Bagian 16
Tidak ada yang lebih bahagia bagi Lista selain mendapatkan pekerjaan, apalagi di kantor orang yang sangat dia kagumi. Pagi itu Lista sudah berada di kantor Arief dengan pakaian rapi, kemeja hijau, jilbab warna senada dan rok warna hijau pula. Orang-orang kalau melihatnya jadi adem rasanya. Arief datang agak siang hari itu dan cukup takjub melihat Lista.
“Eh, Lista?” sapa Arief.
“Om,” jawab Lista.
“Oh, ya. Teman-teman kenalkan ya, ini pegawai baru kita Lista. Dia nanti yang akan menjadi admin,” ucap Arief.
Orang-orang di kantor pun mulai berkenalan dengan Lista. Arief lalu mengajari Lista tentang pekerjaan yang harus dia lakukan. Pembukuan-pembukuan dan catatan-catatan yang harus dia hafal. Lista cukup serius dalam memperhatikan apa yang diajarkan. Hari pertama ini dia habiskan untuk mempelajari jobdesc yang dia berikan. Hari kedua dia juga masih berkutat untuk memperhatikan pembukuan, hari ketiga pekerjaannya mulai lancar dan dia mulai paham apa yang harus dia lakukan.
Gadis itu sama sekali tidak tahu-menahu persoalan yang sedang dihadapi Arief, atau apapun yang Arief lakukan. Di matanya, pria ini orang yang sempurna. Calon suami-able baginya. Sudah lama sebenarnya Lista menaruh hati kepada orang yang sudah menolongnya ini. Sejak dari pertama Arief menolongnya, dia sudah menganggap sosok Arief adalah dewa bagi dirinya. Dan dia berjanji apapun yang diinginkan oleh Arief akan dia turuti, sayangnya Arief orangnya terlalu gentleman. Tidak pernah berpikiran atau berbuat macam-macam kepadanya. Hal itu makin membuatnya takjub dan menaruh hormat.
Sering di status WA dia memberikan puisi-puisi indahh seperti “Duhai matahariku, ingin rasanya aku bisa meraihmu, tapi aku takut tanganku melepuh karenamu. Apa pantas bumi menggapaimu?”
Tidak sedikit teman-temannya yang bertanya-tanya tentang statusnya itu. Memang status itu menggambarkan kalau Lista sedang kasmaran. Dan makin hari perasaan di dalam dadanya makin berkembang menjadi bangunan istana yang megah. Terkadang pula Arief mengantarnya pulang, terkadang juga mengajaknya makan siang. Meskipun, terkadang pula dia tahu kalau Arief pergi ke suatu tempat yang tidak dia ketahui.
“Lista, besok kayaknya aku tidak masuk,” ucap Arief, “minta tolong kalau ada yang mencari aku, katakan aku sedang ada urusan.”
“Oh, mau kemana, Pak?” tanya Lista.
“Ada urusan. Ada teman yang minta bantuan,” jawab Arief.
“B-baik pak,” kata Lista, “kalau bapak butuh bantuan aku bisa membantu.”
“Aku rasa tidak perlu, aku bisa mengatasinya sendiri,” kata Arief, “tapi, terima kasih lho. Kinerjamu bagus.”
Dipuji seperti itu, Lista pun melayang.
“Oh, ya. Kamu ada waktu besok weekend?” tanya Arief.
Lista menggelengkan kepalanya. “Tidak ada, pak.”
“Mau jalan?” tanya Arief, “kayaknya ada film bagus deh di bioskop. Itu kalau kamu nggak keberatan dan free juga sih.”
“Eh?” Lista tentu saja mau. “M-mau mau… oke… bisa… saya free kok pak. Saya masih single.”
Arief tertawa, “Siapa pula yang nanyain kamu jomlo atau tidak.”
“Oh, eh. Hehehehe.” Lista tersipu-sipu.
“Ya sudah, sampai besok sabtu,” kata Arief.
Lista mengangguk. Entah apa yang terjadi besok sabtu. Di otaknya dia sudah membayangkan sesuatu yang tidak-tidak. Menonton bersama si pujaan hati.
* * *
Hari yang ditunggu oleh Leli pun tiba. Arief tiba dengan mobil SUV warna putih. Sebenarnya ini mobil perusahaan, tapi karena menganggur tak apalah dia pakai mobil tersebut. Leli sudah bersiap-siap dengan Hafiz menunggu kedatangan Arief. Begitu Arief datang, mereka pun segera naik ke mobil.
“Kita mau kemana?” tanya Leli.
“Mbak maunya kemana?” tanya balik Arief.
“Terserah deh, yang penting untuk refreshing,” jawab Leli.
“Ah, mau outbond?”
“Boleh.”
Akhirnya mereka pun pergi ke sebuah tempat wisata yang bisa ditempuh dengan dua setengah jam perjalanan. Tentunya, Leli sangat bahagia sekali diajak berpergian seperti ini. Di jalan pun mereka bicara banyak dan terkadang bercanda. Tidak ada kesedihan terpancar dari wajah Leli. Mereka juga mampir di salah satu toko swalayan untuk membeli snack dan minuman. Hari sudah menjelang siang saat mereka sampai di tempat wisata tersebut.
Tempat wisata itu merupakan tempat wisata yang lebih tepatnya adalah sebuah hutan cagar alam yang dilindungi. Di tempat itu mereka bisa melihat berbagai macam flora dan fauna. Hafiz juga senang bisa melihat hewan-hewan dan ikut memberi makan mereka. Tak lupa Arief mengajak Leli berfoto. Mereka seperti keluarga saja, tak ada yang curiga kalau mereka ini tidak punya ikatan apapun.
Setelah puas berkeliling, lalu perjalanan pun ditutup dengan memakan es krim. Mendung pun mulai bergulung-gulung menutupi langit, sehingga hujan pun turun dengan derasnya. Mau tak mau mereka harus berteduh di salah satu stand pujasera.
“Hujan badai,” ucap Arief sambil melihat langit dengan mendung yang cukup merata. Hari itu masih jam 15.00 tapi mendung membuatnya seperti sudah hampir gelap.
Leli pun mulai khawatir. Tempat tinggalnya cukup jauh dari tempat wisata ini. Takutnya dia akan pulang kemalaman. Arief, melepaskan jaketnya lalu menutupkannya ke kepala Hafiz.
“Kita ke mobil saja yuk. Segera pulang!” kata Arief, “Hafiz hati-hati ya nanti jalannya.”
Tangan Arief langsung menggandeng Leli dan tangan satunya memayungi Hafiz dengan jaketnya. Leli mau-mau saja tangan lelaki yang bukan mahramnya itu menggandenganya untuk menuju ke parkiran, menembus derasnya hujan, lalu masuk ke dalam mobil. Tentunya mereka basah kuyup, kecuali Hafiz. Arief dan Leli tertawa begitu mereka sampai di dalam mobil. Arief memperhatikan baju Leli yang basah, terlihat cetakan bra yang dikenakan Leli cukup jelas menonjol. Buah dada perempuan itu benar-benar ukuran ideal. Dada perempuan itu naik turun, matanya terpejam untuk mengatur napas. Arief, lalu melemparkan pandangannya ke arah lain, menghidupkan mesin dan bersiap untuk pulang.
Selama perjalanan tentu saja Leli menggigil, karena bajunya basah. Arief pun mematikan AC agar Leli tidak kedinginan. Karena kita berada di negara Indonesia, maka tidak ada pemanas di dalam mobil. Selama perjalanan ternyata hujan masih belum berhenti dan sialnya jalanan macet karena ada pohon tumbang dan jalanan longsor.
“Waduh, gimana dong?” tanya Leli dengan bibir menggigil.
“Kita cari penginapan?” tanya Arief.
“Ehm….gimana ya….,” Leli tampak kebingungan. Dia menoleh ke kursi belakang. Dia melihat anaknya sudah tertidur. Agak kasihan, mana dia tidak membawa baju ganti, basah-basahan pula karena hujan.
Pandangan Leli kembali mengarah ke Arief. Lucunya, ternyata Arief juga tadi menoleh ke Hafiz dan kini kedua wajah mereka saling berhadapan. Jarak keduanya cukup dekat. Dalam kondisi ini, sebenarnya Leli menginginkan sentuhan tangan Arief. Dia memang sudah dalam keadaan yang tidak bisa dihindari lagi. Hari ini batinnya terpuaskan dengan perhatian dari pria ini. Jiwanya dilengkapi dengan sosok pria yang sangat dia harapkan bisa menggantikan Thalib. Dia tak begitu mengenal Arief, tetapi dia sangat yakin Arief adalah pria yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Dan pria yang bertanggung jawab sudah cukup untuk hatinya luluh.
Tak terasa tangan Arief sudah sampai di pipinya lagi. Kedua mata Leli terpejam. Tangannya menggapai tangan Arief agar jangan sampai pergi dari tempat itu. Leli terkejut ketika Arief cukup berani menempelkan bibirnya. Kedua bibir bertemu dan mata Leli setengah terbuka. Arief mengecupnya. Satu kecupan. Dua kecupan. Tiga kecupan. Wajah pria itu miring, dan lidahnya mulai masuk ke dalam mulut istri ustadz tersebut. Keduanya pun saling memagut, melamut dan mengisap lidah satu sama lain. Napas Leli memburu, dia tahu ini salah, tapi dia sangat menginginkannya.
Sejurus kemudian Arief menghentikan ciuman itu. Menjauhkan wajahnya. Leli juga. Mereka kembali ke posisi masing-masing. Jantung mereka berdebar-debar. Yang dilakukan oleh Arief adalah segera memutar mobilnya mencari penginapan.
Tak susah mencari penginapan. Mereka langsung menemukannya dalam waktu sepuluh menit. Seolah-olah semesta waktu itu mendukung rencana mereka. Check-in juga sangat mudah dan kamar pun sudah didapatkan. Leli masih menggendong Hafiz yang tertidur. Mereka sengaja memilih kamar double bed. Sehingga bisa menidurkan Hafiz di ranjang satunya. Tidak banyak bicara antara keduanya. Kebisuan yang dibalut dengan bahasa tubuh.
Hafiz diletakkan di atas ranjang dan diberi selimut. Arief dan Leli memperhatikan anak itu sambil tersenyum, seolah-olah anak kecil itu adalah buah hati mereka. Tanpa bicara, Leli memperhatikan Arief, dan dia dulu yang memulai menciumi pria itu.
“Mbak yakin?” tanya Arief.
“Entahlah, tapi aku sangat ingin sekali sekarang ini,” jawab Leli.
“Aku sudah mencintai orang lain, mbak juga masih belum resmi bercerai. Kita sama saja dengan berzina,” kata Arief, “mbak kan seorang wanita yang ta’at agama.”
“Aku tak tahu kenapa aku selalu memikirkanmu, Mas. Aku tak bisa membohongi diri kalau aku sekarang ini sedang butuh, mas juga memancingku. Biarlah apa yang terjadi saat ini terjadilah. Kalau sudah ada yang mengisi hatimu, aku rela jadi yang kedua. Saat ini, aku hanya inginkan kamu, Mas.”
“Aku tidak akan mundur,” ucap Arief.
Kedua tangan Arief langsung beraksi. Tangan kiri menarik pantat Leli hingga kedua badan mereka menempel. Tangan kiri meremas buah dada Leli yang masih terbungkus pakaian. Dan bibir mereka kembali bersatu.
“Ahhhh….ehhmm…,” lenguh Leli keenakan saat buah dadanya diremas-remas. Mungkin karena suaminya sudah beberapa bulan ini tidak pernah menyentuhnya, sehingga sentuhan Arief terasa seperti nostalgia.
“Kau mau ngentot denganku?” bisik Arief di telinga Leli.
“Iya, Mas. Aku mau,” jawab Leli.
Tangan Arief mulai beraksi lagi, melepaskan satu persatu kancing baju perempuan itu, menanggalkan baju dan roknya. Sehingga kini hanya seorang perempuan memakai kerudung dengan BH dan celana dalam. Tubuh Leli sangat seksi, biarpun sudah memiliki anak. Ada memang lipatan lemak, tapi tidak menutupi kecantikannya. Leli juga membantu Arief melepaskan bajunya, hingga pria itu sekarang hanya memakai boxer dengan bagian selangkangan yang sudah mengeras.
Mata Arief sangat terpuaskan dengan tubuh Leli yang seksi dia pun mulai mengusap-usap punggung perempuan itu, menggiring Leli ambruk ke tempat tidur yang kosong. Tanpa dirasakan oleh Leli, Arief ternyata sudah melepaskan BH putihnya. Buah dada sempurna, pikir Arief.
Tangan kanan Arief bergerak nakal mengusap bagian bawah payudara Leli, lalu mempermainkannya dengan pijatan-pijatan lemput, setelah itu jempolnya mengusap pentil coklatnya. Perempuan itu memejamkan matanya, meresapi kegelian dan ransangan yang diberikan oleh lawan mainnya. Arief mulai memainkan lidahnya di pentil satunya. Jilatan-jilatan nakal, diiringi dengan sedotan-sedotan kuat, membuat Leli serasa melayang melayani bayi raksasa yang kini menyusu kepadanya.
Tiba-tiba aktivitas Arief berhenti. Leli membuka matanya. Dilihatnya ternyata Arief mulai meloloskan celana dalamnya. Boxer yang dipakai Arief juga dilepas. Mata Leli tak bisa berpindah dari daging keras panjang tersebut. Bulunya sedikit, sedangkan punya Leli gundul dan bersih. Memang beberapa hari yang lalu dia baru saja mencukurnya. Mata Arief langsung melihat belahan daging di selakangan ibu satu anak ini. Dia seperti melihat mangsa baru.
“Indah sekali,” puji Arief, “suamimu orang yang bodoh.”
Leli memejamkan matanya, seolah tahu apa yang akan dilakukan oleh Arief. Arief langsung mencaplok organ kewanitaannya, memainkan lidah dan bibirnya. Menyedoti cairan yang keluar akibat rangsangan-rangsangan Arief.
“Aahhhh….ehhmm…. Masss….adudududuh….aahhh….geliii,” lenguh Leli.
Tentu saja hal itu tak dipedulikan oleh Arief. Dia mendapatkan mainan baru. Lidahnya benar-benar menyusuri bibir memek perempuan berkerudung ini. Leli merasa kotor saat itu, sebab ada seorang yang bukan mahramnya menikmati kesucian yang harusnya dia jaga, tetapi dia juga menginginkannya. Kedua pahanya mulai menjepit kepala Arief dan kedua tangannya meremas kepala Arief. Badan Leli melengkung hingga pertahanannya pun jebol.
“Aahhh….. nyampeee….ahhh…massss!”
Arief menghentikan aktivitasnya, membiarkan Leli mengejat-ngejat menikmati orgasmenya. Perlahan-lahan Arief baranjak ke kepala Leli. Menyodorkan kontol kerasnya ke mulut Leli. Perempuan itu sudah tak perlu diajari lagi caranya untuk blowjob. Beberapa detik kemudian mulutnya sudah penuh dengan kontol perkasa itu. Lidah Leli kini gantian menggelitiki kepala kontol Arief, sedangkan jemari Arief meremas-remas buah dadanya.
“Ahh,… enak mbak. Mbak jago banget nyepong. Susu mbak juga sangat menggairahkan. Heran aku, kenapa suami mbak malah suka istri orang,” puji Arief.
Leli menatap mata Arief. Kedua mata mereka seperti memberikan isyarat kalau keduanya sama-sama menginginkan hal ini. Arief tak mau berlama-lama disepong. Dia segera turun ke bawah dan menindih perempuan ini.
“Sudah siap?” tanya Arief.
Leli mengangguk. Sorot matanya sudah berbeda. Sorot mata sange yang ingin dituntaskan birahinya. Arief menggesek-gesekkan kepala kontolnya di bibir memek Leli.
“Aku ingin keluar di dalam,” kata Arief, “tak apa-apa?”
Leli mengangguk. Dia sama sekali tak menolak semburan sperma Arief. Dia sangat menginginkannya, walaupun risikonya adalah hamil. Dia lebih ingin hamil dari lelaki ini daripada hamil dari suaminya.
“Aku ingin punya anak darimu,” kata Leli.
“Kenapa?” tanya Arief.
“Aku cinta kamu, Mas,” jawab Leli dengan hati yang jujur.
“Bagaimana kalau aku tidak mencintaimu dan ini hanya hubungan one night stand?”
“Tak apa. Aku akan menerimanya.”
Perlahan-lahan kontol Arief mulai menerobos masuk. Licin sekali, tetapi berasa. Keduanya melenguh, “Aahhhhh!”
Memek Leli meremas-remas batang kontol Arief. Hal yang tidak pernah dia sangka bisa dia lakukan. Arief merem melek menerima remasan-remasan itu, dia pun mulai menggerakkan pinggulnya. Dia ingin saat itu menjadi saat yang paling berharga bagi Leli. Leli sudah kepincut dengannya dan mau tak mau dia harus membuat saat ini menjadi saat-saat yang spesial. Setiap kali sodokan membuat payudara Leli memantul-mantul, Arief semakin bergairah. Dia menciumi bibir Leli, membiarkan kerudungnya tetap menempel di kepala Leli, sungguh pemandangan yang erotis. Kedua kaki Leli pun kini telah mengunci pinggang Arief. Kontol Arief benar-benar dibenamkan sampai penuh, hingga kedua telurnya menyentuh pantat perempuan ini.
“Ahh…. Dalem banget, Mas.”
“Nikmat?”
“Iya… aku ingin begini terus.”
“Nanti Hafiz bangun gimana?”
Leli menoleh ke arah Hafiz. “Hafiz, maafin umimu ya nak. Umi nggak tahan, umi sedang berzina..ahhh…uuhh…. mass… dalem banget.”
“Memekmu enak, meremas-remas kontolku.”
“Mas suka?”
“Iya.”
“Aku ingin jadi istri mas.”
“Aku ingin kau mengandung anakku.”
“Aku terima.”
Akhirnya Arief memacu agak cepat. Tubuh mereka benar-benar melekat, keringat pun sudah mencampur menjadi satu. AC di kamar itu tak akan mampu lagi mengalahkan bagaimana perpaduan panas kedua tubuh itu. Arief pun berganti gaya. Dia mencabut perlahan kontolnya, memutar tubuh Leli hingga menungging, lalu menyodoknya dari belakang.
Tidak tanggung-tanggung memang Arief mengentot seorang wanita muslimah ini. Dia hentakkan dengan kuat dan mantab pinggulnya, sehingga bunyi-bunyi erotis terdengar di kamar. Leli ingin menjerit, tetapi dia bungkam mulutnya agar anaknya tidak terbangung. Buah dadanya bergoyang-goyang, Arief pun menangkapnya dan meremasnya. Pantat beradu perut, kecipak suara cairan yang terus keluar dari memek Leli membuat semangat Arief untuk memompa perempuan ini.
Karena yang diinginkan Arief adalah menggarap Leli dengan berbagai gaya, maka dia kembali memutar tubuh Leli untuk miring. Setelah itu Arief tekuk kaki Leli menyamping, kemudian dia duduk, menempatkan kontolnya di memek Leli lalu bergoyang lagi. Perempuan itu pasrah dengan gaya apapun yang diinginkan oleh lelaki pujaannya ini. Dia sendiri heran, sirep apa yang digunakan oleh Arief sampai dia takluk, bahkan sudah cukup lama Arief mengocok memeknya dengan kontol perkasanya, beberapa kali juga Leli harus orgasme.
Kini Arief menindih Leli. Tentu saja ini saat penghabisan. Leli sudah lemas, bahkan ia pasrah saja, melebarkan pahanya agar Arief mudah menggarapnya. Tangannya hanya merangkul leher Arief dengan lemas, bibirnya dicium oleh Arief dan dadanya dimain-mainkan. Arief mulai menuju garis finish, goyangannya makin cepat dan makin membuat Leli menuju klimaks.
Tubuh Leli melengkung saat Arief mengejang, penisnya berkedut-kedut memancarkan air mani, kental, hangat dan banyak. Mata Leli memutih. Ini orgasme terhebat yang belum pernah dia rasakan. Bahkan suaminya tak pernah memberikan orgasme sehebat ini. Dia mendekap Arief erat-erat, Arief pun begitu. Dia habiskan spermanya di rahim Leli hingga keduanya lemas dan ambruk.
Arief mengatur napas. Kontolnya baru loyo separuh. Dia hendak mencabutnya, tetapi Leli mencegahnya dengan menekan pinggang Arief dengan kedua tangannya.
“Jangan dulu!” pinta Leli.
Akhirnya, Arief membiarkan kontolnya tetap menancap hingga mengecil, keluar sendiri dari liang surgawi tersebut. Arief kemudiang berguling ke samping. Terlentang menatap langit-langit kamar, sambil tangannya menggenggam tangan Leli.
“Makasih,” ucap Leli.
“Tidak. Aku yang makasih,” kata Arief.
“Mas tahu kan apa yang kita lakukan ini?”
“Iya, kita berzina.”
“Iya. Mas menyesal?”
“Tidak.”
“Aku juga tidak.”
Mereka sudah dewasa. Mereka tahu risiko yang akan mereka hadapi. Dan mereka juga tahu, kalau mereka tidak akan pernah bisa lolos yang namanya seks. Setelah istirahat beberapa menit, mereka pun mengulanginya lagi. Rasanya tak pernah puas Arief menggenjot tubuh Leli, Leli juga tak pernah puas ingin dientot oleh Arief. Kali ini Leli melepaskan kerudung saat melakukanya. Persetubuhan itu baru berhenti saat Hafiz mulai bangun. Itu pun Arief sudah muncrat tiga kali ke rahim Leli, bahkan saat Leli berdiri lendirnya pun menetes ke paha perempuan itu.
* * *
Jam tiga pagi Arief terbangun karena ingin kencing. Dia mendapati Leli duduk di ranjang sambil mengusap-usap kepala anaknya. Dia masih belum memakai baju. Arief melihat baju-baju mereka sudah dijemur di hanger. Sepertinya Leli tadi yang mengurus saat dia tidur.
Setelah kencingnya tuntas, Arief berbalik ke tempat tidur. Kini dia mendapati Leli sudah berada di ranjangnya. Arief lalu masuk ke dalam selimut masih dalam keadaan telanjang. Mereka berciuman sejenak lalu saling berpelukan. Leli menempelkan kepalanya di dada Arief. Buah dadanya ditekan ke tubuh Arief. Sengaja hal itu dilakukan karena nyaman menurutnya.
“Kok nggak tidur? Apa nggak bisa tidur?” tanya Arief.
“Kepikiran ini,” jawab Leli sambil menggenggam kontol Arief yang masih loyo.
“Kenapa emangnya? Mau lagi?” tanya Arief.
“Ih, maunya.”
“Kalau mau ayo aja,” kata Arief. Bersamaan dengan itu kontolnya mulai sedikit demi sedikit bangun.
Leli tertawa. “Ganas banget sih. Kata mas tubuhku seksi ya?”
“Iya, seksi kok. Bahkan aku bisa nambah kan tadi?”
Leli mendongak untuk mencium Arief. Setelah mengecup bibir lelaki itu, Leli kembali ke posisi semula. Perlahan-lahan dia kocok batang kontol Arief.
“Memangnya, Mas suka ama seseorang?” tanya Leli.
“Iya,” jawab Arief.
“Siapa namanya?”
“Lista Herliana.”
“Cantik?”
“Iya.”
“Masih gadis?”
“Iya.”
Leli mendesah. “Ah, pantas. Aku sudah turun mesin.”
“Tapi kamu masih menarik, kok,” puji Arief.
“Iya, tapi aku tidak bisa menggantikan dia di hati Mas.”
“Cinta tak bisa dipaksakan, Mbak.”
“Iya, aku tahu. Tapi aku ingin Mas. Ayah dan ibuku sudah tiada. Walaupun sekarang aku tinggal dengan orang tua angkatku, tetapi tetap saja aku sebatang kara sekarang ini. Ditambah suamiku berkhianat. Kemana lagi aku harus pergi?” kata Leli. Dia pun terisak. Kocokan pada batang kontol Arief berhenti.
“Tak apa-apa kalau Mbak ikut aku. Tapi aku minta maaf tidak bisa membagi cintaku kepada orang lain,” kata Arief.
“Aku benci pada perempuan itu,” kata Leli.
“Jangan begitu dong. Kalau Mbak benci dia, mbak juga sama seperti membenciku.”
Leli membenamkan wajahnya ke dada Arief. “Please, biarkan aku dalam pelukan mas. Meskipun Mas punya tambatan hati. Izinkan aku juga dalam pelukan mas.”
“Aku takutnya ini hanya akan jadi nafsu belaka.”
“Tak apa. Mas boleh pakai tubuhku kapanpun, asal jangan pergi. Aku tahu Mas Arief orang baik. Mas sayang ama keluarga. Aku juga. Aku tak mau hidup bersama pengkhianat seperti suamiku. Aku maunya Mas,” kata Leli sambil menangis.
“Kau tahu aku tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin aku bisa ngentot wanita lain di depan orang yang aku cintai?”
“Tak apa-apa. Aku akan bilang padanya nanti. Aku akan membujuknya nanti,” kata Leli.
“Iya kalau dia mau. Kalau tidak?”
Leli terdiam.
“Hidup ini relatistis. Aku tahu perasaan Mbak sekarang sedang kalut, bingung dan bimbang. Mbak melakukan ini karena butuh, karena mbak jarang dibelai,” kata Arief mencoba menghiburnya. “Kalau mbak ingin ngentot ama aku, aku bisa dan siap kalau sedang mampu, tapi aku tidak mau memberikan cinta kepada mbak.”
Leli mendesah. Tangisnya masih terdengar. “Aku bodoh ya…hiks… mengharapkan sesuatu dari hal yang tidak mungkin aku gapai.”
“Aku tak bisa, Mbak. Cintaku hanya untuk satu orang,” kata Arief.
Tangan Leli kembali mengocok batang Arief. Batang itu pun bangun. Sebagai lelaki normal hal itu wajar. Terlebih lagi di atas tubuh Arief ada seorang perempuan seksi yang akan memberikan tubuhnya begitu saja kalau dia mau. Perempuan itu menghentikan kocokannya, kemudian dia bangun. Menempatkan selakangannya bertemu dengan selakangan Arief.
“Kalau begitu, aku akan bercinta terus denganmu sampai mas luluh,” kata Leli.
Tangan Leli menggapai batang kontol Arief, lalu menempatkannya di liang surgawi miliknya. Setelah itu ditekannya batang itu hingga masuk semua. Sejurus kemudian pinggulnya sudah meliuk-liuk di atas selakangan Arief.
“Ahhh….!” Lenguh keduanya.
“Enak kan?” tanya Leli, “aku bisa bikin mas keenakan lagi. Aku bisa bikin kantong mas kering.”
Arief menikmati goyangan Leli. Badan Leli yang masih bagus itu benar-benar bikin ngaceng. Arief pun mulai meremasi buah dada perempuan itu dan memilin-milin pentilnya. Tak lupa pinggulnya dia hentakkan ke atas beberapa kali, sehingga membuat Leli tersentak.
“Ahh….kok aku yang keenakan?” gumam Leli, “Mass… aduh… jangan dihentak gitu… aahhh….duuhh…dududuh… enaaak…..eehmm… ahhh…..!”
Leli pun tak kuasa, hingga dia ambruk, sementara itu pinggulnya terus bergerak naik turun. Batang kontol Arief yang sudah becek terkena lendir dari Leli makin mengeras. Arief mengalihkan tangannya untuk meremas-remas pantat Leli yang bahenol. Dia tekan kuat-kuat pantat itu bersamaan dengan orgasme yang datang kepada Leli.
“Ampppuuunn….. nikmat sekali…. Ah,… kenapa baru kali ini aku bercinta seperti ini. Kenapa suamiku tak bisa melakukannya?” tanya Leli.
Perempuan itu kelelahan. Dia berusaha mengatur napasnya, sampai Arief kembali bergoyang. Dia menggerakkan pinggulnya dengan cepat. Leli sudah lemas. Dia membiarkan perbuatan Arief itu, hingga Arief mengerang menyemprotkan lagi benih-benihnya ke rahim Leli.
“Aku cinta ama Mas,” kata Leli sambil menciumi Arief.
Arief tak menjawab. Keduanya lelah, lalu tertidur hingga sinar matahari membangunkan mereka.
* * *
======== tubi konticrot ==========
NB: Ki Dalang bertapa lagi...... Update index menyusul. Koneksi sedang tidak bagus Ki Sanak.