Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Realm of Chaos

izy

Semprot Baru
Daftar
27 Nov 2014
Post
26
Like diterima
23
Bimabet
Marching March
Realm of Chaos
- izy -



Why do birds suddenly appear
Every time you are near?
Just like me, they long to be
Close to you


Alunan lembut vokal Olivia Ong perlahan membelai telinganya. Dia masih asik berjalan menyusuri koridor lantai dasar sambil mengamati sekitar, memilih apa-apa saja yang akan dipakai untuk seharian ini. Senyumnya merekah, sesekali dia mengingat hari-hari menyedihkan yang dialaminya sebelum 13 hari lalu. Saat itu dia masih selalu mengeluh atas apa yang Tuhan berikan padanya. Takdir sederhana yang memaksanya terkungkung dalam sangkar raksasa berlabel, Status Sosial.
Kini semuanya berubah. Dia berjalan memasuki sebuah outlet pakaian paling mahal disana. Mengambil sebuah kaos merah menyala dari manekin yang berdiri pada urutan terdepan, serta celana jeans hitam yang terlipat rapi diatas meja kayu berdesain classy disampingnya. Satu set kaos dan jeans berharga ratusan ribu yang tak mungkin dibelinya dalam kondisi normal.

Why do stars fall down from the sky
Every time you walk by?
Just like me, they long to be
Close to you

Pet!

Suara renyah Olivia Ong mendadak lenyap bersamaan dengan padamnya seluruh cahaya lampu yang sejak tadi mengiringi tiap langkah kakinya. Hanya senyap dan pekat yang tersisa. Seluruh gerak tubuhnya terhenti, detak jantungnya terpacu kencang. Dia langsung mengambil ponsel berlayar lebar dari dalam saku, menyalakan lampu flash kamera yang diharapkannya mampu memberi penerangan darurat.

Baru saja lampu flash ponselnya menyala, suara Olivia Ong kembali terdengar, meski temponya tak lagi sama seperti tadi. Kali ini lebih melambat, jauh lebih lambat, dan hanya mengulang-ulang bagian yang sama.

That is why all the girls in town
(Girls in town)
Follow you
(Follow you)
That is why all the girls in town
(Girls in town)
Follow you
(Follow you)
That is why all the girls in town
(Girls in town)
Follow you
(Follow you)




~ o0o ~




"FireBall!"

Sebuah bola api meluncur ke arahku dengan cepat ke arahku. Aku hanya bisa terdiam. Terkejut. Sesaat terbayang bahwa ini saatnya aku mati dan meninggalkan dunia fana.

"Shields Up!"

Sebuah perisai besi tiba-tiba muncul dari udara kosong di hadapanku, melindungiku dari bola api yang sangat panas. Aku bisa merasakan panasnya dari balik perisai tersebut.

Aku memandang sekitarku toko pakaian yang aku masuki sudah hancur lebur. Beberapa bagian bahkan terbakar. Suara teriakan terdengar dari segala arah. Bukan, bukan suara penuh ketakutan, tapi suara para manusia yang tampak sedang berperang. Aku mengerjapkan mataku. Entah apa yang terjadi, masih tengiang jelas di telingaku lagu Close to You yang diputar di pusat perbelanjaan.

"Irene! Cepat ke sini! Apa yang kau lakukan? Bisa-bisanya kau bermimpi di tengah perang! Hampir saja spell dari goblin shaman brengsek itu membunuhmu," aku mendengar seseorang berteriak kepadaku.

Perang? Spell? Goblin shaman?
Apa yang sebenarnya terjadi?

"Irene! Awas!"

Aku tersadar dari lamunanku dan mendapati seekor monster buruk lupa berlari ke arahku sambil menebaskan pedangnya ke segala arah. Kepanikan dengan segera menguasai diriku. Aku pun mengangkat kedua tanganku untuk melindungi diri sambil berteriak.

"Tidaaaaaaak!"



~o0o~



"Hei, dia sudah sadar," aku mendengar sayup-sayup suara seorang lelaki. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, nampaknya aku pingsan. Ini pasti karena tekanan darahku rendah lagi.

"Bagaimana keadaanmu, Irene?"

"A-aku baik-baik saja, cuma sedikit pusing," aku menjawab pertanyaan lelaki tersebut. Aku pun mencoba untuk duduk dengan susah payah karena kepalaku masih sangat pusing. Entah berapa lama aku pingsan. Tampaknya cukup lama karena aku sempat bermimpi. Bola api, monster jelek, entah mengapa mimpiku tersebut terasa sangat nyata. Aku kembali mengerjapkan mata dan mencoba memandang sekelilingku.

"Oh, tampaknya aku masih bermimpi," gumamku pelan saat melihat apa yang ada di depanku.

Aku melihat seorang pemuda dengan baju besi serta pedang besar menggantung di pinggangnya. Di sebelahnya tampak lelaki lain dengan baju berwarna merah dan topi layaknya seorang penyihir.

"Kau harus bisa mengontrol kekuatanmu, Irene. Tidak baik menggunakan Holy Nova seperti itu," pemuda berbaju besi itu menatapku tajam.

Entah apa yang dibicarakannya. Aku memegang kepalaku yang masih terasa pusing. Mataku menatap ke bawah. Perlu waktu beberapa detik sebelum menyadari bahwa aku mengenakan baju yang sangat tidak pantas.

"Kyaaaaaaa!" aku berteriak sekuat tenaga sambil menyilangkan kedua tanganku di dadaku.

"Silencia," pemuda bertopi aneh bergumam pelan. Aku tidak bisa mendengar suaraku sama sekali. Aku berteriak sekuat tenaga. Ini terlalu nyata untuk sebuah mimpi. Semua usahaku tampak sia-sia. Tak peduli berapa kencang aku mencoba untuk berteriak, tak ada suara sama sekali yang keluar dari mulutku.

"Irene! Tenangkan dirimu! Ini kami! Andri dan Dimas!" ucap lelaki berbaju besi dengan galak, "kita sedang dikejar oleh goblin sialan itu. Jangan berisik atau kita akan mati."

Air mata perlahan mengalir dari kedua mataku. Entah apa yang terjadi denganku. Aku memandang sekeliling dan mendapati gedung-gedung besar porak poranda seakan sehabis perang. Dan sekarang aku berada bersama 2 orang lelaki aneh dengan pakaian sangat minim. Aku kembali menatap bajuku dan tangisku makin deras.

Aku hanya mengenakan sebuah baju yang menyerupai sports bra berwarna putih yang menutupi payudaraku saja, membuat bagian atas payudara dan perutku terekspos bebas. Sementara di bagian bawah, aku mengenakan rok putih panjang yang berbelahan tinggi sampai ke pinggang di kedua sisinya, membuat celana dalamku yang berwarna merah menyala akan terlihat bila aku berjalan.

Kedua lelaki yang bernama Andri dan Dimas memandang heran ke arahku yang sedang menangis hebat. Mereka pun saling berpandangan, tampak menimbang sesuatu sebelum mengangguk bersamaan.

"Aku akan membiarkanmu berbicara, tapi berjanjilah jangan berisik. Nyawa kita taruhannya, kau mengerti?" tanya lelaki dengan topi aneh.

Aku menatapnya sejenak sebelum mengangguk singkat. Entah apa yang sedang terjadi, tampaknya aku bisa mempercayai mereka. Bagaimana pun mereka sudah menyelamatkanku dari monster jelek tadi.

"Cleanse," ucap lelaki itu pelan. Aku menarik napas panjang, berharap semoga suaraku dapat kembali lagi.

"Siapa kalian?" tanyaku sambil tetap mendekap erap kedua tangan di dada. Tampaknya lelaki bertopi ini mempunyai kekuatan sihir. Mereka kembali berpandangan heran, seakan tidak percaya dengan ucapanku.

"Aku tidak menyangka Holy Nova mempunyai efek separah ini. Aku Andri dan dia Dimas. Kau Irene. Saat ini kita sedang menjalankan misi menyelamatkan putri Nia dari para goblin," lelaki berbaju besi yang ternyata bernama Andri itu menjelaskan panjang lebar kepadaku.

Aku kembali memegang kepalaku. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Semua ini tampak tak masuk akal. Aku tidak mengerti sedikit pun hal yang di bicarakan pemuda ini.

"Maaf, tapi apa yang sebenarnya terjadi? Aku tidak mengenal kalian. Apakah kalian alien yang menculikku? Kalau iya tolong pulangkan aku ke bumi," aku berkata dengan raut memelas.

"Jangan bercanda, Irene. Ini bumi. Kau teman kami. Kau rekan kami semenjak 2 tahun yang lalu," Andri menatapku tajam. Tampak jelas raut khawatir tercetak di mukanya.

"Aku tidak bercanda," balasku, "aku sedang berada di sebuah toko untuk membeli pakaian. Tiba-tiba lampu mati, dan...dan...," aku terdiam. Apakah lampu mati tadi penyebabnya? Aku pernah membaca kisah manusia yang tiba-tiba hilang di telan waktu dan tidak pernah ditemukan. Apakah aku mengalami hal yang sama?

"Ketika 2 bulan bersatu, dua buah cahaya akan bertukar tempat. Dua cahaya itu akan semakin terang di tempat barunya, namun tiga mentari akan berlalu sebelum semuanya terlambat," Dimas bergumam pelan, membuatku dan Andri menoleh ke arahnya.

"Ramalan kuno," Dimas menjelaskan setelah melihat kami berdua menatapnya kebingungan, "aku tidak mengerti apa maksudnya, tapi sepertinya Irene kita bertukar tempat dengan Irene dari dunia lain ini."

Mereka berdua menatapku. Seakan tampak kecewa bahwa aku bukanlah Irene yang mereka harapkan. Namun aku lebih kecewa lagi. Dunia yang aku masuki sekarang tampaknya jelas bukan dunia yang aman untuk gadis sepertiku.

"Apa yang harus kita lakukan?" Andri sang baju besi bertanya kepada temannya.

"Kita tetap menjalankan misi kita. Aku rasa kita mampu menyelesaikan misi dan melindungi gadis ini sekaligus," jawab Dimas si topi aneh. Andri tampak berpikir sejenak sebelum menyetujui usul Dimas. Ia kemudian menatapku tajam.

"Kami memutuskan untuk tetap melanjutkan misi kami dan membawamu serta. Keputusanmu untuk ikut bersama kami atau tidak," akhirnya Andri berkata dengan nada datar kepadaku. Aku berpikir sejenak. Mencoba mencari pilihan yang tersedia untukku, namun pilihan lain bila tidak ikut dengan mereka adalah mati oleh monster jelek itu.

"Tampaknya aku tidak punya pilihan lain, aku ikut dengan kalian," aku memberikan jawabanku.

Akhirnya kami pun meninggalkan tempat itu dan mulai berjalan. Aku masih tidak percaya apa yang menimpaku. Semua bangunan dan tempat sama persis dengan yang ku kenal, yang membedakan hanya kerusakan yang terjadi sekarang. Aku tidak percaya bagaimana mall Taman Anggrek tempatku biasa menghabiskan waktu luangku menjadi hancur berantakan. Entah berapa lama kami berjalan, yang jelas hari mulai menjadi gelap. Kami memutuskan untuk beristirahat di sebuah reruntuhan, tempat yang dulunya adalah Rumah Sakit Tarakan di bumiku.


~o0o~


"Maaf bila aku sedikit ketus tadi," kata Andri saat kami duduk mengelilingi api unggun yang diciptakan Dimas.

"Tidak apa-apa," aku tersenyum ke arahnya, mencoba mencairkan suasana, "jadi kalian bisa sihir?"

"Dia yang bisa, aku tidak," Andri menjawab sambil mengedikan kepala ke arah Dimas yang sedang melihat keadaan di luar.

"Aku seorang wizard. Aku mempunyai kemampuan untuk mengendalikan elemen dan beberapa hal lainnya. Andri seorang Knight, ia bertugas melindungiku dan Irene saat sedang bertarung. Dan Irene, dia seorang cleric. Tugasnya menyembuhkan luka kami," Dimas menjelaskan kepadaku.

Aku terpaku. Ini tampak seperti sebuah game saja.

"Lalu, monster jelek tadi?" aku kembali bertanya.

"Goblin," desis Andri, "mereka datang bersama para Orc! Kematian Tho-ruq, sang pemimpin Orc, membuat mereka menjadi liar. Selama ini Tho-ruq lah yang membuat para Orc menjaga perjanjian damai dengan manusia. Namun kini, pemimpin baru mereka, Ba-rohk, memutuskan bahwa bangsa Orc harus memerintah di bumi."

"Dan parahnya, kami para manusia, sudah terlalu asik hidup dalam damai, sehingga tidak mempersiapkan diri menerima serangan dari Orc yang bekerja sama dengan Goblin dan Undead," Dimas menyambung penjelasan Andri.

Aku termenung mendengar mereka. Tak bisa aku bayangkan bila dunia yang aku tinggali mengalami perang seperti ini. Semua yang aku miliki lenyap tak tersisa. Dalam hati aku bersyukur duniaku masih bisa dibilang damai. Sekalipun banyak sekali kejahatan yang merajalela.

Suasana kembali hening.

Kami bertiga tampak tenggelam dalam pikiran masing-masing. Entah apa aku masih bisa kembali ke duniaku. Terbayang bagaimana Irene sang cleric begitu bingung saat ia berada dia Jakarta yang masih berdiri kokoh tanpa monster jelek yang berusaha menguasai dunia.

Braaaaak!

Kami bertiga memandang ke arah suara keras tersebut dan mendapati sesosok monster dengan palu besar berdiri di depan pintu.

"Orc!" Andri berteriak kesal.

Aku langsung berdiri dan bersembunyi di belakang punggung Andri. Dari sudut mataku, tampak Dimas sedang menggumamkan sesuatu yang membuat tongkatnya bercahaya.

"Mih dnouf i! Ereh era yeht!" Orc tersebut berteriak dengan bahasa yang tidak aku mengerti.

"Glacial Spike!" Dimas berseru sambil mengacungkan tongkatnya.

Sebuah tombak berbentuk es meluncur deras dari ujung tongkat ke arah Orc tersebut dan menghantamnya telak di dada. Pecahan es jatuh berserakan, sementara Orc tersebut masih berdiri kokoh.

"Taht htiw em truh t'now ouy!" Orc tersebut kembali berteriak dan tertawa lepas.

"Apa yang ia katakan?" aku bertanya dengan panik melihat serangan Dimas tak menimbulkan luka sedikitpun di dada monster tersebut.

"Entahlah, itu bahasa Orcish. Dimas, bawa Irene pergi dari sini. Aku bisa menahan yang satu ini. Kita bertemu di Fire Monument," Andri meminta Dimas untuk pergi dan meninggalkannya.

"Kau yakin? Orc ini tampak cukup kuat," Dimas bertanya sambil memegang pundak Andri. Andri hanya memberikan anggukan sebagai balasan atas pertanyaan Dimas.

Boooom!

Orc tersebut memukulkan palunya ke atas lantai dan berteriak, "Raor Egavas!" Tubuhnya yang berwana hijau tampak berubah menjadi merah menyala. Ia pun kemudian berlari ke arah kami dengan cepat sambil mengangkat palunya. Hanya dalam sekejap, ia telah berada di depan kami. Ia pun mengangkat palunya ke belakang kepala dan mengayunkannya dengan cepat ke arah Andri.

Aku menutup mataku. Takut.

"Shield Up!" teriak Andri.

Praaaaaang!

Aku pun membuka mata. Sebuah perisai yang sama melindungi Andri dari hantaman palu milik Orc tersebut. Ternyata waktu itu, Andri lah yang menyelamatkanku.

"Cepat pergi, Dimas! Aku tidak bisa bertarung dan melindungi kalian sekaligus di ruangan sempit seperti ini," Andri kembali meminta kami untuk pergi. Dimaz mengangguk singkat dan memegang tanganku.

"Teleportation!" serunya. Ruangan tersebut tiba-tiba berputar, namun aku sempat melihat 2 ekor monster lain memasuki pintu ruangan sebelum pemandanganku berganti dengan sebuah halaman kosong.

"Kenapa kau tidak mengajak serta Andri? Ada moster lain yang datang! Aku melihatnya!" aku membentak Dimas. Kalau ia bisa pindah tempat seperti ini, harusnya ia mengajak serta Andri.

"Ayo lari, kita belum aman!" ia mengacuhkanku dan mulai berlari. Aku pun terpaksa mengikutinya dengan kesal. Entah berapa jauh kami berlari, tapi aku sudah mulai kehabisan napas. Aku pun berhenti dan bersandar di sebuah dinding yang sudah hancur.

Dimas pun berhenti dan menghampiriku. Ia melihat keadaan sekitar dengan penuh kepanikan.

"Sepertinya kita aman untuk saat ini."

"Mengapa kau meninggalkan Andri?" aku kembali bertanya, menuntut jawaban dari dirinya. Aku tidak mengerti mengapa ia meninggalkan temannya.

"Aku hanya bisa membawa 1 orang untuk teleportasi bersamaku. Andri kuat. Ia tidak akan mati," jelasnya. Aku bisa merasakan raut tidak yakin saat ia mengatakan itu.

"Kalian berperang dengan monster mengerikan itu? Kalian gila!" aku menggeleng tidak percaya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasakan ketakutan seperti ini.

"Biasanya ada Irene yang akan menyembuhkan kami bila terluka, jadi itu bukan masalah besar," jelas Dimas kepadaku. Perkataannya berhasil membuatku terdiam. Entah mengapa, aku merasa bersalah karena telah bertukar tempat dengan Irene mereka.

"Maafkan aku," ucapku lirih.

"Eh," Dimas tampak terkejut, "maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu. Lagipula, bukan salahmu kalian jadi bertukar tempat. Tenang saja, kita akan menemukan cara untuk memulangkanmu."

Aku tersenyum kepadanya. "Jadi, di mana Fire Monument itu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Di sana," Dimas menunjuk ke suatu arah. Mataku mengikuti arah yang dimaksud dan tersenyum.

Monas!



~o0o~



Kami melanjutkan perjalanan kami menuju monas atau Fire Monument. Aku tersenyum mengingat nama baru untuk monas. Memang tidak salah, karena emas yang berada di atas sana sekarang digantikan oleh nyala api yang menyambar-nyambar.

"Berhenti!" tiba-tiba Dimas menahan tanganku. Aku menatapnya heran.

Namun rasa heranku langsung terjawab. Aku merasakan bulu kudukku berdiri. Kabut pun perlahan muncul dan mengurangi jarak pandang kami. Suhu udara tampak turun karena aku mulai merasakan dingin yang menusuk kulit.

"Lich," Dimas berbisik pelan.

Aku meneguk ludah saat sesosok makhluk keluar dari balik gelap malam. Entah bagaimana aku mendeskripsikan makhluk ini. Aku tidak bisa mendapatkan kata yang tepat untuk menggambarkannya.

"Irene," Dimas berkata pelan, "pakai cincin ini," ia memberikan sebuah cincin kepadaku.

Aku menerimanya dan memakainya di jemariku tanpa banyak bertanya.

"Cincin itu akan mengirimkan sinyal ke markas besar kami bila kau berada dalam situasi hidup atau mati. Sekarang dengarkan aku baik-baik."

Aku mengangguk singkat. Entah kenapa, sikap Dimas membuatku semakin takut.

"Dalam hitungan kelima, aku minta kau lari. Cari jalanmu sendiri ke Fire Monument," ia menjelaskan sambil mengangkat tongkatnya dan mengambil posisi siaga.

"Satu."

"Bagaimana denganmu?" aku bertanya dengan panik kepadanya.

"Dua. Katakan pada Andri aku bertemu dengan Lich."

"Apa maksudmu?" aku semakin panik melihatnya begitu ketakutan.

"Aku akan menahannya selama yang aku bisa. Tiga!"

Tanpa pikir panjang, aku berlari sekuat tenaga meninggalkan Dimas dengan makhluk mengerikan itu sendiri.

"Chain Lightning!"

Aku mendengar suara Dimas berseru dan petir tiba-tiba menyambar dari langit. Tanpa menoleh, aku terus berlari sekuat tenaga mengikuti perintah Dimas.

"Aaaarrrrgggghhhh!"

Terdengar suara kesakitan Dimas dari kejauhan. Air mata perlahan mulai membasahi pipiku dan mengalir dengan derasnya. Pikiran terburuk segera hinggap di kepalaku.

Jleb!

"Aagh," aku mengerang kesakitan karena terjatuh. Pandanganku mulai kabur. Aku menoleh ke arah kakiku dan mendapati sebuah anak panah tertancap di sana.

"Hahaha, reh tih i! Hahahaha," seekor Orc mendatangiku dengan busur di tangannya dengan tawa penuh kemenangan. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku. Aku bisa mencium bau napasnya dan melihat jelas gigi runcingnya yang berwarna kuning.

"Ydal lufituaeb, evals ruo omeceb lliw ouy," ia berkata sambil terkekeh sebelum memukulku.



~o0o~



Byuur!

"Hctib, gnihteaerb!"

Aku merasakan siraman air membangunkanku dari pingsanku. Aku melihat para Orc berada di sekitarku. Tampaknya aku tertangkap dan berada di markas mereka.

"Lepaskan aku!" aku meronta. Aku terikat dengan kedua tangan di rantai di atas kepalaku.

"Ytterp os era ouy! Erusealp laer a ouy evig lliw ew, thginot! Hahahahaha!" seekor Orc yang sepertinya pimpinan mereka berkata kepadaku diikuti tawa para Orc lainnya.

"Reh epar!" ia kembali berseru disambut sorakan pengikutnya. Entah apa yang ia katakan, tapi tampaknya bukan sesuatu yang baik. Seekor Orc mendekatiku dengan tatapan buas.

"Jangaaaan!" aku berseru saat ia menarik kasar pakaianku, membuat payudaraku menggantung bebas di hadapan mereka.

Slluuuurrrp!

Lidah Orc tersebut menjilati seluruh permukaan payudara sebelah kananku, sementara tangannya meremas kasar payudara kiriku.

"Lepaskaaaan! Brengseeeek!" aku memaki sambil menendang dengan kakiku yang bebas, tapi tampaknya usahaku sia-sia.

Orc tersebut kemudian melumat bibirku. Ingin muntah rasanya mencium bau busuk yang keluar dari mulutnya. Lidahnya yang besar dan panjang masuk sampai ke dalam kerongkonganku.

Breeet!

Aku merasakan rok dan celana dalamku disobek lepas. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi karena Orc sialan ini masih menciumi bibirku dengan ganasnya.

"Hhmmmmpphhh!" aku menjerit tertahan.

Di bawah sana aku merasakan vaginaku di masuki oleh sebuah lidah berlendir. Lidah tersebut masuk cukup dalam dan menyentuh klitorisku serta memainkannya, membuat libidoku perlahan naik.

"Tidaaak!" aku berseru begitu mulutku terlepas dari kuluman menjijikan itu.

Badanku mulai bergerak gelisah. Aku melihat Orc berwajah mirip kadal sedang memasukan lidah panjangnya dalam vaginaku. Aku memejamkan mata dan menggigit bibirku. Aku tidak ingin mendapatkan orgasme oleh monter jelek ini.

"Aaaaggggghhhhhh!" aku berteriak lepas. Aku tidak kuat menahan permainan lidah panjangnya di bawah sana.

"Hahaha! Hctib a hcus era ouy! Ereh reh gnirb dna Eit reh tuc!" pemimpin Orc itu bersorak ke arahku. Orc berwajah kadal tersebut memotong taliku dengan kukunya dan menyeretku ke arah pimpinan mereka.

Sang pemimpin tersebut membuka celananya dan menunjukkan penisnya yang berukuran monster sambil tertawa puas. Aku meneguk ludah. Tak mampu aku membayangkan vaginaku dimasuki penis berukuran monster seperti ini.

Pemimpin Orc tersebut berjalan mendekatiku. Aku hanya terdiam lemas. Pasrah. Entah apa yang akan terjadi padaku. Ia membalikan badanku, membuatku menghadapkan pantatku ke arahnya. Sambil tertawa lepas, ia mengarahkan penisnya ke vaginaku. Aku memejamkan mataku. Sebuah lagu mengalun begitu saja di dalam pikiranku. Sebuah lagu terkahir yang ku dengar di bumi-ku.

Why do birds suddenly appear
Every time you are near?
Just like me, they long to be
Close to you

"Aaaarrrrgggghhh!" aku menjerit keras saat penis itu membelah vaginaku dan kesadaranku pun hilang.


~The End~​
 
Terakhir diubah:
Pasti agan yg atas ane dapet banget ya fantasynya :peace:
Tapi boleh tuh dibikin sequelnya gan ane seru bacanya :adek:
 
Bimabet
the end? wadepak?
baru juga mau mulai, udah dtamatin aj. hiks....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd