Tapi nanti kalau udah selesai, aqu pasti——"
Ucapannya terputus. Ada sebuah suara yang menyelanya. Suara laki-laki. Aqu tak terkemudian jelas mendengarnya, tapi aqu yakin ada suara lelaki yang berusaha menggoda Shana. Kemudian mereka tertawa, sementara aqu masih mendengarkan telepon.
"Di, nanti aqu telepon balik ya!"
Tut... tut.... telepon diputus.
Perasaanku sesak. Setetes kesegaran yang kurasakan tadi kini kembali gersang, lebih gersang dari biasanya.
Tapi untunglah tak lama kemudian Rendy dan Gilang meneleponku. Mereka mengajakku untuk datang ke festival kampus Z yang mengadakan bazaar dan penampilan band-band indie. Aqu menerima tawaran mereka. Mungkin saja bisa sedikit mengobati perasaan rindu ini.
Kita pergi menggunakan mobilnya Gilang, seperti biasa. Tapi selain aqu dan Rendy, ada seorang penumpang lain. Ia adalah Sarah, gebetan Gilang yang sedang didekatinya. Orangnya ramah dan kulitnya hitam manis, dan aqu ada kecurigaan jangan-jangan Gilang sengaja mengajak kita karena ingin memamerkan gebetan barunya. Dasar bocah orang kaya, sepertinya mudah sekali mendekati perempuan.
Tiba di Kampus Z, suasana sudah sangat rame. Banyak stand makanan dan aksesorrys yang dipadati pengunjung. Di tengah lapangan, sebuah panggung lumayan besar sedang menampilkan acara band.
"Aqu sama Sarah ke sana dulu ya!" ucap Gilang sambil menunjuk sebuah stand ramalan kartu tarot.
Aqu hanya mengangguk. Sudah jelas tujuan mereka ke sini karena ingin pacaran. Sementara aqu? Kalau seandainya ada Shana... Mungkin aqu bisa mengajaknya ke stand ramalan garis tangan... atau makan es krim... Rasanya belum pernah aqu melaqukan hal itu dengannya... Ah....
Aqu berusaha menghilangkan pikiran tentang Shana ketika perasaan sesak mulai kembali muncul di dada. Kenyataannya, yang ada di sampingku sekarang adalah... Rendy.
"Loee ngerasa jadi maho gagk jalan berdua sama aqu?" ujar Rendy sambil terkekeh-kekeh.
"Sialan loee. Ah, liat band aja yok," ucapku.
Kita berdua maju ke depan panggung agar dapat lebih jelas melihat penampilan band. Band yang ketika itu sedang tampil tak begitu menarik perhatianku, sebab suara vokalisnya terkemudian cempreng. Namun ketika band selanjutnya naik panggung, aqu mengerutkan kening.
Ada tiga orang yang naik ke panggung. Dua orang pria berambut gondrong, dan satu orang perempuan cantik. Aqu tak kenal kedua pria itu, tapi aqu kenal si perempuan.
Perempuan berkacamata, mengenakan kemeja dan kaos hitam agak ketat, dan celana jeans sobek-sobek. Aqu kenal dia, dia adalah Ghea, adik tingkatku yang sering berpapasan denganku di kampus. Kacamata berbingkai merah sekemudian menjadi ciri khasnya. Selain itu wajahnya sangat cantik, kulitnya putih mulus, postur tubuhnya bisa dibilang mungil, namun kalau boleh tebak, ukuran dadanya lebih besar dari Shana.
Band itu membawakan lagu "Lithium" milik Nirvana dengan percaya diri. Suara Ghea yang agak serak terasa pas dan nyaring, bahkan memberikan nuansa tersendiri pada lagu itu. Entah kenapa aqu sekemudian tertarik pada perempuan tomboy dan agresif. Tapi Ghea mungkin di atas levelku, dia adalah tipe cewek cerdas pemberontak yang jadi incaran banyak lelaki.
Ketika sedang bernyanyi, sesekali ia melirik ke arahku kemudian tersenyum. Aqu tak berani membalas. Soalnya aqu tak yakin, benarkah ia tersenyum padaqu? Berkali-kali aqu menoleh ke belakang, tak ada orang yang tampak membalas senyumnya. Sepertinya benar. Di kampus kita jarang mengobrol, tapi aqu memang sekemudian merasakan tatapan berbeda dari dirinya setiap kali kita berpapasan.
"I"m so horny. But that"s ok. My will is good...." suara merdu Ghea terngiang di telingaqu beserta lirik itu, juga senyumnya yang menggoda.
Suara merdu Ghea merasuk hingga ke dalem telingaqu. Suaranya yang agak serak terdengar seksi, membuat tubuhku terasa merinding mendengarnya. Aqu mulai membayangkan, bagaimana jadinya suara Ghea kalau ia sedang mendesah-desah?
Tiba-tiba khayalanku dikagetkan oleh getaran hp di kantong celana. Aqu merogoh kantong dan melihat layar hp. Tadinya aqu hampir saja menekan tombol untuk menerima telepon itu, tapi ketika melihat nama peneleponnya, jempolku tertahan. Orang yang meneleponku itu adalah Shana.
Aqu ingat, tadi dia memang berjanji akan menelepon balik, sebab komunikasi kita terputus gara-gara ada seorang lelaki yang dengan seenaknya menggoda Shana ketika kita sedang berbicara.
Oh, jadi dia baru sempat meneleponku sekarang karena dia baru selesai bercumbu dengan lelaki itu? Satu jam lebih. Sudah berapa ronde, Shan?
Shana menolak memberikan keperawanannya padaqu karena dia ingin menjagannya untuk seorang lelaki yang spesial. Mungkikah lelaki di telepon tadi adalah lelaki spesial itu? Kalau iya, berarti mereka memang sudah melaqukannya.
Aqu bisa membayangkan. Ketika tadi aqu meneleponnya, mungkin Shana sedang ditiduri oleh lelaki itu. Mungkin posisi missionary, mungkin juga doggy style, tapi sepertinya sih doggy style. Shana mengangkat teleponku sambil menungging, kemudian lelaki itu dengan enaknya menggenjot kemaluan Shana dari belakang. Ketika berbicara denganku, ia terdengar tak fokus, sepertinya karena ia sedang berusaha menahan suara desahannya. Desahan karena rasa nikmat yang mulai merasuki seluruh tubuhnya. Dan ketika ia hampir mencapai klimaks, ia pun tak tahan lagi dan langsung menutup telepon. Aqu patah hati, sementara di ujung sana ia menjerit menikmati orgasme.
Jantungku seperti terbakar membayangkan semua itu, tapi anehnya kemaluanku malah mengeras. Membayangkan Shana sedang ditiduri oleh lelaki lain, membayangkan wajah manisnya yang sedang melenguh, dan buah dada mungilnya yang diremas-remas oleh lelaki misterius itu, serta tentu saja lubang kemaluan Shana yang sama sekali belum pernah kutembus...ada yang meledak dalem diriku.
Kepalaqu jadi pusing, getaran hp-ku masih berlangsung. AKhirnya jempolku menekan tombol reject.
——————
Esoknya di kampus, aqu tak sengaja berpapasan dengan Ghea. Ia memakai kacamata merah maroon favoritnya serta kemeja coklat yang dua kancing atasnya dibiarkan terbuka, samar-samar memperlihatkan belahan dadanya yang mengundang rasa penasaran. Biasanya aqu jarang menyapanya kalau dia tak menyapa duluan, tapi entah apa yang terjadi, aqu teringat dengan suara seksinya kemarin, dan aqu langsung menepuk pundaknya.
"Ghea!" panggilku.
"Hey, Bang!" Ia menoleh dan tersenyum padaqu. Jantungku berdetak kencang.
"Penampilan kamu kemarin bagus!" ujarku. Aqu memang biasa memakai gaya bahasa yang lebih sopan pada orang yang belum terkemudian akrab.
"Hehe, iya Bang! Kemarin aqu lihat Bang Adi di depan panggung!" jawab Ghea sambil cengar-cengir. Aqu dapat melihat gigi-giginya yang berderet rapi.
Ketika di atas panggung dan ketika bersama teman-temannya, ia terlihat sangat tomboy dan blak-blakan, tapi saat berbicara denganku ia malah seperti bocah manis yang sopan. Kita terdiam selama beberapa saat, sepertinya aqu bingung mau bicara apa lagi, bibirku beku, aqu hanya menggaruk-garuk kepala. Namun tiba-tiba Ghea meraih pergelangan tanganku. Ada apa ini?
"Kak Adi belum makan kan? Yuk, aqu traktir!"
Aqu kebingungan dengan sikapnya. Apa dia memang seramah ini?
"Dalem rangka apa nih?" tanyaqu sambil setengah diseret oleh Ghea.
"Tadi sebenernya aqu udah janji sama kawan-kawan band yang lain, mau latihan. Tapi ternyata mereka ada urusan, jadi sekarang aqu bingung mau ngapain. Kebetulan ada yang pingin aqu tanya sama Kak Adi."
Hal yang ingin dia tanyakan itu ternyata masalah pelajaran. Ketika sampai di kantin, ia menggiringku ke meja pojok yang sedang sepi, kemudian ia mengeluarkan setumpuk buku kuliah. Dia memang satu tingkat di bawahku, dan mata kuliahnya banyak yang sama dengan mata kuliah yang pernah kuambil, jadi dia banyak meminta nasehat. Mulai dari masalah tugas-tugas, sifat para dosen, dan lain sebagainya. Aqu kewalahan, sebab aqu sebenarnya bukan mahasiswa yang terkemudian pintar, sementara dia adalah mahasiswi yang sangat cerdas.
"Nah, sebagai ucapan terima kasih, sekarang Ghea traktir!" Ucapnya sambil menyingkirkan buku-buku dari meja.
————————-
Hubunganku dengan Ghea semenjak saat itu menjadi semakin akrab. Setiap kali ada waktu kosong dan kebetulan berpapasan, ia sering bertanya masalah kuliah. Kadang aqu juga bertemu dengan teman-teman bandnya, dan ternyata mereka orang yang cukup ramah. Aqu jadi merasa beruntung, sebab di saat aqu merasa dikhianati Shana, aqu malah semakin akrab dengan Ghea. Tapi Shana tak benar-benar hilang dari pikiranku, terkadang saat sebelum tidur aqu masih sering membayangkan Shana. Tapi aqu berusaha menggantinya dengan bayangan Ghea. Ghea tak kalah cantik, tak kalah ramah, senyumnya lebih manis, buah dadanya juga (sepertinya) lebih besar. Dan terlebih lagi, suaranya itu....
Tapi tadi sore ada satu hal yang membuat pikiranku kembali pada Shana. Awalnya aqu tak sengaja bertemu Shinta yang terlihat murung di depan kelas. Wajahnya kusut, tak seperti Shinta yang selama ini kukenal.
"Kenapa San?" tanyaqu.
"Huhh.. nggak. Ga papa." jawabnya ketus.
"Masalah Shana?"
Shinta mengangguk. Sejak Shana menghilang dari geng power rangers, Shinta jadi terlihat suram. Mungkin ia merasa dikhianati, sebab Shana adalah sahabat terdekatnya selama ini.
"Bete aqu. Itu bocah kenapa sih? Pacaran sampe segitunya, sampe lupa kawan!" ucap Shinta.
Aqu mengangguk setuju. Tapi di dalem hatiku, aqu merasakan hal yang lebih dari sekedar kehilangan teman. Aqu patah hati.
"Kapan terakhir ketemu?" tanyaqu.
"Tiga hari yang kemudian, aqu dateng ke kosnya. Itu pun cuma sebentar, karena dia mau pergi. Bilangnya sih ada kerja sambilan, ah paling juga pacaran ama cowok barunya itu!"
Aqu menghela nafas. Segala macam bayangan muncul lagi di benakku.
"Aqu juga bingung harus gimana. Loe kan yang paling deket sama dia, Shin."
"Iya aqu tau. Urusan pribadi dia aqu ga berhak ikut campur, tapi sebagai sahabat aqu juga ga bisa cuek. Loe tau ga, apa yang aqu temuin di kamar Shana?" Shinta cemberut masam.
"Apa?" aqu teringat dengan kamar itu. Kamar pertama kalinya aqu menjadi intim dengan Shana. Saat itu Shana memintaqu meremas-remas buah dadanya, dan ia bahkan memberiku handjob sampai spermaqu muncrat ke bonekanya.
"Tapi loe jangan bilang siapa-siapa ya!" Shinta mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sebuah benda kecil dibungkus plastik, di bungkusnya tertulis sebuah merek alat kontrasepsi terkenal.
"Kondom?!" tenggorokanku terasa kering seketika.
"Sssst!" Shinta memasukkan lagi kondom itu dalem celananya.
Segalanya tentang Shana menjadi semakin buruk saja. Kekhawatiranku ternyata benar. Kalau Shana sampai menyimpan kondom di kamarnya, berarti ia sudah sering berhubungan intim dengan pacarnya, di kamarnya, di tempat kenanganku bersamanya. Aqu berusaha menyembunyikan wajah suramku dari Shinta.
Pada saat seperti ini, tiba-tiba saja hpku berbunyi. Aqu mengangkatnya dan menebak-nebak siapakah gerangan yang mengirimiku SMS?
"Bang, sore ini ada waktu luang nggak? Ada tugas susah yg mau aqu tanyain �� (Sender: Ghea)"
Seorang mahasiswi kembang kampus yang cerdas dan pintar bernyanyi, yang diincar oleh banyak lelaki di kampus ini, yang cantik dan seksi, mengajakku bertemu secara pribadi? Aqu tak tahu kenapa dengan nasib semujur ini senyumku masih tak mau melebar juga. Aqu tetap saja memikirkan Shana... entah marah, atau rindu.
 
Dengan berat hati, aqu meninggalkan Shinta yang masih termenung di depan kelas. Sedih juga, gini jadinya kalo ranger kuning kehilangan ranger pink. Aqu pun merasa kesal dengan Shana, ia tak hanya meninggalkan aqu, namun juga kawan-kawannya yang lain. Pria istimewa seperti apa sih yang sudah merebut hatinya?
Aqu membalas SMS Ghea dan mengiyakan ajakannya untuk bertemu. Dia bilang dia menungguku di kios bakso Pak Brewok yang ada di seberang campus, jadi mau tak mau aqu harus keluar dari campus ini, kebetulan semua jadwal kuliah sudah Usai. Saat melewati tempat parkir, aqu melihat sebuah boil sedan mewah baru saja masuk dan sedang mencari tempat parkir. Boil sapa itu? Mungkinkah boil dosen atau rektor? Atau boil mahasiswa anak orang kaya? Namun aqu belum pernah melihatnya sebelumnya.
Saat boil itu Usai parkir, sesosok pria keluar dari kursi kemudi. Pria itu memakai pakaian necis dan mengenakan kacamata, rambutnya pendek dan disisir ke samping. Dari pintu boil yang satunya lagi, sesosok wanita keluar. Ia mengenakan kaos oblong, celana jeans, dan sepatu kets. Penampilan mereka berdua sangat kontras, namun aqu kenal sapa wanita itu. Dia adalah Shana.
Wajah Shana nampak terkejut saat melihatku, mulutnya menganga dan matanya menatap mataqu tanpa berkedip. Terus terang, aqu juga tak tahu harus mengatakan apa. Ada perasaan rindu yang amat sangat di dalem hati ini, namun ada juga perasaan kecewa dan patah hati yang tak bisa ditutupi. Kalo saja tak ada pria itu di sebelahnya, aqu mungkin akan mencoba bicara. Namun aqu tak mau. Membayangkan mereka berdiri bersampingan saja sudah membuatku bisa membayangkan seks macam apa yang sering mereka laqukan di dalem boil mewah itu. Lebih dari soal seks, Pria itu adalah Pria istimewanya Shana, lebih istimewa dari aqu.
"Adi!" Shana akhirnya memanggilku saat aqu berjalan menjauh. Aqu tak menggubrisnya, aqu tetap berjalan ke arah bakso Pak Brewok untuk menemui Ghea.
Beberapa langkah aqu berjalan, aqu merasa ada yang mengikutiku dari belakang, kemudian menepuk pundakku. Ini bukan tangan Shana. Tangan sapa ini? Tangan Pria brengsek itu!
"Hey bung! Tunggu sebentar!"
Bang, bung, bang, bung, dia pikir dia sapa? Aqu memang orang yang terkenal tak suka cari masalah, namun kesabaranku sudah pada batasnya.
Aqu menoleh dan menatapnya. Dia beberapa tahun lebih tua dariku, mungkin itulah kenapa ia nampak sudah mapan. Namun di wajahnya tak ada rasa bersalah, wajahnya terlalu datar. Kemudian ia membetulkan posisi kacamatanya, membuat aqu makinn muak.
"Kamu pasti kawannya Shana yang namanya...."
BUAK!
Tinjuku melayang menghantam kepala Pria itu sebelum ucapannya Usai. Kacamatanya lepas, ia terhuyung dan jatuh tersungkur. Ini adalah pertama kalinya dalem hidupku aqu memukul orang karena marah, tak kusangka pukulanku kuat juga. Security dan tukang parkir memperhatikan kita dan bersiap untuk melerai.
"Kalo lo orang kaya, lain kali kondom beli sendiri!" ucapku membentaknya. Shana hanya mematung melihat perbuatanku, wajahnya pucat.
Aqu bingung dengan diriku sendiri. Apa yang sudah aqu laqukan? Memangnya aqu sapanya Shana? Memangnya apa hakku marah pada pacarnya Shana? Memangnya dia salah apa? Memangnya Shana salah apa kalo dia berhubungan dgn pria lain? Aaaargh! Aqu kemudian lari sekencang-kencangnya, melewati gerbang campus, menuju bakso Pak Kumis.
Di dalem kedai bakso, Ghea sedang asyik minum jus alpukat sembari memainkan iphone-nya. Aqu tiba di sebelahnya sembari terengah-engah.
"Eh Bang adi! Kenapa ngos-ngosan getooh? Santai aja kali, aqu gag buru-buru koq," ujar Ghea sembari tersenyum. Tiba-tiba saja ia nampak lebih cantik dari biasanya.
Sembari mengatur nafas, aqu duduk di hadapannya dan sedikit berbasa-basi. Ia menanyakan apakah aqu masih lapar, aqu bilang tak.
"Nah, soal yang mau aqu tanyain itu soal ini," Ghea mengeluarkan lembaran diktat kuliah, kemudian menunjuk satu halaman.
"Oh itu.... Kalo yang itu sih..." aqu terdiam.
"Why?"
Kalo aqu berlama-lama di sini, bisa-bisa Shana dan pacarnya menemukanku, sapa tahu tadi mereka mengejar dari belakang? Bukannya aqu taqut Pria itu membalas pukulanku, namun aqu tak sanggup bertemu Shana. Aqu harus segera pergi dari sini.
"Wah... kalo soal yang itu catatanya ketinggalan di tempat kos. Padahal itu lengkap banget," jawabku.
"Oh yaa sudah, kalo getooh...."
"Gimana kalo kita diskusinya di tempat kos-ku aja?" ucapku memotong.
Ghea terdiam, dia sepertinya terkejut. Kemudian samar-samar aqu seperti dapat melihat pipinya memerah. Setelah itu ia tersenyum lebar.
"Boleh saja!" ucapnya.
————————————————-
Aqu pergi bersama Ghea ke tempat kos-ku. Sebenarnya ini ide yg buruk, mengajak perempuan ke dalem kamar tanpa persapan apa-apa. Aqu bisa membayangkan seberapa berantakan kamarku, belum lagi cd film-film dewasa yg mungkin masih berserakan.
"Haha... Kamar lelaki!" ia tertawa saat aqu membuka pintu.
Aqu menyingkirkan beberapa buku yang berserakan di atas kasur dan menyuruh ia duduk. Tak lama kemudian, tiba-tiba dia berteriak senang saat melihat sebuah gitar tua yang kuletakkan di sebelah lemari pakaian. Tanpa meminta izin, dia pun mengambil gitar itu dan membawanya ke atas kasur.
"Ternyata suka main gitar ya?" tanyanya.
"Dulu sempat pingin belajar, namun sekarang sih cuma jadi pajangan," aqu tersenyum, duduk di sebelahnya.
Seperti lupa tujuan awalnya datang ke sini, ia langsung memainkan gitar itu dengan jari-jemarinya yang lentik. Kemudian dia pun lalu bernyanyi.
"Knock knock knock, knocking on heaven's door...."
Aqu tiduran di sebelahnya, sementara dia duduk bernyanyi di sebelahku. Sesaat saja, Ghea seperti berubah lagi menjadi gadis rocker yang kulihat di atas panggung waktu itu, rasanya dia seperti punya kepribadian ganda.
Sembari mendengar suara merdu Ghea, aqu melamun, aqu teringat pada semua hal yang kualami bersama Shana. Kalo saja, seandainya saat itu di bioskop aqu tak tanpa sengaja menyenggol dada Shana, dan tak datang ke kost-nya esok harinya, mungkin semua ini tak akan terjadi. Mungkin kita masih akan tetap bersahabat seperti biasa, tanpa ada embel-embel apapun. Mungkin aqu masih akan menyimpan perasaanku dalem-dalem, namun tak akan sesakit ini. Ya, pastinya aqu juga tak akan pernah melaqukan hal-hal intim itu bersama Shana, namun artinya semua itu kalo akhirnya jadi begini?
"...that cold black cloud is comin' down, feels like I'm knockin' on heaven's door..."
Melihatku melamun, Ghea tiba-tiba saja menepuk pahaqu.
"Abis mukul orang, terus ngerasa bersalah ya?" ucapnya tiba-tiba.
Aqu terkejut bukan main, aqu bangkit duduk dan menatapnya. Darimana dia bisa tahu hal itu? Jangan-jangan....
"Tadi aqu lihat dari jauh, sebelum masuk ke kedai bakso. Masalah cinta segi sembilan nih kayanya? Hehehe..., sorry kalo pengen tau!"
Aqu kembali rebahan di atas kasur dan menghela nafas. Kemudian Ghea kembali memainkan gitar dan berdendang ringan. Mungkin karena terhipnotis oleh suaranya yang merdu, aqu akhirnya menceritakan semua itu. Aqu menceritakan semua yang terjadi padaqu dan Shana..., perasaanku yang sudah kupendam sejak lama, hubungan skandal rahasia kita, dan pacar baru Shana yang membuatku naik darah. Ghea mendengarkan dengan serius, ia sama sekali tak terkejut waktu aqu ceritakan skandalku dengan Shana, ia juga tak nampak merendahkan, ia malah nampak simpatik.
Kemudian Ghea ikut tiduran di sampingku, sembari masih memetik gitar.
"Kak Adi mungkin gag tau, kalo sebenarnya Kak adi itu sering jadi bahan pembicaraan adik-adik kelas, sebagai lelaki yang sopan, berkharisma, baik hati dan kalem. Namun lucunya, aqu gag terkejut waktu tau rahasia pribadi Kak Adi yang bertolak belakang...." ucapnya dengan suara yg pelan, "dan mudah-mudahan Kak Adi juga ga terkejut kalo tau bahwa...."
"Bahwa what?"
"Bahwa perempuan kaya aqu ini... yah, yang kata orang sih populer, cantik, keren, gaul, dan hehehe"
Aqu menyikut pundaknya, ia balas menyikut pinggangku, kemudian tertawa.
Ia melanjutkan ucapannya,
"...iya, bahwa perempuan kaya aqu ini, ternyata diam-diam udah lama... naksir bang Adi."
Deg!
Jantungku berdetak lebih keras dari biasanya. Baru kali ini ada perempuan yang terus terang mengatakan itu padaqu. Bahkan Shana tak pernah satu kalipun mengatakan kalo ia menyukaiku. Aqu menoleh ke arah Ghea yang tiduran di sebelahku. Ia sedang menutupi wajahnya yang memerah dengan tangan. Sangat cute, kemana perginya gadis rocker yang tadi asik bernyanyi? Aqu tertawa dalem hati. Tiba-tiba saja aqu juga tertarik mengeluarkan sisi diriku yang lain.
"Main gitar lagi dong!" ucapku sembari bangkit duduk. Ia juga ikut duduk.
"Huuu! Maunya konser gratis! Bayar tiket dong!" ia menjulurkan lidah, kemudian membetulkan kacamata merah maroon-nya.
"Kan aqu yang main drum."
"Oke!"
Ghea memainkan gitarnya, namun kemudian berhenti. Ia memicingkan matanya.
"Mana? Katanya bang Adi mau main drum? Koq diem aja? Pukul-pukul kaleng biskuit kek, apa getooh," ia protes.
"Aqu lagi main drum koq!"
"Mana?"
"Niih...," aqu meraih tangan kirinya, kemudian menuntun telapak tangannya itu ke arah dadaqu.
"Kedengeran ngga? Blast beat nih drumnya!"
Ia tertawa terbahak-bahak, bahkan sampai memegangi perutnya. Matanya berkaca-kaca karena terlalu lama tertawa.
"HAHAHAHAHAHA! Gombaaaal parahhh! atit perut nih!"
Aqu senyum-senyum mendengarnya. Usai tertawa, ia menarik tanganku ke arah dadanya, gantian katanya.
"Bukan cuma Bang Adi aja yang dari tadi main drum!"
Telapak tanganku menempel di dadanya, di atas kancing pakaian yang bagian atasnya ia biarkan terbuka. Sekarang aqu jadi grogi.
"Ohiya, posisi jantung kan agak ke kiri dikit ya," ujarnya. Ia menggeser tanganku ke sebelah kiri dadanya, tepat di atas buah dada kirinya. Mata kita saling bertatapan. Di balik kacamata persegi itu aqu dapat melihat kedua matanya yang nampak agak sayu. Apalagi saat tanganku bergeser agak ke bawah.
"Kerasa gag?" tanyanya.
"Apanyaaaaa?"
"Detak jantungnya lah. Emang ada yang lain?"
"Hmm... Adaaaa..."
Pelan-pelan telapak tanganku bergeser makinn ke bawah. Aqu bisa merasakan ada bukit yang menonjol di dadanya. Ghea nampak menahan nafas, matanya makinn sayu.
Dengan lembut, jari-jemariku mulai memijit buah dada Ghea dari luar pakaiannya. Ternyata ukurannya lebih besar dari yang kukira. Hampir dua kali lebih besar dari milik Shana, namun masih pas di telapak tanganku. Aqu meremas-remas buah dada kiri Ghea dengan satu tangan, sembari terus memperhatikan ekspresi wajahnya.
"Mhhh..." suara lenguhan pelan keluar dari bibir Ghea. Suara yang sangat merdu, suara lenguhan paling merangsang yg pernah kudengar. Spontan saja penisku berdiri di dalem celana.
"Satunya lagi...." bisiknya. Menuruti perintahnya, aqu pun meraih buah dadanya yang sebelah kanan. Sekarang kedua gunung kembar itu sudah kugenggam, kemudian kupijat perlahan-lahan. Rasanya sungguh kenyal dan kencang. Luar biasa.
"Ghe, buka aja yaaaa?"
"Mmmmh.... iyaaah...."
Aqu penasaran dengan belahan dada yang sejak tadi mengintip dari kerah pakaiannya. Kemudian dengan perlahan-lahan aqu membuka kancing pakaian Ghea, satu-persatu. Makinn banyak kancing yang kubuka, makinn jelas nampak buah dadanya yang bulat menggoda. Ia mengenakan bra putih yang sangat seksi. Aqu kembali meremas kedua buah dada Ghea. Kemudian tanpa diminta, ia melepas kacamata yang ia kenakan, kemudian ia mencium bibirku dengan ganasnya. Aqu didorongnya sampai telentang di kasur, kemudian dia naik ke atasku dan kembali menciumi bibirku.
"Bang... kalo buat aqu, Kak Adi adalah lelaki yang paling istimewa," ucapnya dengan nafas yang memburu....
"Bang... kalo buat aqu, Bang Adi adalah cowok yang paling spesial," ucapnya dengan nafas yang memburu.
Ia kembali melumat bibirku, ciumannya sangat brutal, sangat terlihat kalo ia sudah berpengalaman. Lidahnya masuk ke dalem mulutku dan mencoba bersentuhan dengan lidahku. Sisi binal Ghea muncul keluar, ia bahkan sesekali menggigit bibirku. Aqu jadi kewalahan, dibandingkan dengannya, aqu masih sangat culun.
Tapi aqu tidak mo kalah. Langsung kubalikkan badannya sehingga ia ada di bawhhahku. Kusibak rambut panjangnya yang indah, lalu kuciumi lehernya. Ia menrintih menahan geli.
"Awhh! Geli!" ia menjerit pelan.
Tanganku terus meremas-remas payudaranya, sesekali memilin pentilnya yang sudah mulai menegang. Sejujurnya, aqu tak menyangka hal seperti ini akan terjadi sewaktu mengajaknya masuk ke dalem kamar. Tapi aqu sungguh tak bisa menolak Ghea.
Ciumanku turun dari leher ke belahan dadanya, lalu ke pentil kanannya. Kujilat-jilat pentilnya, ia pun menrintih semakin keras.
"Aaah... Mmmmh...." suaranya sangat merdu, rasanya aqu tidak ingin berhenti mendengarnya.
Aqu bergantian menghisap kedua pentilnya, dan ia terus-menerus mengelus-elus rambutku.
"Mmmh...Lebih besar mana sama punya Shana?" ia bergumam sembari menrintih, melemparkan satu pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Aqu tak ingin membicarakan Shana, karena yang ada di hadapanku sekarang adalah Ghea. Jawabannya sudah jelas, payudara Ghea lebih besar dan lebih nikmat.
Srurrrpt!
"Awhhwwh!"
"Enak?" tanyaqu.
"Bingit!"
Ciumanku turun dari payudaranya ke parah perutnya yang ramping. Kumainkan lidahku di sekeliling pusarnya, Ghea menggelinjang kegelian. Sementara itu tanganku melepaskan celana jeans-nya secara perlahan-lahan. Ghea tampak tidak keberatan, ia bahkan membantu membubangan celananya.
Setelah celana jeans-nya terbuka, aqu dapat melihat celana dalem putih yang ia kenakan. Aqu mengelus-elus kedua pahanya yang mulus, lalu menciumi lututnya. Ghea tampak kegelian dan menggerak-gerakkan pinggulnya.
"Jangan gerak-gerak, nanti kepalaqu kena tendang!" protesku.
"Sorry! Abisnya geli!"
Ciumanku menjalar dari lutut, ke pahanya, lalu ke selangkangannya. Cuma ini cara yang kutahu untuk memuaskan perempuan, cuma sampai hal ini saja batas pengalamanku. Aqu memerosotkan celana dalem Ghea, dan terlihatlah kemaluannya yang sudah dicukur bersih dan mulus. Kepala Ghea menengadah, memandangi langit-langit kamar kostku. Dengan gerakan yang lihai, aqu langsung menjilati kemaluan Ghea. Ia pun semakin berkelojotan, terpaksa aqu memegangi kedua kakinya.
"Aaaaah... uuuh... Bang Adi.. baru pertama kalinya aqu diginiin... Uuuh... Gag tahan...."
Jilatanku semakin binal. Kumasukkan lidahku ke sela-sela lubang kemaluannya, lalu kugerak-gerakkan. Tak lupa semua teknik oral yang pernah kulihat di film dewasa kupraktekkan pada kemaluannya. Ia semakin merasa nikmat, rintihannya berubah jadi jeritan-jeritan tertahan, lalu erangan yang sangat merdu.
"Gilaaaa.... Arrrghhhh....!" Ghea mengerang panjang, namun aqu menghentikan permainanku. Tiba-tiba saja aqu merasa seperti mengalami de javu. Beberapa detik tadi aqu sempat lupa kalo kemaluan yang ada di hadapanku adalah milik Ghea, bukan Shana.
"Hah.. hah... Kenapa berenti...?" keluh Ghea manja.
"Ngg.. Gag apa-apa..." jawabku.
"Udah gag tahan... masukin aja Bang."
Aqu termenung mendengar permintaannya,
"Masukin?"
Ghea menatapku, matanya seperti heran kenapa aqu bertanya.
"Iya, masukin punya Bang Adi...Kemaluan Bang Adi... uuhh."
Aqu ingat aqu belum pernah melaqukan ini, karena Shana selalu melarangku menembus keperawannya. Mungkin Ghea memang sudah tidak perawhhan, tapi entah kenapa aqu jadi merasa agak canggung.
Melihatku yang tak juga menuruti permintaannya, Ghea bangkit dari posisi tidurnya, lalu bergegas membuka celanaqu. Dengan gerakan yang seperti sudah terlatih, ia segera mengeluarkan kemaluanku yang sudah berdiri tegang. Lalu ia menggenggamnya menggunakan tangan kanannya.
"Aqu bikin lebih tegang lagi ya Bang, tapi jangan keluar dulu."
Ghea mengocok-ngocok kemaluanku dengan tangannya, lalu tanpa ragu ia langsung memasukkan kemaluanku ke dalem mulutnya. Ia menghisapnya dengan lembut, batang kemaluanku terasa disedot sampai ke bagian terdalemnya.
"Oooohh..." aqu menrintih tak tertahankan, Ghea masih terus menghisap kemaluanku, sesekali kepalanya maju mundur.
Lalu ia menghentikan gerakan kepalanya dan malah mendorong pinggulku ke arah mulutnya.
"Bang.... entotin mulut Ghea..." ucapnya dengan suara yg sulit terdengar karena kemaluanku masih ada di mulutnya.
Aqu terkesima dengan permintaannya yang berani itu, tapi aqu tak mungkin menolak. Dengan kedua tangan, aqu memegangi kepalanya dan rambutnya yang hitam panjang. Kudorong kemaluanku ke arah mulutnya, lalu kutarik sedikit. Kudorong lagi, tarik lagi. Semakin lama kemaluanku terdorong masuk semakin dalem ke mulutnya, hampir ke tenggorokannya. Rasanya sungguh luar biasa, tulang belakangku seperti mau lumer saja.
Dengan gairah yang membumbung tinggi, aqu menggenjot mulut Ghea, semakin lama semakin cepat. Sesekali Ghea seperti hampir terbatuk-batuk, tapi ia menolak untuk melepaskan kemaluanku. Sampai pada saat sodokan kemaluanku di mulutnya menjadi sangat kuat, Ghea menarik mulutnya, ia batuk berat dan hampir muntah, air liur menetes dari mulutnya yang sejak tadi tak bisa bergerak.
"Ghe, kamu gag apa-apa? Sorry ya, sorry!" ucapku khawhhatir melihatnya.
"Hoek! Uhuk uhuk! MMmmmng.... Gag apa-apa... Hemmm...***g apa-apa kok," jawabnya sembari berusaha tersenyum.
Setelah nafasnya kembali tenang, ia telentang di atas kasur, lalu menuntun kemaluanku ke dekat kemaluannya. Sembari menggenggam kemaluanku, ia menggesek-gesekkannya ke bibir kemaluannya yang sudah basah. Ia ingin aqu memasukkannya.
"Kamuu yakin, Ghe?" tanyaqu.
Mendengar pertanyaanku, Ghea tertawa cekikikan.
"Biasa aja kali, Bang. Gag usah gugup gitu."
"Oh kamu udah sering ya?" tanyaqu.
"Gag sering, pernah sekali. Tapi buat Bang Adi, berapa kali pun boleh."
Aqu mendorong kemaluanku ke bibir kemaluannya. Rasanya sangat sempit, aqu sampai tidak tahu harus mendorongnya seperti apa.
"Nih aqu bantuin Bang, pelan-pelan ya," ucap Ghea.
Dengan bantuan dari tangan Ghea dan gerakan pinggulnya, akhirnya kemaluanku bisa masuk juga ke dalem kemaluannya. Rasanya sungguh luar biasa. Rasa hangat, lembut, dan jepitan dinding-dindingnya di batangku membuat pikiranku melayang entah kemana. Aqu memeluk badan Ghea dan mencium bibirnya, lalu Ghea berbisik.
"Bang Adi gag usah nungguin Shana lagi ya? Kalo sama aqu, semuanya aqu kasih..."
Aqu mulai menggerakkan pinggulku perlahan-lahan. Kemaluanku keluar masuk di kemaluan Ghea, bergesekan tanpa henti, merasakan cengkraman kemaluannya yang sangat kuat.
"Ahhh..."
"Ooohh... gimana bang rasanya kehilangan keperjakaan?" ledek Ghea sembari berusaha tertawa.
"Rasanya... rasanya kaya begini..." aqu mempercepat genjotanku, membuat sodokan-sodokanku semakin kuat.
"Ahhh! Ahh! Ohh! Nikmat!" Ghea menjerit-jerit setiap kali kemaluanku menusuk bagian dalem kemaluannya.
"Iya, nikmat. Ohh ohh!"
Lama-kelamaan genjotan pinggulku semakin stabil, Ghea juga sepertinya semakin bisa mengendalikan nafas. Aqu meremas-remas payudaranya, lalu mengecup bibirnya. Sembari terus menggenjot, aqu mengambil kacamata Ghea yang tadi ia lepas di dekat kasur. Lalu aqu memakaikan kacamata itu pada Ghea, ia tersenyum melihat tingkahku.
"Kayanya kamu lebih seksi kalo pakai kacamata," ucapku menggodanya.
Permainan kita semakin lama semakin intens. Sesekali aqu memutar-mutar kemaluanku di dalem kemaluan Ghea, membuat dia menggelinjang. Sesekali juga aqu mencampur antara genjotan cepat dan gesekan lembut.
Setengah jam berlalu, permainan kita mulai mendekati klimaksnya. Aqu dapat merasakan kemaluanku seperti akan meledak, sementara Ghea sudah terengah-engah dan tak bisa berkata apa-apa lagi selain rintihan dari mulutnya.
"Ah... ah... ah... Bang... Ah... Ah.. oh... sebentar lagi... "
"Ugghh... Ghe... Ohhh... sama... juga... ahhh"
Dalem keadaan seperti itu suasana kamar di sekelilingku seperti lenyap. Itulah kenapa aqu tak sadar ketika ada orang yang mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Aqu tak menggubrisnya, aqu terus menggenjot Ghea tanpa henti. Hingga aqu sadar kalo pintu kamarku tadi lupa dikunci, dan terbukalah pintu kamar itu, lalu Shana melangkahkan kakinya masuk.
Shana melihatku. Shana melihat kita. Ekspresi wajahnya sangat pucat ketika ia membuka pintu kamarku lalu memergoki aqu dan Ghea yang sedang bercinta dengan penuh gelora. Mata Shana melotot, seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Anehnya, aqu tak bisa menghentikan gerakanku. Ghea juga sepertinya sudah tak sanggup lagi memikirkan keadaan di sekelilingnya. Sembari disaksikan oleh Shana yang mematung karena shock di depan pintu, aqu mempercepat genjotanku di kemaluan Ghea, hingga akhirnya aqu dan Ghea mencapai klimaks secara bersamaan.
"Aaaaaarghhh! Aaaaah!" aqu dan Ghea menjerit hampir bersamaan, seolah seperti paduan suara yang sedang menyanyikan nada tinggi.
Air maniqu muncrat di dalem kemaluan Ghea, sementara Ghea mengeluarkan jeritan panjang dan punggungnya melengkung seperti busur. Badan kita lumer menjadi satu, keringat kita bercampur dalem jeritan.
Shana masih di depan pintu, seperti patung yang beku. Kecuali air matanya yang perlahan-lahan menetes keluar, memperhatikan aqu dan Ghea yang masih terengah-engah menikmati sisa klimaks kita. Air mata Shana semakin banyak keluar, dan ketika hampir membanjiri pipinya, ia pun membalikkan badan dan lari sekencang-kencangnya dari kamar kost-ku.
Aqu bertanya-tanya dalem hati. Kenapa Shana menangis? Kenapa? Entah mengapa, aqu juga jadi ingin menangis. Tapi Ghea segera memeluk kepalaqu dan mendekapnya. Kita tertidur di atas kasur, di dalem kamar, dengan pintu yang terbuka.
 
Tatapan dan air mata Shana terus menghantuiku sejak saat itu. Walau ada segudang alasan yg bisa kubuat supaya aqu tak usah peduli, tetapi kenyataannya aqu merasa hidupku hancur berantakan. Rasanya bernafas saja sulit.
Apa yg sudah aqu laqukan? Apa yg telah terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu kuteriakkan dalam hati tiap kali aqu mengingatnya.
Tepat setelah kejadian ironis itu usai, Ghea sempat minta sorry padaqu. Awalnya dia cuma terdiam. Kita kembali mengenakan pakaian kita yg tercecer di lantai kamar. Ia sedang mengancingi pakaiannya, belum memakai celana, ia menatapku tanpa suara. Aqu mengancingi celanaqu dan menunggu ia mengeluarkan kata-kata.
"Sorry kak," ucapnya.
Hatiku semakin retak mendengar permintaan maafnya. Ini bukan salah Ghea. Aqu yg memulainya terlebih dulu. Lagipula kalo mau jujur, aqu yg bersalah padanya. Aqu telah menggunakannya untuk pelampiasan nafsuku dan rasa kesepianku yg dalam. Bukan salah dia kalo akhirnya aqu mendapat batu dari perbuatanku sendiri.
"Bukan. Aqu yg harusnya bilang sorry. Aqu khilaf." jawabku.
Setelah itu ia memelukku. Pelukan yg tanpa nafsu, tetapi penuh dengan rasa gelisah. Beberapa menit kemudian aqu mengantarnya pulang.
————–
Beberapa hari kemudian di campus aqu sempat bertemu dengan Shinta dan geng power rangers yg lain, kecuali Shana. Beda dengan sebelumnya, kali ini Shinta tak terlihat terlalu murung. Kita duduk di kantin untuk makan siang bersama sambil ngobrol-ngobrol.
"Eh Bro, gimana tuh kabar nya si Sarah?" tanya Rendy pada Gilang sambil menyikut lengannya. Sarah adalah gebetan Gilang yg pernah dia ajak bersama kita ke festival campus.
"He he he... baik-baik aja koq." Gilang megagruk-garuk lehernya, kebiasaan dia kalo sedang grogi.
"Tumben tampang loe kaya gitu. Biasanya kaloe ngomongin gebetan tampang loe stay cool aja. Pasti ada yg beda nih sama gebetan loe yg satu ini?" Shinta ikut-ikutan menyindir sambil melahap bakso di depannya.
"Bisa aja loe semua...., biasa aja koq."
"Di, loe inget ga? Sewaktu abis nganterin kita pulang dari festival musik di campus Z waktu itu, si Gilang kan jalan terus tuh sama si Sarah, kemana coba?" tanya Rendy padaqu.
"Hmmm... ke mana ya? Diajak ke rumahnya kali?" jawabku ragu-ragu.
Rendy menoleh ke arah Gilang sambil menggelengkan kepalanya dan berdecak-decak.
"Loe bawa ke rumah?"
"Gagk lah!" sagagh Rendy.
"Loe tunjukin koleksi bokep original loe ya?" ucap Shinta. Gilang tertawa terbahak-bahak.
"Sialan loe semua. Udah kaya wartawan infotainment aja dah! Waktu itu aqu langsung nganterin dia pulang koq!" Gilang membela diri.
Sewaktu kita sedang asyik menggoda Gilang, Shinta menngangkat panggilan masuk di hp-nya. Aqu tak terlalu jelas mendengar apa yg ia katakan, awalnya wajah Shinta terlihat ketus, tetapi tak lama kemudian seutas senyum terlihat di bibirnya.
"Woy, guys! Diem dulu sebentar! Coba tenang dulu!" ucap Shinta setelah menutup teleponnya.
Kita semua terdiam dan memandangi Shinta, penasaran dengan apa yg ingin ia katakan.
Shinta memajukan kepalanya dan berbisik.
"Guys, temen kita si ranger pink yg udah lama ga muncul katanya mau dateng ke sini... dan mau nraktir kita makan sepuasnya!"
DEG! Jantungku seolah berhenti berdegub. Sementara itu Gilang dan Rendy bersorak gembira, aqu berusaha untuk ikut terlihat senang, padahal tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin.
Jantungku berdegub kencang, kakiku terus menerus mengetuk-ngetuk lantai. Seandainya aqu bisa melarikan diri dari situasi ini. Mungkin aqu bisa pura-pura pergi ke WC, lalu diam-diam pulang? Kalo nanti ada yg bertanya aqu bisa bilang kalo aqu ada keperluan mendadak.
Sebelum aqu sempat melaqukan itu, Shinta sudah melambaikan tangannya dan tersenyum. Aqu menoleh ke arah yg ditunjukkan Shinta, lalu aqu dapat melihat Shana berjalan ke arah kita dari salah satu sudut kantin. Ia memakai t-shirt ketat dan celana jeans seperti biasa. Namun ada hal yg berbeda dari biasanya. Shana memotong rambutnya. Sekarang rambut lurusnya jadi pendek seleher, memperlihatkan lehernya yg indah, membuat ia terlihat lebih seksi.
Ia berjalan semakin mendekat, jantungku semakin cepat berdegub. Kemudian Shana menghampiri Shinta dan cipika-cipiki seperti kawan lama yg baru bertemu kembali.
"Buset! Potong rambut loe Shan?" goda Shinta.
"Iya dong! Pantes gag rambut baru aqu?" ujar Shana sambil membelai rambutnya sendiri. Samar-samar aqu dapat mencium wangi parfum Shana. Lebih harum dari biasanya. Saat ia bicara aqu juga dapat melihat bibirnya yg dibalut lip gloess seolah terlihat basah.
"Kemana aja loe?" sahut Rendy.
"Iya, gagk pernah muncul. Pacaran mulu loe ya?" tambah Gilang.
"Ada deeeh... Ntar aqu jelasin!"
"Payah loe ah. Kasian tuh si Adi, kangen sama loe, daritadi diam terus... Hahahaha" ucap Gilang. Tenggorokanku rasanya bagai tercekik mendengar ucapannya. Aqu tau dia cuma bercanda, tetapi ucapannya begitu telak membuat aqu dan Shana sama-sama terdiam.
"Hahahaha.... boro-boro aqu kangen..... kangen band kali!" aqu mencoba ikut bercanda, tetapi jadi terdengar maksa.
Shana duduk di kursi kosong di sebelah Shinta, tepat di hadapanku. Kemudian ia merebut es teh manis Shinta dan menyedotnya tanpa meminta izin. Shinta protes, dilanjutkan dengan candaan Gilang dan Rendy yg sangat garing. Sekilas, pemandangan di hadapanku terasa sangat normal. Rasanya seperti suasana persahabatan kita dulu, suasana yg nyaman dan menentramkan yg sangat kita rindukan. Seandainya saja semua bisa kembali seperti dulu. Tetapi aqu tau saat ini ada yg berbeda, setaknya bagiku dan Shana.
"Jadi begini kawan-kawan..." Shana mulai membuka suara,
"aqu minta maaf kalo selama ini aqu sering ngilang dan jarang ngumpul sama kalian... aqu emang sempat ada masalah yg makan perhatian banget. Tetapi sekarang...., aqu bawa kabar gembira."
"Kabar gembira apa Tan?" tanya Rendy penasaran.
Shana dan Shinta senyum-senyum, mereka sudah mengetaui sesuatu. Selama beberapa detik, Shana melirik ke arahku, kemudian kembali membeloekkan pandangan.
"Aqu...Ehm... Sebentar lagi aqu bakal... tunangan." ucap Shana. Suaranya agak gemetar ketika mengucapkan itu.
Sorak sorai Rendy dan Gilang terdengar bersahutan, Shinta mengacak-acak rambut pendek Shana. Gilang mengangkat gelas es tehnya dan mengajak kita semua bersulang, seperti adegan bar di filem-filem. Tak perlu dijelaskan lebih lanjut, aqu tau dengan sapa dia akan bertunangan. Sesi wawancara pun dimulai. Gilang, Rendy dan Shinta bergantian menanyai Shana soal rencana pertunangannya itu.
Dengan kaki yg lemas, aqu bangkit berdiri, lalu mengulurkan tanganku ke arah Shana. Aqu berusaha tersenyum.
"Congrats ya ya..." ucapku.
Shana menyambut tanganku. Ia berusaha tersenyum, tetapi pandangan matanya terus menunduk.
Aqu tak tahan lagi, aqu harus segera pergi dari sini.
"Eh guys, sorry ya. Aqu harus cabut duluan nih. Aqu baru inget kalo siang ini aqu udah ada janji sama dosen," ucapku dengan terburu-buru.
"Ah gagk asik loe di!" gerutu Rendy.
"Iya... Rugi loe, gagk dapet traktirannya Shana," ujar Gilang.
"Sorry, sorry banget!" ucapku. Kemudian aqu menoleh ke arah Shana.
"Sorry ya, Shan." ucapku.
Kawan-kawanku yg lain mungkin berpikir aqu meminta sorry karena tak bisa mengikuti acara perayaannya, tetapi aqu dan Shana sama-sama tau, kata sorry itu punya makna yg lain, makna yg lebih dalam dan lebih luas.
"Sorry, aqu harus pergi sekarang," ucapku lagi.
Saat aqu membalikkan badan dan berlari keluar dari kantin, tak ada yg menahanku. Tetapi sepertinya aqu mendengar suara Shana memanggil namaqu pelan. Tetapi... mungkin itu cuma imajinasiku saja.
————————————–
Di depan campus, tanpa sengaja aqu bertemu Ghea. Ia sedang di tempat fotokopi, ia melihatku dan melambaikan tangan, seolah tak terjadi apa-apa di antara kita.
"Ghe, ikut yuk!" aqu menarik tangannya. Untung ia sudah usai memfotokopi.
Aqu mengajaknya naik motorku, pergi ke sebuah caffe yg letaknya agak jauh dari campus. Sebenernya aqu tak bermaksud menjadikannya sebagai pelarian, tetapi masalahnya cuma dia saja yg mengetaui soal hubunganku dengan Shana, aqu tak tau lagi harus bercerita pada sapa kalo bukan dengan Ghea. Selama di perjalanan, ia memeluk punggungku dengan erat, seperti orang yg sedang berpacaran. Aqu dapat merasakan buah dadanya yg menempel di punggungku, tetapi pikiranku sedang kacau, jadi aqu tak bisa menikmati hal itu.
Di caffe, kita duduk di sebelah pojok. Tak lama kemudian pelayan datang dan kita pun memesan minuman dingin.
"Kenapa bang?" tanya Ghea sambil membetulkan posisi kaca matanya.
Aqu menghembuskan nafas gelisah, kemudian mulai bercerita tentang apa yg terjadi di kantin tadi. Ghea menatapku sambil manyun, kemudian menyedot minuman yg baru saja diletakkan pelayan di meja kita.
"Jadi, Bang Adi masih mengharapkan Shana?" tanya Ghea.
"Gagk.... Gagk tau...." jawabku. Aqu memang tak tau apa yg sebenernya kuharapkan.
"Mungkin Bang Adi cuma gelisah karena penasaran. Karena belum pernah ngungkapin perasaan Abang yg sebenernya ke dia, kan?" ucapnya lagi.
Aqu termenung. Mungkin bener yg diucapkan Ghea. Mungkin perasaanku adalah semacam obsesi.
"sooo menurut kamu?"
"Bang Adi harus ungkapin dengan jujur apa yg Kak Adi rasain selama ini pada Shana secara langsung, supaya gagk ada beban lagi. Setelah itu...." Ghea menghentikan ucapannya.
"Setelah itu?"
"Setelah itu, lupain dia."
Aqu terhenyak. Melupakan Shana?
"tapii...." gumamku ragu-ragu.
"Habis mau gimana lagi? Kalian sama-sama udah buat pilihan masing-masing kan? Shana udah punya tunangan... dan Bang Adi.... udah punya aqu."
Aqu kembali terkejut dengan ucapan Ghea. Aqu mulai bisa menebak. Jangan-jangan apa yg terjadi di antara kita waktu itu dia agagp sebagai tanda bahwa kita....
"Ghe... di antara kita gagk ada apa-apa." ucapan itu begitu saja keluar dari mulutku.
Genggaman tangan Ghea di gelasnya tiba-tiba saja menjadi sangat erat, tangannya terlihat agak gemetar. Ketika aqu melihat wajahnya, aqu dapat melihat api yg membara di balik kaca mata itu. Ia sungguh menyeramkan. Sepertinya ia bisa memukulku dengan gelas kaca itu kapanpun ia siap.
"Denger ya bang.... aqu memang bukan perempuan yg sok suci seperti Shana... tetapi aqu juga bukan pelacur munafik seperti dia yg bisa bang Adi jadiin sex friend seenaknya tanpa komitmen apa-apa!"
Ghea bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari caffe dengan penuh amarah. Aqu menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan dan berteriak dalam hati. Aqu kira berbicara dengannya bisa membuatku lebih tenang. Aqu salah, aqu malah semakin terpuruk.

Malam ini saat mulai tidur kepalaqu terasa berat. Aqu risau selama beberapa jam, tapi menjelang dini hari akhirnya aqu bisa tertidur juga. Aqu tak tahu berapa lama aqu tidur, rupanya sebentar, karena ada sesuatu yang membuatku terbangun.

Ada yang mengusik tubuhku saat aqu sedang tertidur lelap. Sebuah benda berat menindih lenganku. Aqu membuka mata dan melihat lampu ruangan masih menyala, rupanya aqu tadi lupa mematikannya. Mataqu terasa pedih, kemudian aqu mengedip-ngedipkannya sebentar, sampai mataqu mulai terbiasa. Kemudian saat aqu melihat ke sebelah kiri, aqu terkejut. Benda berat yang menindih lenganku adalah Shana.

Shana rebahan di sebelahku. Kepalanya ada di dekat pundakku, sementara tubuhnya memeluk erat lengan kiriku. Ia mengenakan kaos putih tipis dan celana pendek loenggar, wangi sabun dari tubuhnya bisa kucium dengan sangat jelas.
Kenapa ia bisa ada di sini? Jantungku berdegub kencang. Aqu ingat, mungkin aqu lupa mengunci pintu ruangan saat akan tidur tadi. Aqu kelelahan dan pikiranku kacau, aqu sampai tak ingat mengunci pintu.
"Di....," Ucap Shana agak mendesah. Rupanya ia tak tidur.
Shana menengadahkan kepalanya, berusaha menatap mukaku. Jarak mukaku dan mukanya kini hanya beberapa centi.
"Maafin aqu, Di.... Aqu tau aqu yang salah," ucapnya pelan.
Aqu berusaha menenangkan diriku.
"Shan... kenapa loe tiba-tiba ke sini?"
Shana menghela nafas, kemudian memeluk lenganku dengan lebih erat. Aqu dapat merasakan gesekan buah dadanya dari luar kaos yang ia kenakan.
"Hmmmm.... aqu pengen, Di..."
Aqu terkejut mendengar kata-katanya. Ucapan Shana berhasil membuat darahku berdesir. Sebelum aqu sempat mengucapkan apa-apa, tiba-tiba Shana mencium leherku, kemudian tangannya meraba kemaluanku dari luar celana boxer yang aqu pakai.
"Tan.... kenapa loe tiba-tiba jadi... "
"Mmmmmh..... Mmmmhhh..." bibir kami langsung beradu, saling lumat dan saling hisap. Oooh, sungguh aqu merindukan bibir ini. Aqu merindukan kelembutan bibirnya setelah terlalu lama.
Tangan Shana menyelinap ke balik celanaqu, kemudian ia mengambil gagang kemaluanku dan mengeluarkannya dari celana. Dengan gerakan yang pelan dan lembut ia mulai mengocoknya, sementara itu bibir kami terus berpagutan. Refleks, tanganku juga menyelinap ke balik kaosnya dan mencari gunung mungil yang sudah lama kurindukan. Aqu meremas buah dada kiri Shana dan memainkan pentilnya. Pentilnya sudah keras dan tegang, sangat enak untuk dimainkan menggunakan jari.
Shana bangkit, ia duduk di atas lututku. Kemudian ia mengarahkan kemaluanku yang sudah berdiri tegak ke arah selangkangannya yang masih terhalang celana. Pelan-pelan ia menggesek-gesekkan ujung kemaluanku ke selangkangannya.
"Hhhhh.... aqu kangen sama kemaluan loe, Di.... Mmmhhh..."
Tak lama kemudian ia memerosotkan celananya sendiri beserta celana dalemnya. Terlihatlah kemaluannya yang bekas dicukur dan masih tak berubah dari dulu. Shana menggesek-gesekkan ujung kemaluanku di bibir kemaluannya tapi tampak berhati-hati.
"Shan.... Ohhh...." aqu tak sanggup menahan desahan.
"Uhhh... hanya gesek-gesek aja ya Di.... ini yang terakhir kalinya..." desah Shana.
Mendengar kata-kata itu tiba-tiba saja aqu jadi merasa agak kesal. Aqu tak mau. Aqu tak mau hanya sekedar begini. Aqu menginginkannya. Aqu ingin tahu apakah dia masih perawan atau tak saat ini. Aqu tak mau kehilangannya.
Tanpa minta izin lebih dahulu, aqu menarik kedua tangan Shana, kemudian aqu lempar tubuhnya ke atas kasur. Aqu menindihnya, kutahan kedua lengannya dan kulebarkan kedua kakinya.
"Aw! Di! Loe mau ngapain?" Shana protes.
"Please, Shana.... Aqu mau jadi yang spesial buat loe... aqu mau...." ucapku sambil berusaha menahan tangannya yang meronta-ronta.
"Jangan Di... aqu udah, aqu udah tuna.. nga... aaaaaah!"
Dengan gerakan yang memaksa, kepala kemaluanku masuk ke dalem bibir kemaluan Shana. Ia masih berusaha melawan, tapi tenagaqu lebih kuat dalem menahan gerakan tangan dan kakinya. Kudorong lagi pinggulku ke arah depan, kemaluanku masuk semakin dalem ke lubang kemaluan Shana. Oooh... rasanya sungguh luar biasa. Rasanya berbeda dengan lubang kemaluan Ghea, milik Shana terasa lebih hangat dan lebih lembut. Kuteruskan mendorong kemaluanku, kemudian kugunakan sedikit tenaga hingga gagang kemaluanku masuk seluruhnya ke kemaluan Shana.
"Adiiii...! Aghhh! Sakiiiit! Sakit Di....!" Shana menjerit. Gerakan tangannya berubah menjadi lemas, dan sedikit demi sedikit ia berhenti melawan. Tapi ia mulai menangis.
"Shan... jangan nangis... please aqu minta maaf," ucapku.
"Sakiiit.... loe jahat..... "
Aqu melihat ke arah kemaluan Shana, kemudian aqu menemukan bekas darah yang membasahi seprei kasurku. Aqu terkejut. Aqu tak tahu apa yang harus kukatakan sekarang.
"Loe masih perawan, Tan?" tanyaqu terbata-bata.
"Sekarang udah gag, bego loe! Bego!" Shana memeluk leherku dan berusaha menghentikan tangisannya.
Aqu tak mau menyia-nyiakan ini. Perlahan aqu mulai menggenjot kemaluan Shana, awalnya agak pelan karena aqu tak ingin menyakitinya lebih lanjut. Dinding kemaluan Shana terasa sempit dan meremas-remas gagang kemaluanku. Jadi rupa inilah kemaluan dari perempuan yang selama ini selalu kurindukan, yang selalu kuinginkan. Luar biasa.
"Aaaaaah.... Aaakhh... Ooouhhh..." Aqu terkejut mendengar Shana mulai mendesah. Ternyata ia cepat bisa menikmati ini.
"Udah gag sakit kan, Shan?" tanyaqu sambil mempercepat genjotan.
"Gag.... ahhh enak... mmhhh...." desah Shana.
"Aqu cepetin lagi ya?"
"Uuhh... Iya bang... yang cepet... terus bang...."
"Hah? Shan? Sejak kapan loe manggil aqu bang....."
Shana melepaskan pelukannya, kemudian aqu dapat melihat mukanya. Ia bukan Shana! Ia Ghea! Bagaimana mungkin? Tak masuk akal!
Ghea berbaring di bawahku, kakinya direntangkan lebar, tangan kirinya meremas-remas buah dadanya sendiri. Ghea tampak tersenyum, tapi ia terus menggerak-gerakkan pinggulnya supaya aqu tak berhenti menggenjotnya. Ia tersenyum sambil mendesah, kemudian perlahan ia mengacungkan jari tengahnya ke depan mataqu.
Aqu gemetar sekujur tubuh. Dengan sangat cepat, Ghea bangkit dan mendorong tubuhku. Aqu jatuh terlentang, kemudian kepala Ghea turun hingga ke depan kemaluanku. Ia kemudian menghisap kemaluanku dengan mulutnya. Kemudian ia menggigitnya. Ia menggigit kemaluanku! Krauk! Krauk! Aqu menjerit sekuat tenaga. Aaaaaaaa!
Kemudian aqu terbangun di atas tempat tidur. Hanya mimpi? Tak ada siapa-siapa di sampingku. Tak ada Ghea, tak ada Shana. Aqu masih sendiri.
Hari-hari kujalani seperti biasa. Rasa rindu terhadap Shana Maupun Ghea perlahan kini mulai memudar. Aqu sadar, Shana bukanlah jodohku, dia adalah obsesi dalam hidupku. Tak pernah mengungkapkan isi hatiku cukup menjadi penyesalan yang kusimpan dan tak akan terulang kembali.
Ghea... perempuan berkaca mata yang memberiku kehangatan dikala aku bimbang. Betapa berdosanya aku bila terus memanfaatkan dia. Kini dia telah bahagia dengan suaminya. Hubungan kita tetap baik. Terakhir kudengar ia melahirkan anak kembar.
Shana dan Ghea 2 perempuan yang memberikanku pengalaman indah tak terlupakan. Yes.. it's me... simple think of me. Sepucuk surat pernah kutuiskan untuk Shana, entah berguna atau tidak yang pasti aku sudah berusaha jujur pada diriku dan pada dirinya. Aku pernah jatuh cinta kepadanya.
 
mantep banget gan ceritanya, berbobot bukan hanya esek2 doang.. jarang2 baca cerita gini... nice share
 
Padahal saya berharap ada kelanjutannya..tapi..hehe,trims atas ceritanya gan
 
josssss......banget bikin ceritanya.cerita gini nih gw demen bacanya.
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd