Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Bimabet
Teman-teman semua, mohon maaf untuk keterlamabatan up seri 8 :ampun: kerjaan lagi padat merayap, lagi flu juga, jadi belum bisa menyelesaikan editing.

maaf ya :ampun:

saya usahakan dalam beberapa hari ini akan up seri 8.

selalu sehat dan diberi kelancaran dalam RL untuk kita semua.

:rose:
Slalu jaga kesehatan hu,kami slalu setia menunggu update mu.
 
Rindiani The Series - Seri 8
Perempuan Lain Yang Mengasihi Lelakiku (2)

part 1




Awal pagi yang romnatis untuk kami, bersama-sama menghabiskan waktu dengan bermanja-manja, berpelukan ditengah hawa dingin dalam kamar tidurku. Pram tak henti-hentinya memcumbuku, sekedar ciuman dan usapan manja disekujur tubuhku untuk menghangatkan suasana. Aku sangat menikmati moment-moment ini, walaupun tanpa harus bersetubuh dengannya.

Semua berakhir ketika aku harus kembali bekerja, dan seperti biasanya, Pram mengantarkanku sebelum menemui Calya, sang kakak tercinta yang tengah mengunjungi kota pelajar demi bersua dengannya.

“Pram, nanti sore jemput ibu ya. Ibu takut lewat sini sendirian. Sepi gini.” Pintaku sambil melangkah disisinya, melewati lorong kampus yang sepi.

“Iya bu, nanti ibu tunggu saya di warung. Saya jemput ibu disana."

Suasana kampus benar-benar sepi. Yang terlihat hanyalah ruangan perkuliahan kosong dan beberapa tukang kebun yang membersihkan area sekitar taman ditengah kampus.

“Sepi gini. Pantesan kemarin mereka berani main di toilet.” gumanku saat kami melewati lorong yang terhubung dengan bagian belakang kampus.

“Mungkin mereka kebelet kalik bu.”

“Iya, mungkin udah gak nahan.” timpalku lalu tertawa. Pram ikut tertawa bersamaku.

“Untung waktu itu kamu nolak ibu. Kalo gak, mungkin ada yang ngintipin kita juga.”

Pram tersenyum.

“Kadang saya khawatir sama nekatnya ibu.” gumannya.

Aku tertawa, lalu mencubit pinggangnya.

“Sesekali pengen nyobain suasana baru. Ibu belum pernah lho main di luar rumah.”

Pram tertawa sambil menggeleng pelan.

“Nanti diintip juga lho bu.”

“Iya sih.. kalo ketahuan kan malu banget. Apalagi sampe digrebek.” timpalku.

“Main dirumah aja, atau hotel biar aman.”

“Kalo hotel kan mahal Pram.”

Pram hanya tersenyum, lalu meremas tanganku yang ia gandeng.

“Abis ini kamu mau langsung ke hotel?” tanyaku.

“Iya bu, biar gak bolak-balik.”

Sesampainya di warung, si ibu tengah sibuk menyiapkan puluhan nasi kotak.

“Ada pesenan ya bu?” tanya Pram.

“Iya Pram, ini pesenan 50 kotak untuk pagi ini. Nanti jam 10 diambil.”

Pram melirik jam di dinding.

“Saya bantuin dulu bu, biar ketempat mbak Aya nanti aja. Lagian masih hujan juga.”

“Beneran gapapa?” tanyaku.

“Iya, gapapa kok bu.”

Akhirnya Pram membantu kami, menghabiskan sedikit waktunya untuk tetap bersamaku.

“Pram liburan gak pulang kampung?” tanya si ibu.

“Enggak bu. Liburnya cuman sebentar. Nanggung kalo pulang.”

“Temen-temenmu yang lain pulang?”

“Iya bu. Udah pada pulang.”

“Kalo kalian libur, warung ibu sunyi banget. Apalagi kalian kalo datang selalu bikin rame disini.”

Aku tersenyum, begitu juga dengan Pram. Kehadiran teman-teman Pram memang selalu membawa kehebohan, membuat suasana semakin riuh. Tanpa mereka, keadaan sangat berbeda, sepi dan sunyi sunyi sangat terasa.

Si ibu meninggalkan kami, melangkah menuju ke dapur.

“kayaknya hari ini ibu bakal cepat pulang.” gumannya.

“Kayaknya sih gitu. Ini aja udah 50 kotak. Jangan-jangan malah hari ini gak jualan.”

Setelah beberapa saat, Si ibu kembali dengan beraneka lauk sebagi pelengkap nasi kotak pesanan pelanggan.

“Hari ini kita jualan gak bu?” tanyaku.

“Iya, jualan mbak, tapi ini menunya tinggal sedikit aja kok. Mungkin cuman cukup sampai jam makan siang.”

Si ibu kembali melangkah kedapur, untuk mengambil irisan buah semangka sebagai menu pencuci mulut dalam nasi kotak pesanan.

“Berarti nanti saya jemput ibu lebih awal. Yanng penting ibu kabari saya kalo udah pulang.”

“Iya Pram, nanti ibu kabari.”

“Ibu jangan pulang sendirian. Pokoknya ibu tunggu saya disini.” tambahnya.

“Iya sayang. Ibu tunggu kamu disini. Nanti ibu kabari kalo udah mau pulang.”

Hampir jam sembilan pagi, pekerjaan membuat nasi kotak pesanan itu selesai, dan Pram pun pamit meninggalkan warung.

“Nak Pram, makasih udah bantuin ibu ya.” Kata si ibu pemilik warung.

“Iya bu, sama-sama. Saya titip bu Rindi disini ya bu.”

Aku dan ibu si pemilik warung tertawa, sedangkan Pram tersenyum malu.

“Ya sudah, hati-hati dijalan ya Pram. Salam buat mbak Aya.” kataku.

Pram mengangguk lalu melangkah pergi. Seperti hari sebelumnya, sepagian warung hanya dikunjungi oleh satu dua orang saja. Waktuku lebih banyak terbuang dengan mengobrol bersama si ibu, sambil menikmati segelas teh panas.

“Selamat pagi.” Sapa Sandi, menghentikan obrolan kami.

“Pagi mas.” jawabku, sementara si ibu hanya tersenyum.

“Teh panas sama air putih ya mbak Rin.” pintanya.

Aku mengangguk, lalu melangkah kedapur untuk membuat pesanannya. Samar-samar kudengar Sandi berbincang dengan si Ibu, entah apa yang mereka perbincangkan, tak begitu terdengar jelas ditelingaku.

“Kok mas gak libur?” tanyaku sambil meletakkan minuman diatas meja.

“Ada kerjaan dikampus mbak. Mumpung ada waktu, jadi saya kerjakan sekarang.”

“Wah, repot ya jadi dosen. Mahasiswanya libur, dosennya tetap ada kerjaan.”

“Begitulah mbak, lagi pula biar nanti kerjaan gak menumpuk. Sekarang lagi menyiapkan materi pengajaran untuk semester depan. Mumpung ada waktu luang mbak.”

“Mbak masih dianter jemput Pram?”

“Iya mas. Tadi dianter. Nanti kalo pulang dijemput.”

“Ooo gitu.” jawabnya singkat.

Sejenak kami terdiam, tak ada perbincangan siantara kami.

“Mbak Rindi serius dengan Pram.”

Sebuah pertanyaan yang sedikit mengangguku, namun merupakan pertanyaan yang wajar dan logis untuk dilontarkan olehnya.

Aku tersenyum sambil sedikit menundukkan wajah.

“Iya mas, saya serius.”

Sandi hanya tersenyum setelah mendengar jawabanku lantas melanjutkan makan.

Jawabanku adalah harapan yang selama ini selalu kujaga. Semakin aku mengenal sosok Pram, semakin besar cinta dan harapan dihatiku. Aku tak memungkiri bahwa hubunganku dengan Pram mungkin saja berakhir dengan pahit karena ada banyak faktor yang bisa menyebabkan hal itu terjadi.

Namun aku selalu menjaga harapan itu, karena aku yakin, Pram adalah sosok lelaki yang akan menyempurnakan perjalanan hidupku kelak. Ia akan menjadi seorang ayah yang hebat untuk Nova.

“Mbak yakin?” tanya sandi lagi, lalu meneguk sedikit teh panas.

Aku mengangguk pelan sambil tersenyum.

“Semoga hubungan kalian langgeng mbak” guman Sandi.

“Amiin. Makasih mas.” timpalku.

Apakah Sandi kecewa dengan jawabanku? Mungkin saja ia kecewa. Namun aku yakin, Sandi paham dengan realita dihadapannya. Selama mengenalku, ia tahu bahwa Pram dan aku memiliki hubungan istimewa, walaupun kami bukanlah sepasang kekasih. Sikapku pun telah menunjukkan hal tersebut, dan aku yakin Sandi mengetahuinya. Ia bisa membaca prilakuku yang lebih cenderung menunjukkan bahwa aku adalah milik Pram.

Mungkin saja Sandi akan menjauhiku secara perlahan, atau sekedar menajaga jarak denganku, aku akan memakluminya, memahaminya sebagai tindakan yang terhormat karena menghargai hubunganku dengan Pram. Atau, mungkin saja Sandi akan tetap berupaya untuk merebut simpatiku, berusaha untuk menaklukan dan merebutku dari pelukan Pram. Hal yang lumrah, seperti kata pepatah ‘Sebelum janur kuning melengkung, masih ada kesempatan untuk merebut’.

Hanya saja, aku yakin Sandi belum mengetahui tentang kehidupanku yang sebenarnya. Tak seorang pun yang berasal dari lingkungan kehidupan Pram mengetahuinya. Kisahku masih terutup rapat bagi mereka, dan aku tak berniat untuk menceritakan hal ini kepada mereka.

“Saya doakan semoga mas segera menemukan jodoh.”

“Amin. Makasih mbak.”

Sandi, sama seperti manusia lainnya, berhak untuk mendapatkan dan merasakan kebahagiaan. Itulah tujuan hidup yang paling hakiki, merasakan kedamaian dan kebahagiaan selama mungkin.

Dalam perjalanan kehidupanku, aku kehilangannya, namun dengan segera mendapatkan pengganti yang jauh lebih hebat. Hidupku semakin indah dan penuh warna berkat kebahagiaan yang diberikan oleh Pram.

Cukup sederhana memang, Pram hanya menjadi dirinya sendiri, tanpa rayuan maupun kata-kata puitis dan romantis. Seperti yang Nina katakan, Pram memiliki segala yang ia butuhkan untuk merubah hidupnya. Namun Pram memilih untuk tetap membumi, tetap hidup sederhana sesuai dengan keinginannya.

Semua yang aku ketahui tentang lelakiku, membuatku semakin yakin bahwa Pram adalah impianku. Ia adalah pelangi setelah badai dalam hidupku.

♡♡♡

Menjelang siang, tak banyak menu makanan yang tersisa. Pesanan nasi kotak yang kami buat telah menipiskan jumlah menu dagangan si ibu untuk hari ini.

“Mbak Rindi, makan siang dulu. Habis itu kita tutup.” kata si ibu.

Aku mengangguk dan senang mendengar kata si ibu. Pulang lebih awal, dan bisa bersantai dirumahku bersama Pram, jika ia memiliki waktu luang mengingat sang kakak tengah berada dikota ini untuk menjenguknya.

Sambil menikmati makan siang, aku mengirimkan pesan singkat kepada Pram, bahwa sebentar lagi aku akan pulang. Pesan itu terkirim, dan langsung dibalas olehnya. Pram bersiap menjemputku.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk membereskan warung sebelum tutup, karena pekerjaannku sangat jauh berkurang selama masa libur kampus. Dan ketika semuanya telah selesai, aku berpamitan kepada si ibu, dan menunggu Pram didepan warung, seorang diri.

Senyum kembali menghiasi wajahku ketika ia muncul dari kejauhan. Kupandangi setiap langkahnya, setiap gerak-gerik tubuhnya, dengan tersenyum. Kesetiaannya dalam mendampingiku benar-benar telah teruji dan terbukti.

“Pram dari hotel?”

“Iya bu, cuman nemenin mbak Aya ngobrol aja. Soalnya ujan, jadi gak berangkat ke pantai.” jawabnya sambil melangkah di sisiku.

“Trus rencananya hari ini mau ngapain?”

“Gak tau juga sih bu. Mbak Aya belum ngomong apa-apa tentang rencana hari ini.”

“Abis anterin ibu, mau balik ke hotel?”

“Nanti aja deh bu, biar sorean aja baru kembali kesana. Pengen dirumah aja sama-sama ibu.”

Aku tersenyum bahagia mendengar jawabannya. Setidaknya kami memiliki waktu untuk dihabiskan bersama-sama, walaupun mungkin hanya beberapa jam.

“Gila. Sepi banget.” gumanku ketika kami memasuki halaman belakang kampus karena tak seorang pun terlihat disana.

“Ibu taku?”

“Kalo sendirian ya takut. Tapi kan ada sayang.” jawabku sambil melingkarkan tangan di lengannya.

Pram tersenyum sambil menepuk tanganku yang melingkar di lengannya.

Masih seperti kemarin, suasana bagian belakang kampus itu sangat sepi, hanya suara kicauan burung dan beberapa hewan liar lain yang terdengar.

Ketika sampai di dekat jalan setapak menuju ke bangunan yang berfungsi sebagai gudang, kami bertemu dengan seorang karyawan kampus yang dikenali Pram.

“Mau pulang mas Pram?” tanyanya.

Kami menghentikan langkah sejenak untuk membalas sapaannya.

“Iya pak, ini baru jemput ibu dari warung. Mau pulang. Bapak mau pulang juga?”

“Iya mas, kebetulan kerjaannya sudah rampung.”

“Ya sudah, saya duluan mas Pram, mumpung hujannya belum deras.” katanya lagi.

“Iya pak, silahkan.”

Lelaki paruh baya itu melangkah cepat, meninggalkan aku dan Pram disana.

“Cuman bapak itu aja yang selalu mengunjungi bagian belakang kampus ini.” guman Pram.

“Kok kamu tau?”

“Iya, soalnya saya sering ketemu beliau disini. Mungkin tugasnya mengurusi halaman belakang kampus.”

“Oo gitu. Iya, ibu pernah lihat dia beberapa kali didekat gudang itu.”

“Lagi nyapu halaman depan gudang.” sambungku.

Pram kembali mengajakku melangkah, namun bukan ke arah bagian depan kampus, melainkan ke arah gudang, yang jaraknya mungkin sekitar sepuluh meter dari tempat kami berdiri.

“Pram? Kita mau kemana??” tanyaku heran.

Pram hanya tersenyum, lalu melingkarkan satu tangannya di belakang tubuhku, di pinggangku.

“Eehhhh.. sayangg.. iihhhh…!” protesku saat kurasakan ia meremas pantatku dengan tiba-tiba. Ia hanya tersenyum.

“Nakal..” gumanku.

Ia membawaku memasuki gudang itu melalui pintu samping karena pintu utama yang terletak di bagian depan terkunci.

Keadaan didalam ruangan itu masih sama seperti beberapa waktu lalu, ketika Pram membawaku kesana untuk menenangkan diri setelah insiden pelecehan yang menimpaku.

Kami melewati tumpukan meja-meja kuliah yang rusak, meja dosen pengajar, deretan kursi-kursi yang disusun hingga tingginya melebihi tinggi tubuh kami.

“Kita ngapain kesini?” tanyaku.

Pram tak menjawabku, ia hanya tersenyum seperti yang sudah-sudah.

Ketika kami sampai di bagian tengah ruangan, kami berbelok ke arah kanan ruangan, lalu sekali lagi berbelok kanan, hingga akhirnya kami sampai di ujung lorong kecil tersebut.

Didepan kami, sebuah sebuah papan tulis bekas berukuran besar menjadi dinding penghalang, bak jalan buntu.

Seisi ruangan itu bak labirin, dengan beberapa jalan menyerupai lorong kecil dan di kanan kiri, meja dan kursi tersusun rapi hingga setinggi lebih dari dua meter.

“Sayang, Kita ngapain kesini?” tanyaku lagi saat langkah kami terhenti di ujung lorong kecil itu.

Sekali lagi ia tak menjawabku, Pram hanya tersenyum, lalu menyingkirkan papan tulis dihadapan kami.

Aku mendapati sebuah pemandangan janggal disana. Sebuah ruang kecil yang bersih dan rapi, bisa dikatakan sebagai ruang rahasia karena letaknya yang cukup tersembunyi dengan baik diantara tumpukan barang-barang bekas tersebut.

Disitu terdapat sebuah kursi dan meja, lengkap dengan beberapa buah buku diatasnya. Ada pula lampu belajar yang masih berfungsi dengan baik.

Ruang berukuran kecil itu terlindungi dengan sangat baik oleh tumpukan meja, kursi dan bergam perlatan kampus lainnya yang tertata rapi, menyerupai dinding pembatas dan mampu menyembunyikan kami.

“Kadang, kalo lagi males ke perpus, saya belajar disini bu.” kata pram sambil mempersilahkan aku duduk dikursi meja belajar.

Aku tersenyum, dan merasa malu karena aku berpikir Pram mengajakku kemari untuk bercinta.

Ruang yang hanya beberapa meter persegi itu sangat bersih dan tertata rapi.

“Kurang kasurnya aja.” gumanku sambil melihat ke sekeliling.

Pram tertawa.

“Kalo ada kasur, nanti gak jadi belajar. Malah tidur.” balasnya.

“Bapak tadi tau, kalo kamu pakai gudang ini?”

“Tau kok bu, malah meja dan kursi ini beliau yang menempatkannya disini.”

“Wah, memang cocok untuk belajar. Sepi, tenang.” kataku.

“Temen-temen lain pada tau kalo kamu sering belajar disini?”

“Kayaknya enggak bu. Lagian biar tenang. Kalo mereka tau, pasti sering kesini. Jadi berisik.”

“Iya, apalagi kalo sampe Rita tau. Pasti jadi rame disini.”

Sekali lagi aku memandang ke sekelilingku, dan menyadari bahwa ruang kecil yang tersembunyi ini berada dibagian pojok kanan bangunan tersebut.

Bangunan luas yang nampak terbengkalai ini dimanfaatkan dengan baik oleh lelakiku untuk belajar, memanfaatkan suasana tenang dan nyaman yang tersaji disini.

“kamu gak takut kalo belajar sendirian disini?”

Pram menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

“Nanti kamar tidur yang satunya, dirumah ibu itu kamu jadikan ruang belajar aja gak apa-apa kok Pram. Biar nyaman.”

“Enggak bu, kalo dirumah ibu, enaknya belajar di ruang tengah atau dikamar ibu.”

“kok gitu?” tanyaku.

Pram tersenyum, lalu melangkah mendekatiku.

“Biar bisa ditemenin ibu. Bisa sama-sama ibu terus.”

Aku tertawa kecil mendengar alasannya.

“Dikamar yang satunya kan bisa ibu temenin juga.” balasku.

Pram hanya tertawa, lantas menunduk dan mengecup kepalaku yang masih berbalut jilbab.

“Untung aja anak-anak kemarin itu gak tau tempat ini, kalo tau pasti mereka jadikan tempat bercinta disini.” gumanku.

“Mereka mungkin tahu tau bu, tapi mereka gak berani masuk kesini. Soalnya didalam gudang ini ada anjing penjaganya.”

Aku terkejut mendengar penuturan Pram.

“Anjingnya galak? Sekarang dimana anjingnya?” tanyaku.

“Kalo sama yang belum dia kenal ya galak. Tapi kalo sama saya, dia biasa aja. Cuek aja. Soalnya udah terbiasa lihat saya keluar masuk tempat ini.”

“Emang anjing siapa sih Pram?” tanyaku heran.

“Gak tau bu. Mungkin anjing liar. Tapi baik kok.”

“Kadang saya beli makanan untuk dia, jadi ya dia udah kenal saya. Sama bapak yang sering nyapu disini juga dia baik kok.”

“Kalo siang gini, biasanya dia keluar cari makan, nanti sore kembali kesini.”

“Jantan atau betina?” tanyaku.

“Jantan bu. Warna cokelat.”

Aku sedikit takut terhadap anjing, namun bukan berarti aku tidak suka. Saat aku masih kecil, dirumahku pun aku memiliki seekor anjing sebagai penjaga rumah.

“Ibu belum pernah lihat ada anjing disekitar sini.” Kataku.

“Iya, dia jarang main diluar gedung ini bu. Kalo keluar ya lewat pintu belakang, lewat taman, jadi jarang kelihatan.”

“Kalo dia gak jahat, nanti ibu mau bawa pulang aja, buat jaga rumah.”

Pram terkejut mendengarnya.

“Emang gapapa ibu piara anjing dirumah? Ibu kan pakai jilbab. Anjing kan haram bu.”

“Iya, ibu tau kok Pram. Tapi kamu kan tau. Kalo siang, rumah kita itu kosong lho. Gak ada yang nungguin. Nah, kalo ada anjing penjaga kan bisa lebih aman.”

“Iya juga sih bu.”

“Nanti kalo saya lihat, saya coba tangkap deh bu. Saya bawa pulang.”

“Iya, tapi kalo gak bisa ya gapapa.”

“Ya udah bu, kita pulang yuk.” katanya sambil memegang lenganku, bermaksud mengajakku untuk berdiri dari kursi.

Aku menatapnya sambil tersenyum, namun tak beranjak dari kursi sehingga membuat Pram sedikit keheranan.

“Udah..? Jadi kamu ajak ibu kesini cuman untuk nunjukin tempat belajar ini?” tanyaku.

Pram mengangguk pelan.

“Beneran?? Gak ada yang lain?” tanyaku lagi sambil mengusap pangkal pahanya.

Ia mengerti apa yang kulakukan dan keinginanku, lantas menunduk, melumat bibirku dengan lembut. Kedua telapak tangannya menempel erat dipipiku, dan dengan mata terpejam, ia menciumku, melumat bibir atas dan bawah silih berganti, hingga beberapa saat lamanya.

Sambil menikmati bibirku, Pram menurunkan ritsleting celana jeans yang ia kenakan, lalu mengeluarkan penisnya dihadapanku.

Melihat penisnya terbebas dari celana, aku segera menyudahi ciumanku, dan langsung meraihnya, menggengamnya, lalu mengocoknya dengan lembut sambil bertatapan mata.

Pram, lelakiku tersenyum manis padaku sambil mengusap kepalaku yang tertutupi jilbab. Aku membalas senyum manisnya lalu menjulurkan lidah, menjilati bagian bawah penisnya yang telah mengeras dengan sempurna.

Sepertinya aku berhasil memancing birahi Pram, karena aku melihatnya memejamkan mata saat ujung lidahku mendarat diatas kulit kemaluannya.

Nafasnya tertahan, kepalanya sedikit menengadak ke langit. Pram menyukainya, ia menikmati awal permainan ini.

Hanya sebagai sebuah awal, dan selanjutnya rongga mulutku kembali dipenuhi oleh ujung penis Pram. Bagian yang berbentuk seperti jamur itu menjadi bulan-bulanan lidahku lagi.

Kusentuh dan kupermainkan dengan kedua bibir yang tertutup, mencengkran erat batang penisnya dengan mulutku. Lelakiku mulai mendesah pelan dan nafasnya tampak mulai memburu.

Usapannya dikepalaku terhenti, berganti dengan remasan lembut dipayudaraku yang masih tertutupi kemeja dan bra.

Pram telah terangsang dengan baik dan mulai larut dalam arus permainanku. Untuk membantunya, kubuka kancing kemejaku, sambil terus menghisap penisnya. Tiga kancing kemejaku terbuka, payudaraku pun terpampang dihadapannya.

Tanpa membuang waktu, kedua tangannya langsung menyelinap kebalik bra, dan memilin putingku. Aksi jemarinya sukses membuatku mendesah, namun terdengar rendah karena tertahan oleh penis yang masih memenuhi rongga mulutku.


Hampir lima menit aku menghisap penis lelakiku, sampai akhirnya ia memaksaku untuk memasukkan seluruh bagian kemaluannya kedalam mulutku.

Hal paling disukainya, dan selalu berhasil membuatnya semakin bergairah setelah merasakan kenikmatannya.

Aku telah terbiasa melakukannya, sehingga bisa memenuhi keinginan lelakiku tanpa menemui kesulitan sedikitpun. Aku semakin mahir dan mampu menahan nafasku untuk beberapa saat, sambil menahan kemaluannya yang panjang, nyaris hingga menyentuh kerongkonganku.

Pram merintih kecil, lututnya gemetar akibat terjangan badai kenikmatan yang kuberikan. Aku senang melihatnya begitu menikmati permainanku, membuatku semakin bersemangat dan bergairah.

“Lagi?” tanyaku sambil mengocok batang penisnya dan menatap wajahnya.

Pram mengangguk, lantas memegang pangkal penisnya dan mengarahkannya ke mulutku. Satu tangannya memegang bagian belakang kepalaku dan mulai mendorongnya ke arah depan saat penisnya mulai menyeruak masuk, memenuhi rongga mulutku lagi.

Lelakiku, Pram mengerang ketika aku berusaha semaksimal mungkin untuk menahan kemaluannya selama mungkin dalam mulutku. Satu tangannya tak lagi memaksa kepalaku, namun aku melakukannya atas kemauanku sendiri. Aku ingin memberi kenikmatan yang lebih untuknya.

Hampir setengah menit lamanya aku berusaha menahan nafas, menahan penisnya didalam rongga mulutku, hingga akhirnya aku menyerah dan menarik perlahan kepalaku.

Mata kami bertemu pandang, dan bisa kulihat tatapan matanya yang sayu. Pram terlena, larut dalam kenikmatan, seperti yang kuinginkan.

Aku telah melakukannya empat kali, dan Pram lelakiku masih mengingingkannya. Ia seolah tak pernah puas jika aku menelan kemaluannya.

Seluruh bagian kemaluannya dipenuhi oleh air liurku, sebagian besar bahkan menetes, membasahi lantai dibawahnya. Tetesan itu membentuk benang-benang liur karena kekentalannya.

Bukan hanya Pram yang tengah dilanda badai birahi, aku pun dalam kondisi yang sama karena dibawah sana, di pangkal pahaku, kemaluanku terasa lembab dan basah. Aku bergairah karena melihat ekspresi kenikmatan yang terpancar dari wajah lelakiku, akibat permainan lidah dan mulutku.

Vaginaku basah dengan sendirinya, walaupun belum mendapat sentuhan secara langsung.

♡♡♡ bersambung ♡♡♡

part 2 akan rilis beberapa jam kedepan.

terima kasih :rose:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd