Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

part 3




“Mbak, boleh lihat?” tanyanya.

“Eh.., lihat apa?” tanyaku heran.

“Lihat nenen mbak.”

“Hahhhhhh..??!” seruku terkejut dan heran.

“Ayolah mbakk…. Plisssss… bentar aja kok..”

“Apanya yang mau dilihat Ninaaaaa? Kan sama aja sama kayak punyamu?!!”

“Ya bedalah mbak. Punya mbak kan gede.” bantahnya.

Beberapa saat aku menatapnya dengan penuh keheranan.

“Ya mbak.. bentar aja kookkkk… plisssss..” rengeknya.

Aku mengela nafas panjang, sementara Nina masih saja menatapku.

Karena Nina juga perempuan, sama sepertiku, akhirnya aku memutuskan untuk mengabulkan permintaannya.

“Tapi bentar aja lhoo ya. Dan awas kalo kamu cerita-cerita ke orang lain.” kataku.

Nina tersenyum sambil mengangguk lalu mendekatkan tubuhnya padaku. Perlahan ia menyingkap baju yang kukenakan, menariknya keatas hingga ke bagian bawah leherku.

“Wwaaaaaa… iya.. gede banget..” gumannya terkagum-kagum.

Wajahnya sangat dekat dengan payudaraku, sehingga aku bisa merasakan hembusan hangat nafasnya menerpa kulitku. Geli dan sedikit risih kurasakan karena Nina adalah seorang perempuan. Hal berbeda yang kurasakan jika Pram yang melakukannya.

Hampir 2 menit lamaya ia menatap dadaku, memperhatikannya dengan sangat teliti, layaknya seseorang yang tengah melakukan penelitian.

“Udah..” gumanku, sambil hendak menurunkan baju.

“Eehhh.. belumm mbak.” cegahnya.

“Katanya sebentar.” protesku.

“Iya, sebentar. Tapi kan barusan aja, belum juga sampe semenit.” bantahnya.

“Risih tauuuukkk.”

“Mbak tutup mata aja, biar gak risih.” jawabnya.

Aku menggelengkan kepala dan membatalkan niat untuk menutupi payudaraku. Sesuai sarannya, akhirnya aku menutup wajahku dengan selimut, hanya sebagiannya saja, hanya area mata hingga ke bagian kepalaku.

Dari celah selimut itu, aku bisa melihat Nina. Ia masih saja memandangi payudaraku, dan karena hembusan nafasnya yang hangat terasa dikulitku, perlahan puting payudaraku mulai mengeras. Ini benar-benar gila.

Akhirnya kututup mataku, sesuai saran yang diberikannya, dan membiarkannya menatap dadaku.

Seiring berjalannya detik, perlahan, birahi mulai menyelubungiku, namun aku berusaha keras meredamnya karena sosok yang bersamaku malam ini adalah Nina, seorang perempuan, sama sepertiku. Aku masih seorang wanita Normal yang menyukai laki-laki, menyukai dan menggilai seks dengan laki-laki.

Tanpa kusadari, aku mendesah pelan ketika Nina menyentuh ujung putingku dengan jarinya. Entah mengapa, aku menikmatinya, aku menyukainya, karena itu, aku tak berusaha mencegahnya, atau sekedar melarangnya.

Apa yang ia lakukan berhasil membuatku kalah dan bertekuk lutut pada gejolak nafsu. Apalagi setelah persetubuhan yang gagal tadi sore bersama Pram dikamarnya, semakin menambah kuat terjangan ombak birahi padaku.

Masih dengan mata terpejam, aku menikmati sentuhan lembut Nina disekitar putingku. Deru nafasku pun mulai memburu dan terdengar berat.

Aku yakin Nina paham dan mengerti bahwa aku telah terangsang. Aku telah melupakan segalanya, melupakan bahwa sosok yang sedang menyentuhku adalah sosok wanita sepertiku.

Seiring menit berjalan, sentuhan-sentuhan Nina disekitar payudaraku membuatku terbuai. Aku mendesah, merintih pelan sambil menikmatinya dengan mata terpejam. Aku membiarkannya melakukan semua yang ia inginkan demi memuaskan hasratku. Dan aku tak malu sedikitpun karena aku menyukainya.

Desahan dan rintihan mulai mengalun lembut dari bibirku karena Nina berhasil memantik nafsuku. Aku sangat yakin, Nina paham dan tahu akan hal ini karena sentuhan-sentuhan itu akhirnya berubah menjadi remasan lembut dan penuh perasaan dikedua belah payudaraku.

Aku terhanyut dalam permainan dan bimbingan Nina. Hanya beberapa saat kemudian, kurasakan benda hangat dan basah menyentuh ujung putingku. Segera kubuka mata, dan mengintip dari celah selimut yang menutupi kepalaku. Aku mendapati Nina sedang menjilati putingku menggunakan ujung lidahnya.

Rasa nikmat segera menjalar keseluruh tubuhku. Geli, namun mampu membuat tubuhku terlena dan mulai sedikit bergerak. Kurapatkan kedua pahaku, karena rasa itu dengan segera mencapai hingga ke bagian selangkanganku.

Beberapa saat berlalu, hanya beberapa detik, Akhirnya Nina melahap putingku, menghisapnya dengan pelan dan lembut. Tubuhku tersentak, dan dengan segera kusingkirkan selimut yang menutupi wajahku. Kubuka mataku dan melihatnya melakukan hal itu dengan pandangan sayu. Aku terlena dan larut dalam gejolak birahi.

Sambil menghisap satu putingku, jemarinya memilin putingku yang lain. Sekilas Nina memandangku, hanya sepersekian detik, lalu memejamkan matanya dan kembali menikmati payudaraku. Inilah kegilaan lain yang baru pertama kulakuan, dan harus kuakui, aku menyukainya, bahkan sangat menikmatinya.

Dengan lembut kubelai rambut Nina, seolah sedang membelai rambut lelaki yang tengah menikmati tubuhku. Hanya beberapa detik, lalu kembali menutup mataku.

Seolah mendapat ijin dariku, Nina semakin berani menyentuhku. Ia mulai mengerjai kedua putingku dengan lidahnya secara bergantian. Sambil menghisap puting, Nina membimbing satu tanganku, mengarahkannya kedalam bajunya dan meninggalkannya disana. Nina ingin aku mengerjai payudaranya.

Dibalik baju dan bra yang ia kenakan, kurasakan putingnya pun telah mengeras, sama sepertiku. Aku meremasnya, memainkan jemariku di kedua belah payudaranya hingga kudengar Nina mendesah pelan. Aku yakin, Nina telah terangsang, walaupun aku tak melihatnya karena masih menutup mataku.

Kami telah terbuai nafsu, dan lupa akan segalanya. Nina membimbing tubuhku untuk berbaring lurus, menghadap langit-langit kamarku. Aku menurutinya, dan Nina langsung menindih tubuhku. Pinggulnya beralaskan pinggulku, dan kedua tubuh kami nyaris menyatu.

Kembali kubuka mataku, dan mendapati Nina tengah memejamkan mata sambil terus menghisap payudaraku. Kedua putingku dipermainkannya dengan ujung lidahnya hingga jejak air liur menghiasi sekujur dadaku. Perlahan, lidahnya menjalar kebawah, bermain liar disekitar perutku. Tubuhku menggelinjang, dan butiran-butiran keringat mulai bermunculan di keningku.

Lidahnya terus bergerak perlahan, mempermainkan pusar, hingga aku benar-benar merasa kegelian sekaligus nikmat.

Seirirng waktu berjalan, lidahnya kembali bergerak, menjalar kebagian bawah sementara kedua tangannya perlahan mulai menarik celana pendek yang menutupi pinggulku.

Lidahnya terus bergerak, menyapu setiap jengkal kuliku yang perlahan teebuka seiring semakin terbukanya pinggulku. Hanya dalam waktu beberapa detik, pangkal pahaku terbuka, celana pendek beserta celana dalam yang membungkus pinggulku telah melorot hingga ke bagian pahaku.

“Nin…” gumanku lirih sambil mengusap kepalanya.

Nina berhenti menjilati tubuhku, tepat saat ia hendak mengarahkan lidahnya ke kemaluanku lalu merangkak naik, mendekatkan wajahnya dengan wajahku.

Dengan tatapan sayu aku memandangnya, lalu perlahan kembali menutup mataku.

Sesaat kemudian, kurasakan hembusan nafasnya semakin mendekat ke arah wajahku dan akhirnya Nina mengecup bibirku. Dilumatnya bibirku dengan penuh kelembutan, sementara satu tangannya mulai bergerak menelusuri tubuhku, hingga akhirnya berhenti di pangkal pahaku. Nina menjamah kemaluanku.

Celana pendek yang masih tersangkut dipaha menahan kakiku sehingga tidak bisa terbuka lebar. Akhirnya, dengan sedikit usaha, aku berhasil melucuti celana itu dan langsung membuka lebar kedua pahaku, untuk menyambut jemari lentik Nina di vaginaku.

Walaupun aku tak membalas ciumannya, namun Nina tetap setia mengulum bibirku, atas dan bawah secara bergantian dan dengan penuh kelembutan, penuh perasaan.

Aku tak menolaknya, namun tak juga memberi balasan atas aksinya itu. Aku pasrah, menikmati setiap perlakuannya padaku.

Hampir tiga menit kemudian, kurasakan sesuatu mendarat dibibirku, tepat beberapa detik setelah Nina berhenti melumat bibirku. Nina menyodorkan Payudaranya ke mulutku!

Walaupun dengan mata terpejam, aku tahu bahwa sesuatu yang menyentuh permukaan bibirku itu adalah payudaranya, karena terasa kenyal dan lembut saat menyentuh sedikit bagian wajahku.

Perlahan kuraih kedua belah payudara itu, meremasnya dengan lembut dan mulai membuka sedikit mulutku.

Hanya saat setelah mulutku sedikit terbuka, Nina memasukkan putingnya kedalam celah bibirku. Ia ingin aku menghisap payudaranya.

Aku yang telah dilanda birahi langsung menyambut payudaranya dengan hisapan yang sedikit keras terhadap putingnya hingga Nina merintih nikmat. Kurasakan satu tangannya membelai rambutku, sedangkan satu tangannya yang lain meremas payudaraku.

Dengan sedikit memaksa, akhirnya kami berguling diatas ranjangku dan berganti posisi. Kini, giliranku menindih tubuhnya.

Tanpa membuang waktu, Nina langsung menjamah payudaraku, dan aku membalasnya dengan melumat bibirnya. Satu tangannya berusaha melepaskan celana panjang yang ia kenakan, dan dalam waktu singkat, Nina berhasil melucutinya.

Sekali lagi kami berguling diatas kasurku, dan kali ini atas inisiatif Nina. Nampaknya ia lebih senang berada diatas, menindih tubuhku. Ia langsung melumat bibirku, dan segera kubalas dengan sama lembutnya. Hanya sesaat lalu ciuman kami terlepas.

Ia beralih kebawah, mengecup bagian tengah dadaku lalu bergerak terus hingga kebagian perut. Dikecupnya lembut pusarku, sementara pandangannya tetap melayang kearah mataku. Akhirnya berhenti ketika wajahnya tepat berada didepan kemaluanku.

Ia tersenyum, lalu perlahan mendekatkan wajahnya ke arah vaginaku. Aku yakin, Nina akan mengoralku.

Nafasku tertahan, jantungku berdebar tak karuan menanti kenikmatan yang akan datang. Aku tak sabar lagi untuk segera merasakannya.

Beberapa detik berlalu, akhirnya bibir Nina menyentuh kemaluanku. Ia mengecup vaginaku dengan lembut sambil menatap mataku.

Saat kecupan itu berakhir, perlahan aku menutup mataku, sambil mengembuskan nafas panjang.

Akhirnya saat itu tiba. Lidah Nina menyentuh vaginaku, tepat dibagian atas, dimana klitorisku berada. Aku mendesah pelan sambil menjulurkan tanganku untuk mengusap kepalanya, sementara satu tanganku yang lain meregangkan bibir vaginaku, menyibaknya untuk Nina.

Pinggulku mulai bergerak pelan saat Lidahnya yang hangat dan basah menyusuri belahan itu, sementara kedua tangannya membantu menyibak bibir kemaluanku sehingga semakin terbuka lebar untuknya.

Sesekali kubuka mata dan menyaksikan Nina melahap vaginaku dengan mata terpejam. Nina tampak sangat menyukainya, ia sangat menikmatinya, begitu juga denganku.

Lama-kelamaan, jilatanya terasa semakin kasar dan liar, ia bahkan mampu membuatku kembali merintih dan mendesah, pinggulku pun mulai bergerak liar.


Rindi and Nina

Kedua pahaku kubuka selebar mungkin, lututku kutekuk, dan mengangkatnya keudara. Nina sungguh mampu membawaku ke alam nikmat. Permainan lidahnya mampu membuat tubuhku bergerak liar karena tak kuasa menahan gejolak birahi yang kian meninggi. Ia berhasil membuat kemaluanku sangat basah dengan hisapan dan kulumannya di bibir vaginaku. Aku menggelinjang hebat.

Permainannya semakin bertambah sempurna ketika kurasakan satu jarinya mulai menyeruak masuk, menembus celah sempit vaginaku. Sekali lagi aku merintih panjang, disetai hembusan nafas yang terasa berat. Hanya tinggal menunggu detik saja, sebelum aku mencapai orgasme.

Kocokannya di liang kemaluanku bertambah cepat seiring detik berputar. Bibirnya berpindah dan menyembunyikan klitorisku didalam mulutnya. Dihisap, dikulum, dipermainkannya gumpalan kecil itu dengan ujung lidahnya didalam sana.

Tak kuasa menahan gelombag birahi, kuangkat pinggulku dan menekan kearah wajahnya hingga nyaris menenggelamkan wajah cantiknya diatara kemaluanku. Dan akhirnya, aku pun sampai di puncak orgasmeku. Sambil mengangkat pinggul, kujambak rambutnya dan mendesakkan kepalanya kearah kemaluanku.

Nina tak melawan, ia pasrah dengan perlakuanku yang kasar.

Beberapa detik berlalu, perlahan kuturunkan pinggulku dan melemaskan jemari yang menjambaknya. Nafasku memburu dan jantungku berdetak sangat kencang.

Nina pun menjauhkan wajahnya dari kemaluanku seraya mengeluarkan jemarinya dari liang vaginaku.

Dibawah, diselangkanganku, kurasakan vaginaku berkedut seolah sedang memompa cairan orgasme. Perlahan, cairan itu mengalir melalui celah kemaluanku, hingga akhirnya membasahai speri dibawahnya.

Perlahan kubuka mata, menatap Nina dengan pandangan sayu. Ia tersenyum manis sambil melihatku. Wajahnya nampak basah, terkena cairan yang keluar dsri liang kenikmatanku. Hanya beberapa saat lalu Ia mengalihkan pandangannya, dan kembali melihat vaginaku.

Mataku terasa berat karena orgasme yang baru saja kudapat, dan akhirnya dengan perlahan, aku menutupnya kembali.

“Hheeeemmmpppp…” desahku ketika beberapa saat kemudian kurasakan lidah Nina kembali menjilati kemaluanku.

Ia menatapku lagi, sambil memperlihatkan lidahnya yang baru saja meraih cairan orgasme di vaginaku. Hanya sesaat lalu memasukkan lidah itu kedalam mulutnya. Kerongkongannya bergerak. Nina menelan cairan orgasmeku! Ia tidak merasa jijik, bahkan raut wajahnya tampak senang, seolah sedang menelan minuman kesukaannya.

Sekali lagi ia menjilati kemaluanku, sambil menuntun kedua pahaku yang terbuka lebar untuk terangkat ke udara, hingga hampir menyentuh dadaku dengan kedua lutut tertekuk di kedua sisi tubuhku.

Kemaluanku terpampang jelas, bahkan belahan pantatku pun bisa ia lihat karena pinggulku sedikit terangkat.

Jilatannya terus bergerak menelusuri belahan vagina, hingga kebagian terbawah. Ia melahap semua cairan yang didapatinya, bahkan lidahnya menyapu permukaan liang anusku dan mempermainkannya. Nafasku tercekat.

Rasa geli dan nikmat kembali menjalar di tubuhku.

“Ninaaa…” gumanku lirih sambil memandangnya sayu.

Nina menatapku, namun lidahnya masih terus bergerak memanjakan anusku. Enak, geli, nikmat, dan entah perasaan apalagi yang melandaku.

Inilah pengalaman pertama aku merasakan anusku dijilati. Dan aku sangat menyukainya! Nina benar-benar membersihkan kemaluanku dari cairan-cairan itu. Permukaan vaginaku nampak bersih, dan mungkin hingga kebagian celah pantatku.

Setelah seharian menahan birahi, akhirnya nafsuku terpuaskan, walaupun yang memberikannya adalah seorang wanita, Nina, si manis, teman sekampus Pram.

♡♡♡

Hampir setengah jam kami beristirahat, melepaskan lelah setelah permainan panas yang menakjubakn bagiku, hingga akhirnya aku mengajak Nina untuk membersihkan tubuh sebelum beristirahat.

“Ternyata jadi lesbi gak buruk-buruk amat.” gumannya sambil membersihkan wajahnya dengan sabun khusus muka.”

“Buakn lesbi Nin, tapi biseksual. Mbak kan masih suka laki-laki. Kamu juga masih suka laki-laki kan??”

“Eh iya, biseksual.”

“Kamu pernah main sama cewek ya Nin?” tanyaku.

“Belum pernah.” jawabnya santai.

“Berarti tadi itu pertama kali?”

“Iya.”

“Mbak pernah?”

“Belum pernah juga.”

“Berarti sama dong.”

Kukenakan lagi pakaianku, begitu juga dengan Nina, dan merebahkan tubuhku diatas kasurku yang empuk. Nina berbaring disampingku.

“Jangan beritahu yang lain ya mbak.” gumannya sambil memandangi langit-langit kamarku.

“Ya enggaklah Nin. Jangan sampai ada yang tahu.” jawabku sambil berbaring miring, menghadap ke arahnya.

"Kita bener-bener gila." Sambungku, lalu tertawa kecil.

"Gila. Emang gila. Tapi aku suka. Enak juga kok."

“Mbak suka?” tanyanya sambil ikut berbaring miring, menghadap ke arahku.

Aku mengangguk, dan disambut oleh seutas senyumnya.

“Iya, aku juga.”

“udah lama banget aku gak ngerasain ciuman. Tiga tahun lebih, akhirnya bisa ngerasain lagi, walaupun yang nyium sesama cewek.”

“Ya udah, buruan cari cowok Nin.”

“Enggak ah mbak, mau fokus kuliah dulu. Tinggal dikit lagi trus lulus.”

“Iya sih, sebaiknya ya gitu.”

Cukup lama aku terdiam setelah percakapan singkat itu, dan kembali mengingat adegan panas yang baru saja terjadi. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Nina, pandangannya menerawang jauh ke arah langit-langit kamarku. Pengalaman seks pertamaku bersama wanita, ternyata cukup menyenangkan, mampu memuaskan birahiku.

Mungkin karena faktor aku tengah dilanda birahi setelah melihat adegan panas dikamar mandi kampus, maupun percintaan gagal dikamar Pram.

Aku tak merasa jijik sedikitpun ketika Nina menyentuh orgam intimku. Awalnya aku merasa risih, namun Nina berhasil membawaku kedalam arus permainan dengan sarannya agar aku menutup mata. Cara itu sukses membuka jalanku untuk menikmati seks sesama wanita.

bersambung

part 4 akan rilis beberapa jam kedepan.

terima kasih :ampun:
 
Salam,
Beberapa bagian dari kisah ini berdasarkan kisah nyata, jadi saya mohon dengan sangat agar tidak merepost atau mempublikasikan kisah ini diluar forum 46. Gambar/ilustrasi hanya sebagai pemanis cerita, bersumber dari web pencarian internet.

Jadilah reader yang dewasa dan semoga terhibur.

Maaf jika ada kekurangan ataupun hal lain yang kurang berkenan dikisah ini. Silahkan PM saya jika sekiranya ada hal yang kurang pantas, atau tidak layak untuk diposting disini. Karena beberapa bagian berdasarkan kisah nyata, maka saya tidak bermaksud untuk menyinggung SARA, tidak sama sekali.

Kritik dan sarang teman-teman akan sangat membantu dalam melanjutkan kisah ini. Terima kasih.



Salam


MD

RINDIANI The Series - Seri 1
Pelangi Untukku​


Kehidupanku sebagai seorang perempuan sangatlah bahagia. Hampir tidak ada halangan berarti yang kurasakan. Semua berjalan dengan sewajarnya, sesuai dengan rencana yang ada di dalam benakku. Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku universitas, aku langsung menikah dengan kekasihku, yang merupakan kakak kelasku saat kuliah.

Kebahagiaanku sebagai seorang perempuan semakin lengkap dengan kehadiran anak pertama kami. Serorang putri kecil, yang lahir tak lama setelahnya. Sejak saat itu, aku semakin optimis, dan semakin bahagia dengan keadaanku.

Dimataku, suamiku adalah seorang kepala keluarga yang sempurna. Ia begitu perhatian dan penyayang. Dan hal itu pun tak berubah setelah kelahiran anak kami yang pertama. Impianku untuk bekerja pun hilang dengan sendirinya pasca kelahiran putri kecil kami. Dan sebagai gantinya, suamiku membangun kost di samping rumah kami. Pekarangan yang dulunya hanya ditumbuhi oleh semak belukar itu berganti menjadi sebuah bangunan sederhana dengan tiga kamar tidur.

Letak rumah kami sedikit jauh diluar kota, namun sebagai salah satu kota pendidikan yang terkenal dengan banyak kampusnya, kost itu pun akhirnya memiliki penghuni. Lingkungan yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota menjadi alasan utama mereka yang memilih tempat itu.

Pram adalah salah satu penguni kostku, orang pertama yang menempati kamar paling pojok, dekat dekat dengan teras samping rumah, tempat biasa kami sekeluarga bersantai. Sejak awal, Pram telah menunjukkan kesan yang baik dan sopan, dan hal itulah yang membuatku dan suamiku yakin untuk menerimanya tinggal disini. Tubuhnya cenderung kurus dan tinggi, dan wajahnya terbilang lumayan bagiku.

Ia lebih banyak menghabiskan waktu dikamarnya sehingga kami jarang berinteraksi. Begitu juga dengan aktivitas diluar, jarang sekalia ia keluar untuk hangout, atau sekedar menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Sosoknya terlihat cuek dan penyendiri.


Rindiani adalah nama pemberian orangtuaku, dan sebagaimana orang lainnya, Pram pun memanggilku dengan sebutan ‘bu Rindi’. Dan selama ini, Pram pun sangat menghormatiku sebagai ibu kost karena dalam keseharian, aku selalu menutupi tubuhku dengan memakai jilbab, dan kebiasaan itu telah kumulai sejak duduk dibangku SMP.

Suatu malam, ponselku berdering. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal tertera di layarnya. Kulihat jam di dinding, waktu telah menunjukkan pukul dua dinihari. Karena penasaran, kuterima panggilang masuk itu. Itulah telfon yang mengguncang duniaku dalam dalam sekejab, hingga akhirnya meruntuhkannya. Panggilan itu berasal dari seorang petugas kepolisian, yang menginformasikan bahwa suamiku terjaring operasi penyakit masyarakat. Dia ditangkap disebuah kamar hotel saat sedang berduaan dwngan seorang wanita.

Tubuhku mendadak lemah dan jatuh terduduk di sofa ruang tamu. Sedih, marah, bingung, semua bercampur aduk dalam hati dan pikiranku. Apa yang harus aku lakukan? Hampir setengah jam aku mencoba menguatkan diri, mencoba menenagkan diriku sendiri sebelum memenuhi permintaan pihak kepolisian itu.

‘Pram’… ya, itulah nama yang terlintas di benakku. Dengan mata sembab, kuketuk pintu kamarnya sambil memanggil namanya dengan suara pelan. Hampir lima menit aku melakukannya hingga akhirnya ia membuka pintu. Tampaknya ia telah tertidur pulas karena wajahnya yang sayu dan matanya sedikit memerah karena terbangun dengan terpaksa.

“Pram, kamu bisa tolongin ibu?”

“Iya, ada apa bu?”

“Kamu bisa nyetir kan? Tolong anterin ibu, sekarang.”

“Iya bu, bisa. Tunggu sebentar ya bu, saya siap-siap dulu.”

“Ya, ibu tunggu di depan ya.”

Putri kecilku masih terlelap dalam pelukanku, sangat tenang dan damai, sangat kontras dwngan keadaanku.

“Kita mau kemana bu?”

“Kantor polisi, ke polsek.” jawabku singkat.

Air mata masih mengalir dipipiku, pikiranku kacau. Aku benar-benar bingung menghadapi masalah ini. Pram pun hanya diam membisu. Entah apa yang ada di pikirannya.

Tak berapa lama, kami tiba di kantor polisi. Aku berjalan mendahului Pram dan putri kecilku masih terlelap dalam gendonganku. Seorang petugas menerima kedatangan kami, dan mempersilahkankami memasuki sebuah ruangan.

“Nama ibu siapa?”

“Rindiani” jawabku singkat.

Si petugas pun bertanya pada Pram yang duduk disampingku.

“Dia adik saya” jawabku singkat setelah pram menjawab pertanyaan si petugas.

Setelah itu, si petugas mulai menjelaskan detail kronologi kejadian, mulai dari awal hingga akhir. Hatiku terasa seperti tersayat-sayat kerika mendengar bahwa suamiku ditangkap dengan seorang wanita saat mereka sedang bercinta disebuah hotel kelas melati di pusat kota.

Keadaanku benar-benar payah!, pikiranku kacau balau. Airmataku semakin deras mengalir, sementara suara tangisanku tertahan di dada.

“Saya ingin bertemu suami saya” pintaku.

Tanpa menunggu lama, si petugas mengantarkan kami ke sebuah rungan lain dan Pram masih mendampingi aku. Lututku gemetar, dan jantungku semakin berdebar-debar. Pikiranku benar-benar buntu, benar-kacau.

Kami tiba didepan sebuah ruangan dengan pintu yang masih tertutup. Si petugas segera membukanya. Dengan putri kecilku yang masih terlelap didadaku, aku memasuki ruangan itu, setelah sebelumnya si petugas kepolisian mendahului. Pram berdiri tepat disampingku. Di salah satu sudut ruangan, berkumpul beberapa pria yang terjaring dalam operasi tersebut, salah satunya adalah suamiku.

Entah apa yang ada dipikiranku, aku langsung menyerahkan putri kecilku pada Pram. Pram tampak terkejut, namun ia langsung menyambut putri kecilku ketika kuserahkan padanya.

Suamiku melihatku sekilas, kemudian ia kembali menundukkan wajahnya. Ia tampak pasrah, tak berani menatapku. Aku melangkah mendekatinya, dengan air mata yang masih mengalir.

‘PLLAAAAKKK’

Sebuah tamparan kulayangkan padanya. Entah darimana datangnya keberanian itu, tetapi aku benar-benar melakukannya. Kuluapkan emosiku yang sejak tadi tertahan didadaku. Seorang polawan yang kebetulan berada di ruangan itu segera menghampiriku, mencoba menenangkanku.

“Aku minta ceri.” Pintaku dengan suara bergetar.

Seisi ruangan hening.

“Mana perempuan yang bersamanya?” tanyaku pada polwan yang berdiri disampingku.

Ia melangkah, mendekati sekumpulan perempuan yang berkumpul di sudut lainnya. Ia berhenti dihadapan seorang wanita muda. Wajahnya tak begitu jelas terlihat karena ia selalu menundukkan wajahnya, dan rambutnya yang panjang pun menutupi wajahnya.

Aku mendekatinya,

‘PLAAAKKKK’

sebuah tamparan pun kulayangkan. Polwan yang mendampingiku pun sedikit terlambat mencegahnya.

Mataku terasa perih dan tubuhku lelah. Aku ingin keluar dari tempat ini.

“Kita pulang..” kataku pada Pram.

Ia masih menggendong putri kecilku saat kami berjalan menuju keluar. Tak sepatah katapun ia ucapkan, dan aku yakin, Pram telah mengerti sepenuhnya terhadap duduk permasalahan yang telah menimpa keluargaku. Pikiranku benar-benar kacau, dan yang membuatku semakin terpuruk adalah ketika melihat putri kecilku yang tengah terlelap dalam pelukan Pram.

Aku benar-benar letih. Tak sepatah katapun diucapkan oleh Pram hingga kami tiba kembali di rumah.

“Makasih ya Pram. Maaf ibu merepotkan kamu malam-malam begini.”

“Gak apa-apa kok bu, saya hanya membantu semampu saya. Sekarang ibu istirahat dulu. Kalo ada apa-apa, ibu bisa panggil saya”

“Iya..makasih ya.”

Sepertiga malam kulewati dengan tangisan. Aku membayangkan bagaimana jahatnya suamiku mengkhianatiku, menghancurkan mimpi-mimpiku. Lelaki yang menjadi pacar pertamaku, lelaki yang selama ini sangat kucintai, sangat kupercayai, kini menghancurkan hidupku. Lembar-lembar kenangan tentang kami pun silih berganti datang mengisi pikiranku. Kucoba merenungkan kekuranganku, kesalahanku, atau hal apapun yang membuatnya begitu tega mengkhianatiku.

Wanita yang menjadi selingkuhannya memang cukup menarik, walaupun aku hanya melihat wajahnya secara sekilas. Tubuhnya ramping dengan kulit yang putih bersih. Berbanding terbalik dengan kondisiku, dimana tubuhku sedikit lebih gemuk pasca melahirkan. Apakah hanya karena kondisi fisikku sehingga ia berselingkuh? Apakah aku kurang perhatian? Apakah aku? Dan ratusan pertanyaan lain hilir mudik dikepalaku, hingga pagi menjelang.

Dari balik jendela kamarku, kulihat Pram telah bangun dan menikmati segelas kopi di teras depan kamarnya.

“Pagii Pram”

“Iya, pagi bu.”

“Pram, maaf ya, ibu mau minta tolong lagi. Bisa?”

“Bisa kok bu, lagian ini hari minggu, gak ada kuliah”

“Ibu mau pulang kerumah orang tua ibu, kamu bisa anterin? Nanti pulangnya kamu bawa lagi mobilnya. Bisa?”

“Bisa kok bu”

“Tapi.. kok mobilnya gak ditinggal aja disana bu?" tanyanya keheranan.

“Hhmmm.. kamu kan udah tau permasalahan ibu. Nah, kali aja suami ibu berniat mau mengambil mobil itu, jadi sebaiknya mobil itu tetap berada disini aja, walaupun sebenernya mobil itu hadiah pernikahan dari orang tua ibu.”

“Iya bu, kalo gitu saya siap-siap dulu ya bu.”

Dengan cekatan Pram membantu memasukan beberapa tas berisi pakaianku dan putri kecilku kedalam bagasi mobil. Aku tak bisa membantunya karena harus menggendong anakku, selain itu kondisi tubuhku pun kelelahan karena belum beristirahat sejak semalam.

Dalam perjalanan, sesekali aku tertidur karena kelelahan, dan Pram sangat memakluminya. Suara putri kecilku, maupun pertanyaan Pram tentang rute jalan menuju ke kampung halamankulah yang membuatku terjaga.

“Ibu pergi sampai kapan, bu?”

“Belum tau Pram, ibu butuh istirahat, mau menenangkan diri dulu.”

Pram hanya mengangguk mendengar jawabanku.

Hampir 2 jam berlalu, akhirnya kami sampai dikampung halamanku. Dusun kecil di sebelah selatan kota pendidikan ini adalah tempat tinggal orangtuaku, tanah kelahiranku. Sepi, jauh dari keramaian kota, bahkan setiap rumah warganya pun saling berjauhan. Inilah pertama kalinya Pram melihat kampung halamanku. Kedua orang tuaku telah mengenal Pram, karena dalam beberapa kesempatan, saat mereka mengunjungiku, sempat berkenalan dengannya.

Suara deru mesin mobil menarik perhatian kedua orangtuaku, sehingga mereka keluar dan berdiri diteras. Keluar dari mobil, aku langsung berlari kecil menghampiri mereka dan memeluk erat keduanya. Setelahbsebelumnya, didalam mobil, putri kecilku kuserahkan pada Pram. Sambil menggendong putriku, ia berjalan mengikutiku.

Aku kembali menangis, air mataku kembali tertumpah dalam dekapan ibuku.

“Lho kok nangis? Ada apa tho nak?" tanya ibuku sambil memelukku erat.

“Nak Pram” sapa bapakku.

“Iya pak” Keduanya berjabat tangan, lalu kami masuk ke ruang tamu.

Sambil menangis, kuceritakan semua kejadian semalam, kutumpahkan semua keluh kesahku. Ibuku pun ikut meneteskan air mata, sementara bapak sesekali menghela nafas. Terlihat kemarahan diwajahnya.

Putri kecilku tampak gelisah dan sedikit rewel, sehingga Pram pun berinisiatif mengajaknya keluar ruangan. Dibawanya putri kecilku menelusuri halaman rumahku, yang ditumbuhi beberapa pohon mangga dan rambutan. Suasana sejuk dan tenang itu membuat ia pun kembali tenang, dalam dekapan Pram.

Setelah beberapa saat, Pram kembali dengan putri kecilku yang telah terlelap dalam dekapannya.

“Biar ibu yang gendong, nak Pram istirahat dulu.”

Aku beranjak ke dapur, membuat segelas kopi untuknya, sementara bapak menemani Pram.

“Bapak ucapkan terima kasih, karena nak Pram sudah membantu anak saya.”

“Saya hanya membantu sebisa saya pak, lagipula, saya gak mungkin biarin bu Rindi pergi sendiri. Saya gak tega pak.”

Perbincangan yang samar-samar kudengar, membuatku terharu. Betapa terpuruknya hidupku kini namun masih ada orang yang baik dan peduli padaku.

Setelah menghidangkan minuman, aku membantu Pram mengeluarkan tas dari bagasi mobil dan meletakkannya didalam kamar tidurku.

Setelah menghabiskan segelas kopi buatanku, Pram pun berpamitan.

“Pram, ibu titip rumah sama kamu ya. Kalo ada apa-apa, kamu telpon ibu.”

“Ini untuk kamu beli bensin ya Pram.” Kataku sembari menyerahkan sedikit uang padanya.

Awalnya ia menolak, namun aku tetap memaksa hingga ia menerimanya.

== == ==

Waktu terus berjalan dan tak terasa, hampir empat bulan kuhabiskan waktuku di kampung halaman. Putri kecilku pun kini semakin lucu dan menggemaskan. Dialah yang selalu menjadi pusat perhatian kedua orangtuaku. Dan berkat dukungan mereka, perlahan, aku pun mulai bangkit kembali, mulai bisa menerima kenyataan hidupku.

Ya, walaupun belum secara resmi bercerai, namun aku telah menganggap diriku sebagai janda karena sejak peristiwa itu, suamiku menghilang tanpa kabar. Dukungan penuh dari kedua orangtuaku pula yang membuatku semakin bertekad untuk segera bangkit, berbenah diri dan menyusun rencana untuk hidupku dan putri kecilku.

Kuputuskan untuk mulai mencari kerja bermodalkan ijasah kuliah yang kumiliki. Kini, mimpi untuk bekerja mulai kujalani dan aku yakin, aku akan mampu menjalaninya.

Dari kota pendidikan, sesekali Pram mengirimkan kabar tentang keadaan rumahku, tentang keadaan lingkungan sekitar rumahku, dan hal lainnya yang sekiranya penting untuk ku ketahui.

Hari jum’at pagi, aku meminta ijin pada kedua orangtuaku untuk untuk kembli ke kota pendidikan, untuk melihat keadaan rumah dan mencari informasi lowongan pekerjaan. Mereka pun setuju, namun mereka meminta agar putri kecilku tetap tinggal bersama mereka, apalagi ia telah berhenti menyusui sejak satu bulan terakhir.

Selama perjalanan pulang, banyak hal yang kurenungkan, banyak hal yang kupikirkan. Tentang semua yang terlewati selama beberapa waktu belakangan, tentang masa depanku, masa sepan buah hatiku. ‘Aku harus bisa. Aku harus segera bangkit dan menata kehidupanku’ itulah tekadku.

Dan tak terasa, aku sudah sampai ditujuanku. Rumahku. Rumah yang menyimpan begitu banyak memori didalamnya.

Setelah membuka pintu pagar, aku takjub dan terharu melihat pemandangan dihadapanku. Halamannya bersih, rumput-rumput liar telah dipangkas, dan bunga-bunga yang aku tanam tampak segar dan sehat. Siapa yang telah melakukan semua ini? Pemandangan ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang aku bayangkan.

Keadaan sangat sepi, karena hari jum’at biasanya ketiga penghuni kostku masih disibukkan oleh aktifitas mereka masing-masing. Keadaan didalam rumahku masih sama seperti saat kutinggalkan, hanya saja debu-debu sudah mulai terlihat menempel dimana-mana.

saatnya bekerja’ gumanku pelan. Dan mulailah aku membersihkan rumahku, membereskan semua perabot-perbaot rumah tangga yang berserakan , karena tak sempat melakukannya saat kutinggalkan beberapa bulan lalu. Membersihkan debu, menyapu, mengepel, dan merapikan seisi rumah, agar bersih dan nyaman untuk kutempati lagi.

Dan tak terasa, sudah hampir dua jam berlalu. Satu-satunya bagian rumah yang belum kubereskan adalah dapur.

Beberpa saat setelah mulai membereskan bagian dapur, terdengar suara mesin motor memasuki pekarangan rumahku.

Pram’ gumanku dalam hati, karena familiar dengan suara motornya.

“Pram.. selamat siang”

“Siang bu”

“Kok ibu pulang gak ngabarin saya?"

“Ibu naik apa kesini?” sambungnya lagi tanpa memberi waktu padaku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

Aku hanya tersenyum melihatnya.

“Dduuuuhhh.. kamu ini udah jadi penyidik kepolisian ya? Kok nanyanya sampe segitunya.”

Pram pun tertawa.

“Ibu sendirian kesini, naik angkot tadi. Ibu gak mau ngerepotin kamu. Si dedek tinggal disana sama opa oma. Ibu cuman sebentar aja disini, nanti hari minggu pulang kok” jawabku.

“Ooooo gitu.”

“Oh iya, ibu mau minta tolong sama kamu. Tapi kamu ganti pakaian dulu, biar gak kena kotor bajunya.”

“Iya bu, bisa kok”

“Ya udah, ibu kedalam dulu ya, nanti kamu nyusul aja, masuk aja kalo udah ganti pakaian.”

“Iya bu.”

Beberapa saat kemudian, Pram menemuiku di ruang tengah. Kemeja dan jeans yang ia kenakan telah berganti dengan kaos oblong yang lengannya telah dipotong, begitu juga dengan celananya, jeans yang terpotong hingga ke bagian lututnya.

“Ibu minta tolong kamu turunin foto-foto ini ya Pram, trus taruh digudang” kataku sembari menunjuk ke arah bingkai foto yang terpampang didinding, berisi foto-foto pernikahanku dengan suamiku, total ada lima bingkai berukuran besar disana.

“Ibu yakin..?”

“Iyaaa.. ibu yakin” jawabku mantap.

Aku ingin move on. Aku ingin melanjutkan bab kehidupanku dalam lembaran baru. Pram pun segera melaksanakannya, sementara aku kembali melanjutkan pekerjaanku didapur.

“Pram, minum dulu.” Kuserahkan segelas es sirup padanya.

Kami berdiri, bersandar di dekat pintu dapur.

“Kamu baik-baik aja kan Pram? Sehat kan?” tanyaku yang juga bersandar disampingnya.

"Sehat bu, baik-baik aja kok."

“Syukurlaaah.. oh iya, siapa yang bersih-bersih halaman rumah, Pram?”

“Saya bu, soalnya rumputnya udah pada tinggi, jadi kelihatan gak rapi. Makanya saya pangkas, biar enak dilihat”

“Oohhh.. jadi kamu..? Makasih ya Pram. Kamu udah banyak membantu ibu”

“Hehehehe.. gapapa bu, lagian saya juga tinggal disini, ngekost disini, saya cuman membantu semampu saya kok.”

Pram benar-benar seorang pemuda yang baik, itulah kesanku setelah lebih dekatnya, setelah peristiwa memilukan malam itu. Usianya yang terpaut empat tahun dibawahku tertutupi dengan sempurna oleh prilakunya yang baik dan cara berpikirnya yang dewasa. Aku beruntung, bisa mengenalnya.

“Pram, kalo kamu tau atau denger info lowongan pekerjaan, beritahu ibu ya, ibu mau cari kerja nih.”

“Ibu yakin? Trus si dedek gimana? Siapa yang ngurusin si dedek kalo ibu kerja?”

“Kalo si dedek, mungkin nanti biar tinggal sama opa omanya, atau nanti ibu titipkan di tempat penitipan anak. Nanti ibu lihat deh, mana yang baik untuk dedek."

“Iya bu, nanti kalo ada info, saya kabarkan ke ibu.”

Sejenak, tidak ada obrolan diantara kami. Pandangan kami menerawang melewati pintu belakang dapur, melihat beragam bunga dan pepohonan yang tumbuh subur sehingga Tembok setinggi 2 meter dibelakangnya nyaris tertutupi dengan sempurna.

“Ibu baik-baik aja?” kali ini ia bertanya dengan serius sambil menoleh kearahku, menatap mataku dalam-dalam. Sebuah pertanyaan yang rasanya seperti sebuah pukulan untukku.

“Kamu sudah dewasa, dan pasti sudah bisa mengerti apa yang terjadi. Ibu hanya ingin mencoba bangkit, mencoba untuk menata kehidupan lagi. Harus, untuk si dedek”

“Dan untuk ibu juga” sambung Pram.

“Ibu juga berhak bahagia, berhak untuk mendapatkan cinta lagi, berhak bahagia.” Lanjutnya.

Aku memandangnya lirih, terharu mendengar kata-kata yang ia ucapkan. Aku tahu, Pram mengucapkannya dengan kesungguhan hati. Ia masih saja melayangkan pandangannya kedepan, seolah sedang melamun.

“Makasih ya, Pram”

“ngomong-ngomong, kamu udah makan siang belum? Ibu laper nih, tapi disini gak ada makanan, soalnya ibu belum belanja”

“Belum sih bu, nanti aja.”

“Ya udah, kita makan diluar aja yuk, ntar ibu traktir deh.”

“Okeeeeee, siap…” jawabnya dengan penuh semangat.

“Ya udah, kamu ganti pakaian dulu. Trus kita makan.”

Beberapa saat kemudian, Pram kembali.

“Kamu ini..” kataku sambil menggelengkan kepala.

“Kamu mau pergi makan apa mau pergi ke sawah?” protesku setelah melihat pakaian yang ia kenakan. Celana jeans yang lagi-lagi terpotong hingga kebagian lutut, di padu dengan kaos oblong yang warnanya hampir pudar.

Ia menatap dirinya sendiri, mulai dari ujung kaki hingga tubuhnya.

“Gak pantas ya?” tanyanya heran.

Aku hanya menggelengkan kepala. Sejurus kemudian, ia kembali ke kamarnya.

“Nah, kalo gitu kan bagusss.” Komentarku saat melihat dia telah berganti pakaian.

“Pakai motor aja ya bu, biar cepet”

“Iya, boleh. Tapi jangan ngebut ya.”

“Iyaaaaa buuuuu. Eh, ngomong-ngomong, kita makan dimana bu?"

“Hhmmmm.. kita ke sekitaran Babarsari aja, disana ada banyak tempat makan yang enak.”

“Okeee bu.”

Hampir 40 menit kemudian, sampailah kami di sebuah warung makan yang terkenal dengan cita rasa pedasnya. Warung yang cukup sederhana dan dengan harga terjangkau bagi kantong mahasiswa ini selalu ramai pengunjung setiap harinya. Dan beruntung bagi kami, karena masih mendapatkan tempat disana. Disekitar kami tampak sejumlah mahasiswa tengah menikmati makan siangnya. Ada juga rombongan keluarga, karyawan kantoran, hingga siswa siswi dengan seragam sekolahnya.

“Kamu jalan sama ibu, ntar ada yang marah gak Pram?"

“Maksud ibu?”

“Ka… kali aja kamu udah punya pacar, trus ngelihat kamu jalan sama ibu. Ntar dia bisa marah kan?”

Pram tertawa kecil mendengar celoteh gak penting dariku.

“Gak ada bu. Saya belum punya pacar. Lagian mana ada cewek mau sama cowok seperti saya. Naik motor butut, gak gaul gini”

“Ya sudah, malah bagus itu. Jadi kamu bisa fokus kuliah dulu. Nanti kalo udah lulus, cari kerja. Kamu kumpulin duit buat beli mobil, biar makin gaul, makin kece.”

“Hehehehe.. rencanya sih gitu bu, tapi bagian yang beli mobil itu belum kepikiran. Sekarang yang penting kuliah aja dulu, bisa lulus.”

“Anak yang baik” balasku.

Dan obrolan singkat kami terhenti ketika makanan pesanan kami dihidangkan oleh pelayan warung tersebut. Tanpa basa-basi, kami menyantapnya dengan lahap karena lapar. Keringat bercucuran diwajah kami karena rasa pedas yang luar biasa dari masakan khas warung tersebut. Rasa puas, kenyang dan nikmat akhirnya kami dapati ketika selesai makan.

“Eh Pram, nanti pulangnya sekalian belanja ya. Buat masak makan malam. Nanti malam kamu makan dirumah aja, temenin ibu. Mau kan?”

“Bisa kok bu. Belanja dimana?”

“Kita belanja di Miro*a campus U*M aja.”

“Ya udah, kita pergi sekarang aja bu, langsung belanja, trus pulang.”

Dan akhirnya kami sampai di tujuan berikutnya. Toko yang terkenal dengan harga murah meriah ini hampir selalu dipenuhi oleh pengunjung. Bagian sayur dan buah pun disesaki oleh pengunjung yang didominasi oleh kaum perempuan.

Entah dengan sadar atau hanya secara reflek, Pram menggandeng tanganku, menerobos kerumunan orang yang tengah sibuk memilih barang yang hendak mereka beli. Aku mengekor dibelakangnya.

Setelah selesai belanja, yang memakan waktu lumayan lama karena antrian kasir yang panjang, kami meninggalkan tempat itu. Dan seperti perempuan yang mengenakan jilbab pada umumnya, aku duduk menyamping, karena hanya dengan posisi itulah aku bisa duduk. Dan setelah kejadian Pram menggengam tanganku tadi, kini satu tanganku pun memegang pinggangnya, hanya sekedar untuk menjaga keseimbangan agar aku tidak terjatuh. Tidak ada maksud lainnya.

“Eh Pram, beli es kelapa yuk” kataku.

“Dibungkus aja, nanti minum dirumah aja” sambungku lagi.

Pram menghentikan laju sepeda motornya. Dan lagi-lagi, ia memegang tanganku untuk menyebrangi jalan, sementara matanya mengawasi kendaraan yang lalu lalang didepan kami. ‘anak yang baik’ gumanku dalam hati. Hal yang sama dilakukannya ketika kami hendak menyebrang jalan untuk kembali pulang. Jujur saja, aku merasa tersanjung, merasa nyaman dan terlindungi dengan sikapnya. Mungkin terlalu dini untuk menilai Pram adalah pria yang baik, anak muda yang sifat dan sikapnya baik. Tetapi sejauh ini, itulah kesan yang aku dapatkan.

“Pram.. makasih ya.”

“Bu.. jangan bilang gitu, saya hanya membantu semampu saya.”

“Iya.. pokoknya ibu makasih sama kamu. Maaf ya kalo merepotkan kamu”

“Enggak merepotkan kok bu. Beneran, gak merepotkan saya kok.”

“Ya udah, kamu istirahat dulu, nanti malam makan dirumah ya. Jangan lupa lho Pram.”

Tubuhku terasa lelah, namun mataku tak kunjung terpejam walaupun sudah merebahkan diri diatas kasur. Banyak hal yang melintas dibenakku, salah satunya rencana untuk mencari kerja. Bagaimana aku akan membagi waktu antara mengurus putri kecilku, dan pekerjaanku. Aku cukup beruntung karena mendapat dukungan penuh dari kedua orangtuaku, ditambah dengan kehadiran Pram, yang sejauh ini sangat meringankan langkahku, sangat membantuku dimasa-masa sulit.

Dan seperti yang telah kami rencanakan, kami menyantap makan malam bersama, dengan masakan sederhana ala rumahan. Kami berbincang tentang banyak hal, sekedar obrolan ringan sebagai selingan untuk menghangatkan suasana.

“Masakan ibu enak, kayaknya cocok kalo buat warung makan”

“Halahhh.. kamu ini. Cuman tumisan kangkung sama tahu goreng aja kok enak.”

“Maksud saya, kalo ibu buka warung, jualan makanan, saya bisa ngutang.”

“……”

Aku tertawa mendengar jawabannya. Terdengar seperti candaan garing, tapi sudah sangat cukup menghiburku.

“Nah.. gitu dong. Sesekali ibu harus tertawa, tertawa lepas seperti itu. Udah lama lho ibu gak ketawa kayak gitu.”

Ucapannya benar-benar membuatku terharu. Dia benar, terlalu lama aku hidup didalam kemuraman, dan dia sangat benar, telah sekian lama aku tidak tertawa lepas. Aku menundukkan wajah, karena air mataku terasa hendak mengalir keluar.

“Iya. Kamu benar Pram.” jawabku singkat sambil menyeka air mata disudut mataku.

“Udah, jangan di ingat lagi bu. Sekarang ibu harus bangkit, menjalankan rencana yang sudah ibu buat. Saya akan membantu ibu semampu saya”

'Kamu benar-benar anak muda yang baik’ gumanku dalam hati.

Dia benar-benar berusaha membantuku, menghiburku dengan caranya yang mungkin terlihat norak dan garing. Itulah Pram yang aku kenal sejak beberapa waktu belakangan, pribadi yang bisa menghadirkan tawaku, lagi.

Selesai makan, kami melanjutkan ngobrol diruang tengah, hingga larut malam. Hampir jam duabelas malam, obrolan kami berakhir karena rasa kantuk yang mulai menghampiri. Aku pun harus beristirahat karena seharian belum beristirahat.

===

Mentari telah bersinar cerah ketika kubuka mataku. Suasana sepi karena para penghuni kost telah pergi melakukan aktivitasnya masing-masing. Lelah membuat tidurku sangat lelap sampai-sampai terlambat bangun. Kulihat jam didinding menunjukan pukul delapan lewat beberapa menit. Setelah mandi, kusempatkan diri untuk bercermin. Bobot tubuhku tampak menurun dratis beberapa waktu belakangan, benar-benar sangat berantakan, sejalan dengan keadaan hatiku yang hancur.

Saat kubuka pintu teras samping rumah, yang berhadapan dengan bangunan kost, kudapati setumpuk koran dan kunci mobilku tergeletak didepan pintu. Ada secarik kertas bertuliskan sebuah pesan,

bu, ini ada koran buat nyari lowongan pekerjaan.’

“Pram…” gumanku setelah membaca pesan itu.

Sambil menikmati segelas teh panas, aku mulai melihat barisan iklan-iklan dikoran. Kulingkari iklan yang sesuai dengan kualifikasi ijasah sarjanaku, ekonomi manejemen. Setelah selesai, aku langsung membuat surat lamaran, dengan melampirkan syarat-sayarat yang tertera diiklan tersebut.

Aku sadar, aku tengah berpacu dengan waktu, oleh karena itu, setelah menyelesaikan membuat surat lamaran, aku langsung mengirimkannya. Saat melintas didepan kampus Pram, sekilas kulihat Pram tengah menikmati semangkuk bakso bersama teman-temannya di pinggiran pagar kampus. Segera kupelankan laju mobilku, mencari tempat memarkirkannya.

“Pram.” Sapaku dari arah belakang.

“Lho buu, kok ada disini? Ibu dari mana?” tanyanya heran, sementara beberapa temannya pun menatapku.

“Ibu barusan selesai ngirim lamaran kerjaan. Pas lewat sini, lihat kamu lagi makan, jadi ya ibu mampir, sekalian makan siang. Soalnya dirumah ibu belum masak. Gak sempat”

Dan sekali lagi, kuhabiskan waktuku bersama Pram diluar rumah, walaupun kali ini bersama teman-teman kuliahnya. Ia memperkenalkanku pada mereka.

“Pantesan lo jarang ngumpul bareng kita, lo lebih milih ngeram kayak ayam dikost, betah amat. Ternyata ibu kost lo cantik gini” kata seorang teman Pram yang berasal dari ibukota.

Pram hanya tertawa mendengar ocehan itu, sementara aku terunduk malu.

“Diem, brisik. Kalian ngajak ngumpul tapi bawa pasangan masing-masing. Yang ada kalo aku ikut ngumpul jadi obat nyamuk doang.”

“Ya udah, lo cari pacar gih, betah amat jadi jomblo. Bentar lagi musim ujan bro, mati kedinginan lo ntar.”

“…..”

Aku hanya bisa tertawa mendengar obrolan ala anak muda seperti mereka.

“Lho, Pram belum punya pacar yah?” tanyaku berpura-pura tidak tahu pada mereka.

“Belum mbak. Dia nunggu kiamat kayaknya.” jawab salah satu teman perempuan Pram.

“Pacarnya masih dalam kandungan mbak. Masih ngunggu lahiran, nunggu gede”

Aku tertawa mendengar jawaban-jawaban aneh itu sementara Pram hanya menggelengkan kepalanya.

“diem. Habisin tu makan. Bentar lagi kita masuk” celetuk Pram.

Mereka terus saja tertawa melihat Pram yang tak mampu membalas sindiran-sindiran itu. Akhirnya, satu persatu teman-teman Pram meninggalkan kami karena ada jadwal kuliah hingga yang yang tersisa hanyalah Pram dan aku.

“Pram, makasih korannya ya.”

“Iya bu, sama-sama”

“Nanti kalo ada Info, saya kabari ibu” sambungnya.

Sebagai ucapan terima kasih, aku membayar makanan yang telah ia santap. Awalnya ia menolak, namun aku tetap berkeras hingga ia mengalah dan membiarkan aku yang membayar. Setelah Pram kembali ke kampus, akupun meninggalkan tempat itu.

Tak seperti biasanya, Pram tiba dikost saat hari sudah gelap.

“malam bu” sapanya saat melihatku tengah bersantai diteras depan rumah.

“Kok tumben pulangnya malam Pram?”

“Iya bu, tadi ngobrol dulu sama temen-temen, sampe lupa waktu.”

“Ooo gitu. Eh Pram, besok kan ibu pulang kampung, kamu mau gak temenin ibu jalan-jalan malam ini? Ibu udah lama gak jalan-jalan nih.”

“Bisa bu, tapi saya mandi dulu ya bu.”

“ya udah, mandi sana, ibu juga mau mandi dulu.”

Dengan mengendarai mobil, kami menyusuri jalanan kota, menikmati malam minggu yang ramai. Muda mudi dengan pasangannya masing-masing nampak mesra berboncengan sepeda motor.

“Tuh Pram, yang lain pada jalan sama pasangannya. Kamu malah jalan sama ibu”

“lhooo… ini kan saya lagi jalan sama pasangan saya. Bedanya, pasangan saya ini bukan pacar, tapi ibu kost saya”

“Kamu ini..”

“Lho bener kan?”
“Iya sih, kamu bener. Tapi sayang, pasangan kamu udah tua, udah ibu-ibu, punya anak lagi, udah gitu gendut lagi” balasku.

“Cantik itu relatif lho bu, dan gak ada standartnya. Dan siapa bilang ibu gak cantik? Kalo menurut saya, ibu cantik kok!”

“Eh, hayoooo, kamu mau gombalin ibu ya?"

“Hahahahahahahaha.. ya gak lah bu. Kita kan lagi bahas ngebahas soal cantik. Oh iya, dan kalo menurut saya, ibu gak pantes kalo disebut ‘bu’, cocoknya sih dipanggil ‘mbak’"

“Kok bisa?” tanyaku heran.

“Soalnya ibu masih kelihatan muda. Lagian ibu kan baru 29 tahun.” jawabnya.

“Duuhhhh, pinter banget kamu ngegombalnya.”

“Lhooo bukan ngegombal kok. Buktinya tadi dikampus temen-temen pada manggil mbak kan? Bukan manggil ibu.”

“Hehehehe, iya sih.”

Berkelana mengitari setiap ruas jalan kota pelajar sungguh sangat menghiburku. Menikmati kemacetan karena banyaknya orang yang tumpah ruah, ingin menikmati malam minggu seperti kami.

“Pram, kita ke Am*laz yuk.”

“Boleh tuh bu, sekali-sekali cuci mata.”

“Huuuhhh..maunya!”

“Hahahahahahahaha, enggak kok bu, cuman canda aja.”

Sebelum memasuki gedung mall, kami sempatkan untuk makan malam diwarung lesehan yang banyak bertebaran disekitarnya. Dan seperti biasanya, malam minggu adalah waktu favorit bagi muda mudi untuk bersenang-senang, menikmati masa mudanya.

Mall yang terletak dijalan poros kota pelajar ini selalu ramai pengunjung, terutama setiap malam minggu. Banyak yang bertujuan untuk berlanja, ada juga yang hanya sekedar jalan-jalan menikmati suasananya.

Kami sedang berjalan pelan, melihat-lihat berbagai dagangan yang dipajang di etalase gerai ketika dari kejauhan aku melihat suamiku sedang bersama wanita selingkuhannya. Mereka tampak mesra. Tangan suamiku melingkar di pinggang si perempuan, begitupun sebaliknya.

Langkahku terhenti seketika. Dadaku terasa sesak dan mataku terasa panas. Suamiku benar-benar telah melupakan aku, melupakan putri kecilnya. Dia telah benar-benar melenyapkan kami dari hatinya, dari kehidupannya.

Pram kebingungan melihatku berdiri mematung dengan pandangan seolah hampa. Akhirnya ia pun memandang kedepan, dan mendapati pemandangan yang telah membuatku merasakan sakit luar biasa.

“Ayo bu, kita pulang.”

Tanpa persetujuanku, dengan setengah memaksa, ia menggandeng tanganku dan menarikku.

Disepanjang perjalanan, aku hanya terdiam. Ternyata aku belum bisa menerima kenyataan. Ternyata aku belum mampu menerima kenyataan bahwa kini suamiku bukanlah suamiku lagi. Tak terasa, air mataku kembali jatuh.

“Dia sudah melupakan aku, melupakan darah dagingnya” gumanku.

“Dia lebih memilih perempuan itu daripada kami” sambungku.

Pram hanya diam membisu.

“Kita pulang aja ya Pram” pintaku.

Setelah memarkirkan mobil digarasi, Pram menyusulku kedalam rumah.

“Minum dulu ya Pram. Kopi atau Teh?” tanyaku sambil menyeka air mata yang membasahi pipiku.

“Kopi bu.” Aku melangkah kedapur, dan disana airmataku mengalir lagi. Tanpa kusadari, Pram menyusulku dan memberi selembar tissue padaku.

“Maaf bu, tapi ibu gak pantes menangis untuk laki-laki itu.”

Aku benar-benar terpuruk, aku benar-benar hancur. Aku lantas memeluk Pram dan menangis dalam pelukannya. Ia membiarkanku menangis, membiarkanku menumpahkan airmataku dalam pelukannya.

Dalam keheningan malam, didapur rumahku, untuk pertama kalinya tubuhku dipeluk laki-laki lain selain suamiku. Dan laki-laki itulah yang selama beberapa saat belakangan selalu hadir, menemaniku disaat aku sedang terpuruk oleh ujian kehidupan.

Setelah cukup tenang, aku melepaskan pelukanku dan Pram yang melanjutkan membuat minuman. Segelas kopi dan segelas teh panas untukku.

Ditatapnya wajahku, dan dengan lembut disekanya air mata dipipiku. Dadaku masih terasa sesak, dan pikiranku pun kacau. Sekali lagi, aku memeluknya dan menagis tersedu didadanya.

Kali ini, ia membalasnya dengan memelukku erat. Kurasakan ia mengusap kepalaku yang masih tertutupi jilbab. Tampaknya ia benar-benar berusaha menenangkanku ketika kurasakan ia juga mencium kepalaku.

“Ayo.” Katanya sambil mengajakku kembali keruang tengah.

Suasana sangat sepi karena letak rumahku yang sedikit jauh dari rumah-rumah tetangga, selain itu, kedua penghuni kost yang lain pun belum kembali ke kost. Pram menyalakan televisi untuk mengusir sepi. Aku duduk disamping Pram dan kembali menyandarkan kepalaku dipundaknya. Hampir dua jam kami duduk dan tak saling berbicara.

Perlahan, aku pun mulai tenang, mulai bisa mengendalikan kesedihanku.

“Makasih ya Pram.” gumanku.

Pram kembali mengecup kepalaku,

“Kamu capek? Mau istirahat?” tanyaku.

“Kalo ibu mau istirahat, saya pulang, biar ibu bisa tidur.”

“Enggak, ibu belum ngantuk. Kamu?”

“saya juga belum ngantuk bu.”

Kehadirannya membuatku masa-masa sulit yang kualami menjadi sedikit lebih ringan. Dia benar-benar tulus membantuku, dan aku bisa merasakannya. Tanpa kusadari, aku kembali menyandarkan kepalaku didadanya, sementara tangan Pram merangkul pundakku.

Tak terasa, waktu telah menunjukkan hampir jam 12 malam. Suasana diluar semakin sepi, apalagi kedua penghuni kost lainnya belum pulang. Terbawa oleh suasana, kulingkarkan tanganku ditubuh Pram.

Aku hanya ingin mendapatkan kenyamanan, hanya ingin menentramkan hatiku yang masih terluka. Dan tanpa kami sadari, akhirnya kami tertidur hingga pagi.

Jam 6 lewat beberapa menit, aku terjaga. Ternyata sepanjang malam aku tertidur didada Pram, dengan tanganku melingakar dipinggangnya, sementara Pram masih terlelap. Kutatap wajahnya yang nampak tenang.

Makasih Pram, kamu selalu ada disampingku’ ucapku dalam hati. Pram terjaga ketika kulepaskan pelukanku dan sedikit bergeser menjauh darinya.

“Pagi bu.”

“Pagii Pram.”

“Pram, ibu…”

Tiba-tiba ia Meletakkan jari telunjuknya tepat didepan bibirku, kemudian menarik tubuhku untuk kembali mendekat padanya. Ia pun menuntun kedua tanganku, kembali melingkar dipinggangnya. Kami kembali berpelukan, dengan kepalaku bersandar didadanya.

“Pram..”

“Sssstttt.” Kembali ia memotong ucapanku.

“Sesekali ibu harus menikmati kesunyian pagi” bisiknya.

Sekali lagi, kurasakan hangat dekapannya yang nyaman dan menenangkan. Pram Benar, suasana pagi memang sangat menentramkan jika dinikmati. Mendengar suara kicauan burung-burung yang menghuni pohon rindang dibelakang dapur, merasakan hawa dingin karena embun yang berjatuhan diluar sana. Inilah pengalaman pertamaku, dan aku sangat menyukainya.

Hampir satu jam kami menikmati keheningan pagi ala Pram dalam diam, dan selama itu pula aku merasakan kehangatan dekapannya ditengah pagi yang dingin.

“Pram.”

“Hhmmm.”

“Kita Pelukannya sampai jam berapa?”

Ia hanya menghela nafas sambil mengeratkan pelukannya.

“Pram..”

“Pelukannya masih lama” tanyaku lagi.

“Hhhmmmm…” jawabnya singkat.

“Pram… ibu kebelet pipis”

“Kalo gini terus, bisa-bisa ibu ngompol disini.”

“Astagaaaaa…”

##########

Part 2 dalam proses editing ya, mohon kesabarannya :ampun:
Eh ada cerita bagus. Baca pelan2 ahh. Thanks suhu unt crrita yg keren ini
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd